PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Myasthenia Gravis (MG) adalah salah satu bentuk dari penyakit autoimun yang
masih jarang terjadi dan tidak bisa disembuhkan. Penyakit ini memiliki jumlah kejadian
1/20.000 pada populasi umum (Kulaksizoglu, 2007). Istilah Myasthenia Gravis berasal
dari bahasa latin yaitu myasthenia yang berarti kelemahan otot, dan gravis yang berarti
berat atau serius. Ini adalah suatu penyakit autoimun dimana tubuh secara salah
memproduksi antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) sehingga jumlah AchR di
neuromuscular juction berkurang. 1-3 adalah orang yang pertama kali menggunakan
istilah Miastenia gravis dan ia juga mengusulkan pemakaian fisostigmin sebagai obatnya
namun hal ini tidak berlanjut. Penyakit Myasthenia Gravis memiliki gejala ptosis
(menurunnya kelopak mata), binocular diplopia (penglihatan ganda), dysathria (penderita
mengalami sulit berbicara/celat), dysphagia (sulit menelan), kelemahan pada tangan dan
kaki, kesulitan mengunyah permen karet atau daging yang keras, serta kesulitan dalam
mengekspresikan wajah dan tersenyum (Juel,Vern C & Massey, Janice M, 2007).
Timbulnya gejala-gejala ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti infeksi, sakit
fisik, stress, suhu panas atau dingin, dan penggunaan obat tertentu. Beberapa situasi juga
dapat memicu timbulnya gejala Myasthenia Gravis yaitu kehilangan orang terdekat,
tekanan dari keluarga dan perceraian. Kondisi-kondisi ini menyebabkan timbulnya
permasalahan pada penderita (Kohler, 2007 dalam Arpandy & Halim, 2013).
Penurunan jumlah hasil AChR dalam pola karakteristik kekuatan otot semakin
berkurang dengan penggunaan berulang dan pemulihan kekuatan otot setelah masa
istirahat. Otot yang sering terkena ada otot pengontrol mata dan gerakan bola mata, otot
ekspresi wajah, otot untuk berbicara dan otot penelan tetapi tidak selalu ada. Otot
anggota gerak dan otot pernafasan juga bisa terkena. Miastenia gravis juga dapat terjadi
pada semua umur dan ras. Puncak kejadian pada wanita terjadi pada umur 20-30 tahun,
sedangkan pada laki-laki dapat terjadi pada umur 60 tahun. Namun, penyakit ini juga
dapat terjadi pada semua umur. Pada beberapa kasus, beberapa bayi dari ibu dengan
Miastenia gravis dapat memperoleh antibodi anti AchR saat lahir, dapat menderita
Miastenia neonatus sementara dan dapat menghilang beberapa minggu setelah lahir.
1
mempunyai hubungan yang erat. Pada 80 % penderita Miastenia didapati glandula timus
yang abnormal. Kira-kira 10 % dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada
penderita-penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa glandula
timus tanpa perubahan di jaringan linfositer lainnya.
Di Indonesia terdapat perkumpulan penderita Myasthenia Gravis. Menurut ketua
pada media sosail yang ada (Komunitas Autoimun, 2013). Salah satu permasalahan yang
dialami oleh penderita Myasthenia Gravis dalam penelitian mengenai Quality of life and
life circumstances in German Mysthenia Gravis Patients, 30% dari pasien yang ia teliti
memiliki kondisi bekerja kurang ideal. Kondisi ini terjadi terutama karena kerusakan
fisik sehingga menyebabkan tujuan pekerjaan tidak dapat tercapai. Dalam penelitian
yang dilakukan Kohler (2007), beberapa pasien yang menderita Myasthenia Gravis
mengalami kesulitan dalam aktivitas sekolah atau bekerja serta masalah dalam
menghadapi kehidupan sehari-hari mereka. Gejala dan permasalahan yang dialami dalam
kehidupan penderita Myasthenia Gravis ini menyebabkan dampak psikologis pada
penderitanya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh dr. Yudith Rachmadiah (2012)
dalam Arpandy&Halim (2013) diketahui sebagian besar penderita Myasthenia Gravis
memiliki masalah dalam melakukan aktivitas sehari-hari karena kemampuan otot yang
terbatas, seperti berjalan jauh, menaiki tangga, mengangkat barang, berolahraga,
memasak dan lainnya. Masalah-masalah tersebut memunculkan banyak tekanan bagi
penderita Myasthenia Gravis. Kondisi fisik tersebut memunculkan pandangan yang
keliru dari orang lain terhdap penderita Myasthenia Gravis dan menyebabkan dampak
psikologis pada penderita.
2
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Adapun tujuan dari rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian Myastenia Gravis
2. Untuk mengetahui etiologi dari Myastenia Gravis
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Myastenia Gravis
4. Untuk mengetahui patofisiologi dari Myastenia Gravis
5. Untuk mengetahui klasifikasi dari Myastenia Gravis
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari Myastenia Gravis
7. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari Myastenia Gravis
8. Untuk mengetahui komplikasi dari Myastenia Gravis
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Myasthenia gravis atau selanjutnya disingkat MG merupakan suatu penyakit
autoimun dari neuromuscular junction (NMJ) yang disebabkan oleh antibodi yang
menyerang komponen dari membran postsinaptik, mengganggu transmisi
neuromuskular, dan menyebabkan kelemahan dan kelelahan otot rangka (Choirunnisa,
Zanariah, Saputra, & Karyanto, 2016).
Miastenia gravis merupakan penyakit autoimun paut saraf otot yang didapat.
Penyakit ini memiliki karakteristik, yaitu kelemahan dan kelelahan otot skelet.
Manifestasi klinis berupa kelemahan berfluktuasi dan bervariasi yang mengenai otot
okuler, anggota gerak, pernapasan, dan bulbar (Harkitasari, 2015).
Miastenia gravis merupakan suatu penyakit autoimun yang mempengaruhi
transmisi neuromuskuler sehingga menyebabkan kelemahan otot secara lokal maupun
luas. Penyebabnya adalah karena autoantibodi yang bekerja berlawanan dengan reseptor
asetilkolin pada postsynaptic motor end-plate (Amalia, Rizqi Nur. 2016).
B. Etiologi
1. Penuaan (sarkopenia)
2. Autoimun
Pada miastenia gravis, sistem kekebalan membentuk antibodi yang menyerang
reseptor yang terdapat di sisi otot dari neuromuscular junction. Reseptor yang dirusak
terutama adalah reseptror yang menerima sinyal saraf dengan bantuan asetilkolin
(bahan kimia yang mengantarkan impuls saraf melalui junction atau disebut juga
neurotransmiter). Apa yang menjadi penyebab tubuh menyerang asetilkolinnya
sendiri, tidak diketahui.
3. Genetik
Pada kelainan kekebalan tampaknya memegang peran yang penting. Antibodi
ini ikut dalam sirkulasi darah dan seorang ibu hamil yang menderita miastenia gravis
bisa melalui plasenta dan sampai ke janin yang dikandungnya. Pemindahan antibodi
ini bisa menyebabkan miastenia neonatus, dimana bayi memiliki kelemahan otot
4
yang akan menghilang beberapa hari sampai beberapa minggu setelah dilahirkan.
Gangguan tersebut kemungkinan dipicu oleh :
a. Infeksi
b. Operasi, atau penggunaan obat-obatan tertentu, seperti nifedipine atau
verapamil (digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi), quinine
C. Manifestasi Klinik
Adapun manifestasi klinik dari mestiana gravis (Rosyid, 2010) adalah sebagai berikut:
1. Gangguan otot-otot okular
Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang
menimbulkan kelopak mata turun (ptosis) dan diplopia (penglihatan ganda) ini
karena otot mata lemah. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau bilateral. Setelah
beberapa minggu sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralysis
ocular). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore atau
malam. Pada pagi hari orang sakit tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun. Tetapi
lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh
dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak terbebas dari kesulitan penglihatan. Gejala
ini biasanya intermitten, dan dapat hilang untuk beberapa minggu kemudian terjadi
kembali.
2. Kelumpuhan otot okular kedua belah sisi
Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral atau bilateral, salah satu
otot okular paretik, paresis N III interna (reaksi pupil). Diagnosis dapat ditegakkan
dengan memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun otot
levator palpebra jelas lumpuh pada miastenia gravis, namun adakalanya masih bisa
bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi
akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot
5
mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan
kematian.
3. Kesulitan berbicara (dysarthria) & kesulitan menelan (dsyphagia)
Miastenia gravis menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada
pemeriksaan dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral, kelemahan otot
otot-otot interkostal. Atrofi otot ringan dapat ditemukan pada permulaan, tetapi
selanjutnya tidak lebih memburuk lagi.
5. Kelemahan diafragma dan otot-otot interkosal progressif menyebabkan gawat
napas.
Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan
akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu lagi membersihkan
lendir. gejala berat berupa melemahnya otot pernapasan (respiratory paralysis), yang
biasanya menyerang bayi yang baru lahir. Kelemahan menyeluruh biasanya bermula
pada batang tubuh, lengan, tungkai dalam satu tahun pertama onset.
6
b. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan
infeksi yang disertai diare dan demam
c. Gangguan emosi, kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka
berada dalam keadaan tegang
d. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin untuk
D. Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi
miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya
kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya
autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain. Pada
miastenia grafis, defek yang mendasar adalah pengurangan dalam jumlah reseptor asetil
kolin yang tersedia pada membrane otot pasca sinaps. Perubahan ini menyebabkan
jumlah AchR yang tersedia pada persambungan neuromuscular oleh tiga mekanisme
yang berbeda :
1. Reseptor asetilkolin dapat diturunkan derajatnya pada kecepatan yang dipercepat
oleh mekanisme yang melibatkan cross linking dan endositosis reseptor yang cepat.
2. Tempat aktif achr yakni tempat yang secara normal mengikat ach,dapat diblok oleh
antibody
3. Membrane otot pasca sinaps dapat dirusak oleh antibody dalam kerjasama dengan
system komplemen.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi
yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T
pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ
7
sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti
hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala
miastenik. Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai
subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik
utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan
Pathway :
Kerusakan pada transisi impuls saraf menuju sel-sel otot karena kehilangan kemampuan atau
hilangnya reseptor normal
Myastenia Gravis
Ketidakefektifan
Ptosis & Hambatan pola nafas
diplopial fisik
Hambatan
komunikasi
Penumpukan secret
verbal
Gangguan Intoleransi
citra tubuh aktifitas
Ketidakefektifan bersihan jalan
nafas
8
E. Klasifikasi
Klasifikasi klinis menurut Osserman miastenia gravis dapat dibagi menjadi :
1. Kelompok I : Miastenia okular
Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan,
tidak ada kasus kematian
kurang memuaskan dan aktifitas pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.
4. Kelompok III : Miastenia berat akut
Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat
disertai mulai terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang
maksimal dalam waktu 6 bulan. Respons terhadap obat buruk. Insiden krisis
miastenik, kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian
tinggi.
5. Kelompok IV : Miastenia berat lanjut
Miastenia gravis berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan
9
2. Miastenia anak-anak (juvenile myastenia)
Jenis ini mempunyai karakteristik yang sama dengan miastenia gravis pada
dewasa.
3. Miastenia kongenital
Biasanya muncul pada saat tidak lama setelah bayi lahir. Tidak ada kelainan
imunologik dan antibodi antireseptor asetilkolin tidak ditemukan. Jenis ini biasanya
tidak progresif.
4. Miastenia familial
Sebenarnya, jenis ini merupakan kategori diagnostik yang tidak jelas. Biasa
terjadi pada miastenia kongenital dan jarang terjadi pada miastenia gravis dewasa.
5. Sindrom miastenik (Eaton-Lambert Syndrome)
Jenis ini merupakan gangguan presinaptik yang dicirikan oleh terganggunya
pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf. Sering kali berkaitan dengan karsinoma
bronkus (small-cell carsinoma). Gambaran kliniknya berbeda dengan miastenia
10
makanan dalam kaleng yang tidak disterilisasi secara sempurna. Mula-mula timbul
mual dan muntah, 12-36 jam sesudah terkena toksin. Kemudian muncul pandangan
kabur, disfagia, dan disartri. Pupil dapat dilatasi maksimal. Kelemahan 8 terjadi pola
desendens selama 4-5 hari, kemudian mencapai tahap stabil (plateau). Paralisis otot
pernapasan dapat terjadi begitu cepat dan bersifat fatal. Pada kasus yang berat
biasanya terjadi kelemahan otot ocular dan lidah. Sebagian besar penderita
mengalami disfungsi otonom (mulut kering, konstipasi, retensi urin).
F. Penatalaksanaan
Menurut Corwin (2009), penatalaksanaan pada pasien dengan myastenia gravis adalah
sebagai berikut :
1. Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk menghemat kekuatan
11
2. Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida
15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi
kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin
metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral
setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin
0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase
sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat
dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan
semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis
golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh
stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan,
berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro
intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan
pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk
menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang
diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari krisis
kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling mudah menimbulkan efek
muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar pasien mengerti bagaimana
sesungguhnya efek smping tersebut.
3. Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis,
dan diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari
efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-
10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat
dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau
dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon
dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan
efek samping yang mungkin ada. Efek sampingnya dapat berupa: peningkatan berat
badan, hiperglikemia, osteopenia, ulkus gaster dan duodenum, katarak. Hal ini untuk
dapat segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat
kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-
12
lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif.
Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus dihindari.
4. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang
baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa
gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan
dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus
dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan
laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama
dengan azatioprin sangat dianjurkan.
5. Timektomi (pengangkatan timus melalui pembedahan)
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi
dan kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita
beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase
sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi
dengan fisioterapi dan antibiotik.
6. Plasmaferesis (dialisis darah dengan pengeluaran antibodi IgG)
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50
ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat.
Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat
bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas
bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu
hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik
G. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis dapat ditegakkkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik.
Penting sekali untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari miastenia gravis. Diagnosis
dapat dibantu dengan meminta pasien melakukan kegiatan berulang sampai timbul tanda-
13
tanda kelelahan. Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik sebagai
berikut menurut Dewanto, 2009:
1. Anamnesis
Adanya kelemahan/ kelumpuhan otot yang berulang setelah aktivitas dan
membaik setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata (dengan manifestasi:
diplopi atau ptosis), dapat disertai kelumpuhan anggota badan (terutama triceps dan
ekstensor jari-jari), kelemahan/kelumpuhan otot-otot yang dipersarafi oleh nervi
cranialis, dpat pula mengenai otot pernafasan yang menyebabkan penderita bisa
sesak.
2. Tes klinik sederhana
a. Tes watenberg/simpson test : memandang objek di atas bidang antara kedua
bola mata > 30 detik tanpa kedip suatu benda, lama-kelamaan akan terjadi ptosis
(tes positif).
b. Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara akan
lebih kurang 30% penderita miastenia gravis. Penderita yang dalam serumnya
tidak ada antibodi ini dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka
kemungkinan adanya timoma adalah sangat kecil.
c. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies
Hampir 50% penderita Miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-
AChR Ab negatif (Miastenia gravis seronegatif), menunjukkan hasil yang positif
untuk anti-MuSK Ab.
4. Tes tensilon (edrophonium chloride)
Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat
14
miastenia gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena,
maka disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada
perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangnya
ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi lebih lama, dan
meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih lama dari 5
menit. Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis banding antara
miastenia gravis yang sesungguhnya dengan sindrom miastenik. Penderita sindrom
miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan miastenia gravis, tetapi
penyebabnya ada kaitannya dengan proses patologis lain seperti diabetes, kelainan
tiroid, dan keganasan yang telah meluas. Usia timbulnya kedua penyakit ini
merupakan faktor pembeda yang penting. Penderita miastenia sejati biasanya muda,
sedangkan sindrom miastenik biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenia.
biasanya akan hilang kalau patologi yang mendasari berhasil diatasi. Tes ini dapat
dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG.
5. Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuro muscular melalui 2 teknik :
a. Single-fiber Electromyography (SFEMG)
SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber
berupa peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan
jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot
penderita, sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer (variabilitas pada
interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit
yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal
yang dapat direkam oleh jarum perekam).
b. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor
asetilkolin, sehingga pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi.
6. Gambaran Radiologi
Chest x-ray (foto rontgen thorak) dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior
dan lateral. Pada rontgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa
pada bagian anterior mediastinum. Hasil rontgen yang negatif belum tentu dapat
15
chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus Miastenia gravis,
terutama pada penderita dengan usia tua.
MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan
rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis Miastenia gravis tidak dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab
H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada miastenia gravis, yaitu krisis miastenik dan
krisis kolinergik. Krisis pada miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak
dapat menelan, membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-
alat. Ada dua jenis krisis yang terjadi sebagai komplikasi dari myastenia gravis (Corwin,
2009) yaitu:
1. Krisis miastenik
Krisis miastenik yaitu keadaan dimana dibutuhkan antikolinesterase yang
lebih banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat
secara cukup dan dapat dicetuskan oleh infeksi. Tindakan terhadap kasus demikian
adalah sebagai berikut:
16
2. Krisis kolinergik
Krisis kolinergik yaitu keadaan yang diakibatkan kelebihan obat-obat
antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah
minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi
remisi spontan. Golongan ini sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik
antara dosis yang terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons
mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial. Tindakan terhadap kasus
demikian adalah sebagai berikut:
a. Kontrol jalan napas
b. Penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat diberikan
atropine 1 mg intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika diberikan atropine,
pasien harus diawasi secara ketat, karena secret saluran napas dapat menjadi
kental sehingga sulit dihisap atau mungkin gumpalan lender dapat menyumbat
bronkus, menyebabkan atelektasis. Kemudian antikolinesterase dapat diberikan
Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5 mg
intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan sementara pada krisis
miastenik, tetapi tidak akan memberikan perbaikan atau bahkan memperberat
gejala-gejala krisis kolinergik.
17
menelan (otot- otot palatum), menimbulkan suara yang abnormal atau suara
nasal, dan klien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda
rahang menggantung. Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya
batuk yang lemah dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dank lien tidak
lagi mampu membersihkan lendir dari trachea dan cabang-cabangnya. Pada
kasus lanjut, gelang bahu dan panggul dapat terserang dan terjadi kelemahan
semua otot-otot rangka. Biasanya gejala-gejala miastenia gravis dapat diredakan
dengan beristirahat dan memberikan obat anti kolinesterase.
c. Riwayat penyakit dahulu
Kaji faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit yang memperberat
kondisi miastenia gravis seperti hipertensi dan diabetes militus.
d. Riwayat penyakit keluarga
Kaji kemungkinan dari generasi terdahulu yang mempunyai persamaan
dengan keluhan klien saat ini.
e. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Klien miastenia gravis sering mengalami gangguan emosi dan kelemahan
oto apabila mereka berada dalam keadaan tegang. Adanya kelemahan pada
kelopak mata (ptosis), diplopia, dan kerusakan dalam komunikasi verbal
menyebabkan klien sering mengalami gangguan citra diri.
f. Pemeriksaan fisik :
1) B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan batuk
efektif, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan
18
3) B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih
lengkap dibandingkan pengkajian pada system lainnya.
a) Tingkat kesadaran
Biasanya pada kondisi awal kesadaran klien masih baik.
b) Fungsi serebral
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya,
nilai gaya bicara dan observasi ekspresi wajah, aktivitas motorik yang
mengalami perubahan seperti adanya gangguan perilaku, alam
perasaan, dan persepsi.
c) Pengkajian saraf kranial
(1) Saraf I (olfaktorius)
Biasanya pada klien tidak ada kelainan, terutama fungsi penciuman
(2) Saraf II (optikus)
19
(9) Saraf XII (hipoglosus)
Lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu sisi akibat
kelemahan otot motorik pada lidah / triple-furrowed lidah.
d) Pengkajian sistem motorik
Karakteristik utama miestania gravis adalah kelemahan dari system
4) B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada system perkemihan biasanya menunjukkan
berkurangnya volume pengeluaran urin, yang berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
5) B5(Bowel)
Mual sampai muntah akibat peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutrisi pada klien miestania gravis menurun karena
ketidakmampuan menelan makanan sekunder dari kelemahan otot-otot
menelan.
6) B6 (Bone)
Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan pada
mobilitas dan mengganggu aktivitas perawatan diri (Arif Muttaqin, 2008).
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan secret
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
d. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan sistem fisiologis
muskuloskeletal lemah
e. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit (ptosis dan diplopia)
20
3. Intervensi
No Diagnosa NOC NIC
1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan Airway Management
pola nafas keperawatan ..x24 jam diharapkan 1. Buka jalan nafas, guanakan
berhubungan pola nafas pasien kembali efektif teknik chin lift atau jaw thrust
dengan Respiratory status : Airway bila perlu
kelemahan otot patency 2. Posisikan pasien untuk
pernafasan Kriteria Hasil : memaksimalkan ventilasi
a. Mampu bernafas dengan 3. Identifikasi pasien perlunya
mudah pemasangan alat jalan nafas
b. Menunjukkan jalan nafas yang buatan
paten (klien tidak merasa 4. Lakukan fisioterapi dada jika
tercekik, irama nafas, frekuensi perlu
pernafasan dalam rentang 5. Auskultasi suara nafas, catat
normal, tidak ada suara nafas adanya suara tambahan
abnormal) 6. Berikan bronkodilator bila perlu
c. Tanda-tanda vital dalam 7. Atur intake untuk cairan
rentang normal (tekanan darah, mengoptimalkan keseimbangan.
nadi, pernafasan) 8. Monitor respirasi dan status O2
Oxygen Therapy
1. Pertahankan jalan nafas yang
paten
2. eralatan oksigenasi
Atur
3. Monitor aliran oksigen
4. Pertahankan posisi pasien
5. Observasi adanya tanda tanda
hipoventilasi
6. Monitor adanya kecemasan
pasien terhadap oksigenasi
21
Airway Management
1. Buka jalan nafas, guanakan
teknik chin lift atau jaw thrust
bila perlu
2. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
3. Identifikasi pasien perlunya
pemasangan alat jalan nafas
buatan
4. Lakukan fisioterapi dada jika
perlu
5. Keluarkan sekret dengan batuk
atau suction
6. Auskultasi suara nafas, catat
adanya suara tambahan
7. Berikan bronkodilator bila perlu
8. Monitor respirasi dan status O2
3 Intoleransi Setelah dilakukan tindakan Activity Therapy
aktivitas keperawatan ..x24 jam diharapkan 1. Kolaborasikan dengan tenaga
berhubungan pasien dapat melakukan aktivitas rehabilitasi medik dalam
dengan Activity tolerance merencanakan program terapi
kelemahan fisik a. Mampu melakukan aktivitas yang tepat
sehari-hari (ADLs) secara 2. Bantu klien untuk
mandiri mengidentifikasi aktivitas yang
b. Tanda-tanda vital normal mampu dilakukan
c. Mampu berpindah: dengan 3. Bantu untuk mendapatkan alat
atau tanpa bantuan alat bantuan aktivitas seperti kursi
roda, krek
4. Bantu untuk mengidentifikasi
aktivitas yang disukai
5. Bantu klien untuk membuat
jadwal latihan diwaktu luang
6. Monitor respon fisik, emosi,
social dan spiritual
4 Hambatan Setelah dilakukan tindakan Communication Enhancement :
komunikasi keperawatan ..x24 jam diharapkan Speech Deficit
verbal pasien dapat tidak ada hambatan 1. Gunakan penerjemah , jika
berhubungan komunikasi verbal diperlukan
dengan Anxiety self control 2. Beri satu kalimat simple setiap
gangguan sistem a. Komunikasi: penerimaan, bertemu, jika diperlukan
fisiologis intrepretasi dan ekspresi pesan 3. Konsultasikan dengan dokter
muskuloskeletal lisan, tulisan, dan non verbal kebutuhan terapi bicara
lemah meningkat 4. Dorong pasien untuk
b. Komunikasi ekspresif berkomunikasi secara perlahan
(kesulitan berbicara) : ekspresi dan untuk mengulangi
pesan verbal dan atau non permintaan
verbal yang bermakna 5. Dengarkan dengan penuh
c. Komunikasi reseptif (kesutitan perhatian
mendengar) : penerimaan 6. Gunakan kartu baca, kertas,
komunikasi dan intrepretasi pensil, bahasa tubuh, gambar,
pesan verbal dan/atau non untuk memfasilitasi komunikasi
verbal dua arah yang optimal
d. mampu mengkoordinasi 7. Berikan pujian positive jika
gerakan dalam menggunakan diperlukan
22
isyarat 8. Anjurkan pada pertemuan
e. mampu untuk memperoleh, kelompok
mengatur, dan menggunakan 9. Anjurkan kunjungan keluarga
informasi secara teratur untuk memberi
f. Mampu mengkomunikasikan stimulus komunikasi
kebutuhan dengan lingkungan 10. Anjurkan ekspresi diri dengan
sosial cara lain dalam menyampaikan
informasi (bahasa isyarat)
5 Gangguan citra Setelah dilakukan tindakan Body image enhancement
tubuh keperawatan ..x24 jam diharapkan 1. Kaji secara verbal dan non verbal
berhubungan pasien dapat tidak ada gangguan respon klien terhadap tubuhnya
dengan penyakit citra tubuh 2. Monitor frekuensi mengkritik
(ptosis dan Body image dirinya
diplopia) a. Body image positif 3. Jelaskan tentang pengobatan,
b. Mampu mengidentifikasi perawatan, kemajuan dan
kekuatan personal prognosis penyakit
c. Mendiskripsikan secara 4. Dorong klien mengungkapkan
faktual perubahan fungsi perasaannya
tubuh 5. Identifikasi arti pengurangan
d. Mempertahankan interaksi melalui pemakaian alat bantu
sosial 6. Fasilitasi kontak dengan individu
lain dalam kelompok kecil
J. Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas
a. Biodata pasien
Nama : Tn. Y
Umur : 50 tahun
Jenis kelamin : Laki- Laki
Status perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani
No. Registrasi 01010110
Diagnosa medis : Myastenia Gravis Sedang
Tanggal MRS : 1 Juli 2018
Tanggal Pengkajian : 2 Juli 2018
Alamat : Ds. A, Kec. K, Kab. J
23
b. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Ny. N
Umur : 40 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan : SD
ptosis +/+.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pasien mengatakan sebelumnya sudah pernah di rawat di rumah sakit
dengan keluhan yang sama.
d. Riwayat penyakit keluarga
Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang menderita gejala
penyakit yang sama dengan pasien dan tidak ada riwayat penyakit menurun
seperti hipertensi, diabetes, stroke.
24
3. Pengkajian Pola Fungsional
a. Pemeliharaan kesehatan
Pasien mengatakan bahwa dia sedang mengalami sakit kelemahan otot.
Pasien mengatakan jika sakit jarang pergi ke Puskesmas. Dalam keluarga
pasien, sehat berarti mampu melakukan kegiatan sehari-hari tanpa gangguan.
Keluarga sangat berharap bahwa penyakit yang diderita pasien akan segera
membaik dan pasien segera pulang.
b. Nutrisi – pola metabolik
Sebelum : Makan : Pasien mengatakan pasien makan 2x/hari dengan
sakit nasi dan lauk pauk dengan setengah piring.
c. Pola eliminasi
Pola defekasi
Sebelum sakit : Pasien mengatakan pasien BAB 1x/hari dengan
konsistensi lunak dan warna khas.
25
e. Aktifitas-pola latihan
Sebelum sakit : Pasien mengatakan bahwa sebelum sakit pasien melakukan
semua aktivitas secara mandiri baik makan atau minum,
mandi, toileting, berpakaian. mobilitas, berpindah dan
ambulasi.
Keterangan :
0 = mandiri
1= dengan alat
2 = dibantu orang lain
3 = di bantu orang lain dan alat
4 = tergantung total
f. Sistem persyarafan
1) Saraf I : Klien dapat membau makanan, dapat membedakan aroma dan
bau.
2) Saraf II : penglihatan ganda (diplopia)
26
g. Pola istirahat-tidur
1) Sebelum sakit : Pasien mengatakan sebelum dirawat di RS X tidak
mengalami gangguan tidur. Pasien tidur jam 21.00 WIB-04.00.
2) Setelah sakit : Pasien mengatakan semenjak sakit, pola tidur pasien
mengalami perubahan dari jam 03.00 WIB-05.00 dan siang tidak tertidur.
keadaannya.
3) Peran
Pasien berperan sebagai seorang suami.
4) Ideal diri
Pasien mengatakan bahwa walaupun sudah tua, tetapi harus tetap
bersemangat sehingga dapat tetap bermanfaat dan melakukan aktivitas
secara mandiri.
5) Harga diri
Pasien tidak merasa malu dengan penyakit yang diderita sekarang.
27
8) Pola keyakinan dan nilai
Pasien mengatakan bahwa pasien beragama Islam, sebelum sakit
pasien melakukan ibadah dengan baik seperti sholat lima waktu. Selama
di RS pasien tidak melaksanakan ibadah sama sekali karena pasien
terpasang infus dan keterbatasan fisik.
i. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum : Lemah
2) Tingkat kesadaran : Composmetis
3) Tanda – tanda vital
Tekanan darah : 100 / 60 mmHg
Nadi : 82 x / menit
Pernafasan : 22 x / menit
Suhu : 36,6 0 C
SpO2 : 99%
28
g) Dada dan thorak
Paru-paru
Inspeksi : Gerakan simetris, retraksi dinding dada tidak
terlihat, tidak ada lesi
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
29
m) Ekstermitas bawah
Tidak mengalami odema, tidak ada lesi, kekuatan otot 4, tidak ada
sindaktil dan polidaktil, simetris, tidak ada varises.
Kekuatan otot 4
4
4. Pemeriksaan Penunjang
Tes watenberg ptosis +/+
B. Analisa Data
No Data Fokus Etiologi Problem
1. DS : Pasien mengatakan kesulitan untuk Gangguan Hambatan
berbicara fisiologis sistem komunikasi
DO : muskuloskeletal verbal
- Pasien tampak pelo saat berbicara lemah
- Pasien tampak bicara terbata-bata
- Persepsi pengecapan terganggu akibat
adanya gangguan motorik lidah
- Lidah tidak simetris, adanya deviasi
pada satu sisi akibat kelemahan otot
motorik pada lidah
2. DS : Pasien mengatakan lemas Kelemahan fisik Intoleransi
DO : aktivitas
- Keadaan umum lemah
- Kekuatan otot 4 4
4 4
- Aktivitas pasien dibantu oleh
keluarga
- Kesadaran : Composmetis
- Tanda – tanda vital
Tekanan darah : 100 / 60 mmHg
Nadi : 82 x / menit
Pernafasan : 22 x / menit
Suhu : 36,6 0 C
SpO2 : 99%\
3. DS : - Penyakit (ptosis Gangguan citra
DO : dan diplopia) tubuh
- Pasien tambah murung
- Kedua mata pasien mengalami
ptosis +/+ dan diplopia
C. Diagnosa Keperawatan
muskuloskeletal lemah
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit (ptosis dan diplopia)
30
D. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa NOC NIC
1 Intoleransi Setelah dilakukan tindakan Activity Therapy
aktivitas keperawatan 1x8 jam diharapkan 1. Bantu klien untuk
berhubungan pasien dapat melakukan aktivitas mengidentifikasi aktivitas
dengan dengan indikator : yang mampu dilakukan
kelemahan fisik Activity tolerance 2. Bantu untuk mendapatkan
32
(bahasa isyarat)
3 Gangguan citra Setelah dilakukan tindakan Body image enhancement
tubuh keperawatan 1x8 jam diharapkan 1. Kaji secara verbal dan
berhubungan pasien dapat tidak ada gangguan non verbal respon klien
dengan penyakit citra tubuh dengan indikator: terhadap tubuhnya
(ptosis dan Body image 2. Monitor frekuensi
diplopia) a. Body image positif mengkritik dirinya
b. Mampu mengidentifikasi 3. Jelaskan tentang
kekuatan personal pengobatan, perawatan,
c. Mendiskripsikan secara faktual kemajuan dan prognosis
perubahan fungsi tubuh penyakit
d. Mempertahankan interaksi 4. Dorong klien
sosial mengungkapkan
perasaannya
5. Identifikasi arti
pengurangan melalui
pemakaian alat bantu
6. Fasilitasi kontak dengan
individu lain dalam
kelompok kecil
33
dibicarakan oleh pasien - Lidah tidak simetris
dengan penuh perhatian A : masalah belum teratasi
4. Menganjurkan P : lanjutkan intervensi
kunjungan keluarga
secara teratur untuk
memberi stimulus
komunikasi
5. Berkolaborasi dengan
dokter kebutuhan terapi
bicara
3 07.00 1. Menjelaskan tentang 14.00 S:-
pengobatan, perawatan, O:
kemajuan dan prognosis - Pasien masih tampak
penyakit murung
2. Membantu klien - Kedua mata pasien
mengungkapkan mengalami ptosis +/+
perasaa nya dan diplopia
A : masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
1 07.00 1. Melakukan TTV 14.0
S : Pasien mengatakan
2. Melatih pasien sesuai lemas berkurang
dengan jadwal yang O:
35
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Miastenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan antara sistem
saraf (nervus) dan sistem otot (muskulus). Penyakit miastenis gravis ditandai dengan
kelemahan dan kelelahan pada beberapa atau seluruh otot, di mana kelemahan
tersebut diperburuk dengan aktivitas terus menerus atau aktivitas yang dilakukan
berulang-ulang. Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang menyerang
neuromuskular juction ditandai oleh suatu kelemahan otot dan cepat lelah akibat
adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga jumlah AchR di
neuromuskular juction berkurang. Pada umur 20-30 tahun Miastenia gravis lebih
banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 60 tahun lebih banyak pada pria
(perbandingan ratio wanita dan pria adalah 3:2). Diagnosis Miastenia gravis dapat
ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang khas, tes
antikolinesterase, EMG, serologi untuk antibodi AchR dan CTScan atau MRI toraks
untuk melihat adanya timoma.
B. Saran
Setelah memahami tentang konsep asuhan keperawatan terhadap pasien
dengan mystenia gravis tentunya bisa dilakukan penerapan yang baik untuk dapat
melakukan asuhan keperawatan yanng tepat pada klien secara komprehensif sehingga
dapat menetapkan diagnosis yang benar agar dapat dilakukan perawatan yang lebih
intensif dan semua tenaga kesehatan dapat bekerja sama untuk dapat memberikan
perawatan yang benar terhadap pasien dengan myastenia gravis.
36
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, Rizki Nur. 2016. Gagal Nafas Pada Penderita Miastenia Gravis. Surabaya : FK
Unair
Arif Muttaqin. 2008. Buku Ajar Asuhan keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan .Jakarta: Salemba Medika.
Bulechek, G. M., & dkk. 2013. Nursing Intervensions Classification (NIC). Mosby: Lowo
City.
Bulechek, G. M., & dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). Mosby: Lowo City
Choirunnisa, N. H., Zanariah, Z., Saputra, O., & Karyanto. 2016. Myasthenia Gravis Pada
Pasien Laki-laki 39 Tahun dengan Sesak Nafas. Lampung: FK Universitas Lampung
Dewanto, G. e. 2009. Panduan Praktis Diagnosa Dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta:
EGC.
Harkitasari, S. 2015. Diagnosis dan Terapi Miastenia Gravis Pada Anak. Bali : FK
Universitas Udayana
Heather, H. T. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10.
Jakarta: EGC.
37