PENDAHULUAN
1
Namun, tidak semua fraktur pada anak dapat ditangani secara non operatif.
Beberapa penelitian telah menunjukan bahwa fraktur suprakondiler humerus pada
anak-anak memiliki hasil yang lebih baik bila ditangani secara operatif.
2
BAB II
DAFTAR PUSTAKA
FRAKTUR SUPRAKONDILER
2.1 DEFINISI
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang
rawan epifisis, baik bersifat total maupun yg parsial. Fraktur suprakondiler
humerus: fraktur sepertiga distal humerus tepat proksimal troklea & capitulum
humeri. Garis fraktur berjalan melalui apeks coronoid & fossa olecranon,
2.2 EPIDEMIOLOGI
Fraktur suprakondiler humerus adalah fraktur yang sering ditemukan pada
siku, sekitar 55% - 75% dari semua fraktur siku. Fraktur suprakondiler humerus
lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan dewasa. Tingkat rata-rata
pertahun penderita fraktur suprakondiler humerus pada anak-anak diperkirakan
177,3 / 100.000. Rentang usia puncak terjadinya fraktur suprakondiler humerus
yaitu diantara usia 5– 10 tahun, dengan perbandingan pria dan wanita adalah 3 : 2,
yang mana paling sering ditemukan pada siku kiri atau sisi yang tidak dominan.
2.3 ANATOMI
Humerus distal tampak seperti segitiga apabila dilihat dari sisi anterior
atau posterior. Diafisis humerus terbagi menjadi dua yakni medial dan lateral.
Troklea terbungkus oleh tulang rawan artikuler di bagian anterior, posterior, dan
inferior yang kemudian membentuk lengkungan kira-kira sebesar 2700.
3
Gambar 2.3 A dan B. Gambaran Anterior Dan Posterior Dari Tulang
Humerus Distal
4
Bagian posterior kolum lateralis dari humerus distal dilindungi oleh origo
distal dari medial head otot Triceps dan bagian distal oleh origo Anconeus.
Brachioradialis dan Ekstensor Carpi Radialis Longus berasal dari
ridgesuprakondiler lateral.Common Extensor mass terdiri dari Extensor Carpi
Radialis Brevis, Extensor Digitorum Communis, dan Extensor Carpi Ulnaris, dan
bagian cephal otot anconeus yang berasal dari lateral epikondilus lateralis,
posterior terhadap lateral kolateral ligamen kompleks.4 Pendekatan posterior
paling banyak dilakukan dalam pembedahan distal humerus, karena aman untuk
saraf radialis dan ulnaris (Gambar 2.3). Pada bagian lateral dari tulang humerus,
saraf radialis bercabang menjadi tiga, yaitu medial head triceps,lower lateral
brachial cutaneous nerve, dansambungan saraf radialis di lengan bawah (posterior
interosseous nervedansuperficial cutaneous nerve). Setelah bercabang,posterior
interosseous nerve menembus septum intermuskularis lateralis.
5
Gambar 2.3 Hubungan Struktur Anatomis Pada Ekstrimitas Atas
Gambar 2.4 Tampak Posterior Fokus Pada Humerus Terhadap Sendi Siku
6
Pada tingkat perlekatan distal daripada korakobrachialis terhadap humerus,
saraf ulnaris berjalan dari kompartemen anterior menuju kompartemen posterior
dari lengan atas dengan menembus septa intermuskularis medial. Saraf berjalan
sepanjang batas anteromedial dari medial head of triceps sepanjang septa
intermuskular medialis.
2.4 ETIOLOGI
1) Peristiwa trauma tunggal
• Pemuntiran (rotasi)→ fraktur spiral
• Penekukan (trauma angulasi / langsung)→fraktur melintang
• Penekukan & penekanan→ fraktur sebagian melintang disertai fragmen
kupu-kupu berbentuk segitiga terpisah
• Kombinasi dari pemuntiran, penekukan & penekanan→ fraktur obliq
pendek
• Penarikan → tendon/ligamen menarik tulang hingga terpisah
2) Kelemahan abnormal pada tulang
• Dapat terjadi pada tekanan normal kalau tulang itu lemah / sangat rapuh
3) Tekanan yang berulang-ulang
7
teratur karena fungsi normal otot tergantung pada integritas tulang yang
mana tulang tersebut saling berdekatan.
4. Bengkak / memar
Terjadi memar pada bagian atas lengan yang disebabkan karena hematoma
pada jaringan lunak.
5. Pemendekan
Pada fraktur tulang panjang terjadi pemendekan yang nyata pada
ekstremitas yang disebabkan oleh kontraksi otot yang berdempet di atas dan
di bawah lokasi fraktur humerus.
6. Krepitasi
Suara detik tulang dapat didengar atau dirasakan ketika fraktur humeri
digerakkan disebabkan oleh trauma lansung maupun tak langsung.
8
arteri brachialis dan saraf medianus. Tipe yang jarang terjadi (5%) yakni fraktur
suprakondiler tipe fleksi, Yang diakibatkan jatuh dengan posisi siku fleksi.
Patahan jenis ini, sangat menantang untuk direduksi mengingat resiko kerusakan
saraf ulnaris.
2.7 KLASIFIKASI
Klasifikasi yang dipakai adalah klasifikasi Gartland. Terdiri atas:
2.5.1 Tipe I (undisplaced)
Gartland tipe I dari merupakan fraktur suprakondiler yang tidak bergeser atau
minimal displaced (<2 mm) dan disertai dengan garis anterior humeral yang utuh
dengan atau tanpa adanya bukti cedera pada tulang. Posterior fat pad sign
merupakan satu-satunya bukti adanya fraktur. Fraktur tipe ini sangat stabil karena
periosteum sirkumferensial masih utuh.
9
2.5.3 Tipe III (complete displaced)
Gartland tipe III merupakan fraktur suprakondiler, dengan tanpa adanya kontak
pada korteks yang cukup. Biasanya disertai dengan ekstensi pada bidang sagital
dan rotasi pada frontal dan/atau bidang transversal. Periosteum mengalami
robekan yang luas, sering disertai dengan kerusakan pada jaringan lunak dan
neurovaskular. Keterlibatan dari kolum medialis menyebabkan malrotasi menjadi
lebih signifikan pada bidang frontal dan diklasifikasikan sebagai tipe III. Adanya
deformitas rotasional yang tampak pada gambaran foto rontgen posisi AP
digolongkan pula sebagai fraktur tipe III.
Modifikasi Klasifikasi Gartland yang dibuat oleh Wilkin, pada fraktur
suprakondiler humerus merupakan jenis klasifikasi yang paling diterima dan
paling banyak digunakan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Barton dkk,
Nilai Kappa terhadap variabilitas intra observer dan interobserver dari klasifikasi
ini merupakan yang tertinggi dibanding klasifikasi yang digunakan sebelumnya.
10
2.8 EVALUASI KLINIS
Penderita anak-anak yang datang dengan fraktur suprakondiler mengeluh
nyeri di sekitar bahu setelah jatuh. Keluhan lainnya adalah bengkak di daerah
bahu atau gerakan aktif bahu yang terbatas atau deformitas yang mungkin
nampak.
Ekstrimitas yang cidera harus diperiksa meliputi pemeriksaan
pembengkakan jaringan lunak, laserasi, abrasi ataupun kerutan pada kulit, dan
penilaian ada atau tidaknya patah pada ekstrimitas tersebut. Kerutan pada kulit
disebabkan karena fragmen proximal daripada fraktur menusuk otot brachialis dan
menyebabkan tertariknya dermis bagian dalam. Hal ini menandakan terjadinya
kerusakan jaringan lunak. Adanya perdarahan pada luka di daerah terjadinya
fraktur, merupakan salah satu indikasi terjadinya suatu fraktur terbuka.14,15
Penting untuk menilai fungsi neurovaskuler setelah dilakukan inspeksi.
Analisis terkini dari sejumlah penelitian menunjukkan bahwa cidera saraf
terjadi sebanyak 11,3% pada pasien dengan fraktur suprakondiler. Pemeriksaan
motorik dan sensorik seharusnya dilakukan pada kasus ini. Pemeriksaan motorik
meliputi jari-jari, pergelangan tangan, dan ekstensi ibu jari (saraf radialis), fleksi
index distal interphalangeal dan fleksi thumb interphalangeal (AIN), thenar
strength (medianus), interossei (saraf ulnaris). Pemeriksaan sensorik meliputi area
sensorik saraf radialis (dorsal first web space), saraf medianus (palmar finger
11
index), saraf ulnaris (palmar little finger). Apabila diketahui lebih awal, maka
defisit neurologi tersebut bersifat sementara dan akan membaik dalam 6-12
minggu.
Penilaian status vaskuler juga merupakan hal yang penting. Indikator
klinis adanya perfusi yang cukup di distal meliputi pengisian kapiler yang normal,
suhu, dan warna kulit (pink). Status vaskular dapat dikategorikan menjadi 3
kategori: kategori I mengindikasikan bahwa tangan mengalami perfusi yang baik,
dan a. radialis teraba, kategori II mengindikasikan bahwa tangan memiliki perfusi
yang baik, namun a.radialis tidak teraba, dan kategori III menunjukan bahwa
tangan mengalami perfusi yang sangat buruk dan tidak terabanya a.
radialis.Prevalensi terjadinya vascular compromise pada fraktur suprakondiler
humerus yang mengalami pergeseran disebutkan mencapai 20 % dari studi yang
dilakukan oleh Pirone dkk, 12 % pada studi yang dilakukan oleh Shaw dkk, dan
19 % pada studi yang dilakukan oleh Campbell dkk. Selesai pemeriksaan, siku
yang cidera sebaiknya distabilisasi menggunakan backslab denga posisi fleksi 20-
300 untuk mencegah pergeseranfraktur, mengurangi rasa nyeri, dan mencapai
kualitas radiologi yang baik. Ekstrimitas diposisikan dengan posisi yang nyaman.
12
penggunaan sudut Bauman karena kesulitan dalam mengidentifikasi lempeng
pertumbuhan capitellum. Sudut Baumann merupakan salah satu indikator
keberhasilan reduksi yang telah dikerjakan dan berhubungan dengan carrying
angle yang mungkin terjadi. tidak mengalami perubahan yang signifikan sejak
saat awal dilakukan reduksi sampai hasil akhir, dan tidak dipengaruhi oleh pronasi
maupun fleksi dari siku. Formula yang umum digunakan adalah perubahan 5
derajat dari sudut Baumann berhubungan dengan perubahan carrying angle
sebanyak 2 derajat.
Baumann’s Angle
Sudut humeral ulnar adalah sudut yang dibentuk oleh perpotongan diafisis
humerus dan ulna. Sudut ini berguna untuk menentukan carrying angle Medial
epicondylar epiphyseal angle, adalah alternatif dalam pemeriksaan AP selain
sudut Baumann. Sudut ini dibentuk oleh perpotongan sumbu humerus dengan
garis sepanjang medial epicondylar epiphyseal plate. Baik sudut Baumann dan
medial epicondylar epiphyseal angleberguna untuk menentukan kecukupan
reduksi fraktur suprakondiler. Web & Shermann menyatakan bahwa tingkat
akurasi sudut Baumann dalam hubungannya dengan carrying angle akan menurun
pada anak yang lebih muda dan pada remaja, sehingga sudut dari Baumann hanya
digunakan jika dibandingkan dengan siku yang normal saja. Oppenheim
berpendapat bahwa humeral – ulnar – wrist angle lebih konsisten dan akurat
dalam menentukan carrying angle. Sedangkan O’brien berpendapat bahwa
metaphyseal – diaphyseal angle lebih akurat jika dibandingkan dengan sudut dari
Baumann.
13
2.10 PENATALAKSANAAN
2.10.1 Manajemen awal
Fraktur suprakondiler yang mengalami pergeseran memerlukan
penanganan awal berupa pemasangan splint, dengan siku berada dalam posisi
yang nyaman, yaitu 20° sampai 40° dalam posisi fleksi dan hindaripemasangan
splint yang terlalu ketat. Fleksi dan ekstensi yang berlebihan akan menyebabkan
terjadinya gangguan pada aliran vaskular dan menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan kompartemen. Namun, perlu dievaluasi lebih lanjut oleh
karena sering terjadi kekakuan sendi bahu dan kerusakan physis. Adapun
pertimbangan penatalaksaan fraktur suprakondiler adalah bagaimana mencegah
kerusakan seperti sindrom kompartemen dan mengurangi komplikasi seperti
cubitus varus dan kekakuan. Dameron mencatat, berdasarkan jenis fraktur,
terdapat 4 macam penanganan yakni: (1) side-arm skin traction, (2) overhead
skeletal traction, (3) closed reduction and casting with or without percutaneous
pinning, dan (4) open reduction and internal fixation.
14
2.10.3 Reduksi Tertutup Dengan Penggunaan Casting Dengan atau Tanpa
Fiksasi Pinning Perkutan
Penggunaan casting digunakan untuk patah tulang dengan pergeseran
minimal. Awalnya, reduksi tertutup dan penggunaan casting merupakan pilihan
untuk fraktur yang mengalami pergeseran, karena didapatkan hasil yang baik pada
90% pasien dan tidak ditemukan masalah vaskularisasi atau malunion. Apabila
ditemukan pergeseran fraktur yang sedang disertai adanya hematom yang terfixir
dengan fascia antecubital yang intak, fleksi siku cenderung akan mengakibatkan
iskemik. Reduksi tertutup dan fiksasi pinning merupakan pilihan terapi fraktur
suprakondiler yang paling banyak digunakan. AAOS menyarankan reduksi
tertutup dan fiksasi pinning pada pasien dengan fraktur suprakondiler humerus
tertutup yang mengalami pergeseran (Gartland tipe II dan III, dan fleksi displaced)
dengan kekuatan rekomendasi sedang. Beberapa penelitian yang menyokong
rekomendasi tersebut menyebutkan bahwa secara statistik,penanganan dengan
fiksasi pinning lebih baik dibanding penanganan non operatif dalam hal mencegah
cubitus varus dan kehilangan gerakan, namun lebih berisiko menimbulkan infeksi.
Kesimpulannya, teknik closed reduction and percutaneous pinning efektif untuk
menangani fraktur suprakondiler humerus yang mengalami pergeseran.
Pasien dalam pengaruh anestesi umum, dengan posisi supinasi, palpasi
batas, kemudian cek arah pergeseran tulang. Lakukan traksi dengan fleksi lengan
atas sebesar 100 koreksi pergeseran lateral. Dorong olecranon ke arah anterior
untuk mengoreksi pergeseran posterior, kemudian fleksi siku sebesar 400 hingga
olecranon berada anterior terhadap epikondilus. Rotasi eksternal pada kedua
lengan atas untuk mengoreksi deformitas rotasi internal. Kedua lengan atas
semestinya rotasi dalam besaran yang sama. Apabila pergeseran ke arah medial,
pronasi lengan bawah untuk mengunci patahan, begitu pula sebaliknya. Tahan
posisi patahan yang telah tereduksi atau cek dengan menggunakan C-Arm.
Masukkan 2 buah K-Wire 1,4 mm menggunakan teknik Judet, dimana satu
pin dimasukkan menuju kondilus lateralis sedangkan pin kedua menuju korteks
medialis. Selain dalam posisi supinasi, reduksi tertutup dapat dilakukan dalam
posisi pronasi.
15
Gaya gravitasi cenderung mempertahankan posisi pada saat pin
dimasukkan. Kriteria reduksi yang dapat diterima adalah restorasi dari sudut
Baumann (> 10°) pada foto rontgen posisi AP, gambaran kolummedial dan lateral
yang utuh pada foto rontgen posisi oblique, dan garis anterior humeral melewati
1/3 tengah dari capitelum pada foto rontgen posisi lateral. Malalignment
rotasional dapat mengganggu stabilitas fraktur, jadi bila terdapat malrotasi, harus
dilakukan pemeriksaan stabilitas reduksi dan kemungkinan penggunaan fiksasi
ketiga dengan pinning. Reduksi dari fraktur diperoleh dengan penggunaan dua
atau tiga Kirschner wire. Dilakukan imobilisasi dengan posisi fleksi 40° sampai
60°, tergantung dari besarnya pembengkakan dan status vaskular. Jika terdapat
celah pada lokasi fraktur atau bila fraktur tidak bisa direduksi, dan terasa seperti
karet saat melakukan reduksi, kemungkinan terjadi penjepitan pada nervus
medianus dan atau arteri brachialis pada lokasi fraktur dan harus dilakukan
reduksi terbuka.
16
lainnya, baik epikondilus medialis atau lateralis dapat dipalpasi sehingga dapat
meminimalisir terjadinya malposisi atau malrotasi. Pendekatan anterior
menunjukkan tingkat kekakuan dan komplikasi yang rendah, mirip dengan
penatalaksanaan tertutup. Cubitus varus terjadi sebanyak 33%, kebanyakan terjadi
oleh karena reduksi yang tidak adekuat. Jika reduksi baik, maka angka insiden
terjadinya cubitus varus rendah.
Pendekatan posterior berhubungan dengan tingginya loss of range
motiondan osteonekrosis yang disebabkan oleh karena kerusakan suplai arteri
posterior menuju trochlea humerus, sehingga tidak direkomendasikan untuk
dilakukan untuk anak kecil. Pendekatan medial memiliki keuntungan yakni saraf
ulnaris dan kolum medialis dapat terlihat dengan jelas dan secara kosmetik
jaringan parut akan samar oleh karena terletak di bagian dalam daripada lengan.
Namun, kekurangannya kolum lateralis akan sulit terlihat setelah reduksi.
b) Fraktur Tipe II
Penanganan yang optimal dari fraktur tipe II telah mengalami pergeseran
dari yang sebelumnya menggunakan cast untuk imobilisasi dibanding saat ini
yang lebih banyak menggunakan intervensi operasi. Fraktur suprakondiler
humerus tipe II biasanya merupakan akibat cidera ekstensi, dengan korteks
posterior tetap intak atau nondisplaced. Setelah dilakukan reduksi tertutup dan
17
casting dengan bahu dalam keadaan fleksi 90-1000 . Jika reduksi tertutup fleksi
lebih dari 1000 maka perlu percutaneous pinning, dengan imobilisasi fleksi kurang
dari 900 Persentase Humerus bagian distal dalam proses pertumbuhan tulang
adalah sebesar 20 % dan memiliki kemampuan remodeling yang kecil. Extremitas
atas mengalami pertumbuhan kira-kira sebesar 10 cm selama tahun pertama
kehidupannya, 6 cm pada tahun kedua, 5 cm pada tahun ketiganya, 3,5 cm pada
tahun keempat dan 3 cm pada tahun kelimanya. Bayi kurang dari 3 tahun
memiliki kemampuan remodeling yang sangat baik sehingga ahli bedah masih
dapat menerima fraktur tipe II yang nonoperatif dimana capitelum berada pada
bagian depan anterior humeral line namun tidak melewatinya. Namun, anak
dengan usia 8-10 tahun masih memiliki pertumbuhan sebesar 10 % pada bagian
distal humerus, sehingga reduksi yang adekuat diperlukan untuk mencegah
terjadinya malunion. Beberapa penelitian telah membuktikan bahawa penanganan
awal fraktur tipe II dengan menggunakan teknik reduksi tertutup dan casting dapat
memberikan hasil yang baik.
18
menyebabkan terjadinya deformitas berupa varus pada lengan disertai terjadinya
pergeseran yang minimal pada suprakondiler
2.11 KOMPLIKASI
Cidera saraf
Cidera pembuluh darah
Kekakuan dan myositis ossificans
Sindrom kompartemen
Infeksi pin track
19
BAB III
ANALISIS KASUS
2.1.Identifikasi
Nama : An. DA
Jenis Kelamin : Laki-laki
TanggalLahir : 6 Maret 2009 ( 10 Tahun)
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Sukarami, Palembang, Sumatera Selatan
Agama : Islam
Status : belum menikah
MRS : 11 Agustus 2019
No. RM : 57.86.89
Pembiayaan : BPJS
2.2.Anamnesis (Alloanamnesis)
Keluhan Utama
Nyeri pada siku kiri
20
- Riwayat Asma (-)
- Riwayat alergi (-)
21
2.3.PemeriksaanFisik
Status umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : E4V5M6
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 82 x/m
Suhu : 36,8 0C
Pernapasan : 21 x/m
BB : 34 Kg
Status Generalis
KEPALA
Bentuk : Normochepali
Rambut : Hitam sebagian putih,lurus, distribusi merata, rontok (-),
alopesia (-) dan tidak mudah dicabut
MATA
Palpebra : oedem (-) Lensa : jernih
Konjungtiva : anemis (-/-) Visus : tidakdiperiksa
Sklera : ikterik (-/-) Gerak BM : normal
Reflex Cahaya : +/+ Alis Mata : rata, simetris
Pupil : Isokor +/+, diameter 2 mm
HIDUNG
Bentuk : Normal, deviasi septum (-)
Nafas Cuping hidung : (-)
Perdarahan : (-/-)
Mukosa hidung : hiperemis /pucat (-/-), sekret (-/-)
TELINGA
Bentuk : Normotia Benjolan : -/-
Tuli : -/- Selaput pendengaran : intak
Lubang : lapang Penyumbatan : -/-
Serumen : +/+ Darah/cairan/sekret : -/-
MULUT
22
Bibir : lembab, kecoklatan, pucat (-), sianosis (-)
Tonsil : T1 –T1, Hiperemis (-)
Bau pernapasan : tidak ada
Gigi geligi : baik, caries ( - )
Gusi : Berdarah (-), bengkak (-), stomatitis (-)
Faring : tidak hiperemis
Lidah : kotor (-), atrofi papil (-), hiperemis (-), kotor (-), tremor (-)
LEHER
Deformitas : (-)
Trakea : deviasi (-)
Kelenjar Tiroid : pembesaran (-), kulit sekitar normal, nyeri tekan (-)
KGB : pembesaran (-), nyeri tekan (-)
JVP : 5 +2 cm H2O
Retraksi otot bantu pernapasan (-)
THORAKS
Bentuk : Datar, barrel chest (-), simetris saat statis dan dinamis,
Buah dada :Simetris, papila mamae kecokelatan, retraksi (-), sekret (-),
benjolan (-), ginekomastia (-)
Kulit : Pucat (-), ikterik (-), dan spider nevi (-)
Paru – Paru
Pemeriksaan ANTERIOR POSTERIOR
Inspeksi Kiri Simetris saat statis dan Simetris saat statis dan
dinamis, Retraksi iga: dinamis
Supra sternal (-/-),
Intercostae (-/-)
Kanan Simetris saat statis dan Simetris saat statis dan
dinamis, Gerakan dinding dinamis
dada cepat dan dalam,
23
Retraksi iga: Supra sternal
(-/-), Intercostae (-/-)
Palpasi Kiri - Tidak ada benjolan - Tidak ada benjolan
- Vocal fremitus simetris - Vocal fremitus simetris
Perkusi Kiri Sonor pada seluruh lapang Sonor pada seluruh lapang
paru paru
Kanan Sonor pada seluruh lapang Sonor pada seluruh lapang
paru paru
Auskultasi Kiri Suara Nafas vesikular Suara Nafas vesikular
normal normal
Ronkhi -/-, wheezing -/- Ronkhi -/-, wheezing -/-
Kanan Suara Nafas vesikular Suara Nafas vesikular
normal normal
Ronkhi -/-, wheezing -/- Ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung
24
ABDOMEN
- Inspeksi
Datar , spider nevi (-), jaringan parut (-), tumor (-), stria alba (-), sikatrik
(-), luka bekas operasi (-), caput medusae (-),
- Palpasi
lemas, nyeri tekan kanan atas (-), Murphy‟s sign (-), hepar dan lien tidak
teraba, teraba massa (-), ballotement (-)
- Perkusi
Timpani, nyeri ketok CVA (-)
- Auskultasi
Bising usus (+) normal
GENITALIA
Tidak dilakukan pemeriksaan
EKSTREMITAS
Edema pretibial (-/-), CRT < 2 detik
STATUS LOKALIS
Regio Brachialis dan antebrachialis sinistra
Look ( inspeksi)
Warna kulit kemerahan, soft tissue sweling (+),deformitas (-), tulang keluar dari
jaringan lunak (-), benjolan (-), jejas (-), laserasi (-), perdarahan aktif (-).
Feel (Palpasi)
Nyeri tekan (+), teraba panas (+), krepitasi (-), fluktuasi (-), pulsasi arteri (+)
Move / gerak
Gerakan terbatas, nyeri pada saat gerak
2.4.PemeriksaanPenunjang
Pemeriksaan Darah Rutin
25
Hb : 10,9 g/dl (N : 14-16 g/dl)
Leukosit : 9.000 mm³ (N : 5000-10000/mm³)
Trombosit : 398.000 mm³ (N :150.000-400.000/mm³)
Hematokrit : 42% (N : 40 - 48%)
Waktu perdarahan : 2” (N : 1 – 6 detik)
Waktu pembekuan : 8” (N : 10 – 15 detik)
Hitung jenis :
- Basofil :0% (N: 0-1 %)
- Eosinofil :3% (N: 1-3%)
- Batang : 4% (N: 2-6%)
- Segmen : 45 % (N: 50-70%)
- Limfosit : 40 % (N: 20-40%)
- Monosit :8% (N: 2-6%)
2.5.Diagnosis Banding
- Fraktur suprakondiler humeri
- Fraktur humeri
- Fraktur os ulna
- Fraktur os radius
2.6.Diagnosis Kerja
Close Fraktur Supra Condiler humerus sinistra
2.7.Penatalaksanaan
Non Farmakologis :
- Dilakukan reduksi tertutup
- Dipasang Gips
26
Farmakologis :
- IVFD RL gtt X x/m
- Inj. Ketorolac 2x 30 mg (iv)
- Inj. Ceftriaxone 1 x 1 g (iv)
2.8.Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam: dubia ad bonam
27
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
28
Jika patahan mengarah ke sisi medial, saraf radialis akan berisiko sedangkan jika
mengarah ke sisi lateral, akan menjepit arteri brachialis dan saraf medianus
Status lokalis pada regio brachialis dan antebrachialis sinistra didapatkan
Look ( inspeksi) : Warna kulit kemerahan, soft tissue sweling (+),deformitas (+),
tulang keluar dari jaringan lunak (-), benjolan (-), jejas (-), laserasi (-), perdarahan
aktif (-). Feel (Palpasi) : Nyeri tekan (+), teraba panas (+), krepitasi (-), fluktuasi
(-), pulsasi arteri (+). Move / gerak : Gerakan terbatas, nyeri pada saat gerak. Hal
ini sesuai dengan teori bahwa tanda dan gejala klinis dari fraktur adalah nyeri
yang terus menerus, deformitas, gangguan fungsi, bengkak/memar, pemendekan,
krepitasi dan warna kulit merah sampai kebiruan.
Diagnosis pada pasien ini adalah Close Fraktur Supra Condiler humerus
sinistra gartland II, sesuai dengan teori bahwa Gartland tipe II merupakan fraktur
suprakondiler disertai pergeseran (> 2 mm), dan korteks bagian posterior
kemungkinan masih utuh dan berfungsi sebagai engsel. Pada gambaran foto
rontgen elbow true lateral, garis anterior humeral tidak melewati 1/3 tengah dari
capitelum. Secara umum, tidak tampak deformitas rotasional pada posisi foto
rontgen AP
Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan reduksi tertutup dan dipasang
Gips, sesuai teori bahwa Fraktur suprakondiler humerus tipe II biasanya
merupakan akibat cidera ekstensi, dengan korteks posterior tetap intak atau
nondisplaced. Extremitas atas mengalami pertumbuhan kira-kira sebesar 10 cm
selama tahun pertama kehidupannya, 6 cm pada tahun kedua, 5 cm pada tahun
ketiganya, 3,5 cm pada tahun keempat dan 3 cm pada tahun kelimanya. Bayi
kurang dari 3 tahun memiliki kemampuan remodeling yang sangat baik sehingga
ahli bedah masih dapat menerima fraktur tipe II yang nonoperatif dimana
capitelum berada pada bagian depan anterior humeral line namun tidak
melewatinya. Namun, anak dengan usia 8-10 tahun masih memiliki pertumbuhan
sebesar 10 % pada bagian distal humerus, sehingga reduksi yang adekuat
diperlukan untuk mencegah terjadinya malunion. Beberapa penelitian telah
membuktikan bahawa penanganan awal fraktur tipe II dengan menggunakan
teknik reduksi tertutup dan casting dapat memberikan hasil yang baik.
29
Untuk tatalaksana farmakologi pasien ini diberikan, IVFD RL gtt X x/m,
Inj. Ketorolac 2x 30 mg (iv) yang digunakan sebagai analgesik dan antibiotik Inj.
Ceftriaxone 1 x 1 g (iv) untuk mencegah dari infeksi.
30
BAB V
KESIMPULAN
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Rasjad C. Trauma. Dalam: Pengantar ilmu bedah ortopedi. Edisi VI. Jakarta: Yarsif
Watampone, 2009
2. Sjmsuhidajat R, Jong WD. Sistem muskuloskeletal. Dalam: Buku ajar ilmu bedah.
Edisi II. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004.
3. Wibowo DS, Paryana W. Anggota gerak atas. Dalam: Anatomi Tubuh Manusia.
Bandung: Graha Ilmu Publishing, 2009
4. Snell R. Ekstremitas superior. Dalam: Anatomi Klinik. Edisi VI. Jakarta: EGC, 2006.
5. A Graham Apple. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Applay. Edisi VII. Jakarta:
Widya Medika, 1995.
6. Salter RM. Spesific Fracture & Joint Injuries in Children. Textbook of Disorders &
Injuries of the Muskuloskeletal Sytem. 3rd Edition.
7.Skaggs DL, Flynn JF: Supracondylar Fracture of the Distal Humerus. In: Beaty JH,
Kasser JR, (editors) Rockwood and Wilkins Fractures in Children, 7th Edition
Vol.
8. Koval KJ, Zuckerman JD. Handbook of Fractures Third Edition. Lippincott Williams
& Wilkins. 2016
9. Farnsworth CL, Silva PD,Mubarak SJ. Etiology of supracondylar humerus fracture.
Journalof Pediatric Orthopaedic. 1998;18:38-42
10. Brubacher JW, Dodds SD. Pediatric Supracondylar Fracture of The Distal Humerus.
Current Review Musculoskeletal Medicine 2018. 1:190-196
32