Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Myasthenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang dapat
dijumpai pada anak, orang dewasa, dan pada orang tua. Sindrom klinis ini
dikemukakan pertama kali pada tahun 1600. Pada akhir tahun 1800an
miastenia gravis mulai dibedakan dari kelemahan otot akibat paralysis bulbar.
Pada tahun 1920 seorang dokter yang menderita miastenia gravis merasa ada
perbaikan sesudah ia meminum obat efedrin yang ditujukan untuk mengatasi
kram menstruasi. Akhirnya pada tahun 1934 Mary Walker, seorang dokter dari
Inggris melihat adanya gejala-gejala yang serupa antara miasthenia gravis dan
keracunan kurare. Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu
fisostigmin untuk mengobati miasthenia gravis dan ternyata ada kemajuan-
kemajuan yang nyata.

Myasthenia gravis banyak timbul antara umur 10-30 tahun. Pada umur
dibawah 40 tahun miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita.
Sementara itu diatas 40 tahun lebih banyak pada pria (Harsono, 1996). Insidens
miastenia gravis di Amerika Serikat sering dinyatakan sebagai 1 dalam 10.000.
Tetapi beberapa ahli menganggap angka ini terlalu rendah karena
sesungguhnya banyak kasus yang tidak pernah terdiagnosis (Patofisiologi,
1995). Tingkat kematian pada waktu lampau dapat sampai 90%. Kematian
biasanya disebabkan oleh insufisiensi pernafasan. Jumlah kematian telah
berhasil dikurangi secara drastic sejak tersedia obat-obatan serta unit-unit
perawatan pernapasan. Remisi spontan dapat terjadi pada 10% hingga 20%
pasien dan dapat dicapai dengan melakukan timektomi elektif pada pasien-
pasien tertentu. Yang paling cocok untuk menjalani cara ini adalah wanita
muda yang masih dini keadaannya (5 tahun pertama setelah awitan) dan tidak
berespon baik dengan pengobatan.

1
II. Rumusan Masalah

A. Apa pengertian dari Myastenia Gravis?

B. Apa etiologi dari Myastenia Gravis?

C. Bagaimana insiden kejadian dari Myastenia Gravis?

D. Bagaimana anatomi dan fisiologis neuromuscular junction?

E. Bagaimana pengklasifikasian dari Myastenia Gravis?

F. Bagaimana manifestasi klinis dari Myastenia Gravis?

G. Bagaimana patofisiologi dari Myastenia Gravis?

H. Bagaimana komplikasi dari Myastenia Gravis?

I. Apa saja pemeriksaan penunjang dari Myastenia Gravis?

J. Bagaimana pengobatan dari Myastenia Gravis?

K. Bagaimana penatalaksanaan medis dari Myastenia Gravis?

L. Mengapa Myastenia Gravis menjadi penyakit yang kritis?

M. Bagaimana konsep asuhan keperawatan kritis pada Myastenia Gravis?

III. Tujuan

A. Untuk mengetahui dan memahami pengertian dari Myastenia Gravis

B. Untuk mengetahui dan memahami etiologi dari Myastenia Gravis

C. Untuk mengetahui dan memahami insiden kejadian dari Myastenia Gravis

D. Untuk mengetahui dan memahami anatomi dan fisiologis neuromuscular


junction

E. Untuk mengetahui dan memahami klasifikasi dari Myastenia Gravis

2
F. Untuk mengetahui dan memahami manifestasi klinis dari Myastenia
Gravis

G. Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi dari Myastenia Gravis

H. Untuk mengetahui dan memahami komplikasi dari Myastenia Gravis

I. Untuk mengetahui dan memahami pemeriksaan penunjang dari Myastenia


Gravis

J. Untuk mengetahui dan memahami pengobatan dari Myastesnia Gravis

K. Untuk mengetahui dan memahami penatalaksanaan medis dari Myastenia


Gravis

L. Untuk mengetahui dan memahami kritis dari Myastenia Gravis

M. Untuk mengetahui dan memahami konsep asuhan keperawatan kritis dari


Myastenia Gravis

3
BAB II
PEMBAHASAN

I. Konsep Teori Myastenia Gravis


A. Pengertian
Myastenia Gravis yang berarti “kelemahan otot yang serius” adalah
satu-satunya penyakit neuromuskuler yang menggabungkan kelelahan
cepat otot voluntar dan waktu penyembuhan yang lama (penyembuhan
dapat butuh waktu 10 hingga 20 kali lebih lama daripada normal). (Sylvia
A. Price : 1148, 1995)
Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi trasmisi
neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran
seseorang (volunteer) . Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang
berlebihan dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal
itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial (Brunner and Suddarth, 2002)
Myasthenia gravis adalah gangguan neuromuskuler yang
mempengaruhi transmisi impuls pada otot-otot volunter tubuh (Sandra M.
Neffina, 2002).

B. Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan
gangguan transmisi pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara
unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson motor neuron terdapat
partikel-partikel globuler yang merupakan penimbunan asetilkolin (ACh).
Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah
dan ACh dibebaskan yang dapat memindahkan gaya sarafi yang kemudian
bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik.
Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat otot dan
menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian
terjadilah kontraksi otot. Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler
pada Miastenia gravis tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia
gravis terdapat kekurangan ACh atau kelebihan kolinesterase, tetapi
menurut teori terakhir, faktor imunologik yang berperan.

4
C. Insiden
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Angka
kejadiannya 20 dalam 100.000 populasi. Biasanya penyakit ini lebih sering
tampak pada umur diatas 50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit
ini dibandingkan pria dan dapat terjadi pada berbagai usia. Pada wanita,
penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun,
sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 60 tahun. Pada
beberapa kasus, beberapa bayi dari ibu dengan Miastenia gravis dapat
memperoleh antibodi anti AchR saat lahir, dapat menderita Miastenia
neonatus sementara dan dapat menghilang beberapa minggu setelah lahir.

D. Anatomi Dan Fisiologis Neuromuscular Junction


Sebelum memahami tentang Miastenia gravis, pengetahuan tentang
anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting.
Potensial aksi di neuron motorik merambat cepat dari badan sel di dalam
SSP ke otot rangka di sepanjang akson bermielin besar (serat eferen)
neuron. Sewaktu mendekati otot, akson membentuk banyak cabang
terminal dan kehilangan selubung mielinnya. Masing-masing dari terminal
akson ini membentuk persambungan khusus, neuromuscular junction,
dengan satu dari banyak sel otot yang membentuk otot secara keseluruhan.
Sel otot, disebut juga serat otot, berbentuk silindris dan panjang. Terminal
akson membesar membentuk struktur mirip tombol, terminal button yang
pas masuk ke cekungan dangkal, atau groove, di serat otot dibawahnya.
Sebagian ilmuwan menyebut neuromuscular junction sebagai “motor end
plate”. 1 pada neuromuscular junction, sel saraf dan sel otot sebenarnya
tidak berkontak satu sama lain. Celah antara kedua struktur ini terlalu
besar untuk memungkinkan transmisi listrik suatu impuls antara keduanya.
Karenanya, seperti di sinaps saraf, terdapat suatu pembawa pesan kimiawi
yang mengangkut sinyal antara ujung saraf dan serat otot.
Neurotransmitter ini disebut sebagai asetilkolin (ACh). 1 Membran Pre
Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan dalam bentuk
vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka Ca+ Voltage Gated
Channel akan teraktivasi. Terbukanya channel ini akan mengakibatkan

5
terjadinya influx Calcium. Influx ini akan mengaktifkan vesikel-vesikel
tersebut untuk bergerak ke tepi membran. Vesikel ini akan mengalami
docking pada tepi membran. Karena proses docking ini, maka asetilkolin
yang terkandung di dalam vesikel tersebut akan dilepaskan ke dalam celah
synaptic. ACh yang dilepaskan tadi, akan berikatan dengan reseptor
asetilkolin (AChR) yang terdapat pada membran post-synaptic. AChR ini
terdapat pada lekukanlekukan pada membran post-synaptic. AChR terdiri
dari 5 subunit protein, yaitu 2 alpha, dan masing-masing satu beta, gamma,
dan delta. Subunit-subunit ini tersusun membentuk lingkaran yang siap
untuk mengikat ACh. Ikatan antara ACh dan AChR akan mengakibatkan
terbukanya gerbang Natrium pada sel otot, yang segera setelahnya akan
mengakibatkan influx Na+. Influx Na+ ini akan mengakibatkan terjadinya
depolarisasi pada membran post-synaptic. Jika depolarisasi ini mencapai
nilai ambang tertentu (firing level), maka akan terjadi potensial aksi pada
sel otot tersebut. Potensial aksi ini akan dipropagasikan (dirambatkan) ke
segala arah sesuai dengan karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya akan
mengakibatkan kontraksi. ACh yang masih tertempel pada AChR
kemudian akan dihidrolisis oleh enzim Asetilkolinesterase (AChE) yang
terdapat dalam jumlah yang cukup banyak pada celah synaptic. ACh akan
dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat. Kolin kemudian akan kembali
masuk ke dalam membran pre-synaptic untuk membentuk ACh lagi.
Proses hidrolisis ini dilakukan untuk dapat mencegah terjadinya potensial
aksi terus menerus yang akan mengakibatkan kontraksi terus menerus.

6
E. Klasifikasi
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), Miastenia
gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

7
Klasifikasi Klinis
Kelompok I Miastenia Okular Hanya menyerang otot-otot
ocular, disertai ptosis dan diplopia
Kelompok Miastenia Umum
A. Miastenia umum ringan  Awitan (onset) lambat,
biasanya pada mata, lambat
laun menyebar ke otot-otot
rangka dan bulbar
 System pernafasan tak terkena.
Respon terhadap terapi obat
baik
 Angka kematian rendah
B. Miastenia umum sedang  Awitan bertahap dan sering
disertai gejala-gejala ocular,
lalu berlanjut semakin berat
dengan terserangnya seluruh
otot-otot rangka dan bulbar
 Disartria, disfagia, dan sukar
mengunyah lebih nyata
dibandingkan dengan
miastenia umum ringan. Otot-
otot pernafasan tak terkena
 Respon terhadap terapi obat
kurang memuaskan dan
aktivitas klien terbatas, tetapi
angka kematian rendah
C. Miastenia umum berat 1. Fulminan akut:
 Awitan yang cepat dengan
kelemahan otot-otot
rangka dan bulbar dan
mulai terserangnya otot-
otot pernafasan
 Biasanya penyakit
berkembang maksimal
dalam waktu 6 bulan
 Respon terhadap obat
buruk
 Insiden krisis miastenik,
kolinergik, maupun krisis
gabungan keduanya tinggi
 Tingkat kematian tinggi
2. Lanjut
8
 Miastenia gravis berat
timbul paling sedikit 2
tahun setelah awitan
Sumber: Price dan Wilson, Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-proses
Penyakit, Jakarta. EGC, 1995

F. Manifestasi Klinis
Penyakit Miastenia gravis ditandai dengan adanya kelemahan dan
kelelahan. Kelemahan otot terjadi seiring dengan penggunaan otot secara
berulang, dan semakin berat dirasakan di akhir hari. Gejala ini akan
menghilang atau membaik dengan istirahat. Kelompok otot-otot yang
melemah pada penyakit miastenis gravis memiliki pola yang khas. Pada
awal terjadinya Miastenia gravis, otot kelopak mata dan gerakan bola mata
terserang lebih dahulu. Akibat dari kelumpuhan otot-otot tersebur, muncul
gejala berupa penglihatan ganda (melihat benda menjadi ada dua atau
disebut diplopia) dan turunnya kelopak mata secaara abnormal (ptosis).

Gambar 2. Ptosis Pada Miastenia gravis Generalisata


A. Kelopak mata tidak simetris,kiri lebih rendah dari kanan.
B. Setelah menatap 30 detik ptosis semakin bertambah.

Miastenia gravis dapat menyerang otot-otot wajah, dan


menyebabkan penderita menggeram saat berusaha tersenyum serta
penampilan yang seperti tanpa ekspresi. Penderita juga akan merasakan
kelemahan dalam mengunyah dan menelan makanan sehingga berisiko
timbulnya regurgitasi dan aspirasi. Selain itu, terjadi gejala gangguan

9
dalam berbicara, yang disebabkan kelemahan dari langit-langit mulut dan
lidah. Sebagian besar penderita Miastenia gravis akan mengalami
kelemahan otot di seluruh tubuh, termasuk tangan dan kaki. Kelemahan
pada anggota gerak ini akan dirasakan asimetris . Bila seorang penderita
Miastenia gravis hanya mengalami kelemahan di daerah mata selama 3
tahun, maka kemungkinan kecil penyakit tersebut akan menyerang seluruh
tubuh. Penderita dengan hanya kelemahan di sekitar mata disebut
Miastenia gravis okular. Penyakit Miastenia gravis dapat menjadi berat dan
membahayakan jiwa. Miastenia gravis yang berat menyerang otot-otot
pernafasan sehingga menimbuilkan gejala sesak nafas. Bila sampai
diperlukan bantuan alat pernafasan, maka penyakit Miastenia gravis
tersebut dikenal sebagai krisis Miastenia gravis atau krisis miastenik.
Umumnya krisis miastenik disebabkan karena adanya infeksi pada
penderita Miastenia gravis.
Secara umum, gambaran klisnis Miastenia yaitu:
1. Kelemahan otot yang progresif pada penderita
2. Kelemahan meningkat dengan cepat pada kontraksis otot yang berulang
3. Pemulihan dalam beberapa menit atau kurang dari satu jam, dengan
istirahat Kelemahan biasanya memburuk menjelang malam
4. Otot mata sering terkena pertama (ptosis, diplopia), atau otot faring
lainnya (disfagia, suara sengau) Kelemahan otot yang berat berbeda
pada setiap unit motorik
5. Kadang-kadang, kekuatan otot tiba-tiba memburuk
6. Tidak ada atrofi atau fasikulasi
Karakteristik penyakit berupa kelemahan otot ekstrem dan mudah
mengalami kelelahan, yang umumnya memburuk setelah aktivitas dan
berkurang setelah istirahat. Pasien dengan penyakit ini akan mengalami
kelelahan hanya karena penggunaan tenaga yang sedikit seperti menyisir
rambut, mengunyah dan berbicara, dan harus menghentikan segalanya
untuk istirahat.
Berbagai gejala yang muncul sesuai dengan otot yang terpengaruh.
Otot-otot simetris terkena, umumnya ini dihubungkan dengan saraf
kranial. Karena otot-otot okular terkena maka gejala awal yang muncul
adalah diplopia (pengelihatan ganda) dan ptosis (jatuhnya kelopak mata).

10
Kelemahan pada otot bulbar menyebabkan masalah mengunyah dan
menelan dan adanya bahaya tersedak dan aspirasi.
Ekspresi wajah pasien yang sedang tidur terlihat seperti patung, hal
ini disebabkan karena otot-otot wajah terkena. Pengaruhnya terhadap
laring menyebabkan disfonia (gangguan suara) dalam membentuk bunyi
suara hidung atau kesukaran dalam pengucapan kata-kata. Beberapa pasien
sekitar 15% sampai 20% mengeluh lemah pada tangan dan otot-otot
lengan, dan biasanya berkurang, pada otot kaki mengalami kelemahan,
yang membuat pasien jatuh. Kelemahan diafragma dan otot-otot
interkostal progresif mengebabkan gawat napas, yang merupakan keadaan
darurat akut.
Secara umum beristirahat dan agen antikolinesterase dapat
meringankan gejala gejala Miastenia Gravis. Gejala diperberat oleh
perubahan keseimbangan hormonal (misal selama kehamilan, fluktuasi
dalam siklus menstruasi atau gangguan fungsi tiroid), penyakit yang terjadi
pada waktu yang bersamaan khususnya infeksi traktus pernapasan atas dan
yang berkaitan dengan diare dan demam, emosi kekecewaan (sebagian
besar pasien mengalami kelemahan otot yang lebih ketika kecewa),
alkohol (khususnya dengan air tonik yang terdiri dari kuinin, yaitu obat
yang meningkatkan kelemahan otot) dan obat lain-lain.
Maka manifestasi klinis dari miastenia gravis diantaranya:
1. Kelemahan otot ekstrim dan mudah mengalami kelelahan
2. Diplobia (penglihatan ganda)
3. Ptosis (jatuhnya kelopak mata)
4. Disfonia (gangguan suara)
5. Kelemahan diafragma dan otot-otot interkosal progressif menyebabkan
gawat napas.

G. Patofisiologis
Otot rangka dan otot lurik dipersarafi oleh nervus besar bermielin yang
berasal dari sel kornu anterior medula spinalis dan batang otak. Nervus ini
mengirim keluar aksonnya dalam nervus spinalis atau kranialis menuju
perifer. Nervus yang bersangkutan bercabang berkali-kali dan mampu
merangsang 2000 serat otot rangka. Kombinasi saraf motorik dan serabut
otot yang dipersarafinya disebut unit motorik. Meskipun setiap neuron

11
motorik mempersyarafi banyak serabut otot, tetapi setiap serabut otot
dipersyarafi oleh hanya satu neuron motorik (Price dan Wilson, 1995).
Daerah khusus yang menghubungkan antara saraf motorik dengan
serabut otot disebut sinaps neuromuscular atau hubungan neuromuskular.
Hubungan neuromuskular adalah sinaps kimia antara saraf dan otot yang
terdiri dari tiga komponen dasar: elemen prasinaptik, elemen pascasinaptik
dan celah sinaptik. Elemen prasinaptik terdiri dari akson terminal yang
terdiri berisi vesikel sinaptik dengan neurotransmiter asetilkolin.
Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson terminal (Button).
Membran plasma akson terminal disebut membran prasinaps. Elemen
pascasinaps terdiri dari membran pascasinaps atau ujung lempeng motorik
dari serat otot. Membran pascasinaps dibentuk oleh invaginasi yang
disebut saluran sinaps membran otot atau sarkolema kedalam tonjolan
akson terminal. Membran pascasinaps memiliki banyak lipatan yang
sangat meningkatkan luas permukaan.
Membran pascasinaps juga mengandung reseptor asetilkolin dan
mampu membangkitkan lempeng akhir motorik yang sebaliknya dapat
menghasilkan potensial aksi otot. Asetilkolinesterase yaitu enzim yang
merusak asetilkolin juga terdapat dalam membran pascasinaps. Celah
sinaptik mengacu pada ruangan antara membran prasinaps dan menbran
pascasinaps.
Apabila impuls saraf mencapai taut neuromoskular, membran akson
prasinaptik terminal terdepolarisasi, menyebabkan pelepasan asetilkolin ke
dalam celah sinaptik. Asetilkolin menyeberangi celah sinaptik secara difus
dan menyatu dengan bagian reseptor asetilkolin dalam membran
pascasinaptik. Masuknya ion Na secara mendadak dan keluarnya ion K
menyebabkan depolarisasi ujung lempeng, yang diketahui sebagai ujung
lempeng potensial. Ketika ujung lempeng potensial mencapai puncak,
maka ujung tersebut akan menghasilkan potensial potensial aksi dalam
membran otot. Potensial aksi ini merangkai serangkaian reaksi yang
menyebabkan kontraksi serabut otot. Begitu terjadi transmisi melewati
penghubung neuromuskular, asetilkolin akan dirusak oleh enzim

12
asetilkolinesterase. Pada orang normal, jumlah asetilkolin yang dilepaskan
lebih dari cukup untuk menyebabkan suatu potensial aksi.
Pada Miastenia Gravis, konduksi neuromuskularnya terganggu. Jumlah
reseptor asetilkolin normal menjadi menurun yang terjadi akibat cedera
autoimun sehingga terjadi penurunan potensial aksi yang menyebabkan
kelemahan pada otot. Pada 90 % pasien gejala awal melibatkan otot okular
yang menyebabkan ptosis dan diplopia. Otot wajah, laring dan faring juga
sering terlibat dalam Miastenia Gravis yang dapat mengakibatkan
regurgitasi melalui hidung ketika berusaha menelan dan pasien dapat
mengalami aspirasi, gangguan suara (disfonia). Kelemahan otot
pernapasan juga ditandai dengan batuk lemah dan akhirnya serangan
dispnea, dan ketidakmampuan membersihkan mukus dari cabang
trakeobronkial. Selain itu terjadi kelemahan otot ekstremitas yang
menyebabkan pasien kesulitan untuk berdiri, berjalan, atau bahkan
menahan lengan di atas kepala (Misalnya ketika sedang menyisir rambut)

H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien miastenia gravis antara lain:
1. Bisa timbul miastenia crisis atau cholinergic crisis akibat terapi yang
tidak diawasi
2. Pneumonia
3. Bullous death

I. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Anti-acetylcholine receptor antibody
1) 85% pada miastenia umum
2) 60% pada pasien dengan miastenia okuler
b. Anti-striated muscle
Pada 84% pasien dengan timoma dengan usia kurang dari 40 tahun
c. Interleukin-2 receptor
1) Meningkat pada MG
2) Peningkatan berhubungan dengan progresifitas penyakit

2. Imaging
a. X-ray thoraks
Foto polos posisi AP dan Lateral dapat mengidentifikasi timoma
sebagai massa mediatinum anterior
b. CT scan thoraks
Identifikasi timoma
c. MRI otak dan orbita

13
Menyingkirkan penyebab lain defisit Nn. Craniales, tidak
digunakan secara rutin
d. Pemeriksaan klinis
1) Menatap tanpa kedip pada suatu benda yg terletak diatas
bidang kedua mata selama 30 dtk, akan terjadi ptosis
2) Melirik ke samping terus menerus akan terjadi diplopia
3) Menghitung atau membaca keras2 selama 3 menit akan terjdi
kelemahan pita suaranya hilang
4) Tes untuk otot leher dengan mengangkat kepala selama 1 menit
dalam posisi berbaring
5) Tes exercise untuk otot ekstremitas, dengan mempertahankan
posisi saat mengangkat kaki dengan sudut 45° pada posisi tidur
telentang 3 menit, atau duduk-berdiri 20-30 kali. Jalan diatas
tumit atau jari 30 langkah, tes tidur-bangkit 5-10 kali
6) Tes tensilon (edrophonium chloride)
7) Suntikkan tensilon 10 mg (1 ml) i.v, secara bertahap. Mula-
mula 2 mg à bila perbaikan (-) dlm 45 dtk, berikan 3 mg lagi à
bila perbaikan (-), berikan 5 mg lagi. Efek tensilon akan
berakhir 4-5 menit
8) Efek samping : ventrikel fibrilasi dan henti jantung
9) Tes Prostigmin (neostigmin)
a) Injeksi prostigmin 1,5 mg IM,
b) Dapat ditambahkan atropin untuk mengurangi efek
muskariniknya seperti nausea, vomitus, berkeringat.
Perbaikan terjadi pada 10-15 menit, mencapai puncak dlm
30 menit, berakhir dalam 2-3 jam

3. Pemeriksaan EMNG
Pada stimulasi berulang 3 Hz terdapat penurunan amplitudo (decrement
respons) > 10% antara stimulasi I dan V. MG ringan penurunan
mencapai 50%, MG sedang sampai berat dapat sampai 80%

4. Pemeriksaan antibodi AchRss


Antibodi AChR ditemukan pd 85-90% penderita MG generalisata, &0%
MG okular. Kadar ini tdk berkorelasi dg beratnya penyakit

5. Evaluasi Timus
Sekitar 75% penderita MG didapatkan timus yg abnormal,terbanyak
berupa hiperplasia,sedangkan15% timoma. Adanya timoma dapat

14
dilihat dg CT scan mediastinum, tetapi pd timus hiperplasia hasil CT
sering normal.

J. Pengobatan
1. Antikolinesterase: menghambat destruksi Ach
2. Piridostigmin bromide (Mestinon, Regonol). Dosis awal 30-60 mg tiap
6-8 jam atau setiap 3-4 jam. Dosis optimal bervariasi tgt kebutuhan
mulai 30-120 mg setiap 4 jam. Bila > 120 mg tiap 3 jam dpt
menimbulkan à Krisis Kolinergik (G/ : dispneu, miosis, lakrimasi,
hipersalivasi, emesis, diare
a. Neostigmin Bromide (Prostigmin). Kerja lebih pendek. Dosis 15 mg
tiap 3-4 jam
3. Kortikosteroid: Mulai dosis rendah (12-50 mg prednison) kemudian
dinaikkan pelan-pelan sampai respon optimal (maksimal 50-60 mg
prednison). Dosis dipertahankan sampai perbaikan mencapai plateau
(biasanya 6-12 bulan). urunkan dosis sangat pelan-pelan sampai dosis
pemeliharaan minimal. Awasi efek samping obat:
a. Obat: azathiprine 1-2,5 mg/minggu Biasanya dipakai bersama
prednison
b. Obat lain: Cyclosporine,Cyclophosphamide, Mycophenolate mofetil
4. Intravenous Imunoglobulin
5. Dosis: 0,4 gr/kg BB/hari selama 5 hari berturut2
6. Pada MG berat
7. Plasmapharesis
8. Pada MG berat untuk menghilangkan atau menurunkan antibodi yang
beredar dalam serum penderita.

K. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis klien myasthenia gravis meliputi:
1. Medikamentosa
a. Piridostigmin (tablet 60 mg) Dosis awal 4x15 mg (¼ tablet) setelah 2
hari ditingkatkan menjadi 4x30 mg jika perlu dapat ditingkatkan
menjadi 4x60 mg. Dosis maksimum 6 tablet/hari (360 mg/hari) Jika
tidak berespons dapat diberi kortikosteroid maupun Azathioprine.
Bila Pasien usia <45 tahun dengan AChR+, dapat dipertimbangkan
timektomi dini.

15
b. Kortikosteroid (Prednison) dapat diberikan selang beberapa hari.
Dosis mencapai 1,5 mg/kg/selang sehari atau, misalnya 100 mg/hari.
Dosis ini dipertahankan sampaipasien menagalami remisi (beberapa
bulan). Dosis dapat dikurangi per 10 mg setiap 3-4 mgg sampai 20
mg/selang sehari. Dosis kemudian dikurangi 1 mg setiap bulan dan
diberikan kembali dengan dosis tinggi bila relaps.
c. Azathiropin, dapat diberikan dengan dosis awal 2x25 mg. Dosis
dapat ditingkatkan menjadi 25/hari sampai mencapai 2,5 mg/kg/hari.
Sebelum dilakukan terapi dilakukan evaluasi darah rutin (hitung
jenis dan fungsi hati). Evaluasi dilakukan setiap 3 minggu selama
8 minggu kemudian setiap 3 bulan. (Dewanto dkk, 2009:64).
2. Timektomi
Kelenjar Timus Memproduksi T- Limfosit yang berperan dalam
system imun. Ada penderita Miastenia Gravis,kelenjar tymus dapat
mengalami peningkatan jumlah sel (hyperplasia timus) atau tumor
( Tinoma ), sehingga merangsang, pembentukan antibody berlebihan.
Tindakan Timektomi terbukti meperbaiki kondisi klinis paseien MG.
(Dewanto dkk,2009:64)
3. Plasmaferesis ( Plasma Exchange)
Efektif sebagai terapi jangka pendek pada pasien MG dengan
exaserasi akut. Pada Plasma ferensis dilakukan pengantian darah
dengan sel darah merah merah, sehingga plasma darah dibuang dan
diganti dengan suplemen yaitu human albumin dan arutan normal salin
4. Intavenous Imunoglobulin ( IV Ig)
5. Mekanisme kerja adalah mengurangi kemotaksis atau aktivasi
makrofag.
6. Pembedahan
7. Plasmapharesis
8. Thymectomy
9. Ventilasi mekanik/terapi oksigen
10. Terapi fisik
11. Terapi okupasi
12. Obat-obatan: anticholinesterase, kortikosteroid, hormon pituitary
13. Dukungan nutrisi (Dewanto dkk, 2009:63)

L. Krisis Myastenia Gravis


Pasien miastenik dikatakan berada dalam krisis bila sudah tidak
mampu menelan, membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat

16
tanpa bantuan alat. Dua jenis krisis adalah krisis miastenik yaitu keadaan
ketika pasien membutuhkan lebih banyak obat antikolinesterase dan krisis
kolinergik yaitu keadaan yang terjadi akibat kelebihan obat
antikolinesterase. Pada keadaan lain, ventilasi dan jalan napas yang
adekuat harus dipertahankan. Edrofonium klorida (Tensilon 2 hingga 5
mg) diberikan secara intravena sebagai test untuk membedakan jenis
krisis.. obat tersebut menghasilkan perbaikan sementara dalam krisis
miastenik namun tidak memperbaiki atau memperburuk gejala pada krisis
kolinergik.
Bila terjadi krisis miastenik, pasien dipertahankan dengan
respirator. Obat antikolinesterse tidak dapat diberikan karena obat itu dapat
meningkatkan sekresi pernapasan dan dapat mencetuskan krisis kolinergik.
Pemberian obat dimulai lagi secara bertahap dan seringkali dosis dapat
diturunkan setelah krisis.
Pada krisis kolinergik, pasien mungkin telah meminum obat secara
berlebihan karena kesalahan atau dosisnya mungkin berlebihan karena
terjadi remisi spontan. Banyak pasien yang mengalami krisis ini disebut
miastenik rapuh. Episode ini sulit dikendalikan dengan pengobatan dengan
kisaran terapeutik yang sempit antara kekurangan dosis dan kelebihan
dosis. Respon terhadap pengobatan ini seringkali hanya sebagian. Pada
krisis kolinergik, pasien dipertahankan dengan ventilasi buatan. Obat
antikolinergik tidak dapat diberikan, dan 1 mg atropin diberikan secara
intravena dan dapat diulang bila perlu. Ketika diberikan atropin, pasien
harus diawasi dengan hati-hati karena sekret pernapasan dapat mengental
sehingga terjadi kesulitan menghisap, atau sumbatan mukus dapat
menghambat bronkus sehingga terjadi atelektasis.

17
II. Konsep Asuhan Keperawatan Myastenia Gravis
A. Pengkajian
1. Identitas klien: Meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status
2. Keluhan utama: Keluhan utama yang sering menyebabkan klien
miastenia gravis meminta pertolongan kesehatan sesuai dengan kondisi
dari adanya penurunan atau kelemahan otot-otot dengan manifestasi
diplopia (penglihathan ganda), ptosis (jatuhnya kelopak mata) merupakan
keluhan utama dari 90% klien miastenia gravis, disfonia (gangguan
suara), masalah menelan dan mengunyah makanan. Pada kondisi berat

18
keluhan utamanya biasanya adalah ketidakmampuan menutup rahang,
ketidakmampuan batuk efektif dan dispnea.
3. Riwayat kesehatan: Diagnosa miasenia didasarkan pada riwayat dan
pesentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan
kekuatan pasial setelah istirahat sangatlah menunukkan miastenia gravis,
pasien mugkin mengeluh kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik
yang sederhana, riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada pandangan
atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot. Selain
itu juga perlu diperhatikan tentang riwayat penyakit sekarang, dahulu dan
riwayat penyakit keluarga.
4. Pengkajian Psiko-sosial-spiritual
Klien miastenia gravis sering mengalami gangguan emosi dan kelemahan
otot apabila mereka berada dalam keadaan tegang. Adanya kelemahan
pada kelopak mata (ptosis), diplopia, dan kerusakan dalam komunikasi
verbal menyebabkan klien sering mengalami gangguan citra diri.
5. Pemeriksaan fisik:
a. B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien mempunyai kemampuan atau penurunan batuk
efektif, produksi sputum, dispnea, prnggunaan otot-otot bantu
pernafasan dan peningkatan frekuensi pernafasan sering didapatkan
pada klien yang disertai adanya kelemahan otot-otot pernafasan.
Auskultasi buyi nafas tambahan seperti ronchi atau stridor pada klien
menandakan adanya akumulasi secret pada jalan nafas dan penurunan
kemampuan otot-otot pernafasan.
b. B2 (Bleeding)
Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan untuk
memantau perkembangan status kardiovaskuler, terutama denyut nadi
(takikardi/bradikardi) dan tekanan darah (hipertensi/hipotensi) yang
secara progresif akan berubah sesuai dengan kondisi tidak
membaiknya status pernafasan.
c. B3 (Brain)
1) Tingkat kesadaran
Biasanya pada kondisi awal kesadaran klien masih baik
2) Fungsi serebral

19
a) Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah
lakunya, nilai gaya bicara dan observasi ekspresi wajah,
aktivitas motorik yang mengalami perubahan seperti adanya
gangguan perilaku, alam perasaan, dan persepsi
b) Pemeriksaan saraf cranial:
i. Saraf I (olfaktorius)
Biasanya pada klien epilepsi tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman tidak ada kelainan
ii. Saraf II (optikus)
Penurunan pada test ketajaman penglihatan, klien sering
mengeluh adanya penglihatan ganda
iii. Saraf III, IV dan VI (okulomotoris,troklearis,abdusens)
Sering didapat adanya ptosis. Adanya oftalmoplegia, mimic
dari Pseudointernuklear oftalmoplegia akibat gangguan
motorik pada saraf VI
iv. Saraf V (trigeminus)
Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat
kelumpuhan pada otot-otot wajah

v. Saraf VII (facialis)


Persepsi pengecapan terganggu akibat adanya gangguan
motorik lidah/triple-furrowed lidah
vi. Saraf VIII (akustikus)
Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
vii. Saraf IX dan X (glosofaringeus,vagus)
Ketidakmampuan dalam menelan
viii. Saraf XI (aksesorius)
Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius
ix. Saraf XII (hipoglosus)
Lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu titik akibat
kelemahan otot motorik pada lidah/triple-furrowed lidah
3) System motoric
Karakteristik utama miastenia gravis adalah kelemahan dari
system motorik. Adanya kelemahan umum pada otot-otot rangka
memberikan manifestasi pada hambatan mobilitas dan intoleransi
aktivitas klien
4) Pemeriksaan reflek
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon,
ligamentum, atau pperiosteum derajat reflex pada respon normal
5) System sensorik

20
Pemeriksaan sensorik pada epilepsy biasanya didapatkan
perasaan raba normal, perasaan suhu normal, tidak ada perasaan
abnormal di permukaan tubuh.

d. B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada system perkemihan biasanya didapatkan
berkurangnya volume output urine, hal ini berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. Selain itu
dimungkinkan adanya penurunkan fungsi kandung kemih, retensi
urine, hilangnya sensasi saat berkemih.

e. B5 ( Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien miastenia gravis
menurun karena ketidakmampuan menelan makanan sekunder dari
kelemahan otot-otot menelan, kelemahan otot diafragma dan
peristaltic usus turun.
f. B6 (Bone)
Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan pada
mobilitas dan mengganggu aktivitas perawatan diri.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan otot
pernafasan
b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan
produksi mucus dan penurunan kemampuan batuk efektif
c. Gangguan aktivitas hidup sehari-hari berhubungan dengan kelemahan
fisik umum, keletihan
d. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan
pengucapan kata, gangguan neuromuscular, kehilangan kontrol tonus otot
fasial atau oral
e. Gangguan citra diri berhubungan dengan adanya ptosis, ketidakmampuan
komunikasi verbal

3. Intervensi Keperawatan

Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan otot


pernafasan

21
Tujuan: dalam waktu 1×24 jam setelah diberikan intervensi, pola pernafasan
klien kembali efektif.
Kriteria hasil: irama, frekuensi, dan kedalaman pernafasan dalam batas
normal, bunyi nafas terdengar jelas, respirator terpasang dengan optimal
Intervensi Rasional
Kaji kemampuan ventilasi Untuk klien dengan penurunan
kapasitas ventilasi, perawat mengkaji
frekuensi pernafasan, kedalaman dan
bunyi nafas, pantau hasil tes fungsi
paru-paru (volume tidal, kapasitas
vital, kekuatan inspirasi), dengan
interval yang sering dalam
mendeteksi masalah paru-paru,
sebelum perubahan kadar gas darah
arteri dan sebelum tampak gejala
klinik.
Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman Dengan mengkaji kualitas, frekuensi,
pernafasan, laporkan setiap perubahan dan kedalaman pernafasan, kita
yang terjadi dapat mengetahui sejauh mana
perubahan kondisi klien.
Baringkan klien dalam posisi yang Penurunan difragma memperluas
nyaman dalam posisi duduk daerah dada sehingga ekspansi paru
bisa maksimal.
Observasi tanda-tanda vital (nadi, RR) Peningkatan RR dan takikardia
merupakan indikasi adanya
penurunan fungsi paru.
Lakukan auskultasi suara nafas tiap 2- Auskultasi dapat menentukan
4 jam kelainan suara nafas pada bagian
paru-paru.
Kemungkinan akibat dari
berkurangnya atau tidak
berfungsinya lobus, segmen dan
salah satu dari paru-paru.
Pada daerah kolaps paru suara
pernafasan tidak terdengar, tetapi

22
bila hanya sebagian yang kolaps
suara pernafasan tidak terdengar
dengan jelas.
Hal tersebut dapat menentukan
fungsi paru yang baik dan ada
tidaknya atelektasis paru
Bantu dan ajarkan klien untuk batuk Menekan daerah yang nyeri ketika
dan nafas dalam yang efektif batuk atau nafas dalam. Penekanan
otot-otot dada serta abdomen
membuat batuk lebih efektif
Kolaborasi untuk pemasangan Respirator mengambil alih fungsi
respirator ventilasi yang terganggu akibat
kelemahan dari otot-otot pernafasan.

Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan


produksi mucus dan penurunan kemampuan batuk efektif
Tujuan: dalam waktu 3×24 jam setelah diberikan intervensi, jalan nafas
kembali efektif. Tujuan utama dari intervensi adalah menghilangkan kuantitas
dari viskositas sputum untuk memperbaiki ventilasi paru dan pertukaran gas.
Kriteria hasil: dapat mendemonstrasikan batuk efektif, dapat menyatakan
strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi, tidak ada suara tambahan, dan
pernafasan klien normal (16-20×/menit) tanpa ada penggunaan otot bantu
nafas.
Intervensi Rasional
Kaji warna, kekentalan dan jumlah Karakteristik sputum dapat
sputum menunjukkan berat ringannya
obstruksi
Atur posisi semi fowler Meningkatkan ekspansi dada
Pertahankan asupan cairan sedikitnya Hidrasi yang adekuat membantu
2500 ml/hari kecuali tidak mengencerkan secret dan
diindikasikan mengefektifkan pembersihan jalan
nafas. Alasan lain untuk
memperbanyak masukan cairan
adalah kecenderungan klien untuk
bernafas melalui mulut yang

23
meningkatkan kehilangan air.
Menghirup air yang diuapkan juga
membantu karena uap ini dapat
melembabkan percabangan bronchial.
Lakukan fisioterapi dada dengan Bila ada kelemahan otot abdominal,
teknik drainage postural, perkusi, interkostal, dan faring yang hebat,
fibrasi dada, serta lakukan suction klien tidak mampu batuk dan nafas
dalam atau membersihkan sekresi.
Terapi fisik dada yang terdiri atas
drainage postural bertujuan untuk
memobilisasi sekresi dan suction
untuk mengeluarkan secret dilakukan
sesering mungkin.
Drainage postural dengan perkusi dan
vibrasi menggunakan bantuan gaya
gravitasi untuk membantu menaikkan
sekresi sehingga dapat dikeluarkan
atau dihisap dengan mudah. Drainage
postural biasanya dilakukan ketika
klien bangun untuk membuang
sekresi yang telah terkumpul
sepanjang malam dan sebelum
istirahat, untuk meningkatkan tidur.

Gangguan aktivitas hidup sehari-hari berhubungan dengan kelemahan


fisik umum, keletihan
Tujuan: infeksi bronkhopulmonal dapat dikendalikan untuk menghilangkan
edema inflamasi dan memungkinkan penyembuhan aksi siliaris normal.
Infeksi pernafasan minor yang tidak memberikan dampak pada individu yang
memiliki paru-paru normal, dapat berbahaya bagi klien dengan PPOM.
Kriteria hasil: frekuensi nafas 16-20×/menit, frekuensi nadi 70-90×/menit, dan
kemampuan batuk efektif dapat optimal, tidak ada tanda peningkatan suhu
tubuh.
Intervensi Rasional

24
Kaji kemampuan klien dalam Menjadi data dasar dalam melakukan
melakukan aktivitas intervensi selanjutnya
Atur cara beraktivitas Sasaran klien adalah memperbaiki
kekuatan dan daya tahan. Menjadi
partisipan dalam pengobatan, klien
harus belajar tentang fakta-fakta dasar
mengenai agen-agen antikolinesterase
–kerja, waktu, penyesuaian dosis, dan
efek toksik. Dan yang penting pada
penggunaan medikasi dengan tepat
waktu adalah ketegasan.
Evaluasi kemampuan aktivitas Menilai tingkat keberhasilan dari
motorik terapi yang telah diberikan.

Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan


pengucapan kata, gangguan neuromuscular, kehilangan kontrol tonus
otot fasial atau oral
Tujuan: klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi,
mampu mengekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat.
Kriteria hasil: terciptanya suatu komunikasi dimana kebutuhan klien dapat
dipenuhi, klien mampu merespon setiap berkomunikasi secara verbal maupun
isyarat.
Intervensi Rasional
Kaji kemampuan komunikasi klien Kelemahan otot-otot bicara pada klien
krisis miastenia gravis dapat berakibat
pada komunikasi
Lakukan metode komunikasi yang Teknik untuk meningkatkan
ideal sesuai dengan kondisi klien komunikasi meliputi mendengarkan
klien, mengulangi apa yang mereka
coba komunikasikan dengan jelas dan
menbuktikan yang diinformasikan,
berbicara klien dengan kedipan mata
mereke dan atau goyangan jari-jari
tangan atau jari-jari kaki untuk

25
menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’. Setelah
periode krisis miastenik dipecahkan,
klien selalu mampu mengenal
kebutuhan mereka.
Beri peringatan bahwa klien di ruang Untuk kenyamanan yang
ini mengalami gangguan bicara, berhubungan dengan
sediakan bel khusus bila perlu ketidakmampuan berkomunikasi.
Antisipasi dan bantu kebutuhan klien Membantu menurunkan frustasi oleh
karena ketergantungan atau
ketidakmampan berkomunikasi
Ucapkan langsung kepada klien, Mengurangi kebingungan atau
berbicara pelan dan tenang, gunakan kecemasan terhadap banyaknya
pertanyaan dengan jawaban ‘ya’ atau informasi. Memajukan stimulasi
‘tidak’ dan perhatikan respon klien komunikasi ingatan dan kata-kata
Kolaborasi : konsul ke ahli terapi Mengkaji kemampuan verbal
bicara individual, sensorik dan motorik, serta
fungsi kognitif untuk mengidentifikasi
deficit dan kebutuhan terapi

Gangguan citra diri berhubungan dengan adanya ptosis,


ketidakmampuan komunikasi verbal
Tujuan: citra diri klien meningkat
Kriteria hasil: mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang
terdekat tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi, mampu
menyatakan penerimaan diri terhadap situasi, mengakui dan menggabungkan
perubahan ke dalam konsep diri dengan cara yang akurat tanpa harga diri
negatif
Intervensi Rasional
Kaji perubahan dari gangguan Menentukan bantuan individual dalam
persepsi dan hubungan dengan menyusun rencana perawatan atau
derajat ketidakmampuan memilih intervensi
Identifikasi arti dari kehilangan atau Beberapa klien dapat menerima dan
disfungsi pada klien mengatur perubahan fungsi secara
efektif dan sedikit penyesuaian diri,
sedangkan yang lain mempunyai

26
kesulitan membandingkan, mengenal
dan mengatur kekurangan
Catat ketika klien menyatakan Mendukung penolakan terhadap
terpegaruh seperti sekarat atau bagian tubuh atau perasaan negative
mengingkari dan menyatakan inilah terhadap gambaran tubuh dan
kematian kemampuan yang menunjukkan
kebutuhan dan intervensi serta
dukungan dan emosional
Pernyataan pengakuan terhadap Membantu klien untuk melihat bahwa
penolakan tubuh, mengingatkan perawat menerima kedua bagian
kembali fakta kejadian tentang sebagai bagian dari seluruh tubuh.
realitas bahwa masih dapat Mengizinkan klien untuk merasakan
menggunakan sisi yang sakit dan adanya harapan dan mulai menerima
belajar mengontrol sisi yang sehat situasi baru
Bantu dan anjurkan perawatan yang Membantu meningkatkan perasaan
baik dan memperbaiki kebiasaan harga diri dan mengontrol lebih dari
satu area kehidupan
Anjurkan orang yang terdekat untuk Menghidupkan kembali perasaan
mengizinkan klien melakukan hal kemandirian dan membantu
untuk dirinya sebanyak-banyaknya perkembangan harga diri serta
mempengaruhi proses rehabilitasi
Dukung perilaku atau usaha seperti Klien dapat beradaptasi terhadap
peningkatan minat atau partisipasi perubahan dan pengerian tentang
dalam aktivitas rehabilitasi peran individu masa mendatang
Monitor gangguan tidur, peningkatan Dapat mengindikasikan terjadinya
kesulitan konsentrasi, letargi dan depresi, umumnya terjadi sebagai
witdhrawal pengaruh dari stroke, dimana
memerlukan intervensi dan evaluasi
lebih lanjut
Kolaborasi : rujuk pada ahli Dapat memfasilitasi perubahan peran
neuropsikologi dan konseling bila ada yang penting untuk perkembangan
indikasi perasaan.

4. Implementasi

27
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang telah ditetapkan
dari diagnose yang ditegakkan sesuai hasil pengkajian yang dilakukan
kepada klien.

5. Evaluasi
Dari intervensi yang ada dan implementasi yang dilakukan diharapkan:
a. Bersihan jalan napas efektif.
b. Mencapai fungsi pernapasan adekuat.
c. Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari dan beradaptasi terhadap
keletihan
d. Pasien mampu berkomunikasi dengan alternatif pilihan pasien
e. Pasien mampu mengekspresikan konsep diri yang positif.

BAB III
PENUTUP

I. Kesimpulan
Miastenia gravis ialah penyakit dengan gangguan pada ujung-ujung
saraf motorik di dalam otot yang mengakibatkan otot menjadi lekas lelah.
Otot-otot pada pergerakan berulang-ulang atau terus-menerus menjadi lelah
dan ampuh. Miastenia gravis merupakan penyakit kronis, neuromuskular,
autoimun yang bisa menurunkan jumlah dan aktifitas reseptor
Acethylcholaline (ACH) pada Neuromuscular junction.
Meskipun faktor persipitasi masih belum jelas, tetapi menurut
penelitian menunjukkan bahwa kelemahan myasthenic diakibatkan dari
sirkulasi antibodi ke reseptor Ach. Tanda dan gejala klien myasthenia gravis
meliputi: Kelelahan, Wajah tanpa ekspresi, Kelemahan secara umum,
khususnya pada wajah, rahang, leher, lengan, tangan dan atau tungkai.
Kelemahan meningkat pada saat pergerakan, Kesulitan dalam menyangkut
lengan diatas kepala atau meluruskan jari, Kesulitan mengunyah, Kelemahan,
nada tinggi, suara lembut, Ptosis dari satu atau kedua kelopak mata,
Kelumpuhan okular, Diplopia, Ketidakseimbangan berjalan dengan tumit ;

28
namun berjalan dengan jari kaki, Kekuatan makin menurun sesuai dengan
perkembangan , Inkontinensia stress, Kelemahan pada sphincter anal,
Pernapasan dalam, menurun kapsitas vital, penggunaan otot-otot aksesori.

II. Saran
A. Mahasiswa
Setelah membaca makalah ini diharapkan mahasiswa dapat
memahami dan mempelajari asuhan keperawatan yang tepat untuk pasien
dengan Miastenia Gravis.
B. Tenaga Kesehatan
Setelah membaca makalah ini diharapkan tenaga kesehatan baik
primer maupum spesialis dapat memberikan asuhan keperawatan yang
tepat untuk pasien dengan Miastenia Gravis.
DAFTAR PUSTAKA

Boughman, Diane C. Hackley, Joann C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah :


Buku Saku Dari Brunner & Suddarth. Jakarta : Egc
Brunner & Suddart. (1996), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol
3, EGC, Jakarta.
Carpenito, L.J. (2001) Handbook of Nursing Diagnosis (Buku terjemahan), Ed.8.
EGC, Jakarta.
Dewanto, George, Dkk. 2009. Diagnosa & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta :
Egc
Doenges, E. M (2000), Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian, ed.
3, EGC, Jakarta.
Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol. 2. EGC:
Jakarta.
Mutakin, arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persyarafan.Jakarta : salemba medica
Nanda . 2009 - 2011 . Diagnosa Keperawatan . Jakarta : EGC
Ngoerah, I. G. N. G, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University Press.
Page: 301-305. 1991.
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit. Edisi 4. ECG: Jakarta.
Ramali, A.( 2000 ). Kamus Kedokteran. Djambatan, Jakarta.

29
Sylvia, A. (2005), Patofisiologi konsep klinis proses penyakit, Edisi 6, Vol 2,
EGC, Jakarta

30

Anda mungkin juga menyukai