Anda di halaman 1dari 35

TUGAS NEUROLOGI KLINIS

“MEMBANDINGKAN INTERVENSI OKUPASI TERAPI PADA KONDISI MYASTHENIA


GRAVIS ”

DISUSUN OLEH :

1. Ahsinatul Kumala Dewi (P27228019111)


2. Fatma Yunissa Pebianty (P27228019124)
3. Mahendra Verdi Suseno (P27228019134)
4. Naura Fadhilah Hasna (P27228019141)
5. Yolanda Pebria Cantikaningrum (P27228019158)

PRODI SARJANA TERAPAN JURUSAN TERAPI OKUPASI


POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA
TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT karena rahmat dan karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan tugas paper Myasthenia Gravis. Tujuan penyusunan
dari paper ini untuk membandingkan intervensi terapi okupasi pada kondisi
Myasthenia Gravis dan untuk memenuhi tugas mata kuliah Neurologi Klinis.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan paper ini jauh dari


kesempurnaan, baik penyusunan bahasa maupun penulisannya. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun sebagai acuan untuk masa
yang akan datang. Mohon maaf jika masih ada kekurangan pada paper ini. Kami
berharap semoga paper ini bermanfaat.

Surakarta, 28 Oktober 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

BAB I . LATAR BELAKANG ...................................................................................... ii


BAB II . KAJIAN TEORI ........................................................................................... 2
A. Definisi ............................................................................................................... 2
B. Etiologi ............................................................................................................... 3
C. Prevalensi ........................................................................................................... 6
D. Gambaran Klinis................................................................................................. 6
E. Prognosis .......................................................................................................... 10
BAB III . PEMBAHASAN JURNAL........................................................................... 11
A. PEMAPARAN JURNAL ...................................................................................... 11
1. JURNAL 1 .......................................................................................................... 11
2. JURNAL 2 .......................................................................................................... 17
3. JURNAL 3 .......................................................................................................... 19
4. JURNAL 4 .......................................................................................................... 22
5. JURNAL 5 .......................................................................................................... 25
B. PEMBAHASAN INTERVENSI.............................................................................. 28
BAB IV . KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................... 29
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 29
B. Saran ................................................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
LATAR BELAKANG

Gangguan neuromuscular merupakan sekelompok penyakit heterogen yang


dapat diturunkan atau didapat. Gangguan ini merupakan akibat dari kelainan pada
sel motoric, saraf tepi, sambungan neuromuscular atau otot (McDonald,2002).
Penyakit yang diakibatkan oleh gangguan neuromuscular yaitu Amyotrophic lateral
sclerosis (ALS), Muscular dystrophy, Multiple sclerosis, Myopathy, Myositis,
Polymyositis, Dermatomyositis, Peripheral neuropathy, Charcot-Marie-Tooth disease,
Spinal muscular atrophy dan Myasthenia Gravis. Myasthenia Gravis merupakan
kelainan utama yang paling umum dari transmisi neuromuskuler dan salah satu
gangguan neurologis yang treatable. Myasthenia Gravis dapat ditandai dengan
adanya kelemahan otot pada berbagai bagian tubuh, seperti otot tangan, kaki,
wajah, mata hingga kelemahan otot menelan. Myasthenia Gravis ini memiliki
prevalensi yakni 85 orang - 125 orang per satu juta jiwa serta insiden per tahun
adalah 2 sampai 4 jiwa per 1 juta jiwa. Myasthenia Gravis merupakan penyakit yang
cukup jarang, namun prevelansinya tergolong cukup tinggi di Amerika yang
mencapai 20 kasus Myasthenia Gravis per 100.000 orang. Belum ada pengobatan
yang efektif untuk menyembuhkan penyakit ini, namun ada beberapa pengobatan
yang dapat mengurangi gejala-gejala yang timbul. Penggunaan obat-obatan banyak
menjadi salah satu solusi untuk meredakan gejala Myasthenia Gravis. Namun obat-
obatan ini juga menimbulkan efek samping sehingga diperlukannya aktivitas atau
latihan guna mengurangi efek samping yang ditimbulkan.

1
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Definisi
Myasthenia Gravis merupakan suatu bentuk kelainan pada transmisi
nuromuskular yang paling sering terjadi. Kelainan pada transmisi yang dimaksud
adalah penyakit pada Neuromuscular Junction. Myasthenia Gravis merupakan
gangguan yang tidak biasa. Myasthenia Gravis merupakan suatu penyakit autoimun
yang ditandai dengan kelemahan otot yang berfluktuasi. Penyakit autoimun dimana
tubuh salah memproduksi antibodi terhadap reseptor asetikolin (AChR) sehingga
jumlah AChR berkurang pada Neuromuscular junction. Hal ini menyebabkan
terjadinya permasalahan pada transmisi yang mana terjadi suatu pemblokiran AChR
pada serat otot (post synaptic) yang mengakibatkan tidak sampainya impuls dari
serat saraf ke sert otot sehingga menyebabkan tidak teradinya kontraksi pada otot.
Menurut James. F. H Myastenia Gravis adalah suatu kelainan autoimun yang
ditandai oleh suatu kelemahan yang abnormal serta progresif pada otot rangka yang
digunakan secara terus menerus dalam beraktivitas dan disertai kelelahan. Keadaan
dapat memburuk yang diakibatkan penggunaan tenaga yang berlebihan, namun
apabila penderita Myasthenia Gravis beristirahat dengan cukup, maka proses
pemulihan kekuatan otot dapat berlangsung cepat dan kembali normal.

2
B. Etiologi
Myasthenia Gravis merupakan sekelompok gangguan yang mempengaruhi
Neuromuscular Junction (NMJ) yang mana gangguan ini disebabkan oleh autoimune
postsynaptic (Murthy, 2020). Antibodi menyerang komponen dari membrane
postsinaptik sehingga mengganggu transmisi neuromuskular dan menyebabkan
kelemahan serta kelelahan pada otot rangka. Kerusakan membrane neuromuskular
ini mengurangi efek dari zat Asetylcholine yang mana merupakan zat penting untuk
komunikasi antara sel-sel saraf dan otot.
Penyebab Myasthenia Gravis yang paling umum adalah perkembangan
abnormal pada bagian imunologi (epitop). Ini terjadi di dalam atau di sekitar AChR
nikotinik di daerah endplate postsynaptic dari Neuromuscular Junction. Antibodi
AChR memicu degradasi atau penurunan kekebalan dari AChR dan membran
postsynaptic. Hilangnya AchR fungsional dalam jumlah besar dapat menyebabkan
penurunan depolarisasi serat otot selama aktivasi terminal saraf motorik, yang
mengakibatkan penurunan potensial aksi otot dan kontraksi serat otot yang penting.
Adanya hambatan transmisi neuromuskuler dapat menyebabkan kelemahan klinis
apabila kerusakan serat dalam jumlah yang banyak (Burns, 2012). Penyebab
Myasthenia Gravis yang lain dapat berasal dari kelainan pada kelenjar thymus,
pengaruh obat, infeksi virus, gender, faktor genetik, dan juga faktor lingkungan.
1. Kelainan Thymus
Thymus merupakan kelenjar yang berfungsi sebagai pusat dari
kekebalan tubuh yang mana memproduksi sel darah putih guna melawan
pertumbuhan sel abnormal,bakteri, dan lain-lain. Thymus merupakan organ
yang menjadi tempat utama autosensitisasi dan autoimunitas pada pasien
AChR-MG. Pada pasien ini menunjukan adanya kelainan morfologis dan
fungsional, ditandai dengan timoma atau hiperplasia.

3
a. Timoma
Timoma terjadi pada sebagian besar kasus tumor epitel
kapsuler yang tumbuh lambat pada kelenjar thymus, dan biasanya
muncul pada usia paruh baya. Timoma sering dikaitkan oleh penyakit
autoimune, pada pasien Myasthenia Gravis 30% memiliki timoma.
Pasien dengan Timoma memiliki antibodi anti-AChR yang mana
menunjukan bahwa transformasi neoplastik tyhmus memainkan
peran penting dalam permulaan respon autoimun terhadap AChR.
Ciri-ciri timoma yang dapat dilihat bahwa adanya gangguan seleksi
sel-T dan autoimunitas anti-AChR adalah kurangnya regulator
autoimune tolerogenik fungsional (AIRE), adanya kerusakan epitel
thymus dalam ekspresi molekul HLA kelas II, kurangnya sel myoid
thymus, dan kegagalan dalam menghasilkan sel T regulasi.
b. Hiperplasia Thymus
Hiperplasia merupakan perubahan yang paling umum pada
EOMG. Hiperplasia thymus ini ditandai dengan adanya infiltrat
limfosit B yang menyerang medula thymus atau ada pada
perivaskular yang menyatu dengan medula thymus.
2. Obat
Pengaruh obat juga dapat menjadi salah satu yang mengakibatkan
Myasthenia Gravis. Pada pasien Myasthenia Gravis, adanya larangan untuk
mengkonsumsi obat antibiotik salah satunya D-penicillamine. Berdasarkan
data yang kami temukan di jurnal mengatakan bahwa Myasthenia Gravis
terjadi pada 1%-7% dengan D-penicillamine.
3. Infeksi virus
Infeksi virus menyebabkan lokalisasi inflamasi pada organ dan
memicu sensitisasi autoantigen. Aktivasi sel B oleh agen infeksi seperti EBV,

4
DNA bakteri atau sekuens CpG juga dapat berkontribusi pada inisiasi
autoimunitas.
4. Gender
Myastenia Gravis lebih sering terjadi pada wanita. Yang
mempengaruhi wanita terhadap autoimunitas adalah efek hormonal seperti
hormon steroid yaitu estrogen, progesteron dan testosteron dapat
mempengaruhi sel-sel sistem kekebalan dengan memodulasi poliferasi sel,
produksi sitokin dan produksi antibodi.
5. Faktor genetik
Myasthenia Gravis tidak menunjukan adanya keturunan mendelian.
Namun pada banyak penyakit autoimun faktor genetik merupakan salah satu
yang meningkatkan risiko dan bertanggung jawab dalam perkembangan
penyakit seperti yang dibuktikan oleh tingkat kesesuaian 40% pada kembar
monozigot.
6. Faktor Lingkungan
Banyak faktor yang dikemukakan dalam dekade terakhir untuk
menjelaskan risiko lebih tinggi dalam perkembangan penyakit autoimun di
negara-negara industri. Faktor-faktor ini seperti polusi, kondisi higienis yang
lebih baik dan perubahan mikrobiota. Kekurangan vitamin D juga dapat
mempengaruhi risiko perkembangan Myasthenia Gravis, seperti pada
multiple sclerosis dan penyakit autoimun lainnya. Banyak pasien Myasthenia
Gravis juga mengatakan bahwa penyakit ini timbul juga dipengaruhi oleh
adanya stress, kehilangan kerabat dekat, kelelahan dan juga infeksi.

5
C. Prevalensi
Prevalensi dari Myasthenia Gravis yakni sekitar 1 kasus dalam 10.000 sampai
20.000 manusia. Myasthenia Gravis umumnya lebih banyak menyerang orang
dengan usia dewasa, namun dapat juga menyerang pada anak baik setelah lahir
ataupun setelah menginjak usia 10 tahun. Myasthenia Gravis lebih sering terjadi
pada wanita dengan usia 20 hingga 30 tahun, dan pada pria umumnya dengan usia
50 hinggan 60 tahun (Kauffman, 2007). Sedangkan perkiraan prevalensi
Myasthenia Gravis yang dituturkan Yayasan Myasthenia Gravis Amerika (MGFA)
menunjukkan prevalensi Myasthenia Gravis menjadi sekitar 14 hingga 20 per
100.000, atau setidaknya 35.000 hingga 60.000 orang di Amerika Serikat (Howard,
2015).
Prevalensi Myasthenia Gravis saat ini di AS diperkirakan 20 per 100.000
populasi - antara 53.000 dan 60.000 kasus (Phillips L, 2004). Prevalensi bisa lebih
tinggi dari yang tercatat karena Myasthenia Gravis sering tidak terdiagnosis. Faktor
utama untuk keduanya adalah peningkatan rentang hidup setelah diagnosis Seiring
bertambahnya umur / usia populasi, usia rata-rata dan meningkat sejalan dengan
itu. Mayoritas pria lebih sering terkena daripada wanita dan mayoritas pasien
Myasthenia Gravis di AS yang berumur di atas 50 tahun (James 2009).

D. Gambaran Klinis
Sekitar 60% pasien Myasthenia Gravis pada kondisi awal akan mengalami
kelemahan yang melibatkan otot mata. Hampir semua pasien akan mengalami
keterlibatan okular dalam 2 tahun awal penyakit. Pasien biasanya mengalami
kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis yang mengakibatkan penurunan
kelopak mata, dapat terjadi saat pasien membaca atau menegemudi dalam jangka
waktu yang lama. Ptosis dapat terjadi secara unilateral atau bilateral. Pasien juga
bisa mengalami diplopia atau penglihatan ganda yang ringan, pada awalnya pasien
akan mencari bantuan ahli optometri untuk membuat kacamata atau mengganti

6
resep lensa untuk memperbaiki masalahnya. Diplopia biasanya terjadi ketika
pasien memiliki konvergensi visual atau pandangan ke atas. Kelemahan miastenik
dapat menyerupai kelumpuhan saraf kranial ketiga, keempat dan keenam serta
oftalmoplegia internuklear.
Kesulitan mengunyah, berbicara, atau menelan juga bisa menjadi gambaran
klinis awal, tetapi kemunculan gejala ini lebih jarang daripada gejala mata yang
disebutkan di atas. Beberapa pasien mungkin mengalami kelelahan dan kelemahan
yang parah selama pengunyahan karena tidak dapat menjaga rahang tetap
tertutup setelah mengunyah. Pasien dalam hal berbicara biasanya akan cadel
(karena kelemahan lidah, bibir, dan wajah) meskipun tidak ada kesulitan dengan
kefasihan bahasa. Pasien juga mungkin mengeluhkan kelelahan dan kelemahan
yang naik turun. Kelemahannya memburuk setelah melakukan aktivitas dan
biasanya membaik dengan istirahat. Kesulitan bernafas juga bisa dialami oleh
penderita MG apabila pasien dalam posisi terlentang atau membungkuk.
Kelemahan otot pernafasan akan mengakibatkan gagal nafas yang merupakan
komplikasi serius pada MG. Sebanyak 15 % – 20 % pasien dengan Myasthenia
Gravis setidaknya pernah mengalami satu kali myasthenic crisis. Myasthenic crisis
merupakan keadaan darurat medis yang terjadi akibat otot- otot yang mengontrol
pernafasan melemah hingga pasien membutuhkan ventilator untuk bernafas
(Bershad & Suarez, 2008).
Gambaran klinis yang membedakan Myasthenia Gravis (MG) adalah kelelahan
patologis. Secara umum, kelemahan ekstremitas atas lebih sering terjadi daripada
kelemahan ekstremitas bawah. Pasien mungkin mengeluh kesulitan saat meraih
dengan tangan, bangun dari kursi, atau naik turun tangga. Hal penting yang perlu
diingat adalah jika pasien memiliki kelemahan tungkai secara umum tanpa
keterlibatan mata, diagnosis Myasthenia Gravis (MG) harus dipertanyakan. Karena
gangguan ini terbatas Neuromuscular Junction (NMJ), tidak ada kelainan kognisi,

7
fungsi sensorik, atau fungsi otonom. Pasien Myasthenia Gravis biasanya akan
menunjukkan gejala depresi.

Klasifikasi Myastenia Gravis Berdasarkan MGFA (Myasthenia Gravis Foundation of


America)
Kelas I Terjadi kelemahan otot mata ; dapat terganggu fungsi buka
tutup kelopak mata, otot otot lainnya normal
Kelas II Terjadi kelemahan otot ringan diberbagai otot termasuk otot
mata. Kelemahan yang terjadi pada otot mata tergantung oleh
derajat keparahan Myasthenia Gravis yang dialami.
IIa Terjadi kelemahan otot khususnya pada tungkai, otot aksial,
atau dapat juga keduanya dan keterlibatan otot orofaringeal
yang lebih rendah.
IIb Terjadi kelemahan otot khususnya pada orofaringeal, otot
respirasi, atau keduanya. Bisa juga ada keterlibatan yang lebih
rendah atau sama dari ekstremitas dan otot aksial atau
keduanya.
Kelas III Terjadi kelemahan otot selain pada otot okular (mata),
mungkin juga menyebabkan kelemahan otot mata dengan
berbagai tingkat keparahan yang terjadi.
IIIa Terjadi kelemahan otot khususnya pada tungkai, otot aksial,
atau keduanya. Keterlibatan otot orofaringeal yang lebih rendah
juga mungkin terlibat.
IIIb Terjadi kelemahan otot khususnya pada orofaringeal, otot
pernapasan, atau keduanya. Mungkin juga memiliki keterlibatan
yang lebih rendah atau sama dari ekstremitas, otot aksial, atau

8
keduanya.
Kelas IV Kelemahan parah yang mempengaruhi otot selain otot mata
atau ocular; mungkin dapat juga memiliki kelemahan otot mata
dengan tingkat keparahan apapun.
IV a Terjadi kelemahan otot khususnya pada tungkai, otot aksial,
atau keduanya. Mungkin juga memiliki keterlibatan otot
orofaringeal yang lebih rendah.
IV b Terjadi kelemahan otot khususnya pada oropharyngeal, otot
pernapasan, atau keduanya. Mungkin juga memiliki keterlibatan
yang lebih rendah atau sama dari ekstremitas, otot aksial, atau
keduanya.
Kelas V Didefinisikan sebagai intubasi (pipa alat bantu nafas) dengan
atau tanpa ventilasi mekanis, kecuali jika digunakan selama
manajemen rutin pasca operasi. Penggunaan feeding tube tanpa
intubasi berarti pasien di kelas IVb bukan kelas V

9
E. Prognosis
Myasthenia Gravis merupakan penyakit autoimune yang menyerang
sambungan syaraf dan otot sehingga mengakibatkan pasien dapat mengalami
kelelahan. Onset Myasthenia Gravis biasanya muncul pada wanita usia antara 20
sampai 40 tahun. Sedangkan pada pria muncul di usia 40 sampai 60 tahun.
Prognosis Myasthenia Gravis berbeda-beda tergantung berapa lama proses
berjalan penyakit dan progresifitas penyakit. Remisi penyakit ini terjadi pada tahun
pertama. Pada stadium awal 85% pasien mengalami gangguan pada mata seperti
diplopia dan dan psotis. Pasien juga akan mengalami penurunan pada fungsi tubuh
seperti sering mengalami kelemahan, kelelahan dan ketidakseimbangan pada
tubuhnya, kemudian dapat terjadi kelemahan pada otot pernafasan seperti
pneumonia aspirasi dan gagal pernafasan. Tingkat keparahan gejala awal dan nadir
lebih rendah dan durasi diagnosis penyakit lebih pendek.
Komplikasi imunosupresii sangat sering terjadi pada pasien yang usianya
lebih tua. Pada usia tua pengaruh dari pengobatan dapat menguntungkan dan
dapat juga merugikan pasien. Pasien usia 60 tahun lebih mengandalkan terapi
medis dikarenakan timektomi tidak dapat diterapkan. Myasthenia Gravis biasanya
dapat diatasi dengan menggunakan terapi antikolinestrerase, terapi
imunomodulasi dan timektomi. Myasthenia Gravis dapat diatasi dengan
mengonsumsi obat-obatan sesuai dengan resep dokter ketika mengalami
kelelahan.
Insiden kematian paling tinggi terjadi sesudah onset awal Myasthenia Gravis.
Pada periode kedua empat hingga tujuh tahun sesudah onset, Myasthenia Gravis
cenderung stabil dan resiko kambuh menurun. Pasien Myasthenia Gravis dapat
kembali menikmati hidup secara normal dan produktif apabila melakukan
pengobatan yang adekuat.

10
BAB III
PEMBAHASAN JURNAL

A. PEMAPARAN JURNAL

1. JURNAL 1

EFFECTS OF BALANCE STRATEGY TRAINING IN MYASTHENIA GRAVIS: A CASE STUDY


SERIES
a. Tujuan
Balance Strategy Training (BST) merupakan pelatihan yang bertujuan
untuk meningkatkan keseimbangan dan mobilitas fungsional pada orang dengan
Myasthenia Gravis (MG). Myasthenia Gravis merupakan suatu penyakit yang
disebabkan oleh autoimmune sehingga mempengaruhi transmisi
neuromuskular. Penderita Myasthenia Gravis mengalami kelemahan pada
berbagai ototnya, seperti pada otot axial, bulbar, serta tungkai yang mana
kelemahan ini akan mempengaruhi keseimbangan dan menurunkan kemampuan
fungsional secara keseluruhan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penderita
Myasthenia Gravis umumnya tidak melakukan pergerakan atau aktivitas secara
aktif dikarenakan adanya kelemahan otot serta fatigue sehingga penderita
memiliki kepadatan tulang yang rendah. Pada penderita Myastenia Gravis
dengan usia paruh baya, memiliki kondisi yang lebih parah. Menurut Horack et al
dalam penelitian menunjukkan bahwa keseimbangan dipengaruhi oleh sistem
sensorimotor yang mana sistem tersebut dapat menurun seiring bertambahnya
usia. Pengobatan yang diberikan dapat mengatasi gejala-gejala dari Myastenia
Gravis namun juga menimbulkan efek samping bagi penderita.

11
b. Intervensi OT
Pada jurnal ini meneliti pengaruh dari Balance Strategy Training (BST)
untuk perbaikan keseimbangan dan juga mobilitas fungsional penderita
Myasthenia Gravis. Penelitian ini dilakukan kepada 7 penderita MG yang
memiliki kondisi terkontrol, gejala yang stabil dan proses medikasi tidak akan
dihentikan selama penelitian ini. Program intervensi yang dipilih dalam
penelitian ini menggunakan model workstation delivery method yang dijelaskan
oleh Low Choy and Nitz yang mana berfokus pada aktivitas yang diperlukan
untuk keseimbangan seperti kekuatan fungsional, fleksibilitas, integrasi
sensorik, balance strategy practice serta trunk stability training and/or
multidirectional skeletal loading. Latihan yang dilakukan termasuk berjalan
menggunakan tumit-jari kaki, latihan duduk-berdiri, serta menangkap dan
melempar bola Untuk meningkatkan keseimbangan penderita dilakukan pula
intervensi dengan mengontraksikan otot isometrik secara maksimal , latihan ini
berfokus pada sendi dan otot yang sama. Pendekatan ini melibatkan hipoterapi
dan getaran seluruh tubuh untuk meningkatkan stimulasi vestibular yang
mempengaruhi kontrol keseimbangan. Latihan ini dilakukan secara berulang-
ulang yang mana dilakukan gradasi pengulangan, kecepatan dan mengubah
base of support or support surface. Latian ini harus memperhatikan kondisi fisik
dan tingkat kelelahan yang ada pada masing-masing individu.
Pasien mengikuti sesi terapi sebanyak 10 sesi dimana setiap sesi
berdurasi selama 1 jam. Workstation terdiri dari 8 item, item 1-6 dilakukan per-
individu dan item 7-8 dilakukan secara berkelompok melibatkan
kesenangan,interaksi sosial dan kompetisi. Berikut adalah penjelasan
workstation yang diterapkan dalam intervensi:

12
1. Sit-to-stand-to-sit
Bertujuan untuk meningkatkan kekuatan tungkai bawah,
meningkatkan kemampuan fungsional dan tugas ganda. Aktivitas ini dapat
dilakukan dengan menurunkan ketinggian kursi dengan bantuan ektremitas
atas, memegang benda ditangan seperti menyeimbangakan cangkir berisi air
atau piring di atas nampan.
2. Stepping in all direction (forwards, side and back)
Bertujuan untuk melatih kemampuan pasien dalam memilih langkah
saat berjalan dan melatih kekuatan serta koordinasi tungkai bawah. Aktivitas
ini dilakukan dengan menginjak permukaan yang lembut, dapat
menggunakan cermin guna memberikan umpan balik visual, meningkatkan
kecepatan serta dilakukan menutup mata.
3. Reaching to limits of stability
Bertujuan untuk mengurangi keterbatasan dalam stabilitas,
memberikan stimulasi dan integrasi vestibular serta meningkatkan kekuatan
ekstremitas atas dan bawah. Aktivitas ini dilakukan dengan menempelkan
benda pada dinding di depan pasien dan pasien meraih benda dengan
mencapai batas ke segala arah dan atas ke bawah. Ini dilakukan sambil
menjaga posisi kaki. Kemudian dengan cara melompat ke depan untuk
mengambil benda yang dipindahkan ke rak tinggi, ke samping dan ke
belakang, lanjutkan dengan menjangkau lebih jauh dan meningkatkan berat
dan ukuran benda.
4. Step up and down
Bertujuan untuk meningkatkan kekuatan dan daya tahan pada
ekstremitas bawah. Aktivitas ini dilakukan dengan melangkah ke depan, ke
belakang, dan ke samping di atas berbagai blok dengan berbagai macam

13
ketinggian. Dapat dilakukan dengan menambah tinggi, pengulangan dan
kecepatan melangkah.
5. Ankle, hip and upper limb balance strategy practice
Bertujuan untuk meningkatkan kekuatan tungkai bawah dan strategi
dalam keseimbangan. Aktivitas ini dilakukan dengan cara berdiri di depan
tembok dengan jari kaki menyentuh garis 1/2 meter dari dinding. Kemudian
bersandar ke dinding menjaga keseimbangan dan kaki dalam posisi dorsi
fleksi serta menggunakan gerakan lengan untuk menyeimbangkan sambil
menurunkan ke arah dinding.
6. Sideways reach task
Bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot medio-lateral di
tungkai bawah, meningkatkan stimulasi dan integrasi vestibular, mengurangi
keterbatasan stabilitas. Aktivitas ini dapat dilakukan dengan berdiri di antara
meja tinggi dan rendah yang diposisikan di kedua sisi, pasien dapat
mengambil objek dari satu meja dan memindahkannya ke meja lain. Dalam
aktivitas terapis dapat mengubah posisi meja menjadi lebih jauh, menambah
berat dan ukuran benda agar aktivitas menjadi lebih menantang. Pasien juga
dapat melakukan aktivitas dengan berdiri di atas matras yang berada di
lantai.
7. Ball games
Bertujuan agar pasien dapat melakukan banyak tugas untuk
meningkatkan koordinasi tangan-mata, menstimulasi vestibular serta
membuat pasien melakukan aktivitas balistik tungkai atas dan bawah.
Aktivitas dilakukan dengan menggunakan bola pantai yang dipompa dan
tingkatkan menjadi bola yang lebih kecil atau lebih keras. Bola yang
digunakan berjumlah 2 atau 3 bola sekaligus. Terapis dapat menambahkan

14
tugas kognitif seperti menominasikan hewan yang dimulai dengan huruf 'G',
sambil melempar dan menangkap atau menendang bola.
8. Card treasure hunt/sort into suits
Bertujuan untuk melatih pasien mengatasi strategi dengan konflik
visual, menstimulasi vestibular serta mengurangi keterbatasan stabilitas.
Sebelum aktivitas dimulai, pasien dibagi menjadi 22 tim. Terapis
menyembunyikan kartu di ruangan kemudian kumpulkan kartu-kartu yang
harus ditekuk dan dilihat oleh para peserta di bawah meja, angkat tinggi-
tinggi atau deteksi kartu dari latar belakang yang membingungkan secara
visual. Tim yang dapat mengumpulkan atau mengembalikan kartu terbanyak
ke titik kumpul dalam waktu 5 menit akan menjadi pemenangnya. Terapis
dapat menambahkan tantangan kognitif untuk menemukan / menyortir
kartu ke dalam urutan yang sesuai.
Kemajuan dari intervensi dapat diperoleh dengan meningkatkan
kecepatan dan kombinasi gerakan. Pada 5 menit awal pasien melakukan
pemanasan denganberjalan di tempat dan melakukan peregangan lembut
untuk ekstremitas atas dan bawah. 12 menit berbaris maju, mundur dan
kesamping. Berdiri sambil meregangkan dan mengulurkan siku, mengangkat
lengan secara bergantian di atas kepala lalu melingkarkan lengan di seluruh
tubuh, berbaris di tempat dan menambahkan gerakan pada anggota tubuh
bagian atas, kemudian melangkah ke depan menambahkan gerakan pada
lengan. 5 menit beristirahat dan pasien dapat meminum air. 12 menit pasien
dapat mengekstensikan dan mengabduksikan hip yang dilakukan sambil
berpengangan dengan kursi. Melangkah ke samping dengan mengayunkan
lengan ke posisi abduksi atau mencapai posisi atas kepala. Posisi duduk
dengan meluruskan kaki bergantian serta memfleksikan hip bergantian dan

15
meraih atas kepala. 5 menit melakukan pendinginan dengan meregangankan
otot dan berjalan di tempat.
Selama pelaksanaan intevensi, terapis harus berada pada posisi yang
menantang untuk memastikan kemanan pasien. Kelebihan pengaplikasian
intervensi pada workstation ini dapat meningkatkan self-efficacy atau
keyakinan diri untuk menyelesaikan tugas yang dilakukan karena akan ada
peningkatan kesulitan pada tugas-tugas yang akan dipraktikan selanjutnya.
c. Kelebihan Intervensi :
1. Balance Strategy Training (BST) terbukti dapat meningkatkan
keseimbangan, kekuatan dan kemampuan fungsional pada berbagai
populasi penderita Myasthenia Gravis baik orangtua maupun dewasa.
Salah satu faktor yang mungkin berkontribusi terhadap peningkatan
kemampuan fungsional komposisi aktivitas stasiun kerja yang pasien
lakukan. T\ugas-tugas ini mengandung elemen yang mendorong peserta
untuk menekuk, berputar dan mencapai batas stabilitas pada berbagai
permukaan sehingga memberikan stimulasi vestibular tambahan.
Intervensi semacam itu mendorong peningkatan kecepatan dan ukuran
gerakan yang dapat meningkatkan kekuatan dan daya tahan selain
meningkatkan fleksibilitas. Hal ini dapat menghasilkan pergerakan yang
lebih efisien yang tercermin dalam kemampuan fungsional yang lebih
baik untuk keseimbangan pasien.
2. Intervensi dilakukan dengan memperhatikan dan mempertimbangkan
kondisi fisik dan tingkat kelelahan yang dialami penderita.
3. Intervensi tidak memberhentikan proses pengobatan yang dijalankan
penderita, selama intervensi penderita tetap menjalankan proses
medikasi.

16
4. Balance Strategy Training (BST) dilengkapi dengan berbagai pengukuran
untuk melihat perkembangan intervensi yang dilakukan. The quantitative
myasthenia gravis (QMG) sistem penilaian terdiri dari 13 item yang
mengukur fungsi,kekuatan dan kekuatan otot. The 6-minute walk test
(6MWT) yang digunakan untuk mengukur kapasitas fungsional dan daya
tahan individu. Tes Timed Up & Go (TUG) menilai mobilitas fungsional
dan keseimbangan antisipatif. Standing Stability on Foam Eyes Closed
(foamEC) pemeriksaan yang dimodifikasi untuk Sensory Interaction of
Balance (mCTSIB) digunakan untuk mengevaluasi fungsi sistem visual dan
somatosensory yang diperlukan dalam control keseimbangan.
d. Kekurangan Intervensi:
1. Pada usia lanjut intervensi ini membutuhkan waktu yang lebih lama
dikarenakan adanya penurunan fungsi sistem sensorimotor.
2. Intervensi dan aktivitas yang dilakukan lebih cocok untuk pasien
Myasthenia Gravis yang kondisinya telah terkontrol dan fisiknya tidak
terlalu lemah.

2. JURNAL 2

The impact of physical exercise on neuromuscular function in Myasthenia gravis


patients
a. Tujuan

Tujuan dari penelitian yang dilakukan ini adalah untuk mendapatkan


data obyektif dan mengevaluasi parameter otot serta membantu
meningkatkan muscle thickness pada partisipan pasien dengan Myasthenia
Gravis yang melakukan program terapi fisik selama 12 minggu. Aktivitas yang
terfokus pada latihan aerobik dan kekuatan resistensi. Hipotesis utama

17
adalah bahwa program latihan fisik berdasarkan rekomendasi latihan umum
meningkatkan status otot pada pasien MG.

b. Intervensi OT

Pada pasien dengan Myasthenia Gravis akan diberi latihan, dimana


setiap sesi latihan berlangsung selama 90 menit dan diawasi oleh terapis
yang mendampingi. Setiap sesi terdiri dari latihan aerobik, kekuatan
ketahanan. Latihan dilakukan 2 kali seminggu selama 12 minggu. Latihan
aerobik dilakukan menggunakan sepeda statis. Biasanya, latihan kekuatan
ketahanan mengacu pada aktivitas latihan kekuatan seperti angkat beban,
latihan resistance band atau latihan yang memanfaatkan berat badan dari
pasien sendiri, seperti resistansi ketika melakukan push up.

Latihan yang dilakukan terdiri dari 7 latihan otot resistensi yaitu


biceps curl, latissimus dorsi pulldown, triceps pushdown, leg curl, cable
rowing, sit-up, dan leg press. Setiap jenis latihan dilakukan masing-masing
sebanyak 2 set maksimal 10 repetisi. Peningkatan penyesuaian beban latihan
ketahanan otot dilakukan secara individual untuk setiap pasien, dengan
pengawasan dari terapis selama periode pelatihan 12 minggu.

c. Kelebihan
1. Bagian-bagian otot yang akan dilatih disampaikan secara lengkap
dalam jurnal seperti biceps curl, latissimus dorsi pulldown, triceps
pushdown, leg curl, cable rowing, sit-up, dan leg press.
2. Pada jurnal menjelaskan berbagai efek yang didapatkan dari exercise
serta dampak setelah exercise. Efek yang didapatkan seperti
peningkatan masa otot yang dapat dilihat pada grafik.

18
d. Kekurangan
1. Tidak membahas kriteria kondisi pasien yang dapat melakukan
exercise. Termasuk porsi antaraexercise yang dilakukan oleh pria
dan wanita serta kategori umur tertentu tidak ada perbedaan
2. Exercise yang digunakan terlalu berat sehingga kurang sesuai dengan
kondisi Myasthenia Gravis yang mengalami kelemahan otot dan
kelelahan (fatigue).
3. Pada jurnal tidak menjelaskan secara detail tahapan intervensi yang
dilakukan pada setiap bagian otot.
4. Metode exercise ini hanya cocok untuk penderita Myasthenia Gravis
dengan kondisi ringan - sedang

3. JURNAL 3

Long-Term Respiratory Muscle Endurance Training in Patients with Myasthenia Gravis:


First Results after Four Months of Training
a. Tujuan
Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun yang ditandai
dengan kegagalan sinaps neuromuskuler. Kegagalan ini dapat menyebabkan
kekuatan otot dan daya tahan berkurang sehingga menyebabkan kelelahan
otot meningkat. Pada kebanyakan pasien Myasthenia Gravis, seluruh sistem
otot menjadi perhatian termasuk sistem otot pernapasan. Pasien dengan
Myasthenia Gravis sering menunjukkan karakteristik "pola myasthenic" yang
ditandai dengan penurunan volume pernapasan, daya tahan otot
pernapasan dan disfungsi otot pernafasan. Keadaan ini dapat memperburuk
kebugaran fisik pasien dan menimbulkan obstruksi jalan nafas bagian atas.
Oleh karena itu, peningkatan fungsi otot pernapasan merupakan tujuan
yang penting dalam terapi Myasthenia Gravis melalui Respiratory Muscle
Endurance Training (RMET).

19
b. Intervensi OT
Untuk melakukan terapi pada pasien Myasthenia Gravis melalui
Respiratory Muscle Endurance Training (RMET) dapat dilakukan melalui 2
tahap, yaitu:
1. Tahap 1
Periode pelatihan tahap pertama dilakukan selama 4 minggu
kemudian dilanjutkan selama 3 bulan. Terapis memberi penjelasan
secara rinci mengenai tahapan pengujian dan pelatihan kepada pasien
kemudian pasien mempraktikkan intervensi di rumah selama satu
minggu dengan durasi 10 menit per hari. Pelatihan terdiri dari Tes Pra-
pelatihan (baseline, B), pelatihan fungsi paru-paru, dan latihan
respiratory endurance. Tes yang dilakukan untuk pelatihan fungsi paru-
paru yaitu spirometri dan maximal voluntary ventilation (MVV). Latihan
Respiratory Endurance menggunakan metabolic cart. Dalam tes
Respiratory Endurance, pasien menghubungkan pelatihan ke metabolic
cart dan bernapas dengan volume tidal (VT) berkisar antara 50% dan 75%
volume cadangan dengan kecepatan 25-40 napas per menit pada kondisi
kegagalan nafas (normokapnik). Pasien harus memperhatikan interval
waktu yang konstan. Setelah sesi pelatihan pasien harus mengisi
kuesioner singkat tentang perubahan gejala yang dialaminya. Selama
fase pelatihan pertama, pasien datang setidaknya dua kali ke terapis atau
ke laboratorium dan melakukan sesi pelatihan dengan perangkat yang
terhubung ke metabolic cart untuk memastikan kinerja yang benar.
Selain itu, terapis juga menghubungi semua pasien dua kali seminggu
untuk menanyakan masalah pelatihan atau gejala Myasthenia Gravis
yang dialami.

20
2. Tahap 2
Tahap pelatihan kedua dimulai setelah kesimpulan dari semua tes
P1. Pada tahap kedua, frekuensi latihan dikurangi menjadi 5 sesi latihan
per dua minggu. Pengaturan pelatihan sama seperti pada tahap pertama.
Satu sesi pelatihan per bulan dilakukan di klnik atau laboratorium untuk
memeriksa kebenaran kinerja pelatihan. Pasien ditelepon sekali
seminggu untuk menanyakan kemungkinan masalah, gejala Myasthenia
Gravis dan pengalaman subjektif pasien setelah pelatihan. Pada akhir
tahap kedua, pasien melakukan serangkaian tes posttraining (P4) yang
identik dengan tes B dan P1. Kemudian pasien diminta untuk
melanjutkan pelatihan.
c. Kelebihan
Dalam program RMET dapat digunakan untuk menetapkan program
pelatihan pemeliharaan untuk menguji kelayakan yang manfaatnya
berhubungan dengan ketahanan otot pernapasan, gejala pada Myasthenia
Gravis, dan fungsi paru-paru. Program pelatihan endurance jangka panjang
diharapkan dapat meningkatkan daya tahan otot.
d. Kekurangan
1. Respiratory Muscle Endurance Training (RMET) tidak dapat diterapkan
pada semua pasien Myasthenia Gravis. Beberapa pasien mungkin tidak
dapat menggunakan teknik ini, dan pasien dengan kondisi Myasthenia
Gravis yang parah tidak dapat melakukan pelatihan ini.
2. Latihan pada Respiratory Muscle Endurance Training (RMET) dilakukan
sebagian besar di rumah sehingga terapis kurang bisa mengontrol
latihan yang dilakukan oleh pasien secara langsung.

21
4. JURNAL 4

Myasthenia Gravis and Physical exercise paradigma


a. Tujuan
Myasthenia Gravis merupakan gangguan autoimune pada
neuromuscular yang secara klinis ditandai dengan kelemahan dan kelelahan
otot rangka. Kelemahan otot pada Myasthenia Gravis dapat mempengaruhi
otot mata, tungkai, pernafasan dan bulbar dan sering juga disebabkan karena
olahraga. Intervensi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ketahanan
fisik Myasthenia Gravis yaitu dengan melatih fisiknya namun harus
disesuaikan dengan intensitas daya tahan tubuhnya. Sehingga pasien
mendapatkan manfaat dari beberapa efek positif dari latihan fisik tersebut.
b. Intervensi Terapi Okupasi
Pasien Myasthenia Gravis tidak direkomendasikan melakukan latihan
fisik dengan intensitas yang berat. Latihan fisik yang direkomendasikan yaitu
latihan aerobik untuk meningkatkan status fungsional otot. Untuk
mendapatkan manfaat dari efek latihan tersebut pasien harus melakukan
latihan rutin dengan durasi yang telah ditetapkan atau direkomendasikan
oleh terapis. Intervensi latihan fisik pada myasthenia gravis yaitu :
1. Rahbek :
Latihan ini dilakukan dengan menggerakkan kedua tangan secara
acak, dilakukan sebanyak 20 kali sesi terapi dalam waktu 8 minggu. Latihan
ini bertujuan untuk meningkatkan intervensi pelatihan aerobik dan
pelatihan ketahanan progressive. Selain itu untuk meningkatkan kekuatan
otot, oxygen uptake, kapasitas fungsional dan kesehatan psikologis.
2. Westerberg
Melakukan pengawasan pada 10 pasien Myasthenia Gravis 2x sesi
terapi selama 12 minggu. kemudian pasien diperiksa sebelum dan sesudah

22
penelitian untuk mengurangi efek lelah atau diurnal yang terjadi di luar
kesadaran. Pasien akan mengikuti instruksi latihan yang direkomendasikan.
Latihan aerobik pada orang dewasa sehat 150 menit setiap minggu dan
dilakukan 2x seminggu. Latihan ini bertujuan untuk menjaga keberhasilan
dari latihan fisik.
3. Westerberg
Merekrut 14 pasien Myasthenia Gravis untuk mengikuti pelatihan
aerobik dan resistensi kekuatan selama 12 minggu menggunakan sepeda
untuk latihan kekuatan. Hal ini dilakukan untuk meneliti latihan pada
aktivitas namun berfokus juga pada efek latihan fisik pada parameter
fungsional otot rangka pada peserta.
4. Wong :
7 pasien Myasthenia Gravis menjalani intervensi kerja 16 sesi terapi
dan dilakukan 1 atau 2 sesi terapi perminggu. Pelatihan strategi
keseimbangan didasarkan pada latihan untuk membahas fungsional pasien
dengan menargetkan fungsi proses saraf sensorimotor yang terlibat dalam
kontrol postur. Latihan yang dapat digunakan seperti berjalan dengan
tumit, duduk kemudian berdiri, menangkap bola dan melempar untuk
meningkatkan keseimbangan dan mobilitas fungsional pada pasien
Myasthenia Gravis.
5. Lohi
11 pasien Myasthenia Gravis ringan sampai sedang menjalani
program latihan kekuatan otot 30 sesi selama 10 minggu. Latihan bertujuan
untuk meningkatkan kekuatan otot atau mengatasi kelelahan dengan
latihan fisik.

23
6. Lucia
Peningkatan kinerja dengan mengetes gerakan duduk - berdiri
selama 30 detik untuk mengukur kekuatan fungsional kaki dan mengukur
ketangkasan manual pada intervensi pasca pelatihan. Untuk memulihkan
kapasitas untuk hidup mandiri dengan meningkatkan toleransi latihan dan
kelemahan anggota tubuh
c. Kelebihan
1. Pada jurnal ini membahas mengenai efek dari latihan fisik bagi pasien
Myasthenia Gravis
2. Pada jurnal ini diberitahukan bahwa latihan fisik dapat dilakukan pada
pasien Myasthenia Gravis sebelum dan sesudah timektomi namun
latihan disesuaikan dengan ketahanan tubuhnya.
3. Pada jurnal ini juga membahas efek latihan fisik terhadap autoimune
myasthenia gravis
4. Pada jurnal ini juga dijelaskan bahwa psikologis penting untuk
mengurangi kelelahan yang dialami oleh pasien myasthenia gravis.
d. Kekurangan
1. Pada jurnal ini tidak menjelaskan secara spesifik mengenai durasi latihan
berdasarkan usia pasien. Hanya dijelaskan secara umum untuk pasien
usia dewasa.

24
5. JURNAL 5

Shaker Exercise in Dysphagia Rehabilitation for Myasthenia Gravis Patients


a. Tujuan
Myasthenia Gravis (MG) merupakan kelainan otot saraf progresif
lambat yang mana disebabkan oleh gangguan autoimun dan ditandai dengan
turun naiknya kelemahan patologis dengan remisi dan eksaserbasi yang
melibatkan satu atau beberapa otot rangka. Salah satu masalah yang
diakibatkan oleh Myasthenia Gravis (MG) adalah disfagia atau kelemahan
orofaringeal. Terjadinya disfagia seiring dengan keterlibatan pernapasan lalu
menjadi sumber morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada Myasthenia
Gravis (MG). Pneumonia aspirasi dapat menjadi faktor risiko yang signifikan
untuk krisis miastenik karena dapat mengancam nyawa sedangkan menelan
merupakan suatu peristiwa yang membutuhkan koordinasi pada aktivitas
neuromuskuler.
Tujuan dari Shaker Exercise ini dapat memperbaiki disfagia pada
pasien Myasthenia Gravis (MG). Shaker Exercise melatih dan memperkuat
untuk otot suprahyoid termasuk otot geniohyoid, tirohyoid, dan digastrik.
Otot-otot ini merupakan otot lurik yang dapat dipengaruhi oleh Myasthenia
Gravis. Kondisi neurologis yang terjadi dari Myasthenia Gravis menyebabkan
disfungsi pembukaan sfingter esofagus pada bagian atas. Hal ini
menyebabkan penghalang aliran bolus makanan dari faring, yang
menyebabkan residu dan aspirasi pasca menelan.

b. Intervensi Terapi Okupasi


Intervensi yang dilakukan adalah peneliti mengumpulkan sepuluh
pasien penderita Myasthenia Gravis dengan kriteria inklusi umum, sedang,
berat. Semua pasien diminta melakukan program latihan di rumah dengan

25
menggunakan metode Sheker selama 6 minggu. Dengan dosis latihan yang
diubah dikarenakan karakteristik Myasthenia Gravis yang mudah lelah.
Semua pasien menggunakan prostigmin sebagai terapi pengobatan rutin
serta latihan 1-2 jam setelah pemberian oral. Pasien juga menghadiri
evaluasi yang diadakan tiap minggu guna untuk pemeriksaan umum.
Shaker Exercise (latihan Shaker) yang dilakukan adalah latihan
Shaker tradisional yang melibatkan latihan leher isometrik dan isokinetik.
Isometrik pada latihan Sheker ini melibatkan tiga kali pengangkatan kepala
berturut-turut selama 60 detik, dengan waktu istirahat 60 detik di antara
setiap pengangkatan kepala. Sedang Isokinetik melibatkan 30 kali
pengangkatan kepala berturut-turut tanpa menahan. Meskipun begitu
peneliti memodifikasi waktu penahanan pada isometrik serta pengulangan
isotonik pada Latihan Shaker, dikarenakan otot-otot pada pasien
Myasthenia Gravis (MG) yang mudah lelah. Latihan Shaker terdiri dari
beberapa pengangkatan kepala pada posisi terlentang dengan istirahat 1
menit di setiap pengangkatan. Latihan mengangkat kepala yang
berkelanjutan ini diikuti dengan beberapa pengulangan mengangkat
kepala secara berturut-turut dalam posisi yang sama. Menit-menit awal
pengangkatan kepala dan pengulangan ditentukan dari pengujian latihan.
Tes diulang sekali seminggu selama 6 minggu. Untuk mengangkat kepala
secara berkelanjutan dan berulang, pasien di instruksikan mengangkat
dengan kepala setinggi mungkin sampai dapat melihat jari kaki mereka
tanpa mengangkat bahu.
Tes latihan dihentikan jika pasien sudah tidak mampu lagi
mengangkat kepala setinggi semula (untuk isotonik) atau
mempertahankan ketinggian head lift (untuk isometric) dan bahu mereka

26
mulai terangkat bersama dengan kepala mereka, serta pasien
mengeluhkan kelelahan atau ketidaknyamanan pada saat latihan.
c. Kelebihan
1. Berdasarkan jurnal latihan Shaker dapat digunakan dengan aman
oleh pasien Myasthenia Gravis (MG).
2. Latihan Shaker meningkatkan kualitas hidup pasien dan
mengurangi resiko aspirasi dengan mengurangi residu pasca
menelan.
3. Latihan Shaker dapat mengurangi keparahan Disfagia, hal ini
dibuktikan adanya peningkatan yang signifikan pada kuisioner
EAT-10.
d. Kekurangan
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut guna mengoptimalkan
durasi latihan pada pasien penderita Myesthania Gravis.

27
B. PEMBAHASAN INTERVENSI

Berdasarkan analisis yang dilakukan pada 5 jurnal intervensi untuk


mengurangi efek samping atau gejala yang dialami oleh penderita Myasthenia
Gravis dapat dilakukan dengan pemberian latihan fisik. Intervensi menggunakan
latihan fisik dimuat pada jurnal 4 (Myasthenia Gravis and physical exercise
paradigma). Pemberian latihan fisik dapat meningkatkan status fungsional otot,
meningkatkan kekuatan otot serta mengatasi kelelahan yang terjadi pada penderita.
Intervensi lain yang dapat dilakukan ialah Balance Strategy Training. Penderita
Myasthenia Gravis mengalami kelemahan otot tungkai yang mana akan
mempengaruhi keseimbangan tubuhnya. Sehingga intervensi ini dirasa efektif untuk
meningkatkan keseimbangan dan mobilitas pasien. Pemberian intervensi harus
disesuaikan dengan kondisi pasien dan dilakukan secara rutin dengan durasi yang
sesuai sehingga dapat menunjukan suatu kemajuan dan manfaat dari intervensi
tersebut.

28
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Miastenia Gravis (MG) adalah semacam kelainan autoimun, kelainan
ini ditandai dengan kelemahan yang abnormal dan progresif pada otot
rangka disertai dengan rasa lelah berlebih saat beraktivitas. Gangguan ini
timbul dikarenakan adanya gangguan dari sinaps transmission atau pada
Neuromuscular Junction (NMJ) (Aknin, 2014). Kondisi Miastenia Gravis
(MG) ditandai dengan kelemahan otot pada penderitanya dan daerah
yang paling sering terkena Myastenia Gravis (MG) adalah ekstraokular,
tungkai, wajah dan otot leher. (Phillips, 2003)
Dari kelima jurnal yang kami bahas, sesi latihan untuk Myastenia
Gravis (MG) haruslah sesuai dengan kondisi dan kemampuan pasien untuk
melakukan latihan tersebut Treatment method bagi tiap tiap pasien tidak
bisa dibuat sama seluruhnya. Metode yang diberikan haruslah
menyesuaikan dari kondisi pasien. jadi ada baiknya treatment diberikan
setelah pasien diobservasi terapis sehingga terapis bisa menentukan
treatment yang sesuai untuk pasien dan dapat memberikan manfaat yang
tepat bagi pasien dengan Miastenia Gravis (MG)

B. Saran
Dalam penanganan Myasthenia Gravis (MG) baiknya sesi latihan
tidak dibuat sama bagi semua penderitanya. Karena kemampuan dan
kondisi yang berbeda beda tiap individunya dapat membuat treatment
yang diberikan justru tidak maksimal dan tidak tepat sasaran. Treatment
terapi yang diberikan harus disesuaikan dengan kondisi penderita.

29
DAFTAR PUSTAKA
Beghi. E., dkk. (1991) Prognosis of Myasthenia Gravis : a Multicentimeter Follow- up
Study of 844 Patients. Journal of the Neurogical Sciences. Elsvevier
Sciences. https://doi.org/10.1016/0022-510X(91)90260-E

Berrih-Aknin S, Le Panse R. Myasthenia gravis and autoantibodies: pathophysiology


of the different subtypes. Rev Med Interne. 2014;35: 413-420. 2. Gilhus
NE.M

Bershad, E., Feen, E., & Suarez, J. (2008). Myasthenia gravis crisis. Southern
medical journal, 101(1), 63

Cavalcante, P., Cufi, P., Mantegazza, R., Berrih-Aknin, S., Bernasconi, P., & Le
Panse, R. (2013). Etiology of myasthenia gravis: innate immunity
signature in pathological thymus. Autoimmunity reviews, 12(9), 863-874.
https:// doi.org/10.1016/j.autrev.2013.03.010

Evoli. A,. dkk. (2000). Clinical Characteristics And Prognosis of Myasthenia Gravis in
Older People. American Geriatrics Society.
https://doi.org/10.1111/j.1532-5415.2000.tb02635.x

Hourigan, S. R., Nitz, J. C., Brauer, S. G., O’Neill, S., Wong, J., & Richardson, C. A.
(2008). Positive effects of exercise on falls and fracture risk in osteopenic
women. Osteoporosis international, 19(7), 1077-1086.
https://doi.org/10.1007/s00198-007-0541-7

James F. Howard, Jr. (2009) Myasthenia GravisA Manualfor the Health Care
Provider New York, NY 10017

Khadilkar SV, Sahni AO, Patil SG. Miastenia gravis. JAPI. 2004 November;52:897-
903.
Kothar. M.J,. (2004). Myasthenia Gravis. JAOA.vol 104. https://joao.org

Marulli, G,. dkk. (2013). Surgical And Neurologic Outcomes After Robotic
Thymectomy in 100 Consecutive Patients with Myasthenia Gravis. The
Journal of Thoracc and Cardiovascular Surgery.
https://doi.org/10.1016/j.jtcsv.2012.12.031

Nitz, J. C., & Choy, N. L. (2004). The efficacy of a specific balance-strategy training
programme for preventing falls among older people: a pilot randomised
controlled trial. Age and ageing, 33(1), 52-58.
https://doi.org/10.1093/ageing/afh029

Phillips LH. Myasthenia Gravis and Related Disorders - Immunopath. Vol. 5, Journal
of Clinical Neuromuscular Disease. 2003. 60 p.

Romi F, Gilhus NE, Aarli JA. Miastenia gravis: clinical, immunological, and

Santoso, A. W. (2014). Shaker Exercise in Dysphagia Rehabilitation for Myasthenia


Gravis Patients. Indonesian Journal of Physical Medicine &
Rehabilitation, 3(01), 1-6. https://doi.org/10.36803/ijpmr.v3i01.235

Sathasivam, S. (2014). Diagnosis and management of myasthenia gravis. Progress in


Neurology and Psychiatry, 18(1), 6-14. https://doi.org/10.1002/pnp.315

Sosinsky MS dan Kaufmann P. 2007. Myasthenia Gravis & Other Disorders of the
Neuromuscular Junction. in: Brust JCM (ed.). Neurology: Current
Diagnosis and Treatment. USA: Lange Medical Books/McGraw-Hill.
Hal. 350-356.

Syahrul, S., Mutiawati, E., Astini, N., Fajri, N., & Suherman, S. (2020). Clinical
Characteristic Myasthenia Gravis among Indonesians. Budapest
International Research in Exact Sciences (BirEx) Journal, 2(2), 257-263.
https://doi.org/10.33258/birex.v2i2.1015

Therapeutic Advances. Acta Neurol Scand. 2005; 111: 134-141.

Wang S, Breskovska I, Gandhy S, Punga AR, Guptill JT, Kaminski HJ. 2018.
Advances in autoimmune myasthenia gravis management. Expert
Review of Neurotherapeutics. 18(7): 573-588.
doi: 10.1080/14737175.2018.1491310

Wong, S. H., Nitz, J. C., Williams, K., & Brauer, S. G. (2014). Effects of balance
strategy training in myasthenia gravis: a case study series. Muscle & nerve,
49(5), 654-660 https://doi.org/10.1002/mus.24054

Anda mungkin juga menyukai