1) Fase akut.
Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Dalam fase awal
penderita akan mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas),
breathing (mekanisme bernafas), dan circulation (sirkulasi). Gangguan
airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat setelah
terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran pernafasan akibat
cedera inhalasi dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah
penyebab kematian utama penderita pada fase akut. Pada fase akut
sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat cedera
termal yang berdampak sistemik.
2) Fase sub akut
Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi
adalah kerusakan atau kehilangan jaringan akibat kontak denga
sumber panas. Luka yang terjadi menyebabkan :
a) Proses inflamasi dan infeksi.
b) Problem penutupan luka dengan titik perhatian pada Luka telanjang
atau tidak berbaju epitel luas dan atau pada struktur atau organ -
organ fungsional.
c) Keadaan hipermetabolisme.
3) Fase lanjut
Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut
akibat luka dan pemulihan fungsi organorgan fungsional. Problem yang
muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang hipertropik,
keloid, gangguan pigmentasi, deformitas dan kontraktur
5. Luas Luka Bakar
Luas luka tubuh dinyatakan sebagai persentase terhadap luas
permukaan tubuh atau Total Body Surface Area (TBSA). Untuk
menghitung secara cepat dipakai Rules of Nine atau Rules of Walles dari
Walles. Perhitungan cara ini hanya dapat diterapkan pada orang dewasa,
karena anak-anak mempunyai proporsi tubuh yang berbeda. Pada anak-
anak dipakai modifikasi Rule of Nines menurut Lund and Browder, yaitu
ditekankan pada umur 15 tahun, 5 tahun dan 1 tahun.
Komplikasi
1. Segera
Sindrom kompartemen dari luka bakar sirkumferensial (
luka bakar pada ekstremitas iskemia ekstremitas, luka bakar
pada toraks hipoksia dari gagal napas restriktif) ( cegah dengan
eskaratomi segera).
2. Awal
a. Infeksi ( waspadai steptococcus ) obati infeksi yang timbul (
10% organisme pada biopsi luka ) dengan antibiotik sistemis.
b. Ulkus akibat stres ( ulkus cerling) ( cegah dengan antasida,
broker H2 atau inhibitor pompa proton profilaksis)
c. Hiperkalsemia ( dari sitolisis pada luka bakar luas). Obati
dengan insulin, dekstrosa.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien luka bakar sesuai dengan kondisi dan
tempat pasien dirawat melibatkan berbagai lingkungan perawatan dan
disiplin ilmu antara lain mencakup penanganan awal (ditempat kejadian),
penanganan pertama di unit gawat darurat, penanganan di ruangan
intensif dan bangsal. Tindakan yang dilakukan antara lain terapi cairan,
fisioterapi dan psikiatri pasien dengan luka bakar memerlukan obat-
obatan topikah karena eschar tidak dapat ditembus dengan pemberian
obat antibiotik sistemis. Pemberian obatobatantopikah anti mikrobial
bertujuan tidak untuk mensterilkan luka akan tetapi untuk menekan
pertumbuhan mikroorganisme dan mengurangi kolonisasi, dengan
pemberian obat-obatan topikah secara tepat dan efektif dapat
mengurangi terjadinya infeksi luka dan mencegah sepsis yang sering kali
masih terjadi penyebab kematian pasien.
1. Tatalaksana resusitasi luka bakar
1. Primary Survey
Setiap pasien luka bakar harus dianggap sebagai pasien trauma, sehingga
harus dicek airway, breathing, circulation, disability, dan exposure terlebih
dahulu.
a) Airway
Moenadjat (2009), pada luka bakar ditemukan adanya sumbatan
akibat edema mukosa jalan nafas ditambah sekret yang diproduksi
berlebihan (hiperekskresi) dan mengalami pengentalan. Apabila terdapat
kecurigaan adanya trauma inhalasi, maka segera pasang Endotracheal
Tube (ET). Tandatanda adanya trauma inhalasi adalah : terkurung dalam
api, luka bakar pada wajah, bulu hidung yang terbakar, sputum yang hitam.
b) Breathing
Eschar yang melingkari dada dapat menghambat pergerakan dada
untuk bernapas, segera lakukan escharotomi. Periksa juga apakah ada
trauma-trauma lain yang dapat menghambat pernapasan, misalnya
pneumothorax, hematothorax, dan fraktur costae. Kaji pergerakan
dinding thorax simetris atau tidak, ada atau tidaknya kelainan pada
pernafasan misalnya dispnea, takipnea, bradipnea, ataupun sesak. Kaji
juga apakah ada suara nafas tambahan seperti snoring, gargling,
rhonki atau wheezing. Selain itu kaji juga kedalaman nafas pasien.
c) Circulation
Kaji ada tidaknya penurunan tekanan darah, kelainan detak jantung
misalnya takikardi, bradikardi. Kaji juga ada tidaknya sianosis dan
capilar refil memanjang. Kaji juga kondisi akral dan nadi pasien. Luka
bakar menimbulkan kerusakan jaringan sehingga menimbulkan edema,
pada luka bakar yang luas dapat terjadi syok hipovolumik karena
kebocoran plasma yang luas
d) Disability Moenadjat (2009), pada pasien enurunan kesadaran,
kehilangan sensasi dan refleks, pupil anisokor dan nilai GCS
e) Exposure Moenadjat (2009), pada pasien dengan luka bakar terdapat
hipertermi akibat inflamasi.
2) Secondary Survey
Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap yang
dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang.
a) Monitor tanda-tanda vital
b) b) Pemeriksaan fisik
c) c) Lakukan pemeriksaan tambahan
Lanjutan...
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien
yang merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien
meliputi keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat
medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem. (Emergency Nursing
Association, 2007).
a) Keluhan Utama : Luas cedera akibat dari intensitas panas (suhu) dan
durasi pemajanan, jika terdapat trauma inhalasi ditemukan keluhan
stridor, takipnea, dispnea, dan pernafasan seperti bunyi burung gagak
(Kidd, 2010).
b) Riwayat Penyakit Sekarang : Mekanisme trauma perlu diketahui karena
ini penting, apakah penderita terjebak dalam ruang tertutup, sehingga
kecurigaan terhadap trauma inhalasi yang dapat menimbulkan obstruksi
jalan nafas. Kapan kejadiannya terjadi (Sjaifuddin, 2006).
Lanjutan...
c) Riwayat Penyakit Dahulu : Penting dikaji untuk menetukan apakah
pasien mempunyai penyakit yang tidak melemahkan kemampuan
untuk mengatasi perpindahan cairan dan melawan infeksi (misalnya
diabetes mellitus, gagal jantung kongestif, dan sirosis) atau bila
terdapat masalah-masalah ginjal, pernapasan atau gastro intestinal.
Beberapa masalah seperti diabetes, gagal ginjal dapat menjadi akut
selama proses pembakaran. Jika terjadi cedera inhalasi pada
keadaan penyakit kardiopulmonal (misalnya gagal jantung kongestif,
emfisema) maka status pernapasan akan sangat terganggu (Hudak
dan Gallo, 1996).
d) Riwayat Penyakit Keluarga : kaji riwayat penyakit keluarga yang
kemungkinan bisa ditularkan atau diturunkan secara genetik kepada
pasien seperti penyakit DM, hipertensi, asma, TBC dll.
Lanjutan...
e) Review of System
(1) Aktivitas/istrahat Tanda : penurunan kukuatan tahanan : keterbatasan
rentang gerak pada area yang sakit, gangguan massa otot perubahan
tonus.
(2) Sirkulasi Tanda ( dengan cedera luka bakar lebih dari 20% APTT)
hipotensi (Syok), penurunan nadi perifer distal pada ekstremitas yang
cidera, vasokontriksi perifer umum dengan kehilangan nadi, kulit putih
dan dingin (Syok listrik).
(3) Intergritas Ego Tanda : angietas, menangis, ketergantungab, menyangkal,
menarik diri, marah. Gejala : masalah tentang keluarga , pekerjaan,
keuangan dan kecacatan.
(4) Eliminasi Tanda : haluaran urine menurun/tak ada selama fase darurat
warna, mungkin hitam kemerahan bila terjadi myoglobin mengindikasikan
kerusakan otot dalam.
(5) Makanan dan cairan Tanda : edema jaringan umum, anoreksia,
mual/muntah.
Lanjutan...
(6) Neurosensori Tanda : perubahan orientasi, afek, perilaku, penurunan reflex
tendun dalam (RTD) pada cidera ekstremitas, aktivitas kejang (syok) .
laserasi korneal, kerusakan retina, penurunan ketajaman (syok) Gejala :
area kebas dan terbakar
(7) Nyeri/ keamanan Gejala : berbagai nyeri contoh luka bakar derjat
pertama secara ekstrem sensitive untuk disentuh, ditekan,digerakan udara
dan perubahan suhu,luka bakar ketebalan sedang serajat dua sangat
nyeri, sementara respon pada luka bakar ketebalan derajat dua
tergantung pada keluahan ujung syaraf, luka bakar derajat tiga tidak
nyeri.
(8) Pernapasan Gejala : terkurung dalam ruang tertutup, terpejam laam,
(kemungkinan cidera inhalasi) Tanda : serak, baatuk mangi, partikel
karbon dalam sputum, ketidakmampuan menelan sekresi orsng dsn
sianosis indikasi ceodera inhalsa. Pengembanagan thoraks mungkin
terbatas pada adanya luka bakar lingkar dada. Jalan napas atas stridor
/mengi (obstruksi sehubungan dengn llaringosis spasme, edema laringeali,
bunyi napas,generic (edema paaru), strider (edema laringeal) secret jalan
napas dalam (rochi).
Lanjutan...
(9) Keamanan Tanda : kulit umum : distraksi jaringan dalam mungkin tidak
terbukti selama 3-5 hari sehubungan dengan proses thrombus mikro
vaskuler pada beberapa luka. Area kulit tak terbakar mungkin
dingin/lembab, pucat,dengan pengisian kapiler lambat kehilangan
cairan/status syok.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu kesimpulan yang dihasilkan
dari analisa data (Carpenito, 2009). Diagnosa keperawatan adalah
langkah kedua dari proses keperawatan yang menggambarkan
penilaian klinis tentang respon individu, keluarga, kelompok maupun
masyarakat terhadap permasalahan kesehatan baik aktual maupun
potensial. Dimana perawat mempunyai lisensi dan kompetensi untuk
mengtasinya (Sumijatun, 2010).
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang jelas, singkat dan
pasti tentang masalah pasien yang nyata serta penyebabnya dapat
dipecahkan atau diubah melalui tindakan keperawatan menurut Gordon
(1982, dalam Dermawan, 2012).
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane
kapiler alveolar
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan adanya
obstruksi jalan nafas
Lanjutan...
3) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera (mis, biologis, zat kimia, fisik
psikologi)
4) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan agen cedera
5) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
6) Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
7) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan ketahanan tubuh
dan penurunan kekuatan otot
8) Resiko infeksi ditandai dengan pertahanan primer tidak adekuat; kerusakan
perlindungan kulit; jaringan traumatic. Pertahanan sekunder tidak adekuat;
penurunan Hb, penekanan respons inflamasi
9) Ansietas berhubungan dengan krisis situsional dengan hospitalisasi
Fokus Intervensi
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan keracunan
karbonmonoksida,obstruksitrakeobronkial, keterbatasan
pengembangan dada (Doenges, 2000).
Intervensi :
a. Awasi frekuensi, irama, kedalaman napas
b. Berikan terapi O2 sesuai pesanan dokter
c. Berikan pasien dalam posisi semi fowler bila mungkin
d. Pantau AGD, kadar karbonsihemoglobin
e. Dorongan batuk atau latihan nafas dalam dan perubahan
posisi
Lanjutan...
Intervensi
a. Pantau tanda-tanda vital
b. Pantau dan catat masukan dan haluaran cairan
c. Berikan pengganti cairan intravena dan elektrolit (kolaborasi)
d. Timbang berat badan setiap hari
e. Awasi pemeriksaan laboratorium (Hemoglobin,
Hematokrit,Elektrolit).
Lanjutan...
Intervensi :
a. Kaji warna, sensasi, gerakan dan nadi perifer
b. Tinggikan ekstremitas yang sakit dengan tepat
c. Berikan dorongan untuk melakukan ROM aktif
d. Hindari memplester sekitar yang terbakar
e. Kolaborasi ; pertahankan penggantian cairan perprotokol
Lanjutan...
Intervensi :
a. Pertahankan jumlah kalori ketat
b. Berikan makanan sedikit tapi sering
c. Timbang berat badan setiap hari
d. Dorong orang terdekat untuk menemani saat makan
e. Berikan diet tinggi protein dan kalori
f. Kolaborasi dengan ahli gizi
Lanjutan...
Intervensi :
a. Kaji terhadap keluhan nyeri lokasi, karakteristik, dan intensitas
(skala 0- 10)
b. Anjuran teknik relaksasi
c. Pertahanan suhu lingkungan yang nyaman
d. Jelaskan setiap prosedur tindakan pada pasien
e. Kolaborasi pemberian analgetik
Lanjutan...
Intervensi :
a. Kaji atau catat ukuran, warna, kedalaman luka terhadap iskemik
b. Berikan perawatan luka yang tepat
c. Pertahankan tempat tidur bersih, kering
d. Pertahankan masukan cairan 2500-3000 ml/Hr e. Dorong
keluarga untuk membantu dalam perawatan diri
Lanjutan...
Intervensi :
a. Kaji ROM dan kekuatan otot pada area luka bakar
b. Pertahankan area luka bakar dalam posisi fungsi fisiologis
c. Beri dorongan untuk melakukan ROM aktif tiap 2-4 jam
d. Jelaskan pentingnya perubahan posisi dan gerakan pada pasien
Kolaborasi dengan ahli fisioterapi dalam rehabilitasi
Implementasi Keperawatan
Setelah dilakukan perumusan tahapan-tahapan intervensi dalam
perencanaan keperawatan, maka selanjutnya dilakukan proses
implementasi, yaitu melakukan tahapan-tahapan intervensi tersebut.
Pelaksanaan implementasi ini dilakukan dengan melibatkan pasien dan
keluarga ataupun dengan tim kesehatan lain. Pelaksanaan atau
implementasi adalah fase tindakan dari proses keperawatan yang terkait
dengan pelaksanaan rencana yang berfokus pada proses penyembuhan
pasien(Anderson & McFarlane, 2007). Implementasi berguna untuk
mencapai tujuan yang telah dibuat. Selain itu, implementasi intervensi
keperawatan berfungsi untuk meningkatkan, memelihara, atau memulihkan
kesehatan, mencegah penyakit, dan memfasilitasi rehabilitasi.
Evaluasi
Sebagai tahap terakhir dari proses keperawatan dilakukan evaluasi
yang tidak hanya sekedar melaporkan intervensi keperawatan telah
dilakukan, namun juga untuk menilai apakah hasil yang diharapkan sudah
terpenuhi (Potter & Perry, 2009).
Majid & Prayogi (2013), Evaluasi adalah penilaian keberhasilan rencana
keperawatan dalam memenuhi kebutuhan pasien. Pada pasien Combustio
dapat dinilai hasil pelaksanaan perawatan dengan melihat catatan
perkembangan, hasil pemeriksaan pasien, melihat langsung keadaan dari
keluhan pasien, yang timbul sebagai masalah. Evaluasi dapat dilihat 4
kemungkinan yang menentukan tindakan yang menentukan tindakan
perawatan selanjutnya antara lain:
1) Apakah pelayanan keperawatan sudah tercapai atau belum
2) Apakah masalah yang ada telah terpecahkan/teratasi atau belum
3) Apakah maslah sebagian terpecahkan/tidak dapat di pecahkan
4) Apakah tindakan dilanjutkan atau perlu pengkajian ulang.
REHABILITASI
Tata laksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (KFR) pada
luka bakar bertujuan untuk mencapai pemulihan fungsional
semaksimal mungkin, mencegah disabilitas sekunder dan alih
fungsi atau adaptasi fungsi pada disabilitas permanen. Penentuan
target tata laksana KFR ditentukan berdasarkan ekstensifikasi
dan derajat berat luka bakar meliputi kedalaman luka di tingkat
kutan dan subkutan, kedalaman luka di tingkat otot dan tendon
dengan prognosis pemulihan baik serta kedalaman luka di tingkat
otot dan tendon dengan prognosis pemulihan buruk. Program
tata laksana KFR diberikan sedini mungkin setelah hemodinamik
stabil dimulai sejak fase akut.
Fokus dalam program tata laksana KFR pada luka bakar
a. Atrofi otot dan berkurangnya kekuatan, ketahanan, keseimbangan
dan koordinasi otot akibat imobilisasi.
b. Berkurangnya Lingkup Gerak Sendi (LGS) akibat deposisi jaringan
fibrosa dan adhesi jaringan lunak di sekitar sendi akibat imobilisasi.
c. Ankilosis dan deformitas akibat parut hipertrofik atau kontraksi
jaringan lunak seperti jaringan parut, tendon, kapsul sendi dan otot
akibat imobilisasi.
d. Rekondisi kardiorespirasi, pneumonia hipostatik, trombosis vena dalam
(DVT) dan ulkus dekubitus akibat imobilisasi.
e. Terapi adjuvan untuk membantu penyembuhan luka bakar, kontrol
infeksi luka dan edema ekstremitas.
f. Terapi adjuvan untuk memperbaiki gejala akibat jaringan parut dan
luka seperti parestesia dan nyeri.
g. Penurunan kemampuan dalam melakukan Aktivitas Kehidupan Sehari-
hari (AKS), belajar dan bekerja akibat luka bakar
h. Tindak lanjut dalam pelayanan rawat jalan setelah pasien keluar dari
rumah sakit.
Program tata laksana KFR pada luka bakar fase akut
Fase akut pada luka bakar merupakan gejala dan tanda proses inflamasi,
nyeri, peningkatan edema yang terjadi sampai 36 jam pasca-cedera,
respon hipermetabolik yang meningkat sampai 5 hari pasca-cedera, serta
sintesis dan remodeling kolagen. Tujuan program KFR pada fase ini
meliputi :
1) Mengurangi risiko komplikasi : salah satunya mengurangi edema yang
dapat mengganggu sirkulasi perifer dan merupakan predisposisi
terjadinya kontraktur
2) Mencegah terjadinya deformitas
3) Mempercepat proses penyembuhan (protect/promote healing
process)
Bagian Tubuh Kontraktur Posisi yang Alat bantuan untuk pengaturan posisi
yang umum disarankan
terjadi
Leher Fleksi Sedikit ekstensi Neck collar, splint yang bentuknya sesuai
(conform) dengan leher, tidak menaruh bantal
di bawah leher
Bahu Aduksi • Aduksi horisontal 15° Airplane splint Wedge splint untuk membantu
• abduksi 80° memposisikan dalam kondisi abduksi Jika
seluruh ekstremitas atas terkena dapat dibantu
dengan alat berikut untuk menahan
ekstremitas atas:
-meja di samping tempat tidur
-side board/bedside extension
Siku Fleksi atau Ekstensi 5° Arm trough splint Elbow extension splint
ekstensi
Pergelangan Fleksi atau Netral atau sedikit Wrist cock up splint Bagian dari resting hand
Tangan (Wrist) ekstensi dorsal ekstensi splint
Sendi Hiperekstens Fleksi 70-80° Resting hand splint
metakarpofala
ngeal (MCP) i
Bagian Tubuh Kontraktur yang Posisi yang Alat bantuan untuk pengaturan posisi
umum terjadi disarankan
Pergelangan Kaki Plantarfleksi 90° Posisi netral Posterior slab (back slab) dengan ankle dalam
(Ankle) Dorsifleksi, posisi netral, L/Nard; PRAFO-like devices
plantarfleksi
Inversi/versi
Sendi Dorsifleksi Netral, ekstensi
metatarsofalange jari-jari kaki,
al supinasi/pronasi
Mulut Microstomia
1. Program Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (KFR) diberikan sedini mungkin, dimulai A
sejak kondisi hemodinamik stabil (hari kedua).
2. Diperlukan asesmen komprehensif dan uji fungsi, termasuk pemeriksaan penunjang A
medik untuk menegakkan diagnosis fungsional berdasarkan ICF (International
Classification of Functioning, Disability and Health).
3. Selama masa perawatan, pasien luka bakar harus diposisikan secara kontinyu B
dengan proper positioning untuk mencegah kontraktur sehingga mencapai aktivitas
fungsional yang optimal.
4. Penggunaan splint penting diberikan untuk mencapai target posisi sendi yang B
diharapkan
5. Pemberian terapi modalitas fisik sesuai indikasi dan kontraindikasi B
6. Pemberian terapi latihan sesuai indikasi dan kontraindikasi B
7. Pemberian Ortosis Prostesis & Assisstive Devices seuai indikasi dan kontraindikasi B
8. Luka bakar yang luas dengan luka hipertrofik harus diberikan terapi penekanan C
dengan silikon sebagai manajemen lini pertama.
9. Terapi tekanan harus diterapkan sebelum memilih manajemen operatif jika luka C
belum matur, kecuali jika luka memiliki efek yang mempengaruhi fungsi pada pasien
dan beresiko terjadinya kontraktur.
Daftar Pustaka
Ekawati, Mulya. 2019. MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN
KEGAWATDARURATAN PADA TN“S” DENGAN DIAGNOSA MEDIS ELECTRICAL
BURN INJURY GRADE III 6 % DAN GRADE IIB 1 % DI INSTALASI GAWAT
DARURAT LUKA BAKAR RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR.
Makassar, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Panakukang.
https://stikespanakkukang.ac.id/assets/uploads/alumni/a401769495b3b03c
d272f8ce183ba19e.pdf
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/KMK_No__HK_01_07-
MENKES-555-
2019_ttg_Pedoman_Nasional_Pelayanan_Kedokteran_Tata_Laksana_Luka_
Bakar.pdf
THANK
YOU
Credit from SlideGo