Anda di halaman 1dari 21

Referensi Artikel

MIASTENIA GRAVIS

Oleh :
Disusun oleh:
Anisa Rahmatia

G99151043

Rindy Saputri

G99151044

Sri Retnowati

G99151045

Priaji Setiadani

G99151046

Niza Nurul Miftah

G99151047

Apriska Mega Sutowo Putri

G99152009

Bara Tracy Lovita

G99152010

Safitri Tia Tampy

G99152023
Pembimbing :

Dr. dr. Noer Rachma, SpKFR


KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada tahun 1672, Miastenia Gravis pertama kali ditemukan oleh
Thomas Willis. Miastenia Gravis adalah penyakit neuromuscular junction
yang besifat autoimun dengan gangguan pada pelepasan acetylcholin post
sinaps. Miastenia Gravis termasuk kelainan neuromuscular junction yang
jarang ditemukan. Namun bila dibandingkan dengan jenis penyakit
neuromuscular junction lainnya, Miastenia Gravis yang paling banyak
ditemukan (Suroto, 2014).
Kasus terbanyak pada usia 30 tahun adalah wanita, sedangkan pada
umur 50-70 tahun adalah laki-laki. Menurut data Yayasan Miastenia Gravis
Indonesia (YMGI 2010) terdapat 226 penderita miastenia gravis di seluruh
Indonesia, 22 diantaranya sudah meninggal dunia dan 7 remisi obat (waktu
tidak kambuh penyakit atau rehat minum obat).
Pada kasus ringan, myasthenia menyebabkan kelemahan otot-otot pada
mata dan menimbulkan ptosis. Sedangkan pada moderate kasus, myasthenia
menyebabkan kesulitan berbicara, mengunyah, menelan, bernafas, dan
kelemahan pada anggota gerak badan (Hartwig, 2005).
Myasthenia Gravis adalah penyakit yang harus menerima perhatian
lebih terutama apabila terdapat myasthenia krisis, penyakit ini termasuk
kegawatdaruratan dan harus dirujuk ke rumah sakit yang tersedia ventilator
(Suroto, 2014).
Dari penelitian yang telah dilakukan pada penderita miastenia,
ditemukan adanya defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR) pada
neuromuscular junction. Defisiensi ini disebabkan oleh timbulnya antibodi
terhadap AchR, mengakibatkan asetilkolin yang dilepaskan tidak bisa
ditangkap oleh AchR (Suroto, 2014).
Myastenia gravis yang didapat (acquired myasthenia gravis) bisa
disebabkan karena beberapa toksin dan obat yang bisa menimbulkan
syndrome seperti myasthenia dan mempengaruhi neuromuscular junction

meliputi botulism, tetanus, racun, aminoglycoside, hypermagnesia, quinidine,


dan keracunan organophosphate (Howard, 2008).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah definisi dari Myasthenia Gravis?
2. Apa etiologi dan bagaimana epidemiologi dari Myasthenia Gravis?
3. Bagaimana patofisiologi dan manifestasi klinis dari Myasthenia Gravis?
4. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien Myasthenia
Gravis?
5. Bagaimana

cara

menegakkan

diagnosis

Myasthenia

Gravis

dan

bagaimana penatalaksanaannya?
6. Bagaimana penatalaksanaan fisik dan rehabilitasi pada pasien dengan
Myasthenia Gravis?
7. Bagaimana prognosis pasien dengan Myasthenia Gravis?
C. MANFAAT PEMBELAJARAN
1. Mengetahui definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi
klinis, pemeriksaan penunjang, diagnosis, tatalaksana, rehabilitasi medik,
dan prognosis dari Myasthenia Gravis.
2. Mengaplikasikan teori yang ada dengan kasus yang didapatkan di RSDM.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh
suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan
secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit
ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada
neuromuscular junction. Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak lama
kemudian kekuatan otot akan pulih kembali (James, 2008).
B. ETIOLOGI
Etiologi dari Miastenia gravis adalah sebagai berikut:
1. Antibodi
Saraf berkomunikasi dengan otot dengan melepaskan zat kimia
(neurotransmitter) di reseptor pada sel-sel otot di neuromuscular junction.
Pada myasthenia gravis, sistem kekebalan tubuh memproduksi antibodi
yang memblok

atau menghancurkan banyak reseptor otot

untuk

neurotransmitter asetilkolin. Dengan jumlah reseptor yang lebih sedikit


maka otot akan menerima sinyal saraf yang lebih sedikit pula, sehingga
akan terjadi kelemahan. Antibodi juga dapat menghalangi fungsi protein
yang disebut muscle-specific receptor tyrosine kinase. Protein ini terlibat
dalam pembentukan neuromuscular junction. Ketika antibodi memblok
fungsi protein ini, mungkin menyebabkan miastenia gravis (Ali YN,
2009).
2. Tumor Thymus
Para peneliti percaya bahwa kelenjar timus, bagian dari sistem kekebalan
tubuh dan dapat memicu atau mempertahankan produksi antibodi yang
memblok asetilkolin. Pada beberapa orang dewasa dengan myasthenia
gravis, memiliki kelenjar timus yang besar. Beberapa orang dengan
myasthenia gravis juga memiliki tumor timus (thymoma). Biasanya,
thymoma tidak bersifat kanker (ganas) (Ali YN, 2009).
3. Genetik

Faktor genetik juga mungkin berhubungan dengan myasthenia gravis. Ibu


dengan myasthenia gravis dapat memiliki anak yang lahir dengan
myasthenia gravis (neonatal miastenia gravis).Namun hal tersebut masih
jarang terjadi. Jika segera diobati, anak-anak umumnya sembuh dalam
waktu dua bulan setelah lahir (Ali YN, 2009).
C. EPIDEMIOLOGI
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui.Angka
kejadiannya 20 dalam 100.000 populasi.Biasanya penyakit ini lebih sering
tampak pada umur diatas 50 tahun.Wanita lebih sering menderita penyakit ini
dibandingkan pria dan dapat terjadi pada berbagai usia. Pada wanita, penyakit
ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada
pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 60 tahun (Paul et al, 2003).
D. ANATOMI DAN FISIOLOGI NEURO MUSCULAR JUNCTION
Anatomi Neuro Muscular Junction

Gambar 1. Anatomi Neuro Muscular Junction


Di bagian terminal dari saraf motorik terdapat sebuah pembesaran yang
biasa disebut bouton terminale atau terminal bulb. Terminal bulb ini memiliki
membran yang disebut juga membran pre-sinaptik, struktur ini bersama dengan
4

membran post-sinaptik (pada sel otot) dan celah sinaptik (celah antara 2
membran) membentuk Neuro Muscular Junction.

Neuromuscular junction terdiri dari 3 bagian, yaitu:


Terminal bulb
Akson motor neuron memasuki otot skeletal, dimana terbentuk dari
berbagai cabang yang dikenal dengan terminal akson. Di ujung dari
masing-masing terminal akson terdapat terminal bulb. Masing-masing
terminal bulb mengandung banyak vesikel sinaptik. Vesikel-vesikel ini
mengandung substansi neurotransmitter yang sangat penting, yaitu
asetilkolin. Neurotransmitter ini bertanggungjawab dalam proses transmisi

impuls dari akson menuju ke serabut otot melalui sinaps.


Motor-end-plate
Motor-end-plate merupakan bagian dari sarkolema sel otot, dimana
letaknya paling proksimal dan paling dekat dengan terminal bulb. Bagian
ini memiliki karaksteristik spesifik dan berbeda dibandingkan bagian lain
dari sarcoma sel otot, meliputi:
a) Synaptic gutter: suatu invaginasi membran, yang membentuk suatu
b)

ruang guna terminal bulb dapat mencapai sarkolema serabut otot.


Celah subneural: suatu lipatan membran otot yang berukuran kecil,
yang

terletak

di

bawah

synaptic

gutter.

Fungsinya

adalah

meningkatkan luas permukaan saat neurotransmitter beraksi.


c) Peningkatan jumlah mitokondria: serabut-serabut otot di sekitar
motor-end-plate memiliki jumlah mitokondria yang meningkat. Hal
ini berperan penting dalam penyediaan energi di neuromuscular
junction.

Celah sinaptik
Celah sinaptik merupakan ruangan di antara motor-end-plate
(bagian dari serabut otot) dan terminal bulb (bagian dari motor neuron)
dari neuromuscular junction. Rentang lebar mencapai 20-30 nm. Oleh
karena adanya celah ini, hubungan antara motor neuron dan serabut otot
tidak berlangsung kontinyu, melainkan terputus. Area terputus ini dilintasi

oleh neurotransmitter. Hal ini menunjukkan pentingnya substansi


neurotransmitter terhadap aktivitas otot (termasuk mekanisme control).
Fisiologi Neuro Muscular Junction

Gambar 2. Fisiologi Miastenia Gravis


Membran pre-sinaptik mengandung asetilkolin yang disimpan dalam
bentuk vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka pintu kanal kalsium
(Ca2+) akan teraktivasi. Terbukanya kanal ini akan mengakibatkan masuknya
ion kalsium ke dalam sel (influks Ca2+). Influks ini akan mengaktivasi vesikelvesikel tersebut untuk bergerak ke tepi membran. Vesikel ini akan mengalami
docking pada tepi membran. Karena proses docking ini, maka asetilkolin yang
terkandung di dalam vesikel tersebut akan dilepaskan ke dalam celah sinaptik.
Asetilkolin yang dilepaskan akan berikatan dengan reseptor asetilkolin
yang terdapat pada membran post-sinaptik. Reseptor asetilkolin ini terdapat
pada lekukan-lekukan membran post-sinaptik. Reseptor asetilkolin terdiri dari
5 subunit protein, yaitu 2 alpha, dan masing-masing satu beta, gamma, dan
delta. Subunit-subunit ini tersusun membentuk lingkaran yang siap untuk
mengikat asetilkolin.
Ikatan antara asetilkolin dan reseptor akan mengakibatkan terbukanya
pintu kanal natrium (Na+) pada sel otot, yang segera setelahnya akan
mengakibatkan ion natrium masuk ke dalam sel (influks Na+). Influks Na+ ini
akan mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada membran post-sinaptik. Jika
depolarisasi ini mencapai nilai ambang tertentu (firing level), maka akan terjadi
6

potensial aksi pada sel otot tersebut. Potensial aksi ini akan ditransmisikan ke
segala arah sesuai dengan karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya akan
mengakibatkan kontraksi.
Asetilkolin yang masih tertempel pada reseptor kemudian akan
dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase (AChE), yang tersedia cukup banyak
pada celah sinaptik. Asetilkolin akan dipecah menjadi kolin dan asam laktat.
Kolin kemudian akan kembali masuk ke dalam membran pre-sinaptik untuk
membentuk asetilkolin lagi. Proses hidrolisis ini dilakukan agar mencegah
terjadinya potensial aksi terus menerus, yang akan mengakibatkan kontraksi
terus menerus.

E. PATOFISIOLOGI
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini
mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang
menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus
eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain. Menurut Shah tahun 2006,
antibodi anti-reseptor asetilkolin ditemukan pada 80%-90% pasien miastenia
gravis. Penelitian lainnya yaitu dilakukan penyuntikan Immunoglobulin G
(IgG) dari pasien penderita miastenia gravis pada mencit, dapat menimbulkan
gejala-gejala miastenik pada mencit tersebut.

Gambar 2. Patofisiologi Miastenia Gravis


Pada miastenia gravis, defek yang mendasar adalah pengurangan dalam
jumlah reseptor asetilkolin yang tersedia pada membran otot pasca sinaps.
Perubahan ini menyebabkan berkurangnya efisiensi transmisi neuromuscular.
Oleh karena itu, walaupun asetilkolin dibebaskan secara normal, akan
menghasilkan potensial lempengan akhir kecil yang mungkin gagal
mencetuskan potensial aksi otot.
Jumlah asetilkolin yang dilepaskan setiap impuls secara normal
menurun pada aktivitas yang berulang. Pada pasien miastenik, transmisi
neuromuscular yang berkurang efisiensinya digabung dengan rundown normal
menghasilkan aktivasi yang lebih sedikit dan lebih sedikit pula serabut otot
yang dilalui impuls saraf. Oleh karena itu, kelemahan akan bertambah.
Kelainan neuromuscular pada miastenia gravis disebabkan oleh respon
autoimun yang diperantarai oleh anti-bodi anti-reseptor asetilkolin yang
spesifik. Antibodi anti-reseptor asetilkolin mengurangi jumlah reseptor
asetilkolin yang tersedia pada persambungan neuromuscular oleh tiga
mekanisme yang berbeda:

1. penurunan reseptor asetilkolin melibatkan mekanisme cross-linking dan


endositosis reseptor yang cepat
2. tempat aktif reseptor asetilkolin yakni tempat yang secara normal mengikat
asetilkolin, dapat diblok oleh antibodi
3. membran otot pasca sinaps dapat dirusak oleh antibodi, dalam kerjasama
dengan sistem komplemen
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B,
dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor
asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin
menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait
dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hyperplasia timus atau
thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik.
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam
berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan
area imunogenik utama pada sub-unit alfa. Sub-unit alfa juga merupakan
binding-site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor
asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui
beberapa cara, antara lain yaitu adanya ikatan silang reseptor asetilkolin
terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan penurunan jumlah reseptor
asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan
sambungan ikatan pada membran post-sinaptik, sehingga mengurangi area
permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin
yang baru disintesis.
F. MANIFESTASI KLINIS
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang
berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila
sedang beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang
hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat (Arie et
al, 2013).
Gejala utama myasthenia gravis adalah kelemahan otot (serat lintang),
yang selalu sebelumnya terjadi kelelahan otot akibat aktivitas. Sifat kelemahan

akan membaik pada pagi hari atau setelah istirahat, kelemahan yang sedang
atau berat bisa berlangsung lama (1 bulan) (Suroto et al, 2014).
Berdasarkan distribusi otot yang terkena:
1. Otot-otot penggerak bola mata menyebabkan diplopia.
2. Otot kelopak mata menyebabkan ptosis.
3. Otot wajah
4. Otot penyangga leher: kesulitan menegakkan kepala
5. Otot menelan-bulbair: kesulitan menelan
6. Otot-otot ekstremitas atas bawah (anggota gerak) menyebabkan kelemahan
yang bersifat layuh
7. Otot pernapasan akan menyebabkan gangguan napas sampai gagal napas.
Gejala klinis miastenia gravis lain adalah kelemahan pada otot
ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah satu gejala sering
menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis, ini disebabkan oleh
kelumpuhan dari nervus okulomotorius. Walaupun pada miastenia gravis otot
levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih
bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah
sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Sewaktu-waktu dapat pula timbul
kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada
fleksi dan ekstensi kepala.Selain itu dapat pula timbul kesukaran menelan dan
berbicara akibat kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring
sehingga timbullah paresis dari pallatum molle yang akan menimbulkan suara
sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari
hidungnya (Arie et al, 2013).

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada Miastenia gravis adalah
1. Pemeriksaan antibodi myasthenia gravis serum (anti-acetylcholine receptor
antibody).
10

2. Pemeriksaan imaging:
a. X ray thoraks AP/lateral untuk mengidentifikasi adanya massa
mediastinum anterior.
b. CT scan thoraks.
c. EMG:
1) RNS (Repetitive Nerve Stimulation) stimulasi berurutan akan
terjadi penurunan kontraksi.
2) SFEMG (Single Fiber Electromyography).
d. Tes edroponium/tes tensilon
Tes edroponium akan terjadi perlambatan sesaat. Endroponium adalah
kolinesterase inhibitor dengan pemeriksaan ini akan terjadi perbaikan
sesaat diinjeksikan. Setelah diperhatikan pada tes ini terjadi sesak napas
dan bradikardi (Suroto et al, 2014).
H. DIAGNOSIS
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan
diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul menghinggapi
bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan
kiri. Walaupun dalam berbagai derajat yang berbeda, biasanya refleks tendon
masih ada dalam batas normal. Kelemahan otot wajah bilateral akan
menyebabkan timbulnya myasthenic sneer dengan adanya ptosis dan senyum
yang horizontal dan miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya
kelemahan pada otot wajah (Arie et al, 2013).
Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang
menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the
voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung
penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan
dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi
cairan yang menyebabkan penderita batuk dan tersedak saat minum (Arie et al,
2013).

11

Pemeriksaan neurologis dilakukan tergantung dari otot yang terkena


atau dicurigai. Akan terlihat kelemahan otot kelopak mata, sehingga ditemukan
ptosis dan kompensasi retraksi kelopak mata sebelahnya. Parasat yang bisa
dilakukan untuk ocular myasthenia adalah dengan Cogans lid twitch sign, dan
simpson test. Pada pemeriksaan Cogans lid twitch sign pasien diminta melirik
kebawah sekitar 10-15 detik, kemudian menatap lurus kedepan. Positif apabila
ada overshooting kelopak mata atas sebelum kembali pada keadaan ptosis,
disertai twitching pada kelopak mata atas. Pada simpson test pasien diminta
membuka dan menurup mata atau melirikkan mata keatas lebih dari 2 menit.
Positif apabila mata yang sebelumnya ptosis akan bertambah ptosisnya (Suroto
et al, 2014).
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan
miastenia gravis. Ditandai dengan kelemahan otot-otot rahang pada miastenia
gravis yang menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga
dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga
mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta
ekstensi dari leher (Arie et al, 2013).
Otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan
dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah. Musculus deltoid serta fungsi
ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali
mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot
bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan melakukan
dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan plantar fleksi jari-jari
kaki dan saat melakukan fleksi panggul (Arie et al, 2013).
Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan
pemeriksaan dengan cara penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara
yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah
dan menjadi kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis. Setelah itu,
penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus dan
lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau
tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak
12

bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi (Arie et
al, 2013).
Untuk menegakkan diagnosis, dapat dilakukan beberapa tes berikut:
a. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila
tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon
secara intravena. Segera setelah tensilon disuntikkankita harus
memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata
yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap.
Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat
seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.
b. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat
secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg).
Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejalagejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak
lama kemudian akan lenyap.
c. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji ini,
sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala
miastenik tidak bertambah berat.Bila kelemahan itu benar disebabkan
oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lainlain akan bertambah berat.

I. DIAGNOSIS BANDING
1. Pada keadaan ptosis: kronik progresif eksternal oftalmoplegi, lesi batang
otak bagian atas (midbrain), Guallian Barre Syndrome.
13

2. Pada bulbair palsy: lesi batang otak atau lesi motor neuron diffuse.
3. Penyakit neuromuscular junction lain: botulisme, keracunan insektisida,
toksin ular, lambert eaton myasthenic syndrome, pseudokolinesterase
defisiensi.
(Suroto et al, 2014).
J. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan utama pada miastenia gravis adalah antikolinesterase
(asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomodulasi. Antikolinesterase
biasanya digunakan pada miastenia gravis ringan, sedangkan pada miastenia
gravis generalisata perlu dilakukan terapi imunomodulasi rutin. Terapi
pemberian antibiotik yang dikombinasikan dengan imunosupresif dan
imunomodulasi serta dirunjang dengan ventilasi, mampu menghambat
terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas (James, 2008; Romi dan
Gilhus, 2005).
1. Plasma Exchange (PE)
Dasar terapi PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif.
Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. Terapi ini
digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang dalam kondisi
kritis. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan
hingga lebih dari 10 minggu. Efek samping utama PE adalah retensi
kalsium, magnesium, dan natrium yang dapat menimbulkan hipotensi
(James, 2008; Romi dan Gilhus, 2005; John, 2004).
2. Intravena Immunoglobulin (IVIG)
IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Efek dari
terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi.
IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena
kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi hanya beberapa
minggu. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan
level antiasetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10-15 hari sejak dilakukan
pemasangan infus (James, 2008; Romi dan Gilhus, 2005; John, 2004).
14

3. Kortikosteroid
Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun
dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum
diketahui. Durasi kerja kortikosteroid berlangsung hingga 18 bulan ,
dengan rata-rata selama 3 bulan. Respon terhadap pengobatan tampak
dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Pasien yang berespon
terhadap pengobatan ini akan mengalami penurunan titer antibodi.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang
sangat mengganggu dan tidak bisa dikontrol dengan antikolinesterase
(James, 2008; Romi dan Gilhus, 2005; John, 2004).
4. Azathioprine
Azathioprine biasa digunakan pada pasien miastenia gravis yang
secara relatif terkontrol tapi menggunakan kortikosteroid dosis tinggi.
Respon dari obat ini sangat lambat, dengan respon maksimal didapatkan
dalam 12-36 bulan (James, 2008; Romi dan Gilhus, 2005; John, 2004).
5. Cyclosporine
Respon awal Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine.
Obat ini berpengaruh pada produksi dan pelepasan IL2 dan sel T helper.
Supresi terhadap aktivasi sel T helper, menimbulkan efek pada produksi
antibodi. Efek samping dari obat ini adalah nefrotoksisitas dan hipertensi
(James, 2008; Romi dan Gilhus, 2005; John, 2004).
6. Timektomi
Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab
yang mungkin bertanggungjawab dalam terjadinya miastenia gravis.
Tujuan utama dari timekmomi adalah tercapainya perbaikan signifikan
dari kelemahan pasien dan mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi
pasien. Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan
dalam waktu satu tahun setelah timekmomi dan tidak sedikit yang
menunjukkan remisi yang permanen (Robert dan Pascuzzi, 2000; Skeie
dan Apostolsk, 2010; Ali dan Javad, 2009).

15

K. REHABILITASI MEDIK
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan suatu bentuk pencegahan yang dilakukan
pada saat individu belum menderita sakit. Bentuk upaya yang dilakukan
yaitu dengan cara promosi kesehatan atau penyuluhan degan cara
memberikan pengetahuan bagaimana penanggulangan dari penyakit
Miastenia gravis yang dapat dilakukan dengan;
a. Memberi pengetahuan untuk tidak mengkonsumsi minum minuman
beralkohol, khususnya apabila minuman keras tersebut dicampur
dengan air soda yang mengandung kuinin. Kuinin ini merupakan suatu
obat yang memudahkan terjadinya kelemahan otot.
b. Menjaga kondisi untuk tidak kelelahan dalam melakukan pekerjaan dan
menjaga kondisi untuk tidak stres. Karena kebanyakan pasien-pasien
Miastenia gravis ini terjadi pada saat mereka dalam kondisi yang lelah
dan tegang.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan ini ditujukan pada individu yang sudah mulai sakit dan
menunjukkan adanya tanda dan gejala. Pada tahap ini yang dapat dilakukan
adalah dengan cara pengobatan antara lain dengan mempengaruhi proses
imunologik pada tubuh individu, yang bisa dilaksanakan dengan;
Timektomi, Kortikosteroid, Imunosupresif yang biasanya menggunakan
Azathioprine.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier (rehabilitasi), pada bentuk pencegahan ini mengusahakan
agar penyakit yang di derita tidak menjadi hambatan bagi individu serta
tidak terjadi komplikasi pada individu. Yang dapat dilakukan dengan;
a. Mencegah untuk tidak terjadinya penyakit infeksi pada pernafasan,
karena hal ini dapat memperburuk kelemahan otot yang diderita oleh
individu.
16

b. Istirahat yang cukup


c. Pada Miastenia gravis dengan ptosis, yaitu dapat diberikan kacamata
khusus yang dilengkapi dengan pengait kelopak mata.
d. Mengontrol pasien Miastenia gravis untuk tidak minum obat-obat
antikolinesterase secara berlebihan.
Terapi latihan :
Latihan luas gerak sendi, dapat diawali dengan latihan aktif assistif, kemudian
bila sudah membaik kekuatannya dilakukan secara aktif.
Penguatan : latihan penguatan penting untuk membuat pasien se fungsional
mungkin. Penelitian oleh Loli dkk, 1997, menyimpulkan bahwa latihan pada
penderita Miastenia gravis meningkatkan kekuatan otot terutama ekstensor lutut.
Latihan pernafasan: dapat dilakukan latihan otot inspirasi untuk menguatkan
otot-otot pernafasan. Selain itu perlu dilakukan pursed lip breathing dan
pernafasan abdomen.
Latihan ketahanan : latihan ketahanan yang disertai penguatan terbukti efektif
untuk penyakit otot.
-Terapi okupasi: melatih bagaimana melakukan gerakan atau aktifitas secara
efektif
-Terapi bicara : pada pasien yang mengalami kelemahan otot wajah dan
tenggorokan.
L. PROGNOSIS
Prognosis miastenia gravis umumnya bagus apabila diberi terapi yang
tepat. Pada awal tahun 1900 kematian yang disebabkan oleh miastenia gravis
sebesar 70% , dimana pada saat ini diperkirakan kasus kematian hanya sebesar
3-5% sehubungan dengan peningkatan kewaspadaan dan pengobatan.
BAB III
KESIMPULAN

17

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara
terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul
karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular
junction. Penatalaksanaan utama pada miastenia gravis adalah antikolinesterase
(asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomodulasi. Pencegahan penyakit
Miastenia gravis berupa pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Rehabilitasi
medik pada pasien Miastenia gravis berupa latihan luas gerak sendi, latihan
penguatan, latihan pernafasan, latihan ketahanan, terapi okupasi, dan terapi bicara.

DAFTAR PUSTAKA

18

Ali Y N, Javad S. 2009. Clinical Features, Diagnostic Approach, and Therapeutic


Outcomein Myasthenia Gravis Patients with Thymectomy. p;18:21-25.
Arie A, Adnyana M, Widyadharma P. 2013. Diagnosis dan tatalaksana miasternia
gravis.

http://download.portalgaruda.org/article.php?

article=82552&val=970 diakses Oktober 2016


Dewabenny. 2008. Miastenia Gravis. http://dewabenny.com/ 2008/ 07/12/ miasteniagravis. (3 September 2009)
Endang Thamrin dan P. Nara. 1986. Cermin Dunia Kedokteran. No. 41, 1986. Jakarta:
Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma, hal: 40-42

Hartwig, Mary S. (2005). Gangguan Neurologis dengan Simtomatologi


Generalisata. dalam: Sylvia Anderson Price dan Lorraine McCarty Wilson.
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 1148-115
Howard,

J.F.

(2008).

Myasthenia

Gravis,

http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia

Summary.

gravis/detail_myasthenia

gravis.htm (Oktober 2016)


http://www.mananatomy.com/basic-anatomy/neuromuscular-junction
http://dokumen.tips/documents/patofisiologi-miastenia-gravis.html

James FH. 2008. Epidemiology and Pathophysiology. Dalam : Jr.M.D (ed).


Myasthenia Gravis A Manual For Health Care Provider. Edisi pertama.
Amerika, pp:8-14
John C. 2004. Clinical Evaluation and Management of Myasthenia Gravis.
Dalam: Wiley (ed). Muscle and Nerve. Edisi ke-29. USA : Department of
Neurology, pp:484-505
Mubarak,

Husnul.

2008.

Miastenia

gravis.

http://cetrione.blogspot.com/

2008/06/miastenia-gravis.html. ( Oktober 2016)

Paul W, Wirtz MG. 2003. The epidemiology of myasthenia gravis,Lambert-Eaton


myasthenic syndrome and their associated tumours in the northern part of
the province of South Holland.p;250;1-4.

19

Qittun.

2008.

Asuhan

keperawatan

dengan

Miastenia

Gravis.

http://qittun.blogspot.com/2008/05/asuhan-keperawatan-denganmiastenia.html.
(6 Oktober 2016)

Romi

dan

Gilhus

NE.

2011.

Myasthenia

http://www/myasthenia.org/docs/MGFA_Brochure_Ocular.pd

Gravis.
(Diakses

pada Oktober 2016)


Silvia A. Price, Lorain M. Wilson. 2010. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Buku 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 998
1003

Suroto. (2014). Neurologi Untuk Dokter Umum. Surakarta: UPT UNS Press.

20

Anda mungkin juga menyukai