Anda di halaman 1dari 16

Portofolio 1

Snake Bite Derajat I et Regio Cruris Posterior Ekstermitas


Inferior Dextra

Oleh:
dr. Ika Dewi Ristiyati
Pembimbing:
dr. Novieka Dessy M

RS Bhayangkara Hoegeng Imam Santoso Banjarmasin


Program Internship Dokter Indonesia
Kota Banjarmasin Kalimantan Selatan
2017

1
Kasus 1

Topik : Snake Bite


Tanggal Kasus : 23 Juni 2017
Presenter : dr. Ika Dewi Ristiyati
Tanggal Presentasi :
Pendamping : dr. Novieka Dessy M
Tempat Presentasi : RS Bhayangkara Hoegeng Imam Santoso Banjarmasin
Objektif Presentasi : Keterampilan, Diagnostik, Anak - Anak
Deskripsi : pasien anak - anak, perempuan, usia
10 tahun berat 31 kg dengan diagnosis snake bite
derajat I et regio cruris posterior ekstermitas
inferior dextra , keadaan umum tampak sakit
sedang, adanya keluhan nyeri lokal ringan dan
terdapat perdarahan minimal diarea tergigit ular,
pasien gelisah, merasa pusing, mual tanpa disertai
muntah dan tidak terdapat penurunan kesadaran.
Tujuan : Diagnosis dan tatalaksana simptomatis dan
kausatif snake bite dan edukasi tindakan preventif
Bahan Bahasan : Kasus
Cara Membahas : Diskusi
Data Pasien : Nama Pasien : An.V
Umur : 10 thn
Tinggi Badan: 138 cm
Berat Badan : 31 kg

Data untuk bahan diskusi :


1. Diagnosis
Snake Bite Derajat I et Regio Cruris Posterior Ekstermitas Inferior Dextra

2
2. Riwayat Pengobatan
Belum pernah
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit :
a) Nyeri lokal ringan dan terdapat perdarahan minimal diarea tergigit
ular regio cruris posterior ekstermitas inferior dextra
b) Gelisah, pusing, mual tanpa disertai muntah dan tidak terdapat
penurunan kesadaran.
4. Riwayat Keluarga
-
5. Lain-lain :
a. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis E 4 V5 M6

Vital Sign: TD : 100/60 mmHg, HR : 90x/menit, Suhu: 37C, RR:

30x/menit

Status Gizi : BB : 31 kg TB : 138 BB/TB:Status Gizi Baik

Status Neurologis : Meningeal Sign (-) Kelainan Nervus (-)


5
Kekuatan Otot 5

Sensibilitas + +
+ +

Pemeriksaan Fisik :

Kepala: Normochepal, tidak didapatkan tanda-tanda cidera kepala.

Mata : air mata +/+, konjungtiva anemis/perdarah --/--, sclera ikterik -/-

Hidung : hiperemis (-), epistaksis (-)

Lidah : tergigit (-), Wound (-)

3
Thorax : BJ I II (sde), whz -/- rh-/-

Abdomen : supel, hepar/lien tidak teraba, defans muscular (-), timpani,


bising usus (+) nyeri tekan epigastrium (-)

Ekstremitas : edema + /-, tampak 2 vulnus punctum dengan perdarahan


minimal, dicurigai berasal dari gigitan taring ular berbisa et regio cruris
posterior ekstermitas inferior dextra, akral hangat

Kulit : rash maculopapular erithem generalisata (-)

Hasil Pembelajaran
1. Diagnosis Kerja
Snake Bite Derajat I et Regio Cruris Posterior Ekstermitas Inferior Dextra

2. Subyektif
Pasien anak - anak, perempuan, usia 10 tahun berat 31 kg dengan diagnosis
snake bite derajat I et regio cruris posterior ekstermitas inferior dextra ,
keadaan umum tampak sakit sedang, adanya keluhan nyeri lokal ringan dan
terdapat perdarahan minimal diarea tergigit ular, pasien gelisah, merasa
pusing, mual tanpa disertai muntah dan tidak terdapat penurunan kesadaran.

3. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis snake bite sangat bervariasi. Dalam hal ini kita dapat
melakukan interpretasi dari anamnesis, pemeriksaan fisik sampai
pemeriksaan penunjang.

Anamnesis

Nyeri Di Area Gigitan Ular


o Pasien mengalami nyeri lokal diarea gigitan ular regio cruris
posterior ekstermitas inferior dextra dengan onset ringan disertai
gelisah pusing mual tanpa disertai muntah dan tidak terdapat
penurunan kesadaran.

4
4. Objektif / Dasar Diagnosis

Dari autoanamnesis dan alloanamnesis didapatkan informasi bahwa


an.V telah tergigit ular 16 jam sebelum masuk rumah sakit tanpa
mendapatkan pertolongan pertama. Ular yang menggigit berwarna hitam
pekat ular tanpa melilit mematuk 1 kali dan meninggalkan 2 bekas luka
tusuk, saat dibawa ke rumah sakit pasien mengalami nyeri lokal diarea
gigitan ular regio cruris posterior ekstermitas inferior dextra dengan onset
ringan disertai gelisah pusing mual tanpa disertai muntah dan tidak
terdapat penurunan kesadaran.

5
a. Definisi
Gigitan ular adalah cedera yang diakibatkan oleh gigitan ular
baik ular berbisa maupun ular tidak berbisa, akibat dari gigitan ular
dapat menyebabkan kondisi medis yang bervariasi, yaitu:
1) Kerusakan jaringan secara umum akibat dari taring
ular
2) Perdarahan Serius Apabila Mengenai Pembuluh
Darah Besar
3) Infeksi akibat bakteri sekunder atau patogen
lainnnya dan peradangan
4) Pada gigitan ular berbisa, gigitan dapat
menyebabkan envennomisasi.
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk
melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem
pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi,
yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan
bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang
terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa
ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi
merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki
aktivitas enzimatik
b. Pertolongan Pertama Pada Gigitan Ular
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah
Menghalangi/ memperlambat absorbsi bisa ular
Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi
darah
Mengatasi efek lokal dan sistemik (Sudoyo, 2006)
1) Luka dicuci dengan air bersih atau dengan larutan
kalium permanganat untuk menghilangkan

6
menghilangkan atau menetralisir bisa ular yang
belum terabsorpsi.
2) Jika gigitan terjadi dalam waktu kurang dari
setengah jam, buat sayatan silang di tempat
masuknya gigi taring ular sepanjang dan sedalam 0,5
cm, kemudian lakukan pengisapan mekanis. Bila
tidak tersedia breast pump semprit, darah dapat
diisap dengan mulut asal mukosa mulut utuh tak ada
luka. Bisa yang tertelan akan dinetralkan oleh cairan
pencernaan.

3) Usaha menghambat penyerapan dapat dilakukan


dengan memasang turniket beberapa sentimeter di
atas gigitan/pembengkakan yang telah terlihat,
dengan tekanan yang cukup untuk menghambat
aliran vena dan aliran limfe tetapi lebih rendah dari
pada tekanan arteri (denyut nadi distal tetap teraba).
Ikatan dikendorkan tiap 15 menit selama 1 menit.
Tekanan dipertahankan dua jam. Penderita
diistirahatkan supaya aliran darah terpacu.
4) Dalam 12 jam pertama anggota badan yang digigit
didinginkan dengan es batu.
5) Letakkan daerah gigitan lebih rendah dari tubuh.
Berdasarkan penelitian bias ular menjalar lewat
aliran getah bening, penderita dilarang bergerak
sehingga perlu imobilisasi anggota badan yang
digigit dengan cara memasang bidai karena gerakan
otot dapat mempercepat penyebaran racun.

7
Dari autoanamnesis dan alloanamnesis didapatkan informasi
bahwa an.V telah tergigit ular 16 jam sebelum masuk rumah sakit
tanpa mendapatkan pertolongan pertama, pasien mendapatkan
penanganan awal yang buruk.

c. Identifikasi Perbedaan Ular Berbisa & Tidak Berbisa

Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa


atau tidak dapat dibedakan seperti yang tercantum pada tabel
dibawah:
Tidak Berbisa Berbisa
Bentuk Kepala Bulat Elips,Segitiga
Gigi Taring Gigi Kecil 2 Gigi Taring Besar
Bekas Gigitan Lengkung Seperti U Terdiri dari 2 Titik
Warna Warna-Warni Gelap
Besar Ular Sangat Bervariasi Sedang
Pupil Ular Bulat Elips
Ekor Ular Bersisik Ganda Bentuk Sisik
Tunggal

8
Agresifitas Mematuk Memetuk 1,2 kali
Berulang,Melilit

Terdapat 2000 spesies ular, dan jenis ular berbisa ditemukan


berjumlah 250 spesies,dari bentuk gigi taring ular dikelompokkan
menjadi 4 familli:
1) Famili Colubridae: Ular Pohon,Ular Tikus,Ular Sapi : Memiliki
Bisa Efek Paling Rendah
2) Famili Elapidae: Ular Sendok, Ular Welang, Ular King Kobra :
Memiliki taring pendek tegak permanen

3) Famili Crotalidae/Viperidae:Ular Bandotan, Ular Bangkai Laut


: Memiliki gigi taring yang dapat dilipat ke bagian rahang atas

9
4) Famili Hydrophidae: Ular Laut : Memiliki Bisa Paling Kuat

Dari autoanamnesis dan alloanamnesis didapatkan informasi


bahwa an.V telah tergigit ular 16 jam sebelum masuk rumah
sakit. Ular yang menggigit berwarna hitam pekat ular tanpa
melilit mematuk 1 kali dan meninggalkan 2 bekas luka tusuk.
Dapat disimpulkan bahwa ular yang menggigit pasien
merupakan ular berbisa, ciri-ciri ular tersebut sesuai dengan
teori ciri-ciri ular berbisa yang sudah disampaikan diatas.
Namun tidak dapat menentukan jenis spesifik ular tersebut
karena pasien tidak membawa ular yang menggigitnya.

10
d. Manifestasi Klinis & Patofisiologi Gigitan Ular Berbisa
1) Gejala Umum

2) Gejala Lokal

- Bekas Gigitan - Bula


- Nyeri - Infeksi Lokal
- Perdarahan - Abses
- Ekimosis - Nekrosis
- Tanda Radang
3) Derajat Gigitan Ular Berbisa

11
4) Patofisiologi
Bisa ular merupakan toksin yang paling kompleks diantara
semua jenis racun yang ada. Toksin pada satu jenis spesies
dapat mengandung lebih dari 1 protein dan peptida baik yang
toksik dan non toksik dan toksin non protein, karbohidrat,
lipid, dan molekul-molekul kecil yang lain. Protein toksik
terdiri dari enzim proteiolitik, peptidase, proteinase,
fosfolipase, dan neurotoksin ya n g d a p a t m e n ye b a b k a n
kerusakan serius dari sistem muskuloskeletal,
s i s t e m p e m b e k u a n darah, kardiopulmonal, ginjal, dan
sistem saraf pusat.
Neurotoksin ular memblok atau mengeksitasi tautan
neuromuskular dengan bekerja padatempat yang berbeda-
beda. neurotoksin dapat berikatan dengan reseptor
presinaps, reseptor postsinaps, dentdrotoksin, maupun
fasikulin

Neurotoksin presinaps umumnya merupakan toksin


fosfolipase A2 yang secara spesifik bekerja pada akson
terminal tautan neuromuskular, menyebabkan pelepasan
neurotransmiter s e h i n g g a t e r j a d i k e r u s a k a n s t r u k t u r
akson, menggan ggu produksi fesikel sinaps,
k e m u d i a n menghentikan pelepasan transmiter. hal ini akan
menyebabkan paralisis flaksid progresif yang biasanya mulai
terlihat 1 jam setelah gigitan. Paralisis otot pernapasan total
termasuk diafragmadapat terjadi dalam 3-24 jam.

Neurotoksin postsinaps merupakan polipeptida dengan


ukuran berfariasi, bekerja pada tautan neuromuskular.
Neurotoksin ini bekerja ekstraseluler,mengikat

12
reseptor asetilkolin, menghambat ikatan
neurotransmiter sehingga menyebabkan paralisis.
Neurotoksin ini tidak merusak sel, oleh karena ini tipe paralisis
flaksid ini bersifat rersibel dan onset paralisis yang terjadi
bersifat cepat dan progresif, yang jarang tampak dalam 1 jam
pertama setelah gigitan

Dendrotoksin dan fasikulin bekerja secara


sinergistik. Target kerja toksin ini adalah tautan
neuromuskular, menyebabkan paralisis dan spasme
otot atau fasikulasi. Dendrotoksin bekerja pada kanal
potasium di membran akson terminal, menyebabkan terjadinya
pelepasan molekul neurotransmiter yang berlebih, yang akan
menyebabkan stimulasi berlebih pada reseptor end plate otot.
fasikulin menghambat atau mengganggu asetilkolinesterase di
rongga junctional ,menurunkan penghancuran asetilkolin.
Hal ini meningkatkan efek dendrotoksin, menyebabkan
stimulasi otot berlebih, spasme atau fasikulasi.Efek
dari kedua toksin ini dapat terlihat dalam 1 jam setelah
gigitan.

Dari Pemeriksaan fisik status lokalis pasien ditemukan : edema


+ , tampak 2 vulnus punctum dengan perdarahan minimal,
dicurigai berasal dari gigitan taring ular berbisa et regio cruris
posterior ekstermitas inferior dextra, akral hangat,
pemeriksaan lain didapatkan dalam batas normal, maka dapat
disimpulkan diagnosis kasus ini adalah: Snake Bite Derajat I
et Regio Cruris Posterior Ekstermitas Inferior Dextra

e. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan jalan napas


Penatalaksanaan fungsi pernapasan
Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid
Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat
dan luas diatas luka, imobilisasi (dengan bidai)
Ambil 5 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu
trotombin, APTT, D-dimer, fibrinogen dan Hb, leukosit,

13
trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama K), CK.
Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit, menunjukkan
kemungkinan adanya koagulopati
Apus tempat gigitan dengan dengan venom detection
Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang
dilemahan), polivalen 1 ml berisi:
10-50 LD50 bisa Ankystrodon
25-50 LD50 bisa Bungarus
25-50 LD50 bisa Naya Sputarix
Fenol 0.25% v/v
Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml
NaCl 0,9% atau Dextrose 5% dengan kecapatan 40-80
tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal pada
luka tidak dianjurkan.
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan
edema hebat pada bagian luka. Pedoman terapi SABU
mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
Pedoman terapi SABU menurut Luck
Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann
antivenom
Jika koagulopati tidak membak (fibrinogen tidak
meningkat, waktu pembekuan darah tetap memanjang),
ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah
pada 1 dan 3 jam berikutnya, dst.
Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat,
waktu pembekuan menurun) maka monitor ketat
kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk
memonitor perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24
jam untuk mendeteksi kemungkinan koagulopati
berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan

14
Viperidae untuk tidak menjalani operasi minimal 2
minggu setelah gigitan
Terapi suportif lainnya pada keadaan :
Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frizen
(dan antivenin)
Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen
darah, fibrinogen, vitamin K, tranfusi trombosit
Hipotensi: beri infus cairan kristaloid
Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat
Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan
atau anggota badan
Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi
Gangguan neurologik: beri Neostigmin
(asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas atropin
Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan
Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau
kodein, hindari penggunaan obat obatan narkotik
depresan
Terapi profilaksis
Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman
terbanyak yang dijumpai adalah P.aerugenosa,
Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis
Beri toksoid tetanus
Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi
(Sudoyo, 2006)
Terapi di IGD RS Bhayangkara Hoegeng
Imam Santoso Banjarmasin:

IUVD RL 23 tpm
Inj Ondancentron 6 mg IV
Inj SABU 1 Vial @ 5 ml IV Pelan
Rujuk RS Ulin Atas Permintaan Pasien Sendiri

15
Daftar Pustaka

Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and


Critical Care, University of Tennessee School of Medicine. www.eMedicine.com.
De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta
Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM
Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Warrell, D.A., 1999. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the
South-East Asia Region. World Health Organization. Regional Centre for
Tropical Medicine, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Thailand.
Warrell,D.A., 2005. Treatment of bites by adders and exotic venomous snakes.
BMJ 2005; 331:1244-1247

16

Anda mungkin juga menyukai