Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

GAWAT DARURAT DAN KRITIS PADA NY. L


DENGAN MYASTHENIA GRAVIS DI RUANG ICU KAPUAS B
RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG

Untuk memenuhi tugas Profesi Ners Departemen


Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis yang dibimbing oleh :
Ns. Sih Ageng Lumadi, M.Kep

Disusun Oleh :

DWI FEBRIYANTI
2314314901006

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAHARANI MALANG

2023/2024
LEMBAR PENGESAHAN

PROFESI NERS

DEPARTEMEN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN KRITIS

Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis


Pada Ny.L dengan Myasthenia Gravis Di Ruang ICU Kapuas B
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
Periode 23 Oktober – 28 Oktober 2023

Oleh :
DWI FEBRIYANTI
2314314901006

Laporan ini telah disetujui oleh Pembimbing Profesi Ners pada :

Hari/tanggal : Oktober 2023

Malang, 16 Oktober 2023

Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

(Sih Ageng Lumadi, M.Kep., Ns) ()


NIDN. 0729018101 NIP.
LAPORAN PENDAHULUAN

I. KONSEP MYASTHENIA GRAVIS


A. DEFINISI MYASTHENIA GRAVIS
Myastenia gravis adalah salah satu penyakit autoimun yang
disebabkan oleh adanya gangguan dari synaptic transmission atau
pada neuromuscular junction. Penyakit autoimun itu sendiri adalah
suatu jenis penyakit dimana antibodi menyerang jaringan-jaringannya
sendiri. Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi
transmisi neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya dibawah
kesadaran seseorang. Myasthenia Gravis dapat menyerang otot apa
saja, tapi yang paling umum terserang adalah otot yang mengontrol
gerakan mata, kelopak mata, mengunyah, menelan, batuk dan ekspresi
wajah. Bahu, pinggul, leher, otot yg mengontrol gerakan badan serta
otot yang membantu pernafasan juga dapat terserang.
Myastenia Gravis ini dapat mengganggu sistem sambungan
saraf (synaps). Pada penderita myastenia gravis, sel antibodi tubuh
atau kekebalan akan menyerang sambungan saraf yang mengandung
acetylcholine (ACh), yaitu neurotransmiter yang mengantarkan
rangsangan dari saraf satu ke saraf lainnya. Jika reseptor mengalami
gangguan maka akan menyebabkan defisiensi, sehingga komunikasi
antara sel saraf dan otot terganggu dan menyebabkan kelemahan otot.

B. KLASIFIKASI MYASTHENIA GRAVIS


1. Klasifikasi Klinis Myasthenia Gravis
a) Kelompok I Myasthenia Okular
Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia.
Sangat ringan, tidak ada kasus kematian.
b) Kelompok II Myasthenia Umum
1) Myasthenia umum ringan : Progress lambat, biasanya pada
mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar.
Sistem pernafasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat
baik. Angka kematian rendah.
2) Myasthenia umum sedang : Progress bertahap dan sering
disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat
dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar.
Disartria (gangguan bicara), disfagia (kesulitan menelan) dan
sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan
Myasthenia umum ringan. Otot-otot pernafasan tidak terkena.
Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktivitas
pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.
3) Myasthenia umum berat
- Fulminan akut : progress yang cepat dengan kelemahan
otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai
terserangnya otot-otot pernafasan. Biasanya penyakit
berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam
kelompok ini, persentase thymoma paling tinngi. Respon
terhadap obat buruk. Insiden krisis Myasthenik,
kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi.
Tingkat kematian tinggi.
- Lanjut : Myasthenia Gravis berat timbul paling sedikit 2
tahun sesudah progress gejala-gejala kelompok I atau II.
Myasthenia Gravis dapat berkembang secara perlahan-
lahan atau secara tiba-tiba. Persentase thymoma
menduduki urutan kedua. Respon terhadap obat dan
prognosis buruk.
2. Klasifikasi berdasarkan The Medical Scientific Advisory Board
(MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America
(MGFA) :
a) Class I Kelemahan otot okular dan Gangguan menutup mata,
Otot lain masih normal
b) Class II Kelemahan ringan pada otot selain okular, Otot okular
meningkat kelemahannya
c) Class IIa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit mempengaruhi
otot-otot oropharyngeal
d) Class IIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan
pernapasan, Juga mempengaruhi ekstrimitas
e) Class III Kelemahan sedang pada otot selain okuler,
Meningkatnya kelemahan pada otot okuler
f) Class IIIa Mempengaruhi ektrimitas , Sedikit mempengaruhi
otot-otot oropharyngeal
g) Class IIIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan
pernapasan, Juga mempengaruhi ekstrimitas
h) Class IV Kelemahan berat pada selain otot okuler, Kelemahan
berat pada otot okuler
i) Class IVa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit pengaruh pada
otot-otot oropharyngeal
j) Class IVb Terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan dan
oropharyngeal, Juga mempengruhi otot-otot ekstrimitas
k) Class V Pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus
post-operative)

C. ETIOLOGI MYASTHENIA GRAVIS


Meskipun faktor persipitasi masih belum jelas, tetapi menurut
penelitian menunjukkan bahwa kelemahan myasthenic diakibatkan
dari sirkulasi antibodi ke reseptor Ach. Myasthenia Gravis
dimasukkan dalam golongan penyakit autoimun (dimana antibody
didalam tubuh menyerang sel ataupun jaringan yang membentuk
antibody itu sendiri) yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan
mengurangi efesiensi hubungan neuromuscular. Kelainan primer pada
MG dihubungkan dengan gangguan transmisi pada neuromuscular
junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada
ujung akson motor neuron terdapat partikel -partikel globuler yang
merupakan penimbunan asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik
tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah dan ACh dibebaskan
yang dapat memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi dengan
ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini
membuka saluran ion pada membran serat otot dan menyebabkan
masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah
kontraksi otot. Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada
MG tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada MG terdapat kekurangan
ACh atau kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor
imunologik yang berperanan.
Kemungkinan adanya peranan kelenjar thymus dalam penyakit
MG. Kelenjar thymus yang terletak di daerah dada atas di bawah
tulang dada, mempunyai peranan penting dalam mengembangkan
system imun pada awal kehidupan. Beberapa orang dengan
Myasthenia Gravis menghasilkan thymoma atau tumor pada kelenjar
thymus. Hubungan antara kelenjar thymus dan Myasthenia Gravis
masih belum sepenuhnya dimengerti. Para ilmuwan percaya bahwa
kelenjar thymus mungkin memberikan instruksi yang salah mengenai
produksi antibodi reseptor asetilkolin sehingga malah menyerang
transmisi neuromuskular (Salsabila, 2023).

D. MANIFESTASI KLINIS MYASTHENIA GRAVIS


Karakteristik penyakit berupa kelemahan otot ekstrem dan
mudah mengalami kelelahan, yang umumnya memburuk setelah
aktivitas dan berkurang setelah istirahat. Pasien dengan penyakit ini
mengalami kelelahan hanya karena penggunaan tenaga yang sedikit
seperti menyisir rambut, mengunyah dan berbicara, dan harus
menghentikan segalanya untuk istirahat. Selain melemahnya otot, ada
berbagai gejala yang sering muncul sebagai tanda penyakit
myasthenia gravis, di antaranya:
1) Penglihatan menjadi kabur atau ganda.
2) Salah satu atau kedua kelopak mata pengidapnya akan turun dan
susah di buka (Ptosis).
3) Kesulitan menelan dan mengunyah, kondisi ini bisa menyebabkan
pengidapnya mudah tersedak.
4) Melemahnya otot tangan, kaki, dan leher. Gejala ini bisa memicu
gangguan mobilitas, seperti pincang atau kesulitan mengangkat
barang.
5) Kesulitan bernapas, terutama saat beraktivitas atau berbaring.
6) Berubahnya kualitas suara, seperti menjadi pelan dan sengau.
7) Terbatasnya ekspresi wajah, contohnya sulit tersenyum (Wajah
tanpa ekspresi)

E. PATOFISIOLOGI MYASTHENIA GRAVIS


Pada keadaan normal, neurotransmiter Ach dilepaskan
neuromuscular junction, menyebar melalui celap sinap dan bergabung
dengan reseptor Ach pada membran pasca sinap dari serabut otot. Hal
ini merubah permeabilitas membran terhadap kalium dan natrium,
sehingga terjadi depolarisasi. Bila sudah mencapai depolarisasi maka
potensial aksi anak terjadi bersamaan dengan terpencarnya sarkolema
yang menimbulkan kontraksi serabut otot. ACH dihancurkan oleh
enzim Acethylcolinesterease setelah terjadi pengiriman menuju
neuromuscular junction.
Patologi utama kelainan miastenia gravis adalah
ketidakmampuan menyebarkan rangsang saraf ke otot sketel pada
neuromuscular junction, kelainan terlihat akibat kekurangan Ach yang
dilepaskan dari terminal membran sebelum sinap atau karena adanya
penurunan jumlah normal reseptor Ach. Kemungkinan diakibatkan
adanya cidera pada autoimmune. Pada sekitar 60-90 % orang
menderita MG dan bayi dengan neonatal myasthenia pada protein
reseptor Ach terdapat antibodi. Antibodi ini tidak bertambah dengan
reseptor Ach pada membran pasca sinap.
Tidak ada petunjuk yang jelas apakah MG termasuk dalam
penyakit saraf pusat atau perifer. Penampilan otot secara mikroskopis
biasa tanpa adanya atropi. Secara mikroskopis infiltrasi limposit dapat
terlihat dalam otot-otot dan organ lain dengan menggunakan
mikroskop, tetapi penemuan ini tidak tetap. Kelenjar timus sering
abnormal. Tumor kelenjar timus atau timoma, diperkirakan telah
terajdi sekitar 15% kasus dan yang menunjukkan hiperplasia pada
timus sekitar 80 % kasus. Belum diketahui secara pasti apa yang
sebenarnya peranan thymus. Tetapi diperkirakan sebagai stimulus
sntigenik yang memproduksi Anti Ach reseptor antibosi, dan ada juga
hubungan yang sangat erat antara MG dengan hipertiroidism
(Soeroso, 2023).

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG MYASTHENIA GRAVIS


1. Test Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba test
Wartenberg. Penderita diminta untuk menatap tanpa kedip kepada
suatu benda yang terletak diatas dan diantara bidang kedua mata
untuk beberapa waktu lamanya. Pada Myasthenia Gravis, kelopak
mata yang terkena akan menunjukkan ptosis.
2. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila
tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon
secara intravena. Segera setelah tensilon disuntikkankita harus
memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak
mata yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera
lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan
dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.
3. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat
secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½
mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis
maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau
kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
4. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk
uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-
gejala miastenik tidak bertambah berat.Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis,
strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat.
5. Laboratorium (Tes darah)
a) Antistriated muscle (anti-SM) antibody : Tes ini menunjukkan
hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita timoma
dalam usia kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan salah satu
tes yang pentingpada penderita miastenia gravis. Pada pasien
tanpa timomaanti-SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif
pada pasien dengan usia lebih dari 40 tahun,.
b) Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies : Hampir 50%
penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR
Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil
yang positif untuk anti-MuSK Ab.
c) Antistriational antibodies : Antibodi ini bereaksi dengan epitop
pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini
selalu dikaitkan dengan pasien timomadengan miastenia gravis
pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan
suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya timoma pada pasien
muda dengan miastenia gravis.Hal ini disebabkan dalam seru
beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya
antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot
rangka dan otot jantung penderita.
d) Anti-asetilkolin reseptor antibodi : Hasil dari pemeriksaan ini
dapat digu digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia
gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien.80%
dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari
penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes
anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien
timomatanpa miastenia gravis sering kali terjadifalse positive
anti-AChR antibody
6. Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada
transmisi neuromuscular melalui 2 teknik :
a) Single-fiber Electromyography (SFEMG) : SFEMG mendeteksi
adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa
peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena
menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan
kecil untuk merekam serat otot penderita. Sehingga SFEMG
dapat mendeteksi suatu titer(variabilitas pada interval
interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor
unit yang sama) dan suatufiber density (jumlah potensial aksi
dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).
b) Repetitive Nerve Stimulation (RNS) : Pada penderita miastenia
gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga
pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi.
7. Computed Tomography Scan (CT Scan) atau Magnetic
Resonance Imaging (MRI)
Digunakan untuk mengidentifikasi kelenjar thymus yang tidak
normal atau keberadaan dari thymoma.
8. Pulmory Function Test (Test Fungsi Paru-Paru)
Test mengukur kekuatan pernafasan untuk memprediksikan apakah
pernafasan akan gagal dan membawa kepada krisis Myasthenia.

G. PENATALAKSANAAN MYASTHENIA GRAVIS


Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi
imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada myasthenia
gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada myasthenia gravis
yang ringan. Sedangkan pada pasien dengan myasthenia gravis
generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin.
Penatalaksanaan myastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-
obatan, timomektomi ataupun dengan imunomodulasi dan
imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis yang baik
pada kesembuhan miastenia gravis. Terapi pemberian antibiotik yang
dikombainasikan dengan imunosupresif dan imunomodulasi yang
ditunjang dengan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya
mortalitas dan menurunkan morbiditas (Putra, 2021).
1. Plasma Exchange (PE)
Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara
efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi.
Dimana pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan
intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat
diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE. Terapi ini
digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang
mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien
yang akan menjalani timektomi atau pasien yang kesulitan
menjalani periode pasca operasi. Albumin (5%) dengan larutan
salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat
digunakan untuk replacement (Yusup, 2019).
2. Intravena Immunoglobulin (IVIG)
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi
IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi
dari titer antibodi tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena
pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer
antibodi. Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah
complement-activating aggregates yang relatif aman untuk
diberikan secara intravena. Dosis standar IVIG adalah 400
mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari
selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis
berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai
sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus.
3. Intravena Metilprednisolone(IVMp)
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila
tidak ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari
kemudian. Jika respon masih juga tidak ada, maka pemberian
dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunj
ukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2
pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek
maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi.
Penggunaan IVMp pada keadaan krisis akan dipertimbangkan
apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan.
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan
paling murah untuk pengobatan miastenia gravis. Kortikosteroid
memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek
terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum
diketahui. Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan
mengalami penurunan dari titer antibodinya. Karena
kortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T
helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel T serta antigen-
presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang
menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di tempat
kelainan imun pada miastenia gravis. Kortikosteroid
diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat
menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.
Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari
kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya.
5. Azathioprine
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis
yang secara relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid
dengan dosis tinggi. Azathioprine diberikan secara oral dengan
dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal
sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimal tercapai.
6. Cyclosporine
Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan
azathioprine. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5
mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis. Cyclosporine
berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-
helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek
pada produksi antibodi. Cyclosporine dapat menimbulkan efek
samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
7. Cyclophosphamide (CPM)
Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi
antibodi dibandingkan obat lainnya. CPM adalah suatu alkilating
agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan secara tidak
langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin.
8. Timektomi (Surgical Care)
Telah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara
kelenjar timus dengan kejadian miastenia gravis. Germinal center
hiperplasia timus dianggap sebagai penyebab yang mungkin
bertanggungjawab terhadap kejadian miastenia gravis. Banyak
ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa timektomi
memiliki peranan yang penting untuk terapi miastenia gravis.
Tujuan utama dari timektomi ini adalah tercapainya perbaikan
signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang
harus dikonsumsi pasien

H. KOMPLIKASI MYASTHENIA GRAVIS


Ada dua komplikasi utama yang biasa menyertai penyakit
Myasthenia Gravis adalah Myasthenic Crisis dan Cholinergic Crisis.
1. Myasthenic Crisis
Pasien dengan Myasthenia Gravis sedang ataupun berat, keduanya
memiliki kelainan/kesulitan untuk menelan dan bernapas,
seringkali mengalami penurunan kondisi. Ini biasanya dipicu oleh
infeksi penyerta atau penarikan tiba-tiba obat antikolinesterasi,
tetapi mungkin terjadi secara spontan. Jika peningkatan dosis dari
obat antikolinesterase tidak dapat meningkatkan kelemahan,
intubasi endotrachial dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan.
Dalam banyak kasus, respon obat kembali dalam 24 hingga 48 jam,
dan penyapihan dari respirator dapat dilanjutkan di kemudian
waktu.
2. Cholinergic Crisis
Krisis kolinergik terjadi sebagai hasil dari pemberian obat yang
lebih. Efek muskarinik dari tingkat racun olehkarena obat
antikolinesterase menyebabkan kram perut, diare, dan sekresi paru
berlebihan. Efek nikotinik paradoksikal memperburuk kelemahan
dan dapat menyebabkan kejang bronkial. Jika status pernapasan
terganggu, klien mungkin perlu intubasi dan ventilasi mekanik.

II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Identitas Klien
Nama, alamat, umur, jenis kelamin, pendidikan, No.RM
2. Keluhan Utama
Hal yang sering menyebabkan klien miastenia meminta
bantuan medis adalah kondisi penurunan atau kelemahan otot-otot,
dengan manifestasi: diplopia (pengelihatan ganda), ptosis (jatuhnya
kelopak mata) merupakan keluhan utama dari 90% klien miastenia
gravis, disfonia (gangguan suara), masalah menelan, dan
mengunyah makanan. Pada kondisi berat keluhan utama biasanya
adalah ketidakmampuan menutup rahang, ketidakmampuan batuk
efektif dan dispnea.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Miestania gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring,
dan faring. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui
hidung jika klien mencoba menelan (otot-otot palatum);
menimbulkan suara abnormal atau suara nasal; dan klien tidak
mampu menutup mulut yang disebut sebagai tanda rahang
menggantung.Terserangnya otot – otot pernapasan terlihat dari
adanya batuk yang lemah, akhirnya dapat berupa serangan dispnea
dan klien tidak mampu lagi membersihkan lender dari trakea dan
cabang-cabangnya. Pada kasus lanjut, gelang bahu dan panggul
dapat terserang pula; dapat pula terjasi semua kelemahan otot-otot
rangka.Biasanya gejala-gejala miestania gravis dapat diredakan
dengan beristirahat dan dengan memberikan obat antikolinesterase.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit yang
memperberat kondisi miaestania gravis, seperti hiprertensi dan
diabetes mellitus.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Kaji kemungkinan dari generasi terdahulu yang mempunyai
persamaan dengan keluhan klien saat ini.
6. Pengkajian Psikososiokultural
Klien miestania gravis sering mengalami gangguan emosi
pada kebanyakan klien kelemahan otot jika mereka berada dalam
keadaan tegang. Adanya kelemahan pada kelopak mata ptosis,
diplopia, dan kerusakan dalam komunikasi verbal menyebabkan
klien sering mengalami gangguan citra diri.
7. Pemeriksaan Fisik
a) B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan
batuk efektif, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot
bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering
didapatkan pada klien yang disertai adanya kelemahan otot-
otot pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti
ronkhi atau stridor pada klien, menunjukkan adanya akumulasi
secret pada jalan napas dan penurunan kemampuan otot-otot
pernapasan.
b) B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan
untuk memantau perkembangan dari status kardiovaskular,
terutama denyut nadi dan tekanan darah yang secara progresif
akan berubah sesuai dengan kondisi tidak membaiknya status
pernapasan.
c) B3 (Brain)
1) Pengkajian Saraf Kranial
- Saraf I. Biasanya pada klien tidak ada kelainan,
terutama fungsi penciuman
- Saraf II. Penurunan pada tes ketajaman penglihatan,
klien sering mengeluh adanya penglihatan ganda.
- Saraf III,IV dan VI. Sering didapatkan adanya ptosis
.Adanya oftal moplegia, mimic dari pseudointer
nuklear oftal moplegia akibat gangguan motorik pada
nervus VI.
- Saraf V. Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah
akibat kelumpuhan pada otot-otot wajah.
- Saraf VII. Persepsi pengecapan terganggu akibat
adanya gangguan motorik lidah
- Saraf IX dan X. Ketidakmampuan dalam menelan.
- Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sterno
kleidomastoideus dan trapezius.
- Saraf XII. Lidah tidak simetris, adanya deviasi pada
satu sisi akibat kelemahan otot motorikpada lidah.
2) Pengkajian Sistem Motorik
Karakteristik utama miestania gravis adalah kelemahan
dari system motorik.Adanya kelemahan umum pada oto-
otot rangka memberikan manifestasi pada hambatan
mobolitas dan intoleransi aktivitas.
3) Pengkajian Refleks
Pemeriksaan reflex profunda, pengetukan pada tendon,
ligamentum atau periosteum derajat reflex pada respons
normal.
4) Pengkajian Sistem Sensorik
Pemeriksaan sensorik pada penyakit ini biasanya
didapatkan sensasi raba dan suhu normal, tidak ada
perasaan abnormal di permukaan tubuh.
d) B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada system perkemihan biasanya menunjukkan
berkurangnya volume pengeluaran urin, yang berhubungan
dengan penurunan perfuusi dan penurunan curah jantung ke
ginjal.
e) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah akibat peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien miestania gravis
menurun karena ketidakmampuan menelan makanan sekunder
dari kelemahan otot-otot menelan.
f) B6 (Bone)
Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan
pada mobilitas dan mengganggu aktivitas perawatan diri
8. Pemeriksaan Penunjang
9. Terapi

B. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas
(kelemahan otot pernafasan) ditandai dengan pola nafas abnormal
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan ditandai
dengan merasa tidak nyaman setelah beraktivitas
3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan
neuromuskuler ditandai dengan disartria
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh
ditandai dengan mengungkapkan perubahan gaya hidup
5. Resiko cedera berhubungan dengan disfungsi autoimun.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN

Diagnosa
No SLKI SIKI
Keperawatan
1 Pola napas tidak Setelah dilakukan asuhan Manajemen jalan nafas ( 010111)
Efektif berhubungan keperawatan selama 3x24 jam, O:
dengan hambatan diharapkan pola nafas klien membaik - Monitor pola nafas
upaya nafas dengan criteria hasil : - Monitor bunyi nafas
(kelemahan otot - Tekanan ekspirasi meningkat T:
pernafasan) ditandai dengan skala 4/5 - Posisikan semifowler/fowler
dengan pola nafas - Tekanan inspirasi meningkat - Berikan oksigen
abnormal dengan skala 4/5 E:
- Dispnea menurun dengan - Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak
skala 4/5 kontraindikasi
- Frekuensi nafas 4/5 K:
- Kolaborasi pemberian bronkodilator
2 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan asuhan Manajemen Energi
Berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam, O:
kelemahan ditandai diharapkan toleransi aktivitas - Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
dengan merasa tidak meningkat dengan criteria hasil : mengakibatkan kelelahan
nyaman setelah - Kemudahan dalam melakukan - Monitor kelelahan fisik dan emosional
beraktivitas aktivitas sehari- hari 4/5 T:
- Keluhan lelah menurun dengan - Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
skal 4/5 - Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak
- Dispnea setelah aktivitas dapat berpindah atau berjalan
menurun dengan skala 4/5 E:
- Perasaaan lemah menurun - Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
dengan skala 4/5 - Ajarkan strategi koping untuk mengurangi
- Frekuensi nafas membaik kelelahan
dengan skala 4/5 K:
-
Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
mengontrol asupan makanan
3 Gangguan komunikasi Setelah dilakukan asuhan Promosi komunikasi devisit bicara
verbal berhubungan keperawatan selama 3x 24jam, (13492)
dengan gangguan diharapkan komunikasi verbal klien O:
neuromuskuler meningkat dengan criteria hasil : - Monitor kecepatan, tekanan, kuantitas, volume
ditandai dengan - Aktivitas yang tepat meningkat dan diksi bicara
disartria dengan skala 4/5 - Identifikasi perilaku emosional dan fisik
sebagai bentuk komunikasi
- Strategi untuk
T:
menyeimbangkan aktivitas dan
- Sesuaikan gaya komunikasi dengan kebutuhan
istirahat meningkat dengan (missal berdiri didepan pasien, bicaralah dengan
skala 4/5 perlahan sambil menghindari teriakan,
- Teknik menyederhanakan dengarkan dengar seksama)
pekerjaan meningkat dengan - Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan
skala 4/5 bantuan
- Pembatasan aktivitas menurun - Berikan dukungan psikologis
E:
dengan skala 4/5
- Anjurkan berbicara perlahan
- Factor-faktor yang
meningkatkan
- pengeluaran energy menurunn
dengan skala 4/5
4 Gangguan citra tubuh Setelah dilakukan asuhan Manajemen gangguan makan (03111)
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24jam, O:
perubahan fungsi diharapkan berat badan membaik - Monitor asupan dan keluarnya makanan dan
tubuh ditandai dengan dengan kriteria hasil: cairan serta kebutuhan kalori
mengungkapkan - Berat badan membaik dengan T:
perubahan gaya hidup skala 4/5 - Timbang berat badan secara rutin
- Indeks massa tubuh membaik - Rencanakan program pengobatan untuk
dengan skala 4/5 perawatan dirumah ( missal medis, konseling )
- Tebal lipatan kulit membaik - Diskusikan perilaku makan dan jumlah aktivitas
dengan skala 4/5
fisik yang sesuai
- Lakukan kontrak perilaku ( missal target berat
badan, tanggung jawab perilaku)
E:
- Ajarkan pengaturan diet yang tepat
- Ajarkan keterampilan koping untuk penyelesaian
masalah perilaku makan
K:
- Kolaborasi dengan ahli gizi tentang target berat
badan dan kebutuhan kalori serta pilihan
makanan
5 Resiko cedera Setelah dilakukan asuhan Pencegahan cedera
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam, O:
disfungsi autoimun diharapkan resiko cidera meningkat - Identifikasi area lingkungan yang menyebabkab cedera
dengan criteria hasil : T:
- Kelemahan fisik meningkat - Sosialisasikan pasien dan keluarga dengan
dengan skala 4/5 lingkungan ruang rawat (missal penggunaan
- Kemudahan akses kamar tempat tidur, penerangan ruangan, telephone, dan
mandi meningkat dengan skala lokasi kamar mandi)
4/5 - Sediakan pispot atau urinal untuk eleminasi dan
- Ketersediaan perangkat bantu tempat tidur, jika perlu
meningkat dengan skala 4/5 - Pastikan barang-barang pribadi mudah dijangkau
- Diskusikan mengenai alat bantu mobalitas yang
sesuai (misal tongkat atau alat bantu jalan
- Diskusikan bersama anggota keluarga yang dapat
mendampingi pasien
E:
Jelaskan intervensi pencegahan jatuh ke pasien
dan keluarga
D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang
telah disusun pada tahap perencanaan (intervensi). Proses pelaksanaan
implementasi harus berpusat kepada kebutuhan klien, faktor-faktor
lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi
implementasi keperawatan dan kegiatan komunikasi. Tujuan
implementasi adalah melaksanakan hasil dari rencana keperawatan
untuk selanjutnya di evaluasi untuk mengetahui kondisi kesehatan
pasien dalam periode yang singkat, mempertahankan daya tahan
tubuh, mencegah komplikasi, dan menemukan perubahan sistem
tubuh.

E. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi sebagai sesuatu yang direncanakan dan perbandingan
yang sistematik pada status kesehatan klien. Evaluasi adalah proses
penilaian, pencapaian, tujuan serta pengkajian ulang rencana
keperawatan. Evaluasi keperawata meliputi data subjek, data objek,
assesmment, dan planing
DAFTAR PUSTAKA

Kamarudin .S, (2019). Miastenia Gravis. Jurnal Kesehatan Anak. 1(1), 63-71

Listia, M., Kalay, M., Kurnia, D., Pahria, T., Harun, H., Herliani, Y. K., &
Fitriana, E. (2020). Studi Kasus: Status Pernafasan Pada Pasien Myasthenia
Gravis di Ruang Azalea RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Perawat
Indonesia, 4(1), 272-284.

Nurfaizah, F. Z. (2021). Miastenia Gravis Okular Juvenil: Laporan Kasus. Jurnal


Ilmu Medis Indonesia, 1(1), 39-52.

Putra, D. A. H., & Mahfuzzahroni, M. (2021). Manajemen Perawatan


Neurointensif pada Miastenia Gravis. Jurnal Fusion, 1(12), 1002-1010.

Salsabila, K., Mutiara, H., & Hanriko, R. (2023). Miastenia Gravis: Etiologi,
Patofisiologi, Manifestasi Klinis, Penegakkan Diagnosis dan
Tatalaksana. Medical Profession Journal of Lampung, 13(1), 115-122.

Soeroso, D. A., & Kurniawan, S. N. (2023). PATOFISIOLOGI MIASTENIA


GRAVIS. Journal of Pain, Headache and Vertigo, 4(2), 51-55.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Yusup, I. M. (2019). Plasma Exchange (PE) sebagai Pilihan Pertama Terapi pada
Krisis Myasthenia dengan Hemodinamik Stabil. Majalah Anestesia &
Critical Care, 37(1), 13-21.

Anda mungkin juga menyukai