Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KPERAWATAN DENGAN GANGGUAN JIWA

RISIKO PERILAKU KEKERASAN

Disusun oleh :

Putri Ayu Sekar Devanti

P1337420120306

PRODI DIII KEPERAWATAN SEMARANG KELAS KENDAL

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG

2022

1
A. Konsep Dasar
1. Pengertian Resiko Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain,
maupun lingkungan (fitria, 2009). Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu
yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak
menginginkan datangnya tingkah laku tersebut (Purba dkk, 2008).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri, maupun orang lain (Yoseph,
2009). Ancaman atau kebutuhan yang tidak terpenuhi mengakibatkan seseorang stress
berat, membuat orang marah bahkan kehilangan kontrol kesadaran diri, misalkan:
memaki-maki orang disekitarnya, membanting-banting barang, menciderai diri dan
orang lain, bahkan membakar rumah.

2. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan
menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh
(Towsend, 1996 dalam Purba, dkk., 2008) adalah:
1) Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap
perilaku:
a) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif:
sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga
mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls
agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan
memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan
atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada
lobus frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan
pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari
sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat
impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya

2
perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat
agresif.
b) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,
asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau
menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau
flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap
stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif
dengan genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku
agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang
sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan
perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy,
khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif
dan tindak kekerasan.
2) Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak
kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan
citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan
perilaku kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.

b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka,
biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena
dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut

3
diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang
orang tua mereka selama tahap perkembangan awal. Namun, dengan
perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru,
teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak
atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan
hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
c) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur
sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum
menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan
masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan,
apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak
dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan
lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya
keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
b. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan
dengan (Yosep, 2009):
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal
dan sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
dirinya sebagai seorang yang dewasa.

5) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan


alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa
frustasi.
6) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.

4
3. Akibat
Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi mencederai diri,
orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang
kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.

4. Manifestasi Klinis
Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan adalah
sebagai berikut: a. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot/ pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
6) Ketus
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel,
tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan
menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.

5
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
h. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.

5. Penatalaksanaan
Yang diberikan pada klien yang mengalami gangguan jiwa amuk ada 2 yaitu: a.
Psikofarmakologi
Penggunaan obat-obatan untuk gangguan jiwa berkembang dari penemuan
neurobiologi. Obat-obatan tersebut memengaruhi sistem saraf pusat (SSP) secara
langsung dan selanjutnya memengaruhi perilaku, persepsi, pemikiran, dan emosi
(Videbeck, 2001). Menurut (Stuart dan Laraia, 2005), beberapa kategori obat yang
digunakan untuk mengatasi perilaku kekerasan adalah sebagai berikut.
1) Antianxiety dan Sedative Hipnotics : Obat-obatan ini dapat mengendalikan agitasi
yang akut. Benzodiazepines seperti Lorazepam dan Clonazepam, sering
digunakan didalam kedaruratan psikiatrik untuk menenangkan perlawanan klien.
Tapi obat ini direkomendasikan untuk dalam waktu lama karena dapat
menyebabkan kebingungan dan ketergantungan, juga bisa memperburuk gejala
depresi.
Selanjutnya pada beberapa klien yang mengalami disinhibiting effect dari
Benzodiazepines dapat mengakibatkan peningkatan perilaku agresif.
Buspirone obat Antianxiety, efektif dalam mengendalikan perilaku kekerasan
yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi. Ini ditunjukkan dengan
menurunnya perilaku agresif dan agitasi klien dengan cedera kepala, demensia
dan ’developmental disability’.
2) Antidepressant : Penggunaan obat ini mampu mengontrol impulsif dan perilaku
agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood. Amitriptyline dan
Trazodone, efektif untuk menghilangkan agresivitas yang berhubungan dengan
cedera kepala dan gangguan mental organik (Keliat, dkk., 2005). b. Psikoterapi

6
Terapi kesehatan jiwa telah dipengaruhi oleh perubahan terkini dalam
perawatan kesehatan dan reimbursement, seperti pada semua area kedokteran,
keperawatan, dan disiplin ilmu keshatan terkait. Bagian ini secara singkat
menjelaskan modalitas terapi yang saat ini digunakan baik pada lingkungan, rawat
inap, maupun rawat jalan (Videbeck, 2001).
1) Terapi lingkungan
Begitu pentingnya bagi perawat untuk mempertimbangkan lingkungan bagi
semua klien ketika mencoba mengurangi atau menghilangkan agresif. Aktivitas
atau kelompok yang direncanakan seperti permainan kartu, menonton dan
mendiskusikan sebuah film, atau diskusi informal memberikan klien kesempatan
untuk membicarakan peristiwa atau isu ketika klien tenang. Aktivitas juga
melibatkan klien dalam proses terapeutik dan meminimalkan kebosanan.
Penjadwalan interaksi satu-satu dengan klien menunjukkan perhatian
perawat yang tulus terhadap klien dan kesiapan untuk mendengarkan masalah,
pikiran, serta perasaan klien. Mengetahui apa yang diharapkan dapat
meningkatkan rasa aman klien (Videbeck, 2001, hlm. 259).
2) Terapi Kelompok
Pada terapi kelompok, klien berpartisipasi dalam sesi bersama kelompok
individu. Para anggota kelompok bertujuan sama dan diharapkan memberi
kontribusi kepada kelompok untuk membantu yang lain dan juga mendapat
bantuan dari yang lain. Peraturan kelompok ditetapkan dan harus dipatuhi oleh
semua anggota kelompok. Dengan menjadi anggota kelompok klien dapat,
mempelajari cara baru memandang masalah atau cara koping atau
menyelesaikan masalah dan juga membantunya mempelajari keterampilan
interpersonal yang penting (Videbeck, 2001, hlm. 70).

3) Terapi keluarga
Terapi keluarga adalah bentuk terapi kelompok yang mengikutsertakan klien
dan anggota keluarganya. Tujuannya ialah memahami bagaimana dinamika
keluarga memengaruhi psikopatologi klien, memobilisasi kekuatan dan sumber
fungsional keluarga, merestrukturisasi gaya perilaku keluarga yang maladaptif,
dan menguatkan perilaku penyelesaian masalah keluarga (Steinglass, 1995
dalam Videbeck, 2001, hlm. 71).

7
4) Terapi individual
Psikoterapi individu adalah metode yang menimbulkan perubahan pada
individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara pikir, dan perilakunya.
Terapi ini memiliki hubungan personal antara ahli terapi dan klien. Tujuan dari
terapi individu yaitu, memahami diri dan perilaku mereka sendiri, membuat
hubungan personal, memperbaiki hubungan interpersonal, atau berusaha lepas
dari sakit hati atau ketidakbahagiaan.
Hubungan antara klien dan ahli terapi terbina melalui tahap yang sama
dengan tahap hubungan perawat-klien: introduksi, kerja, dan terminasi. Upaya
pengendalian biaya yang ditetapkan oleh organisasi pemeliharaan kesehatan dan
lembaga asuransi lain mendorong upaya mempercepat klien ke fase kerja
sehingga memperoleh manfaat maksimal yang mungkin dari terapi (Videbeck,
2001, hlm. 69).

6. Pohon Masalah
Resiko Mencederai Diri Sendiri, Orang Lain, dan Lingkungan

Perilaku Kekerasan

Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Masalah dan Data yang Perlu Dikaji
Masalah keperawatan jiwa yang mungkin muncul pada pasien dengan resiko perilaku
kekerasan, diantaranya yaitu:
a. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
b. Resiko Perilaku kekerasan / amuk
c. Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah

8
Sedangkan data yang perlu dikaji pada pasien dengan resiko perilaku kekerasan, yaitu
diantaranya:
a. Data Subyektif :.
1) Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang
2) Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang
kesal atau marah.
3) Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
b. Data Obyektif.
1) Mata merah, wajah agak merah
2) Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.
3) Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
4) Merusak dan melempar barang-barang.

2. Diagnosa Keperawatan
Resiko Perilaku kekerasan

3. Perencanaan Keperawatan
a. Tujuan tindakan keperawatan jiwa pada pasien
1) Pasien mampu mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
2) Pasien mampu mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan
3) Pasien mampu mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan
4) Pasien mampu mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
5) Pasien mampu melakukan tindakan pengontrolan perilaku kekerasan (fisik,
verbal, spiritual, dan obat-obatan) dan memasukkannya kedalam jadwal
kegiatan harian

b. Tujuan tindakan keperawatan jiwa pada keluarga:


1) Keluarga mampu mengungkapkan masalah yang dirasakan dalam merawat
pasien
2) Keluarga mampu menjelaskan pengertian perilaku kekerasan, tanda dan gejala,
serta proses terjadinya perilaku kekerasan
3) Keluarga mampu menjelaskan dan mempraktekkan cara merawat pasien dengan
perilaku kekerasan

9
4) Keluarga mampu membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat
(discharge planning)
c. Tindakan keperawatan jiwa yang dilakukan pada pasien:
1) Identifikasi penyebab perilaku kekerasan
2) Identifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan
3) Identifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan
4) Identifikasi akibat perilaku kekerasan
5) Jelaskan cara mengontrol perilaku kekerasan
6) Melatih pasien cara mengontrol perilaku kekerasan (fisik, verbal, spiritual, obat-
obatan) dan bimbing pasien untuk memasukkannya kedalam jadwal kegiatan
harian
d. Tindakan keperawatan jiwa yang dilakukan pada keluarga
1) Diskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
2) Jelaskan pengertian perilaku kekerasan, tanda dan gejala, serta proses terjadinya
perilaku kekerasan
3) Jelaskan dan praktekkan cara merawat pasien dengan perilaku kekerasan
4) Bantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat
(discharge planning)
5) Jelaskan follow up pasien sesudah pulang

10
STRATEGI PELAKSANAAN PERILAKU KEKERASAN

Pertemuan : Ke 1 (satu)

A. PROSES KEPERAWATAN
1. Kondisi klien
Klien tenang, kooperatif, klien mampu menjawab semua pertanyaan yang diajukan.
2. Diagnosa Keperawatan
Risiko perilaku kekerasan
3. Tujuan Khusus
a. Pasien dapat mengidentifikasi PK
b. Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda PK
c. Pasien dapat menyebutkan jenis PK yang pernah dilakukannya
d. Pasien dapat menyebautkan akibat dari PK yang dilakukannya.
e. Pasien dapat menyebutka cara mencegah / mengendalikan PKny
4. Tindakan Keperawatan
SP 1 Klien :
Membina hubungan saling percaya, mengidentifikasi penyebab marah, tanda dan gejala
yang dirasakan, perilaku kekerasan yang dilakukan, akibat dan cara mengendalikan
perilaku kekerasan dengan cara fisik pertama ( latihan nafas dalam).

B. STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN


1. Fase Orientasi :
“ Assalamu’alaikum, selamat pagi bu, perkenalkan nama saya Khairil Anwar, saya
biaya dipanggil Anwar. Saya perawat yang dinas diruang Madrim ini, saya dinas
diruangan ini selama 3 minggu. Hari ini saya dinas pagi dari jam 7 sampai jam 1
siang, jadi selama 3 minggu ini saya yang merawat ibu.
Nama ibu siapa? Dan senang nya dipanggil apa?”
“ Bagaimana perasaan ibu R saat ini?”
“masih ada perasaan kesal atau marah?
“ Baiklah sekarang kita akan berbincang-bincang tentang perasaan marah yang ibu
rasakan,”

11
“ Berapa lama ibu mau kita berbincang-bincang ? bagaimana kalau 10 menit“
“Dimana kita akan bincang-bincang?
“Bagaimana kalau diruang tamu?”

2. Fase Kerja :
“ apa yang menyebabkan ibu R marah?
Apakah sebelumnya ibu R pernah marah?
Terus penyebabnya apa?
Samakah dengan yang sekarang?
Pada saat penyebab marah itu ada, seperti rumah yang berantakan, makanan yang
tidak tersedia, air tak tersedia ( misalnya ini penyebab marah klien), apa yang ibu R
rasakan?“
Apakah ibu R merasa kesal, kemudian dada ibu berdebar-debar, mata melotot,
rahang terkatup rapat, dan tangan mengepal?”“ apa yang ibu lakukan selanjutnya”
“ Apakah dengan ibu R marah-marah, keadaan jadi lebih baik?
“ Menurut ibu adakah cara lain yang lebih baik selain marah-marah?
“maukah ibu belajar mengungkapkan marah dengan baik tanpa menimbulkan
kerugian?
” ada beberapa cara fisik untuk mengendalikan rasa marah, hari ini kita belajar satu
cara dulu,
“ begini bu, kalau tanda- marah itu sudah ibu rasakan ibu berdiri lalu tarik nafas
dari hidung, tahan sebentar, lalu keluarkan secara perlahan-lahan dari mulut seperti
mengeluarkan kemarahan, coba lagi bu dan lakukan sebanyak 5 kali. Bagus sekali
ibu R sudah dapat melakukan nya.
“ nah sebaiknya latihan ini ibu R lakukan secara rutin, sehingga bila sewaktu-
waktu rasa marah itu muncul ibu R sudah terbiasa melakukannya”.

3. Fase Terminasi :
“ Bagaimana perasaan ibu R setelah berbincang-bincang tentang kemarahan ibu? ”
“ Coba ibu R sebutkan penyebab ibu marah dan yang ibu rasakan dan apa yang
ibu lakukan serta akibatnya.
“Baik, sekarang latihan tandi kita masukkan ke jadual harian ya Bu”
” berapa kali sehari ibu mau latihan nafas dalam ?” Bagus..

12
“Nanti tolong ibu tulis M, bila ibu melakukannya sendiri, tulis B, bila ibu dibantu
dan T, bila ibu tidak melakukan”
“baik Bu, bagaimana kalau besok kita latihan cara lain untuk mencegah dan
mengendalikan marah ibu R.
”Dimana kita akan latihan, bagaimana kalau tempatnya disini saja ya Bu?”
“Berapa lama kita akan lakukan, bagaimana kalau 10 menit saja”
“Saya pamit dulu Ibu…Assalamu’alaikum.”

13
DAFTAR PUSTAKA

Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) untuk 7 Diagnosis Keperawatan
Jiwa Berat bagi S-1 Keperawatan. Jakarta: Salemba

Keliat, Anna, dkk. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Ed.2 . Jakarta : EGC

Videbeck, S.L. 2001. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC

Yosep, I., 2009, Keperawatan Jiwa, Bandung : Refika Aditama

14

Anda mungkin juga menyukai