PERILAKU KEKERASAN
Oleh:
BAINATUL ROCHMAH
NIM: 2130011
B. Etiologi
Faktor penyebab terjadinya waham dibagi menjadi dua, yaitu faktor
predisposisi dan faktor presipitasi (Riyanto, 2015).
1. Faktor predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku
kekerasan menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural
yang dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:
a. Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh
terhadap perilaku:
1) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses
impuls agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus.
Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi
atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan
sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada
gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau
menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada
lobus frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan,
kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif.
Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik
terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat
otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
2) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,
asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau
menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight
atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons
terhadap stress.
3) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara
perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
4) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi
perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang
menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang
menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan
epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap
perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b. Teori Psikologik
1) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan
tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya.
Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya
harga diri.
2) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka,
biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena
dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku
tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi
ideal tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal.
Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru
pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika
masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak
mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku
kekerasan setelah dewasa.
c. Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan
struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang
secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk
menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada
perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa
kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara
konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut
dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial
dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
2. Faktor presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009):
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas
seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah,
perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan atau perubahan tahap perkembangan
keluarga
c. Merusak lingkungan
d. Amuk/agresif
d. Emosi
a. Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman
b. Rasa terganggu, dendam dan jengkel
c. Bermusuhan, mengamuk, dan ingin berkelahi
d. Menyalahkan dan menuntut
e. Intelektual
a. Mendominasi
b. Cerewet
c. Kasar
d. Berdebat
e. Meremehkan dan sarkasme
f. Spiritual
a. Merasa diri berkuasa dan benar
b. Mengkritik pendapat orang lain
c. Menyinggung perasaan orang lain
d. Tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
a. Menarik diri, pengasingan
b. Penolakan
c. Kekerasan
d. Ejekan dan sindiran.
h. Perhatian
a. Mencuri
b. Melarikan diri
c. Penyimpangan seksual.
d. Bolos
D. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diharapkan pada
penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelasaian masalah langsung dan
mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri (Stuart dan
Sundeen, 1998). Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah
untuk melindungi diri antara lain:
1. Sublimasi
Melampiaskan kemarahan pada obyek lain, seperti meremas remas
adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuanya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
2. Proyeksi
Menyalahkan orang lain kesukaranya atau keinginanya yang tidak baik,
misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa
temanya tersebut mencoba merayu, mencumbunya.
3. Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke
alam sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya
yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang
diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak
baik dan dikutuk oleh tuhan. Sehingga perasaan benci itu ditekannya dan
akhirnya ia dapat melupakanya.
4. Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresikan. Dengan
melebih lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakanya
sebagai rintangan. Misalnya seseorang yang tertarik pada teman suaminya,
akan memperlakukan orang tersebut dengan kuat.
5. Deplacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan. Pada obyek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan
emosi itu.
2. Pohon Masalah
Perilaku Kekerasan
3. Diagnosa
a. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan
dengan perilaku kekerasan
b. Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah (D.0105)
4. Intervensi
Tindakan Keperawatan untuk Pasien
a. Tujuan
1) Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
2) Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
3) Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya.
4) Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukannya.
5) Pasien dapat menyebutkan cara mencegah/mengontrol perilaku
kekerasannya.
6) Pasien dapat mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya secara
fisik, spiritual, sosial, dan dengan terapi psikofarmaka
b. Tindakan
1) Bina hubungan saling percaya.
a) Mengucapkan salam terapeutik.
b) Berjabat tangan.
c) Menjelaskan tujuan interaksi.
d) Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu
pasien.
2) Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini
dan masa lalu.
3) Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku
kekerasan.
a) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik.
b) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
psikologis.
c) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial.
d) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
spiritual.
e) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
intelektual.
4) Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan pada saat marah secara:
a) verbal,
b) terhadap orang lain,
c) terhadap diri sendiri,
d) terhadap lingkungan.
5) Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya.
6) Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan
secara:
a) fisik, misalnya pukul kasur dan batal, tarik napas dalam;
b) obat;
c) sosial/verbal, misalnya menyatakan secara asertif rasa
marahnya;
d) spiritual, misalnya sholat atau berdoa sesuai keyakinan pasien.
7) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik, yaitu
latihan napas dalam dan pukul kasur/bantal, secara sosial/verbal,
secara spiritual, dan patuh minum obat.
8) Ikut sertakan pasien dalam terapi aktivitas kelompok stimulasi
persepsi mengontrol perilaku kekerasan.
1. Evaluasi
a. Pasien mampu melakukan hal berikut.
1) Menyebutkan penyebab, tanda dan gejala perilaku kekerasan,
perilaku kekerasan yang biasa dilakukan, serta akibat dari perilaku
kekerasan yang dilakukan.
2) Menggunakan cara mengontrol perilaku kekerasan secara teratur
sesuai jadwal, yang meliputi:
a) Secara sosial/verbal,
b) Secara spiritual,
c) Secara fisik,
d) Terapi psikofarmaka.
b. Keluarga mampu melakukan hal berikut.
1) Mencegah terjadinya perilaku kekerasan.
2) Menunjukkan sikap yang mendukung dan menghargai pasien.
3) Memotivasi pasien dalam melakukan cara mengontrol perilaku
kekerasan.
Keliat, Budi Anna et all. 2007. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN Basic
Course. Jakarta: EGC.
Purba, dkk. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial dan
Gangguan Jiwa. Medan : USU Press
Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa. edisi revisi . Bandung: Refika Aditama.
Yusuf, A.H, F., & ,R & Nihayati, H. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa, 1–366. https://doi.org/ISBN
978-xxx- xxx-xx-x