Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN TEORI

KEPERAWATAN JIWA

Oleh:

Andwani Lina Sugendi


NIM. P27820720052

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMETERIAN KESEHATAN SURABAYA
JURUSAN KEPERAWATAN PROGRAM STUDI PROFESI NERS
PROGRAM SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
2022/2023
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Perilaku Kekerasan

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. DEFINISI
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan
untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan
datangnya tingkah laku tersebut. Perilaku kekerasan merupakan suatu
tanda dan gejala dari gangguan skizofrenia akut yang tidak lebih dari satu
persen (Purba dkk, 2008). Perilaku kekerasan merupakan respons marah
yang diekspresikan dengan melakukan ancaman, mencederai orang lain,
dan atau stresor. Respon ini dapat merugikan diri sendiri dan orang lain
(Keliat et all, 2007).
2. ETIOLOGI
a. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan
menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang
dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:
1) Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh
terhadap perilaku:
a) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls
agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus.
Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi
atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik
merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori.
Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan
atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan
pada lobus frontal maka individu tidak mampu membuat
keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan
agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai
implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem
limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif.
Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
b) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,
asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi
atau menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten
dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam
teorinya tentang respons terhadap stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara
perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi
perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya
yang menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak,
yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti
ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2) Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan
tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam
kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan
merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka,
biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru
karena dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika
perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak
memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap
perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang
dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan
orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau
mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan
hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan
setelah dewasa.
3) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan
struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang
secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk
menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada
perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa
kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara
konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut
dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial
dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
b. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009):
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng
sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat
dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
6) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.
3. TANDA DAN GEJALA
Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan
adalah sebagai berikut:
a. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot/ pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
6) Ketus
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosi
1) Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman
2) Rasa terganggu, dendam dan jengkel
3) Bermusuhan, mengamuk, dan ingin berkelahi
4) Menyalahkan dan menuntut
e. Intelektual
1) Mendominasi
2) Cerewet
3) Kasar
4) Berdebat
5) Meremehkan dan sarkasme
f. Spiritual
1) Merasa diri berkuasa dan benar
2) Mengkritik pendapat orang lain
3) Menyinggung perasaan orang lain
4) Tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
1) Menarik diri, pengasingan
2) Penolakan
3) Kekerasan
4) Ejekan dan sindiran.
h. Perhatian
1) Bolos
2) Mencuri
3) Melarikan diri
4) Penyimpangan seksual.
4. MACAM
Kekerasan terbagi menjadi dua yaitu:
a. Kekerasan Fisik
Perbuatan penganiayaan atau menyiksa yang dilakukan oleh seseorang
terhadap orang lain yang mengakibatkan sakit luka serius secara fisik,
seperti memukul, mendorong, menyiksa, membunuh, dll.
b. Kekerasan Psikis
Kekerasan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain berupa
ancaman yang menyebabkan korban merasa takut, tidak nyaman dan
gangguan kejiwaan atau bahkan merasa trauma, seperti memaksakan
atau menghentikan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan
mengancam untuk memaksakan.

5. FASE
a. Triggering incidents
Fase ini ditandai dengan adanya pemicu sehingga muncul agresi klien.
Beberapa faktor yang dapat menjadi pemicu agresi antara lain:
provokasi, respon terhadap kegagalan, komunikasi yang buruk, situasi
yang menyebabkan frustrasi, pelanggaran batas terhadap jarak personal,
dan harapan yang tidak terpenuhi. Pada fase ini petugas perlu
memahami berbagai macam pemicu yang menjadi faktor bagi klien dan
meminimalkan faktor tersebut.
b. Escalation phase
Fase ini ditandai dengan kebangkitan fisik dan emosional, dapat
diseterakan dengan respon menyerang atau menghindar (fight or flight).
Pada fase ini kemarahan klien memuncak, dan belum terjadi tindakan
kekerasan. Pemicu dari perilaku agresif klien gangguan psikiatrik
bervariasi misalnya: halusinasi, gangguan kognitif, gangguan
penggunaan zat, kerusakan neurologi/kognitif, bunuh diri dan koping
tidak efektif.
c. Crisis point
Fase ini merupakan fase lanjutan dari fase escalation apabila negosiasi
dan teknik de escalation gagal mencapai tujuannya. Emosi menonjol
yang ditunjukkan oleh klien adalah bermusuhan.
d. Settling phase
Fase ini merupakan fase dimana klien yang melakukan kekerasan telah
melepaskan energi marahnya. Meskipun begitu, mungkin masih ada
rasa cemas dan marah dan berisiko kembali ke fase awal.
e. Post crisis depression
Klien pada fase ini mungkin mengalami kecemasan dan depresi dan
berfokus pada kemarahan dan kelelahan.
f. Return to normal functioning
Fase ini dimana klien kembali pada keseimbangan normal dari perasaan
cemas, depresi, dan kelelahan.
6. RENTANG RESPON MARAH
Perasaan marah normal terjadi pada setiap individu, namun perilaku yang
dimanifestasikan oleh perasaan marah dapat berfungsi sepanjang rentang
adaptif dan mal adaptif.

adaptif maladaptif

asertif frustasi pasif agresif PK


Gambar. Rentang Respon Marah
Asertif Klien mampu mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang
lain dan memberikan kelegaan.
Frustasi Klien gagal mencapai tujuan kepuasan/ saat marah dan tidak dapat
menemukan alternatif.
Pasif Klien merasa tidak dapat mengungkapkan perasaannya, tidak
berdaya dan menyerah
Agresif Klien mengekspresikan secara fisik, tetapi masih terkontrol,
mendorong orang lain dengan ancaman.
Kekerasan Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat dan hilang kontrol,
disertai amuk, merusak lingkungan.

7. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diharapkan pada
penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelasaian masalah langsung dan
mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri (Stuart dan
Sundeen, 1998). Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien
marah untuk melindungi diri antara lain :
a) Sublimasi :
Melampiaskan kemarahan pada obyek lain, seperti meremas remas
adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuanya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
b) Proyeksi
Menyalahkan orang lain kesukaranya atau keinginanya yang tidak baik,
misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa
temanya tersebut mencoba merayu, mencumbunya
c) Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke
alam sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang
tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan
yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal
yang tidak baik dan dikutuk oleh tuhan. Sehingga perasaan benci itu
ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakanya.
d) Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresikan. Dengan
melebih lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakanya sebagai rintangan. Misalnya seseorang yang tertarik
pada teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan
kuat.
e) Deplacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan. Pada obyek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu. Misalnya : timmy berusia 4 tahun marah
karena ia baru saja mendapatkan hukuman dari ibunya karena
menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermai perang-perangan
dengan temanya.
8. AKIBAT
Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi
menciderai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko menciderai merupakan
suatu tindakan yang memungkinkan dapat melukai/membahayakan diri,
orang lain, dan lingkungan.
9. MASALAH YANG AKAN MUNCUL
a. Prilaku kekerasan
b. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
c. Perubahan persepsi sensori : halusinasi
d. Harga diri rendah kronis
e. Isolasi sosial
f. Berduka disfungsional
g. Penaktalaksanaan regimen terapeutik inefektif
h. Koping keluarga inefektif

III. A. POHON MASALAH


(EFEK) : Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

(CP) : Perilaku Kekerasan

(CAUSA) : Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji


Perilaku Kekerasan Subyektif:
1. Klien mengancam
2. Klien mengumpat dengan kata-kata kotor
3. Klien mengatakan dendam dan jengkel
4. Klien mengatakan ingin berkelahi
5. Klien menyalahkan dan menuntut
6. Klien meremehkan
Obyektif:
1. Wajah memerah dan tegang
2. Mata melotot
3. Tangan mengepal
4. Rahang mengatup
5. Postur tubuh kaku
6. Suara keras
Resiko mencederai diri sendiri, Subyektif:
orang lain dan lingkungan 1. Klien benci atau kesal pada seseorang
2. Klien suka membentak
3. Klien menyerang orang yang mengusiknya
jika sedang kesal atau marah
Obyektif:
1. Wajah agak merah
2. Mata merah
3. Nada suara tinggi dan keras
4. Pandangan tajam
5. Klien mengamuk
6. Klien merusak atau melempar barang-barang
7. Melakukan tindakan kekerasan pada orang di
sekitarnya
Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Subyektif:
Rendah 1. Klien merasa tidak berguna
2. Klien mengungkapkan perasaan
Obyektif:
1. Kehilangan minat melakukan aktivitas
2. Klien lebih suka sendiri dan bingung

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Perilaku Kekerasan

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan Umum: Klien tidak mencederai diri sendiri
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan
4. Klien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya
5. Klien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukannya
6. Klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku
kekerasan
7. Klien dapat mendemonstrasikan cara sosial untuk mencegah perilaku
kekerasan
8. Klien dapat mendemonstrasikan cara spiritua untuk mencegah perilaku
kekerasan
9. Klien dapat mendemonstrasikan kepatuhan minum obat untuk
mencegah perilaku kekerasan
10. Klien dapat mengikuti TAK: stimulasi persepsi pencegahan perilaku
kekerasan
11. Klien mendapat dukungan keluarga dalam melakukan cara pencegahan
perilaku kekerasan

VI. IMPLEMENTASI

KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi penyebab PK 1. Mendiskusikan masalah yang dirasaka
2. Mengidentifikasi tand gejala PK keluarga dalam merawat klien
3. Mengidentifikasi PK yang dilkukan 2. Menjelaskan pengertian PK, tanda
4. Menidentifikasi akibat PK gejala serta proses tejadinya PK
5. Menyebutkan cara mengontrol PK 3. Menjelaskan cara merawat klien
6. Membantu klien mempraktikkan latihan dengan PK
cara mengontrol PK
7. Mengnjurkan klien memasukkan dalam
kegiatan harian
SP 2 SP 2
1. Menevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
2. Melatih klien mengontrol PK dengan cara merawat klien dengan PK
fisik II 2. Melatih keluarga melakukan cara
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam merawat langsung kepada klien PK
kegiatan harian
SP 3 SP 3
1. Menevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat jadwal
2. Melatih klien mengontrol PK dengan cara aktivitas di rumah termasuk minum
verbal obat
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam 2. Menjelaskan follow up klien setelah
jadwal kegiatan harian pulang
SP 4
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Melatih klien mengontrol PK dengan cara
spiritual
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
SP 5
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Menjelaskan cara mengontrol PK dengan
minum obat
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL: MENARIK DIRI

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Isolasi Sosial: Menarik Diri

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. DEFINISI
Menarik diri merupakan sebuah representatif adanya kerusakan
interaksi sosial yang merupakan kesendirian yang dialami oleh individu
dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu keadaan
negatif yang mengancam. Kelainan interaksi sosial adalah suatu keadaan
dimana seorang individu beradaptasi dalam suatu kuantitas yang tidak
cukup/berlebihan kualitas interaksi sosial yang tidak efektif (Townsand,
1998). Perilaku menarik diri akan menghindari interaksi dengan orang
lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak
mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran dan prestasi
atau kegagalan. Ia mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara
spontan dengan orang lain, yang dimanivestasikan dengan sikap
memisahkan diri, tidak ada perhatian dan tidak sanggup membagi
pengalaman dengan orang lain ( Depkes, 1998 ).
2. ETIOLOGI
a. Faktor Predisposisi
Berbagai faktor yang bisa menimbulkan respon sosial yang maladaptif.
Walaupun banyak penelitian telah dilakukan pada gangguan yang
mempengaruhi hubungan interpersonal, tapi belum ada suatu
kesimpulan yang spesifik tentang penyebab gangguan ini (Nyamirah,
2012). Gangguan ini mungkin disebabkan oleh kombinasi berbagai
faktor seperti :
1) Faktor Psikologis (Perkembangan)
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan yang
diuraikan diatas akan mencetuskan sesorang sehingga mempunyai
masalah respons sosial maladaptif. Sistem keluarga yang terganggu,
tidak berhasil memisahkan dirinya dari orang tua, norma keluarga
tidak mendukung hubungan dengan pihak luar, peran keluarga tidak
jelas, orang tua pencandu alkohol dan penganiayaan anak.
2) Faktor Biologik
Faktor genetik dapat menunjang terhadap respons sosial maladaptif.
Ada bukti terdahulu tentang terlibat neurotranmiter dalam
perkembangan gangguan ini, namun masih tetap diperlukan
penelitian lebih lanjut.

3) Faktor Sosiokultural
Isolasi sosial merupakan faktor dalam gangguan berhubungan. Ini
akibat dari norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang
lain; atau tidak menghargai anggota masyarakat yang tidak
produktif, seperti : lansia, orang cacat, dan berpenyakit kronik.
Isolasi dapat terjadi karena mengadopsi norma, perilaku dan sistem
nilai yang berbeda dari kelompok budaya mayoritas. Harapan yang
tidak realistik terhadap hubungan merupakan faktor lain yang
berkaitan dengan gangguan ini.
b. Faktor Presipitasi
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang berprilaku
menarik diri (Stuart & Sudden, 1998). Faktor – faktor penyebab
tersebut dapat berasal dari berbagai stressor, antara lain :
1) Stressor fisik
- Mengalami kehilangan yang hebat seperti keguguran dapat
memicu perilaku menarik diri.
- Menderita penyakit kronik dapat mengakibatkan penderita malu
dan dia akan menarik diri dari orang lain.
2) Stressor psikologik
- Menarik diri dapat terjadi jika individu pada masa lalunya
mempunyai masalah dan mengakibatkan malu dan rasa sangat
bersalah.
- Kurang kepercayaan diri akan mengakibatkan seseorang
menarik diri
- Kurangnya cinta, kasih sayang dan perasaan kehilangan juga
dapat memicu terjadinya menarik diri.
3) Stressor intelektual
- Kurangnya pemahaman diri dan ketidakmampuan untuk berbagi
pikiran dan perasaan yang mengganggu perkembangan
hubungan dengan orang lain .
- Klien dengan “ kegagalan” dan tidak mampu untuk membangun
rasa kepercayaan dirinya akan beresiko untuk menarik diri .
4) Stressor sosio kultural
Kurangnya penghargaan atas dirinya dari lingkungan sekitarnya
dapat menyebabkan seseorang menarik diri, misalnya mendapat
perlakuan selalu di rendahkan oleh orang – orang di sekitarnya.
3. TANDA DAN GEJALA
Menurut Townsend, M.C (1998:152-153) & Carpenito,L.J (1998: 382)
isolasi sosial menarik diri sering ditemukan adanya tanda dan gejala
sebagai berikut:
Data objektif :
1. Apatis, ekspresi, afek tumpul.
2. Menghindar dari orang lain (menyendiri) klien tampak memisahkan
diri dari orang lain.
3. Komunikasi kurang atau tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-
cakap dengan klien lain atau perawat.
4. Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk.
5. Berdiam diri di kamar/tempat berpisah – klien kurang mobilitasnya.
6. Menolak hubungan dengan orang lain – klien memutuskan
percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap.
7. Tidak melakukan kegiatan sehari-hari, artinya perawatan diri dan
kegiatan rumah tangga sehari-hari tidak dilakukan.
8. Adanya perhatian dan tindakan yang tidak sesuai atau imatur
dengan perkembangan usianya.
9. Kegagalan untuk berinterakasi dengan orang lain didekatnya.
10. Kurang aktivitas fisik dan verbal.
11. Tidak mampu membuat keputusan dan berkonsentrasi
12. Mengekspresikan perasaan kesepian dan penolakan di wajahnya
Data Subjektif
Data subjektif sukar didapat jika klien menolak berkomunikasi,
beberapa data subjektif adalah menjawab dengan singkat kata-kata “tidak”,
“ya”, “tidak tahu” dan ada beberapa data yang didapat adalah :
1. Mengungkapkan rasa tidak berguna, penolakan oleh lingkungan
2. Mengungkapkan keraguan tentang kemampuan yang dimiliki
4. RENTANG RESPON
Menurut Stuart Sundeen (1998) rentang respons klien ditinjau dari
interaksinya dengan lingkungan sosial merupakan suatu kontinum yang
terbentang antara respons adaptif dengan maladaptif sbb:

Menyadari
Menyadari Menarik diri
Menarik diri
Otonomi Merasa sendiri
Merasa sendiri Ketergantungan
Otonomi
Bekerjasama Depedensi Ketergantungan
Manipulasi
Adaptif antara
Depedensi
Curiga maladaptif
Interdependent Curiga
Bekerjasama Manipulasi
Curiga
Interdependent
a. Rentang respon adaptif Curiga
Rentang respon adaptif merupakan respon individu dalam penyesuaian
masalah yang dapat di terima oleh norma-norma sosial dan kebudayaan.
1. Menyendiri (solitude) merupakan respon yang dibutuhkan seseorang
untuk merenungkan apa yang telah dilakukan di lingkungan
sosialnya dan suatu cara mengevaluasi diri untuk menentukan
langkah selanjutnya.
2. Otonomi merupakan kemampuan individu untuk menentukan dan
menyampaikan ide-ide pikiran, perasaan dalam hubungan sosial.
3. Bekerjasama (mutualisme) adalah suatu kondisi dalam hubungan
interpersonal dimana individu tersebut mampu untuk saling memberi
dan menerima.
4. Saling tergantung (interdependen) adalah suatu kondisi saling
tergantung antara individu dengan orang lain dalam membina
hubungan interpersonal.
b. Respon antara adaptif dan maladaptif
1. Aloness (Kesepian)
Individu mulai merasakan kesepian, terkucilkan dan tersisihkandari
lingkungan.
2. Withdrawl (Menarik diri)
Gangguan yang terjadi di mana seseorang menemukan kesulitan
dalammembina hubungan saling terbuka dengan orang lain, di mana
individu sengaja menghindarai hubungan interpersonal ataupun interaksi
dengan lingkungannya.
3. Dependence ( ketergantungan )
Individu mulai tergantung kepada individu yang lain dan mulai
tidak memperhatikan kemampuan yang di milikinya.
a. Respon maladaptif
Respon maladaptif merupakan suatu respon individu dalam
penyelesaian masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial dan
budaya lingkungannya. Respon maladaptif :
1. Loneliness ( kesepian )
Gangguan yang terjadi apabila seseorang memutuskan untuk
tidak berhubungan dengan orang lain.
2. Manipulasi
Pada gangguan hubungan sosial jenis ini orang lain diperlakukan
sebagai objek, hubungan terpusat pada masalah pengendalian orang
lain dan individu cendrung berorientasi pada diri sendiri atau tujuan,
bukan padaorang lain.
3. Implusif
Individu implusif tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak
mampu belajar dari pengalaman, tidak dapat di andalkan.
4. Narkisisme
Pada klien narkisme terdapat harga diri yang rapuh, secara terus
menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan pujian, sikap
egosentris, pencemburu, marah jika orang lain tidak mendukung.
5. Paranoid ( curiga )
Gangguan yang terjadi apabila seseorang gagal dalam
mengembangkanrasa percaya diri pada orang lain.

5. MEKANISME KOPING
Menurut Stuart & Laraia (2001), mekanisme koping digunakan klien
sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata
yang mengancam dirinya. Sedangkan contoh sumber koping yang dapat
digunakan misalnya keterlibatan dalam hubungan yang luas dalam
keluarga dan teman, hubungan dengan hewan peliharaan, menggunakan
kreativitas untuk mengekspresikan stress interpersonal seperti kesenian,
musik, atau tulisan. Mekanisme koping yang sering digunakan pada
menarik diri adalah:
1) Proyeksi
Keinginan yang tidak dapat ditoleransi dan mencurahkan emosi kepada
orang lain karena kesalahan yang dilakukan sendiri.
2) Regresi
Menghindari stres dan kecemasan dengan menampilkan perilaku
kembali seperti pada perkembangan anak.
3) Represi
Menekan perasaan atau pengalaman yang menyakitkan serta konflik
maupun ingatan dari kesadaran yang cenderung memperkuat
mekanisme ego lainnya.
6. AKIBAT
Beberapa hal yang dapat terjadi ketika seseorang mengalami gangguan
hubungan sosial menarik diri antara lain (Dalami, dkk. 2009):
1) Halusinasi ini merupakan salah satu orientasi realitas yang maladaptive,
dimana halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa
stimulus yang nyata, artinya klien menginterprestasikan sesuatu yang
nyata tanpa stimulus/ rangsangan eksternal.
2) Penurunan aktivitas sehingga dapat menyebabkan defisit perawatan diri,
, tidak dapat merawat diri sendiri karena individu merasa bahwa dirinya
sudah tidak berharga dan tidak ada gunanya lagi menjalani kehidupan
ini.
3) Gangguan komunikasi dengan orang lain terjadi karena dia takut untuk
berinteraksi dengan orang lain, kesulitan mengekspresikan perasaan,
dan tidak berminat berinteraksi dengan orang lain.
7. MASALAH YANG AKAN MUNCUL
Masalah yang sering muncul, yaitu:
1) Harga diri rendah
Salah satu penyebab dari menarik diri adalah harga diri rendah. Harga
diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. (Carpenito
1998).

2) Halusinasi
Klien dengan perilaku menarik diri dapat berakibat terjadinya risiko
perubahan sensori persepsi (halusinasi). Halusinasi adalah persepsi
panca indra tanpa ada rangsangan dari luar yang dapat mempengaruhi
semua sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu
itu baik (Carpenito 1998).

III. A. POHON MASALAH


(EFEK) : Risiko Perilaku Kekerasan

(CP) : Isolasi Sosial: Menarik Diri

(CAUSA) : Gangguan Konsep Diri: HDR

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji


Risiko Perilaku Kekerasan Subyektif:
1. Klien mengancam
2. Klien mengumpat dengan kata-kata kotor
3. Klien mengatakan dendam dan jengkel
4. Klien mengatakan ingin berkelahi
5. Klien menyalahkan dan menuntut
6. Klien meremehkan
Obyektif:
1. Wajah memerah dan tegang
2. Mata melotot
3. Tangan mengepal
4. Rahang mengatup
5. Postur tubuh kaku
6. Suara keras
Isolasi Sosial: Menarik Diri Subyetif:
1. Sukar didapati jika klien menolak
berkomunikasi. Beberapa data subyektif adalah
menjawab pertanyaan dengan singkat, seperti
kata-kata “tidak”, “iya”, “tidak tau”
2. Mengungkapkan perasaan tidak berguna dan
penolakan oleh lingkungan
3. Mengungkapkan keraguan tentang kemampuan
yang dimiliki.
Obyektif:
1. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
2. Menghindar dari orang lain (menyendiri)
3. Komunikasi kurang atau tidak ada
4. Tidak ada kontak mata, klien lebih sering
menunduk
5. Berdiam diri di kamar atau tempat terpisah
6. Menolak berhubungan dengan orang lain
7. Tidak melakukan kegiatan sehari-hari
Gangguan Konsep Diri: Harga Subyektif:
Diri Rendah 1. Klien merasa tidak berguna
2. Klien mengungkapkan perasaan
Obyektif:
1. Kehilangan minat melakukan aktivitas
2. Klien lebih suka sendiri dan bingung

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Isolasi Sosial: Menarik Diri

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan Umum: Klien dapat berinteraksi dengan orang lain secara optimal
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
2. Klien dapat menyebutkan penyebab, tanda dan gejala menarik diri
3. Klien dapat mengetahui keuntungan berhubungan dengan orang lain
4. Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap
5. Klien mampu menjelaskan perasaannya setelah berhubungan sosial
6. Klien mendapat dukungan dari keluarga dalam berhubungan dengan orang
lain
7. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik

VI. IMPLEMENTASI

KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi penyebab isolasi 1. Mendiskusikan masalah yang
sosial klien dirasakan keluarga dalam merawat
2. Berdiskusi dengan klien tentang
keuntungan berinteraksi dengan orang klien
lain 2. Menjelaskan pengertian, tanda dan
3. Berdiskusi dengan klien tentang gejala isolasi sosial yang dialami
kerugian tidak berinteraksi dengan klien beserta proses terjadinya
orang lain 3. Menjelaskan cara - cara merawat
4. Mengajarkan klien cara berkenalan klien isolasi sosial
dengan satu orang
5. Menganjurkan klien memasukkan
kegiatan latihan berbincang-bincang
dengan orang lain dalam kegiatan
harian
SP 2 SP 2
4. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Melatih keluarga mempraktekkan
klien cara merawat klien dengan isolasi
5. Memberikan kesempatan kepada klien sosial
mempraktekkan cara berkenalan 2. Melatih keluarga melakukan cara
dengan satu orang merawat langsung kepada klien
6. Membantu klien memasukkan kegiatan isolasi sosial
berbincang-bincang dengan orang lain
sebagai salah satu kegiatan harian
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Membantu keluarga membuat jadual
klien aktivitas dirumah termasuk minum
2. Memberikan kesempatan kepada klien obat (Discharge planning)
berkenalan dengan dua orang atau lebih 2. Menjelaskan follow up klien setelah
3. Menganjurkan klien memasukkan dalam pulang.
jadwal kegiatan harian

LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Defisit Perawatan Diri

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. DEFINISI
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna memepertahankan kehidupannya,
kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien
dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan
perawatan diri ( Depkes 2000). Defisit perawatan diri adalah gangguan
kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri (mandi, berhias,
makan, toileting) (Nurjannah, 2004). Personal hygiene adalah suatu
tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk
kesejahteraan fisik dan psikis (Menurut Poter. Perry (2005). Kurang
perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan
perawatan kebersihan untuk dirinya ( Tarwoto dan Wartonah 2000 ).
2. ETIOLOGI
a. Faktor Predisposisi
Menurut Depkes (2000), penyebab kurang perawatan diri adalah :
1) Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
2) Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
3) Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang
kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan
termasuk perawatan diri.
4) Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan
kemampuan dalam perawatan diri.
b. Faktor Presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas,
lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu
kurang mampu melakukan perawatan diri. Menurut Depkes (2000),
faktor – faktor yang mempengaruhi personal hygiene adalah:
1) Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi
kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga
individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
2) Praktik Sosial
Pada anak–anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
3) Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta
gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan
uang untuk menyediakannya.
4) Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan
yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada klien
penderita diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
5) Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
6) Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam
perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain – lain.
7) Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri
berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.
3. TANDA DAN GEJALA
Menurut Depkes (2000: 20) Tanda dan gejala klien dengan defisit
perawatan diri adalah:
3.1 Fisik
 Badan bau, pakaian kotor.
 Rambut dan kulit kotor.
 Kuku panjang dan kotor
 Gigi kotor disertai mulut bau
 penampilan tidak rapi
3.2 Psikologis
 Malas, tidak ada inisiatif.
 Menarik diri, isolasi diri.
 Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
3.3 Sosial
 Interaksi kurang.
 Kegiatan kurang
 Tidak mampu berperilaku sesuai norma.
 Cara makan tidak teratur BAK dan BAB di sembarang tempat,
gosok gigi dan mandi tidak mampu mandiri.
4. MACAM
a. Kurang perawatan diri : Mandi / kebersihan
Kurang perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan aktivitas mandi/kebersihan diri.
b. Kurang perawatan diri : Mengenakan pakaian / berhias.
Kurang perawatan diri (mengenakan pakaian) adalah gangguan
kemampuan memakai pakaian dan aktivitas berdandan sendiri.
c. Kurang perawatan diri : Makan
Kurang perawatan diri (makan) adalah gangguan kemampuan untuk
menunjukkan aktivitas makan.
d. Kurang perawatan diri : Toileting
Kurang perawatan diri (toileting) adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan atau menyelesaikan aktivitas toileting sendiri (Nurjannah :
2004, 79 ).

5. RENTANG RESPON

adaptif maladaptif

Pola perawatan Kadang Tidak melakukan


diri seimbang perawatan diri perawatan diri
kadang tidak saat stress
- Pola perawatan diri seimbang : saat klien mendapatkan stresor dan
mampu untuk berprilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan
klien seimbang, klien masih melakukan perawatan diri.
- Kadang perawatan diri kadang tidak: saat klien mendapatkan stresor
kadang – kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya,
- Tidak melakukan perawatan diri : klien mengatakan dia tidak peduli
dan tidak bisa melakukan perawatan saat stresor

6. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi 2 (Stuart
& Sundeen, 2000) yaitu :
1) Mekanisme koping adaptif
Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan,
belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah klien bisa memenuhi
kebutuhan perawatan diri secara mandiri
2) Mekanisme koping maladaptive
3) Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah
pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai
lingkungan. Kategorinya adalah tidak mau merawat diri.
7. AKIBAT
a. Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang
sering terjadi adalah : Gangguan integritas kulit, gangguan membran
mukosa mulut, infeksi pada mata dan telinga dan gangguan fisik pada
kuku.
b. Dampak psikososial.
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah
gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai,
kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan gangguan interakisosial.
8. MASALAH YANG SERING MUNCUL
a. Harga diri rendah
b. Isolasi diri
c. Defisit sosial
d. Defisit keperawatan diri

III. A. POHON MASALAH


(EFEK) : Resiko Gangguan Integritas Kulit

(CP) : Defisit Perawatan Diri

(CAUSA) : Isolasi Sosial: Menarik Diri

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji


Defisit Perawatan Diri Subyektif:
1. Klien merasa lemah
2. Malas beraktivitas
3. Merasa tidak berdaya
Obyektif:
1. Rambut kotor, acak-acakan
2. Badan dan pakaian kotor dan bau
3. Mulut dan gigi bau
4. Kulit kusam dan kotor
5. Kuku panjang dan tidak terawatt

Resiko Gangguan Integritas Subyektif:


Kulit Klien mengatakan saya tidak ammpu mandi, tidak
bisa melakuan apa-apa, ulit gatal-gatal
Obyektif:
Klien terlihat kurang memperhatikan kebersihan,
halitosis, badan bau, dermatitis pada kulit
Isolasi Sosial: Menarik Diri Subyektif:
Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa,
tidak tau apa-apa, bodoh, mengkritik diri sendiri,
mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri
Obyektif:
Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh
memilih alternative tindakan, apatis, menolak
berhubungan, kurang memperhatikan kebersihan

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Defisit Perawatan Diri

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan Umum: Klien tidak mengalami defisit perawatan diri
Tujuan Khusus:
1. Klien bisa membina hubungan saling percaya dengan perawat
2. Klien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
3. Klien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
4. Klien mampu melakukan makan dengan baik
5. Klien mampu melakukan BAK/BAB secara mandiri

VI. IMPLEMENTASI
KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi penyebab defisit perawatan 1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan
diri klien keluarga dalam merawat klien
2. Berdiskusi dengan klien tentang pentingnya 2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala
kebersihan diri defisit perawatan diri, dan jenis defisit
3. Berdiskusi dengan klien tentang cara menjaga perawatan diri yang dialami klien beserta
kebersihan diri proses terjadinya
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam 3. Menjelaskan cara-cara merawat klien
jadwal kegiatan harian defisit perawatan diri
SP 2 SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktekkan cara
2. Menjelaskan cara mandi yang baik merawat klien dengan defisit perawatan
3. Membantu klien mempraktekkan cara mandi diri
yang baik 2. Melatih keluarga melakukan cara
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam merawat langsung kepada klien defisit
jadwal kegiatan harian perawatan diri
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat jadual
2. Menjelaskan cara eliminasi yang baik aktivitas di rumah termasuk minum obat
3. Membantu klien mempraktekkan cara (discharge planning)
eliminasi yang baik dan memasukkan dalam 2. Menjelaskan follow up klien setelah
jadual pulang
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
SP 4
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Menjelaskan cara berdandan
3. Membantu klien mempraktekkan cara
berdandan
4. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian

LAPORAN PENDAHULUAN
PERUBAHAN PROSES PIKIR: WAHAM
I. KASUS (MASALAH UTAMA)
Perubahan Proses Pikir: Waham

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. DEFINISI
Waham adalah suatu keyakinan yang dipertahankan secara kuat
terus-menerus, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan (Budi Anna Keliat,
2006: 147). Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan
kenyataan, tetapi dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh
orang lain. Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang sudah
kehilangan kontrol (Depkes RI, 2000). Waham adalah keyakinan terhadap
sesuatu yang salah dan s
ecara kukuh dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain
dan bertentangan dengan realita normal (Stuart dan Sundeen, 1998)
Waham merupakan suatu keyakinan atau pikiran yang salah karena
bertentangan dengan kenyataan (dunia realitas), serta dibangun atas unsur-
unsur yang tak berdasarkan logika, namun individu tidak mau melepaskan
wahamnya walaupun ada bukti tentang ketidakbenaran atas keyakinan itu.
Keyakinan dalam bidang agama dan budaya tidak dianggap sebagai
waham. Waham adalah suatu keyakinan kokoh yang salah dan tidak sesuai
dengan fakta dan keyakinan tersebut mungkin “ aneh” (misal, mata saya
adalah komputer yang dapat mengontrol dunia) atau bisa pula “tidak aneh”
(hanya sangat tidak mungkin, misal, “ FBI mengikuti saya”) dan tetap
dipertahankan meskipun telah diperlihatkan bukti-bukti yang jelas untuk
mengoreksinya. Waham sering ditemui pada gangguan jiwa berat dan
beberapa bentuk waham yang spesifik sering ditemukan pada skizofrenia.
Semakin akut psikosis semakin sering ditemui waham disorganisasi dan
waham tidak sistematis.
2. ETIOLOGI
a. Faktor Predisposisi
1) Faktor Perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal
seseorang. Hal ini dapat meningkatkan stress dan ansietas yang
berakhir dengan gangguan persepsi, klien menekan perasaannya
sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif.
2) Faktor Sosial Budaya
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan
timbulnya waham.
3) Faktor Psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/bertentangan, dapat
menimbulkan ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap
kenyataan.
4) Faktor Biologis
Waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran
ventrikel di otak, atau perubahan pada sel kortikal dan limbic.
5) Faktor Genetik
b. Faktor Presipitasi
1) Biologis
Stressor biologis yang berhubungan dengan respon neurobiologis
yang maladaptive termasuk gangguan dalam putaran umpan balik
otak yang mengatur proses imformasi dan abnormalisasi yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk menanggapi rangsangan.
2) Stres Lingkungan
Secara biologis menetapkan ambang toleransi terhadap stres yang
berinteraksi dengan stressor lingkungan untuk menentukan
terjadinya gangguan prilaku.
3) Pemicu Gejala
Terdapat pada respon neurobiologis yang maladaptif yang
berhubungan dengan kesehatan, lingkungan, sikap dan prilaku
individu seperti gizi buruk, kurang tidur, infeksi, kelebihan rasa
bermusuhan atau lingkungan yang penuh kritik, gangguan dalan
berhubungan interpersonal, kesepian, kemiskinan, tekanan
pekerjaan dan sebagainya.
4) Stressor Sosial-Budaya
Stres dan kecemasan akan meningkat bila terjadi penurunan
stabilitas keluarga, perpisahan dengan orang yang paling penting,
atau diasingkan dari kelompok.
5) Faktor Biokimia
Penelitian tentang pengaruh dopamine, inorefinefrin, lindolomin,
zat halusinogen diduga berkaitan dengan orientasi realita
6) Faktor Psikologi
Intensitas kecemasan yang ekstrim dan menunjang disertai
terbatasnya kemampuan mengatasi masalah memungkinkan
berkurangnya orientasi realiata. Perasaan bersalah dan berdosa,
penghukuman diri, rasa tidak mampu, fantasi yang tak terkendali,
serta dambaan-dambaan atau harapan yang tidak kunjung sampai,
merupakan sumber dari waham.
3. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala dari perubahan isi pikir waham yaitu : klien
menyatakan dirinya sebagai seorang besar mempunyai kekuatan,
pendidikan atau kekayaan luar biasa, klien menyatakan perasaan dikejar-
kejar oleh orang lain atau sekelompok orang, klien menyatakan perasaan
mengenai penyakit yang ada dalam tubuhnya, menarik diri dan isolasi,
sulit menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain, rasa curiga yang
berlebihan, kecemasan yang meningkat, sulit tidur, tampak apatis, suara
memelan, ekspresi wajah datar, kadang tertawa atau menangis sendiri, rasa
tidak percaya kepada orang lain, gelisah. Menurut Kaplan dan Shadok
(1997):, tanda dan gejala waham:
1. Status Mental
a. Pada pemeriksaan status mental, menunjukkan hasil yang sangat
normal,kecuali bila ada sistem waham abnormal yang jelas.
b. Mood klien konsisten dengan isi wahamnya.
c. Pada waham curiga didapatkannya perilaku pencuriga
d. Pada waham kebesaran, ditemukan pembicaraan tentang peningkatan
identitas diri, mempunyai hubungan khusus dengan orang yang
terkenal
e. Adapun sistem wahamnya, pemeriksa kemungkinan merasakan
adanya kualitas depresi ringan
f. Klien dengan waham, tidak memiliki halusinasi yang
menonjol/menetap., kecuali pada klien dengan waham raba atau
cium. Pada beberapa klien kemungkinan ditemukan halusinasi
dengar.
2. Sensorium dan kognisi
a. Pada waham,tidak ditemukan kelainan dalam orientasi, kecuali yang
memiliki wham spesifik tentang waktu, tempat, dan situasi.
b. Daya ingat dan proses kognitif klien dengan intak (utuh)
c. Klien waham hampir seluruh memiliki insight (daya tilik diri) yang
jelek.
d. Klien dapat dipercaya informasinya, kecuali jika membahayakan
dirinya, keputusan yang terbaik bagi pemeriksa dalam menentukan
kondisi klien adalah dengan menilai perilaku masa lalu, masa
sekarang dan yang direncanakan.
Tanda dan gejala waham berdasarkan jenis waham menurut Keliat (2009):
a. Waham kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran
atau kekuasaan khusus dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
kenyataan. Misalnya, “saya ini pejabat departemen kesehatan lho!”
atau, “saya punya tambang emas”.Contoh : “ Saya ini titisan Bung
Karno, punya banyak perusahaan, punya rumah di berbagai negara dan
bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit”.
b. Waham curiga: Individu meyakini bahwa ada seseorang atau
kelompok yang berusaha merugikan/menceerai dirinya dan diucapkan
berulang kali, tetapitidak sesuai kenyataan. Contoh, “saya tahu seluruh
saudara saya ingin menghancurka hidup saya karena mereka iri dengan
kesuksesan saya”. Contoh lain, “ Banyak Polisi mengintai saya,
tetangga saya ingin menghancurkan hidup saya, suster akan meracuni
makanan saya “.
c. Waham agama: Individu memiliki keyakinan terhadap suatu agama
secara berlebihan dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
dengan kenyataan. Contoh, “kalau saya mau masuk surga, saya harus
menggunakan pakaian putih setip hari”.
d. Waham somatic: Individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya
terganggu atau terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan. Contoh, “saya sakit kanker”.
(Kenyataannya pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan tanda-
tanda kanker, tetapi klien terus mengatakan bahwa ia sakit kanker.).
Contoh : “ Sumsum Tulang saya kosong, saya pasti terserang kanker,
dalam tubuh saya banyak kotoran,tubuh saya telah membusuk, tubuh
saya menghilang”.
e. Waham nihilistik: Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada
didunia/meniggal dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
dengan keadaan nyata. Misalnya, “Ini kanalam kubur ya, semua yang
ada disini adalah roh-roh.”. Contoh: “Saya sudah menghilang dari
dunia ini ,semua yang ada di sini adalah roh-roh, sebenarnya saya
sudah tidak ada di dunia
4. MACAM
Waham dapat di klasifikasikan menjadi beberapa macam, menurut
Direja (2011) yaitu:
Jenis Waham Pengertian Perilaku Klien
“Saya ini pejabat di
Keyakinan secara berlebihan bahwa
kementrian Semarang!”
dirinya memiliki kekuatan khusus
“Saya punya perusahaan
Waham atau kelebihan yang berbeda dengan
paling besar lho”.
Kebesaran orang lain, diucapkan berulang-
ulang tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan.

Keyakinan terhadap suatu agama “ Saya adalah Tuhan yang


secara berlebihan, diucapkan bisa menguasai dan
Waham Agama
berulang-ulang tetapi tidak sesuai mengendalikan semua
dengan kenyataan. makhluk”.
Keyakinan seseorang atau “ Saya tahu mereka mau
sekelompok orang yang mau menghancurkan saya,
Waham Curiga merugikan atau mencederai dirinya, karena iri dengan
diucapkan berulang-ulang tetapi kesuksesan saya”.
tidak sesuai dengan kenyataan
Keyakinan seseorang bahwa tubuh “ Saya menderita kanker”.
atau sebagian tubuhnya terserang Padahal hasil pemeriksaan
Waham Somatik penyakit, diucapkan berulang-ulang lab tidak ada sel kanker
tetapi tidak sesuai dengan pada tubuhnya.
kenyataan.
Keyakinan seseorang bahwa dirinya “ Ini saya berada di alam
sudah meninggal dunia, diucapkan kubur ya, semua yang ada
Waham Nihilistik
berulang-ulang tetapi tidak sesuai disini adalah roh-rohnya.
dengan kenyataan.

5. FASE
Menurut Yosep (2009), proses terjadinya waham meliputi 6 fase, yaitu :
a. Fase Lack of Human Need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik
secara fisik maupun psikis. Secara fisik klien dengan waham dapat
terjadi pada orang-orang dengan status sosial dan ekonomi sangat
terbatas. Biasanya klien sangat miskin dan menderita. Keinginan ia
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk melakukan
kompensasi yang salah. Ada juga klien yang secara sosial dan ekonomi
terpenuhi tetapi kesenjangan antara realiti dengan self ideal sangat
tinggi.
b. Fase Lack of Self Esteem
Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan
antara self ideal dengan self reality (keyataan dengan harapan) serta
dorongan kebutuhan yang tidak terpenuhi sedangkan standar
lingkungan sudah melampaui kemampuannya.
c. Fase Control Internal External
Klien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa
yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak
sesuai dengan keyataan, tetapi menghadapi keyataan bagi klien adalah
suatu yang sangat berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan
untuk dianggap penting dan diterima lingkungan menjadi prioritas
dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak kecil
secara optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba memberikan koreksi
bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak
dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan
menjaga perasaan. Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi
tidak mau konfrontatif berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien
tidak merugikan orang lain.
d. Fase Environment Support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya
menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien
menganggap sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran
karena seringnya diulang-ulang. Dari sinilah mulai terjadinya kerusakan
kontrol diri dan tidak berfungsinya norma (super ego) yang ditandai
dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
e. Fase Comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan
mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat klien
menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya klien sering menyendiri
dan menghindari interaksi sosial (isolasi sosial).
f. Fase Improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap
waktu keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham
yang muncul sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau
kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai yang hilang). Waham
bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat
menimbulkan ancaman diri dan orang lain.
6. RENTANG RESPON

Respon Adaptif <-----------------------------------> Respon Maladaptif


Pikiran Logis Distorsi Pikiran Gangguan Pikiran
1. Persepsi Kuat 1. Ilusi 1. Sulit Berespon
2. Emosi Konsisten 2. Reaksi Emosi 2. Emosi
dengan Pengalaman Berlebihan 3. Perilaku kacau
3. Perilaku Sesuai
4. Berhubungan Sesuai
Rentang respon waham yaitu ada respon adaptif dan ada respon
maladaptif :
1. Respon adaptif terdapat pikiran yang logis. Dibagi beberapa bagian :
a. Persepsi Kuat
Dimana apa yang diyakini seseorang tersebut sangatlah kuat dan
tidak bisa di ganggu gugat, serta dapat dibuktikan kebenarannya.
b. Emosi Konsisten
Pengalaman bisa membuat seseorang mengalami atau mempunyai
emosi yang stabil atau tetap.
c. Perilaku sesuai
Perilaku tidak menyimpang dari kenyataan yang ada
d. Berhubungan sesuai
Dalam berhubungan antar teman dan keluarga berbeda, jadi
seharusnya dalam berhubungan kita harus dapat menyesuaikan diri.
2. Dalam rentang respon ada Distorsi pikiran, terdiri dari :
a. Ilusi
Keadaan proses berfikir yang tidak benar tentang mengartikan
suatu benda.
b. Reaksi Emosi
Dimana tingkat emosi seseorang meningkat, tidak lagi stabil atau
konstan.
3. Rentang respon maladaptif terdapat gangguan pikiran. Terbagi
beberapa masalah :
a. Sulit Berespon
Sesorang yang terganggu pikirannya akan susah sekali untuk diajak
berinteraksi.
b. Emosi
Dalam tingkatan ini emosi seseorang sudah tidak lagi bisa
terkontrol, dia mudah marah, dan mudah tersinggung.
c. Perilaku kacau
Dimana seseorang berprilaku tidak sesuai dengan keadaan, mereka
menunjukan prilaku yang sesuai dengan pola pikir mereka tersebut.
7. MEKANISME KOPING
Menurut Stuart and Laraia (2005), perilaku yang mewakili upaya untuk
melindungi klien dari pengalaman yang menakutkan berhubungan
dengan respon neurobiologis yang maladaptif meliputi :
1) Regresi
Berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
mengatasi ansietas.
2) Proyeksi
Sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi.
3) Penyangkalan
8. AKIBAT
Akibat dari waham Klien dapat terjadinya resiko mencederai diri, orang
lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang
kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan
lingkungan akibatnya dari harga diri yang rendah disertai harapan yang
suram, mungkin klien akan mengakhiri kehidupannya. ( Budi Anna Keliat,
1999).
9. MASALAH YANG AKAN MUNCUL
Masalah yang akan muncul yaitu:
a. Harga diri rendah
b. Isolasi diri
c. Gangguan identitas diri
d. Resiko perilaku kekerasan

III. A. POHON MASALAH


(EFEK) : Resiko Perilaku Kekerasan
(CP) : Perubahan Proses Pikir: Waham

(CAUSA) : Isolasi Sosial: Menarik Diri

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji


Perubahan Proses Pikir: Subyektif:
Waham Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya
tentang agama, kebesaran, kecurigaan, keadaan
dirinya berulang kali secara berlebihan tetapi tidak
sesuai dengan kenyataan
Obyektif:
Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga,
bermusuhan, merusak (diri orang lain,
lingkungan), takut, kadang panic, sangat waspada,
tidak tepat menilai lingkungan/ realistis, ekspresi
wajah klien tegang, mudah tersinggung
Isolasi Sosial: Menarik Diri Subyektif:
1. Klien mengatakan malas bergaul dengan
orang lain
2. Klien mengatakan dirinya tidak ingin
ditemani perawat dan meminta untuk
sendiri
3. Klien mengatakan tidak mau berbicara
dengan orang lain
4. Tidak mau berkomunikasi
Obyektif:
1. Kurang spontan
2. Apatis
3. Tidak merawat diri sendiri
4. Tida ada atau kurang komunikasi verbal
5. Rendah diri
6. Postur tubuh berubah
7. Kurang berenergi
Resiko Perilaku Kekerasan Subyektif:
1. Klien mengancam
2. Klien mengumpat dengan kata-kata kotor
3. Klien mengatakan dendam dan jengkel
4. Klien mengatakan ingin berkelahi
5. Klien menyalahkan dan menuntut
6. Klien meremehkan
Obyektif:
1. Wajah memerah dan tegang
2. Mata melotot
3. Tangan mengepal
4. Rahang mengatup
5. Postur tubuh kaku
6. Suara keras

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Perubahan Proses Pikir: Waham

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan Umum: Klien tidak mencederai diri sendiri dan orang lain
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab waham
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda dan gejala waham
4. Klien dapat mengidentifikasi waham yang biasa dirasakan
5. Klien dapat mengidentifikasi akibat waham
6. Klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah gangguan
identitas diri

VI. IMPLEMENTASI

KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Membantu orientasi realita 1. Membantu orientasi realita
2. Mendiskusikan kebutuhan 2. Mendiskusikan kebutuhan yang tidak
3. yang tidak terpenuhi terpenuhi
4. Membantu klien memenuhi kebutuhannya 3. Membantu klien memenuhi kebutuhannya
5. Menganjurkan klien memasukkan dalam 4. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian jadwal kegiatan harian
SP 2 SP 2
1. Mejadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
2. Berdiskusi tentang kemampuan yang merawat klien dengan waham
dimiliki 2. Melatih keluarga melakukan cara merawat
3. Melatih kemampuan yang dimiliki langsung kepada klien waham
SP 3 SP 3
1. Melatih keluarga mempraktikkan cara 1. Membantu keluarga membuat jadwal
merawat klien dengan waham aktivitas dirumah termasuk minum obat
2. Melatih keluarga melakukan cara merawat 2. Mendiskusikan sumber rujukan yang bisa
langsung kepada klien waham dijangkau keluarga

LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH
I. KASUS (MASALAH UTAMA)
Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. DEFINISI
Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan-perasaan tentang
diri atau kemampuan diri yang negatif, yang di ekspresikan secara
langsung atau tidak langsung (Townsend. 1998. hal: 138). Harga diri
rendah adalah dimana keadaan individu mengalami evaluasi diri negatif
yang mengenal diri atau kemampuan dalam waktu lama (Carpenitto,
Lynda Juall. 2001. hal: 356). Harga diri rendah adalah segala rasa kurang
berharga yang timbul karena ketidak mampuan psikologis atau social yang
dirasa secara subjektif, ataupun karena jasmani yang kurang sempurna
(Sunaryo, 2004. hal: 108).
Dapat disimpulkan bahwa harga diri rendah merupakan suatu
keadaan dimana seseorang menolak dirinya sendiri, merasa bahwa dirinya
tidak berharga, dan merasa bahwa dirinya tidak dapat bertanggung jawab
atas kehidupan karena dirinya tidak berhasil meraih apa yang menjadi cita-
citanya dan tidak dapat menyesuaikan tingkah lakunya dalam kehidupan
sehari-hari (mekanisme koping maladaptif) sehingga timbul perasaan yang
menganggap dirinya selalu kurang sempurna.
2. ETIOLOGI
a. Faktor Predisposisi (Stuard and Sudeen, 1998):
Adapun faktor predisposisi yang dapat menyebabkan harga diri rendah
adalah sebagai berikut:
1. Penolakan orang tua;
2. Harapan orang tua yang tidak realistis;
3. Kegagalan yang berulang kali;
4. Kurang mempunyai tanggung jawab personal;
5. Ketergantungan pada orang lain; dan
6. Ideal diri tidak realistis.
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dari gangguan konsep diri: harga diri rendah menurut
Keliat, (1992: 16) adalah situasi atau stressor dapat mempengaruhi
konsep diri dan komponennya terdiri dari:
1. Penolakan dan kurang penghargaan diri dari orang tua dan orang
yang berarti;
2. Pola asuhan anak yang tidak tepat atau dituruti, dilarang, dituntut;
3. Kesalahan dan kegagalan berulang kali;
4. Cita-cita yang tidak dapat dicapai; dan
5. Gagal bertanggung jawab terhadap diri sendiri.
3. TANDA DAN GEJALA
Menurut Stuart and Sundeen (1998) Perilaku yang berhubungan dengan
harga diri rendah adalah:
1. Mengkritik diri sendiri dan orang lain
Hal ini terjadi akibat individu yang merasa dirinya kurang sempurna
sehingga akan timbul penurunan produktivitas sebab asumsi diri yang
tidak berguna maka timbul penurunan destruktif yang di arahkan ke
orang lain, orang lain merasa lebih dari dirinya yang mengakibatkan
gangguan dalam berhubungan, perasaan tidak mampu dan selalu merasa
bersalah
2. Mudah tersinggung atau marah yang berlebihan
Sesorang akan mudah tersinggung (marah) jika mereka selalu
mempunyai perasaan negatif terhadap dirinya, terjadi ketegangan peran,
pandangan hidup yang pesimis sampai pada keluhan fisik.
3. Pandangan hidup yang bertentangan
Pandangan yang demikian akan menjadikan penolakan terhadap
kemampuan personal dan destruktif yang mengarah pada diri sendiri,
pengurangan diri, menarik diri secara sosial, penyalahgunaan obat yang
dilakukan mengakibatkan kecemasan.
4. Psikopatologi
Diawali dengan individu merasa malu terhadap diri sendiri karena
kegagalan yang dialaminya. Kemudian akan merasa bersalah akan
dirinya sendiri, menyalahkan atau mengejek diri sendiri karena
menganggap bahwa dirinya tidak berarti. Setelah individu merasa
dirinya tidak berguna maka akan mengasingkan diri kemudian individu
mengalami rasa kurang percaya diri dan individu sukar untuk mengmbil
keputusan bagi dirinya sendiri. Hal ini mengakibatkan individu bisa
menarik diri, mengalami halusinasinya mencederai diri sendiri atau
orang lain. Tanda – tanda tersebut merupakan akibat dari harga diri
rendah.
Menurut Keliat (1999) tanda dan gejala yang dapat muncul pda klien harga
diri rendah adalah:
1. Perasaan kurang percaya diri dengan kemampuan yang dimiliki;
2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri berkaitan dengan individu yang
selalu gagal dalam meraih sesuatu;
3. Merendahkan martabat diri sendiri (menganggap dirinya berada
dibawah orang lain);
4. Isolasi sosial seperti menarik diri dari masyarakat;
5. Sukar mengambil keputusan karena cenderung bingung dan ragu-ragu
dalam memilih sesuatu;
6. Mencederai diri sendiri sebagai akibat harga diri yang rendah disertai
harapan yang suram sehingga memungkinkan untuk mengakhiri
kehidupan;
7. Mudah tersinggung atau marah yang berlebihan;
8. Perasaan negatif mengenai dirinya sendiri;
9. Ketegangan peran yang dirasakan beruhubungan dengan peran atau
posisi yang diharapkan dimana individu mengalami frustrasi;
10. Pandangan hidup pesimis;
11. Keluhan fisik misalnya darah tinggi, individu mangalami cacat secara
fisik;
12. Penolakan terhadap kemampuan personal;
13. Destruktif terhadap diri sendiri;
14. Penyalahgunaan zat atau NARKOBA dan PSIKOTROPIKA;
15. Khawatir dan menghukum atau menolak diri sendiri;
16. Menghindari kesenangan yang dapat memberi rasa puas;
17. Perasaan tidak mampu dan penurunan produktivitas;
18. Banyak menunduk serta tidak mampu menatap lawan bicara; dan
19. Perasaan malu pada diri sendiri akibat penyakit dan akibat terhadap
tindakan penyakit. Misalnya malu dan sedih karena rambut menjadi
rontok (botak) karena pengobatan akibat penyakit kronis seperti
kanker.
4. RENTANG RESPON
Rentang harga diri rendah secara umum adalah sebagai berikut:
1. Aktualisasi diri
Pengungkapan pertanyaan atau kepuasan dari konsep diri positif.
2. Konsep diri positif
Dapat menerima kondisi dirinya sesuai dengan yang diharapkannya dan
sesuai dengan kenyataan.
3. Harga diri rendah
Perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri merasa
gagal mencapai keinginan.
4. Kerancunan identitas
Ketidakmampuan individu mengidentifikasi aspek psikologi pada masa
dewasa, sifat kepribadian yang bertentangan perasaan hampa dan lain-
lain.
5. Depersonalisasi
Merasa asing terhadap diri sendiri, kehilangan identitas misalnya malu
dan sedih karena orang lain
5. MEKANISME KOPING TERHADAP HARGA DIRI
Seseorang yang mengalami permasalahan pasti akan mencoba untuk
menyelesaikan masalahnya atau dalam kata lain seseorang tersebut akan
merespon masalah tersebut dengan mekanisme koping. Respon koping
akan menjadi adaptif jika seseorang bisa memecahkannya melalui:
1. Aktualisasi Diri
Adalah kesadaran akan diri berdasarkan atas observasi mandiri
termasuk persepsi saat lalu akan diri dan perasaannya.
2. Konsep diri positif
Menunjukkan individu akan sukses dalam menghadapi hidupnya.
Sebaliknya, jika seseorang tidak dapat menyelesaikan permasalahannya
sehingga mereka tidak dapat beradaptasi dengan masalah dan
lingkungannya maka respon yang dilakukan adalah respon maladaptif.
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menghadapi masalah
dimana individu tidak dapat memecahkan masalah tersebut. Adapun
respon maladaptif terjadi akibat gangguan konsep diri adalah:
1. Gangguan konsep diri
Adalah transisi antara respon konsep diri adaptif dan maladaptif.
2. Kerancuan identitas
Identitas diri kacau atau tidak jelas sehingga tidak memberikan
kehidupan dalam mencapai tujuan.
3. Depersonalisasi
Yaitu mempunyai kepribadian yang kurang sehat, tidak dapat
berhubungan dengan orang lain secara intim, tidak ada rasa percaya
diri, dan tidak dapat membina hubungan dengan orang lain.
6. MASALAH YANG AKAN MUNCUL
1. Harga diri rendah
2. Koping individu tidak efektif
3. Isolasi social
4. Perubahan persepsi sensori : halusinasi
5. Resiko tinggi perilaku kekerasan

III. A. POHON MASALAH


(EFEK) : Isolasi Sosial: Menarik Diri

(CP) : Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

(CAUSA) : Koping individu inefektif

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji


Koping individu inefektif Subyektif:
1. Mengungkapkan ketidakmampuan untuk mengatasi
masalah atau meminta bantuan
2. Mengungkapkan perasaan khawatir dan cemas yang
berkepanjangan
3. Mengungkapkan ketidakmampuan menjalankan peran
Obyektif:
1. Perubahan partisipasi dalam masyarakat
2. Peningkatan ketergantungan
3. Memanipulasi orang lain di sekitarnya untuk tujuan-
tujuan memenuhi keinginan sendiri
4. Menolak mengikuti aturan-aturan yang berlaku
5. Perilaku destruktif yang diarahkan pada diri sendiri
dan orang lain
6. Memanipulasi verbal/ perubahan dalam pola
komunikasi
7. Ketidak mampuan untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan dasar
8. Penyalahgunaan obat terlarang
Gangguan Konsep Diri: Harga Subyektif:
Diri Rendah 1. Klien mengatakan bahwa dirinya tidak percaya diri
2. Klien mengatakan dirinya tidak berguna
Obyektif:
1. Klien sering terlihat melamun
2. Klien terlihat tidak percaya diri
3. Saat wawancara klien selalu merendahan diri
Isolasi Sosial: Menarik Diri Subyetif:
Sukar didapati jika klien menolak berkomunikasi. Beberapa
data subyektif adalah menjawab pertanyaan dengan singkat,
seperti kata-kata “tidak”, “iya”, “tidak tau”
Obyektif:
1. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
2. Menghindar dari orang lain (menyendiri), klien nampa
memisahkan diri dari orang lain, misalnya pada saat makan
3. Komunikasi kurang atau tidak ada. Klien tidak tampak
bercakap-cakap dengan klien lain/perawat
4. Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan Umum: Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
3. Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan
4. Klien dapat menetapkan (merencanakan) kegiatan sesuai dengan kondisi
sakit dan kemampuannya
5. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada

VI. IMPLEMENTASI

KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek 1. Mendiskusikan masalah ynag dirasakan
positif yang dimiliki klien keluarga dalam merawat klien
2. Membantu klien menilai kemampuan klien 2. Menjelaskan pengertian, tanda gejala harga
yang masih dapat digunakan diri rendah yang dialami klien beserta proses
3. Membantu klien memilih kegiatan yang terjadinya
akan dilatih sesuai dengan kemampuan 3. Menjelaskan cara-cara merawat klien harga
klien diri rendah
4. Melatih klien sesuai dengan kemampuan
yang dipilih
5. Memberikan pujian yang wajar terhadap
keerhasilan klien
6. Menganjurkan klien memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
SP 2 SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
2. Melatih kemampuan kedua merawat klien dengan harga diri rendah
3. Menganjurkan klien memasukkan kedalam 2. Melatih keluarga melakukan cara merawat
jadwal kegiatan harian langsung kepada klien harga diri rendah
SP 3
1. Membantu keluarga membuat jadwal
aktivitas di rumah termasuk minum obat
2. Menjelaskan follow up klien setelah pulang
LAPORAN PENDAHULUAN
RISIKO BUNUH DIRI

I. KASUS (MASALAH UTAMA)


Risiko Bunuh Diri
II. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. DEFINISI
Bunuh diri secara umum mudah dimengerti sebagai suatu tindakan
aktif seseorang untuk mengakhiri hidupnya dengan berbagai cara. Bunuh
diri adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk membunuh diri
sendiri (Videbeck, 2008). Bunuh diri adalah segala perbuatan dengan
tujuan untuk membinasakan dirinya sendiri dan yang dengan sengaja
dilakukan oleh seseorang yang tahu akan akibatnya yang mungkin pada
waktu yang singkat. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terakhir
dari individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008).
Pikiran bunuh diri biasanya muncul pada individu yang mengalami
gangguan mood, terutama depresi. Bunuh diri adalah tindakan yang
dilakukan dengan sengaja untuk membunuh diri sendiri. Edwin
Shneidman (1963, 1981), seorang peneliti bunuh diri yang ternama,
mendefinisikan dua kategori bunuh diri yaitu langsung dan tidak langsung.
Bunuh diri langsung adalah tindakan yang disadari dan disengaja untuk
mengakhiri hidup seperti pengorbanan diri (membakar diri), menggantung
diri, menembak diri, meracuni diri, melompat dari tempat yang tinggi,
meneggelamkan diri, atau sufokasi. Sedangkan bunuh diri tidak langsung
adalah keinginan tersembunyi yang tidak disadari untuk mati, yang
ditandai dengan perilaku kronis berisiko seperti penyalahgunaan zat,
makan berlebihan, aktivitas seks bebas, ketidakpatuhan terhadap program
medis, dan olahraga atau pekerjaan yang membahayakan.
Upaya bunuh diri adalah suatu tindakan bunuh diri yang gagal
dilakukan atau tidak berhasil dilakukan sampai selesai. Pada jenis terakhir,
invidu tidak menyelesaikan tindakan bunuh diri karena berhasil ditolong
orang lain, atau tindakan bunuh diri selesai dilakukan, tetapi individu
berhasil diselamatkan (Roy, 2000).
2. ETIOLOGI
a. Faktor Predisposisi
Lima factor predisposisi yang menunjang pada pemahaman perilaku
destruktif-diri sepanjang siklus kehidupan adalah sebagai berikut :
1. Diagnosis Psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan
cara bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan
jiwa yang dapat membuat individu berisiko untuk melakukan
tindakan bunuh diri adalah gangguan afektif, penyalahgunaan zat,
dan skizofrenia.
2. Sifat Kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya
resiko bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.
3. Lingkungan Psikososial
Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya
adalah pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial,
kejadian-kejadian negatif dalam hidup, penyakit krinis, perpisahan,
atau bahkan perceraian. Kekuatan dukungan social sangat penting
dalam menciptakan intervensi yang terapeutik, dengan terlebih
dahulu mengetahui penyebab masalah, respons seseorang dalam
menghadapi masalah tersebut, dan lain-lain.
4. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan
factor penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan
tindakan bunuh diri.
5. Faktor Biokimia
Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko bunuh diri
terjadi peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak sepeti
serotonin, adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat
dilihat melalui ekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph
(EEG).
b. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan yang
dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup
yang memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah
perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal/gagal melakukan hubungan berarti, kegagalan
beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stress, perasaan
marah/bermusuhan, bunuh diri ,menrupakn hukuman pada diri
sendiri, cara untuk mengakhiri keputusan, melihat atau membaca
melalui media mengenai orang yang melakukan bunuh diri ataupun
percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal
tersebut menjadi sangat rentan.
3. TANDA DAN GEJALA
Menurut Carpenito, 1998 dan Keliat, 1993 tanda dan gejalanya adalah:
a. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat
tindakan terhadap penyakit. Misalnya : malu dan sedih karena rambut
jadi botak setelah mendapat terapi sinar pada kanker
b. Rasa bersalah terhadap diri sendiri. Misalnya : ini tidak akan terjadi
jika saya segera ke rumah sakit, menyalahkan/ mengejek dan
mengkritik diri sendiri
c. Merendahkan martabat. Misalnya : saya tidak bisa, saya tidak mampu,
saya orang bodoh dan tidak tahu apa-apa
d. Gangguan hubungan sosial, seperti menarik diri. Klien tidak ingin
bertemu dengan orang lain, lebih suka sendiri
e. Percaya diri kurang. Klien sukar mengambil keputusan, misalnya
tentang memilih alternatif tindakan
f. Mencederai diri. Akibat harga diri yang rendah disertai harapan yang
suram, mungkin klien ingin mengakhiri kehidupan
Tanda dan gejala dari resiko bunuh diri lainnya yaitu :
1. Pernah melakukan atau mengkhayal bunuh diri
2. Cemas
3. Depresi
4. Ungkapan keinginan bunuh diri
5. Riwayat keluarga bunuh diri
6. Perasaan tidak berdaya dan tidak berguna
Tanda dan Gejala Resiko Bunuh Diri Pada Remaja
1. Remaja mengancam akan bunuh diri misalnya “Aku harap aku mati
saja”: “Aku tidak punya apa-apa yang membuat aku tetap hidup,”
2. Sudah pernah ada percobaan bunuh diri sebelumnya, sekecil apapun.
Empat dari lima orang yang melakukan bunuh diri sebelumnya telah
melakukan sedikitnya satu percobaan bunuh diri.
3. Tersirat unsur-unsur kematian dalam music, seni, dan tulisan-tulisan
pribadinya
4. Kehilangan anggota keluarga, binatang peliharaan, atau pacar akibat
kematian, diabaikan, atau putusnya suatu hubungan.
5. Gangguan dalam keluarga, seperti tidak memiliki pekerjaan,
penyakit serius, pindah, perceraian.
6. Gangguan tidur dan kebiasaan makan, serta dalam kebersihan diri.
7. Menurunnya nilai-nilai di sekolah dan hilangnya minat terhadap
sekolah atau kegiatan yang sebelumnya dianggap penting.
8. Perubahan pola tingkah laku yang dramatis, misalnya remaja yang
senang sekali berteman dan berkumpul dengan banyak orang
berubah menjadi pemalu dan menarik diri.
9. Perasaan murung, tidak berdaya, dan putus asa yang mendalam.
10. Menarik diri dari anggota keluarga dan teman, merasa disingkirkan
oleh orang yang bearti baginya.
11. Membuang atau memberikan semua hadiah-hadiah miliknya dan
sebaliknya mulai menata rapi.
12. Serangkaian kecelakaan atau tingkah laku beresiko yang tidak
terencana; penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan; mengabaikan
keselamatan diri; menerima tantangan yang berbahaya. (Dalam
hubungan dengan penyalahgunaan obat-obatan dan alcohol, telah
terjadi peningkatan yang dramatis selama beberapa tahun
belakangan ini sehubungan dengan jumlah remaja yang melakukan
bunuh diri pada saat sedang di abawah pengaruh alkohol atau obat-
obatan terlarang)
4. MACAM
Menurut Durkheim, bunuh diri dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Bunuh diri egoistic (faktor dalam diri seseorang)
Individu tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat, ini disebabkan
oleh kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadikan
individu itu seolah-olah tidak berkepribadian. Kegagalan integrasi
dalam keluarga dapat menerangkan mengapa mereka tidak menikah
lebih rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan
mereka yang menikah.
2. Bunuh diri altruistic (terkait kehormatan seseorang)
Individu terkait pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung
untuk bunuh diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu
kelompok, ia merasa kelompok tersebut sangat mengharapkannya.
3. Bunuh diri anomik (faktor lingkungan dan tekanan)
Hal ini terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan integrasi antara
individu dan masyarakat, sehingga individu tersebut meninggalkan
norma-norma kelakuan yang biasa. Individu kehilangan pegangan dan
tujuan. Masyarakat atau kelompoknya tidak memberikan kepuasan
padanya karena tidak ada pengaturan atau pengawasan terhadap
kebutuhan-kebutuhannya.
5. FASE
Menurut Stuart, 2006, tahapannya adalah sebagai berikut :
1. Suicidal ideation
Pada tahap ini merupakan proses contemplasi dari suicide, atau sebuah
metoda yang digunakan tanpa melakukan aksi atau tindakan, bahkan
klien pada tahap ini tidak akan mengungkapkan idenya apabila tidak
ditekan. Walaupun demikian, perawat perlu menyadari bahwa klien
pada tahap ini memiliki pikiran tentang keinginan untuk mati.
2. Suicidal intent
Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah melakukan perencanaan
yang konkrit untuk melakukan bunuh diri.
3. Suicidal threat
Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan hasrat
yang dalam bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya.
4. Suicidal gesture
Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang diarahkan
pada diri sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam
kehidupannya tetapi sudah pada percobaan untuk melakukan bunuh
diri. Tindakan yang dilakukan pada fase ini pada umumnya tidak
mematikan, misalnya meminum beberapa pil atau menyayat pembuluh
darah pada lengannya. Hal ini terjadi karena individu memahami
ambivalen antara mati dan hidup dan tidak berencana untuk mati.
Individu ini masih memiliki kemauan untuk hidup, ingin
diselamatkan, dan individu ini sedang mengalami konflik mental.
Tahap ini sering dinamakan “Crying for help” sebab individu ini
sedang berjuang dengan stress yang tidak mampu diselesaikan.
5. Suicidal attempt
Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang mempunyai indikasi
individu ingin mati dan tidak mau diselamatkan misalnya minum obat
yang mematikan. Walaupun demikian banyak individu masih
mengalami ambivalen akan kehidupannya.
6. RENTANG RESPON

Respon adaptif Respon maladaptif


Peningkatan diri Destruktif diri tidak langsung Pencederaan diri
Beresiko destruktif Bunuh diri
(YoseP, 2009)
1) Peningkatan diri. Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau
pertahanan diri secara wajar terhadap situasional yang membutuhkan
pertahanan diri. Sebagai contoh seseorang mempertahankan diri dari
pendapatnya yang berbeda mengenai loyalitas terhadap pimpinan
ditempat kerjanya.
2) Beresiko destruktif. Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap
situasi yang seharusnya dapat mempertahankan diri, seperti seseorang
merasa patah semangat bekerja ketika dirinya dianggap tidak loyal
terhadap pimpinan padahal sudah melakukan pekerjaan secara optimal.
3) Destruktif diri tidak langsung. Seseorang telah mengambil sikap yang
kurang tepat (maladaptif) terhadap situasi yang membutuhkan dirinya
untuk mempertahankan diri. Misalnya, karena pandangan pimpinan
terhadap kerjanya yang tidak loyal, maka seorang karyawan menjadi
tidak masuk kantor atau bekerja seenaknya dan tidak optimal.
4) Pencederaan diri. Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau
pencederaan diri akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.
5) Bunuh diri. Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai
dengan nyawanya hilang.
7. MEKANISME KOPING
Seseorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme koping
yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk denial,
rasionalization, regression, dan magical thinking. Mekanisme pertahanan
diri yang ada seharusnya tidak ditentang tanpa memberikan koping
alternatif. Perilaku bunuh diri menunjukkan kegagalan mekanisme
koping. Ancaman bunuh diri mungkin menunjukkan upaya terakhir untuk
mendapatkan pertolongan agar dapat mengatasi masalah. Bunuh diri yang
terjadi merupakan kegagalan koping dan mekanisme adaptif pada diri
seseorang.
8. AKIBAT
Klien dengan resiko bunuh diri dapat melakukan tindakan-tindakan
berbahaya atau mencederai dirinya, orang lain maupun lingkungannya,
seperti menyerang orang lain, memecahkan perabot, membakar rumah,
dan lain-lain.
9. MASALAH YANG AKAN MUNCUL
Masalah yang timbul, yaitu:
a. Harga diri rendah
Salah satu penyebab dari risiko bunuh diri adalah harga diri rendah. Harga
diri rendah adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri (carpenito,
1998).

III. A. POHON MASALAH


(EFEK) : Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

(CP) : Risiko Bunuh Diri

(CAUSA) : Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

B. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI

Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji


Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Subyektif:
Rendah 1. Mengungkapkan ingin diakui jati
dirinya
2. Mengungapkan tidak ada lagi
yang peduli
3. Mengungkapan tidak bisa apa-apa
4. Mengungkapkan dirinya tidak
berguna
5. Mengkritik diri sendiri
Obyektif:
1. Merusak diri sendiri
2. Merusak orang lain
3. Menarik diri dari hubungan sosial
4. Tampak mudah tersinggung
5. Tidak mau makan dan tidak tidur
Risiko Bunuh Diri Subyektif:
Klien menyatakan ingin bunuh diri/ ingin
mati saja, taka da gunanya hidup
Obyektif:
Ada isyarat bunuh diri, ada ide bunuh diri,
pernah mencoba bunuh diri
Resiko mencederai diri sendiri, orang Subyektif:
lain dan lingkungan Klien marah dan jengkel kepada orang
lain, ingin membunuh, ingin membakar,
atau mengacak-acak lingkungan
Obyektif:
Klien mengamuk, merusak, dan melempar
barang-barang, melakukan tindakan
kekerasan pada orang-orang disekitarnya

IV. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Risiko Bunuh Diri

V. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan Umum: Klien tidak mencederai diri sendiri
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat terlindung dari perilaku bunuh diri
3. Klien dapat mengekspresikan perasaannya
4. Klien dapat meningkatkan harga diri
5. Klien dapat menggunakan koping yang adaptif
6. Klien dapat menggunakan dukungan sosial
7. Klien dapat menggunakan obat dengan benar dan tepat

VI. IMPLEMENTASI

KLIEN KELUARGA
SP 1 SP 1
1. Mengide 1.
ntifikasi benda-benda yang dapat keluarga dalam merawat klien
membahayakan klien 2.
2. Mengam resiko bunuh diri dan jenis prilaku
ankan benda-benda yang dapat bunuh diri yang dialami klien beserta
membahayakan klien proses terjadinya menjelaskan cara-cara
3. Melakuk merawat klien resiko bunuh diri
an kontrak treatment 3.
4. Mengajar resiko bunuh diri
kan cara mengendalikan dorongan
bunuh diri
5. Melatih
cara mengendalikan dorongan bunuh
diri
SP 2 SP 2
1. 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
2. merawat klien dengan resiko bunuh diri
positif terhadap diri 2. Melatih keluarga melakukan cara
3. merawat langsung kepada klien resiko
sebagai individu yang berharga dunuh diri

SP 3 SP 3
1. Mengidentivikasi pola koping yang 1. Membantu keliarga membuat jadwal
biasa diterapkan klien aktivitas dirumah termasuk minum obat
2. Menilai pola koping yang biasa 2. Mendiskusikan sumber rujukan yang
dilakukan biasa dijangkau oleh keluarga
3. Mengidentifikasi pola koping yang
konstruktif
4. Mendorong klien memilih pola koping
yang konstruktif
5. Menganjurkan klien menerapkan pola
koping konstruktif dalam kegiatan
harian
SP 4
1. Membuat rencana masa depan yang
realistis bersama klien
2. Mengidentifikasi cara mencapai
rencana masa depan yang realistis
3. Memberi dorongan klien melakukan
kegiatan dalam rangka meraih masa
depan yang realistis
DAFTAR PUSTAKA

Aziz R, dkk. 2003. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang: RSJD Dr.
bahasa Indonesia, Tiara Mahatmi N. 2003. Buku Saku Psikiatri Edisi 6.
Bandung : RSJP Bandung

Brooker, Chris. 2008. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: EGC

Captain. 2008. Psikologi untuk Keperawatan. Penerbit Buku kedokteran. Jakarta:


EGC.

Carpenito. J. Lynda. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta.


EGC.

Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.

Doenges, E Marilynn, et all. 2006. Rencana Usaha Keperawatan Psikiatri edisi 3.


Jakarta: Jakarta

Hibbert, Allison, Alice Godwin, & Frances Dear. 2004. Rujukan Cepat Psikiatri.
Jakarta: EGC

Jardri, Renaud et al. 2013. The Neuroscience of Hallucinations. New


York:Springer

Keliat, Budi Anna & Akemat. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas.
Jakarta: EGC

Keliat, Budi Anna et all. 2007. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN
Basic Course. Jakarta: EGC.

Keliat, Budi Anna. 2009. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Keliat, Budi Anna. Akemat. 2007. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta: EGC

Kusumawati, Farida. Hartono, Yudi. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.

Luh Ketut Suryani, Cokorda Bagus Laya Lesmana. 2008. Hidup Bahagia :
Perjuangan Melawan Kegelapan Edisi Pertama. Pustaka Obor Populer :
Jakarta

Maramis, W. F,. 2005. Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 9. Surabaya: Airlangga


University Pres.

Purba, dkk. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial
dan Gangguan Jiwa. Medan : USU Press
Semiun, Yustinus. 2006. Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: Kanisius

Stuart & Sundeen. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC.

Stuart dan Laraia. 2001. Principle and Practice Of Psychiatric Nursing. 6ed. St.
Louis: Mosby Year Book

Suliswati, dkk. (2005). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta.


EGC.

Sunaryo. 2004. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.

Tim Pengembang MPKP RS Marzoe Mahdi Bogor. (2002). Standar Operasional


(SOP) Rencana Keperawatan Jiwa. Semarang.

Townsend, Mary. C. 2000. Psychiatric Mental Health Nursing Concepts Of Care.


3ed. Philadelphia: F. A. Davis Company

Videbeck S., L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Penerbit Buku Kedokteran.
Jakarta: EGC

Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa. edisi revisi . Bandung: Refika Aditama.

Yosep. Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai