Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH KEPERAWATAN JIWA

Asuhan Keperawatan dengan Manajemen Krisis

Dosen Pembimbing: Anang Nurwiyono, M.Kep, Sp.KepJ

Disusun oleh:
Kelompok 5

1. Hariyono (171070)
2. Indah Kurnia Wardani (171074)
3. Kartika Mayang Sari (171086)
4. Lusi Arum Pratiwi (171092)
5. Moch Wildan S (171114)
6. Nadya Sakina Sukresno P (171118)
7. Neng Silvi Eka F (171123)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN RS.dr. SOEPRAOEN MALANG
TA 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya, makalah dengan kasus “Asuhan
Keperawatan dengan Diabetes Melitus” dapat terselesaikan dengan baik.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok dari Bambang
Soekotjo, S.ST selaku dosen mata kuliah Keperawatan Gerontik Prodi
Keperawatan Tahun Ajaran 2019-2020.
Pada kesempatan ini tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Kumoro Asto Lenggono, S. Kep., Ners., M. Kep selaku ketua prodi
keperawatan.
2. Anang Nurwiyono, M.Kep, Sp.Kep.J selaku dosen mata kuliah
Keperawatan Gerontik yang telah memberikan bimbingan dan
pengarahan demi terselesainya makalah ini.
3. Rekan-rekan dan semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para mahasiswa, pembaca serta
dapat dijadikan sebagai bahan tambahan untuk memperoleh ilmu
pengetahuan.

Malang, 22 September 2019

Penyusun

DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan, manusia harus mengatasi masalah terus menerus
untuk menjaga keseimbangan atau balance antara stress dan mekanisme
koping. Jika hal ini tidak bisa seimbang maka akan bisa terjadi kondisi
krisis. Krisis merupakan bagian dari kehidupan yang dapat terjadi dalam
bentuk yang berbeda-beda, dengan penyebab yang berbeda, dan bisa
eksternal atau internal.
Dalam ilmu keperawatan jiwa masalah krisis yang dimaksud yaitu
suatu kejadian atau peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba dalam
kehidupan seseorang yang mengganggu keseimbangan selama
mekanisme koping individu tersebut tidak dapat memecahkan masalah.
Mekanisme koping yang biasa digunakan individu sudah tidak efektif lagi
untuk mengatasi ancaman atau peristiwa pemicu, biasanya dapat di
identifikasikan.
Krisis mempunyai keterbatasan waktu dan konflik berat yang
ditunjukkan menyebabkan peniingkatan ansietas. Konflik berat yang
ditunjukkan dapat merupakan periode peningkatan kerentanan yang dapat
menstimulus pertumbuhan personal. Konsep krisis di asosiasikan dengan
respon potensi yang adaptif, dan biasanya tidak berkaitan dengan sakit,
disisi lain konsep stress sering dihubungkan dengan konotasi negative
atau resiko tinggi untuk sakit.
Dalam hal ini intervensi krisis merupakan pendekatan yang relative
beru dalam mencegah gangguan jiwa dengan focus pada penemuan
kasus secara dini dengan mencegah dampak lebih jauh dari stress, hal ini
dilaksanakan dengan kerjasama dengan interdisiplin dalam mencegah
dan meningkatkan kesehatan mental.

1.2 Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan jiwa dan
diharapkan bagi mahasiswa agar mampu memahami tentang
gangguan psikososial yaitu masalah krisis dan dapat membuat
asuhan keperawatan pada pasien dengan masalah krisis.
2. Tujuan Khusus
a) Mahasiswa mampu menjelaskan tentang konsep dasar
keperawatan pada masalah krisis.
b) Mahasiswa mampu menjelaskan proses gangguan
pasikososial masalah krisis.
c) Mahasiswa mampu menjelaskan pengkajian, analisa
data, diagnose keperawatan, intervensi dan evaluasi
dari asuhan keperawatan masalah krisis.
1.3 Manfaat

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 PENGERTIAN
Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon
terhadap kecemasan/ kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan
sebagai ancaman (Stuart, 2007). Perasaan marah normal bagi tiap
individu, namun perilaku yang dimanifestasikan oleh perasaan marah
dapat berfluktuasi sepanjang rentang adaptif dan maladaptif.
Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan
respon pasif dan melarikan diri atau respon melawan dan menantang.
Respon melawan dan menantangmerupakan respon yang maladapitf,
yaitu agresif-kekerasan perilaku yang menampakkan mulai dari yang
rendah sampai yang tinggi, yaitu:
Asertif : mampu menyatakan rasa marah tanpa menyakiti orang lain dan
merasa lega. Frustasi : Merasa gagal mencapai tujuan disebabkan
karena tujuan yang tidak realistis.
Pasif : Diam saja karena merasa tidak mampu mengungkapkan perasaan
yang sedang dialami.
Agresif: memperlihatkan permusuhan, keras dan menuntut, mendekati
orang lain dengan ancaman, memberi kata-kata ancaman tanpa niat
melukai. Umumnya klien masih dapat mengontrol perilaku untuk tidak
melukai orang lain.
Kekerasan: sering juga disebut gaduh-gaduh atau amuk. Perilaku
kekerasan ditandai dengan menyentuh orang lain secara menakutkan,
memberi kata-kata ancaman- ancaman, melukai disertai melukai pada
tingkat ringan, dan yang paling berat adalah melukai/ merusak secara
serius. Klien tidak mampu mengendalikan diri.
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana sesorang berisiko atau
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada
diri sendiri maupun orang lain. (Yosep, 2007).Perilaku kekerasan adalah
suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang, baik
secara fisik maupun psikologis. (Keliat, dkk, 2010).
Krisis adalah reaksi berlebihan terhadap situasi yang mengancam
saat kemampuan menyelesaikan masalah yang dimiliki klien dan respons
kopingnya tidak adekuat untuk mempertahankan keseimbangan psikologis
(Isaac, 2006)
Manajemen krisis adalah upaya untuk menekan faktor
ketidakpastian dan faktor resiko hingga tingkat serendah mungkin, dengan
demikian akan lebih mampu menampilkan sebanyak mungkin faktor
kepastiannya. Sebenarnya yang disebut manajemen krisis itu diawali
dengan langkah mengupayakan sebanyak mungkin informasi mengenai
alternatif-alternatif, maupun mengenai probabilitas, bahkan jika mungkin
mengenai kepastian tentang terjadinya, sehingga pengambilan
keputusanan mengenai langkah-langkah yang direncanakan untuk
ditempuh, dapat lebih didasarkan pada sebanyak mungkin dan selengkap
mungkin serta setajam (setepat) mungkin informasinya. Tentu saja
diupayakan dari sumber yang dapat diandalkan (reliable), sedangkan
materinya juga menyandang bobot nalar yang cukup (Isaac, 2007).

1.2 TANDA DAN GEJALA


Pada pengkajian awal dapat diketahui alasan utama klien
ke rumah sakit adalah perilaku kekerasan di rumah.
a) Data Subyektif
1. Menghina orang lain : “Anda slalu/tidak pernah”
2.Mengungkapkan perasaan ingin atau sudah memukul orang
lain atau pikiran ingin mencelakai orang lain
3. Mengungkakan perasaan takut, khawatir, cemas yang
berlebihan

b) Data Obyektif
1. Muka merah dan tegang
2. Pandangan tajam
3. Mengatupkan rahang dengan kuat
4. Mengepalkan tangan
5. Jalan mondar mandir
6. Bicara kasar
7. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
8. Mengancam secara verbal atau fisik
9. Merusak barang atau benda
10. Tidakmempunyai kemampuan mencegah/mengontrol perilaku
kekerasan (stuart, 2007).
1.3 PENYEBAB
a. Faktor Predisposisi
Faktor pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan
factor predisposisi, artinya mungkin terjadi/ mungkin tidak terjadi
perilaku kekerasan jika faktor berikut dialami oleh individu:
1. Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi
yang kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-
kanak yang tidak menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina,
dianiaya atau sanksi penganiayaan.
2. Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan
kekerasan, sering mengobservasi kekerasan di rumah atau di
luar rumah, semua menstimulasi individu mengadopsi perilaku
kekerasan.
3. Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif
agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap pelaku
kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan
yang diterima (permissive).
4. Bioneurologis, banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus
frontal, lobus temporal dan ketidakseimbangan neurotransmitter
turut berperan dalam terjadinya perilaku kekerasan (Hartono,
2007).
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau
interaksi dengan oranglain. Kondisi klien seperti kelemahan
fisik (penyakit fisik), keputusan, ketidak berdayaan, percaya
diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilakukekerasan.
Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat,
kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang
yang dicintai/pekerjaan dan kekerasan merupakan faktor
penyebab yang lain. Interaksi sosial yang provokatif dan
konflikdapat pula memicu perilaku kekerasan (Hartono, 2007).

1.4 AKIBAT
Adanya perilaku kekerasan dapat berdampak pada perlukaan fisik
pada diri sendiri, pada orang lain maupun pada lingkungan serta
pengucilan karena perilaku kekerasan tersebut (Kelliat dalam Yosep,
2007).

1.5 PSIKOPATOLOGI
Adapun beberapa hal yang menyebabkan munculnya gangguan
jiwa pada perilaku kekerasan yang dipengaruhi oleh faktor predesposi
dan faktor presipitasi. (Yosep (2007)
1. Faktor Predisposisi
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan timbulnya perilaku
kekerasan yaitu :
a. Faktor Psikologis
Psichoanalytical Theory : teori ini mendukung bahwa perilaku
agresif merupakan akibat dari Instructual Drives. Freud
berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua
insting, pertama insting hidup yang diekspresikan dengan
seksualitas ; dan kedua : insting kematian yang diekspresikan
dengan agresifitas.
b. Faktor Sosial Budaya
Ini mengemukakan bahwa agresif tidak berbeda dengan respon-
respon yang lain. Agresif dapat dipelajari melalui observasi atau
imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka
semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan
berespon terhadap keterbangkitan emosionalnya secara agresif
sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Kultur dapat pula
mempengaruhi perilaku kekerasan, adanya norma dapat
membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang diterima
atau tidak dapat diterima sehingga dapat membantu individu
untuk mengekspresikan marah dengan cara yang asertif.

2. DIAGNOSIS KEPERAWATAN UTAMA


Perilaku kekerasan

3. PENATALAKSANAAN KEPRAWATAN
1. Pembatasan Gerak
Pembatasan gerak adalah memisahkan klien di tempat yang
aman dengan tujuan melindungi klien, klien lain dan staf dari
kemungkinan bahaya. Istilah yang biasa digunakan dirumah sakit
jiwa untuk tempat pembatasan gerak adalah kamar isolasi. Klien
dibatasi pergerakannya karena dapat mencederai orang lain atau
dicederai orang lain, membutuhkan interaksi dengan orang lain dan
memerlukan pengurangan stimulus dari lingkungan (Stuart, 2007).
Langkah-langkah pelaksanaan pembatasan gerak adalah sebagai
berikut:
a. Tunjuk ketua tim krisis
b. Jelaskan tujuan, prosedur dan lama tindakan pada klien dan staf
lain.
c. Jelaskan kepada klien dan staf lain tentang perilaku yang
diperlukan untuk mengakhiri tindakan.
d. Buat perjanjian dengan klien untuk mempertahankan mengontrol
perilakunya
e. Bantu klien menggunakan metoda kontrol diri yang diperlukan.
f. Bantu klien memenuhi kebutuhan nutrisi, eliminasi, hidrasi,
kebersihan diri, dan kebersihan kamar.
g. Lakukan supervisi secara periodik untuk membantu dan
memberikan tindakan keperawatan yang diperlukan.
h. Libatkan klien dalam memutuskan pemindahan klien secara
bertahap
i. Dokumentasikan alasan pembatasan gerak, tindakan yang
dilakukan, respon klien dan alasan penghentian pembatasan gerak.

2. Pengekangan/ pengikatan fisik


Pengekangan dilakukan jika perilaku klien berbahaya, melukai
diri sendiri atau orang lain atau strategi tindakan yang lain tidak
bermanfaat. Pengekangan adalah pembatasan gerak klien dengan
mengikat tungkai klien. Tindakan pengekangan masih umum
digunakan perawat disertai dengan penggunaan obat psikotropik
(Stuart, 2007).
Langkah-langkah pelaksanaan pengekangan (Stuart, 2007):
a. Beri suasana yang menghargai dengan supervisi yang adekuat,
karena harga diri klien yang berkurang karena pengekangan.
b. Siapkan jumlah staf yang cukup dengan alat pengekang
yang aman dan nyaman.
c. Tunjuk satu orang perawat sebagai ketua tim.
d. Jelaskan tujuan, prosedur dan lamanya pada klien dan staf
agar dimengerti dan bukan hukuman.
e. Jelaskan perilaku yang mengindikasikan pengelepasan pada
klien dan staf.
f. Jangan mengikat pada pinggir tempat tidur. Ikat dengan
posisi anatomis.Ikatan tidak terjangkau klien.
g. Lakukan supervisi yang adekuat dengan tindakan terapeutik
dan pemberian rasa nyaman.
h. Beri aktivitas seperti televisi, bacakan buku pada klien untuk
memfasilitasi kerjasama klien pada tindakan.
i. Perawatan pada daerah pengikatan:pantau kondisi kulit yang
diikat: warna, temperatur, sensasi. Lakukukan latihan gerak
pada tungkai yang diikat secara bergantian setiap2 (dua) jam.
Lakukan perubahan posisi tidur. Periksa tanda-tanda vital tiap 2
(dua) jam.
j. Bantu pemenuhan kebutuhan nutrisi, eliminasi, hidrasi, dan
kebersihan diri.
k. Libatkan dan latih klien untuk mengontrol perilaku sebelum
ikatan dibuka secara bertahap.
l. Kurangi pengekangan secara bertahap, misalnya setelah
ikatan dibuka satu persatu secara bertahap, kemudian
dilanjutkan dengan pembatasan gerak kemudian kembali ke
lingkungan semula.
m. Dokumentasikan seluruh tindakan yang dilakukan beserta
respon klien.

1.6 PENATALAKSANAAN MEDIS


1. Pengertian Electro Convulsive Therapy
ECT (Electro Confulsive Terapy) adalah tindakan dengan
menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita
baik tonik maupun klonik (Sujono, 2009). Sedangkan menurut Tomb
(2004) Electro Convulsive Therapy adalah sah meskipun keburukan
ECT tidak dapat dibenarkan. Walaupun mekanisme terapi lain atau
pada keadaan yang tidak diobati: 0,01 – 0,03% dari pasien yang
diterapi, terbanyak akibat serangan jantung.
Terapi elektrokonvulsif menginduksi kejang grand mal secara
buatan dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang
dipasang pada satu atau kedua pelipis (Stuart, 2007). Dan menurut
Townsend (1998) terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis
pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak melalui
elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup untuk
menimbulkan kejang gran mal, yang darinya diharapkan efek yang
terapeutik tercapai.
ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran
listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun
klonik yaitu bentuk terapi pada klien dengan mengalirkan arus listrik
melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien untuk
membangkitkan kejang grandmall (Riyadi, 2009).
Terapi Kejang Listrik adalah suatu terapi dalam ilmu psikiatri
yang dilakukan dengan cara mengalirkan listrik melalui suatu
elekktroda yang ditempelkan di kepala penerita sehingga
menimbulkan serangan kejang umum (Mursalin, 2009).
Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis
pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak melalui
elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup
menimbulkan kejang grand mal, yang darinya diharapkan efek yang
terapeutik tercapai (Taufik, 2010).
Terapi kejang listrik merupakan alat elektrokonvulsi yang
mengeluarkan listrik sinusoid dan ada yang meniadakan satu fase dari
aliran sinusoid itu sehingga pasien menerima aliran listrik (Maramis,
2004).

2. Indikasi Electro Convulsive Therapy


a. Pasien dengan penyakit depresif mayor yang tidak berespon
terhadap antidepresan atau yang tidak dapat meminum obat
(Stuard, 2007). Menurut Tomb (2004) gangguan afek yang berat:
pasien dengan gangguan bipolar, atau depresi menunjukkan
respons yang baik dengan ECT. Pasien dengan gejala vegetatif
yang jelas cukup berespon. ECT lebih efektif dari antidepresan
untuk pasien depresi dengan gejala psikotik. Mania juja
memberikan respon yang baik pada ECT, terutama jika litium
karbonat gagal untuk mengontrol fase akut.
b. Pasien dengan bunuh diri akut yang cukup lama tidak menerima
pengobatan untuk mencapai efek terapeutik (Stuard, 2007).
Menurut Tomb (2004), pasien bunuh diri yang aktif dan tidak
mungkin menunggu antidepresan bekerja.
c. Ketika efek samping Electro Convulsive Therapy yang diantisipasi
kurang dari efek samping yang berhubungan dengan blok jantung,
dan selama kehamilan (Stuard, 2007).
d. Gangguan skizofrenia: skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe
excited memberikan respons yang baik dengan ECT. Cobalah
antipsikotik terlebih dahulu, tetapi jika kondisinya mengancam
kehidupan (delyrium hyperexcited), segera lakukan ECT. Pasien
psikotik akut (terutama tipe skizoaktif) yang tidak berespons pada
medikasi saja mungkin akan membaik jika ditambahkan ECT, tetapi
pada sebagian besar skizofrenia (kronis), ECT tidak terlalu berguna
(Tomb, 2004).

3. Kontraindikasi Electro Convulsive Therapy


Tidak ada kontraindikasi yang mutlak. Pertimbangkan resiko
prosedur dengan bahaya yang akan terjadi jika pasien tidak
diterapi. Penyakit neurologik bukan suatu kontraindikasi.
a. Risiko sangat tinggi:
1) Peningkatan tekanan intrakranial (karena tumor otak, infeksi
sistem saraf pusat), ECT dengan singkat meningkatkan
tekanan SSP dan resiko herniasi tentorium.
2) Infark miokard.: ECT sering menyebabkan aritmia berakibat
fatal jika terdapat kerusakan otot jantung, tunggu hingga enzim
dan EKG stabil.
b. Risiko sedang:
1) Osteoatritis berat, osteoporosis, atau fraktur yang baru, siapkan
selama terapi (pelemas otot) dan ablasio retina.
2) Penyakit kardiovaskuler (misalnya hipertensi, angina,
aneurisma, aritmia), berikan premedikasi dengan hati-hati,
dokter spesialis jantung hendaknya ada disana.
3) Infeksi berat, cedera serebrovaskular, kesulitan bernafas yang
kronis, ulkus peptik akut, feokromasitoma (Tomb, 2004).

4. Efek SampingElectro Convulsive Therapy


a. Kematian, angka kematian yang disebabkan ECT adalah bervariasi
antara 1-1.000 dan 1-10.000 pasien. Resiko ini sama dengan
resiko karena pemberian anastesi umum. Kematian biasanya
karena komplikasi kardiovaskuler.
b. Efek sistemik, pada pasien dengan gangguan jantung, dapat terjadi
arritmia jantung sementara. Arritmia ini terjadi karena bradikardia
post ictal yang sementara dan dapat dicegah dengan peningkatan
dosis premedikasi anti kolinerjik. Arritmia dapat juga terjadi karena
hiperaktifitas simpathetik sewaktu kejang atau saat pasien sadar
kembali. Dilaporkan pula adanya reaksi toksis dan allergi terhadap
obat yang digunakan untuk prosedur ECT premedikasi, tetapi
frekwensinya sangat jarang.
c. Efek cerebral, pada pemberian ECT bilateral dapat terjadi amnesia
dan acute confusion. Fungsi memori akan membaik kembali 1-6
bulan setelah ECT, tetapi ada pasien yang melaporkan tetap
mengalami gangguan memori (Tomb, 2004).

5. Peran Perawat dalam Pelaksanaan ECT


a. Peran perawat dalam persiapan klien sebelum tindakan ECT
1) Anjurkan pasien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur
tindakan yang akan dilakukan.
2) Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi
adanya kelainan yang merupakan kontraindikasi ECT.
3) Siapkan surat persetujuan tindakan.
4) Klien dipuasakan 4-6 jam sebelum tindakan.
5) Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau jepit rambut yang
mungkin dipakai klien.
6) Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi.
7) Klien jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam
sebelum ECT.
8) Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif
hipnotik, dan antikonvulsan, harus dihentikan sehari sebelumnya.
Litium biasanya dihentikan beberapa hari sebelumnya karena
beresiko organik.
9) Premedikasi dengan injeksi SA (sulfatatropin) 0,6-1,2 mg setengah
jam sebelum ECT. Pemberian antikolinergik ini mengendalikan
aritmia vagal dan menurunkan sekresi gastrointestinal (Riyadi,
2009).
b. Persiapan alat
1) Perlengkapan dan peralatan terapi, termasuk pasta dan gel
elektroda, bantalan kasa, alkohol, saling,elektroda
elektroensefalogram (EEG), dan kertas grafik.
2) Peralatan untuk memantau, termasuk elektrokardiogram (EKG) dan
elektroda EKG.
3) Manset tekanan darah, stimulator saraf perifer, dan oksimeter
denyut nadi.
4) Stetoskop.
5) Palu reflex.
6) Peralatan intravena.
7) Penahan gigitan dengan wadah individu.
8) Pelbet dengan kasur yang keras dan bersisi pengaman serta dapat
meninggikan bagian kepala dan kaki.
9) Peralatan penghisap lendir.
10)Peralatan ventilasi, termasuk slang, masker, ambu bag, peralatan
jalan nafas oral, dan peralatan intubasi dengan sistem pemberian
oksigen yang dapat memberikan tekanan oksigen positif. Obat
untuk keadaan darurat dan obat lain sesuai rekomendasi staf
anastesi (Stuart, 2007).
c. Prosedur Pelaksanaan
Menurut pendapat Stuart (2007) berikut prosedur pelaksanaan
terapi kejang listrik:
1) Berikan penyuluhan kepada pasien dan keluarga tentang prosedur.
2) Dapatkan persetujan tindakan.
3) Pastikan status puasa pasien setelah tengah malam.
4) Minta pasien untuk melepaskan perhiasan, jepit rambut, kaca mata,
dan alat bantu pendengaran. Semua gigi palsu dilepaskan,
tambahan gigi parsial dipertahankan.
5) Pakaikan baju yang longgar dan nyaman.
6) Kosongkan kandung kemih pasien.
7) Berikan obat praterapi.
8) Pastikan obat dan peralatan yang diperlakukan tersedia dan siap
pakai.
9) Bantu pelaksanaan ECT.
a. Tenangkan pasien.
b. Dokter atau ahli anastesi memberikan oksigen untuk
menyiapkan pasien bila terjadi apnea karena relaksan otot.
c. Berikan obat.
d. Pasang spatel lidah yang diberi bantalan untuk melindungi
gigi pasien.
e. Pasang elektroda. Kemudian berikan syok.
1). Pantau pasien selama masa pemulihan.

d. Peran perawat setelah ECT


Berikut adalah hal-hal yang harus dilakukan perawat untuk
membantu klien dalam masa pemulihan setelah tindakan ECT
dilakukan yang telah dimodifikasi dari pendapat Stuart (2007) dan
Townsen (1998). Menurut pendapat Stuart (2007) memantau klien
dalam masa pemulihan yaitu dengan cara sebagai berikut:
1) Bantu pemberian oksigen dan pengisapan lendir sesuai kebutuhan.
2) Pantau tanda-tanda vital.
3) Setelah pernapasan pulih kembali, atur posisi miring pada pasien
sampai sadar. Pertahankan jalan napas paten
4) Jika pasien berespon, orientasikan pasien.
5) Ambulasikan pasien dengan bantuan, setelah memeriksa adanya
hipotensi postural.
6) Izinkan pasien tidur sebentar jika diinginkannya.
7) Berikan makanan ringan.
8) Libatkan dalam aktivitas sehari-hari seperti biasa, orientasikan
pasien sesuai kebutuhan.
9) Tawarkan analgesik untuk sakit kepala jika diperlukan.

Menurut Townsend (1998), jika terjadi kehilangan memori dan


kekacauan mental sementara yang merupakan efek samping ECT
yang paling umum hal ini penting untuk perawat hadir saat pasien
sadar supaya dapat mengurangi ketakutan-ketakutan yang disertai
dengan kehilangan memori. Implementasi keperawatan yang harus
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Berikan ketenangan dengan mengatakan bahwa kehilangan
memori tersebut hanya sementara.
b. Jelaskan kepada pasien apa yang telah terjadi.
c. Reorientasikan pasien terhadap waktu dan tempat.
d. Biarkan pasien mengatakan ketakutan dan kecemasannya
yang berhubungan dengan pelaksanaan ECT terhadap
dirinya.
e. Berikan sesuatu struktur perjanjian yang lebih baik pada
aktivitas-aktivitas rutin pasien untuk meminimalkan
kebingungan.

6. FOKUS INTERVENSI
a. Perencanaan dan Identifikasi Hasil
1. Bantu klien,keluarga, masyarakat, atau gabungan dari itu, dalam
menetapkan tujuan jangka pendek yang realistis untuk pemulihan
seperti sebelum krisis.
2. Tentukan kriteria hasil yang diinginkan untuk klien, kelurga,
masyarakat, atau gabungan dari itu. Individu yang mengalami
krisis akan :
a. Mengungkapkan secara verbal arti dari situasi krisis
b. Mendiskusikan pilihan –pilihan yang ada untuk
mengatasinya.
c. Mengidentifikasi sumber daya yang ada yang dapat
memberikan bantuan
d. Memilih strategi koping dalam menghadapi krisis
e. Mengimplementasikan tindakan yang diperlukan untuk
mengatasi krisis.
f. Menjaga keselamatan bila situasi memburuk
6. Implementasi
1. Bentuk hubungan dengan mendengarkan secara aktif dan
menggunakan respon empati.
2. Anjurkan klien untuk mendiskusikan situasi krisis dengan jelas,
dan bantu kien mengutarakan pikiran dan perasaannya.
3. Dukung kelebihan klien dan penggunaan tindakan koping.
4. Gunakan pendekatan pemecahan masalah.
5. Lakukan intervensi untuk mencegah rencana menyakiti diri
sendiri atau bunuh diri.
a. Kenali tanda-tanda bahaya akan adanya kekerasan terhadap
diri sendiri.(mis ; klien secara langsung mengatakan akan
melakukan bunuh diri, menyatakan secara tidak langsung
bahwa ia merasa kalau orang lain akan lebih baik jika ia tidak
ada, atau adanya tanda-tanda depresi)
b. Lakukan pengkajian tentang kemungkinan bunuh diri
c. singkirkan semua benda yang membahayakan dari tempat
atau sekitar klien.
d. Kolaborasi dengan anggota tim kesehatan jiwa untuk
menentukan apakah hospitalisasi perlu dilakukan atau tidak.
c. Implementasi untuk klien yang marah atau melakukan kekerasan
1.6.1 Lakukan intervensi dini untuk mencegah klien melakukan
kekerasan terhadap orang lain.
a. Kenali tanda-tanda verbal adanya peningkatan rasa marah
(mis; berteriak, berbicara cepat, menuntut perhatian,
pernyataan-pernyataan agresif)
b. Kenali tanda-tanda non verbal adanya peningkatan rasa
marah (mis; rahang dikencangkan, postur tubuh menegang,
tangan dikepalkan, berjalan mondar-mandir).
1.6.2 Lakukan beberap tindakan untuk mengurangi kemarahan
klien.
a. Jawab pertanyaan dan tuntutan klien dengan informasi faktual
dan sikap yang mendukung serta meyakinkan.
b. Berikan respon terhadap ansietas, marah dan frustasi yang
dirasakannya. Sebagai contoh : Perawat dapat mengatakan
”Tampaknya Anda merasa frustasi karena tidak dapat pulang ke
rumah sesuai keinginan Anda.”]
c. Biarkan klien mengeluarkan kemarahannya secara verbal,
tunjukan bahwa perawat menerima kemarahan ayng
diperlihatkannya.
d. Jangan membela atau membenarkan perilaku anda sendiri
ataupun perilaku orang lain. (mis., anggota tim pengobatan,
kebijakan Rumah Sakit).
e. Pantau bahasa tubuh anda sendiri, gunakan postur yang rileks
dengan kedua tangan bergantung santai disamping tubuh.
f. Berikan kontrol pada klien terhadap situasi masalah dengan
menawarkan solusi alternatif untuk menyelesaikan masalah.
1.6.3 Berespons terhadap perilaku klien
a. Lindungi diri anda sendirindengan berdiri diantara klien dan
pintu keluar sehingga memungkinkan anda mudah untuk
melarikan diri.
b. Lindungi orang lain dengan menginstruksikan mereka untuk
meninggalkan tempat.
c. Ikuti protokol lembaga, gunakan kode khusus untuk
menghadapi kekerasan jika ada.
1.6.4 Gunakan prinsip-prinsip penatalaksanaan kode kekerasan
bila diperlukan (mis., bila klien mengancam akan melukai,
klien yang lain atau anggota staf atau jika klien melempar
barang-barang atau merusak perabotan).
a. Pastikan untuk dilakukannya unjuk kekuatan
(minimal lima staf).
b. Tugaskan satu anggota tim sebagai ketua, yang
akan berinteraksi dengan klien dan arahkan respons
tim.
c. Ketua tim berdiri di depan, sedangkan yang lain
berdiri di belakangnya dalam dua atau tiga barisan.
d. Bila diperlukan restrain fisik, ketua tim akan
memutuskan siapa yang akan memegang kaki dan
tangan, dan siapa yang akan memegang kepala
(agar tidak digigit).
e. Tim bertindak sebagai satu kesatuandan melakukan
penaklukan yang lancardan tenang.
f. Lakukan latihan dimana jika teknik-teknik ini
dilakukan dapat memastikan keamanan dan
menghindarkan klien dan staf dari cedera.
d. Evaluasi hasil
1. Perawat menggunakan kriteria hasil yang spesifik dalam
menentukan efektifitas implementasi keperawatan.
2. Keselamatan klien, keluarga, dan masyarakat dapat
dipertahankan sebagai hasil dari intervensi yang adekuat
terhadap ekspresi perilaku yang tidak terkendali.
3. Klien mengidentifikasi hubungan antara stresor dengan
gejalayang dialami selama krisis.
4. Klien mengevaluasi solusi yang mungkin dilakukan untuk
mengatasi krisis.
5. klien memilih berbagai pilihan solusi.
6. Klien kembali ke keadaan sebelum krisis atau
memperbaikisituasi atau perilaku.
BAB III
Asuhan keperawatan
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan data-data yang diperoleh akhirnya dapat disimpulkan
bahwa krisis merupakan suatu keadaan gangguan jiwa yangbisa terjadi
pada orang-orang yang menghadapi suatu keadaan yang berubah dari
keadaan, peristiwa atau kejadian yang terjadi secara tiba – tiba di dalam
kehidupan seseorang . Hal tersebut dapat mengganggu keseimbangan
mekanisme koping individu tersebut yang tidak dapat menyelesaikan
masalahnya didalam menangani pasien dengan respon kehilangan,
diperlakukan prinsip-prinsip keperawatan yang sesuai,misalnya pada anak
atau pada orang tua dengan respon kehilangan (kematian anak)
Dalam proses asuhan keperawtan terutama pada pengkajiannya
yaitu kami memfokuskan pada pengkajian terfokus yang menyebabkan
klien tersebut dalam masalah krisis yang meliputi beberapa factor yaitu
factor predisposisi, presipitasi, dan prilaku.

4.2 Saran
Setelah kami membuat kesimpulan tentang asuhan keperawatan
pada klien dengan masalah krisis, maka kami menganggap perlu adanya
saran untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu asuhan keperawatan.
Adapun saran-saran yang dapat disampaikan sebagai berikut:
1. Dalam pengkajian kita tantukan terlebih dahulu mana yang termasuk
factor predisposisi, presipitasi, dan prilaku.
2. Intervensi krisis merupakan pendekatan yang relative baru dalam
mencegah gangguan jiwa pada kasus secara dini.
DAFTAR PUSTAKA

Hartono, Y. (2007). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba


Medika
Kelliat, dkk. (2010). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta :
EGC.
Stuart dan Sudden. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Yosep, I. (2007). Keperawatan Jiwa. Jakarta : Refika Aditama.
Isaacs, Ann. (2006). Panduan Belajar Keperawatan Kesehatan Jiwa dan
Psikiatrik edisi 3. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai