Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

Trauma Kepala

Disusun Oleh:

Vilda Anastasia

112019054

Pembimbing:

dr. Wawan Mulyawan, Sp.BS

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA
WACANA
RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR ESNAWAN ANTARIKSA
PERIODE 19 APRIL 2021 – 26 JUNI 2021
LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi referat dengan judul:


Trauma Kepala

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
RSAU Dr. Esnawan Antariksa periode 19 April 2021 – 26 Juni 2021.

Disusun oleh:

Vilda Anastasia

112019054

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Wawan Mulyawan, Sp.BS

Selaku dokter pembimbing Departemen Bedah Saraf RSAU Dr. Esnawan Antariksa

Jakarta, 21 Juni 2021

Pembimbing

dr. Wawan Mulyawan, Sp.BS


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas nikmat yang diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah Referat dengan judul “Trauma Kepala”. Makalah ini disusun
untuk memenuhi salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik di Stase Ilmu Bedah. Dalam
kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama kepada dr. Wawan
Mulyawan, Sp.BS selaku pembimbing atas pengarahannya selama penulis belajar dalam
Kepaniteraan Klinik. Dan kepada para dokter dan staff Ilmu Bedah RSAU Dr. Esnawan
Antariksa, serta rekan-rekan seperjuangan dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah. Penulis
sangat terbuka dalam menerima kritik dan saran karena penyusunan makalah ini masih jauh
dari kata sempurna. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi setiap orang yang
membacanya.

Jakarta, 21 Juni 2021

Penulis
BAB I

Pendahuluan

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang dapat
menyebabkan adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau garis pada tulang
tengkorak dan disertai atau tanpa disertai perdarahan intertisial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak.1 Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama
kematian dan kecacatan akibat trauma pada kelompok usia produktif di banyak negara
berkembang dengan jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan jumlah wanita.2 Menurut
Irawan, angka kejadian cedera kepala di Indonesia sebesar 27% dari total cedera yang dialami
akibat kecelakaan lalu lintas.3

Trauma kepala dapat menyebabkan kematian/ kelumpuhan pada usia dini. 1,2 Pada penderita
korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah pernafasan, sirkulasi dan kesadaran.
Tingkat keparahan cedera kepala juga harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah
Sakit.4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi

Jaringan lunak kepala terdiri dari 5 lapisan , yaitu: Skin (kulit) yang tebal dan
mengandung rambut serta kelenjar minyak (sebasea), connective tissue (jaringan subkutis),
merupakan jaringan ikat lemak yang kaya akan pembuluh darah. Aponeuris Galea,
merupakan lapisan terkuat berupa fascia yang melekat pada otot, loose areolar tissue
(jaringan areolar longgar) terdiri dari vena- vena tanpa katup yang menghubungkan scalp,
vena diploica dan sinus vena intracranial. Perikranium merupakan periosteum yang melapisi
tulang tengkorak, melekat erat pada sutura dan berhubungan dengan endosteum.5
Gambar 1. Tulang-tulang tengkorak.5

Tulang tengkorak terdiri dari kalvaria dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Basis cranii dibagi atas 3 fossa
yaitu fossa anterior tempat lobus frontalis, fossa media tempat lobus temporalis dan fossa
posterior ruang bagi batang otak dan serebelum.5

Gambar 2. Selaput Meningen.5

Selaput meningen terdiri dari 3 lapisan yaitu duramater, selaput arachnoid dan pia
mater. Duramater adalah membran yang tebal dan paling dekat dengan tengkorak. Selaput
arachnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput ini dipisahkan dari dura
mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium yang
terisi oleh liquor serebrospinalis. Pia mater adalah selaput yang sangat halus. Ini adalah
selaput meningeal yang melekat pada permukaan otak dan sumsum tulang belakang dan
semua bagian otak (termasuk gyri dan sulci). Selaput ini terdiri dari jaringan fibrosa tertutup
di permukaan luarnya, sehingga tidak permeable terhadap air.6

Otak merupakan suatu struktur gelatin yang terdiri dari beberapa bagian yaitu
proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah)
dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.
Otak dibangi menjadi 4 lobus, yaitu lobus frontal adalah yang terbesar dari empat lobus
bertanggung jawab untuk banyak fungsi yang berbeda, termasuk keterampilan motorik
seperti gerakan volunter, fungsi intelektual dan fungsi perilaku. Daerah yang menghasilkan
gerakan di bagian tubuh yang ditemukan di korteks motor utama atau gyrus precentral.
Korteks prefrontal memainkan peran penting dalam memori, kecerdasan, konsentrasi, marah
dan kepribadian. Premotor cortex adalah daerah yang ditemukan di samping korteks motor
utama. Area Broca, penting dalam produksi bahasa, ditemukan dalam lobus frontal. Lobus
occipitalis terletak di bagian belakang otak dan memungkinkan manusia untuk menerima dan
memproses informasi visual. Lobus parietalis menafsirkan secara bersamaan, sinyal yang
diterima dari daerah lain otak seperti penglihatan, pendengaran, motorik, sensorik dan
memori. Memori seseorang dan informasi sensorik baru diterima, memberi makna objek.
Lobus temporalis terletak di setiap sisi otak pada sekitar tingkat telinga, dan dapat dibagi
menjadi dua bagian. Satu bagian adalah di bagian bawah (ventral) dari masing-masing
belahan, dan bagian lain di sisi (lateral) dari masing-masing belahan. Daerah di sisi kanan
terlibat dalam memori visual dan membantu manusia mengenali obyek dan wajah orang-
orang. Daerah di sisi kiri terlibat dalam memori verbal dan membantu manusia mengingat
dan memahami bahasa. Bagian belakang lobus temporal memungkinkan manusia untuk
menafsirkan emosi dan reaksi orang lain. Otak kecil terletak di bagian belakang otak di
bawah lobus oksipital dan dipisahkan dari otak oleh tentorium (lipatan dura). Otak kecil
berfungsi mempertahankan postur tubuh, keseimbangan atau ekuilibrium, dengan mengontrol
tonus otot dan posisi anggota tubuh.5

Otak menerima darah dari dua sumber: arteri karotis interna, cabang dari arteri karotis
komunis, dan arteri vertebralis. Cabang arteri karotis interna membentuk dua arteri serebral
utama, yaitu arteri serebral anterior dan media. Arteri vertebralis kanan dan kiri berkumpul di
tingkat pons di permukaan ventral batang otak untuk membentuk arteri basilar. Arteri basilar
beranastomosis dengan arteri karotis interna di sekitar hipotalamus dan pedunculus serebri
membentuk Circle of Willis, yang memberikan cabang arteri serebral posterior, arteri
komunikan anterior dan posterior. Anastomosis dua sumber utama suplai pembuluh darah
otak melalui Circle of Willis mungkin meningkatkan kemungkinan setiap daerah otak untuk
menerima suplai darah jika salah satu arteri utama tersumbat. 7
Gambar 3. Circle of Willis.7

Arteri serebral anterior dan media memperdarahi sirkulasi anterior yang mensuplai otak
depan (basal ganglia, talamus, dan kapsula interna). Arteri serebral posterior, basilar, dan
vertebralis memperdarahi sirkulasi posterior otak dan mensuplai darah ke korteks posterior,
otak tengah, dan batang otak.. Arteri serebelar inferior posterior (PICA) dan arteri serebelar
inferior anterior (AICA) menyuplai daerah medula dan pons.7

Klasifikasi

Berdasarkan beratnya, cedera kepala dibagi atas ringan, sedang dan berat. Pembagian
ringan, sedang dan berat ini dinilai melalui Glasgow Coma Scale (GCS). GCS merupakan
instrument standar yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien trauma
kepala. Yang dinilai dari pemeriksaan ini adalah tingkat penurunan terbukanya mata, respon
verbal, dan respon motorik dari penderita cedera kepala.8
Secara morfologi, cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi
intracranial. Fraktur cranium dapat terjadi pada calvaria dan basis cranii. Lesi intrakranial
dapat diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau difusa, walau kedua bentuk cedera ini sering
terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi
(atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum,
menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma
dalam keadaan klinis. Lesi intrakranial terdiri dari:

• Hematoma Epidural
Epidural hematoma (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial
antara tabula interna dan duramater dengan ciri berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa
cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat
robeknya pembuluh meningeal media. Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun
secara progresif. 2,4

• Hematoma subdural
Subdural hematoma (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan
aracnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita
dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging vein antara
korteks cerebral dan sinus draining.2,3

• Perdarahan Subarachnoid
Pendarahan subarachnoid traumatika ialah suatu kejadian saat adanya darah pada
rongga subarakhnoid yang disebabkan oleh proses patologis (trauma). Perdarahan
subarakhnoid ditandai dengan adanya ekstravasasi darah ke rongga subarakhnoid yaitu
rongga antara lapisan dalam (piamater) dan lapisan tengah (arachnoid). Pada pemeriksaan
penunjang CT scan didapatkan gambaran hiperdens di ruang subarchnoid.8

Komosio serebri adalah disfungsi neuron otak sementara yang disebabkan oleh
trauma kapitis tanpa menunjukkan kelainan makroskopis jaringan otak. Penderita mengalami
kesadaran menurun sejenak (± 20 menit) dan siuman kembali tanpa mengalami suatu defisit
neurologis.8

Kontusio adalah suatu keadaan dimana akibat trauma kapitis terjadi lesi perdarahan
pada permukaan jaringan otak tanpa terganggunya kontinuitas jaringan dan dapat
mengakibatkan gangguan neurologis menetap. Kontusio serebri dapat terjadi akibat lesi
bentur dan lesi kontra. Kontusio akibat lesi bentur paling sering terjadi pada daerah frontal
dan temporal, sedangkan kontusio akibat lesi kontra paling sering terjadi pada lobus frontalis
bagian inferior, lobus temporalis bagian anterior dan lateral. Pada kontusio Kesadaran
penderita akan menurun (sampai koma dalam) yang berlangsung beberapa jam sampai
beberapa hari. 8

Fraktur impressi terjadi akibat adanya kontak bentur pada kepala. Pada fraktur
impressi bagian tulang yang patah menonjol ke dalam rongga tengkorak, menekan dasar otak
yang dapat diperlihatkan pada foto kepala pada proyeksi tangensial sebagai garis/ daerah
yang radiopaque dari tulang sekitarnya disebabkan bertumpuknya tulang. Tidak jarang pada
tempat depressi dapat ditemukan suatu fraktur berbentuk bintang (stellate fraktur). Fraktur
depressi ini dikemudian hari akan dapat menimbulkan bangkitan epilepsi, apalagi bila
menekan girus presentralis.8

Fraktur basis kranii merupakan akibat benturan langsung pada daerah-daerah dasar
tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbital); transmisi energi yang berasal dari benturan
pada wajah atau mandibula: atau efek remote dari benturan pada kepala. Fraktur basis kranii
dapat terjadi tanpa diikuti kehilangan kesadaran, kecuali disertai adanya komosio ataupun
kontusio serebri. Biasanya penderita fraktur basis kranii masuk rumah sakit dengan kesadaran
menurun (koma dalam) yang berlangsung sampai beberapa hari dan jika penderita siuman
akan tampak amnesia retrogard dan amnesia pasca traumatik yang cukup panjang.8

Etiologi
Penyebab cedera kepala dapat dibedakan berdasarkan jenis kekerasan yaitu jenis
kekerasan benda tumpul dan benda tajam. Benda tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan lalu lintas (kecepatan tinggi, kecepatan rendah), jatuh, pukulan benda tumpul,
Sedangkan benda tajam berkaitan dengan benda tajam (bacok) dan tembakan.1,9

Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder.10 Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda yang
keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala yang merupakan suatu
fenomena mekanik. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan
contrecoup.11 Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak
dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak
dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma.10 Cedera primer dapat terjadi
karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi
karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan
terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh.11

Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah
atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik yang dapat
menyebabkan “ischemia like pattern” yang menyebabkan akumulasi asam laktat akibat
terjadi glikolisis anaerob, peningkatan permeabilitas membran, dan edema.10 Karena
perdarahan yang terjadi terus-menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan
volume darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial
(TIK), adapun, hipotensi. Hipoperfusi yang terjadi sebagai akibat dari iskemia. Iskemik
cerebral dapat menyebabkan pasien jatuh pada keadaan vegetative state dan kematian.10,11

Manifestasi Klinis
Gambaran klinik cedera kepala ringan – berat sebagai pedoman triase di unit gawat darurat:8

Tanda diagnostik klinik dari Epidural Hematom: 8


1. Lucid interval (+)
2. Kesadaran makin menurun
3. Late Hemiparese kontralateral lesi
4. Pupil anisokor
5. Babinsky (+) kontralateral lesi
6. Fraktur di daerah temporal

Pada hematoma epidural di fossa posterior dapat menimbulkan tanda klinis berupa: 8
1. Lucid interval tidak jelas
2. Fraktur kranii oksipital
3. Kehilangan kesadaran cepat
4. Gangguan serebellum batang otak dan pernafasan
5. Pupil isokor

Pada hematoma subdural juga terdapat lucid interval namun dengan interval yang
lebih panjang daripada hematoma epidural. Gejala dan tanda klinis, yaitu nyeri kepala dan
penurunan kesadaran yang progresif. 8
- Akut : interval lucid 0-5 hari
- Subakut : interval lucid 5 hari-beberapa minggu
- Kronik : interval lucid > 3 bulan.

Pada perdarahan subarachnoid dapat ditemukan: kaku kuduk, nyeri kepala, gangguan
kesadaran8

Tanda-tanda fraktur basis cranii 8


- Anterior : keluarnya cairan liquor melalui hidung/rhinorhea, perdarahan bilateral
periorbital (ecchymosis/raccon eye), anosmia
- Media : keluarnya cairan liquor melalui telinga/otorrhea
- Posterior : bilateral mastoid ekimosis/battle’s sign

Pada diffuse axonal injury (DAI) didapatkan tanda-tanda: koma lama pasca trauma
kapitis (prolonged coma), disfungsi saraf otonom, demam tinggi. 8
Pemeriksaan Penunjang8,10
 Foto polos kepala
Foto polos kepala memiliki sensitivitas dan spesifisitas rendah dalam mendeteksi
perdarahan intracranial. Oleh karena itu sejak ditemukannya CT-scan, foto polos kepala
sudah mulai ditinggalkan.
 CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
CT-scan kepala merupakan standar baku untuk mendeteksi perdarahan intrakranial.
Semua pasien dengan GCS <15 sebaiknya menjalani pemeriksaan CT-scan.
Indikasi:
- Mata hanya membuka bila ada rangsang sakit (nilai GCS ≤12)
- Terdapat penurunan kesadaran (nilai GCS ≤14 dan tidak membaik dalam 1
jam setelah diobservasi ataupun 2 jam setelah trauma
- Terdapat fraktur atau depresi pada dasar tengkorak atau trauma penetrasi
- Terdapat penurunan kesadaran atau tanda defisit neurologi baru
- Kesadaran penuh (GCS 15) tanpa fraktur tetapi nyeri kepala berat dan
persisten, terdapat setidaknya 2 kali muntah pada selang waktu yang berbeda
- Ada riwayat gangguan pembekuan darah seperti menggunakan obat
antikoagulan dan penurunan kesadaran, amnesia, dan tampak gejala defisit
neurologi.

Gambar 4. Gambaran CT-Scan (kiri): hematoma epidural, (kanan): hematoma subdural.9


Gambar 5. Gambaran CT-Scan (kiri): perdarahan intraserebral, (kanan): perdarahan
subarachnoid. 9
 MRI
Teknik pencitraan ini lebih sensitif dibandingkan CT-scan namun pemeriksaan MRI
membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan CT-scan
 Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti: perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
 Analisa Gas Darah: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial.
 Kadar Elektrolit: Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intracranial.

Tatalaksana
Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya cedera
otak sekunder. Cedera otak sekunder dapat dicegah dengan menghindari hipoksia atau
kompresi jaringan otak. Penatalaksanaan awal pada pasien cedera kepala dimulai dari
melakukan primary survey yang meliputi: 8
A = Airway (jalan nafas)
Membebaskan jalan nafas dengan memeriksa mulut dan mengeluarkan darah, gigi
yang patah, muntahan, dan lainnya. Bila perlu dilakukan intubasi.
B = Breathing (pernafasan)
Memastikan pernapasan adekuat dengan memperhatikan frekuensi, pola nafas dan
pernafasan dada kanan dan kiri (simetris / tidak). Bila perlu, berikan oksigen sesuai dengan
kebutuhan dengan target saturasi O2>92%.
C = Circulation (sirkulasi)
Merpertahankan tekanan darah sistolik > 90 mmHg. Memberikan cairan intravena
drip, NaCl 0,9% atau Ringer Laktat. Hindari cairan yang bersifat hipotonus. Bila perlu
diberikan vasopresor dan inotropik.
D = Disability
Pemeriksaan untuk mengetahui lateralisasi dan kondisi umum dengan pemeriksaan
cepat status umum dan neurologi, tanda-tanda vital, GCS, pupil, pemeriksaan neorologis
cepat, luka-luka, dan anamnesa.

Penanganan medis pada cedera kepala, yaitu: 8


1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetik.
4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa 40%
atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (penicilin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidazole.
6. Makanan atau cairan infus dextrose 5%, aminofusin dan aminofel (18 jam pertama
dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
7. Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan.
Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua dan
dextrosa 5% untuk 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah,
makanan diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp).
Terapi pembedahan pada trauma kapitis memerlukan beberapa pertimbangan yang
berbeda pada setiap jenis trauma kapitis. Pada umumnya pembedahan untuk evakuasi
hematoma perlu dipertimbangkan apabila ditemukan hematoma dengan volume melebihi 25
cm3 pada hasil CT-scan. Meskipun demikian indikasi pembedahan pada cedera kepala tidak
hanya berdasarkan hasil CT-scan saja tetapi juga adanya perburukan klinis dan lokasi lesi.
Semua luka penetrasi/tembus merupakan indikasi pembedahan.9

Indikasi bedah pada hematoma epidural adalah: 9


- volume hematoma 30 cm3 pada hasil CT-scan dengan GCS berapapun
- pada pasien dengan GCS <9 harus dilakukan evakuasi pembedahan secepatnya
- hematoma epidural yang progresif.
Bila volume hematoma <30 cm3, ketebalan <15 mm dan midline shift <5 mm pada pasien
dengan GCS >8 dan tanpa defisit neurologi dapat diterapi konservatif dengan pemeriksaan
CT-scan serial. Yang perlu diperhatikan adalah risiko pembesaran lesi. CT-scan untuk follow
up pada pasien yang tidak dioperasi harus dilakukan dalam 6-8 jam.

Indikasi pembedahan pada hematoma subdural adalah: 9


- pada hasil CT-scan ditemukan ketebalan hematoma > 10 mm atau midline shift > 5 mm
dengan nilai GCS berapapun
- pada nilai GCS <9 perlu monitoring tekanan intrakranial secara hati-hati. Bila tekanan
intrakranial melebihi 20 mmHg atau pupil anisokor atau terdilatasi tetap diperlukan
pembedahan
- pada pasien dengan nilai GCS <9 dengan ketebalan hematoma <10 mm dan midline shift <5
mm harus dilakukan pembedahan evakuasi hematoma bila nilai GCS turun setidaknya 2 nilai
dari saat kejadian sampai tiba di rumah sakit.

Fraktur kranial terdepresi terbuka yang melebihi ketebalan kranium harus dioperasi
untuk mencegah infeksi. Setiap tindakan untuk mengatasi fraktur kranial terdepresi terbuka
harus diberi antibiotik. Fraktur kranial terdepresi terbuka masih dapat diterapi tanpa operasi
bila baik klinis maupun radiologi tidak menunjukkan adanya penetrasi duramater hematoma
intrakranial keterlibatan sinus frontalis dan luka infeksi. Fraktur kranial terdepresi tertutup
tidak memerlukan tindakan operasi. 9

Indikasi operasi pada lesi hematoma intraserebral adalah: 9


- terdapat defisit neurologis yang progresif
- terdapat peningkatan tekanan intrakranial yang refrakter
- Cushing refex (hipertensi, bradikardi, tanda-tanda gangguan napas)
- Nilai GCS 6-8 dengan kontusio > 20 cm3 di daerah frontal atau temporal dengan midline
shift ≥5 mm dan ukuran lesi ≥50 cm3.

Perdarahan traumatik subaraknoid traumatik biasanya terjadi bersamaan dengan


perdarahan intrakranial lainnya seperti hematoma epidural, hematoma subdural ataupun
hematoma intraserebral. Hal ini menyebabkan indikasi operasi pada perdarahan subaraknoid
traumatik mengikuti indikasi operasi pada perdarahan intrakranial lainnya yang terjadi. 9

Komplikasi8
1. Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus
frontal atau dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal
2. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini, minggu
pertama) atau lanjut (setelah satu minggu)
3. Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis
meyulitkan penghentian sekresi hormone antidiupetik.

Prognosis
Hasil operasi hematoma epidural biasanya baik kecuali pada fraktur yang panjang dan
laserasi sinus venosus. Mortalitas operasi evakuasi hematoma epidural adalah 10%.
Mortalitas pasien hematoma subdural yang memerlukan tindakan pembedahan adalah 40-
60%. Tindakan operatif untuk debridemen fraktur kranial terbuka menurunkan kejadian
infeksi sebesar 4,6%. Tindakan operasi yang ditunda lebih dari 48 jam setelah trauma akan
meningkatkan insidens infeksi sebesar 36,5%. Prognosis pada hematoma intraserebral yang
dioperasi 3,8x lebih baik dibandingkan dengan pasien yang tidak dioperasi. Sedangkan pada
perdarahan subarachnoid yang disertai dengan perdarahan intracranial lainnya prognosisnya
akan lebih buruk.9

Kesimpulan
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah kondisi terjadinya kerusakan pada struktur
bagian kepala yang disebabkan oleh trauma dan berakibat disfungsi cerebral sementara
sampai disfungsi permanen. Berdasarkan beratnya gejala klinis, cedera kepala
diklasifikasikan menjadi cedera kepala ringan, sedang, dan berat. Pemeriksaan CT-scan
menjadi baku emas untuk melihat apakah terjadi fraktur, perdarahan, atau herniasi yang
menunjang diagnosis trauma kapitis. Tatalaksana terdiri dari tatalaksana medis dan
tatalaksana bedah pada beberapa kasus dengan indikasi pembedahan. Prognosis dari cedera
kepala tergantung pada tingkat keparahan cedera, lokasi cedera, dan usia dan status kesehatan
umum individu.
Daftar Pustaka

1. Ristanto R.. Indra M. R., Poeranto S., Setyorini I. Akurasi revised trauma score
sebagai prediktor mortality pasien cedera kepala. Jurnal Kesehatan Hesti Wira Sakti;
Oct 2016: 4(2), p. 76-90.
2. Tjahjadi, M., Arifin, M. Z., Gill, A. S., Faried, A. Early mortality predictor of severe
traumatic brain injury: a single center study of prognostic variables based on
admission characteristics. The Indian Journal of Neurotrauma; 2013: 0(1), p. 3-8.
3. Irawan, H., Setiawan, F., Dewi, Dewanto G. Perbandingan glasgow coma scale dan
revised trauma score dalam memprediksi disabilitas pasien trauma kepala di RS.
Atma Jaya. Majalah Kedokteran Indonesia; 2010: 60(10), p. 1-5.
4. Brain Injury Association of America. Definition of Brain injury. United State of
America: 2015. Diakses tanggal 2 Februari 2019 pukul 20.00: www.biausa.nih.gov
5. Drake R. L., Vogl A. W., Mitchell A. W. M., Tibbits R. M., Richardson P. E. Gray’s
atlas of anatomy. 2nd Ed. Churchill Livingstone; 2015: p. 477-94.
6. Hansen J. T. Netter’s altas of human anatomy. 20th Ed. Saunders Elsevier; 2015 p. 1-
54.
7. Purves D, Augustine GJ, Fitzpatrick D, et al., editors. Neuroscience. 2nd edition.
Sunderland (MA): Sinauer Associates; 2001. The Blood Supply of the Brain and
Spinal Cord. Diakses dari : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK11042/
8. PERDOSSI. Konsensus Nasional Penanganan Traum Kapitis dan Trauma Spinal.
Jakarta : CV Prikarsa Utama; 2006.
9. Servadei F, Compagnone C, SahuRuillo J. The role of surgery in traumatic brain
injury. Lippincott Williams & Wilkins. 2007; 13: 163-8.
10. National Institute of Neurological Disorder and stroke. NINDS Traumatic Brain
Injury. 2014. Diakses dari : www.ninds.nihgov/disorder/tbi/tbi.htm
11. Werner C. Pathophysiology of Traumatic Brain Injury. Oxford Journal; 2015: 99. p 4-
9.

Anda mungkin juga menyukai