Anda di halaman 1dari 16

2.

6 Prinsip-prinsip Komunikasi Dalam Perawatan Paliatif


2.6.1 Definisi Komunikasi
Istilah ‘komunikasi’ (communication) berasal dari Bahasa Latin
‘communicatus’ yang artinya berbagi atau menjadi milik bersama. Komunikasi
adalah suatu proses di dalam upaya membangun saling pengertian. Komunikasi
merupakan suatu proses karena melalui komunikasi seseorang menyampaikan dan
mendapatkan respon
2.6.2 Definisi Paliatif
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan kualitas
hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi penyakit
yang mengancam jiwa, dengan cara meringankan penderitaan rasa sakit melalui
identifikasi dini, pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta
masalah lainnya baik fisik, psikologis, sosial atau spiritual (World Health
Organization (WHO) 2016).
Perawatan paliatif merupakan perawatan yang berfokus pada pasien dan
keluarga dalam mengoptimalkan kualitas hidup dengan mengantisipasi,
mencegah, dan menghilangkan penderitaan.
2.6.3 Komunikasi pada pasien dengan penyakit kronis
Penyakit kronik adalah suatu penyakit yang perjalanan
penyakit berlangsung lama sampai bertahun-tahun, bertambah berat, menetap dan
sering kambuh (Purwaningsih dan Karbina, 2009).
Ketidakmampuan/ketidakberdayaan merupakan persepsi individu bahwa segala
tindakannya tidak akan mendapatkan hasil atau suatu keadaan dimana individu
kurang dapat mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatann yang baru dirasakan.
(Purwaningsih dan Karbina, 2009). Berdasarkan pengertian diatas kelompok
menyimpulkan bahwa penyakit kronik yang dialami oleh seorang pasien dengan
jangka waktu yang lama dapat menyebabkan seorang klien mengalami
ketidakmampuan contohnya saja kurang dapat mengendalikan kondisi tertentu
atau kegiatan yang baru dirasakan. Contoh : penyakit diabetes militus, penyakit
cord  pulmonal deases, penyakit arthritis.
Tiap fase yang di alami oleh psien kritis mempunyai karakteristik yang
berbeda. Sehingga perawat juga memberikan respon yang berbeda pun. Dalam
berkomonikasi perwat juga harus memperhatikan pasien tersebut berada di fase
mana, sehingga mudah bagi perawat dalam menyesuaikan fase kehilangan yang di
alami pasien.
1. Fase Denial ( pengikraran )
Reaksi pertama individu ketika mengalami kehilangan adalah syok. Tidak
percaya atau menolak kenyataan bahwa kehlangn itu terjadi dengan mengatakan “
Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi “.  Bagi individu atau keluarga yang
mengalami penyakit kronis, akan terus menerus mencari informasi tambahan.
Reaksi fisik yang terjadi pada fase pengikraran adalah letih,lemah, pucat, mual,
diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah dan tidak tau
harus berbuat apa. Reaksi tersebut di atas cepat berakhir dalam waktu beberapa
menit sampai beberapa tahun.
Teknik komunikasi yang di gunakan :
a. Memberikan kesempatan untuk menggunakan koping yang
b. kontruktif dalam menghadapi kehilangan dan kematian
c. Selalu berada di dekat klien
d. Pertahankan kontak mata
2. Fase anger ( marah )
Fase ini di mulai dari timbulnya kesadaran akan kenyataan yang terjadinya
kehilangan. Individu menunjukkan perasaan yang meningkat yang sering di
proyeksikan kepada orang yang ada disekitarnya, orang  – orang tertentu atau di
tunjukkan pada dirinya sendiri. Tidak jarang dia menunjukkan prilaku agresif,
bicara kasar, menolak pengobatan, dan menuduh perawat ataupun dokter tidak
becus. Respon fisik yang sering terjadi pada fase ini antara lain, muka merah, nadi
cepat, gelisah, susah tidur, tangan menggepai.
Teknik komunikasi yang di gunakan adalah : Memberikan kesempatan pada
pasien untuk mengekspresikan perasaannya, hearing.. hearing.. dan hearing..dan
menggunakan teknik respek
3. Fase bargening ( tawar menawar )
Apabila individu sudah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif,
maka ia akan maju pada fase tawar menawar dengan memohon kemurahan tuhan.
Respon ini sering di nyataka dengan kata kata “ kalau saja kejadian ini bisa di
tunda, maka saya akan selalu berdoa “ . apabila proses berduka ini di alami
keluarga, maka pernyataan seperti ini sering di jumpai “ kalau saja yang sakit
bukan anak saya. Teknik komunikasi yang di gunakan adalah: Memberi
kesempatan kepada pasien untuk menawar dan menanyakan kepada pasien apa
yang di ingnkan
4. Fase depression
Individu fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri, tidak mau
berbicara, kadang kadang bersikap sebagai pasien yang sangat baik dan menurut
atau dengan ungkapAn yang menyatakan keputus asaan, perasaan tidak berharga.
Gejala fisik yang sering diperlihatkan adalah menolak makan, susah tidur, letih,
dorongan libugo menurun. Teknik komunikasi yang di gunakan adalah : Jangan
mencoba menenangkan klien dan biarkan klien dan keluarga mengekspresikan
kesedihannya.
5. Fase acceptance ( penerimaan )
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Fase menerima ini
biasanya di nyatakan dengan kata kata ini “ apa yang dapat saya lakukan agar saya
cepat sembuh?” Apabila individu dapat memulai fase fase tersebut dan masuk
pada fase damai atau penerimaan, maka dia akan dapat mengakhiri proses berduka
dan mengatasi perasaan kehilnagannya secara tuntas. Tapi apabila individu tetep
berada pada salah satu fase dan tidak sampai pada fase penerimaan. Jika
mengalami kehilangan lagi sulit baginya masuk pada fase penerimaan.Teknik
komunikasi yang di gunakan perawat adalah : Meluangkan waktu untuk klien dan
sediakan waktu untuk mendiskusikan perasaan keluarga terhadap kematian pasien
2.6.4 Komunikasi pada pasien yang tidak sadar
Komunikasi dengan pasien tidak sadar merupakan suatu komunikasi dengan
menggunakan teknik komunikasi khusus/teurapetik dikarenakan fungsi sensorik
dan motorik pasien mengalami penurunan sehingga seringkali stimulus dari luar
tidak dapat diterima klien dan klien tidak dapat merespons kembali stimulus
tersebut. Pasien yang tidak sadar atau yang sering kita sebut dengan koma, dengan
gangguan kesadaran merupakan suatu proses kerusakan fungsi otak yang berat
dan dapat membahayakan kehidupan. Pada proses ini susunan saraf pusat
terganggu fungsi utamanya mempertahankan kesadaran. Gangguan kesadaran ini
dapat disebabkan oleh beragam  penyebab, yaitu baik primer intrakranial ataupun
ekstrakranial, yang mengakibatkan kerusakan struktural atau metabolik di tingkat
korteks serebri, batang otak keduanya. Ada karakteristik komunikasi yang berbeda
pada klien tidak sadar ini, kita tidak menemukan feed back (umpan balik), salah
satu elemen komunikasi. Ini dikarenakan klien tidak dapat merespon kembali apa
yang telah kita komunikasikan sebab pasien sendiri tidak sadar. Nyatanya
dilapangan atau di banyak rumah sakit pasien yang tidak sadar ini atau pasien
koma di ruangan-ruangan tertentu seperti Intensif Care Unit (ICU), Intensif
Cardio Care Unit (ICCU) dan lain sebagainya, sering mengabaikan komunikasi
terapeutik dengan pasien ketika mau melakukan sesuatu tindakan atau bahkan
suatu intervensi. Hal ini yang menjadi banyak perdebatan sebagaian kalangan ada
yang berpendapat dia adalah pasien tidak sadar mengapa kita harus berbicara,
sedangkan sebagian lagi berpendapat walau dia tidak sadar dia juga masih
memiliki rasa atau masih mengatahui apa yang kita perbuat, maka kita harus
berkomunikasi walau sebagian orang beranggapan janggal. Maka dari itu kita
sebagai perawat diajarkan komunikasi terapeutik untuk menghargai perasaan
pasien serta berperilaku baik terhadap pasien sekalipun dia berada dalam keadaan
yang tidak sadar atau sedang koma.
2.6.5 Fungsi Komunikasi Dengan Pasien Tidak Sadar
Menurut Pastakyu (2010), Komunikasi dengan klien dalam proses
keperawatan memiliki beberapa fungsi, yaitu:
a. Mengendalikan Perilaku
Pada klien yang tidak sadar, karakteristik pasien ini adalah tidak memiliki
respon dan klien tidak ada prilaku, jadi komunikasi dengan pasien ini tidak
berfungsi sebagai  pengendali prilaku. Secara tepatnya pasien hanya memiliki
satu prilaku yaitu pasien hanya berbaring, imobilitas dan tidak melakukan
suatu gerakan yang berarti. Walaupun dengan berbaring ini pasien tetap
memiliki prilaku negatif yaitu tidak bisa mandiri.
b. Perkembangan Motivasi
Pasien tidak sadar terganggu pada fungsi utama mempertahankan kesadaran,
tetapi klien masih dapat merasakan rangsangan pada pendengarannya. Perawat
dapat menggunakan kesempatan ini untuk berkomunikasi yang berfungsi untuk
pengembangan motivasi pada klien. Motivasi adalah pendorong pada setiap
klien, kekuatan dari diri klien untuk menjadi lebih maju dari keadaan yang
sedang ia alami. Fungsi ini akan terlihat pada akhir, karena kemajuan pasien
tidak lepas dari motivasi kita sebagai perawat, perawat yang selalu ada di
dekatnya selama 24  jam. Mengkomunikasikan motivasi tidak lain halnya
dengan pasien yang sadar, karena klien masih dapat mendengar apa yang
dikatakan oleh perawat.
c. Pengungkapan Emosional
Pada pasien tidak sadar, pengungkapan emosional klien tidak ada, sebaliknya
perawat dapat melakukannya terhadap klien. Perawat dapat berinteraksi dengan
klien. Perawat dapat mengungkapan kegembiraan, kepuasan terhadap
peningkatan yang terjadi dan semua hal positif yang dapat perawat katakan
pada klien.
d. Informasi
Fungsi ini sangat lekat dengan asuhan keperawatan pada proses keperawatan
yang akan kita lakukan. Setiap prosedur tindakan keperawatan harus
dikomunikasikan untuk menginformasikan pada klien karena itu merupakan
hak klien. Klien memiliki hak penuh untuk menerima dan menolak terhadap
tindakan yang akan kita berikan.
2.6.6 Prinsip-Prinsip Berkomunikasi Dengan Pasien Yang Tidak Sadar
Menurut Pastakyu (2010), Pada saat berkomunikasi dengan klien yang tidak
sadar, hal-hal berikut perlu diperhatikan, yaitu:
a. Berhati-hati melakukan pembicaraan verbal di dekat klien, karena ada
keyakinan bahwa organ pendengaran merupakan organ terkhir yang mengalami
penurunan penerimaan, rangsangan pada klien yang tidak sadar. Klien yang
tidak sadar seringkali dapat mendengar suara dari lingkungan walaupun klien
tidak mampu meresponnya sama sekali.
b. Ambil asumsi bahwa klien dapat mendengar pembicaraan perawat. Usahakan
mengucapkan kata dan menggunakan nada normal dan memperhatikan materi
ucapan yang perawat sampaikan dekat klien.
c. Ucapkan kata-kata sebelum menyentuh klien. Sentuhan diyakini dapat menjadi
salah satu bentuk komunikasi yang sangat efektif pada klien dengan penurunan
kesadaran.
d. Upayakan mempertahankan lingkungan setenang mungkin untuk membantu
klien fokus terhadap komunikasi yang perawat lakukan
2.7 Patofisiologi Berbagai Penyakit Kronis
2.7.1 Definisi Penyakit Kronis
Penyakit kronis merupakan jenis penyakit degeneratif yang berkembang
atau bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama, yakni lebih dari enam bulan.
Orang yang menderita penyakit kronis cenderung memiliki tingkat kecemasan
yang tinggi dan cenderung mengembangkan perasaan hopelessness dan
helplessness karena berbagai macam pengobatan tidak dapat membantunya
sembuh dari penyakit kronis (Sarafino, 2006). Rasa sakit yang diderita akan
mengganggu aktivitasnya sehari-hari, tujuan dalam hidup, dan kualitas tidurnya
(Affleck et al. dalam Sarafino, 2006).
2.7.2 Etiologi Penyakit Kronis
Penyakit kronis dapat diderita oleh semua kelompok usia, tingkat sosial
ekonomi, dan budaya. Penyakit kronis cenderung menyebabkan kerusakan yang
bersifat permanen yang memperlihatkan adanya penurunan atau menghilangnya
suatu kemampuan untuk menjalankan berbagai fungsi, terutama muskuloskletal
dan organ-organ pengindraan. Ada banyak faktor yang menyebabkan penyakit
kronis dapat menjadi masalah kesehatan yang banyak ditemukan hampir di
seluruh negara, di antaranya kemajuan dalam bidang kedokteran modern yang
telah mengarah pada menurunnya angka kematian dari penyakit infeksi dan
kondisi serius lainnya, nutrisi yang membaik dan peraturan yang mengatur
keselamatan di tempat kerja yang telah memungkinkan orang hidup lebih lama,
dan gaya hidup yang berkaitan dengan masyarakat modern yang telah
meningkatkan insiden penyakit kronis (Smeltzer & Bare, 2010).
2.7.3 Fase Penyakit Kronis
Menurut Smeltzer & Bare (2010), ada sembilan fase dalam penyakit kronis,
yaitu sebagai berikut.
a. Fase pra-trajectory adalah risiko terhadap penyakit kronis karena faktor-
faktor genetik atau perilaku yang meningkatkan ketahanan seseorang
terhadap penyakit kronis.
b. Fase trajectory adalah adanya gejala yang berkaitan dengan penyakit kronis.
Fase ini sering tidak jelas karena sedang dievaluasi dan sering dilakukan
pemeriksaan diagnostik.
c. Fase stabil adalah tahap yang terjadi ketika gejala-gejala dan perjalanan
penyakit terkontrol. Aktivitas kehidupan sehari-hari tertangani dalam
keterbatasan penyakit.
d. Fase tidak stabil adalah periode ketidakmampuan untuk menjaga gejala tetap
terkontrol atau reaktivasi penyakit. Terdapat gangguan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.
e. Fase akut adalah fase yang ditandai dengan gejala-gejala yang berat dan tidak
dapat pulih atau komplikasi yang membutuhkan perawatan di rumah sakit
untuk penanganannya.
f. Fase krisis merupakan fase yang ditandai dengan situasi kritis atau
mengancam jiwa yang membutuhkan pengobatan atau perawatan
kedaruratan.
g. Fase pulih adalah keadaan pulih kembali pada cara hidup yang diterima
dalam batasan yang dibebani oleh penyakit kronis.
h. Fase penurunan adalah kejadian yang terjadi ketika perjalanan penyakit
berkembang disertai dengan peningkatan ketidakmampuan dan kesulitan
dalam mengatasi gejala-gejala.
i. Fase kematian adalah tahap terakhir yang ditandai dengan penurunan
bertahap atau cepat fungsi tubuh dan penghentian hubungan individual.
2.7.4 Kategori Penyakit Kronis
Menurut Christensen et al. (2006) ada beberapa kategori penyakit kronis,
yaitu seperti di bawah ini.
a. Lived with illnesses. Pada kategori ini individu diharuskan beradaptasi dan
mempelajari kondisi penyakitnya selama hidup dan biasanya tidak
mengalami kehidupan yang mengancam. Penyakit yang termasuk dalam
kategori ini adalah diabetes, asma, arthritis, dan epilepsi.

b. Mortal illnesses. Pada kategori ini secara jelas kehidupan individu terancam
dan individu yang menderita penyakit ini hanya bisa merasakan gejala-
gejala penyakit dan ancaman kematian. Penyakit dalam kategori ini adalah
kanker dan penyakit kardiovaskuler.

c. At risk illnesses. Kategori penyakit ini sangat berbeda dari dua kategori
sebelumnya. Pada kategori ini tidak ditekankan pada penyakitnya, tetapi
pada risiko penyakitnya. Penyakit yang termasuk dalam kategori ini adalah
hipertensi dan penyakit yang berhubungan dengan hereditas.
2.7.5 Tanda dan Gejala
Karakteristik penyakit kronis adalah penyebabnya yang tidak pasti,
memiliki faktor risiko yang multiple, membutuhkan durasi yang lama,
menyebabkan kerusakan fungsi atau ketidakmampuan, dan tidak dapat
disembuhkan secara sempurna (Smeltzer & Bare, 2010). Tanda-tanda lain
penyakit kronis adalah batuk dan demam yang berlangsung lama, sakit pada
bagian tubuh yang berbeda, diare berkepanjangan, kesulitan dalam buang air
kecil, dan warna kulit abnormal (Heru, 2007).
2.1.6 Pencegahan
Sekarang ini pencegahan penyakit diartikan secara luas. Dalam pencegahan
penyakit dikenal pencegahan primer, sekunder, dan tersier (Djauzi, 2009).
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat
agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Secara garis besar,
upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum (melalui pendidikan
kesehatan dan kebersihan lingkungan) dan pencegahan khusus (ditujukan kepada
orang-orang yang mempunyai risiko dengan melakukan imunisasi). Pencegahan
sekunder merupakan upaya untuk menghambat progresivitas penyakit,
menghindari komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan yang dapat dilakukan
melalui deteksi dini dan pengobatan secara cepat dan tepat. Pencegahan tersier
dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi.
Upaya pencegahan tingkat ketiga ini dapat dilakukan dengan memaksimalkan
fungsi organ yang mengalami kecacatan (Budiarto & Anggreni, 2007).
2.7.7 Penatalaksanaan
Kondisi kronis mempunyai ciri khas dan masalah penatalaksanaan yang
berbeda. Sebagai contoh, banyak penyakit kronis berhubungan dengan gejala
seperti nyeri dan keletihan. Penyakit kronis yang parah dan lanjut dapat
menyebabkan kecacatan sampai tingkat tertentu, yang selanjutnya membatasi
partisipasi individu dalam beraktivitas. Banyak penyakit kronis yang harus
mendapatkan penatalaksanaan teratur untuk menjaganya tetap terkontrol, seperti
penyakit gagal ginjal kronis (Smeltzer & Bare, 2008).
2.8 Patofisiologi Penyakit Terminal
2.8.1 Pengertian Penyakit Terminal
Penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak ada obatnya, kematian
tidak dapat dihindari dalam waktu yang bervariasi. Penyakit pada stadium lanjut,
penyakit utama tidak dapat diobati, bersifat progresif, pengobatan hanya bersifat
paliatif (mengurangi gejala dan keluhan, memperbaiki kualitas hidup).
2.8.2 Kriteria Penyakit Terminal
Beberapa kriteria dalam penyakit terminal adalah sebagai berikut.
1. Penyakit tidak dapat disembuhkan
2. Mengarah pada kematian
3. Diagnosa medis sudah jelas
4. Tidak ada obat untuk menyembuhkan
5. Prognosis jelek
6. Bersifat progresif
2.8.4 Perbedaan Anak Dengan Dewasa Dalam Mengartikan Kematian
1. Jangan berfikir kognitif dewasa dengan anak tentang arti kematian
2. Anak tidak memiliki kematangan emosional dalam mempersepsikan tentang
arti kematian
3. Mekanisme koping pada anak belum terbentuk
4. Anak di ajak berdiskusi mengenai / tentang tuhan,surga, dan benda-benda
yang tidak terlihat
2.8.5 Kebutuhan Anak Yang Terminal
1. Komunikasi,
Dalam hal ini anak sangat perlu di ajak unuk berkomunikasi atau berbicara
dengan yang lain terutama oleh kedua orang tua
2. Memberitahu kepada anak bahwa ia tidak sendiri dalam menghadapi
penyakit tersebut
3. Berdiskusi dengan siblings (saudara kandung) agar saudara kandung mau
ikut berpartisipasi dalam perawatan atau untuk merawat
4. Social support meningkatkan koping
2.8.9 Menjelaskan Kematian Pada Anak
1. Kebanyakan seorang psikolog percaya bahwa dengan berkata jujur
merupakan strategi yang terbaik dalam mendiskusikan kematian dengan
anak
2. Respon anak terhadap pertanyaan mengenai kematian merupakan dasar
tingkat kematangan anak dalam mengartikan kematian
3. Pada anak pra sekolah, anak mengartikan  kematian sebagai : kematian
adalah sudah tidak ada nafas, dada dan perut datar, tidak bergerak lagi,dan
tidak bisa berjalan seperti layaknya orang yang dapat berjalan seperti orang
sebelum mati / meninggal
4. Kebanyakan anak-anak (anak yang menderita penyakit terminal)
membutuhkan keberanaian, bahwa ia di cintai dan tidak akan merasa di
tinggalkan
5. Tanpa memandang umur, sebagai orang tua seharusnya sensitife dan
simpati, mendukunng apa yang anak rasakan
2.8.10 Masalah – Masalah Pada Pasien Penyakit Terminal
1. Masalah fisik
− Nyeri
− Perubahan kulit
− Distensi
− Konstipasi
− Alopesia
− Kelemahan otot
2. Masalah psikologi
− Ketergantungan tinggi
− Kehilangan kontrol
− Kehilangan produktifitas
− Hambatan dalam berkomunikasi
3. Masalah sosial
− Menarik Diri
− Isolasi sosial
4. Masalah spiritual
− Kehilangan harapan
− Perencanaan saat ajal tiba
2.9 Pengkajian Fisik dan Fisiologis Dalam Perawatan Paliatif
2.9.1 Pengkajian Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan mulai dari kepala sampai kaki dengan melihat
segala kelainan dan ketidaknormalan yang ada pada tubuh pasien adapun
tehnik yang digunakan dalam melakukan pemeriksaan adalah sebagai
berikut ini :
− Pengkajian Identitas Klien : Nama, Umur, No Reg, Ruang, Agama,
Pekerjaan, Alamat, Suku Bangsa, Pendidikan, MRS, DX Medis
− Keluhan Utama : Saat MRS keluhan yang dirasakan oleh klien,
sehingga menjadi alasan klien dibawa kerumah sakit
− Saat pengkajian : Klien mengatakan keluhan yang dirasakan oleh klien
− Riwayat Penyakit Sekarang :
Kronologis dari penyakit yang diderita saat ini hingga dibawa
kerumah sakit secara kelngkap dengan menggunakan rumus PQRST
− Riwayat Penyakit Dahulu :
Penyakit apa saja yang pernah dialami oleh klien, baik yang ada
hubungannya dengan penyakit yang diderita sekarang atau yang tidak
ada hubungannya dengan penyakit yang diderita saat ini, riwayat
operasi atau riwayat alergi.
− Riwayat Kesehatan Keluarga : Apakah ada kluarga yang menderita
penyakit yang sama?.
− Riwayat Psikososial
− Persepsi Klien Terhadap Masalah
Apakah pasien mengatakan bahwa penyakitnya ini merupakan
masalah yang mengkhawatirkan, ekspresi wajah terlihat lemah dan
badannya terlihat lemas.
− Pola Kesehatan Sehari-hari Selama Di Rumah dan RS
a. Pola Nutrisi dan Metabolisme
 Di Rumah : apakah klien makan dan minum sesuai dengan
kebutuhan tubuh?
 Di Rumah Sakit : bagaimana pola nutrisi makan dan minum
klien saat sakit
b. Kebiasaan Devekasi Sehari-hari
 Di Rumah : jumlah, warna, bau, disertai darah ataupun
nanah
 Di Rumah Sakit : klien dibantu untuk toileting atau tidak
c. Kebiasaan Miksi
 Di Rumah : warna, bau, adakah kesulitan BAK
 Di Rumah Sakit : klien BAK dengan alat bantu atau tidak.
d. Pola Tidur dan Istirahat
 Dirumah Klien : jumlah jam tidur, apakah mengalami
gangguan tidur
 Di Rumah Sakit : jumlah jam tidur, apakah mengalami
gangguan tidur
e. Pola Aktivitas
 Di rumah : klien beraktifitas secara mandiri tanpa bantuan
orang lain apakah memiliki kebiasaan olah raga
 Di rumah sakit : apakah klien mendapatkan bantuan dari
orang lein ketika akan melakukan aktivitas
f. Pola Reproduksi dan Seksual
a) Usia, anak, riwayat penggunaan kontrasepsi
2.9.2 Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : apakah klien lemah, terpasang infus atau tidak
: klien sering mengeluh lemas, sakit, tidak nyaman,
Keadaan sakit
dll.
Tekanan darah : mengalami penurunan

Nadi : mengalami penurunan

Respirasi : 12-24 x/menit

Bising Usus : 6-12 x/menit

Suhu : 37,5-38,5˚C
Tinggi badan :-
Berat badan : naik atau menurun
b. Review of System (ROS)
a) Kepala : Posisi kepala, bentuk kepala, warna rambut, distribusi
rambut, apakah terlihat bayangan pembuluh darah, apakah terdapat
luka, tumor, edema, ketombe, dan bau.
 Mata : apakah terdapat vesikel, tidak ada masa, nyeri tekan, dan
penurunan penglihatan, konjungtiva anemis.
 Hidung : apakah terdapat sekret, dan lesi
b) Integumen : bagaimana warna, tekstur kering, turgor kulit, apakah
terdapat tanda sianosis, akral dingin atau hangat, ada atau tidak tanda
inflamasi pada kuku
c) Status Neurologis
− Tingkat kesadaran
− Tanda – tanda perangsangan otak
− Uji saraf kranial
− Funsi Motorik
− Fungsi Sensorik
− Refleks Pantologis
2.9.3 Pengkajian Psikologis
Respon Psikologis (penerimaan diri) terhadap Penyakit ada lima tahap
reaksi emosi seseorang terhadap penyakit, yaitu :
a. Pengingkaran (denial ) Pada tahap pertama pasien menunjukkan
karakteristik perilaku pengingkaran, mereka gagal memahami dan
mengalami makna rasional dan dampak emosional dari diagnosa.
Pengingkaran ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan pasien
terhadap sakitnya atau sudah mengetahuinya dan mengancam dirinya.
Pengingkaran dapat dinilai dari ucapan pasien “saya di sini istirahat.”
Pengingkaran dapat berlalu sesuai dengan kemungkinan
memproyeksikan pada apa yang diterima sebagai alat yang berfungsi
sakit, kesalahan laporan laboratorium, atau lebih mungkin perkiraan
dokter dan perawat yang tidak kompeten. Pengingkaran diri yang
mencolok tampak menimbulkan kecemasan, pengingkaran ini
merupakan buffer untuk menerima kenyataan yang sebenarnya.
Pengingkaran biasanya bersifat sementara dan segera berubah menjadi
fase lain dalam menghadapi kenyataan (Achir Yani).
b. Kemarahan (anger ) Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan
lagi, maka fase pertama berubah menjadi kemarahan. Perilaku pasien
secara karakteristik dihubungkan dengan marah dan rasa bersalah.
Pasien akan mengalihkan kemarahan pada segala sesuatu yang ada
disekitarnya. Biasanya kemarahan diarahkan pada dirinya sendiri dan
timbul penyesalan. Yang menjadi sasaran utama atas kemarahan adalah
perawat, semua tindakan perawat serba salah, pasien banyak menuntut,
cerewet, cemberut, tidak bersahabat, kasar, menantang, tidak mau
bekerja sama, sangat marah, mudah tersinggung, minta banyak
perhatian dan iri hati. Jika keluarga mengunjungi maka menunjukkan
sikap menolak, yang mengakibatkan keluarga segan untuk datang, hal
ini akan menyebabkan bentuk keagresipan (Hudak & Gallo).
c. Sikap tawar menawar (bargaining ) Setelah marah-marah berlalu,
pasien akan berfikir dan merasakan bahwa protesnya tidak ada artinya.
Mulai timbul rasa bersalahnya dan mulai membina hubungan dengan
Tuhan, meminta dan berjanji merupakan ciri yang jelas yaitu pasien
menyanggupi akan menjadi lebih baik bila terjadi sesuatu yang
menimpanya atau berjanji lain jika dia dapat sembuh (Achir Yani).
d. Depresi Selama fase ini pasien sedih/ berkabung mengesampingkan
marah dan pertahanannya serta mulai mengatasi kehilangan secara
konstruktif. Pasien mencoba perilaku baru yang konsisten dengan
keterbatasan baru. Tingkat emosional adalah kesedihan, tidak berdaya,
tidak ada harapan, bersalah, penyesalan yang dalam, kesepian dan
waktu untuk menangis berguna pada saat ini. Perilaku fase ini termasuk
mengatakan ketakutan akan masa depan, bertanya peran baru dalam
keluarga intensitas depresi tergantung pada makna dan beratnya
penyakit (Netty).
e. Penerimaan dan partisipasi Sesuai dengan berlalunya waktu dan pasien
beradapatasi, kepedihan dari kesabatan yang menyakitkan berkurang
dan bergerak menuju identifikasi sebagai seseorang yang keterbatasan
karena penyakitnya dan sebagai seorang cacat. Pasien mampu
bergantung pada orang lain jika perlu dan tidak membutuhkan dorongan
melebihi daya tahannya atau terlalu memaksakan keterbatasan atau
ketidakadekuatan (Hudak & Gallo). Proses ingatan jangka panjang yang
terjadi pada keadaan stres yang kronis akan menimbulkan perubahan
adaptasi dari jaringan atau sel. Adaptasi dari jaringan atau sel imun
yang memiliki hormon kortisol dapat terbentuk bila dalam waktu lain
menderita stres, dalam teori adaptasi dari Roy dikenal dengan
mekanisme regulator.
2.10 Tinjauan Agama Tentang Perawatan Paliatif
Agama merupakan sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. (Kamus Besar
Bahasa Indonesia).
2.10.1 Peran agama dalam pealiative care
1. Sebagai spiritual nourishment dan pencegahan penyakit. (Hawari)
2. Sebagai mekanisme koping dan factor yg berkontribusi dalm pemulihan
pasien. (Narayasamy)
3. Sbg sumber penyembuhan (healing) bagi pasien terminal. (Mok, Wong dan
Wong)
2.10.2 Perspektif masing-masing agama mengenai ajal dan musibah
1.   Islam
Tiga manfaat musibah (sakit) merupakan sebagai penghapus dosa, sebagai
ujian kesabaran, tangga untuk mencapai derajat yang lebih tinggi di sisi Allah
SWT.
2.   Kristen
Makna penderitaan merupakan sebagai karunia, merupakan bagian dari orang
Kristen, suatu yang bahagia, memiliki maksud tujuan tertentu, bersifat sementara
& diakhiri dengan berkat.
3.   Budha
Makna kematian untuk menyadarkan setiap manusia akan akhir
kehidupannya, bahwa betapa tinggi pun tempatnya, apapun bantuan teknologi atau
ilmu kedokteran yang dimilikinya, pada akhirnya tetap harus mengalami hal yang
sama yaitu di dalam kubur atau menjadi segenggam debu.
4.   Hindu
Kematian adalah hal yang sangat penting yang menentukan arti kehidupan
seseorang, jadi harus selalu mengingat Tuhan menjelang ajal sehingga mampu
menghantarkan ke tempat yang indah dalam spiritual.

Anda mungkin juga menyukai