Anda di halaman 1dari 74

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA An. A DENGAN DIAGNOSA MEDIS PNEUMONIA


ARDS DI RSUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA

Disusun Oleh:

Ruly Ramadana 2018.C.10a.0983

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2021/2022

i
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan anugerah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Laporan
Pendahuluan yang berjudul “Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan
pada An. A dengan Diagnosa Medis Pneumonia ARDS di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya”. Laporan pendahuluan ini disusun guna melengkapi
tugas (PPK4).
Laporan Pendahuluan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh
karena itu, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes selaku Ketua STIKes Eka Harap
Palangka Raya.
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners., M.Kep selaku Ketua Program Studi Ners
STIKes Eka Harap Palangka Raya.
3. Ibu Nia Pristina, S.Kep., Ners selaku pembimbing akademik yang telah
banyak memberikan arahan, masukkan, dan bimbingan dalam penyelesaian
asuhan keperawatan ini
4. Bapak Panca Oberti Butar Butar, S.Kep., Ners selaku pembimbing Lahan
yang telah banyak memberikan arahan, masukkan, dan bimbingan dalam
penyelesaian asuhan keperawatan ini
5. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksaan kegiatan
pengabdian kepada masyarakat ini.
Saya menyadari bahwa laporan pendahuluan ini mungkin terdapat kesalahan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca dan mudah-mudahan laporan pendahuluan
ini dapat mencapai sasaran yang diharapkan sehingga dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Palangka Raya, 20 Oktober 2021

Penulis

i
LEMBAR PENGESAHAN

Asuhan Keperawatan Ini Disusun Oleh:


Nama : Ruly Ramadana
NIM : 2018.C.10a.0983
Program Studi : Sarjana Keperawatan
Judul : “Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada An. A
dengan diagnosa medis Pneumonia ARSD di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya”.

Telah melaksanakan asuhan keperawatan sebagai persyaratan untuk


menempuh Praktik Praklinik Keperawatan IV (PPK IV) Pada Program Studi
Sarjana Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangka Raya.

Laporan Keperawatan ini telah disetujui oleh :

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

Nia Pristina, S. Kep., Ners Panca Oberti Butar Butar, S. Kep., Ners,

Mengetahui,
Ketua Program Studi
S1 Keperawatan,

Meilitha Carolina, Ners., M.Kep

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN .....................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan...............................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan.............................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................1
2.1 Konsep Penyakit ...............................................................................................4
2.1.1 Definisi....................................................................................................4
2.1.2 Anatomi Fisologi.....................................................................................4
2.1.3 Etiologi....................................................................................................9
2.1.4 Klasifikasi..............................................................................................10
2.1.5 Fatofisiologi (WOC) .............................................................................12
2.1.6 Manifestasi Klinis .................................................................................13
2.1.7 Komplikasi ...........................................................................................13
2.1.8 Pemerikasaan Penunjang ......................................................................14
2.1.9 Penatalaksanaan Medis .........................................................................15
2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan ..................................................................16
2.2.1 Pengkajian Keperawatan ........................................................................21
2.2.2 Diagnosa Keperawatan ...........................................................................25
2.2.3 Intervensi Keperawatan ..........................................................................25
2.2.4 Implementasi Keperawatan ....................................................................27
2.2.5 Evaluasi Keperawatan ............................................................................27
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN .................................................................28
3.1 Pengkajian ......................................................................................................28
3.2 Diagnosa .........................................................................................................40
3.3 Intervensi ........................................................................................................41
3.4 Implementasi ..................................................................................................45

iii
3.5 Evaluasi ..........................................................................................................45
BAB 4 PENUTUP ................................................................................................48
4.1 Kesimpulan .................................................................................................48
4.2 Saran ............................................................................................................48
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pneumonia merupakan masalah kesehatan di dunia karena angka
kematiannya tinggi, tidak saja dinegara berkembang, tapi juga di negara maju
seperti AS, Kanada dan negara-negara Eropa. Di AS misalnya, terdapat dua juta
sampai tiga juta kasus pneumonia per tahun dengan jumlah kematian rata-rata
45.000 orang. Di Indonesia, pneumonia merupakan penyebab kematian nomor
tiga setelah kardiovaskuler dan tuberkulosis. Faktor sosial ekonomi yang rendah
mempertinggi angka kematian. Gejala Pneumonia adalah demam, sesak napas,
napas dan nadi cepat, dahak berwarna kehijauan atau seperti karet, serta gambaran
hasil ronsen memperlihatkan kepadatan pada bagian paru. Kepadatan terjadi
karena paru dipenuhi sel radang dan cairan yang sebenarnya merupakan reaksi
tubuh untuk mematikan luman. Tapi akibatnya fungsi paru terganggu, penderita
mengalami kesulitan bernapas, karena tak tersisa ruang untuk oksigen. Pneumonia
yang ada di masyarakat umumnya, disebabkan oleh bakteri, virus atau
mikoplasma (bentuk peralihan antara bakteri dan virus). Bakteri yang umum
adalah streptococcus Pneumoniae, Staphylococcus Aureus, Klebsiella Sp,
Pseudomonas sp, virus misalnya virus influenza.Salah satu parameter gangguan
saluran pernapasan adalah frekuensi dan pola pernapasan. Gangguan pernapasan
pada bayi dan anak dapat disebabkan oleh trauma, alergi, maupun infeksi. Infeksi
yang terjadi pada sistem pernapasan bayi dan anak disebabkan oleh virus, bakteri,
jamur, dan karena aspirasi. Pneumonia adalah salah satu penyakit infeksi saluran
pernapasan bawah akut dengan gejala batuk dan disertai dengan sesak nafas yang
disebabkan agen infeksius seperti virus, bakteri,mycoplasma (fungi), dan aspirasi
substansi benda asing, berupa radang paru-paru yang disertai eksudasi dan
konsulidasi. (Nurarif, 2015).
Berdasarkan data WHO tahun 2017, pneumonia merupakan masalah
kesehatan di dunia karena angka kematian- nya sangat tinggi, tidak saja di
Indonesia dan negara-negara berkembang tetapi juga di Negara maju seperti
Amerika, Kanada dan Negara- Negara Eropa lainya. Di Amerika pneumonia
merupakan penyebab kematian nomor satu setelah kardiovaskuler dan TBC.

5
Pneumonia masih menjadi penyebab tertinggi kematian pada bayi di bawah usia
lima tahun (balita) maupun bayi baru lahir. Prevalensi pneumonia naik dari 1,6%
pada 2013 menjadi 2% dari populasi balita yang ada di Indonesia pada tahun
2018. Berdasarkan Diagnosis tenaga kesehatan dan gejala menurut provinsi di
NTT, Pervalensi pneumonia pada tahun 2013 mencapai 10% dan menurun 7%
pada tahun 2018 (Riskesdas, 2018). Terhitung dari Bulan Januari hingga Mei
2019, Di RSUD Prof.Dr. WZ Johanes Kupang, Ruang anak (Kenanga dan
Mawar) didapatkan kasus pneumonia sebanyak 5% dengan rincian jumlah balita
yang masuk rumah sakit sebanyak 308 orang dan yang menderita pneumonia dari
antaranya ada 16 orang (Buku Regiter Ruang Kenanga dan Mawar, 2019).
Pneumonia seringkali ditandai dengan gejala batuk dan atau kesulitan
bernapas seperti napas cepat, dan tarikan dinding dada. Pada umumnya
pneumonia dikategorikan dalam penyakit menular yang ditularkan melalui udara,
dengan sumber penularan adalah penderira pneumonia yang menyebarkan kuman
dalam bentuk droplet saat batuk atau bersin. Untuk selanjutnya kuman penyebab
pneumonia masuk ke saluran pernapasan melalui proses inhalasi (udara yang
dihirup), atau dengan cara penularan langsung yaitu percikkan droplet yang
dikeluarkan oleh penderita saat batuk, bersin dan berbicara langsung terhirup oleh
orang disekitar penderita. Banyak kasus yang berpengaruh terhadap meningkatnya
kejadian pneumonia pada balita, baik dari aspek individu anak, orang tua (ibu),
maupun lingkungan. Kondisi fisik rumah yang tidak sehat dapat meningkatkan
resiko terjadinya berbagai penyakit yang salah satunya pneumonia. Rumah yang
padat penghuni, pencemaran udara dalam ruangan akibat penggunaan bahan bakar
pada (kayu bakar/arang), dan perilaku merokok dari orang tua merupakan faktor
lingkungan yang dapat meningkatkan kerentanan balita terhadap pneumonia
(Anwar, 2014).
Berdasarkan masih tingginya prevalensi angka kejadian Pneumonia,
khususnya di Indonesia, dan juga melihat dari segi sebab akibat yang dapat di
timbulkan, maka saya tertarik untuk membahas lebih lanjut tentang Pneumonia
dan asuhan keperawatannya.
1.2 Rumusan Masalah

6
Bagaimana asuhan keperawatan pada An. A dengan diagnosa medis
Pneumonia ARDS di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu melakukan dan memberikan Asuhan Keperawatan
pada An. A dengan diagnosa medis Pneumonia ARDS di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mahasiswa mampu menjelaskan konsep dasar Penyakit
1.3.2.2 Mahasiswa mampu menjelaskan Manajemen Asuhan Keperawatan Pada
pasien dengan diagnosa medis Pneumonia ARDS
1.3.2.3 Mahasiswa mampu melakukan pengkajian keperawatan pada An. A di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.3.2.4 Mahasiswa mampu menentukan dan menyusun intervensi keperawatan
An. A di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.3.2.5 Mahasiswa mampu melaksanakan implementasi keperawatan pada An. A
di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.3.2.6 Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan pada An. A di RSUD
dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.3.2.7 Mahasiswa mampu menyusun dokumentasi keperawatan pada An. A di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Mahasiswa
Diharapkan agar mahasiswa dapat menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan dengan menerapkan proses keperawatan dan memanfaatkan ilmu
pengetahuan yang diperoleh selama menempuh pendidikan di Program Studi S1
Keperawatan Stikes Eka Harap Palangka Raya.
1.4.2 Bagi Klien dan Keluarga
Klien dan keluarga mengerti cara perawatan pada penyakit dengan dianosa
medis Pneumonia ARDS secara benar dan bisa melakukan keperawatan di rumah
dengan mandiri.
1.4.3 Bagi Institusi

7
1.4.3.1 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sumber bacaan tentang Pneumonia ARDS dan Asuhan
Keperawatannya.
1.4.3.2 Bagi Institusi Rumah Sakit
Memberikan gambaran pelaksanaan Asuhan Keperawatan dan
Meningkatkan mutu pelayanan perawatan di Rumah Sakit kepada pasien dengan
diagnosa medis Pneumonia ARDS melalui Asuhan Keperawatan yang
dilaksanakan secara komprehensif.
1.4.4 Bagi IPTEK
Sebagai sumber ilmu pengetahuan teknologi, apa saja alat-alat yang dapat
membantu serta menunjang pelayanan perawatan yang berguna bagi status
kesembuhan klien.

8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penyakit
2.1.1 Definisi
Pneumonia merupakan peradangan akut parenkim paru yang biasanya
berasal dari suatu infeksi. (Price, 2017). Pneumonia adalah peradangan yang
mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup
bronkiolus respiratorius, alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan
menimbulkan gangguan pertukaran gas setempat. (Zul, 2017).
Bronkopneumonia digunakan untuk menggambarkan pneumonia yang
mempunyai pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area
terlokalisasi didalam bronki dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di
sekitarnya. Pada bronko pneumonia terjadi konsolidasi area berbercak.
(Smeltzer,2018).
Sindrom gangguan pernapasan akut (Acute respiratory distress syndrome -
ARDS) merupakan manifestasi cedera akut paru-paru, biasanya akibat sepsis,
trauma, dan infeksi paru berat. Secara klinis, hal ini ditandai dengan dyspnea,
hipoksemia, fungsi paru-paru yang menurun, dan infiltrat difus bilateral pada
radiografi dada. Sindrom distres respiratorik akut merupakan bentuk edema
pulmoner yang menyebabkan gagal respiratorik akut dan disebabkan oleh
meningkatnya permeabilitas membran alveolokapiler. Cairan terakumulasi dalam
interstisium paru-paru dan ruang alveolar. ARDS parah bisa menyebabkan
hipoksemia yang sulit disembuhkan dan fatal, tetapi pasien yang sembuh mungkin
hanya mengalami sedikit kerusakan paru-paru atau tidak sama sekali (Guntur,
2011).
2.1.2 Anatomi Fisiologi
2.1.2.1 Hidung
Hidung atau naso atau nasal merupakan saluran udara yang pertama,
mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum
nasi).Di dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu,
dan kotoran yang masuk ke dalam lubang hidung.
2.1.2.2 Faring

9
Faring atau tekak merupakan tempat persimpangan antara jalan
pernapasan dan jalan makanan, terdapat di bawah dasar tengkorak, di belakang
rongga hidung, dan mulut sebelah depan ruas tulang leher. Hubungan faring
dengan organ-organ lain adalah ke atas berhubungan dengan rongga hidung,
dengan perantaraan lubang yang bernama koana, ke depan berhubungan dengan
rongga mulut, tempat hubungan ini bernama istmus fausium, ke bawah terdapat 2
lubang (ke depan lubang laring dan ke belakang lubang esofagus).
2.1.2.3 Laring
Laring atau pangkal tenggorokan merupakan saluran udara dan bertindak
sebagai pembentukan suara, terletak di depan bagian faring sampai ketinggian
vertebra servikal dan masuk ke dalam trakhea di bawahnya. Pangkal tenggorokan
itu dapat ditutup oleh sebuah empang tenggorokan yang biasanya disebut
epiglotis, yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berfungsi pada waktu kita
menelan makanan menutupi laring.
2.1.2.4 Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan lanjutan dari laring yang
dibentuk oleh 16 sampai 20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang
berbentuk seperti kuku kuda (huruf C) sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir
yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, hanya bergerak ke arah luar. Panjang
trakea 9 sampai 11 cm dan di belakang terdiri dari jarigan ikat yang dilapisi oleh
otot polos.
2.1.2.5 Bronkus
Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari trakea, ada 2
buah yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V, mempunyai
struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis set yang sama. Bronkus itu
berjalan ke bawah dan ke samping ke arah tampuk paru-paru.Bronkus kanan lebih
pendek dan lebih besar dari pada bronkus kiri, terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai
3 cabang. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping dari yang kanan, terdiri
dari 9-12 cincin mempunyai 2 cabang.
Bronkus bercabang-cabang, cabang yang lebih kecil disebut bronkiolus
(bronkioli).Pada bronkioli tidak terdapat cincin lagi, dan pada ujung bronkioli
terdapat gelembung paru atau gelembung hawa atau alveoli. Bronkus

10
pulmonaris,trakea terbelah menjadi dua bronkus utama : bronkus ini bercabang
lagi sebelum masuk paru-paru. Dalam perjalanannya menjelajahi paru-
paru,bronkus-bronkus pulmonaris bercabang dan beranting lagi banyak sekali.
Saluran besar yang mempertahankan struktur serupa dengan yang dari trakea
mempunyai diinding fibrosa berotot yang mengandung bahan tulang rawan dan
dilapisi epitelium bersilia. Makin kecil salurannya, makin berkurang tulang
rawannya dan akhirnya tinggal dinding fibrosa berotot dan lapisan silia. Bronkus
terminalis masuk kedalam saluran yang agak lain yang disebut vestibula, dan
disini membran pelapisnya mulai berubah sifatnya : lapisan epitelium bersilia
diganti dengan sel epitelium yang pipih. Dari vestibula berjalan beberapa
infundibula dan didalam dindingnya dijumpai kantong-kantong udara itu .
kantong udara atau alveoli itu terdiri atas satu lapis tunggal sel epitelium pipih,
dan disinilah darah hampir langsung bersentuhan dengan udara suatu jaringan
pembuluh darah kapiler mengitari alveoli dan pertukaran gas pun
terjadi.Pembuluh darah dalam paru-paru. Arteri pulmonaris membawa darah yang
sudah tidak mengandung oksigen dari ventikel kanan jantung ke paru-paru;
cabangcabangnya menyentuh saluran-saluran bronkial, bercabang-cabang lagi
sampai menjadi arteriol halus; arteriol itu membelah belah dan membentuk
2.1.2.6 Alveoli
Alveolus adalah struktur anatomi yang memiliki bentuk
berongga. Terdapat pada parenkim paru-paru, yang merupakan ujung dari saluran
pernapasan, di mana kedua sisi merupakan tempat pertukaran udara dengan
darah. Alveolus merupakan anatomi yang hanya dimiliki oleh mamalia.
Pada vertebrata sistem pertukaran gas memiliki struktur yang berbeda. Membran
alveolaris adalah permukaan tempat terjadinya pertukaran gas. Darah yang kaya
karbon dioksida dipompa dari seluruh tubuh ke dalam pembuluh darah alveolaris,
di mana, melalui difusi, ia melepaskan karbon dioksida dan menyerap oksigen.
2.1.2.7 Paru-paru
Paru-paru ada dua, merupakan alat pernfasan utama. Paru-paru mengisi
rongga dada. Terletak disebelah kanan dan kiri dan ditengah dipisahkan oleh
jantung beserta pembuluh darah besarnya dan struktur lainnya yang terletak
didalam media stinum. Paru-paru adalah organ yang berbentuk kerucut dengan

11
apeks (puncak) diatas dan sedikit muncul lebih tinggi daripada clavikula didalam
dasar leher. Pangkal paru-paru duduk diatas landae rongga thoraks,diatas
diafraghma. Paru-paru mempunyai permukaan luar yang menyentuh iga-iga,
permukaan dalam yang memutar tampuk paruparu, sisi belakang yang menyentuh
tulang belakang,dan sisi depan yang menutup sebagian sisi depan jantung.Paru-
paru dibagi menjadi beberapa belahan atau lobus oleh fisura. Paru-paru kanan
mempunyai tiga lobus dan paru-paru kiri dua lobus. Setiap lobus tersusun atas
lobula. Jaringan paruparu elastis,berpori, dan seperti spons.
2.1.3 Etiologi
Menurut Nugroho.T (2017), pneumonia dapat disebabkan oleh bermacam-
macam etiologi seperti:
a. Bakteri: stapilococus, sterptococcus, aeruginosa.
b. Virus: virus influenza, dll
c. Micoplasma pneumonia
d. Jamur: candida albicans
e. Benda asing
Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya pneumonia ialah daya tahan
tubuh yang menurun misalnya akibat Malnutrisi Energi Protein (MEP), penyakit
menahun, trauma pada paru, anestesia, aspirasi, dan pengobatan dengan antibiotik
yang tidak sempurna (Ngastiyah, 2017)
2.1.4 Klasifikasi
Menurut Nurarif (2018), klasifikasi pneumonia terbagi berdasarkan
anatomi dan etiologis dan berdasarkan usaha terhadap pemberantasan pneumonia
melalui usia :
2.1.4.1 Pembagian anatomis
1) Pneumonia lobularis, melibat seluruh atau suatu bagian besar dari satu atau
lebih lobus paru. Bila kedua paru terkena maka dikenal sebagai
pneumonial bilateral atau ganda.
2) Pneumonia lobularis (Bronkopneumonia) terjadi pada ujung akhir
bronkiolus, yang tersumbat oleh eksudat mukopurulen untuk membentuk
bercak konsulidasi dalam lobus yang berada didekatnya, disebut juga
pneumonia lobularis.

12
3) Pneumonia Interstitial (Bronkiolitis) proses inflamasi yang terjadi di dalam
dinding alveolar (interstinium) dan jaringan peribronkial serta interlobular.
2.1.4.2 Pembagian etiologis
1) Bacteria: Diploccocus pneumonia, pneumococcus, streptokokus
hemolytikus, streptococcus aureus, Hemophilus infuinzae, Bacilus
Friedlander, Mycobacterium tuberculosis.
2) Virus: Respiratory Syncytial Virus, Virus Infuinza, Adenovirus.
3) Jamur: Hitoplasma Capsulatum, Cryptococus Neuroformans, Blastornyces
Dermatitides
4) Aspirasi: Kerosene (bensin, minyak tanah), cairan amnion,benda asing
5) Pneumonia Hipostatik
6) Sindrom Loeffler
2.1.5 Patofisologi (WOC)
Merupakan inflamasi paru yang ditandai dengan konsulidasi karena eksudat
yang mengisi elveoli dan brokiolus. Saat saluran nafas bagian bawah terinfeksi,
respon inflamasi normal terjadi, disertai dengan jalan obstruksi nafas (Terry &
Sharon, 2013).
Sebagian besar pneumoni didapat melalui aspirasi partikel inefektif seperti
menghirup bibit penyakit di udara. Ada beberapa mekanisme yang pada keadaan
normal melindungi paru dari infeksi. Partikel infeksius difiltrasi dihidung, atau
terperangkap dan dibersihkan oleh mukus dan epitel bersilia disaluran napas. Bila
suatu partikel dapat mencapai paruparu , partikel tersebut akan berhadapan dengan
makrofag alveoler, dan juga dengan mekanisme imun sistemik dan humoral.
Infeksi pulmonal bisa terjadi karena terganggunya salah satu mekanisme
pertahanan dan organisme dapat mencapai traktus respiratorius terbawah melalui
aspirasi maupun rute hematologi. Ketika patogen mencapai akhir bronkiolus maka
terjadi penumpahan dari cairan edema ke alveoli, diikuti leukosit dalam jumlah
besar. Kemudian makrofag bergerak mematikan sel dan bakterial debris. Sisten
limpatik mampu mencapai bakteri sampai darah atau pleura viseral. Jaringan paru
menjadi terkonsolidasi. Kapasitas vital dan pemenuhan paru menurun dan aliran
darah menjadi terkonsolidasi, area yang tidak terventilasi menjadi fisiologis right-
to-left shunt dengan ventilasi perfusi yang tidak pas dan menghasilkan hipoksia.

13
Kerja jantung menjadi meningkat karena penurunan saturasi oksigen dan
hiperkapnia (Nugroho.T, 2011).

14
ETIOLOGI
Menurut Nugroho.T (2017), pneumonia dapat disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti:
a. Bakteri: stapilococus, sterptococcus, aeruginosa.
b. Virus: virus influenza, dll
c. Micoplasma pneumonia
d. Jamur: candida albicans
e. Benda asing
Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya pneumonia ialah daya tahan tubuh yang menurun misalnya akibat
Malnutrisi Energi Protein (MEP), penyakit menahun, trauma pada paru, anestesia, aspirasi, dan pengobatan dengan
antibiotik yang tidak sempurna (Ngastiyah, 2017)

Pneumonia ARDS

B1 B2 B3 B4 B5 B6
Breathing Blood Brain Bladder Bowel Bone

Infeksi Bakteri, Virus, Proses Inflamasi Suplay O2 tidak adekuat


Pelepasan Proses Inflamasi Proses Inflamasi
neurotransmitter
Kerja Sel Goblet Menstimulasi sel host (histamine, bradikinin,
hepato-splenomegali Penurunan kebutuhan
Meningkat
inflamasi (seperti prostaglandin)  Permeabilitas
mikrofag, neutrofil) dinding pembuluh O2, nutrisi
darah
Berikatan dengan Mendesak lambung
Produksi Sputum
Memproduksi endogenus Menghilangnya plasma Metabolisme
Meningkatpirogen (IL-1, IL-6) reseptor nyeri
melalui endotel dinding menurun
pembuluh darah  HCL
Akumulasi Di Jalan
Impuls nyeri masuk
napas Demam Lemah, pusing,
ke Thalamus Kebocoran plasma Mual muntah, nafsu frekuensi nadi
(keextravaskuler) makan menurun
Dypsnea dan pernapasan
MK: Hipertermia meningkat
MK: Nyeri Akut
Pe↓ sirkulasi ke ginjal Kurangnya
asupan makanan MK: Intoleransi
MK: Bersihan Jalan Aktivtas
MK: Gangguan MK:
Napas Pertukaran Gas Hipovolemia
15 MK: Defisit nutrisi
2.1.6 Manifestasi Klinis (Tanda Gajala)
Gambaran klinis pneumonia bervariasi, respon sitemik tubuh terhadap
infeksi, agen etiologi, tingkat keterlibatan paru, dan obstruksi jalan napas. Tanda
dan gejala yang di alami antara lain : takipnea, demam, dan batuk disertai
penggunaan otot bantu nafas dan suara nafas abnormal (Terry & Sharon, 2017).
Adanya etiologi seperti jamur dan inhalasi mikroba ke dalam tubuh manusia
melalui udara, aspirasi organisme, hematogen dapat menyebabkan reaksi
inflamasi hebat sehingga membran paru-paru meradang dan berlobang. Dari
reaksi inflamasi akan timbul panas, anoreksia, mual, muntah serta nyeri pleuritis.
Selanjutnya RBC, WBC dan cairan keluar masuk alveoli sehingga terjadi sekresi,
edema dan bronkospasme yang menimbulkan manifestasi klinis dyspnoe, sianosis
dan batuk, selain itu juga menyebabkan adanya partial oklusi yang akan membuat
daerah paru menjadi padat (konsolidasi). Konsolidasi paru menyebabkan
meluasnya permukaan membran respirasi dan penurunan rasio ventilasi perfusi,
kedua hal ini dapat menyebabkan kapasitas difusi menurun dan selanjutnya terjadi
hipoksemia.
Dari penjelasan diatas masalah yang muncul yaitu: hipertermi, perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, bersihan jalan nafas tidakk efektif, gangguan
pola tidur, pola nafas tak efekif dan intoleransi aktivitas.
2.1.7 Komplikasi
Menurut Mutaqin (2018), komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan
pneumonia adalah:
1. Pleurisi
2. ARDS
3. Atelektasis
4. Empiema
5. Abses paru
6. Edema pulmonary
7. Infeksi super perikarditis
8. Meningitis
9. Arthritis

12
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Mutaqin (2018), pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan
pada orang dengan masalah pneumonia adalah:
a. Sinar X: mengidentifikasikan distribusi struktural (misal: lobar, bronchial);
dapat juga menyatakan abses.
b. Pemeriksaan gram/kultur, sputum dan darah: untuk dapat mengidentifikasi
semua organisme yang ada.
c. Pemeriksaan serologi: membantu dalam membedakan diagnosis organisme
khusus.
d. Pemeriksaan fungsi paru: untuk mengetahui paru-paru,menetapkan luas berat
penyakit dan membantu diagnosis keadaan.
e. Biopsi paru: untuk menetapkan diagnosis
f. Spirometrik static: untuk mengkaji jumlah udara yang diaspirasi
g. Bronkostopi: untuk menetapkan diagnosis dan mengangkat benda asing.
2.1.9 Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan kasus pneumonia menurut Mutaqin (2008) antara lain:
2.1.9.1 Manajemen Umum
1. Humidifikasi: humidifier atau nebulizer jika sekret yang kental dan
berlebihan.
2. Oksigenasi: jika pasien memiliki PaO2
3. Fisioterapi: berperan dalam mempercepat resolusi pneumonenia pasti;
pasien harus didorong setidaknya untuk batuk dan bernafas dalam untuk
memaksimalkan kemampuan ventilator.
4. Hidrasi: Pemantauan asupan dan keluaran; cairan tambahan untuk
mempertahankan hidrasi dan mencairkan sekresi.
2.1.9.2 Operasi Thoracentesis dengan tabung penyisipan dada: mungkin
diperlukan jika masalah sekunder seperti empiema terjadi.
2.1.9.3 Terapi Obat Pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi
tapi karena hal itu perlu waktu dan pasien pneumonia diberikan terapi secepatnya:
Penicillin G untuk infeksi pneumonia staphylococcus, amantadine, rimantadine

13
untuk infeksi pneumonia virus. Eritromisin, tetrasiklin, derivat tetrasiklin untuk
infeksi pneumonia
2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
2.2.1.1 Anamnesis
Pengkajian dilakukan dengan melakukan anamnesis pada pasien. Data-data yang
dikumpulkan atau di kaji meliputi :
2.2.1.1.1 Identitas Pasien
Pada tahap ini perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat
rumah, agama, suku bangsa, status perkawinan, pendidikan terakhir, nomor
registrasi, pekerjaan pasien, dan nama penanggung jawab.
2.2.1.1.2 Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
Pengkajian adalah keluhan utama yang sering menjadi alasan klien dengan
pneumonia untuk meminta pertolongan kesehatan sesak napas, batuk, dan
peningkatan suhu tubuh/ demam (Wahid & Suprapto, 2013).
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Data yang perlu dikaji pada pasien dengan bersihan jalan napas tidak efektif
(PPNI, 2016) adalah batuk tidak efektif pasien, ketidak mampu batuk pasien,
sputum berlebih yang dihasilkan pasien, adanya mengi, whezzing dan/atau ronkhi
kering, dyspnea, sulit bicara, ortopnea, gelisah atau tidaknya pasien, ada atau
tidaknya sianosis, kaji bunyi napas, frekuensi napas berubah, dan pola napas
berubah.
3. Riwayat Kesehatan Lalu
Penyakit apa saja yang pernah diderita.
4. Riwayat Kesehatan Gizi
Status gizi penderita Pneumonia dapat bervariasi. Semua pasien dengan status gizi
baik maupun buruk dapat beresiko, apabila terdapat beberapa faktor
predisposisinya. Pasien yang menderita Pneumonia sering mengalami keluhan
mual, muntah, dan nafsumakan menurun. Apabila kondisi ini berlanjut dan tidak
disertai dengan pemenuhan nutrisi yang mencukupi, maka akan dapat mengalami
penurunan berat badan sehingga status gizinya menjadi kurang.

14
5. Kondisi Lingkungan
Sering terjadi didaerah yang padat penduduknya dan lingkungan yang
kurang bersih.
2.2.1.2 Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Pemeriksaan fisik harus selalu dimulai dengan penilaian keadaan umum
yang mencakup, kesan keadaan sakit, termasuk fasies & posisi pasien,
kesadaran, kesan status gizi
a) Compos mentis : kesadaran baik
b) Apatis : perhatian kurang
c) Samnolen : kesadaran mengantuk
d) Stupor : kantuk yang dalam pasien dibangunkan dengan
rangsangan nyeri yang kuat
e) Soparokomatus : keadaan tidak ada respon verbal
f) Tidak ada respon sama sekali
b. Tanda-Tanda Vital
a) Tekanan darah : pasien normal memiliki riwayat tekanan
darah dengan tekanan systole > 120 dan diastole > 80 mmHg
b) Nadi : pasien normal memiliki 60-100 x/menit
c) Pernapasan : pasien normal berkisar 16-20 x/menit
d) Suhu tubuh : pada pasien normal berkisar 36,1-37 0C
c. Pemeriksaan Head To Toe
a) Pemeriksaan Kepala
1) Kepala : Pada umumnya bentuk kepala pada pasien normal simetris
2) Rambut : Pada umumnya tidak ada kelainan pada rambut pasien
3) Wajah : Biasanya pada wajah pasien normal nampak simetris
d) Pemeriksaan Integumen
1) Kulit : Biasanya pada klien yang kekurangan O2 kulit akan tampak pucat
dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit kan jelek.
2) Kuku : Biasanya pada pasien Pneumonia ini capilarry refill timenya <3
detik bila ditangani secara cepat dan baik
e) Pemeriksaan Dada

15
Pada inspeksi biasanya didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum,
sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi
pernafasan. Pada auskultasi biasanya terdengar bunyi nafas tambahan seperti
ronchi pada klien dengan peningkatan produksi sekret.
f) Pemeriksaan Abdomen
Pada klien Pneumonia apakah didapatkan distensi pada abdomen, terdapat
penurunan peristaltik usus, dan kadang-kadang perut klien terasa kembung
yang di akibatkan tekanan pada abdomen karena peradangan.
g) Pemeriksaan Genitalia
Biasanya klien Pneumonia kebersihan pada genitalianya cukup kurang karena
terbatasnya aktivitas. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten
dengan teknik steril.
j) Pemeriksaan Fisik B1-B6
1) Pernafasan (B1: Breathing)
Bentuk hidung, ada atau tidaknya sekret, PCH (Pernafasan Cuping
Hidung), kesimetrisan dada dan pernafasan, suara nafas dan
frekwensi nafas. Pengaturan pergerakan pernafasan akan
mengakibatkan adanya retraksi dada akibat kehilangan koordinasi
otot. Ekspansi dada menjadi terbatas karena posisi berbaring
akibatnya ventilas paru menurun sehingga dapat menimbulkan
atelektasis. Akumulasi sekret pada saluran pernafasan
mengakibatkan terjadinya penurunan efisiensi siliaris yang dapat
menyebabkan pembersihan jalan nafas yang tidak efektif.
Kelemahan pada otot pernafasan akan menimbulkan mekanisme
batuk tidak efektif.
2) Kardiovaskuler (B2:Blood)
Warna konjungtiva, terjadi peningkatan denyut nadi karena pengaruh
metabolik, endokrin dan mekanisme keadaaan yang menghasilkan
adrenergik serta selain itu peningkatan denyut jantung dapat
diakibatkan pada klien. Rasa pusing saat bangun bahkan dapat
terjadi pingsan, terdapat kelemahan otot. Ada tidaknya peningkatan
JVP (Jugular Vena Pressure), bunyi jantung serta pengukuran

16
tekanan darah. Pada daerah perifer ada tidaknya oedema dan warna
pucat atau sianosis.

3) Persyarafan (B3: Brain)


Mengkaji fungsi serebral, fungsi syaraf cranial, fungsi sensorik dan
motorik sertsa fungsi refleks.

4) Perkemihan (B4: Bladder)


Ada tidaknya pembengkakan dan nyeri daerah pinggang, palpasi
vesika urinaria untuk mengetahui penuh atau tidaknya, kaji alat
genitourinaria bagian luar ada tidaknya benjolan, lancar tidaknya
pada saat klien miksi serta warna urine. Pada klien sesak biasanya
untuk sementara waktu jangan dulu turun dari tempat tidur, dimana
hal ini dapat mengakibatkan klien harus BAK ditempat tidur
memaskai pispot sehingga hal ini menambah terjadinya susah BAK
karena klien tidak terbiasa dengan hal tersebut.
5) Pencernaan (B5: Bowel)
Pasien biasanya mual dan muntah dan menyebabkan pasien tidak
nafsu makan. Kadang disertai penurunan berat badan, distensi
abdomen, asites, feses warna pucat, anoreksia, regurgitasi berulang.
6) Tulang, otot dan integument (B6: Bone)
Derajat Range Of Motion pergerakan sendi dari kepala sampai
anggota gerak bawah, ketidaknyamanan atau nyeri ketika bergerak,
toleransi klien waktu bergerak dan observasi adanya luka, tonus otot
dan kekuatan otot. Ada tidaknya penurunan kekuatan, masa otot dan
atropi pada otot. Selain itu dapat juga ditemukan kontraktur dan
kekakuan pada persendian. Keadaan kulit, rambut dan kuku.
Pemeriksaan kulit meliputi tekstur, kelembaban, turgor, warna dan
fungsi perabaan. Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena
kelemahan, sesak yang membuat mudah lelah menyebabkan
masalah pada pola aktivitas dan istirahat. Penggunaan otot bantu
nafas yang lama pasien terlihat keletihan, sering didapatkan

17
intoleransi aktivitas dan gangguan pemenuhan ADL (Activity Day
Living).
2.2.1.2 Pengkajian Primer
a. Airway
Kaji kepatenan jalan nafas, apakah terdapat sekret dijalan nafas (sumbatan jalan
nafas) atau ada bunyi nafas tambahan.
b. Breathing
Kaji distress pernafasan : pernafasan cuping hidung, menggunakan otot-otot
asesoris pernafasan, pernafasan cuping hidung, kesulitan bernafas : lapar udara,
diaphoresis, dan sianosis, pernafasan cepat dan dangkal.
c. Circulation
Kaji heart rate, tekanan darah, kekuatan nadi, capillary refill, akral, suhu tubuh,
warna kulit, kelembaban kulit, perdarahan eksternal jika ada.
d. Dissability
Berisi pengkajian kesadaran dengan Glasgow Coma Scale (GCS), ukuran dan
reaksi pupil, pada kondisi yang berat dapat terjadi asidosis metabolic sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.
e. Exposure
Berisi pengkajian terhadap suhu serta adanya injury atau kelainan lain, kondisi
lingkungan yang ada disekitar pasien
2.2.2.2 Pengkajian Sekunder
K : Keluhan
O : Obat yang dikonsumsi terakhir
M : Makanan yang terakhir dimakan
P : Penyakit penyerta
A : Alergi
K : Kejadian
Lakukan pemeriksaan fisik dengan BTLS (Bentuk, Tumor, Luka, Sakit)
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosis Keperawatan yang mungkin muncul menurut SDKI,
kemungkinan masalah yang muncul adalah sebagai berikut :

18
2.2.2.1 Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan Spasme jalan
nafas (D.0001) Hal 18
2.2.2.2 Gangguan Pertukaran Gas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru
(D.0005. Halaman 26)
2.2.2.3 Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi alveoli (D.0130) Hal
28

19
2.2.2.4 Perfusi Perifer Tidak Efektif berhubungan dengan Ketidakseimbangan
ventilasi dan perfusi. (D.0009. Hal 37 )
2.2.2.5 Defisit Nutrisi berhubungan dengan mual/muntah. (D.0019. Hal 56 )
2.2.2.6 Risiko infeksi berhubungan dengan respon inflamasi tertekan. (D.0142.
Hal 304)

20
2.2.3 Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria Hasil) Intervensi
1. Bersihan jalan napas Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Napas (SIKI I.01011 Hal. 186)
tidak efektif keperawatan selama 1 × 4 Jam Observasi :
diharapkan Bersihan jalan napas 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
klien kembali membaik. Kondisi 2. Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling, mengi, whezzing,
klien membaik dengan kriteria ronkhi kering)
hasil : 3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
4. Monitor adanya produksi sputum
(SLKI L.01001 Hal 18)
5. Monitor adanya sumbatan jalan nafas
1. Batuk efektif meingkat (5)
6. Auskultasi bunyi nafas
2. Produksi sputum menurun (5) 7. Monitor saturasi oksigen
3. Wheezing (pada neonatus) 8. Monitor nilai AGD
menurun (5) 9. Monitor nilai x-ray toraks
4. Dispnea menurun (5) Terapeutik :
5. Ortopnea menurun (5) 1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift (jaw-
6. Dispnea menurun (5) thrust jika curiga trauma servikal)
7. Sulit bicara menurun (5) 2. Posisikan semi-Fowler atau Fowler
8. Sianosis menurun (5) 3. Berikan minum hangat
9. Ortopnea menurun (5) 4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
10. Gelisah menurun (5) 5. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
11. Frekuensi napas membaik (5)
7. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep Mcgill
12. Pola napas membaik (5)
8. Berikan oksigen, jika perlu
9. Lakukan pengisapan lendir lebih dari 15 detik
10. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien

21
Edukasi :
1. Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika tidak kontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu

Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria Hasil) Intervensi


2. Gangguan Pertukaran Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Napas (SIKI I.01011 Hal. 186)
Gas keperawatan selama 1 × 4 Jam Observasi :
diharapkan pertukaran gas klien 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
kembali membaik. Kondisi klien 2. Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling, mengi, whezzing,
membaik dengan kriteria hasil : ronkhi kering)
(SLKI L.01004 Hal 95) 3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
4. Monitor adanya produksi sputum
1. Ventilasi meningkat (5)
5. Monitor adanya sumbatan jalan nafas
2. Tekanan ekspirasi meningkat
6. Auskultasi bunyi nafas
(5) 7. Monitor saturasi oksigen
3. Tekanan inspirasi meningkat 8. Monitor nilai AGD
(5) 9. Monitor nilai x-ray toraks
4. Dispnea menurun (5) Terapeutik :
5. Penggunaan otot bantu napas 1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift (jaw-
menurun (5) thrust jika curiga trauma servikal)
6. Pemanjangan fasee ekspirasi 2. Posisikan semi-Fowler atau Fowler
menurun (5) 3. Berikan minum hangat
7. Frekuensi napas membaik (5) 4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
8. Kedalaman napas membaik (5) 5. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal

22
7. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep Mcgill
8. Berikan oksigen, jika perlu
9. Lakukan pengisapan lendir lebih dari 15 detik
10. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
Edukasi :
1. Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika tidak kontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu

Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria Hasil) Intervensi


3. Hipertermi Setelah dilakukan tindakan Manajemen Hipertermia (SIKI I.15506 Hal. 181)
keperawatan selama 1 × 4 Jam Observasi :
diharapkan Bersihan jalan napas 1. Identifikasi penyebab hipertermia (mis. Dehidrasi, terpapar lingkungan
klien kembali membaik. Kondisi panas, penggunaan inkubator)
klien membaik dengan kriteria 2. Monitor suhu tubuh
hasil : 3. Monitor kadar elektrolit
4. Monitor haluaran urine
(SLKI L.01001 Hal 18)
5. Monitor komplikasi akibat hipertermia
1. Batuk efektif meingkat (5)
Terapeutik :
2. Produksi sputum menurun (5) 1. Sediakan lingkungan yang dingin
3. Wheezing (pada neonatus) 2. Longgarkan atau lepaskan pakaian
menurun (5) 3. Basahi dan kipasi permukaan tubuh
4. Dispnea menurun (5) 4. Berikan cairan oral
5. Ortopnea menurun (5) 5. Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami hyperhidrosis
6. Dispnea menurun (5) (keringat berlebih)
7. Sulit bicara menurun (5) 6. Lakukan pendinginan eksternal (mis. Selimut hipotermia, atau kompres

23
8. Sianosis menurun (5) dingin pada dahi, leher, dada, abdomen, dada, aksila)
9. Ortopnea menurun (5) 7. Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
10. Gelisah menurun (5) 8. Berikan oksigen, jika perlu
11. Frekuensi napas membaik (5) Edukasi :
12. Pola napas membaik (5) 1. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian cairan dan elekrolit intravena, jika perlu

24
2.2.4 Implementasi
Implementasi keperawatan adalah tahap keempat yang merupakan tahap
pelaksanaan dari berbagai tindakan keperawatan yang telah direncanakan. Dalam
tahap implementasi keperawatan, petugas kesehatan harus sudah memahami
mengenai tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien. Suatu koordinasi dan
kerja sama sangatlah penting untuk dijaga dalam tahap implementasi keperawatan
sehingga ketika terjadi hal yang tidak terduga, maka petugas kesehatan akan
berkoordinasi dengan petugas kesehatan yang lainnya untuk saling bekerjasama
dalam pemecahan masalah. Tahap implementasi keperawatan dilakukan untuk
melaksanakan tindakan yang telah direncanakan guna membantu mengatasi
masalah yang dialami pasien (Prabowo, 2018).
2.2.5 Evaluasi
Tahap evaluasi keperawatan ini dapat menilai sejauh mana keberhasilan
yang dicapai dan seberapa besar kegagalan yang terjadi. Dari hasil evaluasi,
tenaga kesehatan dapat menilai pencapaian dari tujuan serta dari hasil evaluasi ini,
tenaga kesehatan akan menjadikan hasil evaluasi ini sebagai bahan koreksi dan
catatan untuk perbaikan tindakan yang harus dilakukan (Prabowo, 2018).
Evaluasi keperawatan disusun dengan menggunakan SOAP yang operasional,
seperti :
a. S (Subjektif) adalah ungkapan perasaan maupun keluhan yang
disampaikan pasien
b. O (Objektif) adalah pengamatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
melalui sikap ibu ketika dan setelah dilakukan tindakan keperawatan

c. A (Assesment) adalah analisa tenaga kesehatan setelah mengetahui respon


subjektif dan objektif yang dibandingkan dengan tujuan dan kriteria hasil
yang ada pada rencana keperawatan

d. P (Planning) adalah perencanaan untuk tindakan selanjutnya yang akan


dilakukan oleh tenaga kesehatan setelah melakukan analisa atau assesmen.

25
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Nama Mahasiswa : Ruly Ramadana
NIM : 2018.C.10a.0983
Ruang Praktek : Ruang ICU
Tanggal Praktek : 20 Oktober 2021
Tanggal & Jam Pengkajian : 20 Oktober 2021 & 09:00 WIB
3.1 Pengkajian Keperawatan
3.1.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : An. A
Umur : 55 Hari
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku/Bangsa : Dayak/Indonesia
Agama : Kristen
Pekerjaan :-
Pendidikan :-
Status Perkawinan :-
Alamat : Jl. Bangas Permai
Tgl MRS : 20/10/2021
Diagnosa Medis : Pnemonia ARDS
3.1.2 RIWAYAT KESEHATAN /PERAWATAN
1. Keluhan Utama :
Ibu Klien mengatakan anaknya nampak sesak nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
An. A umur 55 Hari dibawa oleh keluarga klien ke RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya dengan keluhan sejak pagi klien sesak napas
saat tersedak susu, Klien pada tanggal 20 Oktober 2021 dibawa ke
ruang ICU.

26
3. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Ibu klien mengatakan waktu lahir anaknya mengalami BBLR, ada
Riwayat tersedak susu
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga klien mengatakan bahwa klien tidak ada riwayat penyakit
keluarga seperti penyakit turunan jantung, DM, namun mempunyai
riwayat hipertensi

Genogram Keluarga :

Keterangan :
Pria : 
Wanita :
Meninggal :
Klien :
Garis keturunan :
Tinggal serumah :-----

3.1.3 Pemeriksaan Fisik


3.1.3.1 Keadaan Umum :
Klien tampak lemas, posisi klien supine, tampak terpasang Infus D5 ¼
NG 340cc/24 jam, Aminosteril 6% 160cc/24 jam klien.
3.1.3.2 Tanda-tanda Vital :
a. Suhu/T : 370C (Axilla)
b. Nadi/HR : 162x/mt
c. Pernapasan/RR : 50x/mt

27
d. Tekanan Darah/BP : 60/35mmHg
e. Kesadaran : GCS E 4 V 5 M 6 (Composmentis)

3.1.4 PERNAPASAN (BREATHING)


Bentuk dada pasien simetris, pasien tidak memiliki kebiasaan merokok,
pasien tidak batuk berdarah, terdapat sputum berwarna kuning, ada sianosis,
dispnea pasien tidak mengalami nyeri dada, namun klien mengalami sesak nafas
saat inspirasi, type pernafasan pasien dada dan perut, irama pernafasan tidak
teratur, terdengar suara nafas bronchial, tidak ada bunyi nafas tambahan, pasien
terpasang alat bantu nafas, pasien diberikan terapi oksigen O2 CPAP FiO2 100%,
SaO2 100%, RR : 50x/menit
Keluhan lainnya : Tidak ada keluhan lainnya
Masalah Keperawatan : Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif

3.1.5 CARDIOVASCULER (BLEEDING)


Pasien tidak mengalami nyeri dada, ada pucat, sianosis, tidak ada
pusing/sinkop, tidak ada sakit kepala, CRT > 2 detik, tidak terdapat oedema,
cordis tidak terlihat, vena jugularis tidak meningkat, irama jantung regular, suara
jantung normal, sirkulasi perifer buruk, terdapat penurunan Hb 9,7 mmHg.
Keluhan lainnya : Tidak ada keluhan lainnya
Masalah Keperawatan : Perfusi Perifer Tidak Efektif
3.1.6 PERSYARAFAN (BRAIN)
Nilai GCS :
 Nilai GCS : E : 4 (Spontan)
V : 5 (Mengoceh)
M : 6 (Spontan)
Total Nilai GCS : 15 (Composmentis)
Pupil isokor, reflex cahaya kanan/kiri positif, tidak ada nyeri.
Uji Syaraf Kranial :
1. Saraf kranial I (Olfaktorius) : Klien tidak dapat dikaji
2. Saraf kranial II (Optikus) : Klien tidak dapat dikaji
3. Saraf kranial III (Okulomotor) : Klien tidak dapat dikaji

28
4. Saraf kranial IV (Troklearis) : Klien tidak dapat dikaji
5. Saraf kranial V (Trigeminalis) : Klien tidak dapat dikaji
6. Saraf kranial VI (Abdusen) : Klien tidak dapat dikaji
7. Saraf kranial VII (Fasialis) : Klien tidak dapat dikaji.
8. Saraf kranial VIII (Auditorius) : Klien tidak dapat dikaji.
9. Saraf kranial IX (Glosofaringeus) : Klien tidak dapat dikaji
10. Saraf kranial X (Vagus) : Klien tidak dapat dikaji
11.Saraf kranial XI (Assesorius) : Klien tidak dapat dikaji
12.Saraf kranial XII (Hipoglosus) : Klien tidak dapat dikaji

Uji Koordinasi :
Ekstrimitas Atas : Positif
Ekstrimitas Bawah : Positif
Uji Kestabilan Tubuh : Negatif
Refleks :
Bisep : Klien tidak dapat dikaji
Trisep : Klien tidak dapat dikaji
Brakioradialis : Klien tidak dapat dikaji
Patella : Klien tidak dapat dikaji
Akhiles : Klien tidak dapat dikaji
Refleks Babinski : Klien tidak dapat dikaji
Refleks lainnya : Klien tidak dapat dikaji
Uji sensasi : Pasien merespon ketika diberikan sensasi
sentuh
Keluhan lainnya : Tidak ada keluhan lainnya
Masalah Keperawatan : Tidak Ada Masalah

3.1.7 ELIMINASI URI (BLADDER) :


Produksi Urine : 280 cc/24jam
Warna : Kuning
Bau : Anomiak
Tidak ada masalah/lancer, oliguria, tidak poliuri, terpasang kateter.
Keluhan Lainnya : Tidak ada keluhan lainnya
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan

29
3.1.8 ELIMINASI ALVI (BOWEL) :
Mulut dan Faring
Mulut dan Faring
Bibir : Bibir tampak kering
Gigi : Gigi pasien belum tumbuh
Gusi : Gusi klien merah gelap
Lidah : Lidah nampak kemerahan
Mukosa : Lembab dan bewarna merah muda
Tonsil : Tidak dapat dikaji
Rectum : Tidak dapat dikaji
Haemoroid : Tidak dapat dikaji
BAB/Warna : Tidak dapat dikaji
Bising usus : ...................................................................................................Tidak dik
Nyeri tekan, lokasi : Tidak ada nyeri tekan
Benjolan, lokasi : Tidak terdapat benjolan
Terpasang selang OGT
Nutirisi :
Nutiris Neonatus :
PB : 51 Cm
BB sekarang : 5 Kg
BB Sebelum sakit : 5 Kg (2x0,2)+5= 5,4 ( Baik)
Diet : Klien diberikan diet puasa, tidak ada mual muntah. Kesukaran
menelan.
Pola Makan Sehari- Sesudah Sakit Sebelum Sakit
hari
Frekuensi/hari - -

Porsi - -

Nafsu makan - -

Jenis Makanan - -

Jenis Minuman - -

Jumlah minuman/cc/24 500 cc/24jam 500 cc/24jam


jam

30
Kebiasaan makan - -

Keluhan/masalah - -

Keluhan lainnya : Tidak ada keluhan lainnya


Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan

3.1.9 TULANG - OTOT – INTEGUMEN (BONE) :


Kemampuan pergerakan sendi pasien bebas, tidak ada parese, tidak ada
paralise, tidak ada hemiparese, tidak ada krepitasi, tidak ada nyeri, tidak terdapat
bengkak, tidak kekakuan, flasiditas tidak ada, tidak ada spastisitas, ukuran otot
simetris, uji kekuatan otot ekstrimitas 5/5 ekstrimitas bawah 5/5, tidak ada
deformitas tulang, tidak ada peradangan, tidak terdapat perlukaan, tidak
mengalami patah tulang, tulang belakang normal.
Keluhan lainnya : Tidak ada keluhan lainnya
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
3.1.10 KULIT-KULIT RAMBUT
Pasien tidak mempunyai riwayat alergi, suhu kulit hangat, warna kulit
sianosis, turgor cukup, tekstur kulit halus, tidak ada lesi, tidak terdapat macula,
pustule, nobula, vesikula, papula dan ulkus, Jaringan parut tidak ada, tekstur
rambut agak halus, distribusi rambut cukup merata, bentuk kuku simetris.
Keluhan lainnya :
Masalah Keperawatan :

3.1.11 SISTEM PENGINDERAAN :


Fungsi penglihatan normal, bola mata bergerak normal, visus mata kanan
dan mata kiri normal 5/5, selera normal/putih, kornea bening dan konjungtiva
anemis. Pasien tidak memakai kecamata dan tidak keluhan nyeri pada mata, fungsi
pendengaran baik, penciuman normal, hidung simetris, tidak ada lesi, tidak ada
perdarahan pada hidung, dan tidak ada polip.
Keluhan lainnya : Tidak ada keluhan
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan

31
3.1.12 LEHER DAN KELENJAR LIMFE
Massa tidak ada, jaringan parut tidak ada, kelenjar limfe tidak ada, kelenjar
tyroid tidak ada, mobilitas leher bebas tidak terbatas.
Keluhan lainnya : Tidak ada keluhan
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan

3.1.13 SISTEM REPRODUKSI


Reproduksi Pria, tidak ada kemerahan, tidak ada gatal, tidak ada
perdarahan, kebersihan baik, gland penis baik, meatus uretra baik, tidak ada
discharge, srotum baik, tidak ada hernia tidak ada keluhan lain.
Keluhan lainnya : Tidak ada keluhan
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan

3.1.14 PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL


1. Persepsi Terhadap Kesehatan dan Penyakit :
Keluarga pasien mengatakan ‘‘Semoga anak saya segera sembuh“
2. Ekspresi keluarga Pasein Terhadap Penyakit : muruh/gelisah
3. Reaski Interaksi : koorperatif
4. Gangguan Konsep Diri : -
5. Kognitif : Keluarga sudah mengetahui penyakitnya setelah diberikan
penjelasan dari dokter dan tenaga medis lainnya
6. Aktivitas sehari-hari :
Keluarga mengatakan sebelum sakit pasien dapat beraktivitas seperti
bayi pada umumnya
Keluhan lainnya : Tidak ada keluhan
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah

3.1.15 SOSIAL - SPIRITUAL


1. Kemampuan berkomunikasi
Pasien masih belum dapat berbicara
2. Bahasa sehari-hari
Pasien masih belum dapat berbicara

32
3. Hubungan dengan keluarga :
Baik, ditandai dengan perhatian yang diberikan oleh keluarga saat
An.A di rawat di ruang ICU terlihat keluarga selalu menjenguk
4. Hubungan dengan teman/petugas kesehatan/orang lain :
Pasien tidak dapat berinteraksi dengan orang lain, lingkungannya
sekitar, hanya merespon Ketika diberikan rangsangan oleh perawat
maupun dokter.
5. Orang berarti/terdekat :
Menurut keluarga pasien orang yang terdekat dengannya adalah Ibu
dan Ayahnya
6. Kegiatan beribadah : -
Keluhan lainnya : Tidak ada keluhan
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
Hasil laboratorium
Tanggal 20 Oktober 2021
No Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
1. WBC 16. 37(103/uL) 4.50 - 11.00
2. HGB 9,7 g/dL 10.5 - 18.0
3. HCT 29,5 % 37.0 - 48.0
4. PLT 255 (103/uL) 150 - 400
5. pH 7,31 7,38-7,42
6. pCO2 51 38-42
7. pO2 34 80-100
8. SO2 59 95-97

PENATALAKSANAAN MEDIS
No Terapi Medis Dosis Rute Indikasi
.
1. Infus D5 ¼ NG 340 IV Digunakan sebagai terapi
pengganti cairan tubuh saat
cc/24jam
mengalami dehidrasi.
2. Infus Aminosteril 6% 160 IV Merupakan salah satu larutan
steril berisi nutrisi parenteral
cc/24jam
(diberikan bukan melalui
mulut tetapi melewati
pembuluh darah) yaitu Asam
amino yang digunakan untuk
pada pasien penyakit hati
kronis dengan gangguan

33
ensefalopati hepatik
3. Inj. Cefotaxim 2x250mg IV Cefotaxim adalah obat antibiotik
untuk mengobati berbagai macam
penyakit infeksi bakteri. Beberapa
penyakit infeksi yang bisa diatasi
oleh obat ini adalah pneumonia
4. Inj. Gentamisin 1 x 25 mg IV Untuk mengatasi infeksi akibat
bakteri. Obat ini tersedia dalam
bentuk injeksi, infus, tetes
(tincture), krim, dan salep
5. Inj. Dexamethasone 1x2mg IV Obat antiradang yang digunakan
pada berbagai kondisi peradangan,
seperti reaksi alergi, penyakit
autoimun, atau radang sendi.
Selain itu, obat ini bisa
dikombinasikan dengan obat lain
untuk menangani multiple
myeloma
6. O2 CPAP FiO2 100% Terapi oksigen pada pasien
dengan kebutuhan oksigen
rendah

ANALISIS DATA
DATA SUBYEKTIF DAN KEMUNGKINAN MASALAH
DATA OBYEKTIF PENYEBAB
DS : - Inflamasi bakteri dan Bersihan Jalan Nafas
DO : virus Tidak Efektif
- Pasien tampak sesak nafas
- Sputum (+), bewarna Peningkatan produksi
kuning sputum
- Type pernafasan dada dan
perut Akumulasi jalan napas
- Irama pernafasan tidak terhambat

34
teratur
- Dispnea Jalan napas terhambat
- Bentuk dada klien tampak secret
simetris
- TTV : Bersihan jalan napas
Td : 60/35 mmHg,
N : 162x/menit
RR : 50x/menit
S : 370C
DS : - Penumpukan cairan di Gangguan Pertukaran
DO: alveoli
Gas
- RR : 50x/menit
- Dipsnea G3 metabolisme
- Tubuh tampak pucat perubahan asam basa
- Tampak sianosis
- Frekuensi denyut jantung Asidosis respiratorik
162x/menit
- Gerakan dinding dada G3 perfusi ventilasi
tidak teraba
- Pada saat auskultasi Suara Gangguan pertukaran
nafas terdengar lemah gas
- Hasil AGD :
o pH: 7,31 , pCO2 : 51
mmHg , pO2 : 34 mmHg,
sO2 : 59 mmHg.

DS : - Proses inflamasi Perfusi Perifer Tidak


DO : Efektif
- Kulit nampak pucat Penumpukan sekret
- Nampak sianosis
- Kulit teraba hangat Suplai o2 dalam darah
- HB : 9,7 menurun
- Nadi : 162 x/mnt
- TD : 60/35 mmHg Perfusi Perifer Tidak
Efektif

3.2 PRIORITAS MASALAH


1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan Sekresi yang tertahan
ditandai dengan pasien tampak sesak nafas, sputum (+) berwarna kuning
kehijauan, tiype pernapasan dada dan perut, irama pernapasan tidak teratur,
dispnea Bentuk dada klien nampak simetris TTV : Td : 60/35 mmHg, N :
162x/menit, RR : 50x/menit, S : 370C.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan pengumpulan sekret ditandai

35
dengan RR : 50x/mnt, Dipsnea, tubuh tampak pucat, tampak sianosis,
frekuensi denyut jantung 162x/mnt, gerakan dinding dada tidak teraba, pada
saat aukultasi suara nafas terdengar lemah, hasil AGD : pH 7,31, pCO2 51,
pO2 34, sO2 59.
3. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi
ditandai dengan kulit nampak pucat, nampak sianosis, kulit teraba hangat,
HB: 9,7, Nadi: 162 x/mnt, TD: 60/35 mmHg.

36
3.3 Intervensi Keperawatan
Nama Pasien : An. A
Ruang Rawat : Ruang ICU
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1. Bersihan jalan nafas tidak Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor pola nafas (frekuensi, 1. Untuk mengetahui indikasi
keperawatan selama 1 × 4 kedalaman, usaha nafas) adanya perubahan kedalaman
efektif berhubungan dengan
Jam diharapkan Bersihan 2. Monitor bunyi nafas tambahan 2. Mengetahui apakah ada bunyi
Sekresi yang tertahan ditandai jalan napas klien kembali (mis. Gurgling, mengi, whezzing, nafas tambahan
membaik. Kondisi klien ronki)
dengan pasien tampak sesak
membaik dengan kriteria 3. Monitor sputum (jumlah, warna, 3. Mengetahui karakteristik
nafas, sputum (+) berwarna hasil : aroma) sputum
1. Produksi sputum
kuning kehijauan, tiype 4. Posisikan semi-Fowler atau 4. Membantu pasien merasa
menurun (5)
pernapasan dada dan perut, 2. Dispnea menurun (5) Fowler nyaman pada saat pernafasan
3. Gelisah menurun (5) 5. Berikan oksigen, jika perlu 5. Agar kadar oksigen dalam
irama pernapasan tidak teratur,
4. Frekuensi napas membaik tubuh tercukupi sehingga
dispnea Bentuk dada klien (5) fungsi organ dapat berjalan
5. Pola napas membaik (5) lancar
nampak simetris TTV : Td :
6. Lakukan penghisapan lendir 6. Membantu memperlancar
60/35 mmHg, N : 162x/menit, selama 15 detik jalan nafas pasien
RR : 50x/menit, S : 370C. 7. Kolaborasi pemberian 7. Mengencerkan secret
bronkodilator, ekspektoral,
mukolitik, jika perlu

37
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
2. Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan Intervensi 1. Monitor frekuensi , irama, 1. Untuk mengetahui indikasi
1x4 Jam pertukaran gas kedalaman, dan upaya napas adanya perubahan napas
berhubungan dengan
membaik, dengan kriteria 2. Monitor pola napas (mis. 2. Mengetahui apakah ada bunyi
pengumpulan sekret ditandai hasil : Bradypnea, takipnea, napas tambahan
dengan RR : 50x/mnt, Dipsnea, hiperventilasi, kussmaul,
1. Dispnea menurun (5) Cheyne-stokes, biot, ataksik)
tubuh tampak pucat, tampak 2. Bunyi napas 3. Monitor adanya sputum 3. Mengetahui adanya sputum
tambahan menurun
sianosis, frekuensi denyut
(5)
jantung 162x/mnt, gerakan 3. Napas cuping hidung 4. Monitor nilai AGD 4. Mengetahui tingkat kadar
menurun (5) oksigen
dinding dada tidak teraba, pada
4. PCO2 membaik (5) 5. Bersihkan secret pada mulut, 5. Untuk menghilangkan secret
saat aukultasi suara nafas 5. PO2 membaik (5) hidung, dan trakea, jika perlu yang menghalangi
6. Takikardi membaik 6. Berikan oksigen tambahan, jika 6. Membuat menambah suplai o2
terdengar lemah, hasil AGD :
(5) perlu
pH 7,31, pCO2 51, pO2 34, 7. pH arteri membaik 7. Kolaborasi penentuan dosis 7. Bekerja sama dalam pemberian
(5) oksigen o2
sO2 59.
8. Sianosis membaik
(5)

38
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
3. Perfusi perifer tidak efektif Setelah dilakukan Intervensi 1. Perikasa sirkulasi perifer 1. Untuk mengetahui sirkulasi
1x4 Jam maka perfusi perifer
berhubungan dengan
membaik, dengan kriteria
ketidakseimbangan ventilasi hasil : 2. Monitor suhu badan 2. Untuk mengetahui suhu badan
ditandai dengan kulit nampak
1. Denyut nadi menurun (5) 3. Lakukan pencegahan infeksi 3. Mengurangi resiko infeksi.
pucat, nampak sianosis, kulit 2. Warna kulit pucat
menurun (5) 4. Lakukan hidrasi 4. Membantu dalam proses
teraba hangat, HB: 9,7, Nadi:
3. Hb membaik (5) pemulihan
162 x/mnt, TD: 60/35 mmHg. 4. Suhu kulit membaik (5)
5. Tekstur membaik (5) 5. Anjurkan menghindari obat 5. Menghindari adanya gangguan
penyekat beta pada ritme jantung

6. Kolaborasi dengan ahli gizi 6. Untuk memperbaiki sirkulasi


untuk pemberian diet

39
3.4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN
Nama Pasien : An. A
Ruang Rawat : Ruang ICU
Hari/Tanggal Implementasi Evaluasi ( SOAP ) Tanda tangan dan
Nama Perawat
Kamis, 20 Oktober Diagnosa 1 S:-
09:00 WIB 1. Memonitor pola nafas (frekuensi, O:
Bersihan Jalan Nafas kedalamman, usaha nafas) - Pasien masih tampak sesak nafas
Tidak Efektif 2. Memonitor bunyi nafas tambahan - Terdengar bunyi nafas sangat
3. Memonitor sputum (jumlah, warna) lemah
4. Memposisikan klien supinasi - Type pernafasan dada dan perut
5. Memberikan oksigen - Irama pernafasan tidak teratur
6. Melakukan penghisapan lendir - Bentuk dada klien simetris RULY RAMADANA
selama15 detik - Sputum (+) berwarna kuning
- Pasien diberikan posisi supinasi
- Klien diberikan CPAP FiO2 100%
- Dilakukan penghisapan lendir 15
detik
- TTV :
Td 60/35 mmHg, N : 160xmenit,
RR : 50xmenit, S : 370C

A : Masalah Bersihan teratasi sebagian


P : Lanjutkan intervensi
1, 2, 3, 6 & 7

Hari/Tanggal Implementasi Evaluasi ( SOAP ) Tanda tangan dan

40
Nama Perawat
Kamis, 20 Oktober Diagnosa 2 S:-
09:00 WIB 1. Memonitor frekuensi , irama, O:
Gangguan pertukaran kedalaman, dan upaya napas - Klien nampak masih sesak
gas 2. Memonitor pola napas (mis. - Klien nampak dispnea
Bradypnea, takipnea, hiperventilasi, - Pemeriksaan AGD menunjukan
kussmaul, Cheyne-stokes, biot, pH 7,31, pCO2 51, pO2 34, sO2
ataksik) 59. RULY RAMADANA
3. Memonitor nilai AGD - Klien di berikan CPAP FiO2 100%
4. Memberikan oksigen tambahan, jika A : Masalah gangguan pertukaran gas
perlu teratasi sebagian
5. Berkolaborasi penentuan dosis P : Lanjutkan intervensi
oksigen 2, 3, 4 & 5
Hari/Tanggal Implementasi Evaluasi ( SOAP ) Tanda tangan dan
Nama Perawat
Kamis, 20 Oktober Diagnosa 3 S:-
09:00 WIB 1. Memerikasa sirkulasi perifer O:
Perfusi perifer tidak 2. Memonitor suhu badan - Warna tubuh klien nampak kebiruan
efektif 3. Melakukan hidrasi dengan nadi 162 x/mnt, Hb 7,31
4. Menganjurkan menghindari obat - Suhu badan klien 370C
penyekat beta - Klien di berikan infus D5 ¼ dan
5. Berkolaborasi dengan ahli gizi Aminosteril RULY RAMADANA
untuk pemberian diet - Ibu klien nampak memperhatikan
pemaparan yang di berikan

- Klien di berikan diet puasa

A : Masalah perfusi perifer teratasi

41
sebagian
P : Lanjutkan intervensi
1, 2, 5, & 6

CATATAN PERKEMBANGAN

42
Hari/Tanggal Implementasi Evaluasi ( SOAP ) Tanda tangan dan
Nama Perawat
Kamis, 23 Oktober Diagnosa 1 S:-
09:00 WIB 1. Memonitor pola nafas (frekuensi, O:
Bersihan Jalan Nafas kedalamman, usaha nafas) - Sesak nafas sudah mulai menurun
Tidak Efektif 2. Memonitor bunyi nafas tambahan - Tidak terdengar bunyi nafas
3. Memonitor sputum (jumlah, warna) sangat lemah
4. Memposisikan klien supinasi - Type pernafasan dada dan perut
5. Memberikan oksigen - Irama pernafasan tidak teratur
6. Melakukan penghisapan lendir - Bentuk dada klien simetris RULY RAMADANA
selama15 detik - Sputum (+) berwarna kuning
- Pasien diberikan posisi supinasi
- Klien diberikan CPAP FiO2 100%
- Dilakukan penghisapan lendir 15
detik
- TTV :
Td 60/35 mmHg, N : 150xmenit,
RR : 45xmenit, S : 36,50C

A : Masalah Bersihan teratasi sebagian


P : Lanjutkan intervensi
1, 2, 3, 6

Hari/Tanggal Implementasi Evaluasi ( SOAP ) Tanda tangan dan


Nama Perawat

43
Kamis, 23 Oktober Diagnosa 2 S:-
09:00 WIB 1. Memonitor frekuensi , irama, O:
Gangguan pertukaran kedalaman, dan upaya napas - Sesak nafas sudah mulai menurun
gas 2. Memonitor pola napas (mis. - Pemeriksaan AGD menunjukan
Bradypnea, takipnea, hiperventilasi, pH 7,31, pCO2 51, pO2 34, sO2
kussmaul, Cheyne-stokes, biot, 59.
ataksik) - Klien di berikan CPAP FiO2 100% RULY RAMADANA
3. Memonitor nilai AGD A : Masalah gangguan pertukaran gas
4. Memberikan oksigen tambahan, jika teratasi sebagian
perlu P : Lanjutkan intervensi
5. Berkolaborasi penentuan dosis 2, 3, 4 & 5
oksigen
Hari/Tanggal Implementasi Evaluasi ( SOAP ) Tanda tangan dan
Nama Perawat
Kamis, 20 Oktober Diagnosa 3 S:-
09:00 WIB 1. Memerikasa sirkulasi perifer O:
Perfusi perifer tidak 2. Memonitor suhu badan - Warna tubuh klien nampak kebiruan
efektif 3. Melakukan hidrasi dengan nadi 162 x/mnt
4. Menganjurkan menghindari obat - Suhu badan klien 370C
penyekat beta - Klien di berikan infus D5 ¼ dan
5. Berkolaborasi dengan ahli gizi Aminosteril RULY RAMADANA
untuk pemberian diet - Ibu klien nampak memperhatikan
pemaparan yang di berikan

- Klien di berikan diet puasa

A : Masalah perfusi perifer teratasi


sebagian

44
P : Lanjutkan intervensi
1, 2, 5, & 6

45
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Setelah dilakukan studi kasus pada An. A dengan Pneumonia ARDS di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya dapat disimpulkan beberapa hal
diantaranya :
Pada pengkajian klien dengan Sesak napas, kita harus cermat dalam
pengumpulan data yaitu dengan mengetahui keluhan utama yang normal, riwayat
kesehatan yang lalu dan sekarang, pemeriksaan fisik dan pola kehidupan sehari-
hari klien. Diagnosa yang muncul ditentukan dari kondisi klien dan patofisiologi
penyakit klien.Untuk menentukan prioritas diperlukan pengetahuan perawat
mengenai kondisi klien yang ada di lapangan, dengan mendahulukan kebutuhan/
keadaan yang mendesak untuk diselesaikan/diatasi yang mungkin dapat
membahayakan klien. Pada rencana tindakan tidak semua diterpkan dalam
implemntasi secara ideal, tetapi dissuaikan dengan situasi kondisi dan fasilitas
ruangan. Evaluasi secara umum terhadap klien setelah dilakukan tindakan
keperawatan masalah teratasi dan masalah teratasi sebagian. Hal ini terjadi karena
keterbatasan dalam waktu. Keberhasilan tujuan dapat dicapai dalam asuhan
keperawatan yang diberikan pada An. A jika melibatkan peran klien, keluarga dan
tim kesehatan lain.
Asuhan keperawatan medis pada An. A dengan penyakit Pneumonia
ARDS dalam pemberian asuhan keperawatan disesuaikan dengan standar
keperawatan dalam pelaksanaan intervensi dan implementasi.
4.2 Saran
Dalam melakukan perawatan perawat harus mampu mengetahui kondisi
klien secara keseluruhan sehingga intervensi yang diberikan bermanfaat untuk
kemampuan fungsional pasien, perawat harus mampu berkolaborasi dengan tim
kesehatan lain dan keluarga untuk mendukung adanya proses keperawatan serta
dalam pemberian asuhan keperawatan diperlukan .

80
46
DAFTAR PUSTAKA

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi Dan Indikator Diagnostik. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Dinas Kesehatan. 2016. Pneumonia: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor


Risiko Penularan. Profil Kesehatan Kota Samarinda : Kalimantan Timur.
Rahayu, Y., dkk. 2017. Analisa Partisipasi Kader Jumantik Dalam Upaya
Penanggulangan Pneumonia Di Wilayah Kerja Puskesmas Indralaya.
Puskesmas Cempaka : Lampung Utara.
Soedarto. (2012). Pneumonia. Jakarta : Sagung Seto.
Susilaningrum, R. (2013). Asuhan Keperawtan Bayi dan Anak untu Perawat dan
Bidan Edisi 2. Jakarta : Salema Medika.
Yuliastati ,dkk. 2016. Modul bahan ajar : Keperawatan anak. Jakarta selatan.
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu
keperawatan. Jakarta: salemba Medika.
World Health Organization (WHO). 2015. Pneumonia. Http://www.who.int/
csr/disease/bacteria/impact/en/. diakses 25 November 2018.

47
Indonesian Jurnal of Health Development Vol.2 No.2, September 2020

Bidang ilmu : Keperawatan

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DEWASA DENGAN


PNEUMONIA : STUDY KASUS

Rizka Lahmudin Abdjul1), Santi Herlina2)


Program Studi Diploma Tiga Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta
rizkalahmudinabdjul@gmail.com1), santiherlina@upnvj.ac.id2)

ABSTRAK

Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi yang mengenai saluran pernapasan bawah
ditandai dengan batuk dan sesak napas, hal ini diakibatkan oleh adanya agen infeksius
seperti virus, bakteri, mycoplasma (fungi), dan aspirasi substansi asing yang berupa eksudat
(cairan) dan konsolidasi (bercak berawan) pada paru-paru. Pneumonia merupakan salah satu
penyakit menular yang memiliki tingkat kematian tinggi baik dialami kelompok lansia atau
anak-anak. Untuk itu, kasus ini menarik untuk dibahas agar dapat meningkatkan
pengetahuan masyarakat dan menjadi pedoman dalam pencegahan penyakit tersebut.
Metode dalam penerapan kasus tersebut berupa metode wawancara dan observasi. Selain
itu, hal tersebut didukung pula dengan metode studi dokumentasi dan studi kepustakaan
dalam membandingkan dengan literature atau jurnal terbaru. Hasil : manifestasi yang timbul
pada kasus pneumonia didapatkan semua sesuai dengan literature buku dan data yang ada
dilapangan, selain itu penentuan diagnose keperawatan juga disesuaikan dengan literature
yang didapat. Selain itu, penentuan perencanaan yang diberikan pada klien dengan
pneumonia berupa pemberian oksigen, pemberian terapi nebulizer, dan kolaborasi
pemberian antibiotic.

Kata Kunci : Dewasa, Keperawatan, Pneumonia, Sesak Napas

ABSTRACT

Pneumonia is an infectious disease that affects the lower respiratory tract characterized by
coughing and shortness of breath, this is caused by the presence of infectious agents such as
viruses, bacteria, mycoplasma (fungi), and aspirations of foreign substances in the form of exudate
(liquid) and consolidation (cloudy spots) ) in the lungs. Pneumonia is a contagious disease that has
a high mortality rate either experienced by the elderly group or children. For this reason, this case
is interesting to discuss in order to increase public knowledge and become a guide in preventing
the disease. The method in applying the case is in the form of interview and observation. In
addition, this is also supported by the method of documentation study and literature study in
comparing with reliable literature or journals. Result: all manifestations arising in pneumonia
cases were found in accordance with the literature books and field data, besides the determination
of nursing diagnoses are also adjusted to the literature obtained. In addition, the determination of
planning given to clients with pneumonia is in the form of oxygen administration, nebulizer
therapy, and collaboration with antibiotics.

Keywords: Adult; Nursing; Pneumonia; Shortness of Breath

48
Indonesian Jurnal of Health Development Vol.2 No.2, September 2020

Alamat korespondensi : Jl. Masjid Bendungan No. 9A Rt 01/07, Cawang, Kramat Jati, Jakarta Timur,
DKI Jakarta, 13630 Email : rizkalahmudinabdjul@gmail.com

Nomor HP 0895636709211

PENDAHULUAN
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi yang mengenai saluran pernapasan bawah
dengan tanda dan gejala seperti batuk dan sesak napas. Hal ini diakibatkan oleh adanya agen
infeksius seperti virus, bakteri, mycoplasma (fungi), dan aspirasi substansi asing yang
berupa eksudat (cairan) dan konsolidasi (bercak berawan) pada paru-paru (Khasanah, 2017).
Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai jaringan (paru-paru) tepatnya di
alveoli yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme seperti virus, bakteri, jamur,
maupun mikroorganisme lainnya (Kemenkes RI, 2019).
Menurut Riskesdas 2013 dan 2018, Prevalensi pengidap pneumonia berdasarkan diagnosis
tenaga kesehatan (nakes) di Indonesia tahun 2013 mencapai 1,6 %, sedangkan pada tahun
2018 meningkat menjadi 2.0 % (Riskesdas, 2018). Jadi sedari tahun 2013 dan 2018 penyakit
pneumonia mengalami peningkatan sebanyak 0,4 % seperti yang dijelaskan pada data
diatas. Selain itu, pneumonia merupakan salah satu dari 10 besar penyakit rawat inap di
rumah sakit, dengan proporsi kasus 53,95% laki-laki dan 46,05% perempuan. Lalu, menurut
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2014) Pneumonia merupakan penyakit yang memiliki
tingak crude fatality rate (CFR) yang tinggi, yaitu sekitar 7,6%. Berdasarkan data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi pneumonia pada usia lanjut mencapai 15,5%
(Kementerian Kesehatan RI, 2013). Dalam penelitian Arjanardi, tanda dan gejala yang
umum terjadi pada pasien pneumonia komunitas dewasa berupa sesak napas (60,93%),
batuk (54,88%), demam (48,37%) (Ranny, 2016).
Data kasus Pneumonia di RSUD Pasar Minggu pada tahun 2019 mencapai 266 kasus. Selain
itu, kasus pneumonia dapat saja berubah menjadi kasus Tuberculosis jika tidak mendapatkan
perawatan medis dengan tepat. Oleh karena itu, banyak pasien yang masuk dengan diagnose
medis pneumonia dan ditemukan perubahan dalam pemeriksaan bahwa terdapat beberapa
yang positif Tuberculosis selama dirawat di rumah sakit. World Health Organization
(WHO) juga melaporkan 15 negara berkembang dengan jumlah kematian terbanyak akibat
pneumonia berasal dari Negara India sebanyak 158.176, diikuti Nigeria diurutan kedua
sebanyak 140.520 dan Pakistan diurutan ketiga sebanyak 62.782 kematian. Indonesia berada
diurutan ketujuh dengan total 20.084 kematian (Indah, 2019).
Pneumonia merupakan penyakit menular melalui udara, sehingga dapat menjadi suatu
ancaman yang harus diperhatikan oleh kesehatan dunia. Salah satu kelompok berisiko tinggi
untuk pneumonia komunitas adalah usia lanjut dengan usia 65 tahun atau lebih. Pada usia
lanjut dengan pneumonia komunitas memiliki derajat keparahan penyakit yang tinggi,
bahkan dapat mengakibatkan kematian (Ranny, 2016). Selain itu, Data dari profil kesehatan
Indonesia (2017) menunjukkan jumlah temuan kasus pneumonia pada balita adalah 46,34%
dengan total 447.431 kasus.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa prevalensi pneumonia tiap tahunnya
selalu meningkat dan dibuktikan bahwa penderita terbanyak dialami oleh laki- laki
dibandingkan dengan perempuan. Selain itu, factor usia menjadi salah satu factor resiko
terjadinya peningkatan angka kejadian dan kematian akibat pneumonia di Indonesia maupun
di dunia terutama pada lansia dan anak-anak.
Pada penyakit pneumonia, dapat terjadi komplikasi seperti dehidrasi, bacteremia (sepsis),
abses paru, efusi pleura, dan kesulitan bernapas (Khasanah, 2017). Peran perawat dalam
melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan pneumonia meliputi usaha promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitative. Dalam usaha promotif berupa memotivasi klien untuk
melakukan olahraga atau bergerak secara teratur, menjaga pola makan, menghindari asap
49
Indonesian Jurnal of Health Development Vol.2 No.2, September 2020

rokok, dan menjaga diri agar tetap sehat. Selain itu, usaha preventif dilakukan dengan cara
memberikan pendidikan kesehatan mengenai pengertian pneumonia, penyebab pneumina,
tanda dan gejala pneumonia, serta komplikasi pneumonia. Dari segi usaha kuratif, dengan
cara melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat-obatan seperti halnya
inhalasi combivent dan injeksi ceftriaxone. Sedangkan dalam usaha rehabilitative, perawat
menganjurkan untuk melakukan rehabilitasi fisik atau pengistirahatan sejenak untuk
memaksimalkan proses penyembuhan dan membiasakan untuk menjalani pola hidup yang
baik dan sehat.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dengan menggunakan metode wawancara, observasi,
studi dokumentasi, dan studi kepustakaan. Waktu yang digunakan penulisan selama 03
Maret sampai 6 Maret 2020 dalam menyusun Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dewasa
Dengan Pneumonia. Data yang diperoleh didapatkan dari hasil wawancara dengan klien
dan pihak keluarga, observasi dengan pengamatan yang dilakukan secara langsung, studi
dokumentasi dengan melihat catatan medis baik hasil laboratorium, dokter, perawat maupun
tim kesehatan lainnya. Serta studi kepustakaan dengan berpedoman pada literature yang
didapatkan baik dari buku maupun jurnal penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengkajian merupakan suatu teknik pengumpulan data dalam melaksanakan sebuah asuhan
keperawatan pada klien Tn. M dengan Pneumonia. Penulis mendapatkan data melalui
sebuah wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, dan catatan medis.
Menurut Ranny (2016), biasanya pasien dengan pneumonia terjadi pada usia rentan yaitu
usia dini (anak-anak/balita) dan usia lanjut. Pneumonia disebabkan oleh beberapa factor
berupa infeksi (virus, bakteri, fungi, mikroplasma, dan protozoa), alergi, paparan radiasi,
dan gaya hidup. Penyebab yang terjadi pada klien Tn. M berasal dari factor usia dan gaya
hidup yang tidak baik. Bisa dilihat dari penjelasan diatas, virus ini akan masuk ke tubuh
seseorang yang memiliki system imun rendah sama halnya pada anak-anak atau lanjut usia.
Jika virus ini sudah masuk ke tubuh seseorang, maka respon tubuh akan ditandai dengan
adanya batuk berdahak, sesak napas, demam, berkeringat dingin, nafsu makan berkurang,
dan disertai mual.
Klasifikasi pneumonia menurut Nugraheni, Ambar Yunita (2018) menyebutkan bahwa
pneumonia dibagi berdasarkan lingkungan dan anatomi. Pneumonia berdasarkan lingkungan
berupa pneumonia komunitas, pneumonia nosocomial/ Rumah Sakit, dan pneumonia
ventilator . Selain itu, pneumonia berdasarkan anatomi berupa pneumonia lobaris,
pneumonia lobularis, dan pneumonia interstisial. Pada klien Tn. M dengan pneumonia
diklasifikasikan pada pneumonia lobularis, hal ini diakibatkan adanya sumbatan pada
bronkus yang dapat ditandai dengan pola hidup klien yang tidak sehat seperti merokok.
Pada saat pengkajian kasus Tn. M didapatkan tanda dan gejala berupa demam menggigil
keringat dingin pada malam hari selama 2 minggu terakhir, batuk berdahak sejak 1 minggu
yang lalu, sesak napas 2 hari yang lalu dan mulai memberat kemarin, mual, tidak nafsu
makan, lemas, tidur menggunakan dua bantal karena sesak, dan hasil tanda-tanda vital yaitu
suhu : 36,2 ̊C, nadi : 87 x/menit, tekanan darah : 120/62 mmHg, dan RR : 24 x/menit, dan
hasil pemeriksaan didapatkan hasil hemoglobin 8.8 g/dL (normal 13.2 – 17.3) saat klien
datang ke RSUD Pasar Minggu.Tanda dan gejala yang tidak terjadi pada klien Tn.M adalah
sputum dengan bercak darah dan gagal napas.
Dalam hal ini, menurut keterangan pathway (Mandan, 2019) terjadinya gejala seperti
50
Indonesian Jurnal of Health Development Vol.2 No.2, September 2020

demam menggigil merupakan sebuah tanda adanya peradangan atau inflamasi


yang terjadi didalam tubuh sehingga hipotalamus bekerja dengan memberi respon dengan
menaikan suhu tubuh. Gejala mual dan tidak nafsu makan disebabkan oleh peningkatan
produksi secret dan timbulnya batuk, sehingga dengan adanya batuk berdahak menimbulkan
penekanan pada intra abdomen dan saraf pusat menyebabkan timbulnya gejala tersebut.
Selain itu, menurut pathway (Mandan, 2019) gejala pneumonia lainnya adalah
batuk. Batuk merupakan gejala dari suatu penyakit yang menyerang saluran pernapasan, hal
ini disebabkan adanya mikroorganisme atau non-mikroorganisme yang masuk ke saluran
pernapasan sehingga diteruskan ke paru-paru dan bagian bronkus maupun alveoli. Dengan
masuknya mikroorganisme menyebabkan terganggunya kinerja makrofag sehingga
terjadilah proses infeksi, jika infeksi tidak ditangani sejak dini akan menimbulkan
peradangan atau inflamasi sehingga timbulnya odema pada paru dan menghasilkan secret
yang banyak.
Selain itu, adanya gejala sesak nafas pada pasien pneumonia dapat terjadi karena
penumpukan secret/ dahak pada saluran pernapasan sehingga udara yang masuk dan keluar
pada paru-paru mengalami hambatan. Dari penjelasan pathway Mandan (2019) gejala
lemas/ kelelahan juga merupakan tanda dari Pneumonia, hal ini disebabkan karena adanya
sesak yang dialami seorang klien sehingga kapasitas paru-paru untuk bekerja lebih dari
batas normal dan kebutuhan energy yang juga terkuras akibat usaha dalam bernapas. Lalu
gejala orthopnea juga dapat terjadi pada klien dengan Pneumonia. Orthopnea sendiri
merupakan suatu gejala kesulitan bernapas saat tidur dengan posisi terlentang.Selain itu,
terjadinya penurunan hemoglobin pada klien Tn.M dikarenakan adanya gangguan
pertukaran gas, dimana oksigen yang masuk ke dalam paru-paru berkurang sehingga
menyebabkan fungsi hemoglobin dalam mengangkut oksigen untuk seluruh tubuh
terganggu.
Menurut Ryusuke (2017), komplikasi yang terjadi pada klien dengan pneumonia yaitu
bacteremia (sepsis) abses paru, efusi pleura, dan kesulitan bernapas. Bacteremia (sepsis)
dapat terjadi pada pasien jika bakteri yang menginfeksi paru masuk ke dalam aliran darah
dan menyebarkan infeksi ke organ lain, yang berpotensi menyebabkan kegagalan organ.
Selain itu, pneumonia juga dapat menyebabkan akumulasi cairan pada rongga pleura yang
disebut dengan efusi pleura. Pada klien Tn. M komplikasi yang ditemukan yaitu terjadinya
syok sepsis yang ditandai dengan kesulitan bernapas, menggigil, dan demam.
Selain itu, terjadi komplikasi pada Tn.M berupa terdapatnya efusi pleura bilateral bagian
kanan (dextra) yang ditemukan dengan hasil pemeriksaan radiologi atau rontgen thorax.
Pneumonia dapat menyebabkan akumulasi cairan pada rongga pleura atau biasa disebut
dengan efusi pleura. Efusi pleura pada pneumonia umumnya bersifat eksudatif. Pada klinis
sekitar 5% kasus efusi pleura yang disebabkan oleh P. pneumoniae dengan jumlah cairan
yang sedikit dan sifatnya sesaat (efusi parapneumonik). Efusi pleura eksudatif yang
mengandung mikroorganisme dalam jumlah banyak beserta dengan nanah disebut
empiema. Jika sudah terjadi empiema maka cairan perlu di drainage menggunakan chest
tube atau dengan pembedahan. Selain itu, dengan melakukan pemberian terapi diet tinggi
protein juga dapat membantu proses pemulihan keseimbangan antara cairan dan protein
dalam pleura (Ryusuke, 2017)
Pemeriksaan penunjang menurut Ryusuke (2017), yang dilakukan pada klien dengan
pneumonia yaitu rontgen thorax, pemeriksaan laboratorium lengkap (adanya peningkatan
leukosit dan LED), pemeriksaan mikrobiologi (biakan sputum dan kultur darah),
pemeriksaan analisa gas darah, serta tindakan pungsi untuk dilakukan pemeriksaan pada
cairan paru-paru. Pada kasus Tn. M dengan diagnose medis pneumonia dilakukan
pemeriksaan rontgen thorax dengan hasil infiltrate dan ektasis luas kedua lapang paru.

51
Indonesian Jurnal of Health Development Vol.2 No.2, September 2020

Selain pemeriksaan rontgen thorax, Tn. M dilakukan pemeriksaan laboratorium lengkap


dengan hasil (hemoglobin, hematocrit, eritrosit) mengalami penurunan, monosit dan LED
mengalami peningkatan dan albumin mengalami penurunan. Peningakatan LED terjadi
karena kecepatan pengendapan sel- sel eritrosit dalam plasma meningkat sehingga proses
pembekuan darah meningkat. Selain itu, penurunan albumin terjadi karena adanya proses
infeksi dan didukung dengan kurangnya mengonsumsi makanan yang tinggi protein
sehingga fungsi dan produksi albumin menurun. Pemeriksaan bahan sputum dengan hasil
leukosit meningkat, dan coccus gram positif. Pemeriksaan cairan pleura (Punksi pleura)
direncanakan oleh dokter pada tanggal 06 Maret 2020 dan belum terdapat hasil dari
pemeriksaan cairan pleura tersebut. Pemeriksaan yang terdapat pada teori dan tidak
dilakukan adalah pemeriksaan analisa gas darah.
Pada saat pengkajian penulis tidak menemukan factor penghambat karena klien dan
keluarga kooperatif dalam menjawab pertanyaan dalam pengkajian dan merespon penulis
dengan baik, kesadaran compos mentis dengan Gloasgow Coma Scale (GCS) 15, dan
kelengkapan dokumentasi rekam medis serta referensi buku-buku dan jurnal tentang asuhan
keperawatan pada pasien dengan pneumonia.

SIMPULAN
Diagnosa keperawatan dari hasil observasi dan wawancara ditemukan masalah utama pada
Tn. M yaitu ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi. Dari hasil
diagnose diatas, didapatkan bahwa diagnose tersebut tidak diangkat karena klien telah
mendapatkan masa perawatan selama ± 5 hari dan sudah mengalami sedikit peningkatan
kesehatan saat peneliti melakukan pengkajian.
Pada perencanaan menentukan prioritas masalah, tujuan dan kiteria hasil penulis temukan
faktor hambatan karena dalam penentuan tersebut mengacu pada NIC-NOC (2016), akan
tetapi kenyataannya kondisi pasien tidak selalu sesuai dengan teori yang ditemukan oleh
penulis. Sedangkan faktor pendukungnya adalah klien, keluarga klien, perawat maupun
tenaga medis lain sangat kooperatif dalam melaksanakan atau menerapkan rencana
keperawatan yang dibuat oleh penulis.
Dalam proses pelaksanaan tindakan keperawatan, penulis menemukan hambatan yaitu
tindakan yang diberikan kepada klien tidak semua sesuai dengan teori. Hal ini disebabkan
karena dalam melakukan tindakan, penulis terlebih dahulu melihat situasi dan kondisi klien
dalam menerapkan tindakan yang direncanakan. Oleh karena itu, tindakan yang telah
direncanakan tidak terlaksana dengan maksimal. Namun, faktor pendukung dalam hal ini
adalah klien, keluarga klien, dan perawat sangat kooperatif dalam pelaksanaan tindakan
keperawatan.
Evaluasi adalah tahap akhir proses keperawatan. Pada kasus Tn. M didapatkan empat
diagnose keperawatan, namun dari kemepat diagnose tersebut semua hanya dapat teratasi
sebagian. Hal ini dikarenakan kondisi klien yang telah memiliki komplikasi dan
membutuhkan perawatan medis lebih lama, sehingga hal ini tetap dilanjutkan namun
dilakukan oleh para tenaga medis di rumah sakit.

SARAN
Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan oleh penulis sampai tahap akhir pada klien
Tn.M dengan diagnose medis Pneumonia, maka penulis memberikan saran pada klien
berupa selalu menjaga kesehatan dengan berhenti atau menghindari asap rokok, menjaga
pola makan, dan pola hidup yang sehat dan bersih. Selain itu, datangilah pusat pelayanan
kesehatan untuk mendapatkan kesehatan yang optimal. Pihak keluarga, berupa diharapkan
lebih aware (sadar) akan keluhan, faktor usia dan tanda gejala yang dialami sanak
keluarga/saudara sehingga proses pengobatan dapat dilakukan sejak dini untuk mengurangi
52
Indonesian Jurnal of Health Development Vol.2 No.2, September 2020

terjadinya komplikasi yang dapat membahayakan.


Bagi institusi pelayanan kesehatan dan pihak universitas, diharapkan dapat berpartisipasi
dalam mengarahkan mahsiswa dalam melakukan pengkajian, penentuan diagnose,
perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, serta evaluasi dokumentasi pada pasien
kelolaan. Dengan demikian, hal ini dapat menunjang proses tindakan yang lebih akurat bagi
pasien kelolaan. Dan bagi pihak universitas, dengan hasil karya tulis ilimiah ini dapat
dijadikan base atau data dasar untuk dapat dilakukan pengembangan ilmu melalui penelitian
seperti perubahan pola sikap terhadap kesehatan klien dengan pneumonia dan penelitian
pencegahan yang tepat sebelum terjadinya komplikasi yang berat.

DAFTAR PUSTAKA
Farida, Y., Trisna, A., & Nur, D. (2017). Study of Antibiotic Use on Pneumonia Patient in Surakarta
Referral Hospital. JPSCR : Journal of Pharmaceutical Science and Clinical Research, 2(01),
44. https://doi.org/10.20961/jpscr.v2i01.5240

Firdaus, S., Ehwan, M. M., & Rachmadi, A. (2019). Efektivitas Pemberian Oksigen Posisi
Semi Fowler Dan Fowler Terhadap Perubahan Saturasi Pada Pasien Asma Bronkial
Persisten Ringan. Jkep, 4(1), 31–43. https://doi.org/10.32668/jkep.v4i1.278
Hendi Setiawan. (2018). Penerapan Batuk Efektif Sebagai Manajemen Bersihan Jalan Nafas Pada
Pasien Asma Bronkial Di Ruang Laika Waraka Rsud Bahteramas Kendari Tahun 2018
Karya. 1–88.

Indah, L. (2019). HUBUNGAN STATUS GIZI DAN RIWAYAT ASI EKSLUSIF DENGAN
RISIKO PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS LUBUK KILANGAN KOTA
PADANG TAHUN 2019.
Jainurakhma, J. (2018). Asuhan Keperawatan Sistem Respiratory Dengan Pendekatan Klinis.
Ed.1, Cet.1. Deepublish.

Kemenkes RI. (2019). Profil Kesehatan Indonesia 2018 [Indonesia Health Profile 2018].
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan- indonesia/Data-
dan-Informasi_Profil-Kesehatan-Indonesia-2018.pdf

Khasanah, fitri nur. (2017). Asuhan Keperawatan Pada..., ASTRIA EMA KHARISMA Fakultas
Ilmu Kesehatan UMP, 2015. 9–40.
Mandan, A. N. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dewasa Penderita Pneumonia Dengan
Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas.
Nanda International. (2018). Diagnosa Keperawatan: definisi dan klasifikasi 2018-2020. EGC.
Nugraheni, Ambar Yunita, dkk. (2018). Farmakoterapi Dasar. MUP.
Paramita. (2011). Nursing: Memahami Berbagai Macam Penyakit. Indeks.

Pratiwi, N. R. R. (2018). Penerapan Kompres Hangat pada Anak Demam dengan


Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Nyaman di RSUD Sleman.
Eprints.Poltekkesjogja.Ac.Id, 8–30. http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1413/
Purnama, K. E. (2016). Latar belakang Permasalahan. 1–126.

R. Lela Nurulhuda, S. (2019). DIET UNTUK PENDERITA


TBC. http://www.yankes.kemkes.go.id/read-diet-untuk-penderita-tbc-6981.html
Ranny, A. (2016). Perbedaan Karakteristik Pasien Pneumonia Komunitas Dewasa dengan Usia
Lanjut di Bangsal Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang 2014. http://scholar.unand.ac.id/3681/

53
Indonesian Jurnal of Health Development Vol.2 No.2, September 2020

Riskesdas, K. (2018). Hasil Utama Riset Kesehata Dasar (RISKESDAS). Journal of Physics A:
Mathematical and Theoretical, 44(8), 1–200. https://doi.org/10.1088/1751-
8113/44/8/085201
Ryusuke, A. A. A. K. D. & O. (2017). Tugas Responsi Pneumonia.
Saydam, G. (2011). Memahami Berbagai Penyakit (Penyakit Pernapasan dan Gangguan
Pencernaan). Alfabeta.
Simamora, N. (2019). Sifat Dan Tahap-Tahap Dalam Proses Keperawatan.

54
51

JURNAL RESPIRASI
JR
Vol. 4 No. 2 Mei 2018

Acute Respiratory Distress Syndrome


Arief Bakhtiar*, Rena Arusita Maranatha

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo

ABSTRACT

Acute respiratory distress syndrome (ARDS) is a syndrome, a combination of clinical and physiological observations that
describe a pathological state. The pathogenesis of ARDS is not completely clear and there is no gold standard for diagnosis. ARDS
is characterized by non-cardiogenic pulmonary edema, inflammation of the lungs, hypoxemia, and decreased lung compliance.
Acute is defined as a symptom that occurs within one week of a known risk factor. Early clinical manifestations are shortness of
breath (dyspneu and tachypneu) which then quickly develop into respiratory failure. ARDS was first described in 1967 by Asbaugh,
et al., then the AECC made a definition that was finally refined by Berlin's criteria. Berlin's criteria divided the degree of hypoxemia
into 3, namely mild, moderate, and severe, based on the arterial PO2 / FiO2 ratio and the need for PEEP (5 cm H2O or more) which
can be given via endotracheal tube or non-invasive ventilation. Sepsis, aspiration of fluid or gastric contents, and multipe
transfusion (>15 units/24 hours) are associated with a high risk of ARDS. Cases of ARDS related to pulmonary sepsis, such as
pneumonia, inhalational trauma, and pulmonary contusions are as much as 46% or non-pulmonary sepsis as much as 33%. ARDS
management includes oxygen therapy and supportive therapy, such as hemodynamics, pharmacotherapy, and nutrition. Further
studies are still needed to get a good outcome for ARDS patients.

Keywords: respiratory failure, non-cardiogenic pulmonary edema, hypoxemia

Correspondence: Arief Bakhtiar, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga/RSUD
Dr. Soetomo. Jl. Mayjen. Prof. Dr. Moestopo 6-8 Surabaya 60286. E-mail: ariefapecbakhtiar@gmail.com

PENDAHULUAN napas (dyspneu dan tachypneu) yang kemudian


dengan cepat berubah menjadi gagal napas.
Acute respiratory distress syndrome
ARDS pertama kali dideskripsikan pada tahun
(ARDS) merupakan sindrom, kumpulan
1967 oleh Asbaugh dkk yang memaparkan 12
observasi klinis dan fisiologis yang
kasus dengan gejala gawat napas, gagal napas
menggambarkan suatu keadaan patologis.
hipoksemik, dan infiltrat patchy bilateral pada
Patogenesis ARDS belum sepenuhnya jelas dan
foto toraks pasien dengan rentang usia 11-48
belum ada gold standard untuk mendiagnosis.
tahun.2
ARDS ditandai dengan edema paru non
Awalnya klinisi menentukan diagnosis
kardiogenik, inflamasi pada paru, hipoksemia,
ARDS dengan cara: (1) menentukan apakah
dan penurunan komplians paru.1-3 ARDS adalah
kelainan yang dialami pasien akut atau kronis,
kelainan yang progresif secara cepat dan
(2) menentukan adanya faktor risiko atau kondisi
awalnya bermanifestasi klinis sebagai sesak
medis lain (contoh: sepsis), dan (3)
menjumlahkan poin berdasarkan beratnya ARDS yang muncul dalam 1 minggu sejak
disfungsi paru berdasarkan derajat hipoksemia, sebuah faktor risiko diketahui. Dua poin penting
level PEEP (positive end-expiratory pressure) berikutnya adalah: (1) meskipun ARDS berbeda
yang dibutuhkan, komplians sistem paru, dan dengan edema paru kardiogenik, namun pada
derajat abnormalitas radiologis (Lung Injury ARDS dapat terjadi hipertensi atrium kiri selama
Prediction Score). ARDS terdiagnosis bila perawatan, (2) meskipun penggunaan B-type
didapatkan poin lebih dari 2.5. Kasus- kasus ini natriuretic peptide sedang meningkat sebagai
mengundang perhatian serta penelitian lebih alat diagnostik untuk gagal jantung kongestif
lanjut terhadap ARDS, namun tidak adanya akut, namun kemampuannya untuk membedakan
kriteria diagnostik yang spesifik dan kurangnya ARDS dengan edema paru non kardiogenik
pemahaman terhadap patogenesis ARDS masih belum jelas.5 Beberapa peneliti
menimbulkan kesulitan untuk meneruskan dan menyebutkan bahwa ultrasonografi (USG) toraks
membandingkan antar penelitian.4 Pada tahun dapat mendeteksi alveolar-interstitial syndrome
1994, peneliti di Amerika dan Eropa pada sehingga dapat membantu mendiagnosis ARDS.
American-European Consensus Conference Hal ini didasarkan pada patofisiologi ARDS
(AECC) mengeluarkan sebuah kriteria diagnosis yang merupakan edema paru. Ultrasound lung
yang diterima dengan luas untuk mendiagnosis comets (ULCs) adalah tanda penebalan septa
untuk ARDS: onset akut, perbandingan tekanan interlobular yang diakibatkan oleh edema
parsial oksigen dibanding fraksi oksigen kurang hidrostatik, seperti yang terjadi pada edema paru,
dari sama dengan 200 dan tidak tergantung atau oleh fibrosis paru seperti pada penyakit
jaringan ikat.6 Studi The Large Observational
tekanan positif akhir ekspirasi/PEEP, infiltrat
Study to Understand the Global Impact of Severe
bilateral yang tampak dari foto toraks AP/PA,
Acute Respiratory Failure (LUNG SAFE)
dan tekanan baji arteri pulmonalis 18 mmHg
menyebutkan bahwa ARDS masih belum
atau kurang, atau tidak ada tanda hipertensi
sepenuhnya dapat dikenali dan terdiagnosis
atrium kiri. Definisi AECC dikritik karena tidak
menggunakan definisi American- European
mempertimbangkan level PEEP.2 Telah
Consensus Conference (AECC) dan juga definisi
diketahui bahwa penambahan PEEP akan
Berlin. Pengenalan akan ARDS meningkat
memperbaiki oksigenasi, sebuah pengamatan
seiring dengan meningkatnya derajat keparahan
yang tampak pada definisi ARDS pertama.
penyakit, namun masih di bawah 80% pada
PO2/FiO2 arteri akan berubah dengan
ARDS berat. Faktor independen yang
berubahnya level PEEP sehingga pasien yang
mempengaruhi adalah usia muda, berat badan
memenuhi kriteria ARDS dapat berubah
prediktet yang rendah, adanya sepsis ektra paru
menjadi tidak memenuhi kriteria bila PEEP atau pankreatitis.7, 8
dinaikkan. Selain itu, AECC juga
memperkenalkan definisi baru: acute lung Faktor risiko dan insidensi
injury (ALI) yang lebih luas dari ARDS karena
Penentuan insidensi ARDS merupakan
memasukkan kelainan dengan hipoksemia
tantangan karena keberagaman definisi dan
dengan derajat lebih ringan (PaO2/ FiO2<300)
kesulitan mendiagnosis ARDS. Insidensi ARDS
dengan penyebab dan patofisiologi yang sama.1
dilaporkan berkisar antara 75 per 100.000
Pada 2012, disetujui definisi Berlin untuk
penduduk sampai serendah 1.5 per 100.000
memperbaiki beberapa keterbatasan diagnosis
penduduk. Sepsis, aspirasi cairan atau isi
ARDS. Derajat hipoksemia dibagi menjadi 3,
lambung, serta transfusi multiple (>15 unit/24
yaitu ringan, sedang, dan berat, berdasarkan
jam) berhubungan dengan risiko tinggi terhadap
rasio PO2/FiO2 arteri dan kebutuhan PEEP (5
ARDS.4 Sebagian besar kasus ARDS
cm H2O atau lebih) yang dapat diberikan
berhubungan dengan sepsis terkait paru
melalui endotracheal tube atau non-invasive
(pulmonary sepsis) sebanyak 46% atau sepsis
ventilation.2 Akut didefinisikan sebagai gejala
bukan karena paru sebanyak 33%. Faktor risiko Studi terbaru menyebutkan bahwa 7.1% kasus
antara lain keadaan yang menyebabkan yang masuk ke ICU dan 16.1% kasus yang
kelainan langsung pada paru seperti menggunakan ventilator mengalami ARDS.
pneumonia, trauma inhalasi, kontusio Angka mortalitas rumah sakit kasus ARDS
pulmonum, maupun keadaan yang diperkirakan antara 34-55%. Faktor risiko
menyebabkan kelainan tidak langsung pada penentu mortalitas termasuk meningkatnya usia,
paru seperti sepsis bukan karena paru, luka perburukan kegagalan multiorgan, adanya
bakar, transfusion-related acute lung injury, komorbid paru dan non-paru, skor APACHE II
alkoholisme kronik, dan riwayat pajanan (Acute Physiology and Chronic Health
terhadap asap secara aktif maupun pasif pada Evaluation) yang lebih tinggi, dan asidosis.
kasus trauma. Faktor risiko untuk anak sedikit Kematian terkait ARDS paling sering
berbeda dari dewasa, karena didapatkan disebabkan oleh kegagalan multiorgan.
keadaan yang terkait usia, seperti infeksi Kematian yang disebabkan oleh hipoksemia
respiratory synctitial virus dan tenggelam.2, 7 refrakter hanya 16% dari seluruh kasus.7, 8

Tabel 1. Definisi Berlin pada Acute Respiratory Distress Syndrome3


Acute Respiratory Distress Syndrome
Timing Within 1 week of known clinical insult on new or worsening respiratory symptoms
Chest imaginga Bilateral opacities-not fully explained by effusions, lobar/lung collapse, or nodules
Origin of edema Respiratory failure not fully explained by cardiac failure or fluid overload
Need objective assessment (e.g., echocardiography) to exclude hydrostatic edema if no risk
factor present
Oxygenationb
Mild 200 mmHg < PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg with PEEP or CPAP ≥ 5 cm H2OC
Moderate 100 mmHg < PaO2/FiO2 ≤ 200 mmHg with PEEP ≥ 5 cm H2OC
Severe PaO2/FiO2 ≤ 100 mmHg with PEEP ≥ 5 cm H2OC
Abbreviations: CPAP, continuous positive airway pressure; FiO2, fraction of inspired oxygen; PaO2 partial pressure of arterial oxygen; PEEP,
positive end-expiratory pressure
a
Chest radiograph or computed tomography scan
b
If attitude is higher than 1000m, the correction factor should be calculated as follows (PaO2/FiO2 x (barometric pressure/760))
c
This may be delivered noninvasively in the mild acute respiratory distress syndrome group
alkoholisme kronik, dan riwayat pajanan
Faktor risiko dan insidensi terhadap asap secara aktif maupun pasif pada
kasus trauma. Faktor risiko untuk anak sedikit
Penentuan insidensi ARDS merupakan
berbeda dari dewasa, karena didapatkan keadaan
tantangan karena keberagaman definisi dan
yang terkait usia, seperti infeksi respiratory
kesulitan mendiagnosis ARDS. Insidensi ARDS
synctitial virus dan tenggelam.2, 7 Studi terbaru
dilaporkan berkisar antara 75 per 100.000
menyebutkan bahwa 7.1% kasus yang masuk ke
penduduk sampai serendah 1.5 per 100.000
ICU dan 16.1% kasus yang menggunakan
penduduk. Sepsis, aspirasi cairan atau isi
ventilator mengalami ARDS. Angka mortalitas
lambung, serta transfusi multiple (>15 unit/24
rumah sakit kasus ARDS diperkirakan antara 34-
jam) berhubungan dengan risiko tinggi terhadap
55%. Faktor risiko penentu mortalitas termasuk
ARDS.4 Sebagian besar kasus ARDS
meningkatnya usia, perburukan kegagalan
berhubungan dengan sepsis terkait paru
multiorgan, adanya komorbid paru dan non-paru,
(pulmonary sepsis) sebanyak 46% atau sepsis
skor APACHE II (Acute Physiology and Chronic
bukan karena paru sebanyak 33%. Faktor risiko
Health Evaluation) yang lebih tinggi, dan
antara lain keadaan yang menyebabkan kelainan
asidosis. Kematian terkait ARDS paling sering
langsung pada paru seperti pneumonia, trauma
disebabkan oleh kegagalan multiorgan. Kematian
inhalasi, kontusio pulmonum, maupun keadaan
yang disebabkan oleh hipoksemia refrakter
yang menyebabkan kelainan tidak langsung
hanya 16% dari seluruh kasus.7, 8
pada paru seperti sepsis bukan karena paru, luka
bakar, transfusion-related acute lung injury,
Transfusion-related acute lung injury (TRALI) menyerupai gagal jantung kongestif dan
Adalah sebuah sindrom yang dihubungkan pneumonia. Gagal jantung kongestif ditandai
dengan transfusi yang biasanya meliputi sesak oleh kelebihan cairan, sedangkan pasien dengan
napas, hipoksemia, hipotensi, edema paru ARDS, berdasarkan definisi, tidak menunjukkan
bilateral, dan demam. Gejala dapat terjadi sejak tanda hipertensi atrium kiri atau tanda kelebihan
awal transfusi sampai dengan 4 jam berikutnya. cairan. Pasien dengan gagal jantung kongestif
Tingkat keparahan gejala sering berkisar mulai mengalami edema, distensi vena jugular, suara
ringan sampai dengan berat. Angka kejadian jantung ketiga, peningkatan level brain
TRALI diperkirakan 1 dari 5000 transfusi.2 Pada natriuretic peptide, dan respon baik terhadap
sebuah studi tentang TRALI, 100% kasus diuretik. Pasien dengan ARDS seharusnya tidak
membutuhkan bantuan oksigen, 72% juga menunjukkan tanda-tanda seperti itu. Karena
membutuhkan bantuan ventilasi mekanik. Studi pneumonia adalah penyebab terbanyak ARDS,
ini juga menyebutkan bahwa gejala menghilang membedakan pasien dengan pneumonia biasa
dalam 96 jam pada 80% pasien, sedangkan 20% dan pneumonia dengan ARDS merupakan
lainnya membutuhkan waktu lebih lama yang tantangan diagnostik. Secara umum, pasien
dihubungkan dengan infiltrat persisten pada foto dengan pneumonia biasa menunjukkan gejala
toraks. TRALI dihubungkan dengan adanya sistemik dan inflamasi pada paru (demam,
antibodi granulosit, antibodi HLA kelas I, menggigil, fatigue, produksi sputum, nyeri dada
antibodi HLA kelas II, dan lipid yang aktif pada pleuritik, infiltrat lokal dan multifokal) serta
donor plasma. Pemberian komponen darah yang hipoksia yang merespon pemberian oksigen.
mengandung plasma, termasuk packed red cells, Bila hipoksia tidak membaik dengan pemberian
thrombocyte concentrate, fresh frozen plasma, oksigen, maka adanya ARDS harus dicurigai.2
dan cryoprecipitate dapat menyebabkan
TRALI. Derajat keparahan TRALI tidak Etiologi dan patogenesis
berkorelasi dengan jumlah plasma yang Dahulu ARDS sering disebut sebagai
diberikan, namun dapat berhubungan dengan edema paru non kardiogenik, terminologi
derajat hipoksemia. Kondisi yang dapat menjadi deskriptif yang menjelaskan patogenesis
predisposisi TRALI adalah infeksi, pemberian kelainan ini.10 Tidak seperti gagal jantung
sitokin, pembedahan baru, dan/atau transfusi kongestif yang menyebabkan edema paru karena
produk darah dalam jumlah besar. Kurang lebih peningkatan tekanan hidrostatik karena tekanan
20% wanita yang pernah hamil 2 kali memiliki jantung kiri yang meningkat, pada ARDS yang
antibodi terhadap leukosit. Menurunkan ambang mengisi alveoli adalah cairan eksudat. Barier
batas pemberian transfusi dan pembatasan donor alveolar-kapiler mengalami peningkatan
wanita multipara diperkirakan dapat mencegah permeabilitas, sehingga cairan yang
timbulnya ARDS.9 mengandung protein masuk ke dalam alveoli.
Adanya cairan pada alveoli menyebabkan
Diagnosis banding penurunan komplians sistem pernapasan, right-
Karena gejala ARDS tidak spesifik, harus to-left shunting, dan hipoksemia.2, 3, 6 Meskipun
dipertimbangkan pula penyakit respiratorik, PCO2 arteri secara umum berada dalam batas
kardiak, infeksi, atau keracunan yang lain. normal, namun ventilasi dead space meningkat
Riwayat penyakit pasien (komorbid, pajanan, yang tergambar pada peningkatan minute
obat-obatan) ditambah dengan pemeriksaan ventilation. Hipertensi pulmonal sering
fisik yang berfokus pada sistem kardiovaskular menyertai ARDS dan beberapa mekanisme yang
dan respiratorik dapat membantu mungkin terjadi adalah vasokonstriksi hipoksik,
menyingkirkan diagnosis banding dan deposisi fibrin intravaskuler pada pembuluh
menentukan terapi.5 Seringkali, gejala ARDS darah paru, dan penekanan pembuluh darah oleh
ventilasi tekanan positif yang digunakan serta nekrosis sel alveolar tipe I dan II. Hal ini
sebagai terapi keadaan ini.2 sebaliknya menyebabkan edema paru,
pembentukan membran hialin, dan kehilangan
Patologi surfaktan yang menurunkan komplians paru dan
Tahapan patologi ARDS secara klasik membuat pertukaran gas sulit terjadi. Selanjutnya
digambarkan dalam 3 tahapan yang berurutan terjadi infiltrasi fibroblas yang mengarah pada
dan tumpang tindih. Pada tahapan pertama, deposisi kolagen, fibrosis, dan akhirnya
yaitu fase eksudatif dari jejas paru, temuan perburukan penyakit. Pada fase penyembuhan
patologis disebut sebagai diffuse alveolar terjadi berbagai hal secara bersamaan. Sitokin
damage. Terdapat membran hialin yang anti- inflamasi menginaktivasi neutrofil yang
melapisi dinding alveolar dan cairan edema teraktivasi yang akan mengalami apoptosis dan
yang mengandung protein di ruang alveoler, fagositosis. Sel alveolar tipe II berproliferasi dan
terjadi pula gangguan pada epitel dan infiltrasi berdiferensiasi menjadi sel alveolar tipe I,
neutrofil pada interstitial dan alveoli. Area memperbaiki integritas dari pelapis epitelial dan
hemorrhage dan makrofag dapat ditemukan di membuat gradien osmotik yang menarik cairan
alveoli.2, 11 Fase yang berlangsung 5- keluar dari alveoli ke dalam mikrosirkulasi dan
7 hari ini diikuti oleh yang disebut sebagai fase sistem limfatik paru. Secara simultan sel alveolar
proliferatif pada beberapa pasien. Pada titik ini, dan makrofag menghilangkan bahan protein dari
membran hialin telah mengalami organisasi dan alveoli sehingga paru dapat pulih.11, 12
fibrosis. Obliterasi kapiler pulmonal dan deposisi
kolagen pada interstitial dan alveolar dapat diamati
Inflamasi dan koagulasi
bersamaan dengan penurunan jumlah neutrofil dan
derajat edema paru. Fasecproliferatif ini diikuti oleh Salah satu faktor penyebab ARDS adalah
fase fibrosis yang tampak pada gambaran radiologis sepsis, sehingga diharapkan dengan tatalaksana
pada ARDS persisten (lebih dari 2 minggu).11 sepsis yang adekuat dapat mencegah atau
Awalnya jejas langsung maupun tidak memperbaiki keadaan ARDS. Pada tahap awal
langsung pada paru diduga menyebabkan sepsis terjadi keadaan inflamasi, terjadi up-
proliferasi mediator inflamasi pada regulasi dari sitokin inflamasi seperti TNF-α dan
mikrosirkulasi paru. Neutrofil ini mengaktifkan IL1β, serta pengumpulan dan aktivasi sel
dan bermigrasi dalam jumlah besar melewati inflamasi seperti neutrofil. Di antara sitokin
endotel pembuluh darah dan permukaan epitel proinflamasi, TNFα, IL-1β, interleukin 6 (IL-6),
alveolar, melepaskan protease, sitokin, dan dan IL-
reactive oxygen species (ROS). Migrasi dan 8 meningkat jumlahnya pada bilasan bronkoalveolar
pelepasan mediator ini mengarah kepada pada pasien ARDS, serta levelnya lebih tinggi pada
permeabilitas vaskuler yang patologis, pasien yang meninggal dibandingkan pasien yang
selamat.13 Tahap awal dari inflamasi diikuti oleh
timbulnya jarak pada barier sel epitel alveolar
Gambar 1. Biomarker pada Acute Respiratory Distress Syndrome13
imunitas yang menurun, sehingga pasien menjadi rentan terhadap infeksi nosokomial. Teori
yang menyebutkan bahwa disregulasi respon imun bertanggung jawab terhadap terjadinya
sepsis mengarahkan peneliti untuk mencari agen yang dapat secara selektif memblok
komponen jalur inflamasi.
Gangguan koagulasi yang sering terjadi pada sepsis diperkirakan mempengaruhi
timbulnya ARDS, karena pada ARDS terjadi deposisi fibrin intraalveolar, interstitial, dan
intravaskular. Fibrin merupakan komponen utama membran hialin yang akhirnya menjadi
bakal proliferasi fibroblas dan pada fase lanjut ARDS merangsang terjadinya fibrosis paru.
Selain itu fibrin juga berkontribusi terhadap jejas paru melalui jalur kemotaktik dan deposisi
fibrin intravaskular sebagai mikrotrombus yang dapat meningkatkan tekanan pembuluh
darah paru pada ARDS.2
Studi observasi yang dilakukan pada binatang menunjukkan bahwa pemberian
antikoagulan dapat mengurangi derajat keparahan kasus ARDS terkait sepsis, namun
didapatkan hasil yang mengecewakan saat dilakukan pada manusia. Sebagai hasil inflamasi
sistemik dan koagulasi yang terjadi pada sepsis, terdapat perubahan signifikan pada
mikrosirkulasi, reaktivitas vaskular, aggregasi platelet, dan adhesi sel darah putih pada
endotel. Perubahan endotel vaskular dan interaksi antara sel darah putih dan sel darah merah
mengakibatkan terjadinya peroksidase pada membran sel darah merah, perubahan pompa
pada membran sel darah merah, dan influx kalsium ke dalam sel darah merah. Hal ini
menyebabkan peningkatan aggregasi sel darah merah dan oklusi mikrovaskular yang
mendukung terjadinya gagal organ.12

Mortalitas dan komplikasi


Didapatkan penurunan tingkat kematian ARDS dari 60% menjadi kurang dari 40%
dalam 10-15 tahun terakhir. Alasan di balik peningkatan survival rate belum jelas, namun
perawatan suportif yang lebih baik di ICU serta penggunaan strategi ventilasi mekanik yang
protektif terhadap paru bisa menjadi salah satu penyebabnya.3, 14 Penyebab kematian pasien
dengan ARDS adalah systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dan disfungsi
multiorgan. Pada sebuah studi pada tikus, ventilasi mekanik tidak hanya menyebabkan
peningkatan level plasma dan sitokin, namun juga meningkatkan apoptosis sel epitel ginjal
yang mengarah pada disfungsi ginjal. Pemberian preparat IL-10 atau IL- 22 lebih awal
mengurangi jejas pada paru dan mengurangi mortalitas hewan coba pada VILI (ventilator
induced lung injury). Pasien dengan ARDS hampir selalu membutuhkan fraksi oksigen
tinggi. Efek toksik dari hiperoksia pada paru telah dipahami dengan baik dan perubahan
histologisnya menyerupai ARDS. Toksisitas oksigen ditengarai dimediasi oleh
pembentukan reactive oxygen dan nitrogen species yang dapat merusak jaringan melalui
berbagai mekanisme.12,
14

Prediktor prognosis
Meskipun hipoksemia adalah gejala yang dominan di antara manifestasi klinis ARDS,
namun studi tidak menunjukkan bahwa derajat hipoksemia pada fase awal ARDS
merupakan prediktor mortalitas. Sistem skoring jejas paru seperti Lung Injury Score dan
ARDS score dapat digunakan untuk memprediksi lama kebutuhan intubasi dan ventilasi
(lebih dari 2 minggu), sedangkan sistem skoring yang mengukur derajat keparahan
keseluruhan dari penyakit seperti Simplified Acute Physiology Score berkorelasi dengan
survival rate. Penyebab kematian pada pasien dengan ARDS bukanlah hipoksemia
refrakter, meskipun biasanya hipoksemia merupakan fokus utama usaha resusitasi. Faktanya
kebanyakan pasien dengan ARDS meninggal karena sepsis atau gagal multiorgan.
Penjelasan dari hal ini belum diketahui, namun diperkirakan disebabkan oleh pengaruh
ventilasi mekanik. Sebelumnya telah dibahas bahwa pengaturan ventilasi mekanik yang
berlebihan tidal volumenya meningkatkan sitokin, baik sistemik maupun paru, dan
dihubungkan dengan apoptosis sel ginjal dan disfungsi ginjal.2Tingkat kematian ARDS
bervariasi berdasarkan faktor presipitan. Risiko tertinggi dilaporkan terkait sepsis,
sedangkan ARDS terkait trauma memiliki prognosis lebih baik. Telah diketahui bahwa
penyakit liver kronis, usia tua, alkoholisme kronik, dan disfungsi organ non-pulmoner
berkaitan dengan mortalitas ARDS yang lebih tinggi. Prediktor kematian yang lain adalah
riwayat transplantasi organ dan infeksi HIV.7, 8 Sebuah studi menyebutkan pula bahwa
angka kematian lebih tinggi pada pria dan pada ras Afrika-Amerika dibandingkan pada ras
bukan Afrika-Amerika. Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa faktor risiko ARDS
dapat berasal dari paru maupun non paru, sehingga menyebabkan jejas pada paru secara
langsung maupun tidak langsung. ARDS Network Investigator secara restrospektif
menganalisis data dari randomized study yang membandingkan ventilasi dengan tidal
volume yang kecil versus biasa dan mendapatkan kesimpulan bahwa tingkat kematian
paling tinggi untuk ARDS disebabkan oleh sepsis dan paling rendah oleh trauma, dan tidak
didapatkan perbedaan tingkat kematian, hari bebas ventilator, atau munculnya gagal organ
antara pasien ARDS dengan faktor risiko dari paru maupun non paru.14
Identifikasi biomarker untuk memprediksi prognosis ARDS juga sedang diteliti. Telah
dilaporkan terdapat hubungan antara peningkatan level sitokin seperti IL-6 dan IL-8 serta
growth factor seperti angiopoietin 2 dan prognosis yang buruk dari ARDS.

Namun beberapa biomarker saat digunakan secara kombinasi pun hanya sedikit lebih
prediktif daripada prediktor klinis.13 Pada saat diagnosis, peningkatan derajat keparahan
ARDS didapatkan paralel dengan perburukan skor Sequential Organ Failure Assessment
(SOFA) yang mengandung banyak komponen paru. Telah umum diketahui bahwa gagal
organ yang terjadi pada perjalanan penyakit pada ARDS disebabkan oleh hipoperfusi,
hipoksemia, dan kongesti pasif pada liver. Beberapa studi menunjukkan hubungan antara
disfungsi liver dan outcome yang buruk pada pasien dengan sakit berat. Bilirubin dikenal
sebagai penanda yang kuat dan stabil dari disfungsi liver, dan dapat digunakan pada
algoritme skoring untuk menentukan prognosis pasien sakit berat dan/atau memprediksi
risiko mortalitas pada pasien dengan ARDS.7

Komplikasi

Sekitar 30-65% dari seluruh kasus ARDS mengalami komplikasi VAP (ventilator-
associated pneumonia) yang biasanya terjadi lebih dari 5-7 hari sejak penggunaan ventilasi
mekanik dan sering didahului oleh kolonisasi patogen pada saluran napas bawah.12
Organisme yang mungkin adalah batang gram negatif, MRSA (methicillin-resistant
Staphylococcus aureus), dan Enterobacteriaceae. Meskipun munculnya VAP memperlama
durasi penggunaan ventilasi mekanik pada ARDS, namun tampaknya tidak meningkatkan
angka kematian. Membuat diagnosis VAP pada pasien dengan ARDS merupakan tantangan
karena ARDS sendiri telah menunjukkan kelainan radiologis dan tidak jarang lekositosis dan
demam. Bila alat diagnostik seperti bilasan bronkoalveolar atau sikatan spesimen digunakan,
kemampuan diagnosisnya lebih besar bila kedua paru diambil sampelnya dan saat pasien
tidak sedang menggunakan antibiotik. Komplikasi lain dari ARDS adalah barotrauma
(pneumotoraks, pneumomediastinum, emfisema subkutan) sebagai efek dari ventilasi
tekanan positif pada paru yang kompliansnya menurun. Karena hampir seluruh pasien
dengan ARDS akan berada pada posisi berbaring, maka mendiagnosis pneumotoraks akan
membutuhkan kecermatan, penampakan radiologisnya dapat berbeda dan lebih samar pada
pasien dengan posisi berbaring (contoh: udara pada sudut kostofrenikus, “deep sulcus”
sign). Data dari beberapa studi prospektif menyebutkan bahwa barotrauma terjadi pada
kurang dari 10% kasus ARDS.14

Tata laksana
Manajemen hemodinamik

Pendekatan yang optimal terhadap manajemen hemodinamik pasien ARDS disebutkan


oleh beberapa studi yang membandingkan beberapa strategi berbeda.
Sebelum studi-studi tersebut, tidak jelas apakah klinisi harus memberikan diuretik untuk
mengurangi edema paru dengan munculnya kemungkinan terjadi hipovolemia dan syok atau
bebas dalam hal pemberian cairan untuk menjaga perfusi jaringan.2, 12 ARDSNet, yaitu
sebuah studi RCT (randomized controlled trial) multisenter yang membandingkan strategi
pemberian cairan yang diukur dari tekanan vena sentral pada 1000 subyek dengan ARDS
dengan hasil kelompok yang diberi perlakuan strategi cairan konservatif dengan tujuan
tekanan intravaskuler yang lebih rendah, menunjukkan perbaikan oksigenasi dan hari bebas
ventilator lebih banyak dibandingkan dengan kelompok yang diberi perlakuan strategi
cairan yang liberal. Lebih penting lagi, kelompok yang diberi perlakuan strategi cairan
konservatif, angka kejadian dialisis atau syok tidak lebih tinggi daripada kelompok satunya
dan angka kematian pada kelompok ini juga tidak berbeda jauh, sehingga hasil dari studi ini
menyebutkan bahwa pemberian cairan yang konservatif aman dan lebih menguntungkan
untuk pasien dengan ARDS.15 Awalnya rekomendasi ini tampak tidak sejalan dengan
prinsip tatalaksana sepsis dari penelitian Rivers dkk yang secara dini dan agresif
memberikan resusitasi cairan, namun hasil yang berbeda dari beberapa studi itu tidak sulit
untuk digabungkan.2, 15 Pertama-tama, penting untuk diingat bahwa pasien pada studi
ARDSNet dimasukkan dalam penelitian rata-rata setelah 24 jam terdiagnosis sebagai ALI,
rentang waktunya lebih lama dibandingkan dengan studi oleh Rivers dkk (rentang waktu 6
jam).
Protokol studi ARDSNet secara khusus didesain untuk menghindari pemicu atau
memperburuk syok atau edema paru. Studi ARDSNet menggunakan algoritme yang
kompleks untuk pemberian cairan yang belum digunakan secara luas.15 Untuk saat ini,
direkomendasikan untuk mengatur pemberian cairan secara konservatif untuk pasien yang
tidak dalam keadaan syok, namun juga menghindari pemberian diuretik berlebihan dan
keadaan hipovolemia. Jenis cairan yang baik digunakan untuk pasien ARDS merupakan hal
yang perlu diteliti lebih lanjut.
Penggunaan koloid berbasis pati (starch) sudah tidak direkomendasikan untuk pasien
sepsis, karena sebuah randomized trial menemukan insidensi gagal ginjal yang lebih tinggi
pada pasien sepsis berat yang mendapatkan 10% pentastarch dibandingkan dengan pasien
yang mendapatkan Ringer lactate. Apakah pentastarch menimbulkan efek yang sama pada
pasien ARDS tanpa sepsis berat belum diketahui.15 Secara teori, pemberian albumin lebih
baik, karena albumin akan meningkatkan tekanan onkotik intravaskular dan mencegah
edema paru. Sebuah studi placebo-controlled menunjukkan bahwa pemberian albumin dan
furosemide

selama 5 hari menyebabkan perbaikan oksigenasi secara substansial dan signifikan,


dan disertai penurunan detak jantung. Sebuah studi lanjutan menyebutkan bahwa perbaikan
oksigenasi bukan disebabkan oleh albumin, melainkan furosemide. Sebuah clinical trial
terhadap pasien yang dirawat di ICU menyebutkan bahwa pemberian albumin aman, seperti
pemberian kristaloid, namun studi ini tidak secara spesifik memilih pasien ARDS, dan juga
hanya mengamati hasil jangka pendek. Harus diingat juga bahwa albumin merupakan produk
darah, sehingga pemberian albumin berkaitan dengan risiko penularan penyakit meskipun
kecil. Oleh karena itu peran albumin pada kasus ARDS masih belum jelas dan membutuhkan
studi lebih lanjut.12

Nutrisi
Telah disimpulkan bahwa manipulasi pada diet dapat memperbaiki sistem imun dan
meningkatkan hasil terapi penyakit inflamasi, seperti sepsis dan ARDS. Strategi yang telah
dilakukan antara lain suplementasi arginin, glutamin, asam lemak 𝜔-3, dan antioksidan.2
Sebuah studi randomized meneliti efek nutrisi enteral modifikasi yang meliputi pemberian
eicosapentaenoic acid, gamma-linolenic acid, dan bermacam-macam antioksidan
dibandingkan dengan nutrisi enteral kontrol pada pasien dengan ARDS, dengan hasil
kelompok yang diberi nutrisi enteral modifikasi tersebut mengalami perbaikan oksigenasi,
pengurangan jumlah neutrofil pada cairan bilasan alveolar, penurunan lama rawat, dan
penurunan kebutuhan ventilasi mekanik. Formula yang diperkaya dengan asam lemak 𝜔-3
dapat memberikan efek baik untuk pasien ARDS karena berkompetisi dengan 𝜔-6 PUFA
dan meminimalkan sintesis eikosanoid proinflamatori.16 Banyak studi lain yang meneliti
pemberian nutrisi enteral modifikasi (sering disebut imunonutrisi) dengan hasil yang masih
kontroversi, sehingga peran imunonutrisi pada manajemen ARDS masih belum jelas.2, 16 Hal
lain yang terkait dengan ini adalah seberapa banyak nutrisi enteral yang harus diberikan.
Pada sebuah studi randomized controlled trial terbaru, jumlah pemberian nutrisi enteral tidak
mempengaruhi hasil terapi dari ALI.16

Farmakoterapi
Usaha untuk mengembangkan terapi farmakologis untuk ARDS sejauh ini masih
belum berhasil, belum ada farmakoterapi yang secara jelas dapat mengurangi angka
kematian ARDS meskipun telah banyak studi dilakukan untuk meneliti agen-agen yang
potensial. Kesimpulan yang bisa ditarik dari berbagai studi yang meneliti berbagai macam
agen adalah meskipun didapatkan hasil yang efektif saat dilakukan percobaan secara in vitro
atau pada binatang, kebanyakan terapi potensial gagal mengurangi angka
mortalitas atau hasil lain yang penting pada percobaan pada manusia, beberapa jenis agen
memperbaiki oksigenasi namun tidak mengurangi angka mortalitas ARDS.2, 12
Kortikosteroid
Berdasarkan patofisiologi inflamasi pada ARDS, telah banyak dilakukan penelitian
tentang kortikosteroid dosis tinggi. Pada beberapa penelitian, tujuannya adalah untuk
mencegah ARDS pada pasien dengan risiko (contoh: syok septik), sedangkan pada
penelitian lain steroid diberikan pada kasus ARDS yang telah bermanifestasi. Yang umum
diberikan adalah Metilprednisolon 30mg/kgBB setiap 6 jam selama 1-2 hari, namun tidak
satupun dari penelitian-penelitian tersebut yang menunjukkan keuntungan dari pemberian
steroid, salah satu penelitian menyebutkan kejadian infeksi yang lebih tinggi pada pasien
yang mendapat terapi steroid.4 Penggunaan steroid telah lama diperkirakan akan berguna
pada fase lebih lanjut ARDS, yaitu fase fibroproliferatif. Tingkat sitokin plasma yang
meningkat secara persisten tampaknya berhubungan dengan perburukan survival rate
ARDS. Hal ini mendukung teori yang menyebutkan bahwa ARDS fase lanjut (>7 hari
setelah onset) ditandai dengan inflamasi persisten yang mungkin memberikan respon
terhadap steroid. Beberapa studi menyebutkan bahwa kelompok yang diberikan steroid
menunjukkan tingkat mortalitas yang lebih rendah, oksigenasi yang lebih baik, penurunan
disfungsi organ, dan ekstubasi lebih awal. Saat yang tepat untuk memberikan steroid masih
menjadi perdebatan, namun dinilai masih masuk akal untuk mempertimbangkan pemberian
steroid pada pasien yang tidak membaik dalam 7-14 hari, karena pada subgrup penelitian
didapatkan keuntungan dan tidak terbukti adanya kerugian.2, 12

Vasodilator inhalasi
Vasodilator inhalasi, termasuk nitric oxide dan prostacyclin, secara selektif
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah paru yang membantu memperbaiki status
oksigenasi tanpa efek samping buruk pada hemodinamik sistemik. Nitric oxide
menyebabkan dilatasi pembuluh darah dengan meningkatkan pengubahan cyclic guanosine
monophosphate yang mengarah pada relaksasi otot polos. Prostacyclin seperti epoprostenol
dan alprostadil bekerja pada reseptor prostaglandin dengan meningkatkan level cyclic
adenosine monophosphate yang menyebabkan relaksasi pembuluh darah. Selain
vasodilatasi, agen-agen ini juga menyebabkan efek pulmonal dan kardiovaskular yang
menguntungkan, seperti mengurangi tahanan vaskular paru, mengurangi afterload ventrikel
kanan, dan meningkatkan volume sekuncup ventrikel kanan. Hasil

penelitian menyebutkan bahwa vasodilator inhalasi tidak berhubungan dengan lama


menggunakan ventilator dan angka kematian. Namun karena terapi inhalasi ini memberikan
efek memperbaiki oksigenasi, maka dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan hipoksemia
refrakter.11

NSAID
Bukti klinis terbaru menyebutkan bahwa terdapat jalur tambahan yang melibatkan
platelet pada onset dan fase resolusi jejas ARDS. Studi observasional menunjukkan bahwa
anti-platelet potensial memiliki peran preventif pada pasien dengan risiko terjadi ARDS.11, 12

Terapi baru (Novel therapy)

Sebelumnya telah dibahas bahwa klirens cairan alveolar dipengaruhi oleh katekolamin.
Sebuah studi meneliti efek pemberian salbutamol intravena dibandingkan dengan plasebo
terhadap 40 pasien dengan ARDS. Pasien yang mendapat salbutamol intravena mengalami
pengurangan jumlah cairan di paru, namun mengalami kejadian aritmia yang lebih tinggi.
Studi ini dihentikan lebih awal karena terdapat peningkatan angka mortalitas pada kelompok
pasien yang mendapatkan salbutamol intravena.2 Studi serupa menggunakan albuterol
aerosol untuk pasien ARDS, namun tidak memberikan hasil yang memuaskan. Oleh karena
itu pemberian 2 agonis belum direkomendasikan untuk ARDS. Terapi sel punca (stem cell)
untuk ARDS sedang diteliti lebih lanjut karena didapatkan hasil yang menguntungkan saat
dilakukan pemberian sel punca melalui endotrakeal maupun intravena pada binatang.5

Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik merupakan terapi standar untuk ARDS dan bertujuan untuk
lifesaving. Tatalaksana ventilator untuk ARDS mengalami banyak perubahan sejak 20 tahun
terakhir, karena bertambahnya penggunaan computed tomography untuk paru dan
pemahaman lebih lanjut terhadap VILI.12
ARDS ditandai dengan hipoksemia yang berat, penurunan komplians paru, dan
awalnya diperkirakan mengenai paru secara difus dan homogen sesuai dengan gambaran
pada foto polos. Hal ini menjadi prinsip terapi oksigen pada ARDS, sehingga tampaknya
hanya dengan volume tidal yang besar pasien dapat mendapatkan ventilasi dan oksigenasi
yang cukup. Namun dengan meningkatnya penggunaan computed tomography, maka
diketahui bahwa kelainan pada ARDS sebenarnya heterogen, menunjukkan opasitas
berbercak-bercak di antara jaringan paru yang tampak normal. Distribusi heterogen jejas ini
menyiratkan bahwa volume tidal yang diberikan pada pasien akan mengembangkan daerah
yang normal (komplians lebih baik) pada paru, sehingga daerah ini akan lebih rentan
mengalami overdistensi dan VILI karena terpajan volume tidal yang ditujukan untuk paru
secara keseluruhan. Ventilasi mekanik dengan dengan tidal volume yang berlebihan dapat
menyebabkan edema paru yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler
yang secara histologis mirip dengan gambaran ARDS.2 Kesimpulan dari sebuah meta
analisis oleh Neto dkk adalah tidal volume yang kecil juga memberikan efek yang positif
pada pasien yang tidak mengalami ARDS. Pada pasien dengan risiko ARDS, ventilasi
mekanik dengan volume tidal besar secara independen dihubungkan dengan timbulnya
ARDS, sedangkan volume tidal kecil dapat mengurangi angka kejadian dan kematian akibat
ARDS.14
Selain itu, ventilasi mekanik pada pasien ARDS sering disertai dengan dissinkroni
antara pasien- ventilator yang dapat memperburuk oksigenasi dan ventilasi. Untuk
mengatasi hal ini umum diberikan sedasi dan bahkan agen pelumpuh otot (neuromuscular
blocking agents). Sebuah studi yang membandingkan pemberian cisatracurium
dibandingkan dengan plasebo pada pasien ARDS berat dengan lung-protective ventilation
berdasarkan studi ARDSNet menyebutkan bahwa terdapat penurunan signifikan angka
kematian 90 hari pertama, angka kejadian barotrauma, dan gagal organ. Mekanisme efek
positif dari pemberian agen pelumpuh otot tidak diketahui, namun diperkirakan karena
kejadian VILI yang lebih jarang.12, 14
Dari segi teori, pemberian tekanan positif pada akhir ekspirasi atau yang sering
disebut PEEP dapat menguntungkan, karena dapat menghindari pembukaan- penutupan
siklik dari unit paru yang dapat menyebabkan atelektrauma dan mengurangi volume tidal
sehingga mengurangi volutrauma. Pemberian PEEP dengan cara memperbaiki oksigenasi
dapat mengurangi FiO2, sehingga menurunkan risiko toksisitas oksigen. Di sisi lain, PEEP
yang terlalu tinggi pun dapat menyebabkan volume akhir inspirasi yang berlebihan dan
volutrauma. Klinisi juga familiar dengan efek PEEP yang dapat menurunkan cardiac output
dan tekanan darah. Data eksperimental menyebutkan bahwa level PEEP yang melewati nilai
tradisional 5-12 cm H2O dapat meminimalkan kolaps alveolar siklik dari paru.11 Level
optimal PEEP yang seharusnya diberikan untuk pasien ARDS masih menjadi kontroversi.4
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa level PEEP yang lebih tinggi dapat mengurangi
angka kematian sebanyak 10%, namun pasien ALI tanpa ARDS tidak mengalami efek yang
baik, malah merugikan bila diberi level PEEP yang lebih tinggi.4, 14
Pada saat yang sama, volume tidal yang kecil dan tekanan yang diberikan pada lung-
protective ventilation dapat mengarah pada de-recruitment paru yang progresif dan memperberat
hipoksemia dan atelektrauma. Untuk melawan terjadinya hal ini disebut dengan manuver
recruitment. Manuver ini melibatkan peningkatan tekanan aliran udara selama beberapa saat,
contohnya pemberian CPAP (continous positive airway pressure) 40 cm H2O selama 40 detik.
Serupa dengan problem yang dijumpai dalam pemberian PEEP, sulit menentukan pasien mana
yang mendapatkan keuntungan dari manuver recruitment dan mana yang akan mengalami
overdistensi. Jaringan paru dengan perfusi yang baik yang mengalami overdistensi dapat
berakibat perpindahan darah ke alveoli yang tidak mengalami perfusi, sehingga terjadi
perburukan right to left shunting dan hipoksemia.12, 14

Memposisikan pasien ARDS dengan posisi telungkup (prone position) telah


disebutkan dapat memperbaiki oksigenasi.2, 17 Mekanismenya bermacam- macam, namun
faktor yang paling penting mungkin adalah efek posisi telungkup terhadap dinding dada dan
komplians paru. Pada posisi tengadah (supine position) bagian paling posterior dan inferior
paru adalah bagian yang paling berat sakitnya pada kasus ARDS. Selain karena gravitasi, hal
ini juga disebabkan oleh berat dari jantung dan organ abdomen. Saat pasien diposisikan
telungkup, maka dinding toraks anterior akan terfiksasi dan berkurang kompliansnya,
sehingga meningkatkan proporsi ventilasi pada bagian posterior paru. Hasilnya adalah
ventilasi lebih homogen dan memperbaiki ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.2 Prone-
Supine II Study, sebuah randomized controlled trial yang dilakukan di Spanyol dan Italia,
menyebutkan bahwa posisi telungkup tidak memberikan cukup keuntungan untuk pasien
ARDS atau subgrup pasien dengan hipoksemia sedang-berat.17

Outcome
Meskipun terjadi pengurangan komplians paru dan oksigenasi yang berat pada saat
terjadi ARDS, pasien yang pulih seringkali memiliki tes fungsi paru yang mendekati normal
6-12 bulan setelahnya. Foto toraks evaluasi biasanya normal dengan sedikit abnormalitas
yang dapat termasuk penebalan pleura. Meskipun didapatkan penanda yang normal di atas,
namun pasien yang pulih dari ARDS terus mengalami batasan fungsional pada hidup sehari-
hari, dan penurunan kualitas hidup paling tidak 5 tahun sejak terjadi ARDS. Hal ini
diperkirakan disebabkan oleh ARDS atau komplikasinya, karena pada sebuah studi ARDS
didapatkan sama beratnya dengan sepsis atau trauma.7, 8

KESIMPULAN
ARDS adalah sebuah sindrom yang disebabkan oleh sekelompok penyebab heterogen
dan bukan diagnosis yang spesifik. ARDS adalah kelainan yang progresif secara cepat dan
awalnya bermanifestasi klinis sebagai sesak napas (dyspneu and tachypneu) yang kemudian
dengan cepat berubah menjadi gagal napas. ARDS pertama kali dideskripsikan pada tahun
1967 oleh Asbaugh dkk kemudian AECC membuat definisi yang akhirnya disempurnakan
oleh kriteria Berlin. Tata laksana ARDS meliputi terapi oksigen, terapi suportif seperti
hemodinamik, farmakoterapi, dan nutrisi. Masih banyak studi yang dilakukan untuk
mendapatkan outcome yang baik untuk pasien ARDS.

DAFTAR PUSTAKA
1. Pneumatikos I and Papaioannou V. The New Berlin Definition: What Is, Finally, the ARDS? Pneumon: Quarterly
Medical Journal. 2012; 25: 365-8.
2. Lee W and Slutsky A. Acute Hypoxemic Respiratory Failure and ARDS. In: Broaddus VC, Ernst JD, Jr TEK and Lazarus
SC, (Eds.). Murray & Nadel's Textbook of Respiratory Medicine. 6th Ed. Philadelphia: Elsevier, 2016, P. 1740-60.
3. Ranieri VM, Rubenfeld GD, Thompson BT, et al. Acute Respiratory Distress Syndrome: The Berlin Definition. JAMA.
2012; 307: 2526-33.
4. Bauman ZM, Gassner MY, Coughlin MA, Mahan M and Watras J. Lung Injury Prediction Score is Useful in Predicting
Acute Respiratory Distress Syndrome and Mortality in Surgical Critical Care Patients. Crit Care Res Pract. 2015; 2015:
157408-.
5. Saguil A and Fargo M. Acute Respiratory Distress Syndrome: Diagnosis and Management. American Family
Physician. 2012; 85: 352-8.
6. Copetti R, Soldati G and Copetti P. Chest Sonography: A Useful Tool to Differentiate Acute Cardiogenic Pulmonary
Edema from Acute Respiratory Distress Syndrome. Cardiovascular Ultrasound. 2008; 6: 16.
7. Bellani G, Laffey JG, Pham T, et al. Epidemiology, Patterns of Care, and Mortality for Patients with Acute Respiratory
Distress Syndrome in Intensive Care Units in 50 Countries. JAMA. 2016; 315: 788-800.
8. Sharif N, Irfan M, Hussain J and Khan J. Factors Associated within 28 Days In-Hospital Mortality of Patients with
Acute Respiratory Distress Syndrome. Biomed Res Int. 2013; 2013: 564547.
9. Kopko PM, Marshall CS, Mackenzie MR, Holland PV and Popovsky MA. Transfusion-Related Acute Lung Injury:
Report of a Clinical Look-Back Investigation. Jama. 2002; 287: 1968-71.
10. Koh Y. Update in Acute Respiratory Distress Syndrome. J Intensive Care. 2014; 2: 2-.
11. Fanelli V, Vlachou A, Ghannadian S, Simonetti U, Slutsky AS and Zhang H. Acute Respiratory Distress Syndrome: New
Definition, Current and Future Therapeutic Options. Journal of Thoracic Disease. 2013; 5: 326-34.
12. Levy B and Choi A. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: Loscalzo J, (Ed.). Harrison's Pulmonary and Critical Care
Medicine. 2nd Ed. New York: McGraw-Hill Education, 2013, P. 288-94.
13. Blondonnet R, Constantin JM, Sapin V and Jabaudon M. A Pathophysiologic Approach to Biomarkers in Acute
Respiratory Distress Syndrome. Disease Markers. 2016; 2016: 3501373.
14. Serpa Neto A, Cardoso SO, Manetta JA, et al. Association between Use of Lung-Protective Ventilation with Lower
Tidal Volumes and Clinical Outcomes among Patients without Acute Respiratory Distress Syndrome: A Meta-
Analysis. JAMA. 2012; 308: 1651-9.
15. Wiedemann HP, Wheeler AP, Bernard GR, et al. Comparison of Two Fluid-Management Strategies in Acute Lung
Injury. The New England Journal of Medicine. 2006; 354: 2564-75.
16. Acilu M, Leal S, Caralt B, Roca O, Sabater J and Masclans
J. The Role of Omega-3 Polyunsaturated Fatty Acids in the Treatment of Patients with Acute Respiratory Distress
Syndrome: A Clinical Review. Biomed Research International. 2015; 2015: 653750.

17. Agrawal SP and Goel AD. Prone Position Ventilation in Acute Respiratory Distress Syndrome: An Overview of the
Evidences. Indian Journal of Anaesthesia. 2015; 59: 246- 8.

Anda mungkin juga menyukai