Anda di halaman 1dari 30

1

I. PENDAHULUAN

Myasthenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari

transmisi neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot. Istilah

Myasthenia berasal dari bahasa latin yang berarti kelemahan otot,

dan gravis untuk berat atau serius. Myasthenia Gravis termasuk salah satu

jenis penyakit autoimun. Menurut kamus kedokteran, penyakit autoimun itu

sendiri adalah suatu jenis penyakit dimana antibodi menyerang jaringan-

jaringannya sendiri (Dorland, 2011).

Myasthenia Gravis dapat menyerang otot apa saja, tapi yang paling

umum terserang adalah otot yang mengontrol gerakan mata, kelopak mata,

mengunyah, menelan, batuk dan ekspresi wajah. Otot bahu, pinggul, leher,

otot yg mengontrol gerakan badan serta otot yang membantu pernafasan

juga dapat terserang. Myasthenia Gravis menyebabkan kelelahan yang cepat

(fatigabilitas) dan kehilangan kekuatan pada saat beraktivitas, dan membaik

setelah istirahat (MDA, 2011).

Prevalensi MG saat ini di dunia diperkirakan mencapai angka

20/100.000 populasi. Angka ini pada kenyataannya bisa lebih tinggi

mengingat MG jarang terdiagnosis di fasilitas kesehatan tingkat pertama.

Terapi MG pun masih dalam tahap penelitian. Sampai saat ini, terapi tidak

dapat diragukan bahwa terapi imunomodulasi dan imunosupresif bisa

dilakukan untuk mengatasi MG, akan tetapi pengertian dan pemahaman


2

tentang penyakit ini belum baik sehingga masih perlu dikaji dan

disebarluaskan lebih keras lagi (Howard, 2008).


3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Myasthenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai

oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang

dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat

beraktivitas4. Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian

kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya

gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction

(Baehr, 2012).

B. Epidemiologi
Myasthenia Gravis (MG) prevalensinya saat ini adalah 20/100.000

penduduk yang umumnya merupakan wanita dewasa muda dan pria tua.

Penyakit ini bukan suatu penyakit keturunan ataupun jenis penyakit yang

bisa menular. Penderita MG mayoritas berusia < 40 tahun, dan 70%

diantaranya adalah wanita. Pada kelompok usia > 40 tahun, 60%

diantaranya adalah pria. Jadi, MG adalah penyakit wanita muda dan pria

tua. Pada pasien yang mengalami MG sebagai akibat karena memiliki

thymoma, usia dan jenis kelamin relatif seimbang (Harkitasari, 2015).


Usia yang paling umum terserang adalah pada usia 20 dan 30-an

pada wanita dan 70 dan 80-an pada pria. Berdasarkan populasi umur,

rata-rata usia yang terserang meningkat, dan sekarang pria lebih sering

terserang dibanding wanita dengan permulaan munculnya tanda-tanda

biasanya setelah usia 50 tahun (Harkitasari, 2015).


Pada MG bayi, janin mungkin memperolah protein imun (antibodi)

dari ibu yang terkena Myasthenia Gravis. Umumnya, kasus-kasus dari


4

Myasthenia bayi adalah sementara dan gejala-gejala anak-anak umumnya

hilang dalam beberapa minggu setelah kelahiran. Myasthenia Gravis

tidak secara langsung diwarisi ataupun menular. Adakalanya, penyakit ini

mungkin terjadi pada lebih dari satu orang dalam keluarga yang sama

(Harkitasari, 2015).

C. Anatomi Neuromuscular Junction


Pembelajaran myasthenia gravis harus disertai dengan pengetahuan

tentang anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction

sangatlah penting. Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa

kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-

ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular

junction atau sambungan neuromuskular (Snell, 2007).


Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya

yang disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang

terdapat di sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf),

membran post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan

bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction (Snell, 2007).

D. Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction


Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan

membran post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan

terisi oleh suatu lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan

serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular

secara difusi (Murray et al., 2008).


Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi

asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian

terminal namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel


5

sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal terdapat di bagian

terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate) (Murray et al.,

2008).
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125

kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah

sinaps. Bila potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan

terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion

kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan terhadap

vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan

mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang

dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor

asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik (Murray et al., 2008).


Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction

dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu (Murray et al., 2008):

1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan

menggunakan enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi

reaksi:

Asetil-KoA + Kolin Asetilkolin + KoA

2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-

membran yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel

ini.

3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan

tahap berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang

melibatkan fusi vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan

istirahat, kuanta tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang


6

mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara

spontan sehingga menghasilkan potensial endplate miniature yang

kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibat

transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca2+

yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran

masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca 2+ ini

memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang

melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga

sinaps.

4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi

celah sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold),

merupakan bagian yang menonjol dari motor end plate yang

mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang

tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Jika dua molekul

asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan

mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam

reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi membran.

Influks ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran otot

sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan

menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi

potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga

timbul kontraksi otot.

5. Jika saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis

oleh enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:


7

Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin

Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam

lamina basalis rongga sinaps

6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme

transport aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi

sintesis asetilkolin. Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks

protein besar dengan saluran yang akan segera terbuka setelah

melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5 protein subunit,

yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan

gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat

bergerak secara mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan

terjadi depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa ini

akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran

serat otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial

lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah

mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada membran otot

yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot

E. Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting

pada patofisiologi myasthenia gravis. Observasi klinik yang mendukung

hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan

pasien yang menderita myasthenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis,


8

sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain (Price et

al., 2008).
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi

pada serum penderita myasthenia gravis secara langsung melawan

konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang peranan penting pada

melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis. Tidak diragukan lagi,

bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab

utama kelemahan otot pasien dengan myasthenia gravis. Autoantibodi

terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum

90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata

(Price et al., 2008).


Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap

reseptor asetilkolin pada penderita myasthenia gravis belum sepenuhnya

dapat dimengerti. Myasthenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit

terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru

melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis myasthenia

gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap

imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti

hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien

dengan gejala miastenik (Price et al., 2008).


Pada pasien myasthenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam

berbagai subkelas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung

melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga

merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor

asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya

transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang


9

reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan

mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction

dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post

sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan

untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis (Price et

al., 2008).

F. Manifestasi Klinis
Myasthenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan

yang berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat

apabila sedang beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah

pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita

beristirahat (Marjono, 2004). Gejala klinis myasthenia gravis antara lain

(Marjono, 2004):
1. Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis
Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus

okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita myasthenia

gravis. Walupun pada myasthenia gravis otot levator palpebra jelas

lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal.

Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi

akan melengkapi ptosis myasthenia gravis. Kelemahan otot bulbar

juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi

kepala (Marjono, 2004).


2. Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.

Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot

wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas (Marjono, 2004).


10

3. Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter

sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula

timbul kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring

sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari

pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila

penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya

(Marjono, 2004).

G. Klasifikasi Myasthenia Gravis


Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA),

myasthenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Marjono,

2004):
1. Kelas I
Kelas I ditandai dengan adanya kelemahan otot-otot okular,

kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain

normal.
2. Kelas II
Pada kelas II terdapat kelemahan otot okular yang semakin

parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot

okular.

3. Kelas IIa
Pada kelas ini MG mempengaruhi otot-otot aksial, anggota

tubuh, atau keduanya, serta terdapat kelemahan otot-otot

orofaringeal yang ringan.


4. Kelas IIb
Kelas IIb mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan

atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-

otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.


5. Kelas III
11

Pada kelas ini terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot

ocular sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami

kelemahan tingkat sedang.


6. Kelas IIIa
Kelas IIIa mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot

aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot

orofaringeal yang ringan.


7. Kelas IIIb
Kelas IIIb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot

pernapasan, atau keduanya secara predominan. Pada kelas ini juga

terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau

keduanya dalam derajat ringan.

8. Kelas IV
Pada kelas ini otot-otot lain selain otot-otot okular

mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot

okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.


9. Kelas IVa
Pada kelas ini MG mempengaruhi otot-otot anggota tubuh

dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan

dalam derajat ringan.


10. Kelas IVb
Kelas IVb mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot

pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga

terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial,

atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan

feeding tube tanpa dilakukan intubasi.


11. Kelas V
Pada kelas ini, penderita terintubasi, dengan atau tanpa

ventilasi mekanik.
12

Biasanya gejala-gejala myasthenia gravis sepeti ptosis dan

strabismus tidak akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari

atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada

pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun (Marjono, 2004).

Myasthenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana

seperti dibawah ini (Marjono, 2004):

a. Myasthenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.

b. Myasthenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot

untuk untuk mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota

tubuhpun dapat ikut menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.

c. Myasthenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan

otot-otot okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat

meninggal dunia.

H. Diagnosis Myasthenia Gravis


1. Penegakan Diagnosis Myasthenia Gravis
Anamnesis tentang kelemahan otot sangat perlu dilakukan

secara cermat dan lengkap. Pemeriksaan fisik yang cermat juga

harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu myasthenia

gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang

berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta

simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon

biasanya masih ada dalam batas normal. Myasthenia gravis biasanya

selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajah.


13

Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a

mask-like face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal

(Price et al., 2008)


Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita

dengan myasthenia gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat

kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara penderita

seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi

makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu,

penderita myasthenia gravis akan mengalami kesulitan dalam

mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi

cairan yang menyebabbkan penderita batuk dan tersedak saat

minum. Kelemahan otot-otot rahang pada myasthenia gravis

menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu

penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga

mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi

serta ekstensi dari leher (Howard, 2008).


Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih

sering dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-

otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan

dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi

ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan

sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering

terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering

kali terjadi kelemahan saat melakukan fleksi panggul, serta


14

melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan

melakukan plantarfleksi jari-jari kaki (Howard, 2008).


Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan

gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat

darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan

otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi

karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi.

Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran

napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada

pasien myasthenia gravis fase akut sangat diperlukan (Howard,

2008).
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara

asimetris. Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot

ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh

satu nervus cranialis. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting

untuk mendiagnosis suatu myasthenia gravis. Kelemahan pada

muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya

suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan

terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai

nistagmus pada mata yang melakukan abduksi (Howard, 2008).


Beberapa test yang dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi

diagnose penyakit Myasthenia Gravis. Test-test yang dapat

dilakukan itu antara lain (Howard, 2008):

a. Test Wartenberg, Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak

jelas, dapat dicoba test Wartenberg. Penderita diminta untuk

menatap tanpa kedip kepada suatu benda yang terletak diatas


15

dan diantara bidang kedua mata untuk beberapa waktu lamanya.

Pada Myasthenia Gravis, kelopak mata yang terkena akan

menunjukkan ptosis.

b. Test Prostigmin atau Test Neostigmin, Prostigmin 0.5-1.0 mg

dicampur dengan 0.1 mg atropine sulfas kemudian disuntikkan

kedalam pembuluh darah penderita (intramuskularis atau

subcutan). Test dianggap positif apabila gejala-gejala kelemahan

menghilang dan tenaga membaik. Prostigmin secara oral juga

bisa diberikan sebagai dosis test. Efeknya masih perlahan pada

permulaan dan berakhir lebih dari 2 sampai 3 jam.

Hasil tes yang negatif tidak meniadakan Myasthenia Gravis

tapi ini adalah poin yang kuat untuk mendiagnosa lagi.

Percobaan neostigmin secara oral, 15 mg setiap 4 jam selama

sehari, kadang direkomendasikan pada kasus-kasus yang

meragukan, tapi cara ini juga belum teruji akurasinya.

c. Tes Edrophonium Chloride (Tensilon). Tes ini akan bermanfaat

apabila pemeriksaan antibodi antireseptor asetilkolin tidak dapat

dikerjakan, atau hasil pemeriksaannya negatif, sementara secara

klinis masih tetap diduga adanya Myasthenia Gravis. Apabila

tidak ada efek samping sesudah test 1-2 mg intravena, maka

disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif

apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam

waktu 1 menit), menghilangkan ptosis, lengan dapat

dipertahankan dalam posisi abduksi lebih lama, dan


16

meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung

lebih lama dari 5 menit. Test ini dapat dikombinasikan dengan

pemeriksaan EMG.

Tes Tensilon sering digunakan untuk mendiagnosa MG. Enzim

asetilkolineterase membongkar asetilkolin (ACh) setelah otot

dirangsang, mencegah perpanjangan respon otot ke impul syaraf

tunggal. Edrophonium chloride (Tensilon) adalah obat yang

secara berkala merintangi aksi dari asetilkolineterase. Pada MG,

ada sedikit penerima asetilkolin (AChR) pada otot dan

asetilkoline dihancurkan sebelum bisa secara penuh

menstimulasi otot, sehingga menghasilkan kelemahan otot.

Dengan merintangi aksi dari asetilkolineterase, tensilon

memperpanjang stimulasi otot dan secara berkala memperbaiki

kekuatan.

Pada test ini, tensilon diberikan melalui pembuluh darah (ke

dalam urat darah halus) dan respon otot akan dievaluasi. Test

Tensilon paling efektif ketika dapat dengan mudah terlihat

kelemahan, dan sedikit kurang berguna untuk yang samar-samar

atau keluhan yang turun naik. Efek samping dari test ini adalah

secara temporer membuat irama jantung menjadi abnormal,

seperti irama jantung yang lebih cepat (atrial fibrilasi) dan irama

jantung yang lambat (bradicardia).

d. Tes Single Fiber Electromyography (EMG). Serabut otot

dirangsang dengan impul elektrik, bisa juga mendeteksi


17

gangguan syaraf ke transmisi otot. EMG mengukur potensi

elektrik dari sel-sel otot. Serat-serat otot pada MG dan juga pada

penyakit neuromuskular lainnya, tidak memberi respon yang

baik pada rangsangan elektrik yang berulang-ulang dibanding

dengan otot-otot pada individu yang normal. Test ini memiliki

kesensitifan hingga 95 % secara sistem dan 84 % pada MG

okular, membuat test ini menjadi yang paling sensitif untuk

penyakit ini.

e. Tes Darah, Tes darah dilakukan untuk menentukan tingkatan

serum dari beberapa antibodi (seperti, AChR-pengikat antibodi,

AChR-modulasi antibodi, antitriasional antibodi). Tingkat yang

tinggi dari antibodi-antibodi ini dapat mengindikasikan MG.

Delapan puluh presen dari semua pasien dengan MG memiliki

peningkatan serum antibodi yang tidak normal. Tapi hasil tes

yang positif, mungkin kurang disukai oleh pasien dengan MG

ocular murni. Peluang untuk menerima hasil test positif yang

salah dari laboratorium yang ternama adalah kecil, akan tetapi

garis batas test-test harus diulang-ulang.

f. Computed Tomography Scan (CT Scan) atau Magnetic

Resonance Imaging (MRI), Digunakan untuk mengidentifikasi

kelenjar thymus yang tidak normal atau keberadaan dari

thymoma.
18

7. Pulmonary Function Test (Test Fungsi Paru-Paru), Test

mengukur kekuatan pernafasan untuk memprediksikan apakah

pernafasan akan gagal dan membawa kepada krisis Myasthenia.

2.
Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti (Marjono, 2004)
a. Anti-asetilkolin reseptor antibody
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk

mendiagnosis suatu myasthenia gravis, dimana terdapat hasil

yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita myasthenia

gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan myasthenia

okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor

antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa myasthenia

gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody.


b. Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Tes ini merupakan salah satu tes yang penting pada penderita

myasthenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada

sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang

dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari

40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.


c. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies
Hampir 50% penderita myasthenia gravis yang menunjukkan

hasil anti-AChR Ab negatif (myasthenia gravis seronegarif),

menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.


d. Antistriational antibodies
19

Dalam serum beberapa pasien dengan myasthenia gravis

menunjukkan adanya antibody yang berikatan dalam pola cross-

striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi

ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan

ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien

thymoma dengan myasthenia gravis pada usia muda.

Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan

yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan

myasthenia gravis.
e. Chest x-ray (foto roentgen thorak)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral.

Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai

suatu massa pada bagian anterior mediastinum. Hasil roentgen

yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma

ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan

untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus myasthenia

gravis, terutama pada penderita dengan usia tua. MRI pada otak

dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin.

MRI dapat digunakan apabila diagnosis myasthenia gravis tidak

dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan

untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.


f. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita myasthenia gravis terdapat penurunan jumlah

reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya

suatu potensial aksi.


g. Single-fiber Electromyography (SFEMG)
20

Metode ini menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki

permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG

dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval

interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor

unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi

dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).

SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada

neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density

yang normal.

I. Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis

myasthenia gravis, antara lain (Howard, 2008):

1. Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi

nervus III pada beberapa penyakit elain myasthenia gravis, antara lain:

a. Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)

b. Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring

c. Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii

d. Paralisis pasca difteri

e. Pseudoptosis pada trachoma

2. Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan

adanya suatu sklerosis multipleks.

3. Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)

Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan

kelelahan pada otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai


21

dengan kelemahan relatif pada otot-otot ekstraokular dan bulbar.

Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik awal suatu

kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering

kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell

carcinoma pada paru.

EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada

myasthenia gravis. Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada

frekuensi renah (2Hz) tetapi akan terjadi ahmbatan stimulasi pada

frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada myasthenia gravis

terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS

terjadi pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin

tidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang

akhirnya sampai ke membran postdinaptik tidak mencukupi untuk

menimbulkan depolarisasi.

J. Penatalaksanaan (Marjono, 2004)

1. Antikolinesterase

Penderita MG dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral

tiap 3 jam atau neostigmin bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam.

Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi kombinasi tidak

menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin

metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15

mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului

dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg.


22

Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan

kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya

aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90%

dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase

akan sangat bermanfaat pada myasthenia gravis golongan IIA dan IIB.

Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi

parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi

berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan.

Efek samping gastrointestinal (efek samping muskarinik) berupa

kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida

atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari

bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang

diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk

menghindari krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling

mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan

lebih dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping

tersebut.

2. Steroid

Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk

myasthenia gravis, dan diberikan sekali sehari secara selang-seling

(alternate days) untuk menghindari efek samping. Dosis awalnya

harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu)

untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat


23

dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala

terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada

kasus yang berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang

tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang

mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan

klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila

sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-

lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang

efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus

dihindari.

3. Azatioprin

Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan

hasil yang baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan

steroid dan terutama berupa gangguan saluran cerna, peningkatan

enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg

BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan

pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan

laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon

bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan.

4. Timektomi

Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan

pasca operasi dan kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan.


24

Melemahnya penderita beberapa hari pasca operasi dan tidak

bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan

tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan

fisioterapi dan antibiotik.

5. Plasmaferesis

Penggantian plasma dilakukan setiap hari sebanyak 3-8 kali dengan

dosis 50 ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas

dalam waktu singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan

pemberian obat imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang

berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi

demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita

mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif

padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi

pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan

kasus kronik.

K. Komplikasi

1. Krisis Kolinergik (Howard, 2008)

Krisis kolinergik Dapat terjadi bila kolinesterase dihambat

secara berlebihan oleh obat-obat antikolinesterase. Gejala

kolinergik antara lain bingung, pucat, berkeringat dan pupil


25

miosis akan menyertai kelemahan otot yang progresif, terdapat

deteriorasi yang bersifat temporer.

Suatu krisis kolinergik timbul bila terjadi over dosis dari

obat-obat antikolinesterase, sehingga timbul depolarisasi blok

Pada neuro-muscular junction yang pada akhirnya akan

menimbulkan kelemahan pada otot. Dapat diketahui dengan

anamnesa yang di peroleh yaitu bahwa penderita sedang

menggunakan obat-obat antikolinesterase, gejala gangguan

pernafasan timbul 15-45 menit setelah minum obat-obat

antikolinesterase, setelah penderita merasa kelemahan yang

bertambah pada otot dan penderita meminum obat lagi lalu

keadaan semakin memburuk. Pada krisis ini itemukan miosis,

hiperhidrosis, hipersalivasi, terasa sdingin pada badan bila diraba

dan kesadaran sopor dan confused. Untuk menolong pernafasan

yang cepat dan dangkal secepatnya dipasang endotrakeal tube dan

diberika pula pernafasan buatan atau dipasang respirator dengan

tekanan positif.

2. Krisis Miastenia

Krisis ini terjadi akibat terapi yang tidak adekuat dan adanya

deteriorasi, terutama terjadi pada keadaan pascabedah, partus,

infeksi atau dengan mempergunakan obat-obat yang memperberat

keadaan miastenia. Bila ragu-ragu dapat digunakan endofronium.


26

Perbaikan sempurna dapat terjadi. Penderita miastenia gravis

yang menderita krisis miastenik bila kelemahan otot-otot

penderita terus meluas sampai pula mengenai otot-otot

pernafasan. Keadaan demikian dapat timbul apabila penderita

terlalu lelah atau mendapat penyakit infeksi lain. Suatu krisis

miastenik dapat pula timbul bial seorang penderita telah diberikan

obat-obat seperti kinin, luminal, diazepam, neomisin, sulfas

magnesium. Penderita dengan krisis miastenik dapat diberikan

prostigmin 1-2 mgr (2-4 mgr) secara i.m

Terapi penyulit pada krisis kolinergik, obat-obat

antikolinesterase dihentikan sementara dan dimulai dengan dosis

yang lebih kecil bila keadaan menjadi stabil. Segera diberikan

atropin 1,25 mg intravena dan diberikan 1,25 mg intramuskular

setiap jam sampai keringat berhenti dan pupil midriasis lebih dari

3 mm. Pada krisis miastenia diberikan neostigmin 1-2,5 mg

intramuskular. Ptosis yang merupakan salah satu gejala

kelumpuhan nervus okulomotorius sering menjadi keluhan utama

penderita miastenia gravis.

Walaupun otot levator palpebra jelas lumpuh pada miastenia

gravis, otot-otot okular adakalanya masih bisa bergerak normal,

tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okuler kedua belah sisi

akan melengkapi ptosis. Ptosis miastenia gravis yang ringan

dapat diperjelas dengan test Wartenberg, dengan test tersebut


27

pasien di suruh menatapkan kedua matanya pada sesuatu yang

berada sedikit lebih tinggi dari matanya.

Pada ptosis miastenik, kedua kelopak mata atas akan lebih

tinggi dari matanya dan akan menurun 1-2 menit setelah

menjalani test tersebut. Setelah bekerja secara bertenaga ptosis

akan timbul dengan jelas. Mula timbulnya dengan ptosis (90%)

unilateral atau bilateral. Setelah beberapa minggu sampai bulan

ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralisis okuler) dan

suara sengau (paralisis palatum mole). Kelumpuhan-kelumpuhan

bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore. Tetapi lama

kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari

sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak bebas

dari kesulitan penglihatan (karena diplopia dan ptosis) dan

kesulitan menelan/mengunyah.

Penderita berkunjung ke dokter untuk pengobatan karena

diplopia yang sangat mengganggu. Kelemahan otot non bulbar

baru dijumpai pada tahap yang sudah lanjut sekali. Yang pertama

terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan

dengan tangan, kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-

otot interkostal. Atropi otot dapat ditemukan pada permulaan,

tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi


28

L. Prognosis

Jika diterapi secara adekuat, mayoritas pasien MG memiliki usia

harapan hidup yang normal. Mortalitas yang terjadi sekitar 3-4%. Factor

risiko yang memperburuk prognosis MG antara lain adalah usia lebih

dari 40 tahun, riwayat penakit progresif dan timoma (Shah, 2015).


29

III. KESIMPULAN

3. Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit

autoimun kronis dari transmisi neuromuskular yang menghasilkan

kelemahan otot.
4. Myasthenia gravis mumnya menyerang wanita

dewasa muda dan pria tua


5. Manifestasi klinis myasthenia gravis adalah

kelemahan otot, terutama otot ekstraokular


6. Myasthenia gravis diklasifikasikan menjadi lima

kelas
7. Myasthenia gravis didiagnosis dengan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang tertentu


8. Tatalaksana myasthenia gravis terdiri atas terapi

medikamentosa dan nonmedikamentosa


9. Prognosis myasthenia gravis tergantung tingkat

keparahan dan terapi yang dilakukan


30

DAFTAR PUSTAKA

Baehr, M. 2012. Diagnosis Topik Neurologi DUUS : Anatomi, Fisiologi,

Tanda dan Gejala, Ed. 4. Jakarta: EGC.

Harkitasari, S. 2015. Diagnosis dan Terapi Miastenia Gravis pada Anak.

CDK-226. 42(3).

Howard, J.F. 2008. Myasthenia Gravis A Manual for the Health Care

Provider. USA: MGA

Marjono, M. 2004. Neurologi Klinis Dasar 9th ed. Jakarta: Dian Rakyat

MDA. 2011. Facts About Myasthenia Gravis, Lambert-Eaton Myasthenic

Syndrome & Congenital Myasthenic Syndromes. USA: MDA.

Murray, R.K, Granner, D.K, & Mayes, P.A. 2008. Biokimia Harper: Dasar

Biokimia Beberapa Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 29. Jakarta: EGC.

Price, S. A. 2008. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit ed. 6

vol.2. Jakarta: EGC

Shah, A.K. 2015. Myasthenia Gravis. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview#a7 (diakses

tanggal 17 Maret 2016).

Snell, R. S. 2007. Neuroanatomi Klinik ed. 5. Jakarta; EGC.

Anda mungkin juga menyukai