Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

RESIKO PERILAKU KEKERASAN

Disusun Oleh :

Neng Poppy Sugiharti

22.156.03.11.063

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

STIKES MEDISTRA INDONESIA

BEKASI
2023

A. Konsep Dasar
1. Pengertian Resiko Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,
orang lain, maupun lingkungan (fitria, 2009). Perilaku kekerasan adalah tingkah
laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain
yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut (Purba dkk, 2008).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri, maupun
orang lain (Yoseph, 2009). Ancaman atau kebutuhan yang tidak terpenuhi
mengakibatkan seseorang stress berat, membuat orang marah bahkan
kehilangan kontrol kesadaran diri, misalkan: memaki-maki orang disekitarnya,
membanting-banting barang, menciderai diri dan orang lain, bahkan membakar
rumah.

2. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan 
menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang
dijelaskan  oleh (Towsend, 1996 dalam Purba, dkk., 2008) adalah:
1) Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh
terhadap perilaku:
a) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls 
agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus.
Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau
menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem
informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan
pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial
perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka
individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada
penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen
dari sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan
menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam
menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas secara
konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
b) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine,
dopamine, asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam
memfasilitasi atau menghambat impuls agresif. Teori ini sangat
konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam
teorinya tentang respons terhadap stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku
agresif dengan genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi
perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang
menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang 
menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis,
dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh
terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2) Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak  terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan
tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri dan memberikan arti  dalam kehidupannya.
Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa  ketidakberdayaan dan rendahnya harga
diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka,
biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru
karena dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika
perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki
persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan
awal. Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka
mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu
yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua
yang mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan
cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
c) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan
struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang
secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk
menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada
perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa
kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara
konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut
dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial
dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
b. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan  dengan (Yosep, 2009):
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan  eksistensi diri atau simbol solidaritas
seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah,
perkelahian masal dan sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
6) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.

3. Akibat
Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi
mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan
suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang
lain dan lingkungan.

4. Manifestasi Klinis
Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan
adalah sebagai berikut:
a. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot/ pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
6) Ketus
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan dan menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
h. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.

5. Penatalaksanaan
Yang diberikan pada klien yang mengalami gangguan jiwa amuk ada 2 yaitu:
a. Psikofarmakologi
Penggunaan  obat-obatan untuk gangguan jiwa berkembang dari
penemuan neurobiologi. Obat-obatan tersebut memengaruhi sistem saraf
pusat (SSP) secara langsung dan selanjutnya memengaruhi perilaku,
persepsi, pemikiran, dan emosi (Videbeck, 2001). Menurut (Stuart dan
Laraia, 2005), beberapa kategori obat yang digunakan untuk mengatasi
perilaku kekerasan adalah sebagai berikut.
1) Antianxiety dan Sedative Hipnotics : Obat-obatan ini dapat
mengendalikan agitasi yang akut. Benzodiazepines seperti Lorazepam
dan Clonazepam, sering digunakan didalam kedaruratan psikiatrik
untuk menenangkan perlawanan klien. Tapi obat ini direkomendasikan
untuk dalam waktu lama karena dapat menyebabkan kebingungan dan
ketergantungan, juga bisa memperburuk gejala depresi.
Selanjutnya pada beberapa klien yang mengalami disinhibiting effect
dari Benzodiazepines dapat mengakibatkan peningkatan perilaku
agresif. Buspirone obat Antianxiety, efektif dalam mengendalikan
perilaku kekerasan yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi. Ini
ditunjukkan dengan menurunnya perilaku agresif dan agitasi klien
dengan cedera kepala, demensia dan ’developmental disability’.
2) Antidepressant : Penggunaan obat ini mampu mengontrol impulsif dan
perilaku agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood.
Amitriptyline dan Trazodone, efektif untuk menghilangkan agresivitas
yang berhubungan dengan cedera kepala dan gangguan mental organik
(Keliat, dkk., 2005).
b. Psikoterapi
Terapi kesehatan jiwa telah dipengaruhi oleh perubahan terkini dalam
perawatan kesehatan dan reimbursement, seperti pada semua area
kedokteran, keperawatan, dan disiplin ilmu keshatan terkait. Bagian ini
secara singkat menjelaskan modalitas terapi yang saat ini digunakan baik
pada lingkungan, rawat inap, maupun rawat jalan (Videbeck, 2001).
1) Terapi lingkungan
Begitu pentingnya bagi perawat untuk mempertimbangkan
lingkungan bagi semua klien ketika mencoba mengurangi atau
menghilangkan agresif. Aktivitas atau kelompok yang direncanakan
seperti permainan kartu, menonton dan mendiskusikan sebuah film, atau
diskusi informal memberikan klien kesempatan untuk membicarakan
peristiwa atau isu ketika klien tenang. Aktivitas juga melibatkan klien
dalam proses terapeutik dan meminimalkan kebosanan.
Penjadwalan interaksi satu-satu dengan klien menunjukkan perhatian
perawat yang tulus terhadap klien dan kesiapan untuk mendengarkan
masalah, pikiran, serta perasaan klien. Mengetahui apa yang diharapkan
dapat meningkatkan rasa aman klien  (Videbeck, 2001, hlm. 259).
2) Terapi Kelompok
Pada terapi kelompok, klien berpartisipasi dalam sesi bersama
kelompok individu. Para anggota kelompok bertujuan sama dan
diharapkan memberi kontribusi kepada kelompok untuk membantu yang
lain dan juga mendapat bantuan dari yang lain. Peraturan kelompok
ditetapkan dan harus dipatuhi oleh semua anggota kelompok. Dengan
menjadi anggota kelompok klien dapat, mempelajari cara baru
memandang masalah atau cara koping atau menyelesaikan masalah dan
juga membantunya mempelajari keterampilan interpersonal yang penting 
(Videbeck, 2001, hlm. 70).
3) Terapi keluarga
Terapi keluarga adalah bentuk terapi kelompok yang
mengikutsertakan klien dan anggota keluarganya. Tujuannya ialah
memahami bagaimana dinamika keluarga memengaruhi psikopatologi
klien, memobilisasi kekuatan dan sumber fungsional keluarga,
merestrukturisasi gaya perilaku keluarga yang maladaptif, dan
menguatkan perilaku penyelesaian masalah keluarga (Steinglass, 1995
dalam Videbeck, 2001, hlm. 71).
4) Terapi individual
Psikoterapi individu adalah metode yang menimbulkan perubahan
pada individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara pikir, dan
perilakunya. Terapi ini memiliki hubungan personal antara ahli terapi dan
klien. Tujuan dari terapi individu yaitu, memahami diri dan perilaku
mereka sendiri, membuat hubungan personal, memperbaiki hubungan
interpersonal, atau berusaha lepas dari sakit hati atau ketidakbahagiaan.
Hubungan antara klien dan ahli terapi terbina melalui tahap yang
sama dengan tahap hubungan perawat-klien: introduksi, kerja, dan
terminasi. Upaya pengendalian biaya yang ditetapkan oleh organisasi
pemeliharaan kesehatan dan lembaga asuransi lain mendorong upaya
mempercepat klien ke fase kerja sehingga memperoleh manfaat maksimal
yang mungkin dari terapi  (Videbeck, 2001, hlm. 69).

6. Pohon Masalah
Resiko Mencederai Diri Sendiri, Orang Lain, dan Lingkungan

Perilaku Kekerasan

Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Masalah dan Data yang Perlu Dikaji
Masalah keperawatan jiwa yang mungkin muncul pada pasien dengan resiko
perilaku kekerasan, diantaranya yaitu:
a. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
b. Resiko Perilaku kekerasan / amuk
c. Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah
Sedangkan data yang perlu dikaji pada pasien dengan resiko perilaku kekerasan,
yaitu diantaranya:
a. Data Subyektif :.
1) Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang
2) Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika
sedang kesal atau marah.
3) Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
b. Data Obyektif.
1) Mata merah, wajah agak merah
2) Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.
3) Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
4) Merusak dan melempar barang-barang.

2. Diagnosa Keperawatan
Resiko Perilaku kekerasan

3. Perencanaan Keperawatan
a. Tujuan tindakan keperawatan jiwa pada pasien
1) Pasien mampu mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
2) Pasien mampu mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan
3) Pasien mampu mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan
4) Pasien mampu mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
5) Pasien mampu melakukan tindakan pengontrolan perilaku kekerasan
(fisik, verbal, spiritual, dan obat-obatan) dan memasukkannya kedalam
jadwal kegiatan harian

b. Tujuan tindakan keperawatan jiwa pada keluarga:


1) Keluarga mampu mengungkapkan masalah yang dirasakan dalam
merawat pasien
2) Keluarga mampu menjelaskan pengertian perilaku kekerasan, tanda dan
gejala, serta proses terjadinya perilaku kekerasan
3) Keluarga mampu menjelaskan dan mempraktekkan cara merawat pasien
dengan perilaku kekerasan
4) Keluarga mampu membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum
obat (discharge planning)
c. Tindakan keperawatan jiwa yang dilakukan pada pasien:
1) Identifikasi penyebab perilaku kekerasan
2) Identifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan
3) Identifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan
4) Identifikasi akibat perilaku kekerasan
5) Jelaskan cara mengontrol perilaku kekerasan
6) Melatih pasien cara mengontrol perilaku kekerasan (fisik, verbal,
spiritual, obat-obatan) dan bimbing pasien untuk memasukkannya
kedalam jadwal kegiatan harian
d. Tindakan keperawatan jiwa yang dilakukan pada keluarga
1) Diskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
2) Jelaskan pengertian perilaku kekerasan, tanda dan gejala, serta proses
terjadinya perilaku kekerasan
3) Jelaskan dan praktekkan cara merawat pasien dengan perilaku
kekerasan
4) Bantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum
obat (discharge planning)
5) Jelaskan follow up pasien sesudah pulang

DAFTAR PUSTAKA
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) untuk 7 Diagnosis
Keperawatan Jiwa Berat bagi S-1 Keperawatan. Jakarta: Salemba

Keliat, Anna, dkk. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Ed.2 . Jakarta : EGC

Videbeck, S.L. 2001. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC

Yosep, I., 2009, Keperawatan Jiwa, Bandung : Refika Aditama

Anda mungkin juga menyukai