Anda di halaman 1dari 17

UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN PENDAHULUAN: MYASTHENIA GRAVIS

TSALITS LAILA TSUROYA


1706039080

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI PROFESI NERS DEPOK


NOVEMBER 2021
I. Anatomi dan Fisiologi Neuromuscular Junction

Potensial aksi di neuron motorik merambat cepat dari badan sel di dalam SSP ke
otot rangka di sepanjang akson bermielin besar (serat eferen) neuron. Sewaktu
mendekati otot, akson membentuk banyak cabang terminal dan kehilangan
selubung mielinnya. Masing-masing dari terminal akson ini membentuk
persambungan khusus, neuromuscular junction, dengan satu dari 4 banyak sel otot
yang membentuk otot secara keseluruhan (Sherwood, 2014). Sel otot, disebut juga
serat otot, berbentuk silindris dan panjang. Terminal akson membesar membentuk
struktur mirip tombol, terminal button yang pas masuk ke cekungan dangkal, atau
groove, di serat otot dibawahnya. Sebagian ilmuwan menyebut neuromuscular
junction sebagai “motor end plate” (Sherwood, 2014).
Pada neuromuscular junction, sel saraf dan sel otot sebenarnya tidak berkontak satu
sama lain. Celah antara kedua struktur ini terlalu besar untuk memungkinkan
transmisi listrik suatu impuls antara keduanya. Karenanya, seperti di sinaps saraf,
terdapat suatu pembawa pesan kimiawi yang mengangkut sinyal antara ujung saraf
dan serat otot. Neurotransmitter ini disebut sebagai asetilkolin (ACh) (Sherwood,
2014).
Membran Pre Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan dalam bentuk
vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka Ca+ Voltage Gated Channel akan
teraktivasi. Terbukanya channel ini akan mengakibatkan terjadinya influx Calcium.

1
Universitas Indonesia
Influx ini akan mengaktifkan vesikel-vesikel tersebut untuk bergerak ke tepi
membran. Vesikel ini akan mengalami docking pada tepi membran. Karena proses
docking ini, maka asetilkolin yang terkandung di dalam vesikel tersebut akan
dilepaskan ke dalam celah synaptic. ACh yang dilepaskan tadi, akan berikatan
dengan reseptor asetilkolin (AChR) yang terdapat pada membran post-synaptic.
AChR ini terdapat pada lekukanlekukan pada membran post-synaptic (Conti-Fine,
et.al., 2006). AChR terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2 alpha, dan masing-masing
satu beta, gamma, dan delta. Subunit-subunit ini tersusun membentuk lingkaran
yang siap untuk mengikat ACh. Ikatan antara ACh dan AChR akan mengakibatkan
terbukanya gerbang Natrium pada sel otot, yang segera setelahnya akan
mengakibatkan influx Na+. Influx Na+ ini akan mengakibatkan terjadinya
depolarisasi pada membran post-synaptic. Jika depolarisasi ini mencapai nilai
ambang tertentu (firing level), maka akan terjadi potensial aksi pada sel otot
tersebut. Potensial aksi ini akan dipropagasikan (dirambatkan) ke segala arah sesuai
dengan karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan kontraksi
(Sherwood, 2014). ACh yang masih tertempel pada AChR kemudian akan
dihidrolisis oleh enzim 5 Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah
yang cukup banyak pada celah synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan
Asam Laktat. Kolin kemudian akan kembali masuk ke dalam membran pre-synaptic
untuk membentuk ACh lagi. Proses hidrolisis ini dilakukan untuk dapat mencegah
terjadinya potensial aksi terus menerus yang akan mengakibatkan kontraksi terus
menerus.

II. Definisi, Faktor Resiko, dan Etiologi Definisi


 Definisi
Miastenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan antara sistem saraf
(nervus) dan sistem otot (muskulus) yang ditandai dengan kelemahan dan
kelelahan pada beberapa atau seluruh otot, di mana kelemahan tersebut
diperburuk dengan aktivitas terus menerus atau berulang-ulang (Howard,
2008). Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang menyerang
neuromuskular juction ditandai oleh suatu kelemahan otot dan cepat lelah
akibat adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga jumlah
AchR di neuromuskular juction berkurang (Connell, et.al., 2020).
2
Universitas Indonesia
 Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya myasthenia gravis antara lain adalah (Guptill, et.al.,
2011):
1. Penyakit timus
2. Riwayat keluarga penyakit autoimun: lupus eritematosus
sistemik, rheumatoid arthritis, scleroderma
3. Riwayat keluarga myasthenia gravis.
4. Wanita usia < 40 tahun
5. Laki-laki usia > 50 tahun
6. Etnis Asia
 Etiologi
Miastenia Gravis hampir mirip dengan gangguan autoimun lainnya yaitu terjadi
pada individu yang rentan secara genetic. Faktor pencetus yang dapat menjadi
pemicu dari terjadinya miastenia gravis ini diantaranya adalah infeksi,
imunisasi, pembedahan, maupun obat-obatan. Protein yang umumnya terlibat
terhadap produksi autoantibodi adalah nicotinic acetylcholine reseptors (n-
AChR), muscle-spesific kinase (MuSK), dan lipoprotein-related protein 4 (LPR
4). Kompleks protein Agrin-LRP4-MuSK merupakan komponen penting untuk
pembentukan dan pemeliharaan neuromuscular junction termasuk distribusi
dan pengelompokkan AChR (Lie, et.al., 2018).

III. Manifestasi Klinis


Gejala yang paling umum pada miastenia gravis ialah seperti kelemahan otot
ekstraokular yang terjadi sekitar 85% pada pasien. Pasien akan mengalami
penglihatan ganda (diplopia), penurunan kelopak mata (ptosis) atau keduanya pada
presentasi awal. Gejala ini dapat berkembang menjadi miastenia gravis
generalisata yaitu melibatkan otot bulbar, aksial, serta ekstremitas pada 50%
pasien dalam periode 2 tahun. Kelemahan otot bulbar dapat menjadi gejala awal
pada 15% pasien yang menyebabkan munculnya gejala seperti kesulitan
mengunyah atau sering tersedak, disfagia, suara serak serta disartria. Kelemahan
anggota badan biasanya melibatkan otot proksimal lebih dari otot distal, dengan
tungkai atas lebih terpengaruh daripada tungkai bawah. Kondisi yang disebut
dengan krisis miastenia disebabkan oleh keterlibatan otot interkostal dan

3
Universitas Indonesia
diafragma, hal ini merupakan keadaan darurat medis yang sering terjadi pada
MuSK miastenia gravis (Suresh & Asuncion, 2021 ; Murthy, 2020).
Pasien dengan miastenia gravis juga dapat memunculkan kelemahan otot proksimal
yang bermanifestasi sebagai kesulitan bangun dari lantai, berlari, naik tangga
atau mengangkat tangan di atas kepala. Keterlibatan bulbar dan pernapasan
mungkin juga dapat memunculkan disartria, waktu mengunyah makanan yang
lebih lama, kesulitan menelan bahkan hingga sesak napas. Gejala dapat
berfluktuasi sepanjang hari, biasanya membaik pada pagi hari atau setelah
beristirahat (Evoli et al., 2018).

Menurut Ropper, Brown, & Robert (2005), miastenia gravis dapat menyerang otot-
otot wajah, dan menyebabkan penderita menggeram saat berusaha tersenyum serta
penampilan yang seperti tanpa ekspresi. Penderita juga akan merasakan kelemahan
dalam mengunyah dan menelan makanan sehingga berisiko timbulnya regurgitasi
dan aspirasi. Selain itu, terjadi gejala gangguan dalam berbicara, yang disebabkan
kelemahan dari langit-langit mulut dan lidah. Sebagian besar penderita Miastenia
gravis akan mengalami kelemahan otot di seluruh tubuh, termasuk tangan dan kaki.
Kelemahan pada anggota gerak ini akan dirasakan asimetris.
Bila seorang penderita Miastenia gravis hanya mengalami kelemahan di daerah
mata selama 3 tahun, maka kemungkinan kecil penyakit tersebut akan menyerang
seluruh tubuh. Penderita dengan hanya kelemahan di sekitar mata disebut
Miastenia gravis okular. Penyakit Miastenia gravis dapat menjadi berat dan
membahayakan jiwa. Miastenia gravis yang berat menyerang otot-otot pernafasan
sehingga menimbuilkan gejala sesak nafas. Bila sampai diperlukan bantuan alat
pernafasan, maka penyakit Miastenia gravis tersebut dikenal sebagai krisis

4
Universitas Indonesia
Miastenia gravis atau krisis miastenik. Umumnya krisis miastenik disebabkan
karena adanya infeksi pada penderita Miastenia gravis. (Setiyohadi, 2009)
Secara umum, gambaran klisnis Miastenia yaitu (Mumenthaler & mattle, 2006):
 Kelemahan otot yang progresif pada penderita
 Kelemahan meningkat dengan cepat pada kontraksis otot yang berulang
 Pemulihan dalam beberapa menit atau kurang dari satu jam, dengan istirahat
 Kelemahan biasanya memburuk menjelang malam
 Otot mata sering terkena pertama (ptosis , diplopia ) , atau otot faring lainnya
(disfagia , suara sengau )
 Kelemahan otot yang berat berbeda pada setiap unit motoric
 Kadang-kadang, kekuatan otot tiba-tiba memburuk
 Tidak ada atrofi atau fasikulasi
Klasifikasi Klinis: The Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA)
membagi miastenia gravis menjadi 5 kelas utama berdasarkan gambaran klinis dan
tingkat keparahan penyakit. Setiap kelas memiliki prognosis atau respons yang
berbeda terhadap terapi (Gilhus et al., 2011).
 Kelas I: Melibatkan kelemahan otot mata, termasuk kelemahan penutupan mata.
Semua kelompok otot lainnya normal.
 Kelas II: Melibatkan kelemahan ringan otot selain otot mata. Kelemahan otot mata
dengan tingkat keparahan apa pun mungkin dapat terjadi.
 Kelas IIa: Melibatkan kelemahan dominan pada ekstremitas, otot aksial, atau
keduanya. Mungkin juga melibatkan otot-otot orofaringeal pada tingkat yang
lebih rendah.
 Kelas IIb: Melibatkan sebagian besar orofaringeal, otot pernapasan,
atau keduanya. Dapat melibatkan anggota tubuh, otot aksial, atau keduanya
pada tingkat yang lebih rendah.
 Kelas III: Melibatkan otot-otot selain otot mata dalam tingkat moderate.
Kelemahan otot mata dengan tingkat keparahan apa pun dapat terjadi.
 Kelas IIIa: melibatkan ekstremitas, otot, aksial, atau keduanya secara
dominan. Otot orofaringeal dapat terlibat pada tingkat yang lebih rendah.

5
Universitas Indonesia
 Kelas IIIb: Melibatkan orofaringeal, otot pernapasan, atau keduanya secara
dominan. Ekstremitas, otot aksial, atau keduanya dapat memiliki keterlibatan
yang lebih rendah atau dalam tingkatan yang sama.
 Kelas IV: Melibatkan kelemahan dalam tingkat severe pada otot yang terkena.
Kelemahan otot mata dengan tingkat keparahan apa pun dapat terjadi.
 Kelas IVa: Melibatkan ekstremitas, otot aksial, atau keduanya secara
dominan. Otot orofaringeal dapat terlibat pada tingkat yang lebih rendah.
 Kelas IVb: Melibatkan orofaringeal, otot pernapasan, atau keduanya secara
dominan. Ekstremitas, otot aksial, atau keduanya dapat memiliki keterlibatan
yang lebih rendah atau dalam tingkat yang sama. Mencakup juga terhadap
pasien yang membutuhkan NGT tanpa intubasi.
 Kelas V: Melibatkan intubasi dengan atau tanpa ventilasi mekanis, kecuali jika
digunakan selama manajemen rutin pascaoperasi.

6
Universitas Indonesia
IV. Patofisiologi

V. Pengkajian
1. Anamnesis
Adanya kelemahan/ kelumpuhan otot yang berulang setelah aktivitas dan
membaik setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata (dengan
manifestasi: diplopi atau ptosis), dapat disertai kelumpuhan anggota badan
(terutama triceps dan ekstensor jari-jari), kelemahan/kelumpuhan otot-otot
yang dipersarafi oleh nervi cranialis, dpat pula mengenai otot pernafasan yang
menyebabkan penderita bisa sesak.
2. Tes klinik sederhana

7
Universitas Indonesia
a). Tes watenberg/simpson test : memandang objek di atas bidang antara kedua
bola mata > 30 detik, lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes positif).
b). Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara akan
menghilang secara bertahap (tes positif).
3. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Endrofonium merupakan antikolinesterase kerja pendek yang memperpanjang
kerja acetilkolin pada neuromuscular juction dalam beberapa menit. Untuk uji
tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena selama 15 detik, bila dalam
30 detik tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8-9 mg tensilon
secara intravena. Segera setelah tensilon disuntikkan kita harus memperhatikan
otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan
adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh Miastenia gravis,
maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus
diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.
Efek sampingnya dapat menyebabkan bradikardi dan untuk mengatasinya
dapat digunakan atropin.
4. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin 0,8 mg). Bila kelemahan itu
benar disebabkan oleh Miastenia gravis maka gejala-gejala seperti ptosis,
strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
5. Uji Laboratorium
Anti striated muscle (anti-SM) antibody
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 85% pasien yang menderita
timoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Sehingga merupakan salah satu tes
yang penting pada penderita Miastenia gravis. Pada pasien tanpa timoma anti-
SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih
dari 40 tahun.
Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibody
Hampir 50% penderita Miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR
Ab negatif (Miastenia gravis seronegatif), menunjukkan hasil yang positif
untuk anti-MuSK Ab.
Anti-asetilkolin reseptor antibody
8
Universitas Indonesia
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
Miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 70%-95% dari
penderita Miastenia gravis generalisata dan 50% - 75 % dari penderita dengan
Miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi
yang positif. Pada pasien timoma tanpa Miastenia gravis sering kali terjadi false
positive anti-AChR antibody.
6. Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuro muscular melalui 2 teknik, yaitu:
Single-fiber Electromyography (SFEMG)
SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa
peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum
single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot
penderita, sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer (variabilitas pada
interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit
yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal
yang dapat direkam oleh jarum perekam).
Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita Miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor
asetilkolin, sehingga padau RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial
aksi.
7. Gambaran Radiologi
Chest x-ray (foto roentgen thorak)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak,
thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior
mediastinum.
 Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya
thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus Miastenia gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua.
 MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan
rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis Miastenia gravis tidak dapat

9
Universitas Indonesia
ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari
penyebab defisit pada saraf otak

VI. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan atau pengobatan pasien dengan miastenia gravis melibatkan
kombinasi terapi simptomatik dan imunosupresif, dengan timektomi pada kasus
yang sesuai (Connell, et.al., 2020).
 Acetilkolinesterase inhibitor
Dapat diberikan piridostigmin bromida (mestinon) 30-120 mg/3-4 jam/oral. Dosis
parenteral 3-6 mg/4-6 jam/IV tiap hari akan membantu pasien untuk mengunyah,
menelan, dan beberapa aktivitas sehari-hari. Pada malam hari, dapat diberikan
mestinon long-acting 180mg. Apabila diperlukan, neostigmin bromida
(prostigmine): 7,5-45 mg/2-6 jam/oral. Dosis parenteral: 0,5-1 mg/4 jam/iv atau im.
Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga
asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan
mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula.
Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada Miastenia gravis
golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh
stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan,
berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro
intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat 14 diatasi dengan
pemberian propantelin bromida atau atropin. (FK Unhas, 2014)
 Kortikosteroid
Dapat diberikan prednison dimulai dengan dosis rawal 10- 20 mg, dinaikkan
bertahap (5-10 mg/minggu) 1x sehari selang sehari, maksimal 120 mg/6 jam/oral,
kemudian diturunkan sampai dosis minimal efektif. Efek sampingnya dapat berupa:
peningkatan berat badan, hiperglikemia, osteopenia, ulkus gaster dan duodenum,
katarak. (Mumenthaler & Mattle, 2006)
 Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik,
efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa
gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan

10
Universitas Indonesia
dengan dosis 2-3 mg/kg BB/hari/oral selama 8 minggu pertama. Setiap minggu
harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu
pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon
bersamasama dengan azatioprin sangat dianjurkan. (Feldman, et.al., 2005 ;
Setiyohadi, 2009)
 Plasma Exchange (PE)
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang
menguntungkan menjadi prioritas.Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-
asetilkolin secara efektif.Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi.
Dimana pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam
waktu yang lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis
dari PE.Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang
mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan
menjalani timektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode pasca operasi.
Jumlah dan volume dari 15 penggantian yang dibutuhkan kadang-kadang berbeda
tetapi umumnya 3-4 liter sebanyak 5x dalam 2 minggu. (FK Unhas, 2014)
 Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1
gram/kgbb/hari selama 2 hari. (Feldman, et.al., 2005 ; Setiyohadi, 2009)
 Timektomi
Timektomi umumnya dianjurkan pada pasien umur 10-55 tahun dengan Miastenia
gravis generalisata. Walaupun timektomi merupakan terapi standar di berbagai
pusat pengobatan namun keeefektivitasannya belum dapat dipastikan oleh
penelitian prospektif yang terkontrol. Timektomi diindikasi pada terapi awal pasien
dengan keterlibatan ekstremitas bawah dan bulbar. (Feldman, et.al., 2005 ; Rohkam,
2004)

VII. Komplikasi
Komplikasi yang dapat muncul dari myasthenia gravis adalah:
- Myasthenia Crisis
- Kematian

11
Universitas Indonesia
VIII. Masalah Keperawatan dan Diagnosis Keperawatan
Masalah keperawatan yang dapat muncul yaitu:
1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot volunter
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot volunter
3. Risiko cedera berhubungan dengan diplopia akibat kelemahan otot okular
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ptosis akibat kelemahan otot okular
5. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan
6. Ketidakefektian bersihan jalan napas berhubungan dengan ketidakmampuan
batuk efektif akibat kelemahan otot pernapasan
7. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan disartria akibat kelemahan
otot bulbar
8. Gangguan menelan berhubungan dengan kelemahan otot bulbar
9. Risiko aspirasi berhubungan dengan reurgitasi makanan ke hidung akibat
kelemahan otot bulbar
10. Risiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kelemahan otot bulbar
IX. Prioritas Diagnosis Keperawatan
1. Ketidakefektian bersihan jalan napas berhubungan dengan ketidakmampuan
batuk efektif akibat kelemahan otot pernapasan
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan
3. Risiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kelemahan otot bulbar
X. Rencana Asuhan Keperawatan

Diagnosis Tujuan Intervensi Rasional


Keperawatan
Ketidakefektifan Kriteria hasil: Observasi Observasi
bersihan jalan napas 1. Batuk efektif  Monitor bunyi napas  Mengetahui bunyi
Definisi: (meningkat)  Monitor sputum napas abnormal
2. RR membaik  Mengetahui
3. Pola napas peningkatan sputum
membaik Mandiri Mandiri
 Posisikan semi-  Menurunkan
fowler atau fowler konsumsi oksigen
dan meningkkatkan

12
Universitas Indonesia
 Berikan minuman ekspansi dada dan
hangat ventilasi paru
 Mengencerkan
sputum sehingga
lebih mudah untuk
dikeluarkan
Edukasi Edukasi
 Ajarkan batuk efektif  Mengoptimalkan
energy untuk
ekspansi paru guna
mempermudah
pengeluaran sputum
Kolaborasi Kolaborasi
 Pemberian  Meningkatkan
bronkodilator, efektivitas terapi
ekspektoran, dan pernapasan
mukolitik
Ketidakefektifan Kriteria hasil: Observasi Observasi
pola napas 1. Ventilasi semenit  Monitor RR, bunyi,  Mengevaluasi status
Definisi: inspirasi atau meningkat kedalaman, dan pernapasan pasien
ekspirasi yang tidak 2. Kapasitas vital WOB dan dasar untuk
memberikan ventilasi paru meningkat  Monitor pola napas mendeteksi
adekuat. 3. Tekanan  Monitor SpO2 perubahan
ekspirasi dan  Monitor adanya  Mengetahui
inspirasi sputum kemajuan pola napas
meningkat Tarapeutik pasien
4. RR membaik  Dokumentasikan  Mengevaluasi
5. Kedalaman hasil monitoring kemajuan SpO2
napas membaik Edukasi pasien
 Jelaskan tujuan dan  Mengetahui adanya
prosedur monitoring perubahan produksi
 Informasikan hasil sputum
monitoring Tarapeutik
Kolaborasi  Mencatat temuan dari
 Pemberian hasil monitoring
bronkodilator, Edukasi
ekspektoran, dan  Pasien memahami
mukolitik tujuan setiap
tindakan
 Pasien mengetahui
perkembangan atau
perubahan hasil
monitoring

13
Universitas Indonesia
Kolaborasi
 Meningkatkan
efektivitas terapi
pernapasan
Risiko Kriteria hasil: Mandiri Mandiri
ketidakseimbangan 1. Kebutuhan  Hitung masuknya  Memberikan data
nutrisi kurang dari nutrisi tubuh kalori ke dalam yang tepat untuk
kebutuhan tubuh tetap terpenuhi tubuh evaluasi
Definisi: asupan 2. Mempertahankan  Kaji berat badan keefektifan
nutrisi tidak cukup berat badan pasien intervensi.
untuk memenuhi pasien  Konsultasi atau  Dengan perubahan
kebutuhan metabolik. tanyakan kepada TTV atau
pasien mengenai nonverbal akan
makana yang memerlukan
disukai atau tidak, intervensi tepat
dan membuat waktu.
jadwal makan  Tindakan ini
 Mengajarkan oral merupakan cara
hygiene sebelum untuk
makan pengendalian rasa
sakit dan
Kolaborasi memberikan
 Pemberian antimetik dukungan
 Konsultasi dengan emosional.
ahli gizi Relaksasi dapat
mengontrol rasa
nyeri, mengalihkan
fokus rasa nyeri,
dan meningkatkan
kemampuan
mengatasi nyeri

Kolaborasi
 Obat antimetik
untuk mengurangi
mual dan muntah
klien.
 Mengetahui
kebutuhan nutrisi
pasien dengan tepat
dan meningkatkan
toleransi diet.

14
Universitas Indonesia
Daftar Pustaka

Bulecheck, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wanger, C. M. (2013).


Nursing Interventions Classification (NIC). Singapore: Elsevier.
Connell, KO., Ramdas, S., Palace, J. (2020). Management of juvenile myasthenia
gravis. Front Neurol. 11(743). doi:
https://dx.doi.org/10.3389%2Ffneur.2020.00743
Conti-Fine BM, Milani,Monica ,Kaminski,Henry J. (2006). Myasthenia gravis: past,
present, and future. The Journal of Clinical Investigation. 116(11).
Evoli, A., Alboini, P.E., Damato, V., Iorio, R., Provenzano, C., Bartoccioni, E., et.al.
(2018). Myasthenia gravis with antibodies to MuSK: an update. Ann N Y Acad
Sci. 1412:82–89.
Feldman EL, Grisold W, Russell JW, Zifko UA. (2005). Atlas of Neuromuscular
Diseases. In: Myastenia Gravis. Austria: SpringerWienNewYork.
Gilhus, NE., Owe, JF., Hoff, JM., Romi, F., Skeie, GO., & Aarli, JA. (2011).
Myasthenia gravis: a review of available treatment approaches. Autoimmune
Dis. 2011:847393.
Guptill, JT., Sanders, DB., & Evoli, A. (2011). Anti-MuSK antibody myasthenia
gravis: clinical findings and response to treatment in two large cohorts. Muscle
Nerve, 44(10):36–40.

Herdman, T.H., & Kamitsuru, S. (2018). NANDA-I: diagnosis keperawatan definisi


dan klasifikasi 2018-2020 (Budi Anna Keliat, Henny Suzana Mediani & Teuku
Tahlil, Penerjemah.). Jakarta: EGC.
Howard JF. (2008). Myasthenia Gravis A Manual for the Health Care Provider.
Myasthenia Gravis Foundation of America.
Hughes BW., Casillas., Maria, LMD., Kaminski., & Henry J., (2004).
Pathophysiology of Myasthenia Gravis. Thieme Medical Publishers.
24(1):p21-7.
Ilmu Penyakit Saraf. (2014). Standar Pelayanan Medik. Makassar: Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin.

15
Universitas Indonesia
Li, L., Xiong, WC., & Mei, L. (2018). Neuromuscular junction formation, aging, and
disorders. Annu Rev Physiol,10(80):159-188.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M, L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC). UK: Elsevier.
Mumenthaler M, Mattle H. (2006). Fundamentals of Neurology. In: Myasthenia
Gravis. Germany: Georg Thieme Verlag.
Murthy, JMK. (2020). Myasthenia gravis: Do the subtypes matter?. Ann Indian Acad
Neurol. 23(1):2.
Rohkamm, R. (2004). Color Atlas of Neurology. In: Myopathies. New York: Thieme
Verlag.
Ropper AH., Brown., Robert H. (2005). Adam And Victor's Principles of Neurology.
In: Myasthenia Gravis And Related Disorders Of The Neuromuscular Junction
8 th ed. United State of America: McGraw-Hill Medical Publishing Division.
Setiyohadi B. (2009). Miologi. In: Sudoyo AW, Setiyohadi, Bambang, Alwi, idrus,
Simadibrata K.,Marcellus, Setiati, Siti, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Interna Publishing.
Sherwood, L. (2014). Fisiologi manusia: dari sel ke sistem, edisi 8; alih bahasa
Brahm U. Pendit. Jakarta: EGC.
Suresh, AB., & Asuncion, R.M.D. (2021). Myasthenia gravis. StatPearls. Retrieved
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559331/. (Diakses pada 15
November 2021 pukul 19.30 WIB)

16
Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai