MIASTENIA GRAVIS
Oleh :
Disusun oleh:
Anisa Rahmatia
G99151043
Rindy Saputri
G99151044
Sri Retnowati
G99151045
Priaji Setiadani
G99151046
G99151047
G99152009
G99152010
G99152023
Pembimbing :
A. LATAR BELAKANG
Pada tahun 1672, Miastenia Gravis pertama kali ditemukan oleh
Thomas Willis. Miastenia Gravis adalah penyakit neuromuscular junction
yang besifat autoimun dengan gangguan pada pelepasan acetylcholin post
sinaps. Miastenia Gravis termasuk kelainan neuromuscular junction yang
jarang ditemukan. Namun bila dibandingkan dengan jenis penyakit
neuromuscular junction lainnya, Miastenia Gravis yang paling banyak
ditemukan (Suroto, 2014).
Kasus terbanyak pada usia 30 tahun adalah wanita, sedangkan pada
umur 50-70 tahun adalah laki-laki. Menurut data Yayasan Miastenia Gravis
Indonesia (YMGI 2010) terdapat 226 penderita miastenia gravis di seluruh
Indonesia, 22 diantaranya sudah meninggal dunia dan 7 remisi obat (waktu
tidak kambuh penyakit atau rehat minum obat).
Pada kasus ringan, myasthenia menyebabkan kelemahan otot-otot pada
mata dan menimbulkan ptosis. Sedangkan pada moderate kasus, myasthenia
menyebabkan kesulitan berbicara, mengunyah, menelan, bernafas, dan
kelemahan pada anggota gerak badan (Hartwig, 2005).
Myasthenia Gravis adalah penyakit yang harus menerima perhatian
lebih terutama apabila terdapat myasthenia krisis, penyakit ini termasuk
kegawatdaruratan dan harus dirujuk ke rumah sakit yang tersedia ventilator
(Suroto, 2014).
Dari penelitian yang telah dilakukan pada penderita miastenia,
ditemukan adanya defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR) pada
neuromuscular junction. Defisiensi ini disebabkan oleh timbulnya antibodi
terhadap AchR, mengakibatkan asetilkolin yang dilepaskan tidak bisa
ditangkap oleh AchR (Suroto, 2014).
Myastenia gravis yang didapat (acquired myasthenia gravis) bisa
disebabkan karena beberapa toksin dan obat yang bisa menimbulkan
syndrome seperti myasthenia dan mempengaruhi neuromuscular junction
cara
menegakkan
diagnosis
Myasthenia
Gravis
dan
bagaimana penatalaksanaannya?
6. Bagaimana penatalaksanaan fisik dan rehabilitasi pada pasien dengan
Myasthenia Gravis?
7. Bagaimana prognosis pasien dengan Myasthenia Gravis?
C. MANFAAT PEMBELAJARAN
1. Mengetahui definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi
klinis, pemeriksaan penunjang, diagnosis, tatalaksana, rehabilitasi medik,
dan prognosis dari Myasthenia Gravis.
2. Mengaplikasikan teori yang ada dengan kasus yang didapatkan di RSDM.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh
suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan
secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit
ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada
neuromuscular junction. Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak lama
kemudian kekuatan otot akan pulih kembali (James, 2008).
B. ETIOLOGI
Etiologi dari Miastenia gravis adalah sebagai berikut:
1. Antibodi
Saraf berkomunikasi dengan otot dengan melepaskan zat kimia
(neurotransmitter) di reseptor pada sel-sel otot di neuromuscular junction.
Pada myasthenia gravis, sistem kekebalan tubuh memproduksi antibodi
yang memblok
untuk
membran post-sinaptik (pada sel otot) dan celah sinaptik (celah antara 2
membran) membentuk Neuro Muscular Junction.
terletak
di
bawah
synaptic
gutter.
Fungsinya
adalah
Celah sinaptik
Celah sinaptik merupakan ruangan di antara motor-end-plate
(bagian dari serabut otot) dan terminal bulb (bagian dari motor neuron)
dari neuromuscular junction. Rentang lebar mencapai 20-30 nm. Oleh
karena adanya celah ini, hubungan antara motor neuron dan serabut otot
tidak berlangsung kontinyu, melainkan terputus. Area terputus ini dilintasi
potensial aksi pada sel otot tersebut. Potensial aksi ini akan ditransmisikan ke
segala arah sesuai dengan karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya akan
mengakibatkan kontraksi.
Asetilkolin yang masih tertempel pada reseptor kemudian akan
dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase (AChE), yang tersedia cukup banyak
pada celah sinaptik. Asetilkolin akan dipecah menjadi kolin dan asam laktat.
Kolin kemudian akan kembali masuk ke dalam membran pre-sinaptik untuk
membentuk asetilkolin lagi. Proses hidrolisis ini dilakukan agar mencegah
terjadinya potensial aksi terus menerus, yang akan mengakibatkan kontraksi
terus menerus.
E. PATOFISIOLOGI
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini
mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang
menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus
eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain. Menurut Shah tahun 2006,
antibodi anti-reseptor asetilkolin ditemukan pada 80%-90% pasien miastenia
gravis. Penelitian lainnya yaitu dilakukan penyuntikan Immunoglobulin G
(IgG) dari pasien penderita miastenia gravis pada mencit, dapat menimbulkan
gejala-gejala miastenik pada mencit tersebut.
akan membaik pada pagi hari atau setelah istirahat, kelemahan yang sedang
atau berat bisa berlangsung lama (1 bulan) (Suroto et al, 2014).
Berdasarkan distribusi otot yang terkena:
1. Otot-otot penggerak bola mata menyebabkan diplopia.
2. Otot kelopak mata menyebabkan ptosis.
3. Otot wajah
4. Otot penyangga leher: kesulitan menegakkan kepala
5. Otot menelan-bulbair: kesulitan menelan
6. Otot-otot ekstremitas atas bawah (anggota gerak) menyebabkan kelemahan
yang bersifat layuh
7. Otot pernapasan akan menyebabkan gangguan napas sampai gagal napas.
Gejala klinis miastenia gravis lain adalah kelemahan pada otot
ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah satu gejala sering
menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis, ini disebabkan oleh
kelumpuhan dari nervus okulomotorius. Walaupun pada miastenia gravis otot
levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih
bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah
sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Sewaktu-waktu dapat pula timbul
kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada
fleksi dan ekstensi kepala.Selain itu dapat pula timbul kesukaran menelan dan
berbicara akibat kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring
sehingga timbullah paresis dari pallatum molle yang akan menimbulkan suara
sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari
hidungnya (Arie et al, 2013).
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada Miastenia gravis adalah
1. Pemeriksaan antibodi myasthenia gravis serum (anti-acetylcholine receptor
antibody).
10
2. Pemeriksaan imaging:
a. X ray thoraks AP/lateral untuk mengidentifikasi adanya massa
mediastinum anterior.
b. CT scan thoraks.
c. EMG:
1) RNS (Repetitive Nerve Stimulation) stimulasi berurutan akan
terjadi penurunan kontraksi.
2) SFEMG (Single Fiber Electromyography).
d. Tes edroponium/tes tensilon
Tes edroponium akan terjadi perlambatan sesaat. Endroponium adalah
kolinesterase inhibitor dengan pemeriksaan ini akan terjadi perbaikan
sesaat diinjeksikan. Setelah diperhatikan pada tes ini terjadi sesak napas
dan bradikardi (Suroto et al, 2014).
H. DIAGNOSIS
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan
diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul menghinggapi
bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan
kiri. Walaupun dalam berbagai derajat yang berbeda, biasanya refleks tendon
masih ada dalam batas normal. Kelemahan otot wajah bilateral akan
menyebabkan timbulnya myasthenic sneer dengan adanya ptosis dan senyum
yang horizontal dan miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya
kelemahan pada otot wajah (Arie et al, 2013).
Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang
menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the
voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung
penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan
dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi
cairan yang menyebabkan penderita batuk dan tersedak saat minum (Arie et al,
2013).
11
bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi (Arie et
al, 2013).
Untuk menegakkan diagnosis, dapat dilakukan beberapa tes berikut:
a. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila
tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon
secara intravena. Segera setelah tensilon disuntikkankita harus
memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata
yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap.
Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat
seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.
b. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat
secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg).
Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejalagejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak
lama kemudian akan lenyap.
c. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji ini,
sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala
miastenik tidak bertambah berat.Bila kelemahan itu benar disebabkan
oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lainlain akan bertambah berat.
I. DIAGNOSIS BANDING
1. Pada keadaan ptosis: kronik progresif eksternal oftalmoplegi, lesi batang
otak bagian atas (midbrain), Guallian Barre Syndrome.
13
2. Pada bulbair palsy: lesi batang otak atau lesi motor neuron diffuse.
3. Penyakit neuromuscular junction lain: botulisme, keracunan insektisida,
toksin ular, lambert eaton myasthenic syndrome, pseudokolinesterase
defisiensi.
(Suroto et al, 2014).
J. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan utama pada miastenia gravis adalah antikolinesterase
(asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomodulasi. Antikolinesterase
biasanya digunakan pada miastenia gravis ringan, sedangkan pada miastenia
gravis generalisata perlu dilakukan terapi imunomodulasi rutin. Terapi
pemberian antibiotik yang dikombinasikan dengan imunosupresif dan
imunomodulasi serta dirunjang dengan ventilasi, mampu menghambat
terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas (James, 2008; Romi dan
Gilhus, 2005).
1. Plasma Exchange (PE)
Dasar terapi PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif.
Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. Terapi ini
digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang dalam kondisi
kritis. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan
hingga lebih dari 10 minggu. Efek samping utama PE adalah retensi
kalsium, magnesium, dan natrium yang dapat menimbulkan hipotensi
(James, 2008; Romi dan Gilhus, 2005; John, 2004).
2. Intravena Immunoglobulin (IVIG)
IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Efek dari
terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi.
IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena
kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi hanya beberapa
minggu. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan
level antiasetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10-15 hari sejak dilakukan
pemasangan infus (James, 2008; Romi dan Gilhus, 2005; John, 2004).
14
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun
dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum
diketahui. Durasi kerja kortikosteroid berlangsung hingga 18 bulan ,
dengan rata-rata selama 3 bulan. Respon terhadap pengobatan tampak
dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Pasien yang berespon
terhadap pengobatan ini akan mengalami penurunan titer antibodi.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang
sangat mengganggu dan tidak bisa dikontrol dengan antikolinesterase
(James, 2008; Romi dan Gilhus, 2005; John, 2004).
4. Azathioprine
Azathioprine biasa digunakan pada pasien miastenia gravis yang
secara relatif terkontrol tapi menggunakan kortikosteroid dosis tinggi.
Respon dari obat ini sangat lambat, dengan respon maksimal didapatkan
dalam 12-36 bulan (James, 2008; Romi dan Gilhus, 2005; John, 2004).
5. Cyclosporine
Respon awal Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine.
Obat ini berpengaruh pada produksi dan pelepasan IL2 dan sel T helper.
Supresi terhadap aktivasi sel T helper, menimbulkan efek pada produksi
antibodi. Efek samping dari obat ini adalah nefrotoksisitas dan hipertensi
(James, 2008; Romi dan Gilhus, 2005; John, 2004).
6. Timektomi
Germinal center hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab
yang mungkin bertanggungjawab dalam terjadinya miastenia gravis.
Tujuan utama dari timekmomi adalah tercapainya perbaikan signifikan
dari kelemahan pasien dan mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi
pasien. Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan
dalam waktu satu tahun setelah timekmomi dan tidak sedikit yang
menunjukkan remisi yang permanen (Robert dan Pascuzzi, 2000; Skeie
dan Apostolsk, 2010; Ali dan Javad, 2009).
15
K. REHABILITASI MEDIK
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan suatu bentuk pencegahan yang dilakukan
pada saat individu belum menderita sakit. Bentuk upaya yang dilakukan
yaitu dengan cara promosi kesehatan atau penyuluhan degan cara
memberikan pengetahuan bagaimana penanggulangan dari penyakit
Miastenia gravis yang dapat dilakukan dengan;
a. Memberi pengetahuan untuk tidak mengkonsumsi minum minuman
beralkohol, khususnya apabila minuman keras tersebut dicampur
dengan air soda yang mengandung kuinin. Kuinin ini merupakan suatu
obat yang memudahkan terjadinya kelemahan otot.
b. Menjaga kondisi untuk tidak kelelahan dalam melakukan pekerjaan dan
menjaga kondisi untuk tidak stres. Karena kebanyakan pasien-pasien
Miastenia gravis ini terjadi pada saat mereka dalam kondisi yang lelah
dan tegang.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan ini ditujukan pada individu yang sudah mulai sakit dan
menunjukkan adanya tanda dan gejala. Pada tahap ini yang dapat dilakukan
adalah dengan cara pengobatan antara lain dengan mempengaruhi proses
imunologik pada tubuh individu, yang bisa dilaksanakan dengan;
Timektomi, Kortikosteroid, Imunosupresif yang biasanya menggunakan
Azathioprine.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier (rehabilitasi), pada bentuk pencegahan ini mengusahakan
agar penyakit yang di derita tidak menjadi hambatan bagi individu serta
tidak terjadi komplikasi pada individu. Yang dapat dilakukan dengan;
a. Mencegah untuk tidak terjadinya penyakit infeksi pada pernafasan,
karena hal ini dapat memperburuk kelemahan otot yang diderita oleh
individu.
16
17
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara
terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul
karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular
junction. Penatalaksanaan utama pada miastenia gravis adalah antikolinesterase
(asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomodulasi. Pencegahan penyakit
Miastenia gravis berupa pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Rehabilitasi
medik pada pasien Miastenia gravis berupa latihan luas gerak sendi, latihan
penguatan, latihan pernafasan, latihan ketahanan, terapi okupasi, dan terapi bicara.
DAFTAR PUSTAKA
18
http://download.portalgaruda.org/article.php?
J.F.
(2008).
Myasthenia
Gravis,
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia
Summary.
gravis/detail_myasthenia
Husnul.
2008.
Miastenia
gravis.
http://cetrione.blogspot.com/
19
Qittun.
2008.
Asuhan
keperawatan
dengan
Miastenia
Gravis.
http://qittun.blogspot.com/2008/05/asuhan-keperawatan-denganmiastenia.html.
(6 Oktober 2016)
Romi
dan
Gilhus
NE.
2011.
Myasthenia
http://www/myasthenia.org/docs/MGFA_Brochure_Ocular.pd
Gravis.
(Diakses
Suroto. (2014). Neurologi Untuk Dokter Umum. Surakarta: UPT UNS Press.
20