Disusun Oleh:
i
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan anugerah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Laporan
Pendahuluan yang berjudul “Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan
pada An. A dengan Diagnosa Medis Pneumonia ARDS di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya”. Laporan pendahuluan ini disusun guna melengkapi
tugas (PPK4).
Laporan Pendahuluan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh
karena itu, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes selaku Ketua STIKes Eka Harap
Palangka Raya.
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners., M.Kep selaku Ketua Program Studi Ners
STIKes Eka Harap Palangka Raya.
3. Ibu Nia Pristina, S.Kep., Ners selaku pembimbing akademik yang telah
banyak memberikan arahan, masukkan, dan bimbingan dalam penyelesaian
asuhan keperawatan ini
4. Bapak Panca Oberti Butar Butar, S.Kep., Ners selaku pembimbing Lahan
yang telah banyak memberikan arahan, masukkan, dan bimbingan dalam
penyelesaian asuhan keperawatan ini
5. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksaan kegiatan
pengabdian kepada masyarakat ini.
Saya menyadari bahwa laporan pendahuluan ini mungkin terdapat kesalahan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca dan mudah-mudahan laporan pendahuluan
ini dapat mencapai sasaran yang diharapkan sehingga dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Palangka Raya, 20 Oktober 2021
Penulis
i
LEMBAR PENGESAHAN
Nia Pristina, S. Kep., Ners Panca Oberti Butar Butar, S. Kep., Ners,
Mengetahui,
Ketua Program Studi
S1 Keperawatan,
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN .....................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan...............................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan.............................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................1
2.1 Konsep Penyakit ...............................................................................................4
2.1.1 Definisi....................................................................................................4
2.1.2 Anatomi Fisologi.....................................................................................4
2.1.3 Etiologi....................................................................................................9
2.1.4 Klasifikasi..............................................................................................10
2.1.5 Fatofisiologi (WOC) .............................................................................12
2.1.6 Manifestasi Klinis .................................................................................13
2.1.7 Komplikasi ...........................................................................................13
2.1.8 Pemerikasaan Penunjang ......................................................................14
2.1.9 Penatalaksanaan Medis .........................................................................15
2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan ..................................................................16
2.2.1 Pengkajian Keperawatan ........................................................................21
2.2.2 Diagnosa Keperawatan ...........................................................................25
2.2.3 Intervensi Keperawatan ..........................................................................25
2.2.4 Implementasi Keperawatan ....................................................................27
2.2.5 Evaluasi Keperawatan ............................................................................27
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN .................................................................28
3.1 Pengkajian ......................................................................................................28
3.2 Diagnosa .........................................................................................................40
3.3 Intervensi ........................................................................................................41
3.4 Implementasi ..................................................................................................45
iii
3.5 Evaluasi ..........................................................................................................45
BAB 4 PENUTUP ................................................................................................48
4.1 Kesimpulan .................................................................................................48
4.2 Saran ............................................................................................................48
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
5
Pneumonia masih menjadi penyebab tertinggi kematian pada bayi di bawah usia
lima tahun (balita) maupun bayi baru lahir. Prevalensi pneumonia naik dari 1,6%
pada 2013 menjadi 2% dari populasi balita yang ada di Indonesia pada tahun
2018. Berdasarkan Diagnosis tenaga kesehatan dan gejala menurut provinsi di
NTT, Pervalensi pneumonia pada tahun 2013 mencapai 10% dan menurun 7%
pada tahun 2018 (Riskesdas, 2018). Terhitung dari Bulan Januari hingga Mei
2019, Di RSUD Prof.Dr. WZ Johanes Kupang, Ruang anak (Kenanga dan
Mawar) didapatkan kasus pneumonia sebanyak 5% dengan rincian jumlah balita
yang masuk rumah sakit sebanyak 308 orang dan yang menderita pneumonia dari
antaranya ada 16 orang (Buku Regiter Ruang Kenanga dan Mawar, 2019).
Pneumonia seringkali ditandai dengan gejala batuk dan atau kesulitan
bernapas seperti napas cepat, dan tarikan dinding dada. Pada umumnya
pneumonia dikategorikan dalam penyakit menular yang ditularkan melalui udara,
dengan sumber penularan adalah penderira pneumonia yang menyebarkan kuman
dalam bentuk droplet saat batuk atau bersin. Untuk selanjutnya kuman penyebab
pneumonia masuk ke saluran pernapasan melalui proses inhalasi (udara yang
dihirup), atau dengan cara penularan langsung yaitu percikkan droplet yang
dikeluarkan oleh penderita saat batuk, bersin dan berbicara langsung terhirup oleh
orang disekitar penderita. Banyak kasus yang berpengaruh terhadap meningkatnya
kejadian pneumonia pada balita, baik dari aspek individu anak, orang tua (ibu),
maupun lingkungan. Kondisi fisik rumah yang tidak sehat dapat meningkatkan
resiko terjadinya berbagai penyakit yang salah satunya pneumonia. Rumah yang
padat penghuni, pencemaran udara dalam ruangan akibat penggunaan bahan bakar
pada (kayu bakar/arang), dan perilaku merokok dari orang tua merupakan faktor
lingkungan yang dapat meningkatkan kerentanan balita terhadap pneumonia
(Anwar, 2014).
Berdasarkan masih tingginya prevalensi angka kejadian Pneumonia,
khususnya di Indonesia, dan juga melihat dari segi sebab akibat yang dapat di
timbulkan, maka saya tertarik untuk membahas lebih lanjut tentang Pneumonia
dan asuhan keperawatannya.
1.2 Rumusan Masalah
6
Bagaimana asuhan keperawatan pada An. A dengan diagnosa medis
Pneumonia ARDS di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu melakukan dan memberikan Asuhan Keperawatan
pada An. A dengan diagnosa medis Pneumonia ARDS di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mahasiswa mampu menjelaskan konsep dasar Penyakit
1.3.2.2 Mahasiswa mampu menjelaskan Manajemen Asuhan Keperawatan Pada
pasien dengan diagnosa medis Pneumonia ARDS
1.3.2.3 Mahasiswa mampu melakukan pengkajian keperawatan pada An. A di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.3.2.4 Mahasiswa mampu menentukan dan menyusun intervensi keperawatan
An. A di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.3.2.5 Mahasiswa mampu melaksanakan implementasi keperawatan pada An. A
di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.3.2.6 Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan pada An. A di RSUD
dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.3.2.7 Mahasiswa mampu menyusun dokumentasi keperawatan pada An. A di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Mahasiswa
Diharapkan agar mahasiswa dapat menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan dengan menerapkan proses keperawatan dan memanfaatkan ilmu
pengetahuan yang diperoleh selama menempuh pendidikan di Program Studi S1
Keperawatan Stikes Eka Harap Palangka Raya.
1.4.2 Bagi Klien dan Keluarga
Klien dan keluarga mengerti cara perawatan pada penyakit dengan dianosa
medis Pneumonia ARDS secara benar dan bisa melakukan keperawatan di rumah
dengan mandiri.
1.4.3 Bagi Institusi
7
1.4.3.1 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sumber bacaan tentang Pneumonia ARDS dan Asuhan
Keperawatannya.
1.4.3.2 Bagi Institusi Rumah Sakit
Memberikan gambaran pelaksanaan Asuhan Keperawatan dan
Meningkatkan mutu pelayanan perawatan di Rumah Sakit kepada pasien dengan
diagnosa medis Pneumonia ARDS melalui Asuhan Keperawatan yang
dilaksanakan secara komprehensif.
1.4.4 Bagi IPTEK
Sebagai sumber ilmu pengetahuan teknologi, apa saja alat-alat yang dapat
membantu serta menunjang pelayanan perawatan yang berguna bagi status
kesembuhan klien.
8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penyakit
2.1.1 Definisi
Pneumonia merupakan peradangan akut parenkim paru yang biasanya
berasal dari suatu infeksi. (Price, 2017). Pneumonia adalah peradangan yang
mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup
bronkiolus respiratorius, alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan
menimbulkan gangguan pertukaran gas setempat. (Zul, 2017).
Bronkopneumonia digunakan untuk menggambarkan pneumonia yang
mempunyai pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area
terlokalisasi didalam bronki dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di
sekitarnya. Pada bronko pneumonia terjadi konsolidasi area berbercak.
(Smeltzer,2018).
Sindrom gangguan pernapasan akut (Acute respiratory distress syndrome -
ARDS) merupakan manifestasi cedera akut paru-paru, biasanya akibat sepsis,
trauma, dan infeksi paru berat. Secara klinis, hal ini ditandai dengan dyspnea,
hipoksemia, fungsi paru-paru yang menurun, dan infiltrat difus bilateral pada
radiografi dada. Sindrom distres respiratorik akut merupakan bentuk edema
pulmoner yang menyebabkan gagal respiratorik akut dan disebabkan oleh
meningkatnya permeabilitas membran alveolokapiler. Cairan terakumulasi dalam
interstisium paru-paru dan ruang alveolar. ARDS parah bisa menyebabkan
hipoksemia yang sulit disembuhkan dan fatal, tetapi pasien yang sembuh mungkin
hanya mengalami sedikit kerusakan paru-paru atau tidak sama sekali (Guntur,
2011).
2.1.2 Anatomi Fisiologi
2.1.2.1 Hidung
Hidung atau naso atau nasal merupakan saluran udara yang pertama,
mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum
nasi).Di dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu,
dan kotoran yang masuk ke dalam lubang hidung.
2.1.2.2 Faring
9
Faring atau tekak merupakan tempat persimpangan antara jalan
pernapasan dan jalan makanan, terdapat di bawah dasar tengkorak, di belakang
rongga hidung, dan mulut sebelah depan ruas tulang leher. Hubungan faring
dengan organ-organ lain adalah ke atas berhubungan dengan rongga hidung,
dengan perantaraan lubang yang bernama koana, ke depan berhubungan dengan
rongga mulut, tempat hubungan ini bernama istmus fausium, ke bawah terdapat 2
lubang (ke depan lubang laring dan ke belakang lubang esofagus).
2.1.2.3 Laring
Laring atau pangkal tenggorokan merupakan saluran udara dan bertindak
sebagai pembentukan suara, terletak di depan bagian faring sampai ketinggian
vertebra servikal dan masuk ke dalam trakhea di bawahnya. Pangkal tenggorokan
itu dapat ditutup oleh sebuah empang tenggorokan yang biasanya disebut
epiglotis, yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berfungsi pada waktu kita
menelan makanan menutupi laring.
2.1.2.4 Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan lanjutan dari laring yang
dibentuk oleh 16 sampai 20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang
berbentuk seperti kuku kuda (huruf C) sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir
yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, hanya bergerak ke arah luar. Panjang
trakea 9 sampai 11 cm dan di belakang terdiri dari jarigan ikat yang dilapisi oleh
otot polos.
2.1.2.5 Bronkus
Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari trakea, ada 2
buah yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V, mempunyai
struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis set yang sama. Bronkus itu
berjalan ke bawah dan ke samping ke arah tampuk paru-paru.Bronkus kanan lebih
pendek dan lebih besar dari pada bronkus kiri, terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai
3 cabang. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping dari yang kanan, terdiri
dari 9-12 cincin mempunyai 2 cabang.
Bronkus bercabang-cabang, cabang yang lebih kecil disebut bronkiolus
(bronkioli).Pada bronkioli tidak terdapat cincin lagi, dan pada ujung bronkioli
terdapat gelembung paru atau gelembung hawa atau alveoli. Bronkus
10
pulmonaris,trakea terbelah menjadi dua bronkus utama : bronkus ini bercabang
lagi sebelum masuk paru-paru. Dalam perjalanannya menjelajahi paru-
paru,bronkus-bronkus pulmonaris bercabang dan beranting lagi banyak sekali.
Saluran besar yang mempertahankan struktur serupa dengan yang dari trakea
mempunyai diinding fibrosa berotot yang mengandung bahan tulang rawan dan
dilapisi epitelium bersilia. Makin kecil salurannya, makin berkurang tulang
rawannya dan akhirnya tinggal dinding fibrosa berotot dan lapisan silia. Bronkus
terminalis masuk kedalam saluran yang agak lain yang disebut vestibula, dan
disini membran pelapisnya mulai berubah sifatnya : lapisan epitelium bersilia
diganti dengan sel epitelium yang pipih. Dari vestibula berjalan beberapa
infundibula dan didalam dindingnya dijumpai kantong-kantong udara itu .
kantong udara atau alveoli itu terdiri atas satu lapis tunggal sel epitelium pipih,
dan disinilah darah hampir langsung bersentuhan dengan udara suatu jaringan
pembuluh darah kapiler mengitari alveoli dan pertukaran gas pun
terjadi.Pembuluh darah dalam paru-paru. Arteri pulmonaris membawa darah yang
sudah tidak mengandung oksigen dari ventikel kanan jantung ke paru-paru;
cabangcabangnya menyentuh saluran-saluran bronkial, bercabang-cabang lagi
sampai menjadi arteriol halus; arteriol itu membelah belah dan membentuk
2.1.2.6 Alveoli
Alveolus adalah struktur anatomi yang memiliki bentuk
berongga. Terdapat pada parenkim paru-paru, yang merupakan ujung dari saluran
pernapasan, di mana kedua sisi merupakan tempat pertukaran udara dengan
darah. Alveolus merupakan anatomi yang hanya dimiliki oleh mamalia.
Pada vertebrata sistem pertukaran gas memiliki struktur yang berbeda. Membran
alveolaris adalah permukaan tempat terjadinya pertukaran gas. Darah yang kaya
karbon dioksida dipompa dari seluruh tubuh ke dalam pembuluh darah alveolaris,
di mana, melalui difusi, ia melepaskan karbon dioksida dan menyerap oksigen.
2.1.2.7 Paru-paru
Paru-paru ada dua, merupakan alat pernfasan utama. Paru-paru mengisi
rongga dada. Terletak disebelah kanan dan kiri dan ditengah dipisahkan oleh
jantung beserta pembuluh darah besarnya dan struktur lainnya yang terletak
didalam media stinum. Paru-paru adalah organ yang berbentuk kerucut dengan
11
apeks (puncak) diatas dan sedikit muncul lebih tinggi daripada clavikula didalam
dasar leher. Pangkal paru-paru duduk diatas landae rongga thoraks,diatas
diafraghma. Paru-paru mempunyai permukaan luar yang menyentuh iga-iga,
permukaan dalam yang memutar tampuk paruparu, sisi belakang yang menyentuh
tulang belakang,dan sisi depan yang menutup sebagian sisi depan jantung.Paru-
paru dibagi menjadi beberapa belahan atau lobus oleh fisura. Paru-paru kanan
mempunyai tiga lobus dan paru-paru kiri dua lobus. Setiap lobus tersusun atas
lobula. Jaringan paruparu elastis,berpori, dan seperti spons.
2.1.3 Etiologi
Menurut Nugroho.T (2017), pneumonia dapat disebabkan oleh bermacam-
macam etiologi seperti:
a. Bakteri: stapilococus, sterptococcus, aeruginosa.
b. Virus: virus influenza, dll
c. Micoplasma pneumonia
d. Jamur: candida albicans
e. Benda asing
Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya pneumonia ialah daya tahan
tubuh yang menurun misalnya akibat Malnutrisi Energi Protein (MEP), penyakit
menahun, trauma pada paru, anestesia, aspirasi, dan pengobatan dengan antibiotik
yang tidak sempurna (Ngastiyah, 2017)
2.1.4 Klasifikasi
Menurut Nurarif (2018), klasifikasi pneumonia terbagi berdasarkan
anatomi dan etiologis dan berdasarkan usaha terhadap pemberantasan pneumonia
melalui usia :
2.1.4.1 Pembagian anatomis
1) Pneumonia lobularis, melibat seluruh atau suatu bagian besar dari satu atau
lebih lobus paru. Bila kedua paru terkena maka dikenal sebagai
pneumonial bilateral atau ganda.
2) Pneumonia lobularis (Bronkopneumonia) terjadi pada ujung akhir
bronkiolus, yang tersumbat oleh eksudat mukopurulen untuk membentuk
bercak konsulidasi dalam lobus yang berada didekatnya, disebut juga
pneumonia lobularis.
12
3) Pneumonia Interstitial (Bronkiolitis) proses inflamasi yang terjadi di dalam
dinding alveolar (interstinium) dan jaringan peribronkial serta interlobular.
2.1.4.2 Pembagian etiologis
1) Bacteria: Diploccocus pneumonia, pneumococcus, streptokokus
hemolytikus, streptococcus aureus, Hemophilus infuinzae, Bacilus
Friedlander, Mycobacterium tuberculosis.
2) Virus: Respiratory Syncytial Virus, Virus Infuinza, Adenovirus.
3) Jamur: Hitoplasma Capsulatum, Cryptococus Neuroformans, Blastornyces
Dermatitides
4) Aspirasi: Kerosene (bensin, minyak tanah), cairan amnion,benda asing
5) Pneumonia Hipostatik
6) Sindrom Loeffler
2.1.5 Patofisologi (WOC)
Merupakan inflamasi paru yang ditandai dengan konsulidasi karena eksudat
yang mengisi elveoli dan brokiolus. Saat saluran nafas bagian bawah terinfeksi,
respon inflamasi normal terjadi, disertai dengan jalan obstruksi nafas (Terry &
Sharon, 2013).
Sebagian besar pneumoni didapat melalui aspirasi partikel inefektif seperti
menghirup bibit penyakit di udara. Ada beberapa mekanisme yang pada keadaan
normal melindungi paru dari infeksi. Partikel infeksius difiltrasi dihidung, atau
terperangkap dan dibersihkan oleh mukus dan epitel bersilia disaluran napas. Bila
suatu partikel dapat mencapai paruparu , partikel tersebut akan berhadapan dengan
makrofag alveoler, dan juga dengan mekanisme imun sistemik dan humoral.
Infeksi pulmonal bisa terjadi karena terganggunya salah satu mekanisme
pertahanan dan organisme dapat mencapai traktus respiratorius terbawah melalui
aspirasi maupun rute hematologi. Ketika patogen mencapai akhir bronkiolus maka
terjadi penumpahan dari cairan edema ke alveoli, diikuti leukosit dalam jumlah
besar. Kemudian makrofag bergerak mematikan sel dan bakterial debris. Sisten
limpatik mampu mencapai bakteri sampai darah atau pleura viseral. Jaringan paru
menjadi terkonsolidasi. Kapasitas vital dan pemenuhan paru menurun dan aliran
darah menjadi terkonsolidasi, area yang tidak terventilasi menjadi fisiologis right-
to-left shunt dengan ventilasi perfusi yang tidak pas dan menghasilkan hipoksia.
13
Kerja jantung menjadi meningkat karena penurunan saturasi oksigen dan
hiperkapnia (Nugroho.T, 2011).
14
ETIOLOGI
Menurut Nugroho.T (2017), pneumonia dapat disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti:
a. Bakteri: stapilococus, sterptococcus, aeruginosa.
b. Virus: virus influenza, dll
c. Micoplasma pneumonia
d. Jamur: candida albicans
e. Benda asing
Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya pneumonia ialah daya tahan tubuh yang menurun misalnya akibat
Malnutrisi Energi Protein (MEP), penyakit menahun, trauma pada paru, anestesia, aspirasi, dan pengobatan dengan
antibiotik yang tidak sempurna (Ngastiyah, 2017)
Pneumonia ARDS
B1 B2 B3 B4 B5 B6
Breathing Blood Brain Bladder Bowel Bone
12
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Mutaqin (2018), pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan
pada orang dengan masalah pneumonia adalah:
a. Sinar X: mengidentifikasikan distribusi struktural (misal: lobar, bronchial);
dapat juga menyatakan abses.
b. Pemeriksaan gram/kultur, sputum dan darah: untuk dapat mengidentifikasi
semua organisme yang ada.
c. Pemeriksaan serologi: membantu dalam membedakan diagnosis organisme
khusus.
d. Pemeriksaan fungsi paru: untuk mengetahui paru-paru,menetapkan luas berat
penyakit dan membantu diagnosis keadaan.
e. Biopsi paru: untuk menetapkan diagnosis
f. Spirometrik static: untuk mengkaji jumlah udara yang diaspirasi
g. Bronkostopi: untuk menetapkan diagnosis dan mengangkat benda asing.
2.1.9 Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan kasus pneumonia menurut Mutaqin (2008) antara lain:
2.1.9.1 Manajemen Umum
1. Humidifikasi: humidifier atau nebulizer jika sekret yang kental dan
berlebihan.
2. Oksigenasi: jika pasien memiliki PaO2
3. Fisioterapi: berperan dalam mempercepat resolusi pneumonenia pasti;
pasien harus didorong setidaknya untuk batuk dan bernafas dalam untuk
memaksimalkan kemampuan ventilator.
4. Hidrasi: Pemantauan asupan dan keluaran; cairan tambahan untuk
mempertahankan hidrasi dan mencairkan sekresi.
2.1.9.2 Operasi Thoracentesis dengan tabung penyisipan dada: mungkin
diperlukan jika masalah sekunder seperti empiema terjadi.
2.1.9.3 Terapi Obat Pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi
tapi karena hal itu perlu waktu dan pasien pneumonia diberikan terapi secepatnya:
Penicillin G untuk infeksi pneumonia staphylococcus, amantadine, rimantadine
13
untuk infeksi pneumonia virus. Eritromisin, tetrasiklin, derivat tetrasiklin untuk
infeksi pneumonia
2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
2.2.1.1 Anamnesis
Pengkajian dilakukan dengan melakukan anamnesis pada pasien. Data-data yang
dikumpulkan atau di kaji meliputi :
2.2.1.1.1 Identitas Pasien
Pada tahap ini perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat
rumah, agama, suku bangsa, status perkawinan, pendidikan terakhir, nomor
registrasi, pekerjaan pasien, dan nama penanggung jawab.
2.2.1.1.2 Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
Pengkajian adalah keluhan utama yang sering menjadi alasan klien dengan
pneumonia untuk meminta pertolongan kesehatan sesak napas, batuk, dan
peningkatan suhu tubuh/ demam (Wahid & Suprapto, 2013).
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Data yang perlu dikaji pada pasien dengan bersihan jalan napas tidak efektif
(PPNI, 2016) adalah batuk tidak efektif pasien, ketidak mampu batuk pasien,
sputum berlebih yang dihasilkan pasien, adanya mengi, whezzing dan/atau ronkhi
kering, dyspnea, sulit bicara, ortopnea, gelisah atau tidaknya pasien, ada atau
tidaknya sianosis, kaji bunyi napas, frekuensi napas berubah, dan pola napas
berubah.
3. Riwayat Kesehatan Lalu
Penyakit apa saja yang pernah diderita.
4. Riwayat Kesehatan Gizi
Status gizi penderita Pneumonia dapat bervariasi. Semua pasien dengan status gizi
baik maupun buruk dapat beresiko, apabila terdapat beberapa faktor
predisposisinya. Pasien yang menderita Pneumonia sering mengalami keluhan
mual, muntah, dan nafsumakan menurun. Apabila kondisi ini berlanjut dan tidak
disertai dengan pemenuhan nutrisi yang mencukupi, maka akan dapat mengalami
penurunan berat badan sehingga status gizinya menjadi kurang.
14
5. Kondisi Lingkungan
Sering terjadi didaerah yang padat penduduknya dan lingkungan yang
kurang bersih.
2.2.1.2 Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Pemeriksaan fisik harus selalu dimulai dengan penilaian keadaan umum
yang mencakup, kesan keadaan sakit, termasuk fasies & posisi pasien,
kesadaran, kesan status gizi
a) Compos mentis : kesadaran baik
b) Apatis : perhatian kurang
c) Samnolen : kesadaran mengantuk
d) Stupor : kantuk yang dalam pasien dibangunkan dengan
rangsangan nyeri yang kuat
e) Soparokomatus : keadaan tidak ada respon verbal
f) Tidak ada respon sama sekali
b. Tanda-Tanda Vital
a) Tekanan darah : pasien normal memiliki riwayat tekanan
darah dengan tekanan systole > 120 dan diastole > 80 mmHg
b) Nadi : pasien normal memiliki 60-100 x/menit
c) Pernapasan : pasien normal berkisar 16-20 x/menit
d) Suhu tubuh : pada pasien normal berkisar 36,1-37 0C
c. Pemeriksaan Head To Toe
a) Pemeriksaan Kepala
1) Kepala : Pada umumnya bentuk kepala pada pasien normal simetris
2) Rambut : Pada umumnya tidak ada kelainan pada rambut pasien
3) Wajah : Biasanya pada wajah pasien normal nampak simetris
d) Pemeriksaan Integumen
1) Kulit : Biasanya pada klien yang kekurangan O2 kulit akan tampak pucat
dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit kan jelek.
2) Kuku : Biasanya pada pasien Pneumonia ini capilarry refill timenya <3
detik bila ditangani secara cepat dan baik
e) Pemeriksaan Dada
15
Pada inspeksi biasanya didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum,
sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi
pernafasan. Pada auskultasi biasanya terdengar bunyi nafas tambahan seperti
ronchi pada klien dengan peningkatan produksi sekret.
f) Pemeriksaan Abdomen
Pada klien Pneumonia apakah didapatkan distensi pada abdomen, terdapat
penurunan peristaltik usus, dan kadang-kadang perut klien terasa kembung
yang di akibatkan tekanan pada abdomen karena peradangan.
g) Pemeriksaan Genitalia
Biasanya klien Pneumonia kebersihan pada genitalianya cukup kurang karena
terbatasnya aktivitas. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten
dengan teknik steril.
j) Pemeriksaan Fisik B1-B6
1) Pernafasan (B1: Breathing)
Bentuk hidung, ada atau tidaknya sekret, PCH (Pernafasan Cuping
Hidung), kesimetrisan dada dan pernafasan, suara nafas dan
frekwensi nafas. Pengaturan pergerakan pernafasan akan
mengakibatkan adanya retraksi dada akibat kehilangan koordinasi
otot. Ekspansi dada menjadi terbatas karena posisi berbaring
akibatnya ventilas paru menurun sehingga dapat menimbulkan
atelektasis. Akumulasi sekret pada saluran pernafasan
mengakibatkan terjadinya penurunan efisiensi siliaris yang dapat
menyebabkan pembersihan jalan nafas yang tidak efektif.
Kelemahan pada otot pernafasan akan menimbulkan mekanisme
batuk tidak efektif.
2) Kardiovaskuler (B2:Blood)
Warna konjungtiva, terjadi peningkatan denyut nadi karena pengaruh
metabolik, endokrin dan mekanisme keadaaan yang menghasilkan
adrenergik serta selain itu peningkatan denyut jantung dapat
diakibatkan pada klien. Rasa pusing saat bangun bahkan dapat
terjadi pingsan, terdapat kelemahan otot. Ada tidaknya peningkatan
JVP (Jugular Vena Pressure), bunyi jantung serta pengukuran
16
tekanan darah. Pada daerah perifer ada tidaknya oedema dan warna
pucat atau sianosis.
17
intoleransi aktivitas dan gangguan pemenuhan ADL (Activity Day
Living).
2.2.1.2 Pengkajian Primer
a. Airway
Kaji kepatenan jalan nafas, apakah terdapat sekret dijalan nafas (sumbatan jalan
nafas) atau ada bunyi nafas tambahan.
b. Breathing
Kaji distress pernafasan : pernafasan cuping hidung, menggunakan otot-otot
asesoris pernafasan, pernafasan cuping hidung, kesulitan bernafas : lapar udara,
diaphoresis, dan sianosis, pernafasan cepat dan dangkal.
c. Circulation
Kaji heart rate, tekanan darah, kekuatan nadi, capillary refill, akral, suhu tubuh,
warna kulit, kelembaban kulit, perdarahan eksternal jika ada.
d. Dissability
Berisi pengkajian kesadaran dengan Glasgow Coma Scale (GCS), ukuran dan
reaksi pupil, pada kondisi yang berat dapat terjadi asidosis metabolic sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.
e. Exposure
Berisi pengkajian terhadap suhu serta adanya injury atau kelainan lain, kondisi
lingkungan yang ada disekitar pasien
2.2.2.2 Pengkajian Sekunder
K : Keluhan
O : Obat yang dikonsumsi terakhir
M : Makanan yang terakhir dimakan
P : Penyakit penyerta
A : Alergi
K : Kejadian
Lakukan pemeriksaan fisik dengan BTLS (Bentuk, Tumor, Luka, Sakit)
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosis Keperawatan yang mungkin muncul menurut SDKI,
kemungkinan masalah yang muncul adalah sebagai berikut :
18
2.2.2.1 Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan Spasme jalan
nafas (D.0001) Hal 18
2.2.2.2 Gangguan Pertukaran Gas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru
(D.0005. Halaman 26)
2.2.2.3 Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi alveoli (D.0130) Hal
28
19
2.2.2.4 Perfusi Perifer Tidak Efektif berhubungan dengan Ketidakseimbangan
ventilasi dan perfusi. (D.0009. Hal 37 )
2.2.2.5 Defisit Nutrisi berhubungan dengan mual/muntah. (D.0019. Hal 56 )
2.2.2.6 Risiko infeksi berhubungan dengan respon inflamasi tertekan. (D.0142.
Hal 304)
20
2.2.3 Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria Hasil) Intervensi
1. Bersihan jalan napas Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Napas (SIKI I.01011 Hal. 186)
tidak efektif keperawatan selama 1 × 4 Jam Observasi :
diharapkan Bersihan jalan napas 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
klien kembali membaik. Kondisi 2. Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling, mengi, whezzing,
klien membaik dengan kriteria ronkhi kering)
hasil : 3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
4. Monitor adanya produksi sputum
(SLKI L.01001 Hal 18)
5. Monitor adanya sumbatan jalan nafas
1. Batuk efektif meingkat (5)
6. Auskultasi bunyi nafas
2. Produksi sputum menurun (5) 7. Monitor saturasi oksigen
3. Wheezing (pada neonatus) 8. Monitor nilai AGD
menurun (5) 9. Monitor nilai x-ray toraks
4. Dispnea menurun (5) Terapeutik :
5. Ortopnea menurun (5) 1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift (jaw-
6. Dispnea menurun (5) thrust jika curiga trauma servikal)
7. Sulit bicara menurun (5) 2. Posisikan semi-Fowler atau Fowler
8. Sianosis menurun (5) 3. Berikan minum hangat
9. Ortopnea menurun (5) 4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
10. Gelisah menurun (5) 5. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
11. Frekuensi napas membaik (5)
7. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep Mcgill
12. Pola napas membaik (5)
8. Berikan oksigen, jika perlu
9. Lakukan pengisapan lendir lebih dari 15 detik
10. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
21
Edukasi :
1. Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika tidak kontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu
22
7. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep Mcgill
8. Berikan oksigen, jika perlu
9. Lakukan pengisapan lendir lebih dari 15 detik
10. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
Edukasi :
1. Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika tidak kontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu
23
8. Sianosis menurun (5) dingin pada dahi, leher, dada, abdomen, dada, aksila)
9. Ortopnea menurun (5) 7. Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
10. Gelisah menurun (5) 8. Berikan oksigen, jika perlu
11. Frekuensi napas membaik (5) Edukasi :
12. Pola napas membaik (5) 1. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian cairan dan elekrolit intravena, jika perlu
24
2.2.4 Implementasi
Implementasi keperawatan adalah tahap keempat yang merupakan tahap
pelaksanaan dari berbagai tindakan keperawatan yang telah direncanakan. Dalam
tahap implementasi keperawatan, petugas kesehatan harus sudah memahami
mengenai tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien. Suatu koordinasi dan
kerja sama sangatlah penting untuk dijaga dalam tahap implementasi keperawatan
sehingga ketika terjadi hal yang tidak terduga, maka petugas kesehatan akan
berkoordinasi dengan petugas kesehatan yang lainnya untuk saling bekerjasama
dalam pemecahan masalah. Tahap implementasi keperawatan dilakukan untuk
melaksanakan tindakan yang telah direncanakan guna membantu mengatasi
masalah yang dialami pasien (Prabowo, 2018).
2.2.5 Evaluasi
Tahap evaluasi keperawatan ini dapat menilai sejauh mana keberhasilan
yang dicapai dan seberapa besar kegagalan yang terjadi. Dari hasil evaluasi,
tenaga kesehatan dapat menilai pencapaian dari tujuan serta dari hasil evaluasi ini,
tenaga kesehatan akan menjadikan hasil evaluasi ini sebagai bahan koreksi dan
catatan untuk perbaikan tindakan yang harus dilakukan (Prabowo, 2018).
Evaluasi keperawatan disusun dengan menggunakan SOAP yang operasional,
seperti :
a. S (Subjektif) adalah ungkapan perasaan maupun keluhan yang
disampaikan pasien
b. O (Objektif) adalah pengamatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
melalui sikap ibu ketika dan setelah dilakukan tindakan keperawatan
25
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Nama Mahasiswa : Ruly Ramadana
NIM : 2018.C.10a.0983
Ruang Praktek : Ruang ICU
Tanggal Praktek : 20 Oktober 2021
Tanggal & Jam Pengkajian : 20 Oktober 2021 & 09:00 WIB
3.1 Pengkajian Keperawatan
3.1.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : An. A
Umur : 55 Hari
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku/Bangsa : Dayak/Indonesia
Agama : Kristen
Pekerjaan :-
Pendidikan :-
Status Perkawinan :-
Alamat : Jl. Bangas Permai
Tgl MRS : 20/10/2021
Diagnosa Medis : Pnemonia ARDS
3.1.2 RIWAYAT KESEHATAN /PERAWATAN
1. Keluhan Utama :
Ibu Klien mengatakan anaknya nampak sesak nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
An. A umur 55 Hari dibawa oleh keluarga klien ke RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya dengan keluhan sejak pagi klien sesak napas
saat tersedak susu, Klien pada tanggal 20 Oktober 2021 dibawa ke
ruang ICU.
26
3. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Ibu klien mengatakan waktu lahir anaknya mengalami BBLR, ada
Riwayat tersedak susu
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga klien mengatakan bahwa klien tidak ada riwayat penyakit
keluarga seperti penyakit turunan jantung, DM, namun mempunyai
riwayat hipertensi
Genogram Keluarga :
Keterangan :
Pria :
Wanita :
Meninggal :
Klien :
Garis keturunan :
Tinggal serumah :-----
27
d. Tekanan Darah/BP : 60/35mmHg
e. Kesadaran : GCS E 4 V 5 M 6 (Composmentis)
28
4. Saraf kranial IV (Troklearis) : Klien tidak dapat dikaji
5. Saraf kranial V (Trigeminalis) : Klien tidak dapat dikaji
6. Saraf kranial VI (Abdusen) : Klien tidak dapat dikaji
7. Saraf kranial VII (Fasialis) : Klien tidak dapat dikaji.
8. Saraf kranial VIII (Auditorius) : Klien tidak dapat dikaji.
9. Saraf kranial IX (Glosofaringeus) : Klien tidak dapat dikaji
10. Saraf kranial X (Vagus) : Klien tidak dapat dikaji
11.Saraf kranial XI (Assesorius) : Klien tidak dapat dikaji
12.Saraf kranial XII (Hipoglosus) : Klien tidak dapat dikaji
Uji Koordinasi :
Ekstrimitas Atas : Positif
Ekstrimitas Bawah : Positif
Uji Kestabilan Tubuh : Negatif
Refleks :
Bisep : Klien tidak dapat dikaji
Trisep : Klien tidak dapat dikaji
Brakioradialis : Klien tidak dapat dikaji
Patella : Klien tidak dapat dikaji
Akhiles : Klien tidak dapat dikaji
Refleks Babinski : Klien tidak dapat dikaji
Refleks lainnya : Klien tidak dapat dikaji
Uji sensasi : Pasien merespon ketika diberikan sensasi
sentuh
Keluhan lainnya : Tidak ada keluhan lainnya
Masalah Keperawatan : Tidak Ada Masalah
29
3.1.8 ELIMINASI ALVI (BOWEL) :
Mulut dan Faring
Mulut dan Faring
Bibir : Bibir tampak kering
Gigi : Gigi pasien belum tumbuh
Gusi : Gusi klien merah gelap
Lidah : Lidah nampak kemerahan
Mukosa : Lembab dan bewarna merah muda
Tonsil : Tidak dapat dikaji
Rectum : Tidak dapat dikaji
Haemoroid : Tidak dapat dikaji
BAB/Warna : Tidak dapat dikaji
Bising usus : ...................................................................................................Tidak dik
Nyeri tekan, lokasi : Tidak ada nyeri tekan
Benjolan, lokasi : Tidak terdapat benjolan
Terpasang selang OGT
Nutirisi :
Nutiris Neonatus :
PB : 51 Cm
BB sekarang : 5 Kg
BB Sebelum sakit : 5 Kg (2x0,2)+5= 5,4 ( Baik)
Diet : Klien diberikan diet puasa, tidak ada mual muntah. Kesukaran
menelan.
Pola Makan Sehari- Sesudah Sakit Sebelum Sakit
hari
Frekuensi/hari - -
Porsi - -
Nafsu makan - -
Jenis Makanan - -
Jenis Minuman - -
30
Kebiasaan makan - -
Keluhan/masalah - -
31
3.1.12 LEHER DAN KELENJAR LIMFE
Massa tidak ada, jaringan parut tidak ada, kelenjar limfe tidak ada, kelenjar
tyroid tidak ada, mobilitas leher bebas tidak terbatas.
Keluhan lainnya : Tidak ada keluhan
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
32
3. Hubungan dengan keluarga :
Baik, ditandai dengan perhatian yang diberikan oleh keluarga saat
An.A di rawat di ruang ICU terlihat keluarga selalu menjenguk
4. Hubungan dengan teman/petugas kesehatan/orang lain :
Pasien tidak dapat berinteraksi dengan orang lain, lingkungannya
sekitar, hanya merespon Ketika diberikan rangsangan oleh perawat
maupun dokter.
5. Orang berarti/terdekat :
Menurut keluarga pasien orang yang terdekat dengannya adalah Ibu
dan Ayahnya
6. Kegiatan beribadah : -
Keluhan lainnya : Tidak ada keluhan
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
Hasil laboratorium
Tanggal 20 Oktober 2021
No Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
1. WBC 16. 37(103/uL) 4.50 - 11.00
2. HGB 9,7 g/dL 10.5 - 18.0
3. HCT 29,5 % 37.0 - 48.0
4. PLT 255 (103/uL) 150 - 400
5. pH 7,31 7,38-7,42
6. pCO2 51 38-42
7. pO2 34 80-100
8. SO2 59 95-97
PENATALAKSANAAN MEDIS
No Terapi Medis Dosis Rute Indikasi
.
1. Infus D5 ¼ NG 340 IV Digunakan sebagai terapi
pengganti cairan tubuh saat
cc/24jam
mengalami dehidrasi.
2. Infus Aminosteril 6% 160 IV Merupakan salah satu larutan
steril berisi nutrisi parenteral
cc/24jam
(diberikan bukan melalui
mulut tetapi melewati
pembuluh darah) yaitu Asam
amino yang digunakan untuk
pada pasien penyakit hati
kronis dengan gangguan
33
ensefalopati hepatik
3. Inj. Cefotaxim 2x250mg IV Cefotaxim adalah obat antibiotik
untuk mengobati berbagai macam
penyakit infeksi bakteri. Beberapa
penyakit infeksi yang bisa diatasi
oleh obat ini adalah pneumonia
4. Inj. Gentamisin 1 x 25 mg IV Untuk mengatasi infeksi akibat
bakteri. Obat ini tersedia dalam
bentuk injeksi, infus, tetes
(tincture), krim, dan salep
5. Inj. Dexamethasone 1x2mg IV Obat antiradang yang digunakan
pada berbagai kondisi peradangan,
seperti reaksi alergi, penyakit
autoimun, atau radang sendi.
Selain itu, obat ini bisa
dikombinasikan dengan obat lain
untuk menangani multiple
myeloma
6. O2 CPAP FiO2 100% Terapi oksigen pada pasien
dengan kebutuhan oksigen
rendah
ANALISIS DATA
DATA SUBYEKTIF DAN KEMUNGKINAN MASALAH
DATA OBYEKTIF PENYEBAB
DS : - Inflamasi bakteri dan Bersihan Jalan Nafas
DO : virus Tidak Efektif
- Pasien tampak sesak nafas
- Sputum (+), bewarna Peningkatan produksi
kuning sputum
- Type pernafasan dada dan
perut Akumulasi jalan napas
- Irama pernafasan tidak terhambat
34
teratur
- Dispnea Jalan napas terhambat
- Bentuk dada klien tampak secret
simetris
- TTV : Bersihan jalan napas
Td : 60/35 mmHg,
N : 162x/menit
RR : 50x/menit
S : 370C
DS : - Penumpukan cairan di Gangguan Pertukaran
DO: alveoli
Gas
- RR : 50x/menit
- Dipsnea G3 metabolisme
- Tubuh tampak pucat perubahan asam basa
- Tampak sianosis
- Frekuensi denyut jantung Asidosis respiratorik
162x/menit
- Gerakan dinding dada G3 perfusi ventilasi
tidak teraba
- Pada saat auskultasi Suara Gangguan pertukaran
nafas terdengar lemah gas
- Hasil AGD :
o pH: 7,31 , pCO2 : 51
mmHg , pO2 : 34 mmHg,
sO2 : 59 mmHg.
35
dengan RR : 50x/mnt, Dipsnea, tubuh tampak pucat, tampak sianosis,
frekuensi denyut jantung 162x/mnt, gerakan dinding dada tidak teraba, pada
saat aukultasi suara nafas terdengar lemah, hasil AGD : pH 7,31, pCO2 51,
pO2 34, sO2 59.
3. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi
ditandai dengan kulit nampak pucat, nampak sianosis, kulit teraba hangat,
HB: 9,7, Nadi: 162 x/mnt, TD: 60/35 mmHg.
36
3.3 Intervensi Keperawatan
Nama Pasien : An. A
Ruang Rawat : Ruang ICU
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1. Bersihan jalan nafas tidak Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor pola nafas (frekuensi, 1. Untuk mengetahui indikasi
keperawatan selama 1 × 4 kedalaman, usaha nafas) adanya perubahan kedalaman
efektif berhubungan dengan
Jam diharapkan Bersihan 2. Monitor bunyi nafas tambahan 2. Mengetahui apakah ada bunyi
Sekresi yang tertahan ditandai jalan napas klien kembali (mis. Gurgling, mengi, whezzing, nafas tambahan
membaik. Kondisi klien ronki)
dengan pasien tampak sesak
membaik dengan kriteria 3. Monitor sputum (jumlah, warna, 3. Mengetahui karakteristik
nafas, sputum (+) berwarna hasil : aroma) sputum
1. Produksi sputum
kuning kehijauan, tiype 4. Posisikan semi-Fowler atau 4. Membantu pasien merasa
menurun (5)
pernapasan dada dan perut, 2. Dispnea menurun (5) Fowler nyaman pada saat pernafasan
3. Gelisah menurun (5) 5. Berikan oksigen, jika perlu 5. Agar kadar oksigen dalam
irama pernapasan tidak teratur,
4. Frekuensi napas membaik tubuh tercukupi sehingga
dispnea Bentuk dada klien (5) fungsi organ dapat berjalan
5. Pola napas membaik (5) lancar
nampak simetris TTV : Td :
6. Lakukan penghisapan lendir 6. Membantu memperlancar
60/35 mmHg, N : 162x/menit, selama 15 detik jalan nafas pasien
RR : 50x/menit, S : 370C. 7. Kolaborasi pemberian 7. Mengencerkan secret
bronkodilator, ekspektoral,
mukolitik, jika perlu
37
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
2. Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan Intervensi 1. Monitor frekuensi , irama, 1. Untuk mengetahui indikasi
1x4 Jam pertukaran gas kedalaman, dan upaya napas adanya perubahan napas
berhubungan dengan
membaik, dengan kriteria 2. Monitor pola napas (mis. 2. Mengetahui apakah ada bunyi
pengumpulan sekret ditandai hasil : Bradypnea, takipnea, napas tambahan
dengan RR : 50x/mnt, Dipsnea, hiperventilasi, kussmaul,
1. Dispnea menurun (5) Cheyne-stokes, biot, ataksik)
tubuh tampak pucat, tampak 2. Bunyi napas 3. Monitor adanya sputum 3. Mengetahui adanya sputum
tambahan menurun
sianosis, frekuensi denyut
(5)
jantung 162x/mnt, gerakan 3. Napas cuping hidung 4. Monitor nilai AGD 4. Mengetahui tingkat kadar
menurun (5) oksigen
dinding dada tidak teraba, pada
4. PCO2 membaik (5) 5. Bersihkan secret pada mulut, 5. Untuk menghilangkan secret
saat aukultasi suara nafas 5. PO2 membaik (5) hidung, dan trakea, jika perlu yang menghalangi
6. Takikardi membaik 6. Berikan oksigen tambahan, jika 6. Membuat menambah suplai o2
terdengar lemah, hasil AGD :
(5) perlu
pH 7,31, pCO2 51, pO2 34, 7. pH arteri membaik 7. Kolaborasi penentuan dosis 7. Bekerja sama dalam pemberian
(5) oksigen o2
sO2 59.
8. Sianosis membaik
(5)
38
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
3. Perfusi perifer tidak efektif Setelah dilakukan Intervensi 1. Perikasa sirkulasi perifer 1. Untuk mengetahui sirkulasi
1x4 Jam maka perfusi perifer
berhubungan dengan
membaik, dengan kriteria
ketidakseimbangan ventilasi hasil : 2. Monitor suhu badan 2. Untuk mengetahui suhu badan
ditandai dengan kulit nampak
1. Denyut nadi menurun (5) 3. Lakukan pencegahan infeksi 3. Mengurangi resiko infeksi.
pucat, nampak sianosis, kulit 2. Warna kulit pucat
menurun (5) 4. Lakukan hidrasi 4. Membantu dalam proses
teraba hangat, HB: 9,7, Nadi:
3. Hb membaik (5) pemulihan
162 x/mnt, TD: 60/35 mmHg. 4. Suhu kulit membaik (5)
5. Tekstur membaik (5) 5. Anjurkan menghindari obat 5. Menghindari adanya gangguan
penyekat beta pada ritme jantung
39
3.4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN
Nama Pasien : An. A
Ruang Rawat : Ruang ICU
Hari/Tanggal Implementasi Evaluasi ( SOAP ) Tanda tangan dan
Nama Perawat
Kamis, 20 Oktober Diagnosa 1 S:-
09:00 WIB 1. Memonitor pola nafas (frekuensi, O:
Bersihan Jalan Nafas kedalamman, usaha nafas) - Pasien masih tampak sesak nafas
Tidak Efektif 2. Memonitor bunyi nafas tambahan - Terdengar bunyi nafas sangat
3. Memonitor sputum (jumlah, warna) lemah
4. Memposisikan klien supinasi - Type pernafasan dada dan perut
5. Memberikan oksigen - Irama pernafasan tidak teratur
6. Melakukan penghisapan lendir - Bentuk dada klien simetris RULY RAMADANA
selama15 detik - Sputum (+) berwarna kuning
- Pasien diberikan posisi supinasi
- Klien diberikan CPAP FiO2 100%
- Dilakukan penghisapan lendir 15
detik
- TTV :
Td 60/35 mmHg, N : 160xmenit,
RR : 50xmenit, S : 370C
40
Nama Perawat
Kamis, 20 Oktober Diagnosa 2 S:-
09:00 WIB 1. Memonitor frekuensi , irama, O:
Gangguan pertukaran kedalaman, dan upaya napas - Klien nampak masih sesak
gas 2. Memonitor pola napas (mis. - Klien nampak dispnea
Bradypnea, takipnea, hiperventilasi, - Pemeriksaan AGD menunjukan
kussmaul, Cheyne-stokes, biot, pH 7,31, pCO2 51, pO2 34, sO2
ataksik) 59. RULY RAMADANA
3. Memonitor nilai AGD - Klien di berikan CPAP FiO2 100%
4. Memberikan oksigen tambahan, jika A : Masalah gangguan pertukaran gas
perlu teratasi sebagian
5. Berkolaborasi penentuan dosis P : Lanjutkan intervensi
oksigen 2, 3, 4 & 5
Hari/Tanggal Implementasi Evaluasi ( SOAP ) Tanda tangan dan
Nama Perawat
Kamis, 20 Oktober Diagnosa 3 S:-
09:00 WIB 1. Memerikasa sirkulasi perifer O:
Perfusi perifer tidak 2. Memonitor suhu badan - Warna tubuh klien nampak kebiruan
efektif 3. Melakukan hidrasi dengan nadi 162 x/mnt, Hb 7,31
4. Menganjurkan menghindari obat - Suhu badan klien 370C
penyekat beta - Klien di berikan infus D5 ¼ dan
5. Berkolaborasi dengan ahli gizi Aminosteril RULY RAMADANA
untuk pemberian diet - Ibu klien nampak memperhatikan
pemaparan yang di berikan
41
sebagian
P : Lanjutkan intervensi
1, 2, 5, & 6
CATATAN PERKEMBANGAN
42
Hari/Tanggal Implementasi Evaluasi ( SOAP ) Tanda tangan dan
Nama Perawat
Kamis, 23 Oktober Diagnosa 1 S:-
09:00 WIB 1. Memonitor pola nafas (frekuensi, O:
Bersihan Jalan Nafas kedalamman, usaha nafas) - Sesak nafas sudah mulai menurun
Tidak Efektif 2. Memonitor bunyi nafas tambahan - Tidak terdengar bunyi nafas
3. Memonitor sputum (jumlah, warna) sangat lemah
4. Memposisikan klien supinasi - Type pernafasan dada dan perut
5. Memberikan oksigen - Irama pernafasan tidak teratur
6. Melakukan penghisapan lendir - Bentuk dada klien simetris RULY RAMADANA
selama15 detik - Sputum (+) berwarna kuning
- Pasien diberikan posisi supinasi
- Klien diberikan CPAP FiO2 100%
- Dilakukan penghisapan lendir 15
detik
- TTV :
Td 60/35 mmHg, N : 150xmenit,
RR : 45xmenit, S : 36,50C
43
Kamis, 23 Oktober Diagnosa 2 S:-
09:00 WIB 1. Memonitor frekuensi , irama, O:
Gangguan pertukaran kedalaman, dan upaya napas - Sesak nafas sudah mulai menurun
gas 2. Memonitor pola napas (mis. - Pemeriksaan AGD menunjukan
Bradypnea, takipnea, hiperventilasi, pH 7,31, pCO2 51, pO2 34, sO2
kussmaul, Cheyne-stokes, biot, 59.
ataksik) - Klien di berikan CPAP FiO2 100% RULY RAMADANA
3. Memonitor nilai AGD A : Masalah gangguan pertukaran gas
4. Memberikan oksigen tambahan, jika teratasi sebagian
perlu P : Lanjutkan intervensi
5. Berkolaborasi penentuan dosis 2, 3, 4 & 5
oksigen
Hari/Tanggal Implementasi Evaluasi ( SOAP ) Tanda tangan dan
Nama Perawat
Kamis, 20 Oktober Diagnosa 3 S:-
09:00 WIB 1. Memerikasa sirkulasi perifer O:
Perfusi perifer tidak 2. Memonitor suhu badan - Warna tubuh klien nampak kebiruan
efektif 3. Melakukan hidrasi dengan nadi 162 x/mnt
4. Menganjurkan menghindari obat - Suhu badan klien 370C
penyekat beta - Klien di berikan infus D5 ¼ dan
5. Berkolaborasi dengan ahli gizi Aminosteril RULY RAMADANA
untuk pemberian diet - Ibu klien nampak memperhatikan
pemaparan yang di berikan
44
P : Lanjutkan intervensi
1, 2, 5, & 6
45
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Setelah dilakukan studi kasus pada An. A dengan Pneumonia ARDS di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya dapat disimpulkan beberapa hal
diantaranya :
Pada pengkajian klien dengan Sesak napas, kita harus cermat dalam
pengumpulan data yaitu dengan mengetahui keluhan utama yang normal, riwayat
kesehatan yang lalu dan sekarang, pemeriksaan fisik dan pola kehidupan sehari-
hari klien. Diagnosa yang muncul ditentukan dari kondisi klien dan patofisiologi
penyakit klien.Untuk menentukan prioritas diperlukan pengetahuan perawat
mengenai kondisi klien yang ada di lapangan, dengan mendahulukan kebutuhan/
keadaan yang mendesak untuk diselesaikan/diatasi yang mungkin dapat
membahayakan klien. Pada rencana tindakan tidak semua diterpkan dalam
implemntasi secara ideal, tetapi dissuaikan dengan situasi kondisi dan fasilitas
ruangan. Evaluasi secara umum terhadap klien setelah dilakukan tindakan
keperawatan masalah teratasi dan masalah teratasi sebagian. Hal ini terjadi karena
keterbatasan dalam waktu. Keberhasilan tujuan dapat dicapai dalam asuhan
keperawatan yang diberikan pada An. A jika melibatkan peran klien, keluarga dan
tim kesehatan lain.
Asuhan keperawatan medis pada An. A dengan penyakit Pneumonia
ARDS dalam pemberian asuhan keperawatan disesuaikan dengan standar
keperawatan dalam pelaksanaan intervensi dan implementasi.
4.2 Saran
Dalam melakukan perawatan perawat harus mampu mengetahui kondisi
klien secara keseluruhan sehingga intervensi yang diberikan bermanfaat untuk
kemampuan fungsional pasien, perawat harus mampu berkolaborasi dengan tim
kesehatan lain dan keluarga untuk mendukung adanya proses keperawatan serta
dalam pemberian asuhan keperawatan diperlukan .
80
46
DAFTAR PUSTAKA
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi Dan Indikator Diagnostik. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI.
47
Indonesian Jurnal of Health Development Vol.2 No.2, September 2020
ABSTRAK
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi yang mengenai saluran pernapasan bawah
ditandai dengan batuk dan sesak napas, hal ini diakibatkan oleh adanya agen infeksius
seperti virus, bakteri, mycoplasma (fungi), dan aspirasi substansi asing yang berupa eksudat
(cairan) dan konsolidasi (bercak berawan) pada paru-paru. Pneumonia merupakan salah satu
penyakit menular yang memiliki tingkat kematian tinggi baik dialami kelompok lansia atau
anak-anak. Untuk itu, kasus ini menarik untuk dibahas agar dapat meningkatkan
pengetahuan masyarakat dan menjadi pedoman dalam pencegahan penyakit tersebut.
Metode dalam penerapan kasus tersebut berupa metode wawancara dan observasi. Selain
itu, hal tersebut didukung pula dengan metode studi dokumentasi dan studi kepustakaan
dalam membandingkan dengan literature atau jurnal terbaru. Hasil : manifestasi yang timbul
pada kasus pneumonia didapatkan semua sesuai dengan literature buku dan data yang ada
dilapangan, selain itu penentuan diagnose keperawatan juga disesuaikan dengan literature
yang didapat. Selain itu, penentuan perencanaan yang diberikan pada klien dengan
pneumonia berupa pemberian oksigen, pemberian terapi nebulizer, dan kolaborasi
pemberian antibiotic.
ABSTRACT
Pneumonia is an infectious disease that affects the lower respiratory tract characterized by
coughing and shortness of breath, this is caused by the presence of infectious agents such as
viruses, bacteria, mycoplasma (fungi), and aspirations of foreign substances in the form of exudate
(liquid) and consolidation (cloudy spots) ) in the lungs. Pneumonia is a contagious disease that has
a high mortality rate either experienced by the elderly group or children. For this reason, this case
is interesting to discuss in order to increase public knowledge and become a guide in preventing
the disease. The method in applying the case is in the form of interview and observation. In
addition, this is also supported by the method of documentation study and literature study in
comparing with reliable literature or journals. Result: all manifestations arising in pneumonia
cases were found in accordance with the literature books and field data, besides the determination
of nursing diagnoses are also adjusted to the literature obtained. In addition, the determination of
planning given to clients with pneumonia is in the form of oxygen administration, nebulizer
therapy, and collaboration with antibiotics.
48
Indonesian Jurnal of Health Development Vol.2 No.2, September 2020
Alamat korespondensi : Jl. Masjid Bendungan No. 9A Rt 01/07, Cawang, Kramat Jati, Jakarta Timur,
DKI Jakarta, 13630 Email : rizkalahmudinabdjul@gmail.com
Nomor HP 0895636709211
PENDAHULUAN
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi yang mengenai saluran pernapasan bawah
dengan tanda dan gejala seperti batuk dan sesak napas. Hal ini diakibatkan oleh adanya agen
infeksius seperti virus, bakteri, mycoplasma (fungi), dan aspirasi substansi asing yang
berupa eksudat (cairan) dan konsolidasi (bercak berawan) pada paru-paru (Khasanah, 2017).
Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai jaringan (paru-paru) tepatnya di
alveoli yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme seperti virus, bakteri, jamur,
maupun mikroorganisme lainnya (Kemenkes RI, 2019).
Menurut Riskesdas 2013 dan 2018, Prevalensi pengidap pneumonia berdasarkan diagnosis
tenaga kesehatan (nakes) di Indonesia tahun 2013 mencapai 1,6 %, sedangkan pada tahun
2018 meningkat menjadi 2.0 % (Riskesdas, 2018). Jadi sedari tahun 2013 dan 2018 penyakit
pneumonia mengalami peningkatan sebanyak 0,4 % seperti yang dijelaskan pada data
diatas. Selain itu, pneumonia merupakan salah satu dari 10 besar penyakit rawat inap di
rumah sakit, dengan proporsi kasus 53,95% laki-laki dan 46,05% perempuan. Lalu, menurut
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2014) Pneumonia merupakan penyakit yang memiliki
tingak crude fatality rate (CFR) yang tinggi, yaitu sekitar 7,6%. Berdasarkan data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi pneumonia pada usia lanjut mencapai 15,5%
(Kementerian Kesehatan RI, 2013). Dalam penelitian Arjanardi, tanda dan gejala yang
umum terjadi pada pasien pneumonia komunitas dewasa berupa sesak napas (60,93%),
batuk (54,88%), demam (48,37%) (Ranny, 2016).
Data kasus Pneumonia di RSUD Pasar Minggu pada tahun 2019 mencapai 266 kasus. Selain
itu, kasus pneumonia dapat saja berubah menjadi kasus Tuberculosis jika tidak mendapatkan
perawatan medis dengan tepat. Oleh karena itu, banyak pasien yang masuk dengan diagnose
medis pneumonia dan ditemukan perubahan dalam pemeriksaan bahwa terdapat beberapa
yang positif Tuberculosis selama dirawat di rumah sakit. World Health Organization
(WHO) juga melaporkan 15 negara berkembang dengan jumlah kematian terbanyak akibat
pneumonia berasal dari Negara India sebanyak 158.176, diikuti Nigeria diurutan kedua
sebanyak 140.520 dan Pakistan diurutan ketiga sebanyak 62.782 kematian. Indonesia berada
diurutan ketujuh dengan total 20.084 kematian (Indah, 2019).
Pneumonia merupakan penyakit menular melalui udara, sehingga dapat menjadi suatu
ancaman yang harus diperhatikan oleh kesehatan dunia. Salah satu kelompok berisiko tinggi
untuk pneumonia komunitas adalah usia lanjut dengan usia 65 tahun atau lebih. Pada usia
lanjut dengan pneumonia komunitas memiliki derajat keparahan penyakit yang tinggi,
bahkan dapat mengakibatkan kematian (Ranny, 2016). Selain itu, Data dari profil kesehatan
Indonesia (2017) menunjukkan jumlah temuan kasus pneumonia pada balita adalah 46,34%
dengan total 447.431 kasus.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa prevalensi pneumonia tiap tahunnya
selalu meningkat dan dibuktikan bahwa penderita terbanyak dialami oleh laki- laki
dibandingkan dengan perempuan. Selain itu, factor usia menjadi salah satu factor resiko
terjadinya peningkatan angka kejadian dan kematian akibat pneumonia di Indonesia maupun
di dunia terutama pada lansia dan anak-anak.
Pada penyakit pneumonia, dapat terjadi komplikasi seperti dehidrasi, bacteremia (sepsis),
abses paru, efusi pleura, dan kesulitan bernapas (Khasanah, 2017). Peran perawat dalam
melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan pneumonia meliputi usaha promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitative. Dalam usaha promotif berupa memotivasi klien untuk
melakukan olahraga atau bergerak secara teratur, menjaga pola makan, menghindari asap
49
Indonesian Jurnal of Health Development Vol.2 No.2, September 2020
rokok, dan menjaga diri agar tetap sehat. Selain itu, usaha preventif dilakukan dengan cara
memberikan pendidikan kesehatan mengenai pengertian pneumonia, penyebab pneumina,
tanda dan gejala pneumonia, serta komplikasi pneumonia. Dari segi usaha kuratif, dengan
cara melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat-obatan seperti halnya
inhalasi combivent dan injeksi ceftriaxone. Sedangkan dalam usaha rehabilitative, perawat
menganjurkan untuk melakukan rehabilitasi fisik atau pengistirahatan sejenak untuk
memaksimalkan proses penyembuhan dan membiasakan untuk menjalani pola hidup yang
baik dan sehat.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dengan menggunakan metode wawancara, observasi,
studi dokumentasi, dan studi kepustakaan. Waktu yang digunakan penulisan selama 03
Maret sampai 6 Maret 2020 dalam menyusun Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dewasa
Dengan Pneumonia. Data yang diperoleh didapatkan dari hasil wawancara dengan klien
dan pihak keluarga, observasi dengan pengamatan yang dilakukan secara langsung, studi
dokumentasi dengan melihat catatan medis baik hasil laboratorium, dokter, perawat maupun
tim kesehatan lainnya. Serta studi kepustakaan dengan berpedoman pada literature yang
didapatkan baik dari buku maupun jurnal penelitian.
51
Indonesian Jurnal of Health Development Vol.2 No.2, September 2020
SIMPULAN
Diagnosa keperawatan dari hasil observasi dan wawancara ditemukan masalah utama pada
Tn. M yaitu ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi. Dari hasil
diagnose diatas, didapatkan bahwa diagnose tersebut tidak diangkat karena klien telah
mendapatkan masa perawatan selama ± 5 hari dan sudah mengalami sedikit peningkatan
kesehatan saat peneliti melakukan pengkajian.
Pada perencanaan menentukan prioritas masalah, tujuan dan kiteria hasil penulis temukan
faktor hambatan karena dalam penentuan tersebut mengacu pada NIC-NOC (2016), akan
tetapi kenyataannya kondisi pasien tidak selalu sesuai dengan teori yang ditemukan oleh
penulis. Sedangkan faktor pendukungnya adalah klien, keluarga klien, perawat maupun
tenaga medis lain sangat kooperatif dalam melaksanakan atau menerapkan rencana
keperawatan yang dibuat oleh penulis.
Dalam proses pelaksanaan tindakan keperawatan, penulis menemukan hambatan yaitu
tindakan yang diberikan kepada klien tidak semua sesuai dengan teori. Hal ini disebabkan
karena dalam melakukan tindakan, penulis terlebih dahulu melihat situasi dan kondisi klien
dalam menerapkan tindakan yang direncanakan. Oleh karena itu, tindakan yang telah
direncanakan tidak terlaksana dengan maksimal. Namun, faktor pendukung dalam hal ini
adalah klien, keluarga klien, dan perawat sangat kooperatif dalam pelaksanaan tindakan
keperawatan.
Evaluasi adalah tahap akhir proses keperawatan. Pada kasus Tn. M didapatkan empat
diagnose keperawatan, namun dari kemepat diagnose tersebut semua hanya dapat teratasi
sebagian. Hal ini dikarenakan kondisi klien yang telah memiliki komplikasi dan
membutuhkan perawatan medis lebih lama, sehingga hal ini tetap dilanjutkan namun
dilakukan oleh para tenaga medis di rumah sakit.
SARAN
Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan oleh penulis sampai tahap akhir pada klien
Tn.M dengan diagnose medis Pneumonia, maka penulis memberikan saran pada klien
berupa selalu menjaga kesehatan dengan berhenti atau menghindari asap rokok, menjaga
pola makan, dan pola hidup yang sehat dan bersih. Selain itu, datangilah pusat pelayanan
kesehatan untuk mendapatkan kesehatan yang optimal. Pihak keluarga, berupa diharapkan
lebih aware (sadar) akan keluhan, faktor usia dan tanda gejala yang dialami sanak
keluarga/saudara sehingga proses pengobatan dapat dilakukan sejak dini untuk mengurangi
52
Indonesian Jurnal of Health Development Vol.2 No.2, September 2020
DAFTAR PUSTAKA
Farida, Y., Trisna, A., & Nur, D. (2017). Study of Antibiotic Use on Pneumonia Patient in Surakarta
Referral Hospital. JPSCR : Journal of Pharmaceutical Science and Clinical Research, 2(01),
44. https://doi.org/10.20961/jpscr.v2i01.5240
Firdaus, S., Ehwan, M. M., & Rachmadi, A. (2019). Efektivitas Pemberian Oksigen Posisi
Semi Fowler Dan Fowler Terhadap Perubahan Saturasi Pada Pasien Asma Bronkial
Persisten Ringan. Jkep, 4(1), 31–43. https://doi.org/10.32668/jkep.v4i1.278
Hendi Setiawan. (2018). Penerapan Batuk Efektif Sebagai Manajemen Bersihan Jalan Nafas Pada
Pasien Asma Bronkial Di Ruang Laika Waraka Rsud Bahteramas Kendari Tahun 2018
Karya. 1–88.
Indah, L. (2019). HUBUNGAN STATUS GIZI DAN RIWAYAT ASI EKSLUSIF DENGAN
RISIKO PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS LUBUK KILANGAN KOTA
PADANG TAHUN 2019.
Jainurakhma, J. (2018). Asuhan Keperawatan Sistem Respiratory Dengan Pendekatan Klinis.
Ed.1, Cet.1. Deepublish.
Kemenkes RI. (2019). Profil Kesehatan Indonesia 2018 [Indonesia Health Profile 2018].
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan- indonesia/Data-
dan-Informasi_Profil-Kesehatan-Indonesia-2018.pdf
Khasanah, fitri nur. (2017). Asuhan Keperawatan Pada..., ASTRIA EMA KHARISMA Fakultas
Ilmu Kesehatan UMP, 2015. 9–40.
Mandan, A. N. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dewasa Penderita Pneumonia Dengan
Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas.
Nanda International. (2018). Diagnosa Keperawatan: definisi dan klasifikasi 2018-2020. EGC.
Nugraheni, Ambar Yunita, dkk. (2018). Farmakoterapi Dasar. MUP.
Paramita. (2011). Nursing: Memahami Berbagai Macam Penyakit. Indeks.
53
Indonesian Jurnal of Health Development Vol.2 No.2, September 2020
Riskesdas, K. (2018). Hasil Utama Riset Kesehata Dasar (RISKESDAS). Journal of Physics A:
Mathematical and Theoretical, 44(8), 1–200. https://doi.org/10.1088/1751-
8113/44/8/085201
Ryusuke, A. A. A. K. D. & O. (2017). Tugas Responsi Pneumonia.
Saydam, G. (2011). Memahami Berbagai Penyakit (Penyakit Pernapasan dan Gangguan
Pencernaan). Alfabeta.
Simamora, N. (2019). Sifat Dan Tahap-Tahap Dalam Proses Keperawatan.
54
51
JURNAL RESPIRASI
JR
Vol. 4 No. 2 Mei 2018
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo
ABSTRACT
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) is a syndrome, a combination of clinical and physiological observations that
describe a pathological state. The pathogenesis of ARDS is not completely clear and there is no gold standard for diagnosis. ARDS
is characterized by non-cardiogenic pulmonary edema, inflammation of the lungs, hypoxemia, and decreased lung compliance.
Acute is defined as a symptom that occurs within one week of a known risk factor. Early clinical manifestations are shortness of
breath (dyspneu and tachypneu) which then quickly develop into respiratory failure. ARDS was first described in 1967 by Asbaugh,
et al., then the AECC made a definition that was finally refined by Berlin's criteria. Berlin's criteria divided the degree of hypoxemia
into 3, namely mild, moderate, and severe, based on the arterial PO2 / FiO2 ratio and the need for PEEP (5 cm H2O or more) which
can be given via endotracheal tube or non-invasive ventilation. Sepsis, aspiration of fluid or gastric contents, and multipe
transfusion (>15 units/24 hours) are associated with a high risk of ARDS. Cases of ARDS related to pulmonary sepsis, such as
pneumonia, inhalational trauma, and pulmonary contusions are as much as 46% or non-pulmonary sepsis as much as 33%. ARDS
management includes oxygen therapy and supportive therapy, such as hemodynamics, pharmacotherapy, and nutrition. Further
studies are still needed to get a good outcome for ARDS patients.
Correspondence: Arief Bakhtiar, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga/RSUD
Dr. Soetomo. Jl. Mayjen. Prof. Dr. Moestopo 6-8 Surabaya 60286. E-mail: ariefapecbakhtiar@gmail.com
Prediktor prognosis
Meskipun hipoksemia adalah gejala yang dominan di antara manifestasi klinis ARDS,
namun studi tidak menunjukkan bahwa derajat hipoksemia pada fase awal ARDS
merupakan prediktor mortalitas. Sistem skoring jejas paru seperti Lung Injury Score dan
ARDS score dapat digunakan untuk memprediksi lama kebutuhan intubasi dan ventilasi
(lebih dari 2 minggu), sedangkan sistem skoring yang mengukur derajat keparahan
keseluruhan dari penyakit seperti Simplified Acute Physiology Score berkorelasi dengan
survival rate. Penyebab kematian pada pasien dengan ARDS bukanlah hipoksemia
refrakter, meskipun biasanya hipoksemia merupakan fokus utama usaha resusitasi. Faktanya
kebanyakan pasien dengan ARDS meninggal karena sepsis atau gagal multiorgan.
Penjelasan dari hal ini belum diketahui, namun diperkirakan disebabkan oleh pengaruh
ventilasi mekanik. Sebelumnya telah dibahas bahwa pengaturan ventilasi mekanik yang
berlebihan tidal volumenya meningkatkan sitokin, baik sistemik maupun paru, dan
dihubungkan dengan apoptosis sel ginjal dan disfungsi ginjal.2Tingkat kematian ARDS
bervariasi berdasarkan faktor presipitan. Risiko tertinggi dilaporkan terkait sepsis,
sedangkan ARDS terkait trauma memiliki prognosis lebih baik. Telah diketahui bahwa
penyakit liver kronis, usia tua, alkoholisme kronik, dan disfungsi organ non-pulmoner
berkaitan dengan mortalitas ARDS yang lebih tinggi. Prediktor kematian yang lain adalah
riwayat transplantasi organ dan infeksi HIV.7, 8 Sebuah studi menyebutkan pula bahwa
angka kematian lebih tinggi pada pria dan pada ras Afrika-Amerika dibandingkan pada ras
bukan Afrika-Amerika. Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa faktor risiko ARDS
dapat berasal dari paru maupun non paru, sehingga menyebabkan jejas pada paru secara
langsung maupun tidak langsung. ARDS Network Investigator secara restrospektif
menganalisis data dari randomized study yang membandingkan ventilasi dengan tidal
volume yang kecil versus biasa dan mendapatkan kesimpulan bahwa tingkat kematian
paling tinggi untuk ARDS disebabkan oleh sepsis dan paling rendah oleh trauma, dan tidak
didapatkan perbedaan tingkat kematian, hari bebas ventilator, atau munculnya gagal organ
antara pasien ARDS dengan faktor risiko dari paru maupun non paru.14
Identifikasi biomarker untuk memprediksi prognosis ARDS juga sedang diteliti. Telah
dilaporkan terdapat hubungan antara peningkatan level sitokin seperti IL-6 dan IL-8 serta
growth factor seperti angiopoietin 2 dan prognosis yang buruk dari ARDS.
Namun beberapa biomarker saat digunakan secara kombinasi pun hanya sedikit lebih
prediktif daripada prediktor klinis.13 Pada saat diagnosis, peningkatan derajat keparahan
ARDS didapatkan paralel dengan perburukan skor Sequential Organ Failure Assessment
(SOFA) yang mengandung banyak komponen paru. Telah umum diketahui bahwa gagal
organ yang terjadi pada perjalanan penyakit pada ARDS disebabkan oleh hipoperfusi,
hipoksemia, dan kongesti pasif pada liver. Beberapa studi menunjukkan hubungan antara
disfungsi liver dan outcome yang buruk pada pasien dengan sakit berat. Bilirubin dikenal
sebagai penanda yang kuat dan stabil dari disfungsi liver, dan dapat digunakan pada
algoritme skoring untuk menentukan prognosis pasien sakit berat dan/atau memprediksi
risiko mortalitas pada pasien dengan ARDS.7
Komplikasi
Sekitar 30-65% dari seluruh kasus ARDS mengalami komplikasi VAP (ventilator-
associated pneumonia) yang biasanya terjadi lebih dari 5-7 hari sejak penggunaan ventilasi
mekanik dan sering didahului oleh kolonisasi patogen pada saluran napas bawah.12
Organisme yang mungkin adalah batang gram negatif, MRSA (methicillin-resistant
Staphylococcus aureus), dan Enterobacteriaceae. Meskipun munculnya VAP memperlama
durasi penggunaan ventilasi mekanik pada ARDS, namun tampaknya tidak meningkatkan
angka kematian. Membuat diagnosis VAP pada pasien dengan ARDS merupakan tantangan
karena ARDS sendiri telah menunjukkan kelainan radiologis dan tidak jarang lekositosis dan
demam. Bila alat diagnostik seperti bilasan bronkoalveolar atau sikatan spesimen digunakan,
kemampuan diagnosisnya lebih besar bila kedua paru diambil sampelnya dan saat pasien
tidak sedang menggunakan antibiotik. Komplikasi lain dari ARDS adalah barotrauma
(pneumotoraks, pneumomediastinum, emfisema subkutan) sebagai efek dari ventilasi
tekanan positif pada paru yang kompliansnya menurun. Karena hampir seluruh pasien
dengan ARDS akan berada pada posisi berbaring, maka mendiagnosis pneumotoraks akan
membutuhkan kecermatan, penampakan radiologisnya dapat berbeda dan lebih samar pada
pasien dengan posisi berbaring (contoh: udara pada sudut kostofrenikus, “deep sulcus”
sign). Data dari beberapa studi prospektif menyebutkan bahwa barotrauma terjadi pada
kurang dari 10% kasus ARDS.14
Tata laksana
Manajemen hemodinamik
Nutrisi
Telah disimpulkan bahwa manipulasi pada diet dapat memperbaiki sistem imun dan
meningkatkan hasil terapi penyakit inflamasi, seperti sepsis dan ARDS. Strategi yang telah
dilakukan antara lain suplementasi arginin, glutamin, asam lemak 𝜔-3, dan antioksidan.2
Sebuah studi randomized meneliti efek nutrisi enteral modifikasi yang meliputi pemberian
eicosapentaenoic acid, gamma-linolenic acid, dan bermacam-macam antioksidan
dibandingkan dengan nutrisi enteral kontrol pada pasien dengan ARDS, dengan hasil
kelompok yang diberi nutrisi enteral modifikasi tersebut mengalami perbaikan oksigenasi,
pengurangan jumlah neutrofil pada cairan bilasan alveolar, penurunan lama rawat, dan
penurunan kebutuhan ventilasi mekanik. Formula yang diperkaya dengan asam lemak 𝜔-3
dapat memberikan efek baik untuk pasien ARDS karena berkompetisi dengan 𝜔-6 PUFA
dan meminimalkan sintesis eikosanoid proinflamatori.16 Banyak studi lain yang meneliti
pemberian nutrisi enteral modifikasi (sering disebut imunonutrisi) dengan hasil yang masih
kontroversi, sehingga peran imunonutrisi pada manajemen ARDS masih belum jelas.2, 16 Hal
lain yang terkait dengan ini adalah seberapa banyak nutrisi enteral yang harus diberikan.
Pada sebuah studi randomized controlled trial terbaru, jumlah pemberian nutrisi enteral tidak
mempengaruhi hasil terapi dari ALI.16
Farmakoterapi
Usaha untuk mengembangkan terapi farmakologis untuk ARDS sejauh ini masih
belum berhasil, belum ada farmakoterapi yang secara jelas dapat mengurangi angka
kematian ARDS meskipun telah banyak studi dilakukan untuk meneliti agen-agen yang
potensial. Kesimpulan yang bisa ditarik dari berbagai studi yang meneliti berbagai macam
agen adalah meskipun didapatkan hasil yang efektif saat dilakukan percobaan secara in vitro
atau pada binatang, kebanyakan terapi potensial gagal mengurangi angka
mortalitas atau hasil lain yang penting pada percobaan pada manusia, beberapa jenis agen
memperbaiki oksigenasi namun tidak mengurangi angka mortalitas ARDS.2, 12
Kortikosteroid
Berdasarkan patofisiologi inflamasi pada ARDS, telah banyak dilakukan penelitian
tentang kortikosteroid dosis tinggi. Pada beberapa penelitian, tujuannya adalah untuk
mencegah ARDS pada pasien dengan risiko (contoh: syok septik), sedangkan pada
penelitian lain steroid diberikan pada kasus ARDS yang telah bermanifestasi. Yang umum
diberikan adalah Metilprednisolon 30mg/kgBB setiap 6 jam selama 1-2 hari, namun tidak
satupun dari penelitian-penelitian tersebut yang menunjukkan keuntungan dari pemberian
steroid, salah satu penelitian menyebutkan kejadian infeksi yang lebih tinggi pada pasien
yang mendapat terapi steroid.4 Penggunaan steroid telah lama diperkirakan akan berguna
pada fase lebih lanjut ARDS, yaitu fase fibroproliferatif. Tingkat sitokin plasma yang
meningkat secara persisten tampaknya berhubungan dengan perburukan survival rate
ARDS. Hal ini mendukung teori yang menyebutkan bahwa ARDS fase lanjut (>7 hari
setelah onset) ditandai dengan inflamasi persisten yang mungkin memberikan respon
terhadap steroid. Beberapa studi menyebutkan bahwa kelompok yang diberikan steroid
menunjukkan tingkat mortalitas yang lebih rendah, oksigenasi yang lebih baik, penurunan
disfungsi organ, dan ekstubasi lebih awal. Saat yang tepat untuk memberikan steroid masih
menjadi perdebatan, namun dinilai masih masuk akal untuk mempertimbangkan pemberian
steroid pada pasien yang tidak membaik dalam 7-14 hari, karena pada subgrup penelitian
didapatkan keuntungan dan tidak terbukti adanya kerugian.2, 12
Vasodilator inhalasi
Vasodilator inhalasi, termasuk nitric oxide dan prostacyclin, secara selektif
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah paru yang membantu memperbaiki status
oksigenasi tanpa efek samping buruk pada hemodinamik sistemik. Nitric oxide
menyebabkan dilatasi pembuluh darah dengan meningkatkan pengubahan cyclic guanosine
monophosphate yang mengarah pada relaksasi otot polos. Prostacyclin seperti epoprostenol
dan alprostadil bekerja pada reseptor prostaglandin dengan meningkatkan level cyclic
adenosine monophosphate yang menyebabkan relaksasi pembuluh darah. Selain
vasodilatasi, agen-agen ini juga menyebabkan efek pulmonal dan kardiovaskular yang
menguntungkan, seperti mengurangi tahanan vaskular paru, mengurangi afterload ventrikel
kanan, dan meningkatkan volume sekuncup ventrikel kanan. Hasil
NSAID
Bukti klinis terbaru menyebutkan bahwa terdapat jalur tambahan yang melibatkan
platelet pada onset dan fase resolusi jejas ARDS. Studi observasional menunjukkan bahwa
anti-platelet potensial memiliki peran preventif pada pasien dengan risiko terjadi ARDS.11, 12
Sebelumnya telah dibahas bahwa klirens cairan alveolar dipengaruhi oleh katekolamin.
Sebuah studi meneliti efek pemberian salbutamol intravena dibandingkan dengan plasebo
terhadap 40 pasien dengan ARDS. Pasien yang mendapat salbutamol intravena mengalami
pengurangan jumlah cairan di paru, namun mengalami kejadian aritmia yang lebih tinggi.
Studi ini dihentikan lebih awal karena terdapat peningkatan angka mortalitas pada kelompok
pasien yang mendapatkan salbutamol intravena.2 Studi serupa menggunakan albuterol
aerosol untuk pasien ARDS, namun tidak memberikan hasil yang memuaskan. Oleh karena
itu pemberian 2 agonis belum direkomendasikan untuk ARDS. Terapi sel punca (stem cell)
untuk ARDS sedang diteliti lebih lanjut karena didapatkan hasil yang menguntungkan saat
dilakukan pemberian sel punca melalui endotrakeal maupun intravena pada binatang.5
Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik merupakan terapi standar untuk ARDS dan bertujuan untuk
lifesaving. Tatalaksana ventilator untuk ARDS mengalami banyak perubahan sejak 20 tahun
terakhir, karena bertambahnya penggunaan computed tomography untuk paru dan
pemahaman lebih lanjut terhadap VILI.12
ARDS ditandai dengan hipoksemia yang berat, penurunan komplians paru, dan
awalnya diperkirakan mengenai paru secara difus dan homogen sesuai dengan gambaran
pada foto polos. Hal ini menjadi prinsip terapi oksigen pada ARDS, sehingga tampaknya
hanya dengan volume tidal yang besar pasien dapat mendapatkan ventilasi dan oksigenasi
yang cukup. Namun dengan meningkatnya penggunaan computed tomography, maka
diketahui bahwa kelainan pada ARDS sebenarnya heterogen, menunjukkan opasitas
berbercak-bercak di antara jaringan paru yang tampak normal. Distribusi heterogen jejas ini
menyiratkan bahwa volume tidal yang diberikan pada pasien akan mengembangkan daerah
yang normal (komplians lebih baik) pada paru, sehingga daerah ini akan lebih rentan
mengalami overdistensi dan VILI karena terpajan volume tidal yang ditujukan untuk paru
secara keseluruhan. Ventilasi mekanik dengan dengan tidal volume yang berlebihan dapat
menyebabkan edema paru yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler
yang secara histologis mirip dengan gambaran ARDS.2 Kesimpulan dari sebuah meta
analisis oleh Neto dkk adalah tidal volume yang kecil juga memberikan efek yang positif
pada pasien yang tidak mengalami ARDS. Pada pasien dengan risiko ARDS, ventilasi
mekanik dengan volume tidal besar secara independen dihubungkan dengan timbulnya
ARDS, sedangkan volume tidal kecil dapat mengurangi angka kejadian dan kematian akibat
ARDS.14
Selain itu, ventilasi mekanik pada pasien ARDS sering disertai dengan dissinkroni
antara pasien- ventilator yang dapat memperburuk oksigenasi dan ventilasi. Untuk
mengatasi hal ini umum diberikan sedasi dan bahkan agen pelumpuh otot (neuromuscular
blocking agents). Sebuah studi yang membandingkan pemberian cisatracurium
dibandingkan dengan plasebo pada pasien ARDS berat dengan lung-protective ventilation
berdasarkan studi ARDSNet menyebutkan bahwa terdapat penurunan signifikan angka
kematian 90 hari pertama, angka kejadian barotrauma, dan gagal organ. Mekanisme efek
positif dari pemberian agen pelumpuh otot tidak diketahui, namun diperkirakan karena
kejadian VILI yang lebih jarang.12, 14
Dari segi teori, pemberian tekanan positif pada akhir ekspirasi atau yang sering
disebut PEEP dapat menguntungkan, karena dapat menghindari pembukaan- penutupan
siklik dari unit paru yang dapat menyebabkan atelektrauma dan mengurangi volume tidal
sehingga mengurangi volutrauma. Pemberian PEEP dengan cara memperbaiki oksigenasi
dapat mengurangi FiO2, sehingga menurunkan risiko toksisitas oksigen. Di sisi lain, PEEP
yang terlalu tinggi pun dapat menyebabkan volume akhir inspirasi yang berlebihan dan
volutrauma. Klinisi juga familiar dengan efek PEEP yang dapat menurunkan cardiac output
dan tekanan darah. Data eksperimental menyebutkan bahwa level PEEP yang melewati nilai
tradisional 5-12 cm H2O dapat meminimalkan kolaps alveolar siklik dari paru.11 Level
optimal PEEP yang seharusnya diberikan untuk pasien ARDS masih menjadi kontroversi.4
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa level PEEP yang lebih tinggi dapat mengurangi
angka kematian sebanyak 10%, namun pasien ALI tanpa ARDS tidak mengalami efek yang
baik, malah merugikan bila diberi level PEEP yang lebih tinggi.4, 14
Pada saat yang sama, volume tidal yang kecil dan tekanan yang diberikan pada lung-
protective ventilation dapat mengarah pada de-recruitment paru yang progresif dan memperberat
hipoksemia dan atelektrauma. Untuk melawan terjadinya hal ini disebut dengan manuver
recruitment. Manuver ini melibatkan peningkatan tekanan aliran udara selama beberapa saat,
contohnya pemberian CPAP (continous positive airway pressure) 40 cm H2O selama 40 detik.
Serupa dengan problem yang dijumpai dalam pemberian PEEP, sulit menentukan pasien mana
yang mendapatkan keuntungan dari manuver recruitment dan mana yang akan mengalami
overdistensi. Jaringan paru dengan perfusi yang baik yang mengalami overdistensi dapat
berakibat perpindahan darah ke alveoli yang tidak mengalami perfusi, sehingga terjadi
perburukan right to left shunting dan hipoksemia.12, 14
Outcome
Meskipun terjadi pengurangan komplians paru dan oksigenasi yang berat pada saat
terjadi ARDS, pasien yang pulih seringkali memiliki tes fungsi paru yang mendekati normal
6-12 bulan setelahnya. Foto toraks evaluasi biasanya normal dengan sedikit abnormalitas
yang dapat termasuk penebalan pleura. Meskipun didapatkan penanda yang normal di atas,
namun pasien yang pulih dari ARDS terus mengalami batasan fungsional pada hidup sehari-
hari, dan penurunan kualitas hidup paling tidak 5 tahun sejak terjadi ARDS. Hal ini
diperkirakan disebabkan oleh ARDS atau komplikasinya, karena pada sebuah studi ARDS
didapatkan sama beratnya dengan sepsis atau trauma.7, 8
KESIMPULAN
ARDS adalah sebuah sindrom yang disebabkan oleh sekelompok penyebab heterogen
dan bukan diagnosis yang spesifik. ARDS adalah kelainan yang progresif secara cepat dan
awalnya bermanifestasi klinis sebagai sesak napas (dyspneu and tachypneu) yang kemudian
dengan cepat berubah menjadi gagal napas. ARDS pertama kali dideskripsikan pada tahun
1967 oleh Asbaugh dkk kemudian AECC membuat definisi yang akhirnya disempurnakan
oleh kriteria Berlin. Tata laksana ARDS meliputi terapi oksigen, terapi suportif seperti
hemodinamik, farmakoterapi, dan nutrisi. Masih banyak studi yang dilakukan untuk
mendapatkan outcome yang baik untuk pasien ARDS.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pneumatikos I and Papaioannou V. The New Berlin Definition: What Is, Finally, the ARDS? Pneumon: Quarterly
Medical Journal. 2012; 25: 365-8.
2. Lee W and Slutsky A. Acute Hypoxemic Respiratory Failure and ARDS. In: Broaddus VC, Ernst JD, Jr TEK and Lazarus
SC, (Eds.). Murray & Nadel's Textbook of Respiratory Medicine. 6th Ed. Philadelphia: Elsevier, 2016, P. 1740-60.
3. Ranieri VM, Rubenfeld GD, Thompson BT, et al. Acute Respiratory Distress Syndrome: The Berlin Definition. JAMA.
2012; 307: 2526-33.
4. Bauman ZM, Gassner MY, Coughlin MA, Mahan M and Watras J. Lung Injury Prediction Score is Useful in Predicting
Acute Respiratory Distress Syndrome and Mortality in Surgical Critical Care Patients. Crit Care Res Pract. 2015; 2015:
157408-.
5. Saguil A and Fargo M. Acute Respiratory Distress Syndrome: Diagnosis and Management. American Family
Physician. 2012; 85: 352-8.
6. Copetti R, Soldati G and Copetti P. Chest Sonography: A Useful Tool to Differentiate Acute Cardiogenic Pulmonary
Edema from Acute Respiratory Distress Syndrome. Cardiovascular Ultrasound. 2008; 6: 16.
7. Bellani G, Laffey JG, Pham T, et al. Epidemiology, Patterns of Care, and Mortality for Patients with Acute Respiratory
Distress Syndrome in Intensive Care Units in 50 Countries. JAMA. 2016; 315: 788-800.
8. Sharif N, Irfan M, Hussain J and Khan J. Factors Associated within 28 Days In-Hospital Mortality of Patients with
Acute Respiratory Distress Syndrome. Biomed Res Int. 2013; 2013: 564547.
9. Kopko PM, Marshall CS, Mackenzie MR, Holland PV and Popovsky MA. Transfusion-Related Acute Lung Injury:
Report of a Clinical Look-Back Investigation. Jama. 2002; 287: 1968-71.
10. Koh Y. Update in Acute Respiratory Distress Syndrome. J Intensive Care. 2014; 2: 2-.
11. Fanelli V, Vlachou A, Ghannadian S, Simonetti U, Slutsky AS and Zhang H. Acute Respiratory Distress Syndrome: New
Definition, Current and Future Therapeutic Options. Journal of Thoracic Disease. 2013; 5: 326-34.
12. Levy B and Choi A. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: Loscalzo J, (Ed.). Harrison's Pulmonary and Critical Care
Medicine. 2nd Ed. New York: McGraw-Hill Education, 2013, P. 288-94.
13. Blondonnet R, Constantin JM, Sapin V and Jabaudon M. A Pathophysiologic Approach to Biomarkers in Acute
Respiratory Distress Syndrome. Disease Markers. 2016; 2016: 3501373.
14. Serpa Neto A, Cardoso SO, Manetta JA, et al. Association between Use of Lung-Protective Ventilation with Lower
Tidal Volumes and Clinical Outcomes among Patients without Acute Respiratory Distress Syndrome: A Meta-
Analysis. JAMA. 2012; 308: 1651-9.
15. Wiedemann HP, Wheeler AP, Bernard GR, et al. Comparison of Two Fluid-Management Strategies in Acute Lung
Injury. The New England Journal of Medicine. 2006; 354: 2564-75.
16. Acilu M, Leal S, Caralt B, Roca O, Sabater J and Masclans
J. The Role of Omega-3 Polyunsaturated Fatty Acids in the Treatment of Patients with Acute Respiratory Distress
Syndrome: A Clinical Review. Biomed Research International. 2015; 2015: 653750.
17. Agrawal SP and Goel AD. Prone Position Ventilation in Acute Respiratory Distress Syndrome: An Overview of the
Evidences. Indian Journal of Anaesthesia. 2015; 59: 246- 8.