Anda di halaman 1dari 18

KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA 2

STRATEGI PELAKSNAAN GANGGUAN KONSEP DIRI


“PERILAKU KEKERASAN”
Dosen Pengampu : Nurul Sri Wahyuni, S.Kep., Ns., M.Kes.

Disusun Oleh :

No Nama NIM Absen

1. Delvina Novianda 18631682 14


2. Zharifatul Alifah 18631656 22

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
TAHUN 2021
STRATEGI PELAKSANAAN (SP) ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

RESIKO PERILAKU KEKERASAN

PENGKAJIAN

A. PENGERTIAN
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik, baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul terhadap kecemasan yang
dirasakan sebagai ancaman (Stuart & Sundeen, 1998). Menurut Patricia D. Barry (1998)
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan emosi yang merupakan campuran perasaan
frustasi dan benci atau marah. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri
maupun orang lain (Yosep, 2007). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana
seseorang melakukan suatu tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik kepada
diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Townsend, 1998).
Resiko perilaku kekerasan adalah adanya kemungkinan seseorang melakukan
tindakan yang dapat mencederai orang lain dan lingkungan akibat ketidakmampuan
mengendalikan marah secara konstruktif (CMHN, 2006). Resiko perilaku kekerasan atau
agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk bertindak
dalam bentuk destruktif dan masih terkontol (Yosep, 2007).
Dari beberapa pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku
kekerasan adalah ungkapan perasaan marah dan bermusuhan yang mengakibatkan
hilangnya kontrol diri dimana individu bisa berperilaku menyerang atau melakukan suatu
tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
Sedangkan resiko perilaku kekerasan adalah adanya kemungkinan seseorang melakukan
tindakan dalam bentuk destruktif dan masih terkontol.
B. ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku menurut
teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend
(1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:
a. Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap
perilaku :
 Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses
impuls agresif : sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus.
Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi
atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan
sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada
gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau
menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada
lobus frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan,
kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif.
Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik
terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat
otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
 Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine,
dopamine, asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam
memfasilitasi atau menghambat impuls agresif. Teori ini sangat
konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye
dalam teorinya tentang respons terhadap stress.
 Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara
perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
 Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi
perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang
menyerang sistem limbik dan lobus temporal : trauma otak, yang
menimbulkan perubahan serebral : dan penyakit seperti ensefalitis,
dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh
terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.

b. Teori Psikologik
1) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan
tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya.
Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga
diri.
2) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka,
biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena
dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku
tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi
ideal tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal.
Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru
pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya
ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang
mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung
untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
3) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan
struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang
secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk
menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada
perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa
kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara
konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut
dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial
dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.

2. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009) :
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas
seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah,
perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi social
ekonomi
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah, cemderung
melakukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa
e. Adanya Riwayat perilaku anti social, meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme, dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi
rasa frustasi
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
C. RENTANG RESPON MARAH
Respon kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif maladaptif, seperti
rentang respon kemarahan di bawah ini (Yosep, 2007).

1. Asertif
Asertif adalah kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau
diungkapkan tanpa menyakiti orang lain, akan memberi kelegaan pada individu dan
tidak akan menimbulkan masalah.
2. Frustasi
Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan karena yang
tidak realistis atau hambatan dalam proses pencapaian tujuan. Dalam keadaan ini
tidak ditemukan alternatif lain. Selanjutnya individu merasa tidak mampu
mengungkapkan perasaan dan terlihat pasif.
3. Pasif
Pasif adalah individu tidak mampu mengungkapkan perasaannya, klien tampak
pemalu, pendiam, sulit diajak bicara karena rendah diri dan merasa kurang mampu.
4. Agresif
Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk
bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontol, perilaku yang tampak dapat
berupa : muka masam, bicara kasar, menuntut, kasar disertai kekerasan.

5. Amuk / PK
Amuk adalah perasaan marah dan bermusuhan kuat disertai kehilangan kontrol
diri. Individu dapat merusak diri sendiri orang lain dan lingkungan.
D. PROSES TERJADINYA MARAH
Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari – hari yang harus
dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang menimbulkan
perasaan tidak menyenangkan dan terancam, kecemasan dapat menimbulkan kemarahan.
Respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui 3 cara yaitu :
1) Mengungkapkan secara verbal
2) Menekan,
3) Menantang.
Dari ketiga cara ini, cara yang pertama adalah konstruktif sedang dua cara lain adalah
destruktif. Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa bermusuhan,
dan bila cara ini dipakai terus – menerus, maka kemarahan dapat diekspresikan pada diri
sendiri atau lingkungan dan akan tampak sebagai depresi psikomatik atau agresi dan
ngamuk.
Kemarahan diawali oleh adanya stressor yang berasal dari internal atau eksternal.
Stressor internal seperti penyakit hormonal, dendam, kesal sedangkan stressor eksternal
bisa berasal dari ledekan, cacian, makian, hilangnya benda berharga, tertipu,
penggusuran, bencana dan sebagainya. Hal tersebut akan mengakibatkan kehilangan atau
gangguan pada sistem individu (Disruption & Loss). Hal yang terpenting adalah
bagaimana seorang individu memaknai setiap kejadian yang menyedihkan atau
menjengkelkan tersebut (Personal meaning).
Bila seseorang memberi makna positif, misalnya : macet adalah waktu untuk
istirahat, penyakit adalah sarana penggugur dosa, suasana bising adalah melatih
persyarafan telinga (nervus auditorius) maka ia akan dapat melakukan kegiatan secara
positif (Compensatory act) dan tercapai perasaan lega (Resolution). Bila ia gagal dalam
memberikan makna menganggap segala sesuatunya sebagai ancaman dan tidak mampu
melakukan kegiatan positif (Olahraga, menyapu atau baca puisi saat dia marah dan
sebagainya) maka akan muncul perasaan tidak berdaya dan sengsara (Helplessness).
Perasaan itu akan memicu timbulnya kemarahan (Anger). Kemarahan yang diekpresikan
keluar (Expressed outward) dengan kegiatan yang konstruktif (Contruktive action) dapat
menyelesaikan masalah. Kemarahan yang diekpresikan keluar (Expressed outward)
dengan kegiatan yang destruktif (Destruktive action) dapat menimbulkan perasaan
bersalah dan menyesal (Guilt). Kemarahan yang dipendam (Expressed inward) akan
menimbulkan gejala psikosomatis (Poinful symptom) (Yosep, 2007).

E. TANDA DAN GEJALA


1. Fisik : Mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah
memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
2. Verbal : Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada
keras, kasar dan ketus.
3. Perilaku : Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan,
amuk/agresif.
4. Emosi : Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel,
tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
5. Intelektual : Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
6. Spiritual : Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral dan
kreativitas terhambat.
7. Sosial : Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran.
8. Perhatian : Bolos, melarikan diri dan melakukan penyimpangan seksual.
(Nita Fitria, 2009. hal 140)

F. MEKANISME KOPING
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien, sehingga dapat
membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping yang kontruktif dalam
mengekspresikan kemarahannya. Mekanisme koping yang umum digunakan adalah
mekanisme pertahanan ego seperti displacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial dan
reaksi formas.
Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang berkepanjangan
dari seseorang karena ditinggal oleh orang yang dianggap sangat berpengaruh dalam
hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak teratasi, maka dapat menyebabkan seseorang rendah
diri (harga diri rendah), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila
ketidakmampuan bergaul dengan orang lain ini tidak diatasi akan memunculkan
halusinasi berupa suara-suara atau bayangan yang meminta klien untuk melakukan tindak
kekerasan. Hal tersebut akan berdampak pada keselamatan dirinya dan orang lain (resiko
tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan). Selain diakibatkan berduka yang
berkepanjangan, dukungan keluarga yang kurang baik dalam menghadapi kondisi klien
dapat mempengaruhi perkembangan klien (koping keluarga tidak efektif). Hal ini
tentunya menyebabkan klien sering keluar masuk RS atau menimbulkan kekambuhan
karena dukungan keluarga tidak maksimal (regimen terapeutik inefektif). (Nita Fitria,
2009. hal 145)

G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada klien dengan perilaku kekerasan meliputi penatalaksanaan
keperawatan dan penatalaksanaan medis.
1. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan dapat dilakukan melalui proses pendekatan
keperawatan dan terapi modalitas.
a. Pendekatan proses keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan yang dilakukan berdasarkan proses
keperawatan, yaitu meliputi pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan,
rencana tindakan keperawatan serta evaluasi.
 Terapi Modalitas
Terapi Kesehatan jiwa telah dipengaruhi oleh perubahan terkini
dalam perawatan Kesehatan dan reimbursement, seperti pada semua
are kedokteran, keperawatan, dan disiplin ilmu Kesehatan terkait.
Bagian ini secara singkat menjelaskan modalitas terapi yang saat ini
digunakan baik di lingkungan, rawat inap, maupun rawat jalan.
(Videbeck, 2001, hlm. 69)
a) Terapi lingkungan
Begitu pentingnya bagi perawat untuk mempertimbangkan
lingkungan bagi semua klien ketika mencoba mengurangi atau
menghilangkan agresif. Aktivitas atau kelompok yang
direncanakan seperti permainan kartu, menonton dan
mendiskusikan sebuah film, atau diskus informal memberikan
klien kesempatan untuk membicarakan peristiwa atau isu ketika
klien tenang. Aktivitas juga melibatkan klien dalam proses
terapeutik dan meminimalkan kebosanan. Penjadwalan interaksi
satu-satu dengan klien menunjukkan perhatian perawat yang tulus
terhadap klien dan kesiapan untuk mendengarkan masalah, pikiran,
serta perasaan klien. Mengetahui apa yang diharapkan dapat
meningkatkan rasa aman klien (Videbeck, 2001, hlm. 259).
b) Terapi kelompok
Pada terapi kelompok, klien berpartisipasi dalam sesi
bersama kelompok individu. Para anggota kelompok bertujuan
sama dan diharapkan memberi kontribusi kepada kelompok untuk
membantu yang lain dan juga mendapat bantuan dari yang lain.
Peraturan kelompok ditetapkan dan harus dipatuhi oleh semua
anggota kelompok. Dengan menjadi anggota kelompok klien
dapat, mempelajari cara baru memandang masalah atau cara
koping atau menyelesaikan masalah dan juga membantunya
mempelajari keterampilan interpersonal yang penting (Videbeck,
2001, hlm. 70).
c) Terapi keluarga
Terapi keluarga adalah bentuk terapi kelompok yang
mengikutsertakan klien dan anggota keluarganya. Tujuannya ialah
memahami bagaimana dinamika keluarga memengaruhi
psikopatologi klien, memobilisasi kekuatan dan sumber fungsional
keluarga, merestrukturisasi gaya perilaku keluarga yang
maladaptif, dan menguatkan perilaku penyelesaian masalah
keluarga (Steinglass, 1995 dalam Videbeck, keluarga (Steinglass,
1995 dalam Videbeck, 2001, hl 2001, hlm. 71).
d) Terapi individual
Psikoterapi individu adalah metode yang menimbulkan
perubahan pada individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap,
cara pikir, dan perilakunya. Terapi ini memiliki hubungan personal
antara ahli terapi dan klien. Tujuan dari terapi individu yaitu,
memahami diri dan perilaku mereka sendiri, membuat hubungan
personal, memperbaiki hubungan interpersonal, atau berusaha
lepas dari sakit hati atau ketidakbahagiaan. Hubungan antara klien
dan ahli terapi terbina melalui tahap yang sama dengan tahap
hubungan perawat-klien : introduksi, kerja, dan terminasi. Upaya
pengendalian biaya yang ditetapkan oleh organisasi pemeliharaan
kesehatan dan lembaga asuransi lain mendorong upaya
mempercepat klien ke fase kerja sehingga memperoleh manfaat
maksimal yang mungkin dari terapi (Videbeck, 2 (Videbeck, 2001,
hlm. 69).

2. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis dapat dibagi menjadi dua metode, yaitu metode
psikofarmakologi dan metode psikososial.
a. Metode biologik
Berikut adalah beberapa metode biologik untuk penatalaksanaan medis klien
dengan perilaku kekerasan yaitu:
1) Psikofarmakologi
Penggunaan obat-obatan untuk gangguan jiwa berkembang dari penemuan
jiwa berkembang dari penemuan neurobiologi. Obat-obatan tersebut
memengaruhi sistem saraf pusat (SSP) secara langsung dan selanjutnya
memengaruhi perilaku, persepsi, memengaruhi perilaku, persepsi, pemikiran,
dan em pemikiran, dan emosi. (Videbeck, 2001, (Videbeck, 2001, hlm. 22).
hlm. 22).
Menurut Stuart dan Laraia (2005, hlm. 643), beberapa kategori obat yang
digunakan untuk mengatasi perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :
 Antianxiety dan Sedative Hipnotics
Obat-obatan ini dapat mengendalikan agitasi yang akut.
Benzodiazepines seperti Lorazepam dan Clonazepam, sering digunakan
didalam kedaruratan psikiatrik untuk menenangkan perlawanan klien. Tapi
obat ini direkomendasikan untuk dalam waktu lama karena dapat
menyebabkan kebingungan dan ketergantungan, juga bisa memperburuk
gejala depresi.
Selanjutnya pada beberapa klien yang mengalami disinhibiting
effect dari Benzodiazepines dapat mengakibatkan peningkatan perilaku
agresif. Buspirone obat Antianxiety, efektif dalam mengendalikan perilaku
kekerasan yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi. Ini ditunjukkan
dengan menurunnya perilaku agresif dan agitasi klien dengan cedera
kepala, demensia dan developmental disability.
 Antidepressant
Penggunaan obat ini mampu mengontrol impulsif dan perilaku
agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood. Amitriptyline dan
Trazodone, efektif untuk menghilangkan agresivitas yang berhubungan
dengan cedera kepala dan gangguan mental organik. (Dr.Budi Anna
Keliat, Dkk. 2005)

DIAGNOSA KEPERAWATAN

Resiko mencederai diri b.d depresi

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

Tujuan Umum : Klien dapat mengendalikan alam perasaan

a. Tujuan Khusus : Klien dapat membina hubungan saling percaya


Tindakan :

1) Sapa klien dengan nama baik verbal maupun non verbal


2) Perkenalkan diri dengan sopan
3) Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien.
4) Jelaskan tujuan pertemuan
5) Jujur dan menepati janji
6) Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya.
7) Berikan perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar

b. Tujuan Khusus : Klien dapat mengungkapkan perasaannya


Tindakan :

1) Dorong dan beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya dan


mengatakan bahwa perawat memahami apa yang dirasakan pasien.
2) Beri kesempatan klien mengutarakan keinginan dan pikirannya dengan
teknik focusing.
3) Bicarakan hal-hal yang nyata dengan klien.

c. Tujuan Khusus : Klien dapat menggunakan koping adaptif


Tindakan :

1) Tanyakan kepada pasien cara yang biasa dilakukan mengatasi perasaan kesal, sedih,
dan tidak menyenangkan
2) Diskusikan dengan pasien manfaat dari koping yang biasa digunakan
3) Bersama pasien mencari berbagai alternatif koping.
4) Beri dorongan kepada pasien untuk memilih koping yang paling tepat dan dapat
diterima
5) Beri dorongan kepada pasien untuk mencoba koping yang telah dipilih
6) Anjurkan pasien untuk mencoba alternatif lain dalam menyelesaikan masalah.

d. Tujuan Khusus : Klien terlindung dari perilaku mencederai diri.


Tindakan :

1) Tempatkan klien di tempat yang tenang, tidak banyak rangsangan, tidak terdapat
banyak peralatan.
2) Jauhkan dan simpan alat-alat yang dapat digunakan oleh pasien untuk mencederai
dirinya di tempat yang aman dan terkunci.
3) Temani klien jika nampak tanda-tanda sedih yang berlebihan seperti menangis.
4) Lakukan pengekangan fisik jika klien tidak dapat mengontrol perilakunya.
e. Tujuan Khusus : Klien dapat melakukan kegiatan terarah
Tindakan :

1) Anjurkan klien untuk melakukan kegiatan motorik yang terarah, misalnya :


menyapu, olahraga, dll.
2) Beri kegiatan individual sederhana yang dapat dilaksanakan dengan baik oleh klien.
3) Berikan kegiatn yang tidak memerlukan kompetisi.
4) Bantu klien dalam melaksanakan kegiatan.
5) Beri reinforcement atas keberhasilan pasien.

f. Tujuan Khusus : Kliean dapat memanfaatkan obat dengan baik.


Tindakan :

1) Diskusikan dengan klien tentang manfaat dan kerugain tidak minum obat, nama,
warna, dosis, cara, efek terapi dan efek samping penggunaan obat.
2) Pantau klien ssaat oenggunaan obat
3) Beri pujian jika klien menggunakan obat dengan benar
4) Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan dokter
5) Anjurkan klien untuk konsultasi kepada perawat / dokter jika terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan.
TINDAKAN KEPERAWATAN

Strategi Pelaksanaan (SP) “Perilaku Kekerasan”

 Masalah utama : Perilaku kekerasan/Amuk/Marah


 Proses Keperawatan
a. Kondisi Klien :
a) Data Objektif :
 Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang
 Kelainan suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika
sedang kesal atau marah
 Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya
b) Data Subjektif :
 Mata merah, wajah agak merah
 Nada suara keras dan tinggi, bicara menguasai atau dominan
 Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangannya tajam
 Merusak dan melempar barang-barang
 Diagnosa Keperawatan : Perilaku Kekerasan atau Amuk
 Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan
1. Tindakan Keperawatan untuk pasien
Tujuan tindakan untuk pasien meliputi :
 Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
 Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
 Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya
 Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukannya
 Pasien dapat menyebutkan cara mencegah atau mengontrol perilaku
kekerasannya
 Pasien dapat mencegah atau mengontrol perilaku kekerasan secara fisik
spiritual social dan dengan terapi psikofarmaka
 Untuk Pasien
SP 1 : Membina Hubungan Saling Percaya (BHSP), Membantu Pasien Mengenal
Perilaku Kekerasannya
 Tahap Pra Interaksi
 Buku catatan atau kertas
 Bolpoint
 Tahap Orientasi
 Menyapa pasien, mengucapkan salam
“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Mbak, Saya mahasiswa S1
Keperawatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo yang akan merawat Mbak,
nama saya Delvina Novianda saya senang dipanggil Delvina.”
“ Nama Mbak siapa? Dan senang dipanggil bagaimana?”
 Tanya kabar dan keluhan pasien
“Bagaimana perasaan Mbak Zhari pada hari ini tadi? Dan mungkin apa yang
rasakan pada saat ini?”
 Kontrak waktu
“Baiklah mbak, kita akan berbincang-bincang ya tentang bagaimana perasaan
marah Ibu, kira-kira berapa lama mbak mau untuk kita berbincang-bincang? 20
menit ya? Mungkin dimana juga enaknya tempat untuk kita berbincang-bincang?”

 Tahap Kerja
 Membina hubungan saling percaya
 Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini yang dilalui
“Apa awal mula yang menyebabkan Mbak Zhari marah?”
“Apakah sebelumnya pernah marah juga? Penyebabnya sepertu apa? Apakah juga
sama seperti saat ini Mbak?”
“Mungkin apakah penyebab lain yang bisa membuat Mbak marah?”
 Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan
“Pada saat penyebab marah itu ada, apa yang Mbak rasakan?”
 Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa dilakukan saat marah
“Apakah Mbak merasakan kesal sekali kemudian dada berdebar-debar? Mata
melotot, gigi menggigit rapat dan tangan Mbak bertolak pinggang seperti ini?
Ataukah mengepal?”
 Diskusikan dengan pasien akibat dari perilakunya
“Setelah melakukan itu apakah cara itu membuat stress atau amarah Mbak hilang?
Apakah kerugian yang mucul ketika Mbak Zhari marah? Kalau begitu maukah Mbak
belajar cara mengungkapkan kemarahan dengan baik tanpa muncul kerugian seperti
yang sebutkan tadi?”
 Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan
“Menurut Mbak Zhari adakah cara yang tepat untuk mengontrol amarah ini?”
“Baik, jadi ada beberapa cara Mbak untuk mengontrol kemarahan, Mbak. Salah
satunya itu dengan cara fisik mbak. Jadi melalui kegiatan fisik itu kemarahan bisa
disalurkan.”
 Melatih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik
“Bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu Mbak? Namanya itu teknik dengan
nafas dalam mbak.”
“Begini Mbak, kalau merasakan tanda-tanda marah tadi muncul, maka Mbak bisa
berdiri atau duduk dengan rileks, lalu tarik nafas dari hidung tahan sebentar, lalu
keluarkan secara perlahan melalui mulut mbak”
“Ayo mbak kita coba lakukan, mulai dari tarik nafas dari hidung, (Perawat dan
Pasien mempraktikkan) Bagus, tahan sebentar mbak dan tiupkan melalui mulut. Nah
bagus, lakukan sebanyak 5 kali ya mbak”
“Bagus sekali Mbak, sudah bisa melakukannya dengan sangat baik.”
“Nahh… Mbak tadi telah mampu melakukan latihan teknik relaksasi nafas dalam,
sebaiknya latihan seperti ini tadi dapat mbak lakukan secara rutin, sehingga bila
sewaktu-waktu rasa ingin marah itu muncul Mbak sudah dapat terbiasa mengontrol
dan melakukannya.”
 Tahap Terminasi
 Menanyakan keluhan dan buat kontrak yang baru
- Evaluasi Subjektif
“Bagaimana perasaan Mbak setelah kita berbincang-bincang dan melakukan
latihan teknik relaksasi nafas tadi?. Alhamdulillah memang dari raut wajah
Mbak Zhari terlihat lebih rileks ya”
- Evaluasi Objektif
“Lanjut, coba mbak sebutkan lagi apa yang dapat membuat Mbak marah? Lalu
apa yang mbak rasakan saat itu serta apa yang akan mbak lakukan? Dan
mungkin apa akibat yang muncul jika marah itu tadi?”
“Wah Alhamdulillah bagus sekali, mbak masih ingat semua”
- Tindak Lanjut
“Lalu bagaimana kalau latihan ini kita masukkan dalam jadwal kegiatan sehari-
hari dari Mbak?”
“Oke kalau begitu. Kapan waktu yang mbak inginkan untuk melakukan latihan
ini lagi? Bagaimana kalau setiap jam 12.30 siang mbak?”
- Kontrak yang akan dating
“Nah Mbak, cara yang kita praktikkan tadi baru salah satu dari bermacam-
macam teknik yaa. Ada cara lain juga mbak yaitu teknik memukul bantal ataupun
kasur”
“Bagaimana kalau kita melakukan latihan teknik itu besok? Kita bertemu jam
12.30 ya berarti?”
“Mbak mau latihan dimana?”
“Baik mbak kalau begitu, karena waktunya pas sudah habis, kalau begitu mbak
segera istirahat kembali agar tetap terjaga stabil kondisinya, dan sampai
bertemu besok. Saya pamit dulu ya mbak. Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh.”

Anda mungkin juga menyukai