Anda di halaman 1dari 17

KEPERAWATAN JIWA

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN PERILAKU KEKERASAN


DI RSJ MENUR SURABAYA

Oleh :
Ayu Oktaviani (20214663017)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2022
1. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain,
disertai dengan ngamuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol (kusumawati dan
hartono, 2010).

Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan


tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan (Stuart dan Sundeen, 1995).

Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai oarng lain secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, dalam
Harnawati, 1993).

Suatu keadaan dimana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan


klien sendiri, lingkungan termasuk orang lain, dan barang-barang (Maramis, 1998)

2. Etiologi
 Faktor Predisposisi
1. Faktor psikologis
a. Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan
mengalami hambatan akan timbul dorongan agresif yang memotivasi
perilaku kekerasan.
b. Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu dan masa kecil
yang tidak menyenangkan.
c. Rasa frustasi
d. Adanya kekerasan dalam rumah tangga, keluarga, atau lingkungan
e. Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya
ego dan membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan
dapat memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan
citra diri serta memberikan arti dalam kehidupannya. Teori lainnya
berasumsi bahwa perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan
rendahnya harga diri perilaku tindak kekerasan.
f. Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang
dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologik terhadap
perilaku kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh
peran eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi
biologik.
2. Faktor sosial budaya
Seseorang akan berespons terhadap peningkatan emosionalnya
secara agresif sesuai dengan respons yang dipelajarinya. Sesuai dengan
teori menurut bandura bahwa agresif tidak berbeda dengan respons-
respons yang lain. Faktor ini dapat dipelajari melalui observasi atau
imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin besar
kemungkinan terjadi. Budaya juga dapat mempengaruhi perilaku
kekerasan. Adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi
marah yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima.
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima
perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat
merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.
3. Faktor biologis
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya pemberian
stimulus elektris ringan pada hipotalamus (sistem limbik) ternyata
menimbulkan perilaku agresif, dimana jika terjadi kerusakan fungsi
limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran
rasional), dan lobus temporal (untuk interpretasi indera penciuman dan
memori) akan menimbulkan mata terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan
hendak menyerang objek yang ada disekitarnya.
Selain itu berdasarkan teori biologic, ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai
berikut:
a. Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen sistem
neurologis mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan
menghambat impuls agresif. Sistem limbik sangat terlibat
dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan
respons agresif.
b. Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend
(1996) menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter
(epineprin, norepineprin, dopamine, asetilkolin, dan
serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi dan
menghambat impuls agresif. Peningkatan hormone androgen
dan norefineprin serta penurunan serotonin dan GABA (6 dan
7) pada cairan serebrospinal merupakan faktor predisposisi
penting yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada
seseorang.
c. Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat
erat kaitannya dengan genetik termasuk genetik tipe kariotipe
XYY, yang umumnya dimiliki oleh penghuni penjara tindak
kriminal (narapidana).
d. Gangguan otak, sindrom otak organic berhubungan dengan
berbagai gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada
limbik dan lobus temporal), trauma otak, penyakit ensefalitis,
epilepsy (epilepsy lobus temporal) terbukti berpengaruh
terhadap perilaku agresif dan tidak kekerasan.
 Faktor presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik
berupa injuri secara fisik, psikis, atau ancaman konsep diri. Beberapa faktor
pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
1. Klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan
yang penuh dengan agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan
2. Interaksi: penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti,
konflik, merasa terancam baik internal dari permasalahan diri klien
sendiri maupun eksternal dari lingkungan.
3. Lingkungan: panas, padat, dan bising
Menurut Shives (1998) dalam Fitria (2009), hal-hal yang dapat
menimbulkan perilaku kekerasan atau penganiayaan antara lain
sebagai berikut:
1. Kesulitan kondisi sosial ekonomi
2. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu
3. Ketidakmampuannya dalam menempatkan diri sebagai orang
yang dewasa
4. Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti
penyalahgunaan obat dan alkohol serta tidak mampu mengontrol
emosi pada saat menghadapi rasa frustasi
5. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan
pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap
perkembangan keluarga.
3. Rentang Respon

Respon Adaptif respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif


Keterangan:
1. Asertif
Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan
memberikan ketenangan.
2. Frustasi
Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat
menemukan alternatif.
3. Pasif
Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya.
4. Agresif
Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut tetapi
masih terkontrol.
5. Kekerasan
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangya kontrol.
4. Penatalaksanaan Medis
a. Farmakoterapi

Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan yang tepat.
Adapun pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai dosis efektif tinggi
contohnya: Clorpromazine HCL yang berguna untuk mengendalikan
psikomotornya. Bila tidak ada dapat digunakan dosis efektif rendah, contohnya:
Trifluoperasine estelasine, bila tidak ada juga maka dapat digunakan
Transquilizer bukan obat anti psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun
demikian keduanya mempunyai efek anti tegang, anti cemas, dan anti agitasi.

b. Terapi Okupasi

Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, terapi ini bukan pemberian
pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan
mengembalikan kempampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini tidak
harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti membaca koran,
main catur dapat pula dijadikan media yang penting setelah mereka melakukan
kegiatan itu diajak berdialog atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti
kegiatan uityu bagi dirinya. Terapi ini merupakan langkah awal yang harus
dilakukan oleh petugas terhadap rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan
ditentukan program kegiatannya.

c. Peran serta keluarga

Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan


langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat membantu keluarga
agar dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah kesehatan,
membuat keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada anggota
keluarga, menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, dan menggunakan
sumber yang ada pada masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan
mengatasi masalah akan dapat mencegah perilaku maladaptive (pencegahan
primer), menanggulangi perilaku maladaptive (pencegahan sekunder) dan
memulihkan perilaku maladaptive ke perilaku adaptif (pencegahan tersier)
sehingga derajat kesehatan pasien dan keluarga dapat ditingkatkan secara
optimal. (Budi Anna Keliat, 1992).

d. Terapi somatik

Menurut Depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic terapi
yang diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah
perilaku yang mal adaptif menjadi perilaku adaptif dengan melakukan tindakan
yang ditunjukkan pada kondisi fisik pasien, tetapi target terapi adalah perilaku
pasien.

e.Terapi kejang listrik

Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) adalah bentuk
terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan
mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis pasien.
Terapi ini awalnya untuk menangani skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi
biasanya dilaksanakan adalah setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali).

5. Pengkajian

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang, baik secara fisik maupun psikologis. Perilaku kekerasan dapat dilakukan
secara verbal yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Perilaku
kekerasan mengacu pada duabentuk, yaitu perilaku kekerasan saat sedang berlangsung
atau perilaku kekerasan terdahulu (riwayat prilaku kekerasan).

1. FaktorPresdiposisi

Menurut Stuart (2013), masalah perilaku kekerasan dapat disebabkan oleh


adanya factor predisposisi (factor yang melatar belakangi) munculnya masalah dan
factor prespitasi (factor yang memicu adanya masalah).

Di dalam factor presdisposisi, terdapat beberapaa factor yang menyebabkan


terjadinya masalah perilaku kekerasan, seperti factor biologis, sikologis dan
sosiokultural.
a. Factor biologis
1) Teori dorongan naluri (Instinctual drive theory)
Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebabkan oleh
suatu dorongan kebutuhan dasar yang kuat.
2) Teori psikomatik (Psycomatic theory)
Pengalaman marah dapat diakibatkan oleh respons psikologis
terhadap stimulus eksternal maupun internal. Sehingga, sistem
limbik memiliki peran sebagai pusat untuk mengekspresikan
maupun menghambat rasa marah.
b. Factor psikologis
1) Teori agresif frustasi (Frustasion aggression theory)
Teori ini merupakan perilaku kekerasan terjadi sebagai
hasil akumulasi frustasi. Hal ini dapat terjadi apabila keinginan
individu untuk mencapai sesuatu gagal atau terhambat. Keadaan
frustasi dapat mendorong individu untuk berperilaku agresif
karena perasaan frustasi akan berkurang melalui perilaku
kekerasan.
2) Teori perilaku (Behaviororal theory)
Kemarahan merupakan bagian dari proses belajar. Hal ini
dapat dicapai apabila tersedia fasilitas atau situasi yang
mendukung. Reinforcement yang di terima saat melakukan
kekerasan sering menimbulkan kekerasan di dalam maupun di
luar rumah.
3) Teori eksistensi (Existentisl theory)
Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah bertindak
sesuai perilaku. Apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi
melalui perilaku konstruktif, maka indvidu akan memenuhi
kebutuhannya melalui perilaku destruktif.

2. Faktor Prespitasi
Factor prespitasi ini berhubungan dengan pengaruh stressor yang mencetuskan
perilaku kekerasan bagi setiap individu. Stressor dapat disebabkan dari luar maupun dari
dalam. Stressor yang berasal dari luar dapat berupa serangan fisik, kehilangan, kematian
dan lain-lain. Stressor yang berasal dari dalam dapat berupa, kehilangan keluarga atau
sahabat yang dicintai, ketakutan terhadap penyakit fisik, penyakit dalam, dll. Selain itu,
lingkungan yang kurang kondusif, seperti penuh penghinaan, tindak kekerasan, dapat
memicu perilaku kekerasan.

3. Faktor Risiko

Factor-faktor risiko dari risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri (risk for self-
directed violence) dan risiko perilaku kekerasan terhadap orang lain (risk for other-
directed violence).

a. Risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri (risk for self-directed violence)

1) Usia ≥ 45 tahun
2) Usia 15-19 tahun
3) Isyarat tingkah laku (menulis catatan cinta yang sedih, menyatakan pesan
bernada kemarahan kepada orang tertentu yang telah menolak individu tersebut,
dll)
4) Konflik mengenai orientasi seksual
5) Konflik dalam hubungan interpersonal
6) Pengangguran atau kehilangan pekerjaan (masalah pekerjaan)
7) Terlibat dalam tindakan seksual autoerotic
8) Sumber daya personal yang tidak memadai
9) Status perkawinan (sendiri, menjanda, bercerai)
10) Isu kesehatan mental (depresi, psikosis, gangguan kepribadian, penyalah gunaan
zat)
11) Pekerjaan (professional, eksekutif, administrator atau pemilik bisnis, dll)
12) Pola kesulitan dalam keluarga (riwayat bunuh diri, sesuatu yang bersifat
kekerasan atau konfliktuasi)
13) Isu kesehatan fisik
14) Gangguan psikologis
15) Isolasisosial
16) Ide bunuh diri
17) Rencana bunuh diri
18) Riwayat upacara bunuh diri berulangi syarat verbal (membicarakan kematian,
menanyakan tentang dosis mematikan suatu obat, dll)

b. Risiko perilaku kekerasan terhadap orang lain (risk for other-directed violence)

1) Akses atau ketersediaan senjata


2) Alterasi (gangguan) fungsi kognitif
3) Perlakuan kejam terhadap binatang
4) Riwayat kekerasan masa kecil, baik secara fisik, psikologis, maupun seksual
5) Riwayat penyalahgunaan zat
6) Riwayat menyaksikan kekerasan dalam keluarga
7) Impulsive
8) Pelanggaran atau kejahatan kendaraan bermotor (seperti, pelanggaran lalu lintas,
penggunaan kendaraan bermotor untuk melampiaskan amarah)
9) Bahasa tubuh negative (seperti kekakuan, mengepalkan tinju/pukulan,
hiperaktivitas, dll)
10) Gangguan neurologis (trauma kepala, gangguan serangan, kejang, dll)
11) Intoksikasi patologis
12) Riwayat melakukan kekerasan tidak langsung (kencing di lantai, menyobek
objek di dinding, melempar barang, memecahkan kaca, membanting pintu, dll)
13) Pola perilaku kekerasan terhadap orang lain (menendang, memukul, mengigit,
mencakar, upaya perkosaan, memperkosa, pelecehan seksual, mengencingi
orang, dll)
14) Pola ancaman kekerasan (ancaman secara verbal terhadap objek atau orang lain,
menyumpah serapah, gestur atau catatan mengancam, ancaman seksual, dll)
15) Pola perilaku kekerasan antisosial (mencuri, meminjam dengan memaksa,
penolakan terhadap medikasi, dll)
16) Komplikasi perinatal
17) Komplikasi prenatal
18) Menyalakan api
19) Gangguan psikosis
20) Perilaku bunuh diri

4. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala perilaku kekkerasan dapat dinilai dari ungkapan pasien dan
didukung dengan hasil observasi.

a. Data subjektif
1) Ungkapan berupa ancaman
2) Ungkapan kata-kata kasar
3) Ungkapan ingin memukul/melukai
b. Data objektif
1) Wajah memerah dan tegang
2) Pandangan tajam
3) Mengatupkan rahang dengan kuat
4) Mengepalkan tangan
5) Bicara kasar
6) Suaratinggi, menjeritatauberteriak
7) Mondar mandir
8) Melempar atau memukul benda/ orang lain

5. MekanismeKoping

Perawat perlu mempelajari mekanisme koping untuk membantu klien


mengembangkan mekanisme koping yang umum, mekanisme koping yang sering
digunakan antara lain mekanis mepertahanan ego, seperti displacement, subllimasi,
proyeksi, depresi, denial dan reaksiformasi.

6. Perilaku

Klien dengan gangguan perilaku kekerasan memiliki beberapa perilaku yang


perlu diperhatikan. Perilaku klien dengan gangguan perilaku kekerasan dapat
membahayakan bagi dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitar. Adapun
perilaku yang harus dikenali dari klien dari klien gangguan risiko perilaku kekerasan
antara lain:

a) Menyerang atau menghindari

Pada keadaan ini respons fisiologis timbul karena kegiatan sistem syaraf otonom
bereaksi terhadap sekresi ephineprin yang menyebabkan tekanan darah meningkat,
takikardi, wajah merah, pupil melebar, mual, sekresi HCL meningkat, peristaltic gaster
menurun, pengeluaran urine dan saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan meningkat,
di sertai ketegangan otot seperti: rahang terkatup, tangan mengepal, tubuh menjadi kaku
dan disertai reflek yang cepat,

b) Menyatakan secara asertif

Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan


kemarahannya, yaitu perilaku pasif, agresif, dan asertif. Perilaku asertif merupakan cara
terbaik individu untuk mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain
secara fisik maupun psikis. Dengan perilaku tersebut, individu juga dapat
mengembangkan diri.

c) Memberontak

Perilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik perilaku untuk
menarik perhatian orang lain.

d) Perilaku kekerasan

Tindakan kekerasan atau ngamuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain,
maupun lingkungan.

6. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko mencederai diri sendiri, orang ain dan lingkungan
2. Resiko Perilaku kekerasan
3. Koping individu tidak efektif
7. Pohon Masalah
Resiko menciderai diri sendiri, orang
Effect
Lain dan lingkungan


Perilaku kekerasan Cor problem

Koping individu in efektif Causa

8. Perencanaan

Tujuan Kritria Evaluasi Intervensi


Pasien mampu : Seelah dilakukan 2 x pertemuan SP 1
1. Mengindentifikasi pasien mampu : 1. Bina Hubungan Saling
penyebab dan tanda 1. Menyebutkan penyebab, Percaya (BHSP)
perilaku kekerasan tanda, gejala, dan akibat 2. Identifikasi penyebab,
2. Menyebutkan akibat perilaku kekerasan tanda dan gejala akibat
dari perilaku kekerasan 2. Memperagakan cara fisik perilaku kekerasan
yang pernah dilakukan untuk mengontrol perilaku 3. Latihan cara fisik tarik
3. Menyebutkan cara kekerasan nafas dalam
mengontrol perilaku 4. Masukkan dalam jadwal
kekerasan harian pasien
4. Mengontrol perilaku
kekerasan dengan cara : Setelah dilakukan 2x pertemuan SP 2
-Fisik pasien mampu : 1. Bina Hubungan Saling
-Sosial / verbal 1. Menyebutkan kegiatan yang Percaya (BHSP)
-Spiritual sudah dilakukan 2. Evaluasi kegiatan yang
-Terapi 2. Memperagakan cara fisik lalu (SP 1)
-Psikofarmako (obat) untuk mengontrol perilaku 3. Latih cara fisik 2: pukul
kekerasan kasur / bantal
4. Masukkan dalam jadwal
harian pasien
Setelah 3 x pertemuan pasien SP 3
mampu : 1. Bina Hubungan Saling
1. Menyebutkan kegiatan yang Percaya (BHSP)
sudah dilakukan 2. Evaluasi kegiatan yang
2. Memperagakan cara sosisal / lalu (SP 1 dan SP 2)
verbal untuk mengontrol 3. Latih secara sosial / verbal
perilaku kekerasan 4. Menolak dengan baik
5. Meminta dengan baik
6. Mengungkapkan dengan
baik
7. Masukan dalam jadwal
harian dengan pasien
Setelah 2x pertemuan, pasien SP 4
mampu : 1. Evaluasi kegiatan yang
1. Menyebutkan kegiatan yang lalu ( SP 1, 2 dan 3)
sudah dilakukan 2. Latih secara spiritual
2. Mempengaruhi secara berdoa dan sholat
spiritual 3. Masukan dalam jadwal
harian pasien
Setelah 2x pertemuan pasien SP 5
mampu : 1. Bina Hubungan Saling
1. Menyebutkan kegiatan yang Percaya (BHSP)
sudah dilakukan 2. Evaluasi kegiatan yang
2. Memperagakan cara patuh lalu (SP 1,2,3 dan 4)
obat 3. Latih patuh obat:
-Minum obat secara teratur
dengan prinsip 5B
Susun jadwal minum obat
secara teratur
4. Masukan dalam jadwal
harian pasien
Keluarga mampu: Setelah 2x pertemuan keluarga SP 1
Merawat pasien di rumah mampu menjelaskan penyebab, 1. Bina Hubungan Saling
tanda dan gejala, akibat serta Percaya
mampu memperagakan cara 2. Identifikasi masalah yang
merawat dirasakan keluarga dalam
merawat pasien
3. Jelaskan tentang perilaku
kekerasan :
- Penyebab
- Akibat
- Cara merawat
4. Latih cara merawat
5. RTL keluarga / jadwal
keluarga untuk merawat
pasien
Setelah 2x pertemuan keluarga SP 2
mampu menyebutkan kegiatan 1. Bina Hubungan Saling
yang sudah dilakukan dan Percaya (BHSP)
mampu merawat serta dapat 2. Evaluasi kegiatan yang
membuat RTL lalu ( SP 1)
3. Latih simulasi 2 cara lain
untuk merawat pasien
4. Latih langsung kepasien
5. RTL keluarga / jadwal
keluarga untuk merawat
pasien

Setelah 2x pertemuan keluarga SP 3


mampu menyebutkan kegiatan 1. Bina Hubungan Saling
yang sudah dilakuakan dan Percaya (BHSP)
mampu merawat serta dapat 2. Evaluasi SP 1 dan SP 2
membuat RTL 3. Latih langsung kepasien
4. RTL keluarga / jadwal
keluarga untuk merawat
pasien

DAFTAR PUSTAKA

Kusumawati F dan Hartono Y. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta :


Salemba Medika
Yosep I. 2010. Keperawatan Jiwa. Bandung : Refia Aditama

Erlinafsiah. 2010. Modal Praktik Keperawatan Jiwa. Jakarta : Trans Info


Media.

Keliat dan Akemat. 2010. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.


Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai