Anda di halaman 1dari 54

Luka Bakar

Nama Dosen : Hepta Nur Anugrahini, S.Kep., Ns., M.Kep.

Nama : Andwani Lina Sugendi


NIM : P270820720052
Kelas : Reg B
Konsep Penyakit
Pengertian
Luka bakar adalah perlukaan yang disebabkan karena kontak atau
terpapar dengan zat termal, Chemical, elektrik, atau radiasi yang
menyebabkan luka bakar (Luckmanandsorensen”s, 1993)
Luka bakar merupakan perlukaan pada daerah kulit dan jaringan epitel
lainnya (Donna, 1991).
Luka bakar adalah sejenis cedera pada daging atau kulit yang disebabkan oleh
panas, listrik, zat kimia, gesekan atau radiasi. Luka bakar yang hanya
mempengaruhi kulit bagian luar dikenal dengan luka bakar superfisial atau derajat
1. Bila cedera menebus beberapa lapisan dibawanya, hal ini disebut luka bakar
sebagian lapisan kulit luar atau derajat II. Pada luka bakar yang mengenai seluruh
lapisan kulit atau derajat III, cedera meluas ke seluruh lapisan kulit. Sedangkan
luka bakar derajat IV melibatkan cedera kejaringan yang lebih dalam, seperti otot
atau tulang.
Etiologi
Luka bakar disebabkan oleh dari sumber panas ke tubuh. Panas
tersebut mungkin di pindahkan melalui konduksi atau radiasi
elektromagnetik. Berbagai faktor dapat menjadi penyebab luka
bakar, beratnya luka bakar juga dipengaruhi oleh cara dan lamanya
kontak dengan sumber panas (misalnya suhu benda yang membakar,
jenis pakaian yang terbakar, sumber panas: api, air panas dan minyak
panas), listrik, zat kimia, radiasi, kondisi ruangan saat terjadi
kebakaran dan ruangan yang tertutup.
Manifestasi Klinis
1. Beratnya luka bakar tergantung kepada jumlah jaringan
yang terkena dan kedalaman luka :
a. Luka bakar derajat I
Merupakan luka bakar yang paling ringan. Kulit yang
terbakar menjadi merah,nyeri, sangat sensitif terhadap sentuhan
dan lembab, atau membengkak.Jika ditekan , daerah yang
terbakar akan memutih, belum terbentuk lepuh
b. Luka bakar derajat II
Menyebabkan kerusakan yang lebih dalam. Terjadi
kerusakan epidermis dan dermis. Kulit melepuh, dasarnya
tampak merah, atau keputihan dan terisi oleh cairan kental
yang jernih. Jika disentuh warnanya berubah menjadi putih
dan terasa nyeri
c. Luka bakar derajat III
Menyebabkan kerusakan yang paling dalam.Seluruh epidermis
dan dermis telah rusak dan telah pula merusak jaringan di
bawahnya (lemak atau otot). Permukaannya bisa berwarna
putih dan lembut atau berwarna hitam, hangus dan
kasar.Kerusakan sel darah merah pada daerah yang terbakar
bisa menyebabkan luka bakar berwarna merah terang.
2. Kedalaman Luka Bakar

1) Luka bakar derajat I


a) Kerusakan terjadi pada lapisan epidermis
b) Kulit kering, hiperemi berupa eritema
c) Tidak dijumpai bulla
d) Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi
e) Penyembuhan terjadi spontan dalam waktu 5-10 hari

2) Luka bakar derajat II


Tampak bullae, dasar luka kemerahan (derajat IIA), dasar pucat
keputihan (derajat IIB), nyeri hebat terutama pada derajat IIA.
3) Luka bakar derajat III
a) Kerusakan meliputi seluruh lapisan dermis dan lapisan yang lebih
dalam.
b) Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar
sebasea mengalami kerusakan
c) Tidak dijumpai bulae.
d) Kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat. Karena kering
letaknya lebih rendah dibanding kulit sekitar
e) Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang dikenal
sebagai eskar.
f) Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, oleh karena ujung- ujung
saraf sensorik mengalami kerusakan / kematian.
g) Penyembuhan terjadi lama karena tidak terjadi proses epitelisasi
spontan dari dasar luka.
3. Berdasarkan tingkat keseriusan luka :

1) Luka bakar ringan/minor


a) Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa
b) Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut
c) Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai
muka, tangan, kaki, dan perineum.

2) Luka bakar sedang (moderate burn)


a) Luka bakar dengan luas 15 – 25 % pada dewasa, dengan luka bakar
derajat III kurang dari 10 %
b) Luka bakar dengan luas 10 – 20 % pada anak usia < 10 tahun atau
dewasa > 40 tahun, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %
c) Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa yang
tidak mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum
3) Luka bakar berat (major burn)

a) Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di


atas usia 50 tahun
b) Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada butir
pertama
c) Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum
d) Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa
memperhitungkan luas luka bakar
e) Luka bakar listrik tegangan tinggi
f) Disertai trauma lainnya
g) Pasien-pasien dengan resiko tinggi.
4. Fase - Fase Luka Bakar

1) Fase akut.
Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Dalam fase awal
penderita akan mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas),
breathing (mekanisme bernafas), dan circulation (sirkulasi). Gangguan
airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat setelah
terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran pernafasan akibat
cedera inhalasi dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah
penyebab kematian utama penderita pada fase akut. Pada fase akut
sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat cedera
termal yang berdampak sistemik.
2) Fase sub akut
Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi
adalah kerusakan atau kehilangan jaringan akibat kontak denga
sumber panas. Luka yang terjadi menyebabkan :
a) Proses inflamasi dan infeksi.
b) Problem penutupan luka dengan titik perhatian pada Luka telanjang
atau tidak berbaju epitel luas dan atau pada struktur atau organ -
organ fungsional.
c) Keadaan hipermetabolisme.

3) Fase lanjut
Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut
akibat luka dan pemulihan fungsi organorgan fungsional. Problem yang
muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang hipertropik,
keloid, gangguan pigmentasi, deformitas dan kontraktur
5. Luas Luka Bakar
Luas luka tubuh dinyatakan sebagai persentase terhadap luas
permukaan tubuh atau Total Body Surface Area (TBSA). Untuk
menghitung secara cepat dipakai Rules of Nine atau Rules of Walles dari
Walles. Perhitungan cara ini hanya dapat diterapkan pada orang dewasa,
karena anak-anak mempunyai proporsi tubuh yang berbeda. Pada anak-
anak dipakai modifikasi Rule of Nines menurut Lund and Browder, yaitu
ditekankan pada umur 15 tahun, 5 tahun dan 1 tahun.
Komplikasi
1. Segera
Sindrom kompartemen dari luka bakar sirkumferensial (
luka bakar pada ekstremitas iskemia ekstremitas, luka bakar
pada toraks hipoksia dari gagal napas restriktif) ( cegah dengan
eskaratomi segera).

2. Awal
a. Infeksi ( waspadai steptococcus ) obati infeksi yang timbul (
10% organisme pada biopsi luka ) dengan antibiotik sistemis.
b. Ulkus akibat stres ( ulkus cerling) ( cegah dengan antasida,
broker H2 atau inhibitor pompa proton profilaksis)
c. Hiperkalsemia ( dari sitolisis pada luka bakar luas). Obati
dengan insulin, dekstrosa.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien luka bakar sesuai dengan kondisi dan
tempat pasien dirawat melibatkan berbagai lingkungan perawatan dan
disiplin ilmu antara lain mencakup penanganan awal (ditempat kejadian),
penanganan pertama di unit gawat darurat, penanganan di ruangan
intensif dan bangsal. Tindakan yang dilakukan antara lain terapi cairan,
fisioterapi dan psikiatri pasien dengan luka bakar memerlukan obat-
obatan topikah karena eschar tidak dapat ditembus dengan pemberian
obat antibiotik sistemis. Pemberian obatobatantopikah anti mikrobial
bertujuan tidak untuk mensterilkan luka akan tetapi untuk menekan
pertumbuhan mikroorganisme dan mengurangi kolonisasi, dengan
pemberian obat-obatan topikah secara tepat dan efektif dapat
mengurangi terjadinya infeksi luka dan mencegah sepsis yang sering kali
masih terjadi penyebab kematian pasien.
1. Tatalaksana resusitasi luka bakar

1) Tatalaksana resusitasi jalan napas


a) Inkubasi : tindakan inkubasi dikerjakan sebelum edema mukosa
b) Krikotiroidomi :bertujuan sama dengan inkubasi hanya dianggap
agresif
c) Pemberian oksigen 100%
d) Perawatan jalan napas
e) PenghiasanSecret
f) Pemberian terapi inhalasi
g) Bilasan bronkoalveolor
h) Perawatan rehabilitatif untuk respirtif
i) Eskarotomi
2) Tatalaksanresusitasi cairan
a) Cara Evans
b) Cara baxter
3) Resusitasi nutrisi
Pada pasien luka bakar,pemberian nutrisi enteral sebaiknya dilakukan
sejak dini
2. Penanganan Luka
a. Pendinginan luka
b. Debridemen
c. Tindakan pembedahan
1) Split cangkok kulit
2) Flap

3. Terapi manipulasi lingkungan


a. Fase inflamasi
b. Fase fibrolastic
c. Fase maturbasi
Pemeriksaan penunjang
Menurut Doenges M.E (2000) pemeriksaan penunjang yang diperlukan
adalah :
1) Hitung darah lengkap : Peningkatan Hematokrit menunjukkan
hemokonsentrasi sehubungan dengan perpindahan cairan.
Menurutnya Hematokrit dan sel darah merah terjadi sehubungan
dengan kerusakan oleh panas terhadap pembuluh darah.
2) Leukosit akan meningkat sebagai respons inflamasi
3) Analisa Gas Darah (AGD) : Untuk kecurigaan cedera inhalasi
4) Elektrolit Serum. Kalium meningkat sehubungan dengan cedera
jaringan, hipokalemia terjadi bila diuresis.
5) Albumin serum meningkat akibat kehilangan protein pada edema
jaringan
6) Kreatinin meningkat menunjukkan perfusi jaringan
7) EKG : Tanda iskemik miokardia dapat terjadi pada luka bakar
8) Fotografi luka bakar : Memberikan catatan untuk penyembuhan luka
bakar selanjutnya.
Konsep Asuhan
Keperawatan
Pengkajian
Pengkajian menurut Majid (2013), meliputi :

1. Primary Survey
Setiap pasien luka bakar harus dianggap sebagai pasien trauma, sehingga
harus dicek airway, breathing, circulation, disability, dan exposure terlebih
dahulu.
a) Airway
Moenadjat (2009), pada luka bakar ditemukan adanya sumbatan
akibat edema mukosa jalan nafas ditambah sekret yang diproduksi
berlebihan (hiperekskresi) dan mengalami pengentalan. Apabila terdapat
kecurigaan adanya trauma inhalasi, maka segera pasang Endotracheal
Tube (ET). Tandatanda adanya trauma inhalasi adalah : terkurung dalam
api, luka bakar pada wajah, bulu hidung yang terbakar, sputum yang hitam.
b) Breathing
Eschar yang melingkari dada dapat menghambat pergerakan dada
untuk bernapas, segera lakukan escharotomi. Periksa juga apakah ada
trauma-trauma lain yang dapat menghambat pernapasan, misalnya
pneumothorax, hematothorax, dan fraktur costae. Kaji pergerakan
dinding thorax simetris atau tidak, ada atau tidaknya kelainan pada
pernafasan misalnya dispnea, takipnea, bradipnea, ataupun sesak. Kaji
juga apakah ada suara nafas tambahan seperti snoring, gargling,
rhonki atau wheezing. Selain itu kaji juga kedalaman nafas pasien.
c) Circulation
Kaji ada tidaknya penurunan tekanan darah, kelainan detak jantung
misalnya takikardi, bradikardi. Kaji juga ada tidaknya sianosis dan
capilar refil memanjang. Kaji juga kondisi akral dan nadi pasien. Luka
bakar menimbulkan kerusakan jaringan sehingga menimbulkan edema,
pada luka bakar yang luas dapat terjadi syok hipovolumik karena
kebocoran plasma yang luas
d) Disability Moenadjat (2009), pada pasien enurunan kesadaran,
kehilangan sensasi dan refleks, pupil anisokor dan nilai GCS
e) Exposure Moenadjat (2009), pada pasien dengan luka bakar terdapat
hipertermi akibat inflamasi.

2) Secondary Survey
Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap yang
dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang.
a) Monitor tanda-tanda vital
b) b) Pemeriksaan fisik
c) c) Lakukan pemeriksaan tambahan
Lanjutan...
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien
yang merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien
meliputi keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat
medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem. (Emergency Nursing
Association, 2007).
a) Keluhan Utama : Luas cedera akibat dari intensitas panas (suhu) dan
durasi pemajanan, jika terdapat trauma inhalasi ditemukan keluhan
stridor, takipnea, dispnea, dan pernafasan seperti bunyi burung gagak
(Kidd, 2010).
b) Riwayat Penyakit Sekarang : Mekanisme trauma perlu diketahui karena
ini penting, apakah penderita terjebak dalam ruang tertutup, sehingga
kecurigaan terhadap trauma inhalasi yang dapat menimbulkan obstruksi
jalan nafas. Kapan kejadiannya terjadi (Sjaifuddin, 2006).
Lanjutan...
c) Riwayat Penyakit Dahulu : Penting dikaji untuk menetukan apakah
pasien mempunyai penyakit yang tidak melemahkan kemampuan
untuk mengatasi perpindahan cairan dan melawan infeksi (misalnya
diabetes mellitus, gagal jantung kongestif, dan sirosis) atau bila
terdapat masalah-masalah ginjal, pernapasan atau gastro intestinal.
Beberapa masalah seperti diabetes, gagal ginjal dapat menjadi akut
selama proses pembakaran. Jika terjadi cedera inhalasi pada
keadaan penyakit kardiopulmonal (misalnya gagal jantung kongestif,
emfisema) maka status pernapasan akan sangat terganggu (Hudak
dan Gallo, 1996).
d) Riwayat Penyakit Keluarga : kaji riwayat penyakit keluarga yang
kemungkinan bisa ditularkan atau diturunkan secara genetik kepada
pasien seperti penyakit DM, hipertensi, asma, TBC dll.
Lanjutan...
e) Review of System
(1) Aktivitas/istrahat Tanda : penurunan kukuatan tahanan : keterbatasan
rentang gerak pada area yang sakit, gangguan massa otot perubahan
tonus.
(2) Sirkulasi Tanda ( dengan cedera luka bakar lebih dari 20% APTT)
hipotensi (Syok), penurunan nadi perifer distal pada ekstremitas yang
cidera, vasokontriksi perifer umum dengan kehilangan nadi, kulit putih
dan dingin (Syok listrik).
(3) Intergritas Ego Tanda : angietas, menangis, ketergantungab, menyangkal,
menarik diri, marah. Gejala : masalah tentang keluarga , pekerjaan,
keuangan dan kecacatan.
(4) Eliminasi Tanda : haluaran urine menurun/tak ada selama fase darurat
warna, mungkin hitam kemerahan bila terjadi myoglobin mengindikasikan
kerusakan otot dalam.
(5) Makanan dan cairan Tanda : edema jaringan umum, anoreksia,
mual/muntah.
Lanjutan...
(6) Neurosensori Tanda : perubahan orientasi, afek, perilaku, penurunan reflex
tendun dalam (RTD) pada cidera ekstremitas, aktivitas kejang (syok) .
laserasi korneal, kerusakan retina, penurunan ketajaman (syok) Gejala :
area kebas dan terbakar
(7) Nyeri/ keamanan Gejala : berbagai nyeri contoh luka bakar derjat
pertama secara ekstrem sensitive untuk disentuh, ditekan,digerakan udara
dan perubahan suhu,luka bakar ketebalan sedang serajat dua sangat
nyeri, sementara respon pada luka bakar ketebalan derajat dua
tergantung pada keluahan ujung syaraf, luka bakar derajat tiga tidak
nyeri.
(8) Pernapasan Gejala : terkurung dalam ruang tertutup, terpejam laam,
(kemungkinan cidera inhalasi) Tanda : serak, baatuk mangi, partikel
karbon dalam sputum, ketidakmampuan menelan sekresi orsng dsn
sianosis indikasi ceodera inhalsa. Pengembanagan thoraks mungkin
terbatas pada adanya luka bakar lingkar dada. Jalan napas atas stridor
/mengi (obstruksi sehubungan dengn llaringosis spasme, edema laringeali,
bunyi napas,generic (edema paaru), strider (edema laringeal) secret jalan
napas dalam (rochi).
Lanjutan...

(9) Keamanan Tanda : kulit umum : distraksi jaringan dalam mungkin tidak
terbukti selama 3-5 hari sehubungan dengan proses thrombus mikro
vaskuler pada beberapa luka. Area kulit tak terbakar mungkin
dingin/lembab, pucat,dengan pengisian kapiler lambat kehilangan
cairan/status syok.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu kesimpulan yang dihasilkan
dari analisa data (Carpenito, 2009). Diagnosa keperawatan adalah
langkah kedua dari proses keperawatan yang menggambarkan
penilaian klinis tentang respon individu, keluarga, kelompok maupun
masyarakat terhadap permasalahan kesehatan baik aktual maupun
potensial. Dimana perawat mempunyai lisensi dan kompetensi untuk
mengtasinya (Sumijatun, 2010).
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang jelas, singkat dan
pasti tentang masalah pasien yang nyata serta penyebabnya dapat
dipecahkan atau diubah melalui tindakan keperawatan menurut Gordon
(1982, dalam Dermawan, 2012).
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane
kapiler alveolar
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan adanya
obstruksi jalan nafas
Lanjutan...

3) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera (mis, biologis, zat kimia, fisik
psikologi)
4) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan agen cedera
5) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
6) Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
7) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan ketahanan tubuh
dan penurunan kekuatan otot
8) Resiko infeksi ditandai dengan pertahanan primer tidak adekuat; kerusakan
perlindungan kulit; jaringan traumatic. Pertahanan sekunder tidak adekuat;
penurunan Hb, penekanan respons inflamasi
9) Ansietas berhubungan dengan krisis situsional dengan hospitalisasi
Fokus Intervensi
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan keracunan
karbonmonoksida,obstruksitrakeobronkial, keterbatasan
pengembangan dada (Doenges, 2000).

Tujuan : Pemeliharaan oksigenasi jaringan adekuat

Intervensi :
a. Awasi frekuensi, irama, kedalaman napas
b. Berikan terapi O2 sesuai pesanan dokter
c. Berikan pasien dalam posisi semi fowler bila mungkin
d. Pantau AGD, kadar karbonsihemoglobin
e. Dorongan batuk atau latihan nafas dalam dan perubahan
posisi
Lanjutan...

2) Defisit volume cairan berhubungan dengan peningkatan


kebocoran kapiler dan perpindahan cairan dari intravaskuler ke
ruang Interstitiel (Effendi. C, 1999)

Tujuan : Pemulihan cairan optimal dan keseimbangan elektrolit serta


perfusi organ vital

Intervensi
a. Pantau tanda-tanda vital
b. Pantau dan catat masukan dan haluaran cairan
c. Berikan pengganti cairan intravena dan elektrolit (kolaborasi)
d. Timbang berat badan setiap hari
e. Awasi pemeriksaan laboratorium (Hemoglobin,
Hematokrit,Elektrolit).
Lanjutan...

3) Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan


hipovolemi, penurunan aliran darah arteri (Doenges, 2000)

Tujuan : Perfusi jaringan perifer adekuat

Intervensi :
a. Kaji warna, sensasi, gerakan dan nadi perifer
b. Tinggikan ekstremitas yang sakit dengan tepat
c. Berikan dorongan untuk melakukan ROM aktif
d. Hindari memplester sekitar yang terbakar
e. Kolaborasi ; pertahankan penggantian cairan perprotokol
Lanjutan...

4) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


status hipermetaboik, katabolisme protein (Doenges, 2000)

Tujuan : masukan nutrisi adekuat

Intervensi :
a. Pertahankan jumlah kalori ketat
b. Berikan makanan sedikit tapi sering
c. Timbang berat badan setiap hari
d. Dorong orang terdekat untuk menemani saat makan
e. Berikan diet tinggi protein dan kalori
f. Kolaborasi dengan ahli gizi
Lanjutan...

5) Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan kerusakan


kulit/jaringan, pembentukan edema (Doenges, 2000)

Tujuan : nyeri berkurang/terkontrol, ekspresi wajah rileks

Intervensi :
a. Kaji terhadap keluhan nyeri lokasi, karakteristik, dan intensitas
(skala 0- 10)
b. Anjuran teknik relaksasi
c. Pertahanan suhu lingkungan yang nyaman
d. Jelaskan setiap prosedur tindakan pada pasien
e. Kolaborasi pemberian analgetik
Lanjutan...

6) Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan barier kulit,


kerusakan respons imun, prosedur invasif (Effendi. C, 1999).
a. Kaji adanya tanda-tanda infeksi
b. Terapkan teknik aseptik antiseptik dalam perawatan luka
c. Pertahankan personal higiene pasien d. Ganti balutan dan
bersihkan areal luka bakar tiap hari
d. Kaji tanda-tanda vital dan jumlah leukosit
e. Kolaborasi pemberian antibiotik
Lanjutan...

7) Gangguan Integritas kulit berhubungan dengan trauma kerusakan


permukaan kulit (Doenges, 2000).

Tujuan : Menunjukkan regresi jaringan, mencapai penyembuhan


tepat waktu.

Intervensi :
a. Kaji atau catat ukuran, warna, kedalaman luka terhadap iskemik
b. Berikan perawatan luka yang tepat
c. Pertahankan tempat tidur bersih, kering
d. Pertahankan masukan cairan 2500-3000 ml/Hr e. Dorong
keluarga untuk membantu dalam perawatan diri
Lanjutan...

8) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan edema, nyeri,


kontraktur (Effendi. C, 1997)

Tujuan : Mempertahankan posisi fungsi, meningkatkan kekuatan dan


fungsi yang sakit.

Intervensi :
a. Kaji ROM dan kekuatan otot pada area luka bakar
b. Pertahankan area luka bakar dalam posisi fungsi fisiologis
c. Beri dorongan untuk melakukan ROM aktif tiap 2-4 jam
d. Jelaskan pentingnya perubahan posisi dan gerakan pada pasien
Kolaborasi dengan ahli fisioterapi dalam rehabilitasi
Implementasi Keperawatan
Setelah dilakukan perumusan tahapan-tahapan intervensi dalam
perencanaan keperawatan, maka selanjutnya dilakukan proses
implementasi, yaitu melakukan tahapan-tahapan intervensi tersebut.
Pelaksanaan implementasi ini dilakukan dengan melibatkan pasien dan
keluarga ataupun dengan tim kesehatan lain. Pelaksanaan atau
implementasi adalah fase tindakan dari proses keperawatan yang terkait
dengan pelaksanaan rencana yang berfokus pada proses penyembuhan
pasien(Anderson & McFarlane, 2007). Implementasi berguna untuk
mencapai tujuan yang telah dibuat. Selain itu, implementasi intervensi
keperawatan berfungsi untuk meningkatkan, memelihara, atau memulihkan
kesehatan, mencegah penyakit, dan memfasilitasi rehabilitasi.
Evaluasi
Sebagai tahap terakhir dari proses keperawatan dilakukan evaluasi
yang tidak hanya sekedar melaporkan intervensi keperawatan telah
dilakukan, namun juga untuk menilai apakah hasil yang diharapkan sudah
terpenuhi (Potter & Perry, 2009).
Majid & Prayogi (2013), Evaluasi adalah penilaian keberhasilan rencana
keperawatan dalam memenuhi kebutuhan pasien. Pada pasien Combustio
dapat dinilai hasil pelaksanaan perawatan dengan melihat catatan
perkembangan, hasil pemeriksaan pasien, melihat langsung keadaan dari
keluhan pasien, yang timbul sebagai masalah. Evaluasi dapat dilihat 4
kemungkinan yang menentukan tindakan yang menentukan tindakan
perawatan selanjutnya antara lain:
1) Apakah pelayanan keperawatan sudah tercapai atau belum
2) Apakah masalah yang ada telah terpecahkan/teratasi atau belum
3) Apakah maslah sebagian terpecahkan/tidak dapat di pecahkan
4) Apakah tindakan dilanjutkan atau perlu pengkajian ulang.
REHABILITASI
Tata laksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (KFR) pada
luka bakar bertujuan untuk mencapai pemulihan fungsional
semaksimal mungkin, mencegah disabilitas sekunder dan alih
fungsi atau adaptasi fungsi pada disabilitas permanen. Penentuan
target tata laksana KFR ditentukan berdasarkan ekstensifikasi
dan derajat berat luka bakar meliputi kedalaman luka di tingkat
kutan dan subkutan, kedalaman luka di tingkat otot dan tendon
dengan prognosis pemulihan baik serta kedalaman luka di tingkat
otot dan tendon dengan prognosis pemulihan buruk. Program
tata laksana KFR diberikan sedini mungkin setelah hemodinamik
stabil dimulai sejak fase akut.
Fokus dalam program tata laksana KFR pada luka bakar
a. Atrofi otot dan berkurangnya kekuatan, ketahanan, keseimbangan
dan koordinasi otot akibat imobilisasi.
b. Berkurangnya Lingkup Gerak Sendi (LGS) akibat deposisi jaringan
fibrosa dan adhesi jaringan lunak di sekitar sendi akibat imobilisasi.
c. Ankilosis dan deformitas akibat parut hipertrofik atau kontraksi
jaringan lunak seperti jaringan parut, tendon, kapsul sendi dan otot
akibat imobilisasi.
d. Rekondisi kardiorespirasi, pneumonia hipostatik, trombosis vena dalam
(DVT) dan ulkus dekubitus akibat imobilisasi.
e. Terapi adjuvan untuk membantu penyembuhan luka bakar, kontrol
infeksi luka dan edema ekstremitas.
f. Terapi adjuvan untuk memperbaiki gejala akibat jaringan parut dan
luka seperti parestesia dan nyeri.
g. Penurunan kemampuan dalam melakukan Aktivitas Kehidupan Sehari-
hari (AKS), belajar dan bekerja akibat luka bakar
h. Tindak lanjut dalam pelayanan rawat jalan setelah pasien keluar dari
rumah sakit.
Program tata laksana KFR pada luka bakar fase akut

Fase akut pada luka bakar merupakan gejala dan tanda proses inflamasi,
nyeri, peningkatan edema yang terjadi sampai 36 jam pasca-cedera,
respon hipermetabolik yang meningkat sampai 5 hari pasca-cedera, serta
sintesis dan remodeling kolagen. Tujuan program KFR pada fase ini
meliputi :
1) Mengurangi risiko komplikasi : salah satunya mengurangi edema yang
dapat mengganggu sirkulasi perifer dan merupakan predisposisi
terjadinya kontraktur
2) Mencegah terjadinya deformitas
3) Mempercepat proses penyembuhan (protect/promote healing
process)
Bagian Tubuh Kontraktur Posisi yang Alat bantuan untuk pengaturan posisi
yang umum disarankan
terjadi
Leher Fleksi Sedikit ekstensi Neck collar, splint yang bentuknya sesuai
(conform) dengan leher, tidak menaruh bantal
di bawah leher
Bahu Aduksi • Aduksi horisontal 15° Airplane splint Wedge splint untuk membantu
• abduksi 80° memposisikan dalam kondisi abduksi Jika
seluruh ekstremitas atas terkena dapat dibantu
dengan alat berikut untuk menahan
ekstremitas atas:
-meja di samping tempat tidur
-side board/bedside extension
Siku Fleksi atau Ekstensi 5° Arm trough splint Elbow extension splint
ekstensi
Pergelangan Fleksi atau Netral atau sedikit Wrist cock up splint Bagian dari resting hand
Tangan (Wrist) ekstensi dorsal ekstensi splint
Sendi Hiperekstens Fleksi 70-80° Resting hand splint
metakarpofala
ngeal (MCP) i
Bagian Tubuh Kontraktur yang Posisi yang Alat bantuan untuk pengaturan posisi
umum terjadi disarankan

Panggul Fleksi Ekstensi netral Strap lebar yang lunak/lembut untuk


Abduksi 20° menghindari posisi frog leg terutama pada
anak-anak
Lutut Fleksi Ekstensi Knee extension splint, immobilizer

Pergelangan Kaki Plantarfleksi 90° Posisi netral Posterior slab (back slab) dengan ankle dalam
(Ankle) Dorsifleksi, posisi netral, L/Nard; PRAFO-like devices
plantarfleksi
Inversi/versi
Sendi Dorsifleksi Netral, ekstensi
metatarsofalange jari-jari kaki,
al supinasi/pronasi
Mulut Microstomia

Nostril Stenosis nares


anterior
Lanjutan...
Pada strategi pengaturan posisi tabel diatas juga perlu memperhatikan hal-
hal sebagai berikut :
a) Splint mulut dapat digunakan pada pasien dengan luka bakar yang dalam
di sekitar bibir selama penyembuhan luka untuk mencegah kontraktur
mikrostomia
b) Abduksi penuh dengan aduksi horisontal lengan sekitar 15-20° dapat
mencegah kontraktur aksila ketika luka mengenai ekstremitas atas dan
dada. Cedera pleksus brakhialis harus dicegah dengan sedikit aduksi
lengan.
c) Pasien dengan luka bakar pada sisi fleksi dari siku harus memposisikan
sikunya dalam posisi ekstensi, sementara pasien dengan luka bakar pada
sisi ekstensi dapat mempertahankan fleksi siku pada 70-90°. Luka bakar
sirkumferensial pada siku memerlukan strategi pengaturan posisi dengan
ekstensi dan fleksi bergantian. Lengan bawah harus dipertahankan pada
posisi netral atau supinasi.
Tata laksana KFR pada luka bakar fase subakut
Fase subakut pada luka bakar merupakan fase terjadinya
penutupan luka primer, remodelling scar dan kontraksi scar. Pada fase ini
berbagai intervensi termasuk terapi latihan, tata laksana jaringan parut
dengan pressure garment, terapi silikon, scar massage dapat diberikan.
Tujuan program KFR pada fase ini meliputi meminimalkan pembentukan
jaringan parut, membatasi efek kontraksi parut dan membatasi efek
imobilisasi.
Terapi latihan merupakan strategi yang paling penting dan
mendasar dalam kedokteran fisik dan rehabilitasi yang meliputi latihan aktif
dan pasif. Program latihan harus dibuat dengan perencanaan yang tepat
untuk meminimalisasi cedera dan memastikan efek terapi yang dilakukan.
Terapi latihan ini meliputi :
a) latihan untuk mempertahankan Lingkup Gerak Sendi (LGS)
b) latihan untuk meningkatkan kekuatan otot
c) latihan untuk meningkatkan ketahanan otot dan kardiorespirasi
d) latihan untuk koordinasi
e) latihan untuk memulihkan keseimbangan
f) latihan ambulasi
g) latihan untuk memulihkan fungsi AKS
Tata laksana KFR pada luka bakar fase kronik
Program tata laksana KFR pada luka bakar dalam jangka panjang
masih diperlukan, karena sering terjadi keterbatasan lingkup gerak sendi dan
parut hipertrofik yang menetap. Hal tersebut akan mengganggu aktivitas
fungsional serta aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS). Fase kronik pada luka
bakar merupakan fase dimana proses penyembuhan luka berlanjut sampai
dua tahun (maturasi dan remodeling jaringan parut). Program ini dimulai
sejak pasien keluar dari perawatan di rumah sakit berupa lanjutan program
tata laksana KFR pada fase subakut dan evaluasi kapasitas fungsional untuk
dapat kembali ke masyarakat dan bekerja (return to work). Program yang
diberikan meliputi latihan endurans, latihan penguatan, latihan AKS,
penggunaan assistive device, edukasi care giver, modifikasi lingkungan, alih
fungsi, hingga modifikasi role of function.
Rekomendasi latihan endurans dan penguatan pada luka bakar
1) Latihan endurans kardiorespirasi diberikan pada kasus luka bakar dengan
TBSA >15%.
2) Latihan penguatan diberikan pada luka bakar dengan TBSA >30%.
Tata laksana KFR pada parut hipertrofik dan keloid

Tata laksana KFR yang adekuat merupakan pencegahan komplikasi


luka bakar. Terjadinya parut hipertrofik pada sekitar sendi akan
mengganggu mobilisasi dan menimbulkan deformitas. Adanya terapi
tekanan (pressure therapy), pengaturan posisi, terapi latihan, splinting, dan
adjuvan modalitas fisik adalah penanganan yang belum tergantikan
dalam mencegah, menghambat, dan memperbaiki proliferasi serta
kontraktur jaringan parut.
Pada luka bakar jarang terjadi keloid karena sejak awal terjadi
penebalan parut sedangkan keloid timbul sekitar setahun sejak terjadinya
cedera. Adapun tata laksana untuk mencegah timbulnya keloid tanpa
tindakan operasi yaitu Injeksi Keloid Intralesi: Triamnicolone Acetonide 10
mg/ cm keloid setiap 2 – 6 minggu, heat therapy/radiasi, modalitas fisik,
Silicon Gel, Salep steroid, hingga Pressure garment. Sedangkan bedah
eksisi sebagai alternatif terapi apabila terapi diatas tidak dapat dilakukan.
Rekomendasi Program Tata laksana KFR pada Luka Bakar Derajat

1. Program Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (KFR) diberikan sedini mungkin, dimulai A
sejak kondisi hemodinamik stabil (hari kedua).
2. Diperlukan asesmen komprehensif dan uji fungsi, termasuk pemeriksaan penunjang A
medik untuk menegakkan diagnosis fungsional berdasarkan ICF (International
Classification of Functioning, Disability and Health).
3. Selama masa perawatan, pasien luka bakar harus diposisikan secara kontinyu B
dengan proper positioning untuk mencegah kontraktur sehingga mencapai aktivitas
fungsional yang optimal.
4. Penggunaan splint penting diberikan untuk mencapai target posisi sendi yang B
diharapkan
5. Pemberian terapi modalitas fisik sesuai indikasi dan kontraindikasi B
6. Pemberian terapi latihan sesuai indikasi dan kontraindikasi B
7. Pemberian Ortosis Prostesis & Assisstive Devices seuai indikasi dan kontraindikasi B
8. Luka bakar yang luas dengan luka hipertrofik harus diberikan terapi penekanan C
dengan silikon sebagai manajemen lini pertama.
9. Terapi tekanan harus diterapkan sebelum memilih manajemen operatif jika luka C
belum matur, kecuali jika luka memiliki efek yang mempengaruhi fungsi pada pasien
dan beresiko terjadinya kontraktur.
Daftar Pustaka
Ekawati, Mulya. 2019. MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN
KEGAWATDARURATAN PADA TN“S” DENGAN DIAGNOSA MEDIS ELECTRICAL
BURN INJURY GRADE III 6 % DAN GRADE IIB 1 % DI INSTALASI GAWAT
DARURAT LUKA BAKAR RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR.
Makassar, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Panakukang.
https://stikespanakkukang.ac.id/assets/uploads/alumni/a401769495b3b03c
d272f8ce183ba19e.pdf

Octavianus Ledoh, Otan. 2019. ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn A.N DENGAN


COMBUTIO DIRUANG ASOKA RSUD PROF DR W.Z YOHANES KUPANG.
Kupang. Politeknik Kesehatan Kemenkes Kupang.
http://repository.poltekeskupang.ac.id/1626/1/Otan%20Ledoh.pdf

http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/KMK_No__HK_01_07-
MENKES-555-
2019_ttg_Pedoman_Nasional_Pelayanan_Kedokteran_Tata_Laksana_Luka_
Bakar.pdf
THANK
YOU
Credit from SlideGo

Anda mungkin juga menyukai