A. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang ditularkan melalui udara, dimana
bakteri basil yang infeksius terhirup (droplet) di udara (Jurdao & Otilia VV,
2011). Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama
menyerang parenkim paru. Tuberkulosis dapat juga ditularkan ke bagian
tubuh lainnya, termasuk meninges, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Smeltzer
& Brenda, 2001).
Hemaptoe (batuk darah) adalah darah berdahak yang dibatukkan yang
berasal dari saluran pernafasan bagian bawah. Dikatakan batuk darah masif
apabila jumlah darah yang keluar 600 ml dalam waktu 24 jam. Hemaptoe
adalah ekspetorasi darah / mukus yang berdarah (Anonimous, 2012).
Hemaptoe (hemoptysis) adalah batuk dengan sputum yang mengandung darah
yang berasal dari paru atau percabangan bronkus (Kusmiati & Laksmi, 2011).
Hemaptoe diklasifikasikan menjadi (Tafti SF dkk, 2005):
1. Hemaptoe masif : perdarahan lebih dari 200cc per 24 jam
2. Hemaptoe moderat : perdarahan kurang dari 200cc per 24 jam
3. Hemaptoe ringan : sputum dengan bercak darah.
1
3. Pengguna obat-obat IV dan alkoholik
4. Setiap individu dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya (mis.
Diabetes, gagal ginjal kronis, silikosis, penyimpangan gizi, bypass
gastrektomi atau yeyunoileal)
5. Imigran dari negara dengan insiden TB yang tinggi (Asia Tenggara, Afrika,
Amerika Latin, Karibia)
6. Setiap individu yang tinggal di institusi (mis, fasilitas perawatan jangka
panjang, institusi psikiatrik, penjara)
7. Individu yang tinggal di daerah perumahan substandar kumuh
8. Petugas kesehatan
C. Etiologi
Agens infeksius utama, Mycobacterium tuberculosis, adalah bakteri
batang aerobik tahan asam yang tumbuh lambat dan sensitif terhadap panas dan
sinar ultraviolet. Mycobacterium tuberculosis kompleks terdiri dari strain
lima spesies yaitu M. tuberkulosis, M. canettii, M. africanum, M. microti, dan
M. bovis dan dua subspesies yaitu M. caprae dan M. Pinnipedii. Mikobakteri
ini ditandai dengan 99,9% kesamaan pada tingkat nukleotida dan hampir
identik dengan urutan 16S rRNA tetapi berbeda dalam hal inang tropisme,
fenotipe dan patogenisitas (Jurdao & Otilia VV, 2011). M. Bovis dan M. Avium
pernah, pada kejadian yang jarang, berkaita dengan terjadinya infeksi
tuberkulosis (Smeltzer & Brenda, 2001).
Hemaptoe adalah gejala pernafasan non-spesifik dan memiliki
hubungan yang signifikan dengan TB paru (Tafti SF et al, 2005). Etiologi
hemaptoe antara lain (Flores & Sunder, 2006) :
1. Infeksi: penyakit paru inflamasi kronis (bronkhitis akut/ kronis,
bronchiectasis (fibrosis cystic), abses paru, aspergilloma, tuberkulosis.
2. Neoplasma: karsinoma bronchogenik, metastase pulmonal, adenoma
bronkial, sarcoma.
3. Benda asing/ trauma: aspirasi benda asing, fistula trakeovaskular, trauma
dada, broncholith.
4. Pembuluh darah pulmonal/ cardiac: gagal ventrikel kiri, stenosis katup
mitral, infark/emboli pulmonal, perforasi arteri pulmonal (komplikasi dari
kateter arteri pulmonal).
2
5. Alveolar hemoragik: sindrom Goodpasteur, vasculitide sistemik/ penyakit
vaskular kolagen, obat-obatan (nitrofurantoin, isocyanate, trimellitic
anhydrid, D-penicillamine, kokain), koagulopati.
6. Iatrogenik: post biopsi paru, rupturnya arteri pulmonal dari kateter Swan-
Ganz
7. Lain-lain: malformasi arterivenous pulmonal, bronkial telangiectasia,
pneumoconiosis.
D. Patofisiologi
Pengeluaran zat pirogen Tumbuh dan
berkembang di
sitoplasma makrofag
Mempengaruhi hipotalamus
Sarang primer/afek
Hipertermi Mempengaruhi sel point primer (focus ghon)
Ansietas, takut
4
Gangguan rasa
nyaman
1. Pada hemaptoe, darah adalah berbusa karena dicampur dengan udara dan
lendir dan kadang-kadang lendir yang bernoda darah.
2. Kuantitas mungkin berbeda dengan jumlah yang kecil karena iritasi
tenggorokan atau jumlah yang besar dalam kasus kanker.
3. Darah mungkin berwarna merah terang atau mungkin berwarna kekuningan.
4. Jika batuk disertai dengan demam tinggi, sesak napas, pusing, nyeri dada
dan darah dalam urin atau feses, pasien harus mendapatkan perhatian medis
yang mendesak tanpa penundaan (Anonimous, 2012).
G. Penatalaksanaan Medis
Dalam kasus tuberkulosis, yang merupakan masalah kesehatan nasional,
rejimen yang tepat dari obat anti-TBC dapat diberikan (Nakhoda N, 2012). ada
umumnya hemoptoe ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan biasanya
berhenti sendiri. Yang perlu mendapat perhatian yaitu hemoptisis yang masif.
Tujuan pokok terapi ialah (Anonimous, 2011):
1. Mencegah tersumbatnya saluran napas oleh darah yang beku
2. Mencegah kemungkinan penyebaran infeksi
3. Menghentikan perdarahan
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan suport
kardiopulmaner dan mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang
merupakan penyebab utama kematian pada para pasien dengan hemoptisis
masif (Anonimous, 2011).
Masalah utama dalam hemoptoe adalah terjadinya pembekuan dalam
saluran napas yang menyebabkan asfiksi. Bila terjadi afsiksi, tingkat
kegawatan hemoptoe paling tinggi dan menyebabkan kegagalan organ yang
multipel. Hemoptoe dalam jumlah kecil dengan refleks batuk yang buruk dapat
5
menyebabkan kematian. Dalam jumlah banyak dapat menimbukan renjatan
hipovolemik (Anonimous, 2011).
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah (Anonimous,
2011):
1. Terapi konservatif
a. Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi miring (lateral
decubitus). Kepala lebih rendah dan miring ke sisi yang sakit untuk
mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat.
b. Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi perdarahan.
c. Batuk secara perlahan – lahan untuk mengeluarkan darah di dalam saluran
saluran napas untuk mencegah bahaya sufokasi.
d. Dada dikompres dengan es – kap, hal ini biasanya menenangkan penderita.
e. Pemberian obat – obat penghenti perdarahan (obat – obat hemostasis),
misalnya vit. K, ion kalsium, trombin dan karbazokrom.
f. Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.
g. Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya perdarahan yang
terjadi.
h. Pemberian oksigen.
i. Tindakan selanjutnya bila mungkin :
1) Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi
2) Menentukan penyebab dan mengobatinya, misal aspirasi darah dengan
bronkoskopi dan pemberian adrenalin pada sumber perdarahan.
2. Terapi pembedahan
Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan.
Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan :
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian
pada perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan
tindakan operasi.
c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya hemoptoe
yang berulang dapat dicegah.
6
H. Masalah Keperawatan
Pengkajian (Anonimous, 2011)
1. Jumlah dan warna darah
2. Lamanya perdarahan
3. Batuknya produktif atau tidak
4. Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan
5. Sakit dada, substernal atau pleuritik
6. Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi badan dan
batuk
7. Wheezing
8. Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu
9. Perdarahan di tempat lain serempak dengan batuk darah
10. Perokok berat dan telah berlangsung lama
11. Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada
12. Hematuria yang disertai dengan batuk darah
13. Untuk membedakan antara batuk darah dengan muntah darah dapat
digunakan petunjuk sebagai berikut :
7
14. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dicari gejala/tanda lain di luar paru yang dapat
mendasari terjadinya batuk darah, antara lain : jari tabuh, bising sistolik dan
opening snap, pembesaran kelenjar limfe, ulserasi septum nasalis,
teleangiektasi (Anonimous, 2011).
J. Rencana Tindakan (Ackley & Ladwig, 2011; Carpenito LJ, 2007; Nurarif AH
& Hardhi K, 2013; Moorhead S, et all. 2008)
1. Diagnosa 1: Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d obstruksi jalan nafas
(sekresi dibronkus, mukus yang berlebihan); fisiologis (infeksi) ditandai
dengan adanya batuk, suara nafas tambahan (wheezing), perubahan pada
pola dan respiratory rate, sputum berlebihan.
Setelah diberikan asuhan keperawatan 1 x 24 jam diharapkan bersihan
jalan klien menjadi efektif.
NOC: Patensi jalan napas, status respirasi.
Kriteria hasil:
a) Suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dipsneu (mampu
mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah)
b) Menunjukkan jalan napas yang paten (irama nafas, frekuensi pernapasan
dalam rentang normal, tidak ada suara napas abnormal)
c) Mampu mengidentifikasi dan mencegah faktor yang dapat menghambat
jalan napas.
NIC label: Manajemen jalan napas
1. Auskultasi suara napas 1 -4 jam. Suara napas normal jelas atau krakels
tersebar dibagian dasar yang jelas dengan napas dalam. Adanya
krakles kasar diakhir inspirasi mengindikasikan adanya cairan di jalan
8
napas, wheezing mengindikasikan adanya sumbatan jalan napas (Fauci
et al, 2008)
2. Pantau pola napas, meliputi rate, kedalaman dan upaya bernapas.
Respiratory rate normal untuk dewasa tanpa dispneu adalah 12-16
(Bickley & Szilagyi, 2009). Dengan adanya sekresi pada jalan napas
respiratori rate akan meningkat.
3. Berikan oksigen sesuai order. Pemberian oksigen dapat memperbaiki
hipoksemia (Wong & Elliot, 2009).
4. Observasi sputum, warna, bau, dan volume. Sputum normal adalah
bening atau abu-abu dan minimal; sputum abnormal adalah hijau,
kuning atau terdapat bercak darah; berbau; dan biasanya dalam
jumlah banyak.
5. Dorong pemberian cairan lebih dari 2500ml/ hari kecuali klien dengan
gangguan jantung atau ginjal. Cairan membantu meminimalisasi
keringnya mukosa dan memaksimalkan kerja silia untuk mengeluarkan
sekresi.
6. Berikan pengobatan seperti obat koagulan, dan antitusif. Obat koagulan
diberikan untuk menghentikan perdarahan dan obat golongan antitusif
untuk mengurangi batuk pada klien melalui penekanan pusat saraf
batuk.
7. Berikan kompres dingin dibagian leher dan dada klien. Kompres dingin
memberikan efek vasokontriksi pada pembuluh darah sehingga
perdarahan dapat dikontrol.
2. Diagnosa 2: Nyeri akut b.d agen injuri (fisik) ditandai dengan perubahan
nafsu makan, perubahan respiratory rate, melaporkan nyeri secara verbal.
Setelah diberikan asuhan keperawatan 1 x 2 jam diharapkan nyeri yang
dirasakan klien berkurang.
NOC: Tingkat nyeri, kontrol nyeri.
Kriteria hasil:
a) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan
teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
b) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen
nyeri
c) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi, dan tanda nyeri)
d) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.
9
NIC label: Manajemen nyeri
1. Lakukan pengkajian menyeluruh pada nyeri termasuk lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi. Pengkajian menyeluruh pada nyeri termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi penting untuk menentukan penyebab utama
nyeri dan pengobatan yang efektif (Breivik et al, 2008; Ming Wah, 2008).
2. Kaji adanya nyeri secara rutin, biasanya dilakukan pada pemeriksaan TTV
dan selama aktivitas dan istirahat. Pengkajian nyeri merupakan tanda-tanda
vital fisiologis yang penting dan nyeri termasuk dalam “kelima tanda-tanda
vital” (APS, 2008). Nyeri akut sebaiknya dikaji saat istirahat (penting untuk
kenyamanan) dan selama bergerak (penting untuk fungsi dan menurunkan
risiko terjadinya kardiopulmonari dan tromboembolitik pada klien)(Breivik
et al, 2008).
3. Minta klien untuk menjelaskan pengalaman nyeri sebelumnya, keefektifan
intervensi manajemen nyeri, respon pengobatan analgetik termasuk efek
samping, dan informasi yang dibutuhkan. Memperoleh riwayat nyeri
individu membantu untuk mengidentifikasi faktor potensial yang mungkin
mempengaruhi keinginan pasien untuk melaporkan nyeri, seperti intensitas
nyeri, respon klien terhadap nyeri, cemas, farmakokinetik dari analgesik
(Kalkman et al, 2003; Deane & Smith, 2008; Dunwoody et al, 2008).
Regimen manajemen nyeri harus secara individu kepada klien dan
mempertimbangkan kondisi medis, psikologis dan fisiologis, usia, respon
sebelumnya terhadap analgesik.
4. Manajemen nyeri akut dengan pendekatan multimodal. Multimodal
analgesik mengkombinasikan dua atau lebih pengobatan, metode (Pasero,
2003a, 2009a). Manfaat dari pendekatan ini adalah dosis efektif terendah
dari setiap obat bisa diberikan, hasilnya efek samping dapat diminimalkan
seperti terjadinya oversedasi dan depresi respirasi (Pasero, 2003a; Parvizi
et al, 2007; APS, 2008).
5. Jelaskan pada klien mengenai pendekatan manajemen nyeri, termasuk
intervensi farmakologi dan nonfarmakologi. Salah satu langkah penting
untuk meningkatkan kemampuan kontrol nyeri adalah klien memahami
nyeri secara alami dengan baik, pengobatannya dan peran klien dalam
mengontrol nyeri (APS, 2008).
10
6. Minta klien untuk menjelaskan nafsu makan, eliminasi, dan kemampuan
untuk istirahat dan tidur. Administrasikan terapi dan pengobatan untuk
meningkatkan/ memperbaiki fungsi ini. Obat-obatan golongan opioid
dapat menyebabkan konstipasi yang biasanya terjadi dan menjadi masalah
yang signifikan dalam manajemen nyeri. Opioid menyebabkan konstipasi
dengan cara menurunkan motilitas usus danmengurangi sekresi mukosa
(Friedman &Dello Buono, 2001; Panchal, Muller-Schwefe, Wurzelmann,
2007).
7. Sebagai tambahan administrasi obat analgesik, dukung klien untuk
menggunakan metode nonfarmakologi untuk membantu mengontrol nyeri,
seperti distraksi, imaginary, relaksasi dengan menarik napas dalam. Strategi
perilaku-kognitif dapat menjadi sumber kontrol diri klien, keberhasilan
personal, dan berpartisipasi aktif dalam pengobatannya sendiri.
11
melapor kepada petugas kesehatan/ perawat dan mendapatkan penanganan
yang tepat.
12
2. Instruksikan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi. Mambantu klien
untuk mendapatkan rasa nyaman tanpa teknik farmakologi.
6. Diagnosa 6: PK Infeksi
Setelah diberikan asuhan keperawatan 1 x 24 jam diharapkan infeksi
dapat diatasi.
NOC (Carpenito, 2006)
Kriteria hasil:
a) Komplikasi dapat dicegah
b) Tidak terjadi distres pernapasan, tidak terjadi syok.
NIC label: Kontrol infeksi (Ackley & Gail, 2010; Nurarif & Hardhi, 2013)
1. Kaji tanda-tanda infeksi; suhu tubuh, nyeri, perdarahan, dan pemeriksaan
labolatorium ,radiologi. Mengetahui keadaan pasien.
2. Kaji tanda-tanda syok dan distress pernapasan. Monitor komplikasi.
3. Kolaborasi pemberian antibiotik yang sesuai. Mengatasi penyabab.
Daftar Pustaka
Ackley BJ, Ladwig GB. 2011. Nursing Diagnosis Handbook an Evidence-Based
Guide to Planning Care. United Stated of America : Elsevier.
13
Bicley LS, Szilagy P. 2009. Guide to Physical Examination, Ed 10. Philadelphia:
Lippincott, Williams and Wilkins.
Deane G, Smith HS. 2008. Overview of Pain Management in Older Persons. Clin
Geriatr Med; 24: 185-20.
.
Dunwoody CF, K renzischek DA, Pasero C et al. 2008. Assesment,
Physiologycal Monitoring, and Consequences of Inadequately Treated
Pain. J Perianesth Nurs; 23 (1A): S27.
Jurdao L, Otilia VV. 2011. Review Articel Tuberculosis: New Aspect of An Old
Disease. International Journal of Cell Biology: 1-13.
Kolcaba K. 2003. Comfort Theory and Practice A Holistic Vision for Health Care.
New York: Springer.
Ming Wah IJ. 2008. Pain Management in The Hospitalized Patient. Md Clin N
Am; 92: 371-385.
14
Nurarif AH, Hardhi K. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosis Medis dan Nanda Nic Noc. Jilid 2. Yogyakarta: Mediaction.
O’Regan P. 2009. Nutrition for Patients in Hospital. Nurs Stand; 23 (32): 35-41.
Shay LE, Shobert JL, Seibert D et al. 2009. Adult Weight Management:
Translating Resource and Guidelines Into Practice. J Am Acad Nurse
Pract; 21 (4): 197-206.
Smeltzer SC, Brenda GB. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8.
Jakarta: EGC.
Tafti SF, Mehran M, Seyed MM, Mehdi KD. 2005. Outcome and Evaluation of
Hemoptysis in Patients with Old Pulmonary TB. Tanaffos; 4 (15) : 43-8.
The American Pain Society (APS). 2008. Principle of Analgesic Use in Acute and
Chronic Pain, ed. 6. Glenview, IL: The Society.
Wong M, Elliot M. 2009. The Use of Medical Orders in Acute Care Oxygen
Therapy. Br J Nurs; 18 (8): 462-464.
15