Anda di halaman 1dari 25

BRONCHIECTASIS

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Patologi


Kardiopulmonalis

Dosen Pengampu dr. Eko Ardianto Margiono

Disusun Oleh :

Rewada Ully Saraswati 201510490311066

Nelda Melyanti 201510490311084

Neni Tri Yastin 201510490311085

PROGRAM STUDI S1 FISIOTERAPI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

TAHUN 2016

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT yang masih memberikan
kepada kami berupa kesehatan jasmani dan rohaniyah serta masih memberikan
kita iman dan ihsan. Shalawat dan salam kita panjatkan keharibaan Nabi Besar
Muhammad SAW yang membawa kami semua dari alam kegelapan kepada alam
yang terang benderang, dari zaman jahilliyah ke zaman yang penuh dengan
hikmah.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam terlaksananya makalah bronkiektasis dari hasil diskusi ini
terutama kepada Bapak Eko Ardianto Margiono selaku dosen pengampu mata
kuliah Kardipulmonal yang tiada henti-hentinya memberikan kami motivasi
dalam pembuatan makalah bronkiektasis ini dan kepada teman-teman yang turut
membantu dalam penyelesaian makalah ini baik itu berupa tenaga maupun pikiran
yang menurut kami sangat membantu.

Kami menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah


bronkiektasis ini yang tidak bisa kami selesaikan tanpa bantuan para pembaca
sekalian. Oleh karena itu kami memohonkan saran dan kritik yang membangun
guna menyempurnakan isi dari makalah ini. Semoga makalah bronkiektasis ini
dapat bermanfaat bagi kami maupun bagi kawan-kawan yang membacanya.
Aamiin

Malang, 21 November 2016

ii
DAFTAR ISI

COVER i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 1

1.3 Tujuan Penulisan 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Definisi Bronkiektasis 3

2.2 Etiologi Bronkiektasis 4

2.3 Prevalensi Bronkiektasis 5

2.4 Faktor Resiko Bronkiektasis 6

2.5 Patofisiologi Penyakit Bronkiektasis 6

2.6 Patofisiologi Gejala/Klinis Bronkiektasis 9

2.7 Komplikasi Bronkiektasis 10

2.8 Penatalaksanaan Medis dan Fisioterapi Bronkiektasis 11

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan 21

3.2 Saran 21

REFERENCE

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penelitian pada tahun 2005 didapatkan sekitar 110.000 pasien dengan


bronkiektasis di Amerika Serikat. Pada tahun 2005 penyakit ini sering terjadi pada
usia tua dengan dua pertiga adalah wanita. Di Indonesia sendiri belum ada laporan
tentang angka-angka yang pasti mengenai penyakit bronkiektasis ini.
Bronkiektasis merupakan dilatasi kronik bronkus dan bronkiolus permanen.
Dilatasi bronkus ini bisa setempat (lokal) dengan melibatkan jalan napas yang
memasok bagian parenkim paru yang terbatas, atau bisa juga difus dengan
melibatkan jalan napas dalam distribusi yang tersebar lebih luas (Isselbacher. Et
al, 2000). Faktor resiko masalah kongenital atau penyakit yang didapat dan factor
penunjang seperti merokok. Komplikasinya akan menyebabkan pneumoni dan
kegagalan nafas. Tujuan dari penatalaksanaan fisioterapi ini untuk meningkatkan
faal paru, dimana yang lebih dititik beratkan adalah pada latihan otot pernapasan
atau breathing exercise dan melapangkan jalan pernapasan, dimana yang lebih
dititik beratkan adalah untuk membersihkan saluran pernapasan dari secret
sehingga dapat menaikkan faal ventilasi. Fungsi utamanya untuk mempertahankan
fungsi utama respirasi dan membersihkan saluran pernapasan dari secret yang ada
di bronkus.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Definisi dan Etiologi Bronkiektasis

2. Prevalensi dan Faktor Resiko Bronkiektasis

3. Patofisiologi Penyakit dan Gejala/Klinis Bronkiektasis

4. Komplikasi dan Penatalaksanaan Medis dan Fisioterapi Bronkiektasis

1
1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk Mengetahui Definisi dan Etiologi Bronkiektasis

2. Untuk Mengetahui Prevalensi dan Faktor Resiko Bronkiektasis

3. Untuk Mengetahui Patofisiologi Penyakit dan Gejala/Klinis Bronkiektasis

4. Untuk Mengetahui Komplikasi dan Penatalaksanaan Medis dan Fisioterapi


Bronkiektasis

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI

Bronkiektasis merupakan dilatasi kronik bronkus dan bronkiolus permanen.


Dilatasi bronkus ini bisa setempat (lokal) dengan melibatkan jalan napas yang
memasok bagian parenkim paru yang terbatas, atau bisa juga difus dengan
melibatkan jalan napas dalam distribusi yang tersebar lebih luas (Isselbacher. Et
al, 2000). Bronkiektasis bukan merupakan penyakit tunggal, muncul karena
berbagai penyebab dan merupakan akibat dari beberapa keadaan yang mengenai
dinding bronkial, baik secara langsung maupun tidak, yang mengganggu sistem
pertahanan. Keadaan ini mungkin muncul di satu atau dua tempat.

Bronkiektasis merupakan kelainan marfologis yang dari pelebaran bronkus


yang abnormal dan menetap disebabakan kerusakan elastis dan muskular dinding
bronkus. Dilatasi bronkus yang bersifat abnormal dan permanen. Dilatasi dapat
bersifat fokal atau difus, biasanya diakibatkan oleh infeksi kronik, obstruksi
pernapasan proksimal atau abnormalitas bronkus congenital. Bronkiektasis dapat
dikelompokkan berdasarkan gambaran radiologi atau patologi jalur pernapasan
menjadi silinder (penambahan diameter bronkus yang bersifat regular dan luman
distal bronkus tidak begitu melebar), varicose (pelebaran bronkus lebih lebar dari
bentuk silinder dan bersifat irregular) dan kistik (dilatasi bronkus sangat progresif
menuju ke parifer bronkus).

3
Salah satu cabang mengalami dilatasi karena adanya produksi sputum yang
meningkat. Dan paru-paru yang terkena bronkiektasis akan terlihat seperti sarang
tawon.

1. Bentuk silindrik (tubular)

Seringkali dihubungkan dengan kerusakan parenkim paru, terdapat penambahan


diameter bronkus yang bersifat regular, lumen distal bronkus tidak begitu
melebar.

2. Bentuk varikosa/varises (fusiform)

Pelebaran bronkus lebih lebar dari bentuk silindrik dan bersifat irregular.
Gambaran garis irregular dan distal bronkus yang mengembang adalah gambaran
khas pada bentuk varikosa.

3. Bentuk sakuler (kistik)

Dilatasi bronkus sangat progresifmenuju ke perifer bronkus. Pelebaran bronkus ini


terlihat sebagai balon, kelainan ini biasanya terjadi pada bronkus besar, pada
bronkus generasi ke 4. Bentuk ini juga terdapat pada BE congenital.

2.2 ETIOLOGI

Bronkiektasis dapat disebabkan oleh beberapa kondisi berikut:

a. Kelainan Kongenital (dalam hal ini bronkiektasis terjadi sejak individu


masih dalam kandungan bisa karena dalam pembentukan cabang
bronkiolus yang tidak sempurna dan terjadinya fibrosis kistik yang
terjadi di pankreas).
4
b. Infeksi paru yang bisa disebabkan karena polutan berat/ pneumoni
berulang dan perubahan bentuk dari bronkus atau bronkiolus.

c. Aspirasi benda asing, muntahan atau material yang berasal dari saluran
nafas bagian atas.

d. Tekanan dari tumor bisa terjadi karena adanya dilatasi pembuluh darah
dan pembesaran kelenjar limfe.

2.3 PREVALENSI

Riwayat bronkiektasis pertama kali ditemukan oleh Rene Theophile Hyacinthe


Laennecc pada tahun 1819 pada pasien dengan flegmon supuratif. Tahun 1922,
Jean Athanase Sicard dapat menjelaskan perubahan distruktif saluran respiratorik.
Pada gambaran radiologis melalui penemuannya, yaitu bronkografi dengan
kontras. Dengan pemberian imunisasi terhadappertusis, campak dan juga regimen
pengobatan penyakit TB yang lebih baik, maka diduga pravalens penyakit ini
semakin rendah. Hal ini dikarenakan penyakit TB dan pertusis merupakan salah
satu penyebab dari bronkiektasis (Emmons, 2008)

Penelitian pada tahun 2005 didapatkan sekitar 110.000 pasien dengan


bronkiektasis di Amerika Serikat. Pada tahun 2005 penyakit ini sering terjadi pada
usia tua dengan dua pertiga adalah wanita. Weycker et al melaporkan prevalensi
bronkiektasis di Amerika Serikat 4,2 per 100.000 orang dengan usia 18-34 tahun
dan 272 per 100.000 orang dengan usia 75 tahun. Sedangkan di Auckland, New
Zealand terdapat 1 per 6.000 penderita bronkiektasis (Syahrul, 2011).

Sebanyak 42% kasus disebabkan oleh post infeksi, namun sekitar 50% lainnya
tidak diketahui penyebab pastinya. Di Indonesia sendiri belum ada laporan tentang
angka-angka yang pasti mengenai penyakit bronkiektasis ini. Kenyataannya
penyakit ini cukup sering ditemukan di rumah sakit dan di klinik-klinik dan
diderita oleh laki-laki maupun perempuan. Penyakit ini dapat diderita mulai sejak
anak-anak, bahkan dapat merupakan kelainan konginetal.

5
2.4 FAKTOR RESIKO

1. Kelainan Kongenital (dalam hal ini bronkiektasis terjadi sejak individu


masih dalam kandungan bisa karena dalam pembentukan cabang bronkiolus
yang tidak sempurna dan terjadinya fibrosis kistik yang terjadi di pankreas).

2. Bisa factor penunjang seperti merokok karena di dalam rokok terdapat zat
nikotin yang menyebabkan adanya plak sehingga meningkatnya produksi
mucus dan mengangkutan oksigen oleh sel darah merah dari paru-paru ke
organ lain tersumbat.

2.5 PATOFISIOLOGI PENYAKIT

Bronkiektasis merupakan penyakit pada bronkus dan bronkiolus, yang


melibatkan infeksi transmural dan reaksi radang. Penyakit tersebut bersifat kronik
dengan eksaserbasi akut sepanjang perjalanannya. Infeksi biasanya Pseudomonas
aeruginosa atau haemophilus influenza, menyebabkan proses peradangan dan
merusak dinding bronkus, infeksi, khususnya oleh kedua mikroorganisme
tersebut, menghasilkan pigmen, protease dan toksin yang dapat merupakan epitel
pernapasan dan klirens mukosiller. Proses inflamasi dan gangguan klirens
mukosiller menyebabkan kolonisasi bakteri mudah terjadi sehingga terjadi infeksi
berualang yang akan terus menyebabkan proses inflamasi dan gangguan klirens
mukosiller. Proses tersebut dikenal dengan hipotesis “viclous cycle” tersebut
menyebabkan neutrofil dan mediator lainnya keluar dan menyebabkan kerusakan
epitel yang semakin berat, obstruksi, kerusakan jalur napas dan infeksi berualang.

Infeksi merusakkan dinding bronkial, sehingga akan menyebabkan hilangnya


struktur dan meningkatnya produksi sputum kental yang akhirnya akan
mengobstruksi bronkus. Dinding secara permanen menjadi distensi oleh bentuk
yang berat. Infeksi meluas ke jaringan peribronkial, pada kondisi initimbullah
saccular bronkiektasis. Setiap kali dilatasi, sputum kental akan berkumpul dan
menjadi abses paru, eksudat keluar secara bebas melalui bronkus. Bronkiektasis
biasanya terlokalisasi dan memengaruhi lobus atau segmen paru. Lobus bawah
merupakan area yang paling sering terkena. Retensi dari sekret dan timbul
obstruksi pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi dan kolaps (atelektasis)

6
alveoli distal. Jaringan parut (fibrosis) terbentuk sebagai reaksi peradangan akan
menggantikan fungsi dari jaringan paru. Pada saat ini kondisi klien berkembag ke
arah insufisiensi pernafasan yang ditandai dengan menurunnya kapasitas vital
(vital capacity), penurunan ventilasi, dan peningkatan rasio residual volume
terhadap kapasitas total paru. Terjadi kerusakan pertukaran gas dimana gas
inspirasi saling bercampur (ventilasi-perfusi imbalance) dan juga terjadi
hipoksemia.

BRONKIEKTASIS

Penyakit paru primer


Kekurangan Pertahanan Kelainan struktur kartilago
(tumor paru, benda
bronkus
asing,TB paru)
Proses infeksi akut di jaringan
paru-paru (secara berulang) Terkumpulnya
Secret Obstruksi
Kerusakan permanen saluran nafas
pada dinding bronkus Kuman berkembang
Penyerapan udara di
dan infeksi bakteri pada
jaringan dasar dan
dinding bronkus
Ketidak efektifan batuk sekitarnya tersumbat

Kerusan pada Tekanan Intra Pleura


jaringan otot dan lebih negatif dari
elastin Tekanan Atmosfir

Bronkus mengalami
Kerusan bronkus perenggangan
Kemampuan kontraksi
yang menetap
bronkus berkurang
Infeksi jalan nafas
sekunder dan terjadi
sirkulus

Mudah Terjadi Infeksi 7

Bronkiektasi yang
menetap
2.6 PATOFISIOLOGI KLINIS & GEJALA

8
1. Dua tanda utama yang terdapat pada bronkiektasis yaitu batuk
berdahak yang terjadi pada pagi hari karena adanya penimbunan
selama kita tertidr dan posisi tubuh miring ketika tidur akan membantu
dalam mengeluarkan dahak di pagi hari. Sputum mukoid
(dahak/lendir) yang purulen merupakan tanda yang karakteristik
berwarna hijau dan berbau busuk dan selain itu dapat pula terjadi
hemoptisis, pneumonia yang berulang, sinusitis dan akan mengalami
batuk darah.

2. Clubbing fingers (jari tambur) akibat insufisiensi pernapasan atau


perubahan jaringan ikat pada jaringan lunak di dasar kuku yang
berkaitan dengan kekurangan oksigen atau dilatasi pembuluh darah di
ujung jari. Poliposis, ronki basah yang jarang terdengar keras pada
inspirasi dan menghilang pada saat ekspirasi (ronki basah hingga 70%
kasus).

3. Lemas, penurunan berat badan

Penurunan berat badan terjadi akibat peningkatan kebutuhan kalori


berkaitan dengan peningkatan kerja pada batuk dan pembersihan secret
pada jalan napas. Namun pada umumnya semua penyakit kronik
disertai dengan penurunan berat badan (Emmons, 2007).

4. Dipsneu, mengi karena adanya infeksi saluran nafas kemudian


berkembang biak di bronkiolus dan terjadi inflamasi sehingga produksi
mucus meningkat dan terjadi obstruksi kemudian sesak nafas.

5. Nyeri dada pleuritik dan demam biasanya terjadi akibat infeksi yang
berulang pada bronkiolus atau paru (Emmons, 2007

6. Hemoptisis

Terjadi akibat pecahnya cabang pembuluh darah vena (arteri


pulmonalis) sehingga warna yang dihasilkan kecoklatan karena
bercampurnya dahak yang hijau dan darah. Infeksi saluran pernafasan
kemudian berkembang biak di bronkiolus dan terjadi pembengkakan

9
dan mucus meningkat sehingga merangsang reflex batuk dan batuk
tersebut terus meningkat sehingga pembuluh darah pecah di trakea,
warna yg dihasilkan berwarna merah karena dahak yang keluar sedikit
(berwarna putih).

2.7 KOMPLIKASI

Komplikasi dalam era antibiotika yang paling ditakuti adalah hemoptoe profus
yang dapat sekali timbul atau berulang. Komplikasi lain yaitu akibat proses
radang menahun yang menyertai penyakit ini, kemungkinan timbulnya radang
akut berupa Infeksi saluran pernafasan bawah (ISPB), abses paru atau empiema
serta bahaya sekunder berupa emboli pus yang akan dapat mencapai otak dan
menimbulkan abses di otak. Resiko bronkiektasis sebagai sumber infeksi fokal
juga selalu perlu diperhitungkan dan timbulnya cor pulmonale.

2.7.1.1 Pneumoni

Pneumoni berulang sehingga terjadi radang pada dinding bronkiolus dan


masuk ke paru-paru yang menyebabkan atelektasis atau paru-paru mengkerut
akibat penyumbatan)

2.7.1.2 Pleuritis

Akibat dari infeksi yang menyebabkan iritasi pada pleura (pembungkus paru-
paru) sehingga terjadinya radang.

2.7.1.3 Hemoptisis

Terjadi akibat pecahnya cabang pembuluh darah vena (arteri pulmonalis)


sehingga warna yang dihasilkan kecoklatan karena bercampurnya dahak yang
hijau dan darah. Infeksi saluran pernafasan kemudian berkembang biak di
bronkiolus dan terjadi pembengkakan dan mucus meningkat sehingga
merangsang reflex batuk dan batuk tersebut terus meningkat sehingga
pembuluh darah pecah di trakea, warna yg dihasilkan berwarna merah karena
dahak yang keluar sedikit (berwarna putih).

2.7.1.4 Kegagalan Jantung

10
Tidakmampunya tubuh dalam mempertahankan tekanan oksigen dan
karbondioksida. Infeksi saluran napas dan berkembang biak di bronkiolus
sehingga menyebabkan inflamasi dan terdapat mucus sehingga udara sulit
untuk keluar atau pun masuk menyebabkan sesak nafas karena adanya
produksi mucus yang meningkat dan terjadi gagal nafas.

2.8 PENATALAKSANAAN MEDIS & FISIOTERAPI

1. Penatalaksanaan Medis

1. Pemeriksaan Radiologi, CT-Scan dan Bronkoskopi

Foto toraks normal tidak menyingkirkan kemungkinan penyakit ini,


biasanya didapatkan corakan paru menjadi lebih kasar dan batas-batas corakan
mwnjadi kabur, daerah yang terkena corakan tampak mengelompok, kadang-
kadang ada gambaran sarang tawon serta gambaran kistik yang berdiameter
sampai 2 cm kadang-kadang terdapat garis-garis btas pernukaan udara-cairan.
Pada pemeriksaan akan dijumpai gambaran cincin kecil didaerah para hiler atau
para kardial di atas dasar yang agak suram (infiltrate).

Cincin ini merupakan penampang melintang bronkus yang mengalami


dilatasi patologis tersebut. Bila gambaran cincin banyak maka akan menyerupai
sarang tawon. Pada pemeriksaan bronkoskopi terlihat gambaran bronkus serta
obliterasi percabangan distalnya. CT Scan juga dapat menunjukkan kelainan dasar
dengan menggunakan scan resolusi tinggi akan memberitahukan dilatasi bronkus
dan penebalan dinding bronkus, modalitas ini juga mampu mengetahui lobus
mana yang terkena dan jauh lebih mudah tanpa resiko komplikasi apapun maka
sekarang pemeriksaan bronkoskopi dan bronkoskop digunakan untuk mengetahui
penyebab penyumbatan endobronkial atau bentuk-bentuk bronkiaktasis yang
dibedakan menjadi beberapa bentuk tetapi kurang fleksibel sudah mulai
ditinggalkan.

2. Pemeriksaan Laboratorium

a. Darah

11
Pemeriksaan darah rutin hanya dapat memperkuat dugaan saja yaitu
lekositosis ringan (tidak selalu) dengan pergeseran ke kanan yang sebenarnya tak
berbeda dengan keadaan dengan infeksi kronis lain. Analisis gas darah hanya akan
menunjukkan hipoksemia ringan karena adanya pengurangan jaringan paru sehat
yaitu keadaan setengah parah. Semakin parah keadaan semakin besar
kemungkinan jaringan yang masih sehat dan tentunya hipoksemia akan semakin
nyata. Pemeriksaan darah tepi menunjukkan hasil dalam batas normal, demikian
pula dengan pemeriksaan urin dan EKG, kecuali pada kasus lanjut.

b. Sputum

Pemeriksaan ini dapat memberikan indikasi tentang bagaimana keadaan


pasien. Semakin purulen sputumnya semakin besar pula bahaya bahwa terjadi
suatu eksaserbasi akut/infeksi sekunder yang baru. Pemeriksaan mikroskopis
menunjukkan adanya berbagai bakteri tetapi yang perlu diperhatikan ialah bakteri
yang jumlahnya jauh lebih besar dari yang lain. Sputum biasanya berlapis tiga,
lapisan atas terdiri dari busa, lapisan tengah adalah sereus, dan lapisan bawah
terdiri dari pus dan sel-sel rusak. Sputum yang berbau busuk menunjukkan infeksi
oleh kuman anaerob.

3. Terapi aerosol

Merupakan cara untuk merangsang terjadinya batuk, mengurangi edema


laring atau menambahkan air pada saluran pernapasan dengan menggunakan gas
cair sehingga dihasilkan sputum. Cara pemberian aerosol dengan metered dose
inhaler (MDI), gas powered hand held nebulizer, pemberian dengan IPPB dan
pemberian melalui intubasi pada pasien yang menggunakan ventilator.

4. Pemeriksaan Faal Paru

Dengan spirometer sederhana dapat dibuktikan adanya pengurangan


kapasitas vital lebih dari 20% dari yang diantisipasi. Demikian pula kecepatan
arus puncak ekspirasi maksimal atau KAEM (peak flow rate atau PFR) akan
menurun.

12
5. Operasi

Operasi hanya dilakukan bila pasien tidak menunjukan perbaikan klinis


yang jelas setelah mendapat pengobatan konservatif yang adekuat selama 1 tahun
atau timbul hemoptisis yang masif. Pertimbangan operasi berdasarkan fungsi
pernapasan, umur, keadaan, mental, luasnya brokiektasis,keadaan bronkus pasien
lainnya, kemampuan ahli bedah, dan hasil terhadapat pengobatan.

2. Penatalaksanaan Fisioterapi

Tujuan dari penatalaksanaan fisioterapi ini untuk meningkatkan faal paru,


dimana yang lebih dititik beratkan adalah pada latihan otot pernapasan atau
breathing exercise dan melapangkan jalan pernapasan, dimana yang lebih dititik
beratkan adalah untuk membersihkan saluran pernapasan dari secret sehingga
dapat menaikkan faal ventilasi. Fungsi utamanya untuk mempertahankan fungsi
utama respirasi dan membersihkan saluran pernapasan dari secret yang ada di
bronkus.

1. Latihan relaksasi

Agar bisa dan terbiasa bernafas dalam kondisi tersebut.

2. Tindakan pencegahan infeksi adalah dengan fisioterapi yaitu (postural


drainage) dilakukan dengan mengatur penderita pada posisi tertentu yaitu
pada posisi supaya terjadi pengeluaran (drainage) sputum yang cepat
karena pengaruh gaya beratnya disertai pengaruh perkusi dan vibrasi
dada.

Posisi penderita yang diharapkan terjadi drainage sesuai dengan lokasi


kelainan paru adalah sebagai berikut :

1. Tidur dengan beberapa bantal, kepala letak tinggi untuk drainage


kedua lobus atas dari segmen apikal.

2. Tidur dengan satu bantal bawah kepala dan satu bantal bawah lutut
untuk drainage lobus atas kanan segmen anterior, dan beberapa bantal

13
tanpa bantal bawah lutut untuk drainage lobus atas kiri segmen
anterior.

3. Tidur menelungkup pada bantal untuk drainage lobus atas segmen


posterior.

4. Tidur pada sisi kiri dengan 3/bagian badan tidur, untuk drainage lobus
tengah kanan dan lobus bawah kanan segmen anterior. Kepala lebih
bawah dari bagian tubuh lainnya.

3. Latihan batuk

Kualitas batuk ditentukan oleh 2 hal yaitu volume udara dapat dikerluarkan
dari paru dan tingginya tekanan udara yang dapat diekspresikan dari intratoraksis.
Beberapa cara agar menghasilkan batuk dengan inspirasi melalui hidung, kaki dan
tangan dideplesikan, kontraksikan otot diafragma untuk menghasilkan batuk,
mengatur diafragma untuk inspirasi dan kemudian tahan pernapasan untuk
beberapa detik

4. Terapi oksigen

Terapi yang bersifat suportif pada berbagai penyakit pada paru yang
bertujuan untuk mencegah terjadinya hipoksia.

5. Latihan pengeluaran sekresi

Meningkatkan pengeluaran sekret trakeobronkial agar sekret dapat


dikeluarkan secara maksimal dengan pemberian mukolitik.

6. Penggunaan sinar laser pada paru

Penggunaan laser ini dipakai karena frekuensi yang pendek, sementara itu
dalam ilmu paru juga telah berkembang bronkoskop, baik yang rigid maupun
yang fiberoptik sehingga sifat sinar ini terhadap jaringan mempunyai peranan
dalam ilmu paru. Sinar laser CO2 digunakan untuk kulit, laring, serviks dan luka
operasi terbuka sedangkan sinar laser Nd-YAG/sinar laser argon digunakan

14
sebagai pengobatan paliatif untuk kanker paru yang tidak dapat lagi dioperasi
dengan pengobatan paliatif konvesional.

7. Breathing exercise (latihan pernapasan)

Untuk merelaksasikan otot diafragma dan untuk meningkatkan faal baru dan
menambah compliance paru. Secara teoritis latihan ini untuk menambah jumlah
udara yang dapat dipompakan oleh paru dengan posisi berbaring, berdiri dan
duduk. Dan latihan ini untuk merelaksasikan jaringan di sekitar paru-paru.

15
PERTANYAAN

1. Maulidiyah Umiyatus Sholihah (101)

Bagaimana cara lain dalam mengeluarkan mukus pada bronkiektasis?

Jawab : dengan cara meminum air hangat agar sputum dapat keluar karena
efek dari hangatnya air yang dapat merelaksasikan otot diafragma.

2. Muhammad Zulkarnain Rosyid (096)

Apakah pemakaian SWD atau MWD dapat mengeluarkan sputum?

Jawab: Fungsi dari SWD dan MWD itu merupakan terapi panas. Panasnya
bisa menembus pada tulang karena frekuensi yang tinggi. Sedangkan untuk
pemakaian dalam pengeluarkan sputum menurut kami tidak bisa karena
kontraindikasi dari SWD dan MWD itu pada jantung. Karena nanti akan
menyebabkan vasodilatasi.

A. SHORT WAVE DIATHERMY

Sebuah mekanisme peningkatan suhu pada jaringan dalam. Untuk


kepentingan medis hanya digunakan 3 ukuran. Panjang gelombang: 7, 11,
22 meter (paling umum). Frekwensi: 45, 27, dan 13 megacycles. Dosis
tidak bisa diukur secara pasti karena tergantung besarnya resisten dari
jaringan. Dalam aplikasi SWD, pasien merupakan sebuah sirkuit sistem
yang aktif.

16
Efek fisiologinya yaitu meningkatkan temperatur jaringan, meningkatkan
aliran darah dan lymfatic, vasodilatasi vasculer, meningkatkan
metabolisme, relaksasi otot, mengurangi nyeri.

Indikasinya yaitu pain, muscle spasm, joint stiffness, post operative, nerve
regeneration, arthritis, bronchitis.

Kontraindikasi yaitu acute inflammatory, venous thrombosis, arterial


disease, pregnancy, internal fixation (metal), loss skin sensation, tumors,
x-ray therapy.

B. MICRO WAVE DIATHERMY

Menggunakan frekwensi 300 – 30000 MHz. Panjang gelombang 10 mm – 1


m. Penggunaan untuk terapi:

Frequency Wavelength

2450 12.2

915 32.8

434 69.1

Efek fisiologisnya yaitu Gelombang micro akan meningkatkan suhu jaringan.


Jaringan yang memiliki banyak kandungan air akan lebih menyerap
gelombang, shg otot akan lebih cepat panas dibandingkan dengan lemak dan

17
tulang. Kulit adalah jaringan yang paling mudah meningkat suhunya,
meskipun 50% gelombang dipantulkan oleh udara di permukaan kulit.

Indikasinya meliputi : Disorders of musculoskeletal conditions, Sprains,


Strains, Capsular lesions, Degenerative joint disease, Chronic rheumatoid
arthritis, Stiffness in superficial joints, Haematoma, Pain, Muscle spasm,
Chronic inflammation, Delayed healing, Chronic infection, Fibrosis.

Kontraindikasinya : over malignant tissues, over ischemic tissues, moderate


and excessive oedema, over wet dressings and adhesive tapes, metallic
implants, pace makers, over growing bone, haemorrhagic areas, tuberculous
joints, impaired thermal sensation, unreliable patients, the eyes, recent
radiotherapy, hypersensityvity to heat, acute infection or inflammation,
obesity, analgesic therapy, venous thrombosis or phlebitis, pregnancy,
menstruation, acute dermatological conditions, severe cardiac conditions,
blood pressure abnormalities.

Dosis tidak bisa diukur secara pasti karena tergantung besarnya resisten dari
jaringan. Heating = Current2 x Resistance. Rata” aplikasi 10 – 20 menit
dengan jarak 2 -10 cm. Intensitas hingga pasien merasa hangat. Dapat
dilakukan 2x sehari.

Kelebihannya : Aplikasi relatif mudah. Area treatment lebih akurat. MWD


low freq, lebih selektif dalam pemanasan otot.

Kekurangan : Tidak bisa untuk struktur yang dalam, Hanya dapat melakukan
pemanasan satu sendi saja. Lebih cepat mengakibatkan skin burn dibanding
SWD.

3. Lilik Nurhasana Purnomo Putri (076)

Apakah jaringan epitel bisa menjadi jaringan fibrosis kistik atau tidak?

Jawab : bisa, karena adanya kelainan bawaan seperti fibrosis kistik yang
terjadi di pankreas, yang bukan konginetal tidak bisa terjadi karena penyakit
bronkiektasis tidak bisa kemana-mana.

18
4. Much Masrinda (082)

Bagaimana pencegahan dini bronkiektasis?

Jawab : dengan cara bila sakit langsung berobat agar tidak terjadi
bronkiektasis dan bisa mencegah dengan antibiotik bila sudah terlanjur
terdapat gejalanya.

19
PERBEDAAN DARI BEBERAPA PENYAKIT

BRONKITIS
NO PERBEDAAN BRONKIEKTASIS TBC
KRONIK

1 Lokasi Bronkiolus Bronkitis Parenkim

2 Demam

Ketika Fokus
gon pecah

3 Sesak ++ + +

4 Batuk +++ + ++

5 Etiologi Bakteri anaerob virus Bakteri aerob


batang tahan
asam

6 Kerusakan +++ + ++
Jaringan

7 Dahak Kental +++ Kental + Kental ++

8 Kepekatan Kental + Hijau Kental + Kental +


Kuning Hijau Kuning Hijau

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Bronkiektasis merupakan kelainan marfologis yang dari pelebaran bronkus


yang abnormal dan menetap disebabakan kerusakan elastis dan muskular dinding
bronkus. Dilatasi bronkus yang bersifat abnormal dan permanen. Dilatasi dapat
bersifat fokal atau difus, biasanya diakibatkan oleh infeksi kronik, obstruksi
pernapasan proksimal atau abnormalitas bronkus congenital. Bronkiektasis
merupakan penyakit pada bronkus dan bronkiolus, yang melibatkan infeksi
transmural dan reaksi radang. Penyakit tersebut bersifat kronik dengan eksaserbasi
akut sepanjang perjalanannya. Infeksi biasanya Pseudomonas aeruginosa atau
haemophilus influenza, menyebabkan proses peradangan dan merusak dinding
bronkus, infeksi, khususnya oleh kedua mikroorganisme tersebut, menghasilkan
pigmen, protease dan toksin yang dapat merupakan epitel pernapasan dan klirens
mukosiller. Peran fisioterapi dalam penyakit ini bisa melakukan postural drainase,
terapi oksigen, terapi aerosol dan latihan pernapasan yang bertujuan untuk
membantu dalam mengatur pernafasan.

3.2 Saran

Penulis menyadari bahwa dalam makalah tentang bronkiektasis ini


mungkin terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, kami berharap makalah ini
berguna dan dapat memperoleh ilmu. Oleh karena itu kritik dan saran anda sangat
bermanfaat bagi kami, untuk lebih menyempurnakannya lagi.

21
DAFTAR PUSTAKA

Tabrani Rab, Dr.H. 1982. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Hipokrates, EGC

Sp.P,FCCP, Dr. Halim Danusantoso. 1999. Buku saku Ilmu Penyakit Paru. Edisi
2. Jakarta : EGC

Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan


Sistem pernapasan. Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika

Tambayong, dr. Jan. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC

Mansjoer, Arif, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media


Aesculapius

Ovedoff, David. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Edisi Revisi. Jakarta :


Binarupa Aksara

22

Anda mungkin juga menyukai