Disusun oleh:
Kelompok 5
1. Hariyono (171070)
2. Indah Kurnia Wardani (171074)
3. Kartika Mayang Sari (171086)
4. Lusi Arum Pratiwi (171092)
5. Moch Wildan S (171114)
6. Nadya Sakina Sukresno P (171118)
7. Neng Silvi Eka F (171123)
Puji syukur penyusun ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya, makalah dengan kasus “Asuhan
Keperawatan dengan Diabetes Melitus” dapat terselesaikan dengan baik.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok dari Bambang
Soekotjo, S.ST selaku dosen mata kuliah Keperawatan Gerontik Prodi
Keperawatan Tahun Ajaran 2019-2020.
Pada kesempatan ini tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Kumoro Asto Lenggono, S. Kep., Ners., M. Kep selaku ketua prodi
keperawatan.
2. Anang Nurwiyono, M.Kep, Sp.Kep.J selaku dosen mata kuliah
Keperawatan Gerontik yang telah memberikan bimbingan dan
pengarahan demi terselesainya makalah ini.
3. Rekan-rekan dan semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para mahasiswa, pembaca serta
dapat dijadikan sebagai bahan tambahan untuk memperoleh ilmu
pengetahuan.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan, manusia harus mengatasi masalah terus menerus
untuk menjaga keseimbangan atau balance antara stress dan mekanisme
koping. Jika hal ini tidak bisa seimbang maka akan bisa terjadi kondisi
krisis. Krisis merupakan bagian dari kehidupan yang dapat terjadi dalam
bentuk yang berbeda-beda, dengan penyebab yang berbeda, dan bisa
eksternal atau internal.
Dalam ilmu keperawatan jiwa masalah krisis yang dimaksud yaitu
suatu kejadian atau peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba dalam
kehidupan seseorang yang mengganggu keseimbangan selama
mekanisme koping individu tersebut tidak dapat memecahkan masalah.
Mekanisme koping yang biasa digunakan individu sudah tidak efektif lagi
untuk mengatasi ancaman atau peristiwa pemicu, biasanya dapat di
identifikasikan.
Krisis mempunyai keterbatasan waktu dan konflik berat yang
ditunjukkan menyebabkan peniingkatan ansietas. Konflik berat yang
ditunjukkan dapat merupakan periode peningkatan kerentanan yang dapat
menstimulus pertumbuhan personal. Konsep krisis di asosiasikan dengan
respon potensi yang adaptif, dan biasanya tidak berkaitan dengan sakit,
disisi lain konsep stress sering dihubungkan dengan konotasi negative
atau resiko tinggi untuk sakit.
Dalam hal ini intervensi krisis merupakan pendekatan yang relative
beru dalam mencegah gangguan jiwa dengan focus pada penemuan
kasus secara dini dengan mencegah dampak lebih jauh dari stress, hal ini
dilaksanakan dengan kerjasama dengan interdisiplin dalam mencegah
dan meningkatkan kesehatan mental.
1.2 Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan jiwa dan
diharapkan bagi mahasiswa agar mampu memahami tentang
gangguan psikososial yaitu masalah krisis dan dapat membuat
asuhan keperawatan pada pasien dengan masalah krisis.
2. Tujuan Khusus
a) Mahasiswa mampu menjelaskan tentang konsep dasar
keperawatan pada masalah krisis.
b) Mahasiswa mampu menjelaskan proses gangguan
pasikososial masalah krisis.
c) Mahasiswa mampu menjelaskan pengkajian, analisa
data, diagnose keperawatan, intervensi dan evaluasi
dari asuhan keperawatan masalah krisis.
1.3 Manfaat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 PENGERTIAN
Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon
terhadap kecemasan/ kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan
sebagai ancaman (Stuart, 2007). Perasaan marah normal bagi tiap
individu, namun perilaku yang dimanifestasikan oleh perasaan marah
dapat berfluktuasi sepanjang rentang adaptif dan maladaptif.
Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan
respon pasif dan melarikan diri atau respon melawan dan menantang.
Respon melawan dan menantangmerupakan respon yang maladapitf,
yaitu agresif-kekerasan perilaku yang menampakkan mulai dari yang
rendah sampai yang tinggi, yaitu:
Asertif : mampu menyatakan rasa marah tanpa menyakiti orang lain dan
merasa lega. Frustasi : Merasa gagal mencapai tujuan disebabkan
karena tujuan yang tidak realistis.
Pasif : Diam saja karena merasa tidak mampu mengungkapkan perasaan
yang sedang dialami.
Agresif: memperlihatkan permusuhan, keras dan menuntut, mendekati
orang lain dengan ancaman, memberi kata-kata ancaman tanpa niat
melukai. Umumnya klien masih dapat mengontrol perilaku untuk tidak
melukai orang lain.
Kekerasan: sering juga disebut gaduh-gaduh atau amuk. Perilaku
kekerasan ditandai dengan menyentuh orang lain secara menakutkan,
memberi kata-kata ancaman- ancaman, melukai disertai melukai pada
tingkat ringan, dan yang paling berat adalah melukai/ merusak secara
serius. Klien tidak mampu mengendalikan diri.
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana sesorang berisiko atau
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada
diri sendiri maupun orang lain. (Yosep, 2007).Perilaku kekerasan adalah
suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang, baik
secara fisik maupun psikologis. (Keliat, dkk, 2010).
Krisis adalah reaksi berlebihan terhadap situasi yang mengancam
saat kemampuan menyelesaikan masalah yang dimiliki klien dan respons
kopingnya tidak adekuat untuk mempertahankan keseimbangan psikologis
(Isaac, 2006)
Manajemen krisis adalah upaya untuk menekan faktor
ketidakpastian dan faktor resiko hingga tingkat serendah mungkin, dengan
demikian akan lebih mampu menampilkan sebanyak mungkin faktor
kepastiannya. Sebenarnya yang disebut manajemen krisis itu diawali
dengan langkah mengupayakan sebanyak mungkin informasi mengenai
alternatif-alternatif, maupun mengenai probabilitas, bahkan jika mungkin
mengenai kepastian tentang terjadinya, sehingga pengambilan
keputusanan mengenai langkah-langkah yang direncanakan untuk
ditempuh, dapat lebih didasarkan pada sebanyak mungkin dan selengkap
mungkin serta setajam (setepat) mungkin informasinya. Tentu saja
diupayakan dari sumber yang dapat diandalkan (reliable), sedangkan
materinya juga menyandang bobot nalar yang cukup (Isaac, 2007).
b) Data Obyektif
1. Muka merah dan tegang
2. Pandangan tajam
3. Mengatupkan rahang dengan kuat
4. Mengepalkan tangan
5. Jalan mondar mandir
6. Bicara kasar
7. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
8. Mengancam secara verbal atau fisik
9. Merusak barang atau benda
10. Tidakmempunyai kemampuan mencegah/mengontrol perilaku
kekerasan (stuart, 2007).
1.3 PENYEBAB
a. Faktor Predisposisi
Faktor pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan
factor predisposisi, artinya mungkin terjadi/ mungkin tidak terjadi
perilaku kekerasan jika faktor berikut dialami oleh individu:
1. Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi
yang kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-
kanak yang tidak menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina,
dianiaya atau sanksi penganiayaan.
2. Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan
kekerasan, sering mengobservasi kekerasan di rumah atau di
luar rumah, semua menstimulasi individu mengadopsi perilaku
kekerasan.
3. Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif
agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap pelaku
kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan
yang diterima (permissive).
4. Bioneurologis, banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus
frontal, lobus temporal dan ketidakseimbangan neurotransmitter
turut berperan dalam terjadinya perilaku kekerasan (Hartono,
2007).
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau
interaksi dengan oranglain. Kondisi klien seperti kelemahan
fisik (penyakit fisik), keputusan, ketidak berdayaan, percaya
diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilakukekerasan.
Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat,
kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang
yang dicintai/pekerjaan dan kekerasan merupakan faktor
penyebab yang lain. Interaksi sosial yang provokatif dan
konflikdapat pula memicu perilaku kekerasan (Hartono, 2007).
1.4 AKIBAT
Adanya perilaku kekerasan dapat berdampak pada perlukaan fisik
pada diri sendiri, pada orang lain maupun pada lingkungan serta
pengucilan karena perilaku kekerasan tersebut (Kelliat dalam Yosep,
2007).
1.5 PSIKOPATOLOGI
Adapun beberapa hal yang menyebabkan munculnya gangguan
jiwa pada perilaku kekerasan yang dipengaruhi oleh faktor predesposi
dan faktor presipitasi. (Yosep (2007)
1. Faktor Predisposisi
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan timbulnya perilaku
kekerasan yaitu :
a. Faktor Psikologis
Psichoanalytical Theory : teori ini mendukung bahwa perilaku
agresif merupakan akibat dari Instructual Drives. Freud
berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua
insting, pertama insting hidup yang diekspresikan dengan
seksualitas ; dan kedua : insting kematian yang diekspresikan
dengan agresifitas.
b. Faktor Sosial Budaya
Ini mengemukakan bahwa agresif tidak berbeda dengan respon-
respon yang lain. Agresif dapat dipelajari melalui observasi atau
imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka
semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan
berespon terhadap keterbangkitan emosionalnya secara agresif
sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Kultur dapat pula
mempengaruhi perilaku kekerasan, adanya norma dapat
membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang diterima
atau tidak dapat diterima sehingga dapat membantu individu
untuk mengekspresikan marah dengan cara yang asertif.
3. PENATALAKSANAAN KEPRAWATAN
1. Pembatasan Gerak
Pembatasan gerak adalah memisahkan klien di tempat yang
aman dengan tujuan melindungi klien, klien lain dan staf dari
kemungkinan bahaya. Istilah yang biasa digunakan dirumah sakit
jiwa untuk tempat pembatasan gerak adalah kamar isolasi. Klien
dibatasi pergerakannya karena dapat mencederai orang lain atau
dicederai orang lain, membutuhkan interaksi dengan orang lain dan
memerlukan pengurangan stimulus dari lingkungan (Stuart, 2007).
Langkah-langkah pelaksanaan pembatasan gerak adalah sebagai
berikut:
a. Tunjuk ketua tim krisis
b. Jelaskan tujuan, prosedur dan lama tindakan pada klien dan staf
lain.
c. Jelaskan kepada klien dan staf lain tentang perilaku yang
diperlukan untuk mengakhiri tindakan.
d. Buat perjanjian dengan klien untuk mempertahankan mengontrol
perilakunya
e. Bantu klien menggunakan metoda kontrol diri yang diperlukan.
f. Bantu klien memenuhi kebutuhan nutrisi, eliminasi, hidrasi,
kebersihan diri, dan kebersihan kamar.
g. Lakukan supervisi secara periodik untuk membantu dan
memberikan tindakan keperawatan yang diperlukan.
h. Libatkan klien dalam memutuskan pemindahan klien secara
bertahap
i. Dokumentasikan alasan pembatasan gerak, tindakan yang
dilakukan, respon klien dan alasan penghentian pembatasan gerak.
6. FOKUS INTERVENSI
a. Perencanaan dan Identifikasi Hasil
1. Bantu klien,keluarga, masyarakat, atau gabungan dari itu, dalam
menetapkan tujuan jangka pendek yang realistis untuk pemulihan
seperti sebelum krisis.
2. Tentukan kriteria hasil yang diinginkan untuk klien, kelurga,
masyarakat, atau gabungan dari itu. Individu yang mengalami
krisis akan :
a. Mengungkapkan secara verbal arti dari situasi krisis
b. Mendiskusikan pilihan –pilihan yang ada untuk
mengatasinya.
c. Mengidentifikasi sumber daya yang ada yang dapat
memberikan bantuan
d. Memilih strategi koping dalam menghadapi krisis
e. Mengimplementasikan tindakan yang diperlukan untuk
mengatasi krisis.
f. Menjaga keselamatan bila situasi memburuk
6. Implementasi
1. Bentuk hubungan dengan mendengarkan secara aktif dan
menggunakan respon empati.
2. Anjurkan klien untuk mendiskusikan situasi krisis dengan jelas,
dan bantu kien mengutarakan pikiran dan perasaannya.
3. Dukung kelebihan klien dan penggunaan tindakan koping.
4. Gunakan pendekatan pemecahan masalah.
5. Lakukan intervensi untuk mencegah rencana menyakiti diri
sendiri atau bunuh diri.
a. Kenali tanda-tanda bahaya akan adanya kekerasan terhadap
diri sendiri.(mis ; klien secara langsung mengatakan akan
melakukan bunuh diri, menyatakan secara tidak langsung
bahwa ia merasa kalau orang lain akan lebih baik jika ia tidak
ada, atau adanya tanda-tanda depresi)
b. Lakukan pengkajian tentang kemungkinan bunuh diri
c. singkirkan semua benda yang membahayakan dari tempat
atau sekitar klien.
d. Kolaborasi dengan anggota tim kesehatan jiwa untuk
menentukan apakah hospitalisasi perlu dilakukan atau tidak.
c. Implementasi untuk klien yang marah atau melakukan kekerasan
1.6.1 Lakukan intervensi dini untuk mencegah klien melakukan
kekerasan terhadap orang lain.
a. Kenali tanda-tanda verbal adanya peningkatan rasa marah
(mis; berteriak, berbicara cepat, menuntut perhatian,
pernyataan-pernyataan agresif)
b. Kenali tanda-tanda non verbal adanya peningkatan rasa
marah (mis; rahang dikencangkan, postur tubuh menegang,
tangan dikepalkan, berjalan mondar-mandir).
1.6.2 Lakukan beberap tindakan untuk mengurangi kemarahan
klien.
a. Jawab pertanyaan dan tuntutan klien dengan informasi faktual
dan sikap yang mendukung serta meyakinkan.
b. Berikan respon terhadap ansietas, marah dan frustasi yang
dirasakannya. Sebagai contoh : Perawat dapat mengatakan
”Tampaknya Anda merasa frustasi karena tidak dapat pulang ke
rumah sesuai keinginan Anda.”]
c. Biarkan klien mengeluarkan kemarahannya secara verbal,
tunjukan bahwa perawat menerima kemarahan ayng
diperlihatkannya.
d. Jangan membela atau membenarkan perilaku anda sendiri
ataupun perilaku orang lain. (mis., anggota tim pengobatan,
kebijakan Rumah Sakit).
e. Pantau bahasa tubuh anda sendiri, gunakan postur yang rileks
dengan kedua tangan bergantung santai disamping tubuh.
f. Berikan kontrol pada klien terhadap situasi masalah dengan
menawarkan solusi alternatif untuk menyelesaikan masalah.
1.6.3 Berespons terhadap perilaku klien
a. Lindungi diri anda sendirindengan berdiri diantara klien dan
pintu keluar sehingga memungkinkan anda mudah untuk
melarikan diri.
b. Lindungi orang lain dengan menginstruksikan mereka untuk
meninggalkan tempat.
c. Ikuti protokol lembaga, gunakan kode khusus untuk
menghadapi kekerasan jika ada.
1.6.4 Gunakan prinsip-prinsip penatalaksanaan kode kekerasan
bila diperlukan (mis., bila klien mengancam akan melukai,
klien yang lain atau anggota staf atau jika klien melempar
barang-barang atau merusak perabotan).
a. Pastikan untuk dilakukannya unjuk kekuatan
(minimal lima staf).
b. Tugaskan satu anggota tim sebagai ketua, yang
akan berinteraksi dengan klien dan arahkan respons
tim.
c. Ketua tim berdiri di depan, sedangkan yang lain
berdiri di belakangnya dalam dua atau tiga barisan.
d. Bila diperlukan restrain fisik, ketua tim akan
memutuskan siapa yang akan memegang kaki dan
tangan, dan siapa yang akan memegang kepala
(agar tidak digigit).
e. Tim bertindak sebagai satu kesatuandan melakukan
penaklukan yang lancardan tenang.
f. Lakukan latihan dimana jika teknik-teknik ini
dilakukan dapat memastikan keamanan dan
menghindarkan klien dan staf dari cedera.
d. Evaluasi hasil
1. Perawat menggunakan kriteria hasil yang spesifik dalam
menentukan efektifitas implementasi keperawatan.
2. Keselamatan klien, keluarga, dan masyarakat dapat
dipertahankan sebagai hasil dari intervensi yang adekuat
terhadap ekspresi perilaku yang tidak terkendali.
3. Klien mengidentifikasi hubungan antara stresor dengan
gejalayang dialami selama krisis.
4. Klien mengevaluasi solusi yang mungkin dilakukan untuk
mengatasi krisis.
5. klien memilih berbagai pilihan solusi.
6. Klien kembali ke keadaan sebelum krisis atau
memperbaikisituasi atau perilaku.
BAB III
Asuhan keperawatan
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan data-data yang diperoleh akhirnya dapat disimpulkan
bahwa krisis merupakan suatu keadaan gangguan jiwa yangbisa terjadi
pada orang-orang yang menghadapi suatu keadaan yang berubah dari
keadaan, peristiwa atau kejadian yang terjadi secara tiba – tiba di dalam
kehidupan seseorang . Hal tersebut dapat mengganggu keseimbangan
mekanisme koping individu tersebut yang tidak dapat menyelesaikan
masalahnya didalam menangani pasien dengan respon kehilangan,
diperlakukan prinsip-prinsip keperawatan yang sesuai,misalnya pada anak
atau pada orang tua dengan respon kehilangan (kematian anak)
Dalam proses asuhan keperawtan terutama pada pengkajiannya
yaitu kami memfokuskan pada pengkajian terfokus yang menyebabkan
klien tersebut dalam masalah krisis yang meliputi beberapa factor yaitu
factor predisposisi, presipitasi, dan prilaku.
4.2 Saran
Setelah kami membuat kesimpulan tentang asuhan keperawatan
pada klien dengan masalah krisis, maka kami menganggap perlu adanya
saran untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu asuhan keperawatan.
Adapun saran-saran yang dapat disampaikan sebagai berikut:
1. Dalam pengkajian kita tantukan terlebih dahulu mana yang termasuk
factor predisposisi, presipitasi, dan prilaku.
2. Intervensi krisis merupakan pendekatan yang relative baru dalam
mencegah gangguan jiwa pada kasus secara dini.
DAFTAR PUSTAKA