Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Fraktur suprakondiler humerus terjadi di siku, di bagian distal humerus,
tepat diatas dari epikondilus humerus. Fraktur ini paling sering terjadi pada anak-
anak, terutama pada kelompok umur 5-10 tahun. Prevalensi sekitar 55% - 75%
dari semua fraktur siku pada anak anak. Fraktur lebih sering terjadi pada tangan
kiri atau tangan yang non dominan. Beberapa penelitian terakhir menunjukkan
bahwa angka insiden kejadian fraktur suprakondiler humerus adalah sama antara
pria dan wanita. Terdapat 2 macam berdasarkan mekanisme cidera, yakni fraktur
jenis ekstensi dan fleksi, dimana fraktur jenis ekstensi lebih sering terjadi (98%).
Tatalaksana fraktur humerus distal masih menjadi tantangan hingga saat
ini terutama dalam kelompok umur tertentu. Beberapa variabel yang penting
sebagai penentu keberhasilan penatalaksanaan fraktur humerus distal meliputi
artikulasi yang baik, fiksasi tulang yang kokoh, penyembuhan tulang, gerakan
fungsional yang normal, dan menghindari terjadinya komplikasi. Pengertian yang
baik sangat diperlukan, mengenai anatomi, morfologi fraktur, pendekatan operatif,
hingga implan yang akan digunakan, sebagai dasar untuk mengobati fraktur jenis
ini sehingga akurasi penatalaksanaan menjadi lebih baik.
Penatalaksanaan fraktur suprakondiler humerus pada anak-anak telah
menjadi subjek diskusi dan penelitian selama bertahun-tahun. Dahulu, fraktur ini
dikaitkan dengan komplikasi yang berujung pada hasil yang kurang maksimal
baik dari segi kosmetik maupun fungsional. Namun, berkat teknik operasi dan
perkembangan teknologi yang semakin modern, komplikasi ini dapat menurun.
Penatalaksanaan fraktur suprakondiler humerus fraktur pada anak-anak
secara umum dapat dibagi menjadi 2, non operatif dan operatif. Penanganan non
operatif pada anak-anak 7 merupakan pilihan yang utama, karena masih memiliki
periosteum yang lebih aktif dan kemampuan remodeling yang baik. Beberapa
jenis deformitas yang terjadi pada anak-anak juga masih memungkinkan untuk
terjadinya koreksi yang spontan, seperti yang disebutkan oleh Blount’s Law.

1
Namun, tidak semua fraktur pada anak dapat ditangani secara non operatif.
Beberapa penelitian telah menunjukan bahwa fraktur suprakondiler humerus pada
anak-anak memiliki hasil yang lebih baik bila ditangani secara operatif.

2
BAB II
DAFTAR PUSTAKA

FRAKTUR SUPRAKONDILER
2.1 DEFINISI
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang
rawan epifisis, baik bersifat total maupun yg parsial. Fraktur suprakondiler
humerus: fraktur sepertiga distal humerus tepat proksimal troklea & capitulum
humeri. Garis fraktur berjalan melalui apeks coronoid & fossa olecranon,

2.2 EPIDEMIOLOGI
Fraktur suprakondiler humerus adalah fraktur yang sering ditemukan pada
siku, sekitar 55% - 75% dari semua fraktur siku. Fraktur suprakondiler humerus
lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan dewasa. Tingkat rata-rata
pertahun penderita fraktur suprakondiler humerus pada anak-anak diperkirakan
177,3 / 100.000. Rentang usia puncak terjadinya fraktur suprakondiler humerus
yaitu diantara usia 5– 10 tahun, dengan perbandingan pria dan wanita adalah 3 : 2,
yang mana paling sering ditemukan pada siku kiri atau sisi yang tidak dominan.

2.3 ANATOMI
Humerus distal tampak seperti segitiga apabila dilihat dari sisi anterior
atau posterior. Diafisis humerus terbagi menjadi dua yakni medial dan lateral.
Troklea terbungkus oleh tulang rawan artikuler di bagian anterior, posterior, dan
inferior yang kemudian membentuk lengkungan kira-kira sebesar 2700.

3
Gambar 2.3 A dan B. Gambaran Anterior Dan Posterior Dari Tulang
Humerus Distal

4
Bagian posterior kolum lateralis dari humerus distal dilindungi oleh origo
distal dari medial head otot Triceps dan bagian distal oleh origo Anconeus.
Brachioradialis dan Ekstensor Carpi Radialis Longus berasal dari
ridgesuprakondiler lateral.Common Extensor mass terdiri dari Extensor Carpi
Radialis Brevis, Extensor Digitorum Communis, dan Extensor Carpi Ulnaris, dan
bagian cephal otot anconeus yang berasal dari lateral epikondilus lateralis,
posterior terhadap lateral kolateral ligamen kompleks.4 Pendekatan posterior
paling banyak dilakukan dalam pembedahan distal humerus, karena aman untuk
saraf radialis dan ulnaris (Gambar 2.3). Pada bagian lateral dari tulang humerus,
saraf radialis bercabang menjadi tiga, yaitu medial head triceps,lower lateral
brachial cutaneous nerve, dansambungan saraf radialis di lengan bawah (posterior
interosseous nervedansuperficial cutaneous nerve). Setelah bercabang,posterior
interosseous nerve menembus septum intermuskularis lateralis.

5
Gambar 2.3 Hubungan Struktur Anatomis Pada Ekstrimitas Atas

Gambar 2.4 Tampak Posterior Fokus Pada Humerus Terhadap Sendi Siku

6
Pada tingkat perlekatan distal daripada korakobrachialis terhadap humerus,
saraf ulnaris berjalan dari kompartemen anterior menuju kompartemen posterior
dari lengan atas dengan menembus septa intermuskularis medial. Saraf berjalan
sepanjang batas anteromedial dari medial head of triceps sepanjang septa
intermuskular medialis.

2.4 ETIOLOGI
1) Peristiwa trauma tunggal
• Pemuntiran (rotasi)→ fraktur spiral
• Penekukan (trauma angulasi / langsung)→fraktur melintang
• Penekukan & penekanan→ fraktur sebagian melintang disertai fragmen
kupu-kupu berbentuk segitiga terpisah
• Kombinasi dari pemuntiran, penekukan & penekanan→ fraktur obliq
pendek
• Penarikan → tendon/ligamen menarik tulang hingga terpisah
2) Kelemahan abnormal pada tulang
• Dapat terjadi pada tekanan normal kalau tulang itu lemah / sangat rapuh
3) Tekanan yang berulang-ulang

2.5 TANDA DAN GEJALA


1. Nyeri
Nyeri continue / terus-menerus dan meningkat karena adanya spasme otot
dan kerusakan sekunder sampai fragmen tulang tidak bisa digerakkan.
2. Deformitas atau kelainan bentuk
Perubahan tulang pada fragmen disebabkan oleh deformitas tulang dan
patah tulang itu sendiri yang diketahui ketika dibandingkan dengan daerah
yang tidak luka.
3. Gangguan fungsi
Setelah terjadi fraktur ada bagian yang tidak dapat digunakan dan cenderung
menunjukkan pergerakan abnormal, ekstremitas tidak berfungsi secara

7
teratur karena fungsi normal otot tergantung pada integritas tulang yang
mana tulang tersebut saling berdekatan.
4. Bengkak / memar
Terjadi memar pada bagian atas lengan yang disebabkan karena hematoma
pada jaringan lunak.
5. Pemendekan
Pada fraktur tulang panjang terjadi pemendekan yang nyata pada
ekstremitas yang disebabkan oleh kontraksi otot yang berdempet di atas dan
di bawah lokasi fraktur humerus.
6. Krepitasi
Suara detik tulang dapat didengar atau dirasakan ketika fraktur humeri
digerakkan disebabkan oleh trauma lansung maupun tak langsung.

2.6 MEKANISME CIDERA


Kemampuan hiperekstensi sendi siku umum terjadi pada masa kanak-
kanak, hal ini dikarenakan kelemahan ligamen yang bersifat fisiologis. Kemudian,
kolum bagian medial dan lateral dari humerus distal dihubungkan oleh segmen
tipis dari tulang antara olecranon pada bagian posterior dan coronoid pada fosa
anterior, yang menyebabkan tingginya resiko terjadinya fraktur pada daerah
tersebut.
Fraktur suprakondiler humerus sering terjadi akibat hiperekstensi siku
(95%). Jatuh dalam keadaan tangan terentang membentuk hiperekstensi dari siku,
dengan olecranon bertindak sebagai fulcrum pada fossa. Bagian anterior dari
kapsul secara simultan memberikan gaya regang pada humerus bagian distal
terhadap insersinya. Tekanan ekstensi yang kontinyu akan mengakibatkan segmen
posterior humerus terdesak ke distal dan terpluntir ke anterior, yang dapat
mengakibatkan kerusakan segmen anterior neurovaskular. Mekanisme ini
mengakibatkan kerusakan periosteum anterior, namun periosteum bagian
posterior tetap intak. Arah pergeseran pada suatu bidang koronal mengindikasikan
risiko terhadap struktur jaringan otot halus. Jika patahan mengarah ke sisi medial,
saraf radialis akan berisiko sedangkan jika mengarah ke sisi lateral, akan menjepit

8
arteri brachialis dan saraf medianus. Tipe yang jarang terjadi (5%) yakni fraktur
suprakondiler tipe fleksi, Yang diakibatkan jatuh dengan posisi siku fleksi.
Patahan jenis ini, sangat menantang untuk direduksi mengingat resiko kerusakan
saraf ulnaris.

2.7 KLASIFIKASI
Klasifikasi yang dipakai adalah klasifikasi Gartland. Terdiri atas:
2.5.1 Tipe I (undisplaced)
Gartland tipe I dari merupakan fraktur suprakondiler yang tidak bergeser atau
minimal displaced (<2 mm) dan disertai dengan garis anterior humeral yang utuh
dengan atau tanpa adanya bukti cedera pada tulang. Posterior fat pad sign
merupakan satu-satunya bukti adanya fraktur. Fraktur tipe ini sangat stabil karena
periosteum sirkumferensial masih utuh.

2.5.2 Tipe II (partially displaced )


Gartland tipe II merupakan fraktur suprakondiler disertai pergeseran (> 2 mm),
dan korteks bagian posterior kemungkinan masih utuh dan berfungsi sebagai
engsel. Pada gambaran foto rontgen elbow true lateral, garis anterior humeral
tidak melewati 1/3 tengah dari capitelum. Secara umum, tidak tampak deformitas
rotasional pada posisi foto rontgen AP karena posterior hinge masih utuh.

9
2.5.3 Tipe III (complete displaced)
Gartland tipe III merupakan fraktur suprakondiler, dengan tanpa adanya kontak
pada korteks yang cukup. Biasanya disertai dengan ekstensi pada bidang sagital
dan rotasi pada frontal dan/atau bidang transversal. Periosteum mengalami
robekan yang luas, sering disertai dengan kerusakan pada jaringan lunak dan
neurovaskular. Keterlibatan dari kolum medialis menyebabkan malrotasi menjadi
lebih signifikan pada bidang frontal dan diklasifikasikan sebagai tipe III. Adanya
deformitas rotasional yang tampak pada gambaran foto rontgen posisi AP
digolongkan pula sebagai fraktur tipe III.
Modifikasi Klasifikasi Gartland yang dibuat oleh Wilkin, pada fraktur
suprakondiler humerus merupakan jenis klasifikasi yang paling diterima dan
paling banyak digunakan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Barton dkk,
Nilai Kappa terhadap variabilitas intra observer dan interobserver dari klasifikasi
ini merupakan yang tertinggi dibanding klasifikasi yang digunakan sebelumnya.

10
2.8 EVALUASI KLINIS
Penderita anak-anak yang datang dengan fraktur suprakondiler mengeluh
nyeri di sekitar bahu setelah jatuh. Keluhan lainnya adalah bengkak di daerah
bahu atau gerakan aktif bahu yang terbatas atau deformitas yang mungkin
nampak.
Ekstrimitas yang cidera harus diperiksa meliputi pemeriksaan
pembengkakan jaringan lunak, laserasi, abrasi ataupun kerutan pada kulit, dan
penilaian ada atau tidaknya patah pada ekstrimitas tersebut. Kerutan pada kulit
disebabkan karena fragmen proximal daripada fraktur menusuk otot brachialis dan
menyebabkan tertariknya dermis bagian dalam. Hal ini menandakan terjadinya
kerusakan jaringan lunak. Adanya perdarahan pada luka di daerah terjadinya
fraktur, merupakan salah satu indikasi terjadinya suatu fraktur terbuka.14,15
Penting untuk menilai fungsi neurovaskuler setelah dilakukan inspeksi.
Analisis terkini dari sejumlah penelitian menunjukkan bahwa cidera saraf
terjadi sebanyak 11,3% pada pasien dengan fraktur suprakondiler. Pemeriksaan
motorik dan sensorik seharusnya dilakukan pada kasus ini. Pemeriksaan motorik
meliputi jari-jari, pergelangan tangan, dan ekstensi ibu jari (saraf radialis), fleksi
index distal interphalangeal dan fleksi thumb interphalangeal (AIN), thenar
strength (medianus), interossei (saraf ulnaris). Pemeriksaan sensorik meliputi area
sensorik saraf radialis (dorsal first web space), saraf medianus (palmar finger

11
index), saraf ulnaris (palmar little finger). Apabila diketahui lebih awal, maka
defisit neurologi tersebut bersifat sementara dan akan membaik dalam 6-12
minggu.
Penilaian status vaskuler juga merupakan hal yang penting. Indikator
klinis adanya perfusi yang cukup di distal meliputi pengisian kapiler yang normal,
suhu, dan warna kulit (pink). Status vaskular dapat dikategorikan menjadi 3
kategori: kategori I mengindikasikan bahwa tangan mengalami perfusi yang baik,
dan a. radialis teraba, kategori II mengindikasikan bahwa tangan memiliki perfusi
yang baik, namun a.radialis tidak teraba, dan kategori III menunjukan bahwa
tangan mengalami perfusi yang sangat buruk dan tidak terabanya a.
radialis.Prevalensi terjadinya vascular compromise pada fraktur suprakondiler
humerus yang mengalami pergeseran disebutkan mencapai 20 % dari studi yang
dilakukan oleh Pirone dkk, 12 % pada studi yang dilakukan oleh Shaw dkk, dan
19 % pada studi yang dilakukan oleh Campbell dkk. Selesai pemeriksaan, siku
yang cidera sebaiknya distabilisasi menggunakan backslab denga posisi fleksi 20-
300 untuk mencegah pergeseranfraktur, mengurangi rasa nyeri, dan mencapai
kualitas radiologi yang baik. Ekstrimitas diposisikan dengan posisi yang nyaman.

2.9 PEMERIKSAAN RADIOLOGI


Pemeriksaan radiologi pada siku harus meliputi proyeksi anteroposterior
(AP) dan Lateral. Pada proyeksi true AP, sebaiknya diambil humerus distal dari
pada siku, karena lebih akurat dalam mengevaluasi humerus distal dan
meminimalisir kesalahan dalam menentukan angulasi malalignment pada humerus
distal. Pada proyeksi AP, Sudut Baumann atau disebut juga humeral capitellar
angle adalah penanda penting dalam menilai fraktur suprakondiler. Sudut ini
dibentuk oleh perpotongan antara garis pada sumbu humerus dengan garis yang
digambarkan sepanjang lempeng pertumbuhan kondilus lateral dari siku.
Sebaiknya, sudut Baumann pada siku kontralateral juga diambil sebagai
perbandingan. Fragmen distal biasanya berotasi medial atau internal dan deviasi
varus. Kisaran normal sudut ini antara 9-26o . Penurunan sudut Baumann adalah
penanda jika fraktur dalam keadaan varus. Beberapa penulis tidak mengadvokasi

12
penggunaan sudut Bauman karena kesulitan dalam mengidentifikasi lempeng
pertumbuhan capitellum. Sudut Baumann merupakan salah satu indikator
keberhasilan reduksi yang telah dikerjakan dan berhubungan dengan carrying
angle yang mungkin terjadi. tidak mengalami perubahan yang signifikan sejak
saat awal dilakukan reduksi sampai hasil akhir, dan tidak dipengaruhi oleh pronasi
maupun fleksi dari siku. Formula yang umum digunakan adalah perubahan 5
derajat dari sudut Baumann berhubungan dengan perubahan carrying angle
sebanyak 2 derajat.

Baumann’s Angle
Sudut humeral ulnar adalah sudut yang dibentuk oleh perpotongan diafisis
humerus dan ulna. Sudut ini berguna untuk menentukan carrying angle Medial
epicondylar epiphyseal angle, adalah alternatif dalam pemeriksaan AP selain
sudut Baumann. Sudut ini dibentuk oleh perpotongan sumbu humerus dengan
garis sepanjang medial epicondylar epiphyseal plate. Baik sudut Baumann dan
medial epicondylar epiphyseal angleberguna untuk menentukan kecukupan
reduksi fraktur suprakondiler. Web & Shermann menyatakan bahwa tingkat
akurasi sudut Baumann dalam hubungannya dengan carrying angle akan menurun
pada anak yang lebih muda dan pada remaja, sehingga sudut dari Baumann hanya
digunakan jika dibandingkan dengan siku yang normal saja. Oppenheim
berpendapat bahwa humeral – ulnar – wrist angle lebih konsisten dan akurat
dalam menentukan carrying angle. Sedangkan O’brien berpendapat bahwa
metaphyseal – diaphyseal angle lebih akurat jika dibandingkan dengan sudut dari
Baumann.

13
2.10 PENATALAKSANAAN
2.10.1 Manajemen awal
Fraktur suprakondiler yang mengalami pergeseran memerlukan
penanganan awal berupa pemasangan splint, dengan siku berada dalam posisi
yang nyaman, yaitu 20° sampai 40° dalam posisi fleksi dan hindaripemasangan
splint yang terlalu ketat. Fleksi dan ekstensi yang berlebihan akan menyebabkan
terjadinya gangguan pada aliran vaskular dan menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan kompartemen. Namun, perlu dievaluasi lebih lanjut oleh
karena sering terjadi kekakuan sendi bahu dan kerusakan physis. Adapun
pertimbangan penatalaksaan fraktur suprakondiler adalah bagaimana mencegah
kerusakan seperti sindrom kompartemen dan mengurangi komplikasi seperti
cubitus varus dan kekakuan. Dameron mencatat, berdasarkan jenis fraktur,
terdapat 4 macam penanganan yakni: (1) side-arm skin traction, (2) overhead
skeletal traction, (3) closed reduction and casting with or without percutaneous
pinning, dan (4) open reduction and internal fixation.

2.10.2 Penanganan dengan Traksi


Traksi Sebagai terapi definitif bagi fraktur suprakondiler merupakan salah
satu pilihan terapi yang sudah lama digunakan. Kelebihan traksi, baik skin
maupun skeletal traksi diantaranya aman karena jarang terjadi iskemik Volkmann,
hasil yang baik karena jarang terjadi deformitas varus dan valgus, dapat
diaplikasikan untuk fraktur yang baru terjadi maupun yang sudah beberapa hari,
baik stabil maupun tidak stabil. Namun, kelemahan penanganan ini adalah
lamanya masa perawatan di rumah sakit yang berkisar antar 14 sampai 20 hari.
Penelitian yang dilakukan oleh Gadgil dkk, bahwa skin traction efektif dan aman
untuk dilakukan pada anak dengan umur kurang dari 10 tahun.

14
2.10.3 Reduksi Tertutup Dengan Penggunaan Casting Dengan atau Tanpa
Fiksasi Pinning Perkutan
Penggunaan casting digunakan untuk patah tulang dengan pergeseran
minimal. Awalnya, reduksi tertutup dan penggunaan casting merupakan pilihan
untuk fraktur yang mengalami pergeseran, karena didapatkan hasil yang baik pada
90% pasien dan tidak ditemukan masalah vaskularisasi atau malunion. Apabila
ditemukan pergeseran fraktur yang sedang disertai adanya hematom yang terfixir
dengan fascia antecubital yang intak, fleksi siku cenderung akan mengakibatkan
iskemik. Reduksi tertutup dan fiksasi pinning merupakan pilihan terapi fraktur
suprakondiler yang paling banyak digunakan. AAOS menyarankan reduksi
tertutup dan fiksasi pinning pada pasien dengan fraktur suprakondiler humerus
tertutup yang mengalami pergeseran (Gartland tipe II dan III, dan fleksi displaced)
dengan kekuatan rekomendasi sedang. Beberapa penelitian yang menyokong
rekomendasi tersebut menyebutkan bahwa secara statistik,penanganan dengan
fiksasi pinning lebih baik dibanding penanganan non operatif dalam hal mencegah
cubitus varus dan kehilangan gerakan, namun lebih berisiko menimbulkan infeksi.
Kesimpulannya, teknik closed reduction and percutaneous pinning efektif untuk
menangani fraktur suprakondiler humerus yang mengalami pergeseran.
Pasien dalam pengaruh anestesi umum, dengan posisi supinasi, palpasi
batas, kemudian cek arah pergeseran tulang. Lakukan traksi dengan fleksi lengan
atas sebesar 100 koreksi pergeseran lateral. Dorong olecranon ke arah anterior
untuk mengoreksi pergeseran posterior, kemudian fleksi siku sebesar 400 hingga
olecranon berada anterior terhadap epikondilus. Rotasi eksternal pada kedua
lengan atas untuk mengoreksi deformitas rotasi internal. Kedua lengan atas
semestinya rotasi dalam besaran yang sama. Apabila pergeseran ke arah medial,
pronasi lengan bawah untuk mengunci patahan, begitu pula sebaliknya. Tahan
posisi patahan yang telah tereduksi atau cek dengan menggunakan C-Arm.
Masukkan 2 buah K-Wire 1,4 mm menggunakan teknik Judet, dimana satu
pin dimasukkan menuju kondilus lateralis sedangkan pin kedua menuju korteks
medialis. Selain dalam posisi supinasi, reduksi tertutup dapat dilakukan dalam
posisi pronasi.

15
Gaya gravitasi cenderung mempertahankan posisi pada saat pin
dimasukkan. Kriteria reduksi yang dapat diterima adalah restorasi dari sudut
Baumann (> 10°) pada foto rontgen posisi AP, gambaran kolummedial dan lateral
yang utuh pada foto rontgen posisi oblique, dan garis anterior humeral melewati
1/3 tengah dari capitelum pada foto rontgen posisi lateral. Malalignment
rotasional dapat mengganggu stabilitas fraktur, jadi bila terdapat malrotasi, harus
dilakukan pemeriksaan stabilitas reduksi dan kemungkinan penggunaan fiksasi
ketiga dengan pinning. Reduksi dari fraktur diperoleh dengan penggunaan dua
atau tiga Kirschner wire. Dilakukan imobilisasi dengan posisi fleksi 40° sampai
60°, tergantung dari besarnya pembengkakan dan status vaskular. Jika terdapat
celah pada lokasi fraktur atau bila fraktur tidak bisa direduksi, dan terasa seperti
karet saat melakukan reduksi, kemungkinan terjadi penjepitan pada nervus
medianus dan atau arteri brachialis pada lokasi fraktur dan harus dilakukan
reduksi terbuka.

Gambar. Langkah-Langkah Reduksi Tertutup

2.10.4 Reduksi Terbuka


Indikasi dilakukannya tatalaksana reduksi terbuka adalah pada fraktur
terbuka, gagal setelah reduksi tertutup, dan fraktur yang berhubungan dengan
gangguan vaskularisasi. Apabila terdapat hematom yang biasanya terbentuk di
daerah cubital, dapat dihilangkan melalui dekompresi anterior. Keuntungan

16
lainnya, baik epikondilus medialis atau lateralis dapat dipalpasi sehingga dapat
meminimalisir terjadinya malposisi atau malrotasi. Pendekatan anterior
menunjukkan tingkat kekakuan dan komplikasi yang rendah, mirip dengan
penatalaksanaan tertutup. Cubitus varus terjadi sebanyak 33%, kebanyakan terjadi
oleh karena reduksi yang tidak adekuat. Jika reduksi baik, maka angka insiden
terjadinya cubitus varus rendah.
Pendekatan posterior berhubungan dengan tingginya loss of range
motiondan osteonekrosis yang disebabkan oleh karena kerusakan suplai arteri
posterior menuju trochlea humerus, sehingga tidak direkomendasikan untuk
dilakukan untuk anak kecil. Pendekatan medial memiliki keuntungan yakni saraf
ulnaris dan kolum medialis dapat terlihat dengan jelas dan secara kosmetik
jaringan parut akan samar oleh karena terletak di bagian dalam daripada lengan.
Namun, kekurangannya kolum lateralis akan sulit terlihat setelah reduksi.

2.10.5 Penanganan Berdasarkan Tipe Fraktur


a) Fraktur Tipe I
Fraktur suprakondiler yang nondisplaced atau minimal displaced ( < 2
mm) dapat dipasang long arm cast disertai posisi siku berada dalam posisi fleksi
60 ° sampai 90 ° selama kurang lebih tiga minggu. Adanya impaksi di tulang
metafisis medial menandakan bahwa diperlukan reduksi. Sudut Baumann atau
sudut epifisis epikondilus medialis harus diperiksa bilateral. Jika lebih dari 100
maka diperlukan Reduksi tertutup and Percutaneous Pinning (CRPP).
Pemeriksaan foto rontgen lanjutan dikerjakan pada minggu pertama dan kedua
untuk menilai adanya pergeseran fragmen fraktur.

b) Fraktur Tipe II
Penanganan yang optimal dari fraktur tipe II telah mengalami pergeseran
dari yang sebelumnya menggunakan cast untuk imobilisasi dibanding saat ini
yang lebih banyak menggunakan intervensi operasi. Fraktur suprakondiler
humerus tipe II biasanya merupakan akibat cidera ekstensi, dengan korteks
posterior tetap intak atau nondisplaced. Setelah dilakukan reduksi tertutup dan

17
casting dengan bahu dalam keadaan fleksi 90-1000 . Jika reduksi tertutup fleksi
lebih dari 1000 maka perlu percutaneous pinning, dengan imobilisasi fleksi kurang
dari 900 Persentase Humerus bagian distal dalam proses pertumbuhan tulang
adalah sebesar 20 % dan memiliki kemampuan remodeling yang kecil. Extremitas
atas mengalami pertumbuhan kira-kira sebesar 10 cm selama tahun pertama
kehidupannya, 6 cm pada tahun kedua, 5 cm pada tahun ketiganya, 3,5 cm pada
tahun keempat dan 3 cm pada tahun kelimanya. Bayi kurang dari 3 tahun
memiliki kemampuan remodeling yang sangat baik sehingga ahli bedah masih
dapat menerima fraktur tipe II yang nonoperatif dimana capitelum berada pada
bagian depan anterior humeral line namun tidak melewatinya. Namun, anak
dengan usia 8-10 tahun masih memiliki pertumbuhan sebesar 10 % pada bagian
distal humerus, sehingga reduksi yang adekuat diperlukan untuk mencegah
terjadinya malunion. Beberapa penelitian telah membuktikan bahawa penanganan
awal fraktur tipe II dengan menggunakan teknik reduksi tertutup dan casting dapat
memberikan hasil yang baik.

c) Fraktur Tipe III


Fraktur suprakondiler tipe III adalah jenis fraktur yang bergeser secara
komplit. Penatalaksanaan dimulai dengan penilaian fungsi perfusi dan saraf.
Masalah neurovaskular sering terjadi dan mengakibatkan perubahan tatalaksana
fraktur. Jika anak dengan fraktur pada siku datang ke Unit Gawat Darurat dengan
posisi siku fleksi atau ekstensi yang ekstrem, posisi lengan harus dikoreksi dan
dilakukan fleksi 30° untuk meminimalisasi gangguan pada vaskular dan tekanan
kompartemen. Jika tidak terdapat masalah dalam neurovascular, fraktur tipe
displaced dapat dibidai sementara menunggu penanganan lebih lanjut. Closed
Reduction Percutaneous Pinning (CRPP) merupakan pilihan penatalaksanaan
untuk fraktur tipe III.
Khusus pada fraktur kominutif kolum medial yang mungkin tidak
mengalami pergeseran yang dramatis pada fraktur tipe III, tapi pada fraktur ini
memerlukan reduksi terbuka karena kolaps yang terjadi pada kolum medial akan

18
menyebabkan terjadinya deformitas berupa varus pada lengan disertai terjadinya
pergeseran yang minimal pada suprakondiler

2.11 KOMPLIKASI
 Cidera saraf
 Cidera pembuluh darah
 Kekakuan dan myositis ossificans
 Sindrom kompartemen
 Infeksi pin track

19
BAB III
ANALISIS KASUS

2.1.Identifikasi
Nama : An. DA
Jenis Kelamin : Laki-laki
TanggalLahir : 6 Maret 2009 ( 10 Tahun)
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Sukarami, Palembang, Sumatera Selatan
Agama : Islam
Status : belum menikah
MRS : 11 Agustus 2019
No. RM : 57.86.89
Pembiayaan : BPJS

2.2.Anamnesis (Alloanamnesis)
Keluhan Utama
Nyeri pada siku kiri

Riwayat Perjalanan Penyakit


Os datang ke IGD RSUD Palembang Bari dengan keluhan nyeri pada siku
kiri sejak 2 jam SMRS. Nyeri dirasakan terus menerus, nyeri tidak menjalar ke
tempat lain, nyeri dirasakan semakin berat saat digerakkan dan berkurang bila
tidak digerakkan.
Os mempunyai riwayat terjatuh saat sedang berlari dan kemudian kaki os
tersandung sehingga os terjatuh dengan posisi jatuh tersungkur dan tangan kiri
menahan badan saat jatuh. Setelah jatuh pasien sadar, mual (-), muntah (-), sesak
(-), kejang (-).
Riwayat Penyakit Terdahulu:
- Riwayat trauma sebelumnya (-)
- Riwayat kejang (-)

20
- Riwayat Asma (-)
- Riwayat alergi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga:


- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat Diabetes melitus (-)
- Riwayat alergi (-)

Pengkajian Nyeri Komprehensif

1. Site : siku kiri


2. Onset : 2 jam SMRS
3. Character : nyeri terus menerus
4. Radiation : nyeri tidak menjalar kebagian tubuh lainnya
5. Association : mual (-), muntah (-), sesak (-)
6. Time course : memberat saat digerakkan
7. Exacerbating : berkurang saat tidak digerakkan
8. Severity : berat (7)

21
2.3.PemeriksaanFisik
Status umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : E4V5M6
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 82 x/m
Suhu : 36,8 0C
Pernapasan : 21 x/m
BB : 34 Kg
Status Generalis
KEPALA
Bentuk : Normochepali
Rambut : Hitam sebagian putih,lurus, distribusi merata, rontok (-),
alopesia (-) dan tidak mudah dicabut
MATA
Palpebra : oedem (-) Lensa : jernih
Konjungtiva : anemis (-/-) Visus : tidakdiperiksa
Sklera : ikterik (-/-) Gerak BM : normal
Reflex Cahaya : +/+ Alis Mata : rata, simetris
Pupil : Isokor +/+, diameter 2 mm
HIDUNG
Bentuk : Normal, deviasi septum (-)
Nafas Cuping hidung : (-)
Perdarahan : (-/-)
Mukosa hidung : hiperemis /pucat (-/-), sekret (-/-)
TELINGA
Bentuk : Normotia Benjolan : -/-
Tuli : -/- Selaput pendengaran : intak
Lubang : lapang Penyumbatan : -/-
Serumen : +/+ Darah/cairan/sekret : -/-
MULUT

22
Bibir : lembab, kecoklatan, pucat (-), sianosis (-)
Tonsil : T1 –T1, Hiperemis (-)
Bau pernapasan : tidak ada
Gigi geligi : baik, caries ( - )
Gusi : Berdarah (-), bengkak (-), stomatitis (-)
Faring : tidak hiperemis
Lidah : kotor (-), atrofi papil (-), hiperemis (-), kotor (-), tremor (-)

LEHER
Deformitas : (-)
Trakea : deviasi (-)
Kelenjar Tiroid : pembesaran (-), kulit sekitar normal, nyeri tekan (-)
KGB : pembesaran (-), nyeri tekan (-)
JVP : 5 +2 cm H2O
Retraksi otot bantu pernapasan (-)

THORAKS
Bentuk : Datar, barrel chest (-), simetris saat statis dan dinamis,
Buah dada :Simetris, papila mamae kecokelatan, retraksi (-), sekret (-),
benjolan (-), ginekomastia (-)
Kulit : Pucat (-), ikterik (-), dan spider nevi (-)
Paru – Paru
Pemeriksaan ANTERIOR POSTERIOR
Inspeksi Kiri Simetris saat statis dan Simetris saat statis dan
dinamis, Retraksi iga: dinamis
Supra sternal (-/-),
Intercostae (-/-)
Kanan Simetris saat statis dan Simetris saat statis dan
dinamis, Gerakan dinding dinamis
dada cepat dan dalam,

23
Retraksi iga: Supra sternal
(-/-), Intercostae (-/-)
Palpasi Kiri - Tidak ada benjolan - Tidak ada benjolan
- Vocal fremitus simetris - Vocal fremitus simetris

Kanan - Tidak ada benjolan - Tidak ada benjolan


- Vocal fremitus simetris - Vocal fremitus simetris

Perkusi Kiri Sonor pada seluruh lapang Sonor pada seluruh lapang
paru paru
Kanan Sonor pada seluruh lapang Sonor pada seluruh lapang
paru paru
Auskultasi Kiri Suara Nafas vesikular Suara Nafas vesikular
normal normal
Ronkhi -/-, wheezing -/- Ronkhi -/-, wheezing -/-
Kanan Suara Nafas vesikular Suara Nafas vesikular
normal normal
Ronkhi -/-, wheezing -/- Ronkhi -/-, wheezing -/-

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.


Palpasi :Ictuskordis tidak teraba, trill (-)
Perkusi :
 Batas kanan: ICS IV, linea sternalis dextra
 Batas kiri : ICS V, midklavikularis sinistra
 Batas atas : ICS II, línea parasternalis sinistra
Auskultasi :
 Suara dasar : S1-S2 murni, regular, irama teratur,
frekuensi 82 x/menit
 Suara tambahan : murmur (-), gallop (-)

24
ABDOMEN

- Inspeksi
Datar , spider nevi (-), jaringan parut (-), tumor (-), stria alba (-), sikatrik
(-), luka bekas operasi (-), caput medusae (-),
- Palpasi
lemas, nyeri tekan kanan atas (-), Murphy‟s sign (-), hepar dan lien tidak
teraba, teraba massa (-), ballotement (-)
- Perkusi
Timpani, nyeri ketok CVA (-)
- Auskultasi
Bising usus (+) normal

GENITALIA
Tidak dilakukan pemeriksaan

EKSTREMITAS
Edema pretibial (-/-), CRT < 2 detik

STATUS LOKALIS
Regio Brachialis dan antebrachialis sinistra
Look ( inspeksi)
Warna kulit kemerahan, soft tissue sweling (+),deformitas (-), tulang keluar dari
jaringan lunak (-), benjolan (-), jejas (-), laserasi (-), perdarahan aktif (-).
Feel (Palpasi)
Nyeri tekan (+), teraba panas (+), krepitasi (-), fluktuasi (-), pulsasi arteri (+)
Move / gerak
Gerakan terbatas, nyeri pada saat gerak

2.4.PemeriksaanPenunjang
 Pemeriksaan Darah Rutin

25
Hb : 10,9 g/dl (N : 14-16 g/dl)
Leukosit : 9.000 mm³ (N : 5000-10000/mm³)
Trombosit : 398.000 mm³ (N :150.000-400.000/mm³)
Hematokrit : 42% (N : 40 - 48%)
Waktu perdarahan : 2” (N : 1 – 6 detik)
Waktu pembekuan : 8” (N : 10 – 15 detik)
Hitung jenis :
- Basofil :0% (N: 0-1 %)
- Eosinofil :3% (N: 1-3%)
- Batang : 4% (N: 2-6%)
- Segmen : 45 % (N: 50-70%)
- Limfosit : 40 % (N: 20-40%)
- Monosit :8% (N: 2-6%)

2.5.Diagnosis Banding
- Fraktur suprakondiler humeri
- Fraktur humeri
- Fraktur os ulna
- Fraktur os radius

2.6.Diagnosis Kerja
Close Fraktur Supra Condiler humerus sinistra

2.7.Penatalaksanaan
Non Farmakologis :
- Dilakukan reduksi tertutup
- Dipasang Gips

26
Farmakologis :
- IVFD RL gtt X x/m
- Inj. Ketorolac 2x 30 mg (iv)
- Inj. Ceftriaxone 1 x 1 g (iv)

2.8.Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam: dubia ad bonam

27
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis yang telah didapatkan pasien bernama An DA,


usia 10 tahun dengan No. RM 57.86.89 datang ke IGD RSUD Palembang Bari
dengan keluhan utama nyeri pada siku kiri sejak 2 jam SMRS. Nyeri dirasakan
terus menerus, nyeri tidak menjalar ke tempat lain, nyeri dirasakan semakin berat
saat digerakkan dan berkurang bila tidak digerakkan. Os mempunyai riwayat
terjatuh saat sedang berlari dan kemudian kaki os tersandung sehingga os terjatuh
dengan posisi jatuh tersungkur dan tangan kiri menahan badan saat jatuh. Setelah
jatuh pasien sadar, mual (-), muntah (-), sesak (-), kejang (-). Hal ini menandakan
bahwa pasien mengalami trauma pada siku kiri yang kemungkinan terjadi fraktur
pada suprakondiler humerus sinistra, sesuai dengan teori bahwa fraktur
suprakondiler humerus lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan
dewasa. Dimana tingkat rata-rata pertahun penderita fraktur suprakondiler
humerus pada anak-anak diperkirakan 177,3 / 100.000. Rentang usia puncak
terjadinya fraktur suprakondiler humerus yaitu diantara usia 5– 10 tahun, dengan
perbandingan pria dan wanita adalah 3 : 2, yang mana paling sering ditemukan
pada siku kiri atau sisi yang tidak dominan.
Os terjatuh dengan posisi jatuh tersungkur dan tangan kiri menahan badan
saat jatuh. Hal ini menadakan bahwa mekanisme fraktur merupakan tipe ekstensi.
Sesuai teori bahwa Fraktur suprakondiler humerus sering terjadi akibat
hiperekstensi siku (95%). Jatuh dalam keadaan tangan terentang membentuk
hiperekstensi dari siku, dengan olecranon bertindak sebagai fulcrum pada fossa.
Bagian anterior dari kapsul secara simultan memberikan gaya regang pada
humerus bagian distal terhadap insersinya. Tekanan ekstensi yang kontinyu akan
mengakibatkan segmen posterior humerus terdesak ke distal dan terpluntir ke
anterior, yang dapat mengakibatkan kerusakan segmen anterior neurovaskular.

28
Jika patahan mengarah ke sisi medial, saraf radialis akan berisiko sedangkan jika
mengarah ke sisi lateral, akan menjepit arteri brachialis dan saraf medianus
Status lokalis pada regio brachialis dan antebrachialis sinistra didapatkan
Look ( inspeksi) : Warna kulit kemerahan, soft tissue sweling (+),deformitas (+),
tulang keluar dari jaringan lunak (-), benjolan (-), jejas (-), laserasi (-), perdarahan
aktif (-). Feel (Palpasi) : Nyeri tekan (+), teraba panas (+), krepitasi (-), fluktuasi
(-), pulsasi arteri (+). Move / gerak : Gerakan terbatas, nyeri pada saat gerak. Hal
ini sesuai dengan teori bahwa tanda dan gejala klinis dari fraktur adalah nyeri
yang terus menerus, deformitas, gangguan fungsi, bengkak/memar, pemendekan,
krepitasi dan warna kulit merah sampai kebiruan.
Diagnosis pada pasien ini adalah Close Fraktur Supra Condiler humerus
sinistra gartland II, sesuai dengan teori bahwa Gartland tipe II merupakan fraktur
suprakondiler disertai pergeseran (> 2 mm), dan korteks bagian posterior
kemungkinan masih utuh dan berfungsi sebagai engsel. Pada gambaran foto
rontgen elbow true lateral, garis anterior humeral tidak melewati 1/3 tengah dari
capitelum. Secara umum, tidak tampak deformitas rotasional pada posisi foto
rontgen AP
Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan reduksi tertutup dan dipasang
Gips, sesuai teori bahwa Fraktur suprakondiler humerus tipe II biasanya
merupakan akibat cidera ekstensi, dengan korteks posterior tetap intak atau
nondisplaced. Extremitas atas mengalami pertumbuhan kira-kira sebesar 10 cm
selama tahun pertama kehidupannya, 6 cm pada tahun kedua, 5 cm pada tahun
ketiganya, 3,5 cm pada tahun keempat dan 3 cm pada tahun kelimanya. Bayi
kurang dari 3 tahun memiliki kemampuan remodeling yang sangat baik sehingga
ahli bedah masih dapat menerima fraktur tipe II yang nonoperatif dimana
capitelum berada pada bagian depan anterior humeral line namun tidak
melewatinya. Namun, anak dengan usia 8-10 tahun masih memiliki pertumbuhan
sebesar 10 % pada bagian distal humerus, sehingga reduksi yang adekuat
diperlukan untuk mencegah terjadinya malunion. Beberapa penelitian telah
membuktikan bahawa penanganan awal fraktur tipe II dengan menggunakan
teknik reduksi tertutup dan casting dapat memberikan hasil yang baik.

29
Untuk tatalaksana farmakologi pasien ini diberikan, IVFD RL gtt X x/m,
Inj. Ketorolac 2x 30 mg (iv) yang digunakan sebagai analgesik dan antibiotik Inj.
Ceftriaxone 1 x 1 g (iv) untuk mencegah dari infeksi.

30
BAB V
KESIMPULAN

1. Fraktur suprakondiler humerus: fraktur sepertiga distal humerus tepat


proksimal troklea & capitulum humeri. Garis fraktur berjalan melalui
apeks coronoid & fossa olecranon.
2. Tingkat rata-rata pertahun penderita fraktur suprakondiler humerus pada
anak-anak diperkirakan 177,3 / 100.000. Rentang usia puncak terjadinya
fraktur suprakondiler humerus yaitu diantara usia 5– 10 tahun
3. Etiologi : Peristiwa trauma tunggal, Kelemahan abnormal pada tulang,
Dapat terjadi pada tekanan normal kalau tulang itu lemah / sangat rapuh,
Tekanan yang berulang-ulang .
4. Nyeri , Deformitas ,Gangguan fungsi , Bengkak / memar, Pemendekan,
krepitasi.
5. Klasifikasi yang dipakai adalah klasifikasi Gartland. Terdiri atas: tipe I
(undisplaced), tipe II (partially displaced), Tipe III (complete displaced)
6. Fraktur suprakondiler yang mengalami pergeseran memerlukan
penanganan awal berupa pemasangan splint, dengan siku berada dalam
posisi yang nyaman, yaitu 20° sampai 40° dalam posisi fleksi dan
hindaripemasangan splint yang terlalu ketat.
7. Reduksi dan traksi

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Rasjad C. Trauma. Dalam: Pengantar ilmu bedah ortopedi. Edisi VI. Jakarta: Yarsif
Watampone, 2009
2. Sjmsuhidajat R, Jong WD. Sistem muskuloskeletal. Dalam: Buku ajar ilmu bedah.
Edisi II. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004.
3. Wibowo DS, Paryana W. Anggota gerak atas. Dalam: Anatomi Tubuh Manusia.
Bandung: Graha Ilmu Publishing, 2009
4. Snell R. Ekstremitas superior. Dalam: Anatomi Klinik. Edisi VI. Jakarta: EGC, 2006.
5. A Graham Apple. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Applay. Edisi VII. Jakarta:
Widya Medika, 1995.
6. Salter RM. Spesific Fracture & Joint Injuries in Children. Textbook of Disorders &
Injuries of the Muskuloskeletal Sytem. 3rd Edition.
7.Skaggs DL, Flynn JF: Supracondylar Fracture of the Distal Humerus. In: Beaty JH,
Kasser JR, (editors) Rockwood and Wilkins Fractures in Children, 7th Edition
Vol.
8. Koval KJ, Zuckerman JD. Handbook of Fractures Third Edition. Lippincott Williams
& Wilkins. 2016
9. Farnsworth CL, Silva PD,Mubarak SJ. Etiology of supracondylar humerus fracture.
Journalof Pediatric Orthopaedic. 1998;18:38-42
10. Brubacher JW, Dodds SD. Pediatric Supracondylar Fracture of The Distal Humerus.
Current Review Musculoskeletal Medicine 2018. 1:190-196

32

Anda mungkin juga menyukai