Anda di halaman 1dari 17

SMF/ BAGIAN ILMU SARAF REFERAT

RSUD T.C. HILLERS APRIL 2023

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS NUSA CENDANA

MIASTENIA GRAVIS

Disusun oleh :

Jose Mario Leonardo Vivaldy, S.Ked

Pembimbing :
dr. Tersila A. Dua Dedang, M.Biomed, Sp.N

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


SMF/ BAGIAN ILMU SARAF

RSUD DR. T. C. HILLERS


MAUMERE
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Referat ini diajukan oleh:

Nama : Jose Mario Leonardo Vivaldy, S.Ked

Telah berhasil dibacakan dan dipertahankan di hadapan pembimbing klinik sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk mengikuti ujian kepaniteraan klinik di
SMF/Bagian Ilmu Saraf RSUD DR.T.C.Hillers Maumere

Pembimbing Klinik:

1. dr. Tersila A. Dua Dedang, M. Biomed, Sp.N 1..............................

Ditetapkan di : Maumere
Tanggal : April, 2023

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3
2.1 Definisi ..................................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi ........................................................................................... 3
2.3 Etiologi ..................................................................................................... 4
2.4 Faktor Risiko .......................................................................................... 4
2.5 Patofisiologi ............................................................................................. 4
2.6 Klasifikasi ................................................................................................ 5
2.7 Gejala Klinis............................................................................................ 6
2.8 Diagnosis .................................................................................................. 7
2.9 Tatalaksana ............................................................................................. 9
2.10 Komplikasi ............................................................................................ 11
2.11 Prognosis ............................................................................................... 12
BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Miastenia gravis merupakan kelainan autoimun yang menyerang
neurotransmitter di tautan neuromuskular dan menghambat terjadinya kontraksi di
otot.(1) Tercatat prevalensi MG terjadi sekitar 1-2/100,000 per tahun dengan
perkiraan prevalensi sebesar 5–15/100,000. Pada penderita miastenia gravis,
setidaknya 15-20% dari penderita pernah mengalami krisis miastenik. Untuk krisis
miastenia, rata-rata waktu onsetnya berkisar antara 8-12 bulan. Bila dilihat dari
faktor jenis kelamin, pria lebih jarang terkena dibandingkan dengan wanita. Wanita
yang sedang dalam masa kehamilan memiliki resiko sebesar 15% terkena krisis
miastenik. Dalam segi usia puncak kejadian krisis miastenik pada pria dan wanita
yaitu pada usia 55 tahun. Prevalensi MG di Amerika Serikat diperkirakan sekitar
14–20 tiap 100.000 populasi, di mana kasus yang terjadi sekitar 36.000 hingga
60.000 kasus. Sedangkan di Eropa umumnya berkisar antara 77 dan 167 per sejuta
orang tergantung pendekatan metodologinya. Di Indonesia sendiri belum
ditemukan data yang akurat terkait angka kejadian MG. Angka kejadian MG
dipengaruhi oleh jenis kelamin dan umur.(2)

Manifestasi klinis yang muncul pada miastenia gravis akibat gagalnya


asetilkolin untuk berikatan dengan reseptor asetilkolin dapat berupa kelemahan otot
dengan karakteristik tidak ada nyeri dan seringkali diperburuk dengan melakukan
aktivitas. Kelemahan otot yang terjadi pada pasien miastenia gravis menjadi salah
satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan baik fisik maupun mental.
Kasus terparah pada miastenia gravis membutuhkan pemantauan ketat tanda-tanda
vital dikarenakan risiko terjadinya sesak napas akibat kelemahan otot inter costa
dan diafragma terus meningkat.(1) Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari
Miastenia Gravis adalah krisis miastenik dan krisis kolinergik. (3)

Diagnosis Miastenia Gravis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,


dan pemeriksaan penunjang. Tatalaksana meliputi terapi farmakologi dan

1
pembedahan. Terapi farmakologi dilakukan dengan pemberian Pyridostigmin,
Imunosupresan, Plasma Exchange (PLEX), dan Imunoglobulin Intravena (IVIG).
Pembedahan dilakukan dengan timektomi.(4)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Miastenia Gravis (MG) adalah kelainan autoimun kronik dari transmisi
neuromuskular yang menyebabkan kelemahan otot. Miastenia Gravis berasal dari
Bahasa Yunani “Myasthenia” yang artinya kelemahan otot, dan bahasa Latin
”Gravis” yang berarti berat. Istilah Miastenia Gravis berarti kelemahan otot yang
berat.

Miastenia Gravis merupakan penyakit autoimun dengan akibat gangguan


penghantaran impuls pada neuromuscular junction yang ditandai oleh kelemahan
atau kelumpuhan otot-otot lurik setelah melakukan aktivitas dan membaik setelah
istirahat. (4)

2.2 Epidemiologi
Prevalensi MG di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 14 – 20 tiap 100.000
populasi, di mana kasus yang terjadi sekitar 36.000 hingga 60.000 kasus.
Sedangkan di Eropa umumnya berkisar antara 77 dan 167 per sejuta orang
tergantung pendekatan metodologinya. Angka kejadian MG dipengaruhi oleh jenis
kelamin dan umur. (5) Pasien dengan miastenia gravis berada pada semua kelompok
usia dengan rata-rata usia ketika onset yakni 33-38 tahun. Miastenia gravis terjadi
pada semua jenis kelamin dengan perbandingan sebesar 2:3 antara laki-laki dan
perempuan.(1)

Di Indonesia sendiri belum ditemukan data yang akurat terkait angka kejadian
MG. Populasi MG terbilang kecil apabila dibandingkan dengan jumlah seluruh
penduduk di Indonesia. Meskipun jumlahnya yang sedikit namun pasien tetap
merasakan berbagai dampak fisik maupun psikososial yang ditimbulkan oleh proses
penyakit. Studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Oktober – November 2017
di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. M. Djamil Padang,
didapatkan 62 pasien MG dari periode Mei 2015 – Mei 2017.(6)

3
2.3 Etiologi
MG diperkirakan disebabkan oleh reaksi autoimun. Dipercayai bahwa
kelenjar timus menyebabkan atau mempertahankan produksi antibodi ini karena
biasanya pada orang dewasa yang sehat, ukuran kelenjar timus kecil, namun pada
beberapa pasien MG, ukurannya tidak normal atau bahkan memiliki tumor kelenjar
timus (timoma) (10-15%).

Beberapa mikroorganisme diduga memicu reaksi autoimun. Penyakit ini


biasanya terjadi pada wanita di bawah 40 tahun dan pria di atas 60 tahun, tetapi
secara umum dapat terjadi pada semua usia. Di Amerika Serikat, diperkirakan
mempengaruhi antara 0,5 dan 20,4 kasus/100.000 individu.(4)

2.4 Faktor Risiko


Pasien yang berkembang menjadi krisis myastenik sebagian besar memiliki
faktor pencetus, meskipun, pada 30-40% kasus, tidak ditemukan. ISPA (40%),
tekanan emosional, microaspirations (10%), perubahan rejimen pengobatan (8%),
operasi, atau trauma merupakan faktor predisposisi yang paling umum. Banyak
obat memperburuk MG dan dapat menyebabkan krisis miastenik. Faktor
predisposisi lain yang sering mencetuskan terjadinya MG termasuk penggunaan
obat-obatan (8%), operasi, trauma, injeksi botoks, dan thymoma.(4)

2.5 Patofisiologi
Pada penderita MG, sel antibodi tubuh atau kekebalan tubuh akan menyerang
sinaps yang mengandung asetilkolin (ACh), yaitu neurotransmiter yang
mengantarkan rangsangan dari saraf satu ke saraf lainnya. Jika reseptor mengalami
gangguan maka akan menyebabkan defisiensi, sehingga komunikasi antara sel saraf
dan otot terganggu dan menyebabkan kelemahan otot.(7)

Pada MG terjadi penurunan jumlah asetilkolin receptor (AChR). Kondisi ini


mengakibakan asetilkolin (ACh) yang tetap dilepaskan dalam jumlah normal tidak
dapat mengantarkan potensial aksi menuju membran post-sinaps. Kekurangan
reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan mengakibatkan
penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu. Inilah yang

4
kemudian menyebabkan rasa lemah pada pasien. Pengurangan jumlah AChR ini
dipercaya disebabkan karena proses autoimun di dalam tubuh yang memproduksi
anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan merusak membran post-
sinaps.(5)

2.6 Klasifikasi
Klasifikasi Klinis: The Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA)
membagi miastenia gravis menjadi 5 kelas utama berdasarkan gambaran klinis dan
tingkat keparahan penyakit.
Class I Ada kelemahan otot-otot okular, kelemahan mungkin timbul saat
menutup mata. Kekuatan otot-otot lain normal.
Class II Kelemahan otot ringan pada otot selain otot okular. Mungkin juga
mengalami kelemahan otot okular dengan berbagai tingkat
keparahan.
Class Terutama menyebabkan kelemahan ringan pada otot pada tungkai
IIa bawah, otot aksial, ataupun keduanya. Mungkin juga mengalami
kelemahan pada otot orofaringeal.
Class Terutama menyebabkan kelemahan ringan pada otot orofaringeal,
IIb otot pernapasan, atau keduanya. Mungkin juga mengalami kelemahan
pada otot tungkai, otot aksial, atau keduanya
Class Kelemahan sedang pada otot selain otot okular, mungkin juga
III menyebabkan kelemahan otot okular dengan berbagai tingkat
keparahan.

5
Class Terutama menyebabkan kelemahan sedang pada otot pada tungkai
IIIa bawah, otot aksial, ataupun keduanya. Mungkin juga mengalami
kelemahan pada otot orofaringeal
Class Terutama menyebabkan kelemahan sedang pada otot orofaringeal,
IIIb otot pernapasan, atau keduanya. Mungkin juga mengalami kelemahan
pada otot tungkai, otot aksial, atau keduanya
Class Kelemahan otot berat pada semua otot selain otot okular. Mungkin
IV juga mengalami kelemahan otot okular dengan berbagai tingkat
keparahan.
Class Terutama menyebabkan kelemahan berat pada otot pada tungkai
Iva bawah, otot aksial, ataupun keduanya. Mungkin juga mengalami
kelemahan pada otot orofaringeal.
Class Terutama menyebabkan kelemahan berat
IVb pada otot orofaringeal, otot pernapasan, atau keduanya. Mungkin
juga mengalami kelemahan pada otot tungkai, otot aksial, atau
keduanya.
Class V Memerlukan intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanis. (8)

2.7 Gejala Klinis


Kelemahan otot merupakan gejala dan tanda mayor dari miastenia gravis.
Kombinasi dari kelemahan, kelemahan yang diperberat dengan aktivitas dan waktu
merupakan gejala penting dari miastenia gravis. Keluhan juga sering kali disertai
dengan kelemahan pada otot mata maupun otot kepala yang merupakan distribusi
nervus kranialis, sehingga terkadang mendiferensial diagnosa dengan kelainan
cerebrovaskular maupun kelainan di batang otak.

Menurut Lisak (2018), presentasi klinis dari myasthenia gravis biasanya


memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Kelemahan otot ekstraokular atau ptosis sebagai gejala awal terdapat pada
50% pasien dan 90% pasien mengalami ptosis dalam perkembangan

6
penyakitnya (pasien jarang mengalami kelemahan umum tanpa disertai
kelemahan okular)
b. Kelemahan yang hanya terjadi di okular terjadi pada 15-16% pasien
c. Kelemahan otot di bagian kepala juga dapat terjadi, disertai dengan
kelemahan fleksi dan ekstensi kepala
d. Kelemahan anggota gerak biasanya lebih berat pada segmen proksimal
dibandingkan dengan segmen distal
e. Kelemahan biasanya lebih baik pada pagi hari dan memburuk seiring
berjalannya hari (sore atau malam hari)
f. Kelemahan diperberat dengan aktivitas dan diperingan dengan istirahat
g. Kelemahan dapat berkisar dari ringan sampai berat dalam waktu minggu
atau bulan dengan remisi dan eksaserbasi
h. Kecenderungan kelemahan biasanya menyebar dari okular-wajah-otot di
bagian kepala menuju ke badan dan anggota gerak
i. Sekitar 87% pasien berkembang ke seluruh tubuh 13 bulan setelah
onset.(4)

2.8 Diagnosis
Anamnesis

Pasien biasanya datang ke dokter dengan keluhan pada mata yaitu melihat
dobel atau kelopak mata sulit membuka. Keluhan pada mata relatif lebih dirasakan
mengganggu ketimbang kelemahan pada otot lainnya. Pada stadium selanjutnya
muncul akan mengenai otot wajah, otot pengunyah, otot menelan dan otot untuk
bicara. Kelemahan otot di bagian kepala juga dapat terjadi, disertai dengan
kelemahan fleksi dan ekstensi kepala. Kelemahan anggota gerak biasanya lebih
berat pada segmen proksimal dibandingkan dengan segmen distal dengan gejala
khas kelemahan biasanya lebih baik pada pagi hari dan memburuk seiring
berjalannya hari dan diperberat dengan aktivitas dan diperingan dengan istirahat.

Pemeriksaan Fisik

a. Wartenberg Test

7
Kelemahan otot levator palpebra akan terlihat bila pasien diminta untuk
melihat ke atas selama 1 menit, kelemahan ini akan membaik setelah pasien
diminta untuk menutup mata secara maksimal.
b. Tes Edrophonium
Pemeriksaan edrophonium atau tensilon menggunakan inhibitor
asethylkolinersterase short-acting. Tujuannya adalah untuk
memperlihatkan reversibilitas dari kelemahan otot. Sensitivitas dari
pemeriksaan ini mencapai 88% pada MG seluruh tubuh dan 92% pada MG
okular, dengan spesifitas sebesar 97% baik MG seluruh tubuh maupun MG
okular.
c. Ice pack test
Metode cepat untuk membedakan ptosis yang disebabkan oleh MG maupun
penyebab yang lain adalah ice pack test. Es diletakkan pada mata yang
mengalami ptosis selama 2 menit, dan apabila ada perbaikan dari ptosis,
menunjukkan adanya kelainan transmisi neuromuskular.

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan neurofisiologi
Pemeriksaan repetitive nerve stimulation (RNS) dan Single-fiber
electromyography (SFEMG) merupakan pemeriksaan yang paling umum
dilakukan pada pemeriksaan neurofisiologi.
b. Imaging
Semua pasien MG sebaiknya dilakukan pemeriksaan computed tomography
(CT) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari thorax untuk mencari
adanya thymoma maupun hyperplasia thymus.
c. Tes antibodi
Semua pasien dengan dugaan MG sebaiknya dicek antibody anti AchR-nya.
Sensitivitas dari pemeriksaan ini yaitu sebesar 70%-95% pada kasus MG
yang mengenai seluruh tubuh dan 50%-75% pada MG okular.(4)

8
2.9 Tatalaksana
A. Pengobatan gejala

Pyridostigmine (golongan asetilkolinesterase inhibitor) bekerja menghambat


hidrolisis asetilkolin di celah sinaptik. Obat ini akan meningkatkan interaksi antara
asetilkolin dan reseptornya di NMJ. Dosis awal dimulai dengan 60 mg setiap 6 jam
di siang hari (while awake). Dosis dapat ditingkatkan menjadi 60-120 mg setiap 3
jam. Efek klinis akan muncul sekitar 15-30 menit sejak dikonsumsi dan bertahan
hingga 3-4 jam. Efek samping yang paling sering muncul adalah gangguan saluran
pencernaan seperti kram perut, BAB cair, dan kembung. Obat ini merupakan
kontraindikasi relatif pada krisis miastenia karena dapat meningkatkan sekresi
cairan di saluran pernapasan.

B. Imunosupresan
1. Kortikosteroid

Mekanisme kerja kortikosteroid terhadap MG belum diketahui, namun


kortikosteroid dianggap imunosupresan paling efektif untuk MG. Ada 2 cara
pemberian kortikosteroid pada MG yaitu regimen induksi cepat dengan dosis tinggi
dan regimen titrasi lambat dengan dosis rendah. Regimen titrasi lambat dengan
dosis rendah digunakan pada pasien MG ringan hingga sedang. Dosis Prednison
yang diberikan adalah 10 mg/hari dan ditingkatkan 10 mg setiap 5-7 hari hingga
dicapai dosis maksimal 1,0-1,5 mg/kg BB/hari. Regimen induksi cepat diberikan
Prednison dengan dosis 1,0-1,5 mg/kg BB/hari selama 2-4 minggu. Setelahnya
dilakukan penggantian cara pemberian menjadi selang sehari atau tetap meneruskan
dosis tinggi setiap hari.

2. Azathioprine

Azathioprine adalah antimetabolit sitotoksik yang menghambat sintesis purin


sehingga menghambat sintesis DNA dan RNA, replikasi sel, dan fungsi limfosit.
Respons MG terhadap terapi Azathioprine berkisar antara 70-91%. Obat ini
diberikan pada pasien MG yang masih menunjukkan gejala meskipun telah diterapi
dengan kortikosteroid, pasien dengan kontraindikasi relatif terhadap kortikosteroid,

9
serta pasien yang mengalami efek samping berat dengan terapi kortikosteroid.
Dosis awal adalah 50 mg/hari. Dosis dapat dinaikkan dengan penambahan 50 mg
setiap 2-4 minggu hingga tercapai dosis 2-3 mg/kg BB/hari.

3. Cyclosporine

Mekanisme kerja cyclosporine adalah mempengaruhi penghantaran sinyal


calcineurin, menekan sekresi sitokin dan mempengaruhi aktivasi sel T helper. Dosis
awal sebesar 3 mg/kg BB/hari.

4. Methotrexate (MTX)

MTX adalah antimetabolit folat yang menghambat enzim dihidrofolat


reduktase. Sebagai obat pilihan di lini ketiga, MTX diberikan dengan dosis awal 10
mg/minggu dan dititrasi menjadi 20 mg/minggu selama 2 bulan.1

5. Cyclophosphamide (CP)

CP adalah agen alkilasi yang memodifikasi basa guanin pada DNA,


menyebabkan efek sitotoksik. Efek sitotoksik ini kemudian menekan replikasi sel
T dan sel B di sumsum tulang. Pemberian CP intravena sebesar 500 mg/m2 setiap
bulan dapat memperbaiki MG pada bulan ke- 12.1

6. Rituximab

Rituximab adalah antibodi monoclonal yang melawan CD20, sebuah protein


transmembrane di permukaan sel limfosit B. Obat ini mengurangi sel B CD20+
yang bersirkulasi sehingga menekan produksi antibody dan imunitas humoral.
Dosis optimal untuk MG belum ada yang baku.

C. Imunoterapi kerja cepat


1. Plasma Exchange (PLEX)

Indikasi PLEX adalah krisis miastenia, ancaman krisis pada pasien dengan
MG berat, serta pasien MG ringan-sedang dengan perburukan gejala klinis atau
tidak berespon terhadapobat imunosupresan. Mekanisme kerja PLEX pada MG
adalah dengan menghilangkan autoantibodi patogenik dan sitokin yang bersifat

10
larut dalam plasma. Regimen standar adalah 5 kali prosedur PLEX dimana 1
volume plasma diganti setiapkali prosedur dilakukan. PLEX dilakukan selang
sehari. Cairan ipengganti plasma yang digunakan adalah albumin 5% yang
ditambah dengan kalsium glukonat untuk mencegak hipokalsemia akibat efek sitrat.

2. Imunoglobulin Intravena (IVIG)

Indikasi IVIG sama dengan indikasi PLEX untuk pasien MG. Dosis induksi
sebesar 2 g/kg BB dibagi menjadi 2-5 hari. Komplikasi IVIG adalah sakit kepala,
anafilaksis, stroke, infark miokard, deep venous thrombosis, dan emboli pulmo.

D. Timektomi

Pada MG dengan timoma, harus dilakukan pembuangan tumor dan seluruh


jaringan timus. Timektomi pada MG tanpa timoma telah menjadi standar terapi,
meskipun belum ada bukti ilmiah mengenai efektivitasnya. (7)

2.10 Komplikasi
Krisis miastenik dan krisis kolinergik merupakan komplikasi yang dapat
timbul pada pasien miastenia gravis. Perbedaan krisis miastenik dan krisis
kolinergik terletak pada etiologinya. Krisis miastenik biasanya disebabkan oleh
perburukan dari penyakit pasien, sedangkan krisis kolinergik biasanya diakibatkan
oleh overdose obat AChEI (Acetylcholinesterase Inhibitors) yang diberikan pada
pasien miastenia gravis.

1. Krisis miastenik

Krisis miastenik didefinisikan sebagai eksaserbasi akut dari miastenia gravis


dengan karakteristik perburukan kelemahan otot pernapasan yang dapat
berkembang menjadi gagal pernapasan akut. Timbulnya kegagalan napas akut
akibat krisis miastenik seringkali memerlukan dukungan ventilasi mekanik.

2. Krisis kolinergik

AChEI bekerja dengan cara menghambat mekanisme kerja AChE


(Acetylcholine Esterase). AChE berfungsi mendegradasi ACh dalam tubuh pasien.

11
Dengan menghambat kerja AChE, maka akan meningkatkan kadar serta durasi
kerja ACh di membran post-sinap otot. Namun, kondisi ACh yang berlebihan ini
dapat menyebabkan krisis kolinergik. ACh yang berlebihan akan menyebabkan
stimulasi berlebih pada reseptor muskarinik dan nikotinik. Stimulasi berlebih pada
reseptor ini akan menyebabkan gejala seperti kelemahan otot, bradikardi,
pandangan kabur, mual, muntah, dll.(3)

2.11 Prognosis
Pada MG okular, dalam beberapa tahun >50% kasus berkembang menjadi
MG generalisata dan akan sekitar <10% akan terjadi remisi spontan. Sekitar 15-
17% akan tetap mengalami gejala okular yang di follow-up dalam periode 17 tahun.
Sebuah studi dari 37 pasien dengan MG menunjukkan adanya timoma memberikan
outcome yang lebih buruk.(7)

12
BAB III
KESIMPULAN

Miastenia Gravis merupakan penyakit autoimun dengan akibat gangguan


penghantaran impuls pada neuromuscular junction yang ditandai oleh kelemahan
atau kelumpuhan otot-otot lurik setelah melakukan aktivitas dan membaik setelah
istirahat.

Miastenia Gravis ditegakkan diagnosisnya dengan anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang. Tatalaksana meliputi terapi farmakologi dan
pembedahan. Terapi farmakologi dilakukan dengan pemberian Pyridostigmin,
Imunosupresan, Plasma Exchange (PLEX), dan Imunoglobulin Intravena (IVIG).
Pembedahan dilakukan dengan timektomi.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Putri TARK. Status Emosional dan Kualitas Hidup Pada Pasien Miastenia
Gravis. J Keperawatan Komprehensif. 2017;3(2):111–20.

2. Putra DAH, Rifdah LS, Asri PM, Mahfuzzahroni M. Manajemen Perawatan


Neurointensif Pada Miastenia Gravis. J Syntax Fusion. 2021;1(12):1–9.

3. Atmaja IMB, Rahmat D, Hunaifi I. Krisis Miastenik: Literature Review. J


Kesehat Qamarul Huda. 2022;10(2):169–76.

4. Tugasworo D. Myasthenia Gravis (Diagnosis dan Tatalaksana). Undip Press


Semarang. 2018. 17–18 p.

5. Dwimartyono F. Nyeri Neuropatik Pada Penderita Myastenia Gravis. Green


Med J. 2019;1(1):111–27.

6. Muhammad F, Syafrita Y, Susanti L. Gambaran Kualitas Hidup Pasien


Miastenia Gravis Di RSUP Dr. M. Djamil Padang. J Kesehat Andalas.
2019;8(1):43.

7. Kamarudin S, Chairani L. Tinjauan Pustaka: Miastenia Gravis. Syifa’ Med.


2019;10(1):63.

8. Nurfaizah FZ. Miastenia Gravis Okular Juvenil: Laporan Kasus. J Ilmu


Medis Indones. 2021;1(1):39–52.

14

Anda mungkin juga menyukai