Oleh :
Ayu Oktaviani (20214663017)
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai oarng lain secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, dalam
Harnawati, 1993).
2. Etiologi
Faktor Predisposisi
1. Faktor psikologis
a. Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan
mengalami hambatan akan timbul dorongan agresif yang memotivasi
perilaku kekerasan.
b. Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu dan masa kecil
yang tidak menyenangkan.
c. Rasa frustasi
d. Adanya kekerasan dalam rumah tangga, keluarga, atau lingkungan
e. Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya
ego dan membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan
dapat memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan
citra diri serta memberikan arti dalam kehidupannya. Teori lainnya
berasumsi bahwa perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan
rendahnya harga diri perilaku tindak kekerasan.
f. Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang
dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologik terhadap
perilaku kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh
peran eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi
biologik.
2. Faktor sosial budaya
Seseorang akan berespons terhadap peningkatan emosionalnya
secara agresif sesuai dengan respons yang dipelajarinya. Sesuai dengan
teori menurut bandura bahwa agresif tidak berbeda dengan respons-
respons yang lain. Faktor ini dapat dipelajari melalui observasi atau
imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin besar
kemungkinan terjadi. Budaya juga dapat mempengaruhi perilaku
kekerasan. Adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi
marah yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima.
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima
perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat
merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.
3. Faktor biologis
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya pemberian
stimulus elektris ringan pada hipotalamus (sistem limbik) ternyata
menimbulkan perilaku agresif, dimana jika terjadi kerusakan fungsi
limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran
rasional), dan lobus temporal (untuk interpretasi indera penciuman dan
memori) akan menimbulkan mata terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan
hendak menyerang objek yang ada disekitarnya.
Selain itu berdasarkan teori biologic, ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai
berikut:
a. Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen sistem
neurologis mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan
menghambat impuls agresif. Sistem limbik sangat terlibat
dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan
respons agresif.
b. Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend
(1996) menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter
(epineprin, norepineprin, dopamine, asetilkolin, dan
serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi dan
menghambat impuls agresif. Peningkatan hormone androgen
dan norefineprin serta penurunan serotonin dan GABA (6 dan
7) pada cairan serebrospinal merupakan faktor predisposisi
penting yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada
seseorang.
c. Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat
erat kaitannya dengan genetik termasuk genetik tipe kariotipe
XYY, yang umumnya dimiliki oleh penghuni penjara tindak
kriminal (narapidana).
d. Gangguan otak, sindrom otak organic berhubungan dengan
berbagai gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada
limbik dan lobus temporal), trauma otak, penyakit ensefalitis,
epilepsy (epilepsy lobus temporal) terbukti berpengaruh
terhadap perilaku agresif dan tidak kekerasan.
Faktor presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik
berupa injuri secara fisik, psikis, atau ancaman konsep diri. Beberapa faktor
pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
1. Klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan
yang penuh dengan agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan
2. Interaksi: penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti,
konflik, merasa terancam baik internal dari permasalahan diri klien
sendiri maupun eksternal dari lingkungan.
3. Lingkungan: panas, padat, dan bising
Menurut Shives (1998) dalam Fitria (2009), hal-hal yang dapat
menimbulkan perilaku kekerasan atau penganiayaan antara lain
sebagai berikut:
1. Kesulitan kondisi sosial ekonomi
2. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu
3. Ketidakmampuannya dalam menempatkan diri sebagai orang
yang dewasa
4. Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti
penyalahgunaan obat dan alkohol serta tidak mampu mengontrol
emosi pada saat menghadapi rasa frustasi
5. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan
pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap
perkembangan keluarga.
3. Rentang Respon
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan yang tepat.
Adapun pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai dosis efektif tinggi
contohnya: Clorpromazine HCL yang berguna untuk mengendalikan
psikomotornya. Bila tidak ada dapat digunakan dosis efektif rendah, contohnya:
Trifluoperasine estelasine, bila tidak ada juga maka dapat digunakan
Transquilizer bukan obat anti psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun
demikian keduanya mempunyai efek anti tegang, anti cemas, dan anti agitasi.
b. Terapi Okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, terapi ini bukan pemberian
pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan
mengembalikan kempampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini tidak
harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti membaca koran,
main catur dapat pula dijadikan media yang penting setelah mereka melakukan
kegiatan itu diajak berdialog atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti
kegiatan uityu bagi dirinya. Terapi ini merupakan langkah awal yang harus
dilakukan oleh petugas terhadap rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan
ditentukan program kegiatannya.
d. Terapi somatik
Menurut Depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic terapi
yang diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah
perilaku yang mal adaptif menjadi perilaku adaptif dengan melakukan tindakan
yang ditunjukkan pada kondisi fisik pasien, tetapi target terapi adalah perilaku
pasien.
Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) adalah bentuk
terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan
mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis pasien.
Terapi ini awalnya untuk menangani skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi
biasanya dilaksanakan adalah setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali).
5. Pengkajian
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang, baik secara fisik maupun psikologis. Perilaku kekerasan dapat dilakukan
secara verbal yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Perilaku
kekerasan mengacu pada duabentuk, yaitu perilaku kekerasan saat sedang berlangsung
atau perilaku kekerasan terdahulu (riwayat prilaku kekerasan).
1. FaktorPresdiposisi
2. Faktor Prespitasi
Factor prespitasi ini berhubungan dengan pengaruh stressor yang mencetuskan
perilaku kekerasan bagi setiap individu. Stressor dapat disebabkan dari luar maupun dari
dalam. Stressor yang berasal dari luar dapat berupa serangan fisik, kehilangan, kematian
dan lain-lain. Stressor yang berasal dari dalam dapat berupa, kehilangan keluarga atau
sahabat yang dicintai, ketakutan terhadap penyakit fisik, penyakit dalam, dll. Selain itu,
lingkungan yang kurang kondusif, seperti penuh penghinaan, tindak kekerasan, dapat
memicu perilaku kekerasan.
3. Faktor Risiko
Factor-faktor risiko dari risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri (risk for self-
directed violence) dan risiko perilaku kekerasan terhadap orang lain (risk for other-
directed violence).
a. Risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri (risk for self-directed violence)
1) Usia ≥ 45 tahun
2) Usia 15-19 tahun
3) Isyarat tingkah laku (menulis catatan cinta yang sedih, menyatakan pesan
bernada kemarahan kepada orang tertentu yang telah menolak individu tersebut,
dll)
4) Konflik mengenai orientasi seksual
5) Konflik dalam hubungan interpersonal
6) Pengangguran atau kehilangan pekerjaan (masalah pekerjaan)
7) Terlibat dalam tindakan seksual autoerotic
8) Sumber daya personal yang tidak memadai
9) Status perkawinan (sendiri, menjanda, bercerai)
10) Isu kesehatan mental (depresi, psikosis, gangguan kepribadian, penyalah gunaan
zat)
11) Pekerjaan (professional, eksekutif, administrator atau pemilik bisnis, dll)
12) Pola kesulitan dalam keluarga (riwayat bunuh diri, sesuatu yang bersifat
kekerasan atau konfliktuasi)
13) Isu kesehatan fisik
14) Gangguan psikologis
15) Isolasisosial
16) Ide bunuh diri
17) Rencana bunuh diri
18) Riwayat upacara bunuh diri berulangi syarat verbal (membicarakan kematian,
menanyakan tentang dosis mematikan suatu obat, dll)
b. Risiko perilaku kekerasan terhadap orang lain (risk for other-directed violence)
Tanda dan gejala perilaku kekkerasan dapat dinilai dari ungkapan pasien dan
didukung dengan hasil observasi.
a. Data subjektif
1) Ungkapan berupa ancaman
2) Ungkapan kata-kata kasar
3) Ungkapan ingin memukul/melukai
b. Data objektif
1) Wajah memerah dan tegang
2) Pandangan tajam
3) Mengatupkan rahang dengan kuat
4) Mengepalkan tangan
5) Bicara kasar
6) Suaratinggi, menjeritatauberteriak
7) Mondar mandir
8) Melempar atau memukul benda/ orang lain
5. MekanismeKoping
6. Perilaku
Pada keadaan ini respons fisiologis timbul karena kegiatan sistem syaraf otonom
bereaksi terhadap sekresi ephineprin yang menyebabkan tekanan darah meningkat,
takikardi, wajah merah, pupil melebar, mual, sekresi HCL meningkat, peristaltic gaster
menurun, pengeluaran urine dan saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan meningkat,
di sertai ketegangan otot seperti: rahang terkatup, tangan mengepal, tubuh menjadi kaku
dan disertai reflek yang cepat,
c) Memberontak
Perilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik perilaku untuk
menarik perhatian orang lain.
d) Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau ngamuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain,
maupun lingkungan.
6. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko mencederai diri sendiri, orang ain dan lingkungan
2. Resiko Perilaku kekerasan
3. Koping individu tidak efektif
7. Pohon Masalah
Resiko menciderai diri sendiri, orang
Effect
Lain dan lingkungan
↑
Perilaku kekerasan Cor problem
↑
8. Perencanaan
DAFTAR PUSTAKA