BAB I
PENDAHULUAN
Dislokasi sendi pinggul terjadi ketika kaput femur keluar dari socket nya
pada tulang panggul (pelvis).Secara umum, dislokasi sendi panggul dapat
diklasifikasikan atas kongenital dan traumatik. Insidensi dislokasi sendi
panggul kongenital setiap tahunnya adalah sekitar 2-4 kasus per 1000
kelahiran, dan sekitar 80-85%penderitanya adalah anak perempuan. Dislokasi
sendi panggul kongenital biasanya disebabkan terjadinyadisplasia kaput
femur.
Pada sekitar 90% pasien yang mengalami dislokasi sendi panggul
traumatik, tulang femur terdorong kearah belakang (dislokasi posterior) yang
menyebabkan panggul menjadi kaku, bengkok dan terputar ke arah medial
tubuh. Femur juga bisa terdorong ke depan (dislokasi anterior) sehingga
panggul hanya bengkok sedikit,dan tungkai akan terputar menjauhi tubuh
(arah lateral).
Dengan meningkatnya angka kecelakaan lalulintas, dislokasi pinggul
semakin sering terjadi ditemukan. Fragmen tulang yang kecil sering menonjol
karena sendi berdislokasi : kalau terdapat fragmen yang besar atau kominusi,
ini dianggap sebagai jenis Fraktur – dislokasi.
Cedera digolongkan menurut arah dislokasi : posterior ( sejauh ini tipe ini
yang paling sering ditemukan), anterior dan pusat ( fraktur kominutif atau
fraktur pergeseran pada asetabulum).
1
Prognosis kelainan ini tergantung pada diagnosis dini dan terapi yang
diberikan. Tujuan tatalaksana dini DDH adalah untuk mengembalikan biomekanik
normal sendi panggul sehingga dapat menunda atau mungkin mencegah
timbulnya komplikasi berupa avaskular nekrosis dan osteoarthritis panggul. Terapi
konservatif pada anak yang sudah berjalan, akan lebih sulit, karena sudah terdapat
mekanisme adaptasi terhadap proses berjalan dan kemungkinan sudah terjadi
kontraktur pada jaringan sekitarnya.
2
1.2 Tujuan
berikut:
1.3 Manfaat
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
2.2 ETIOLOGI
Etiologi dysplasia pinggul tidak jelas, tapi kondisi ini tidak tampak
terkait dengan sejumlah factor yang berbeda. Salah satunya adalah
dengan latar belakang ras, antara penduduk asli Amerika dan
Laplanders, prevalensi dysplasia pinggul jauh lebih tinggi (hampir 25 –
50 kasus per 1000 orang) dari ras lain, dan prevalensi sangat rendah di
antara selatan Cina. Disposisi genetik yang mendasari juga
mempengaruhi bahkan mengalami peningkatan 10 kali lipat frekuensi
terjadinya dysplasia pelvis pada anak-anak yang orangtuanya juga
mengalami perkembangan dysplasia pinggul (DDH) dibandingkan
dengan mereka yang orangtuanya tidak mengalami DDH.
Faktor lain yang kemungkinan berhubungan dengan DDH yaitu
posisi intrauterine dan seks, dan beberapa diantaranya saling berkaitan.
Perempuan : anak pertama lahir dan posisi
sungsang semua berhubungan dengan peningkatan prevalensi
DDH. Diperkirakan 80% orang dengan DDH adalah
perempuan, dan tingkat posisi sungsang pada anak dengan
DDH adalah 20% (dibandingkan dengan 2-4% pada populasi
umum). Prevalensi DDH pada perempuan lahir diposisi
sungsang telah diperkirakan setinggi 1 kasus di 15 orang pada
beberapa studies.
Gangguan muskuloskeletal lainnya dari malposisi intrauterine,
seperti adduktus metatarsus dan torticollis.
4
Oligohydramnion juga dikaitkan dengan peningkatan
prevalensi DDH. Pinggul kiri lebih umumnya terkait dengan
DDH dari pada kanan, karena posisi intrauterine umumnya
pada pinggul kiri terhadap sacrum, memaksa menjadi posisi
adduksi. Hip dysplasia dapat dikaitkan dengan mendasari
gangguan neuromuscular , seperti cerebral palsy,
myelomeningocele, arthrogryposis, dan sindrom Larsen,
meskipun biasanya tidak dianggap DDH.
2.3 EPIDEMIOLOGI
Insidensi congenital hip dislocations kira kira 1 dari 500 populasi. Data
penelitian menyebutkan bahwa prevalensi congenital hip dislocation kira kira
587.310 kasus.
Sendi panggul terbentuk atas sambungan kaput femur dan asetabulum dari
pelvis, dan merupakan sendi dengan tipe ball-and-socket. Permukaan sendi
acetabulum berbentuk tapal kuda dan dibagian bawah membentuk takik
disebut incisura acetabuli. Rongga acetabulum diperdalam dengan adanya
fibrocartilago dibagian pinggrinya yang disebut sebagai labrum acetabuli.
Labrum ini menghubungkan incisura acetabuli dan disini dikenal sebagai
ligamentum transversum acetabuli. Persendian ini dibungkus oleh capsula dan
melekat di medial pada labrum acetabuli
Ligamentum
Femur diletakkan di asetabulum oleh 5 ligamen yang terpisah yaitu:
Ligamen iliofemoral meletakkan ke anterior inferior iliac spine of the
pelvis Dan intertrochanteric line of the femur .
5
Ligamen pubofemoral berasal dari ramus pubis superior, juga meletakkan
ke intertrochanteric line of the femur.
Ligamen Ischiofemoral : menghubungkan ischium ke greater trochanter of
the femur
Ligamen transverse acetabular Terdiri labrum menyelubungi acetabular
notch.
Ligamenfemoral head menghubungkan kaput femur dengan transverse
ligament Dan acetabular notch
Pendarahan
Cabang cabang arteria circumflexa femoris lateralis dan arteria
circumflexia femoris medialis dan arteri untuk caput femoris, cabang
arteria obturatoria.
Persyarafan
Nervus Femoralis cabang ke m.rectus femoris
Nervus Obturatorius (bagian anterior)
Nervus Ischiadicus (saraf ke musculus quadratus femoris)
Nervus gluteus superior.
6
LIGAMENTUM
ARTICULATIO COXA
NERVUS
7
PENDARAHAN
8
1.5 . Jenis – Jenis Dislokasi Pinggul
I. Dislokasi Pinggul Kongenital
Merupakan suatu fase ketidakstabilan sendi panggul pada bayi baru
lahir. Dalam keadaan normal, panggul bayi baru lahir dalam keadaan
stabil dan sedikit fleksi. Insidensi ketidakstabilan adalah 5-20 per
1000kelahiran hidup, namun biasanya pinggul menjadi stabil secara
spontan dan dengan pemeriksaan ulang 3 minggu setelah kelahiran
insidensi berkurang menjadi 1-3 per 1000 kelahiran hidup.
Gambaran klinis
Asimetri pada lipatan lipatan kulit paha. Pemeriksaan klinik untuk
mengetahui dislokasipanggul bawaan pada bayi baru lahir adalah.
9
a. Uji Ortolani
Pada pemeriksaan ini ibu jari pemeriksa memegang paha bayi
bagian medial dan jari lainnya pada trochanter mayor. Sendi
panggul difleksikan 90 derajat kemudian di abduksi secara hati
hati. Pada bayi normal abduksi dpat sebesar 65-80 derajat dapat
dengan mudah dilakukan, dan bila abduksi kurang dari 60 derajat
maka harus dicurigai adanya dislokasi panggul bawaan dan
kemudian jika trochanter mayor ditekan terdengar bunyi klik
maka hal ini menandakan adanya reduksi dislokasi dan kemudian
pinggul berabduksi sepenuhnya dan disebut uji ortolani +. Jika
abduksi berhenti ditengah jalan dan tidak ada sentakan ke dalam,
mungkin adanya suatu dislokasi yang tidak dapat direduksi.
b. Uji Barlow
Dilakukan dengan cara yang sama, tetapi disini ibu jari pemeriksa
ditempatkan pada lipatan paha dan, dengan memegang paha bagian
atas, diusahakan mengungkit kaput femoris ke dalam dan keluar
asetabulum baik dalam keadaan abduksi dan adduksi. Bila caput
femoris dapat dikeluarkan dari soketnya (asetabulum) dan
dimasukkan kembali disebut dislocatable/unstable of the hip.
Pencitraan
Ultrasonografi secara luas menggantikan radiografi untuk
pencitraan pinggul neonates..Pada saat kelahiran caput femoris dan
acetabulum pada bayi baru lahir tidak dapat dinilai
dengan visualisasi langsung, karena caput femur belum mengalami
ossifikasi dan merupakan tulang rawan tubuh yang tidak
divisualisasikan pada sinar x ray.
Sinar X polos bermanfaat setelah 6 bulan pertama karena Pusat
ossifikasi untuk caput femoris umumnya muncul antara tiga - enam
bulan. Pengukuran digunakan untuk mengevaluasi hubungan caput
femoral dan acetabulum termask garis Hilgenreiner, indeks acetabular,
garis Perkin-Ombredanne, line Shenton-Menard.
10
Garis Perkins-Ombredanne adalah garis yang ditarik tegak
lurus dengan garis-Y, melalui tepi palinglateral tulang rawan
acetabular,yang sebenarnya sesuai dengan SIAI pada bayi baru lahir,
aspek medial leher femoralis harusnya berada pada lower inner
quadran . Munculnya salah satu dari struktur di luar kuadran
tersebut menunjukkan subluksasi atau dislokasi pinggul.
Penatalaksanaan
3-6 Bulan Pertama
Jika uji ortolani dan barlow positif, harus dicurigai dan dirawat
dengan popok dobel atau bantal abduksi selama 6 minggu. Pada
stadium ini diuji lagi, bayi yang pinggulnya stabil dibiarkan bebas
tetapi tetap dalam pengawasan setidaknya dalam 6 bulan pertama, jika
tetap dalam ketidakstabilan maka dilakukan pembebatan abduksi yang
lebih formal setidaknya selama 6 bulan, sampai rontgen sinar X
11
memperlihatkan bahwa atap asetabulum berkembang dengan baik
(biasanya 3-6 bulan).
Karena 80-90% pinggul yang tak stabil pada saat kelahiran akan
stabil secara spontan dalam 3 minggu, maka pembebatan tidak perlu
segera dilakukan kecuali dislokasi sudah jelas terjadi. Jika setelah 3
minggu dislokasi masih terjadi maka pembebatan abduksi dilakukan.
Kalau pinggul sudah mengalami dislokasi pada pengujian pertama
dengan hati hati pinggul ditempatkan dalam posisi reduksi dan
pembebatan abduksi dilakukan. Reduksi dipertahankan jika pinggul
stabil, dan pembebtana sebaiknya dipertahankan hingga sinar-X
memperlihatkan suatu atap asetabulum yang baik
Tujuan pembebatan adalah mempertahankan pinggul agar berfleksi
dan berabduksi. Untuk bayi yang baru lahir , popok dobel atau bantal
abduksi cukup memadai. Bebat van rosen adalah bebat suatu bebat
lunak berbentuk H yang bermanfaat karna mudah digunakan. Tiga
aturan pembebatan yang terbaik adalah pinggul harus direduksi
sebagaimana mestinya sebelum dibebat, posisi ekstrim harus
dihindari, dan pinggul dapat digerakkan.
- Reduksi tertutup
Ideal tetapi memiliki resiko rusaknya pasokan darah pada caput
femoris dan menyebabkan nekrosis. Untuk memperkecil resiko ini
reduksi dilakukan berangsur angsur, traksi dilakukan pada kedua kaki,
dan berangsur angsur abduksi ditingkatkan hingga dalam 3 minggu
kaki direntangkan lebar lebar.
Pembebatan pinggul yang direduksi sitahan dalam spika gips
dalam posisi 60 derajat fleksi, 40 derajat abduksi dan 20 derajat rotasi
12
internal. Setalah 6 minggu spika digantikan dengan bebat yang
menyebabkan abduksi dan dipertahankan selama 3-6 bulan. Kalau
reduksi belum tercapai dilakukan reduksi terbuka.
13
II. Dislokasi Panggul posterior
Mekanisme Cedera
Empat dari lima dislokasi pinggul traumatic adalah
posterior. Biasanya fraktur ini dapat terjadi akibat traumadengan
gaya atau tekanan yang besar dalam kecelakaan lalu lintas bila
seseorang yang duduk dalam truk atau mobil yang terlempar kearah
depan, sehingga lutut terbentur pada dashboard. Dengan demikian
Femur terdorong Ke atas dan Kaput femoris keluar dari mangkuknya
: sering sepotong tulang pada punggung asetabulum terpotong
( fraktur – dislokasi).
Gambaran Klinik
- Kaki pendek dan beradduksi
- Berotasi internal
- Dan sedikit berfleksi
Tetapi bila salah satu tulang panjang mengalami fraktur ( biasanya
femur ) cedera pinggul dengan mudah dapat terlewat.
Pemeriksaan Rontgen
Dilakukan foto anteroposterior
- Terlihat kaput femoris diluar mangkuknya dan di atas
asetabulum.
- Segmen atap asetabular atau kaput femoris mungkin telah patah
dan bergeser
- Foto oblik berguna untuk menunjukan ukuran fragmen itu
- CT scan adalah cara terbaik untuk menunjukan fraktur
asetabulum atau setiap fragmen tulang
Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi yang digunakan untuk
mendeskripsikan dislokasi posterior. KalisikasiThompson-Epstein
didasarkan pada penemuan radiografi, yaitu:
14
15
III. DISLOKASI ANTERIOR
Gambaran Klinis
Pemeriksaan penunjang
Foto rontgren anteroposterior dislokasi dan arah lateral
Klasifikasi
16
Dislokasi sentral terjadi kalau trauma datang dan arah
samping sehingga trauma ditransmisikan lewat trokanter mayor
mendesak terjadi fraktur acetabulum sehingga caput femors masuk
ke rongga pelvis.
Gambaran klinis
Didapatkan perdarahan dan pembengkakan di daerah tungkai
bagian proksimal tetapi posisi tetap normal. Nyeri pada daerah
trokanter. Gerakan sendi panggul sangat terbatas.
Radiologis
Adanya pergeseran dari caput femur menembus panggul, Tampak
kaput femoris begerser ke medial dan lantai asetabulum mengalami
fraktur.
Penatalakasanaan
Dislokasi posterior
17
5. Fraktur – dislokasi
a. tipe II Epstein sering diterapi reduksi terbuka segera dan
fiksasi anatomi, tetapi kalau tidak tersedia ahli bedah yang
terampil maka pinggul direduksi secara tertutup dan traksi
di pertahankan selama 6 minggu
b. Tipe III diterapi secara tertutup
c. Tipe IV dan V pada awalnya diterapi dengan reduksi
tertutup, bila terdapat fragmen kaput femoris pada
tempatnya ini dapat dipastikan dengan CT pasca reduksi.
Metode Allis
Penderita dalam posisi terlentang, Melakukan immobilisasi
pada panggul, Melakukan fleksi pada lutut sebesar 90º dan tungkai
diadduksi ringan dan rotasi medial, Melakukan traksi vertical dan
kaput femur diangkat dari bagian posterior asetabulum, Panggul
dan lututdiekstensikan secara hati- hati
Metode stimson
Pasien dalam posisi tengkurap, tungkai bawah yang mengalami
traumadibiarkan menggantung, Panggul diimmobilisasi dengan
menekan sacrum, Tangan ki r i dokte r memegang pergelangan kaki
dan melakukan fleksi 90º, Tangan ka na n m e m e g ang kebawah
daerah dibawah lutut, Dengan gerakan rocking dan rotasi serta
tekanan langsung dapat dilakukan reposisi
18
Terapi dislokasi anterior
Maneuver yang digunakan hampir sama dengan yang digunakan
untuk mereduksi dilokasi posterior, kecuali bahwa, sewaktu paha yang
berfleksi itu ditarik keatas, paha harus beradduksi. Terapi berikutnya
mirip dengan terapi pada dislokasi posterior. Nekrosis avaskular adalah
komplikasi satu-satunya
19
Dilakukan reposisi dengan skietal traksi sehingga self reposisi pada
fraktur acetabulum tanpa penonjolan kaput femur ke dalam panggul
dilakukan terapi konservatif dengan traksi tulang 4-6 minggu. Pada
fraktur dimana caput femur tembus ke dalam asetabulum, sebaikinya
dilakukan traksi pada 2 komponene yaitu komponene longitudinal dan
lateral selama 6 minggu dan setelah 8 minggu diperbolehkan untuk
berjalan dengan menggunakan penopang berat badan.
Indikasi operatif
Komplikasi
Awal
1. Cedera nervus skiatikus. Kadang –kadang mengalami cedera tapi
biasanya dapat membaik
2. Cedera pembuluh darah Arteri gluteal superior yang terobek
3. Fraktur batang femoris yang menyertai, bila ini terjadi bersamaan
dengan dislokasi pinggul , biasanya keadaan dislokasi terlewatkan.
Lanjut
1. Nekrosis avaskular
Persediaan darah pada kaput femoris sangat terganggu sebesar 10%
pada dislokasi pinggul, jika penangan reduks ditunda dan lebih
beberapa jam, maka angkanya meningkat jadi 40%
2. Dislokasi yang tak dapat direduksi tertutup apabila setelah beberapa
minggu dislokasi tidak diterapi sehingga diperlukan reduksi terbuka.
3. Osteoarthritis sekunder
20
Sering terjadi dan diakibatkan oleh : kerusakan kartilago pada saat
dislokasi atau adanya fragmen yang bertahan dalam sendi, nekrosis
iskemik pada kaput femoris.
Pada tahap dini seperti fraktur lainnya mungkin terjadi cedera viseral
ataupun syok. Pada tahap lebih lanjut kekakuan sendi dengan atau tanpa
osteoartritis sering terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
21