TINJAUAN PUSTAKA
masalah lain berupa diet terlalu ketat sehingga membatasi jumlah makan. Orang-
menyimpang atau eating disorders (Carlson dan Buskist dalam Putra, 2004).
Sampai saat ini ada empat jenis perilaku makan menyimpang yang sudah
banyak dipelajari, yaitu Anorexia Nervosa (AN), Bulimia Nervosa (BN), Binge
Eating Disorder (BED) dan Eating Disorder Not Otherwise Specified (EDNOS).
Binge Eating Disorder (BED) atau cukup biasa disebut binge eating. Namun teori
perilaku makan menyimpang ini terus berkembang dan dipelajari sebagai salah
satu sumber penyebab terjadinya penyakit. Masih terdapat beberapa jenis lain
salah satunya adalah Night Eating Syndrome (NES). Perilaku makan menyimpang
tersebut banyak dikaitkan dengan binge eating, karena salah satu kriterianya yaitu
9
10
1. Definisi
membuat orang banyak makan di malam hari setelah lewat jam makan malam dan
tidak makan lagi saat sarapan atau pun makan siang. Orang yang mengalami
sindrom makan malam sering disebabkan karena depresi dan kecemasan, diet
yang sangat spesifik di mana individu yang terbangun beberapa kali di malam hari
dan tidak dapat tidur kembali kecuali mereka makan sesuatu.( Erdianto,2009)
Menurut Stunkard, sindrom makan malam yaitu salah satu bentuk perilaku
makan menyimpang yang ditandai dengan tiga kriteria yaitu, 1) tidak sarapan pagi
akibat kehilangan nafsu makan di pagi hari, 2) makan banyak di malam hari, yaitu
mengonsumsi 50% atau lebih dari asupan makan setelah jam 7 malam dan 3) tidur
larut malam (insomnia), berupa kesulitan untuk tidur dan terbangun dari tidur
2. Epidemiologi
pertama kali dideskripsikan pada tahun 1955 oleh Stunkard dkk; sebagai sindrom
yang berpotensi menjadi salah satu jenis perilaku makan menyimpang baru.
Walaupun telah banyak studi-studi baru yang mempelajari tentang sindrom ini,
namun belum banyak yang dipublikasikan selama empat puluh tahun terakhir.
sebesar 30% (Rand, et al. dalam Gluck, 2002), dan 37 sampai 50% pada pasien
obesitas (Stunkard, et al. 1955; Stunkard, et al. 1996; dan Gluck, et al. 2001).
yaitu 38% pada sampel di stasiun televisi dan 45% pada sampel di balai
pengobatan (Stunkard, et al. 1996). Ada pula angka prevalensi SMM yang
menunjukkan 51% pada pasien bedah yang obesitas (Rand, et al. dalam Gluck,
2002; Adami, et al. dalam Gluck, 2002). Studi pada kelompok obesitas berat juga
telah dilakukan dan melaporkan prevalensi yang lebih tinggi lagi, yaitu sebesar
57% dan 64% (Stunkard, et al. 1955; Aronoff, et al. dalam Gluck, 2002)
3. Kriteria
prevalensi SMM yang ada tersebut. Pada tahun 1996, Stunkard menyempurnakan
berupa perilaku menunda atau tidak melakukan sarapan akibat kehilangan nafsu
makan di pagi hari,makan banyak di malam hari, yaitu mengonsumsi 50% atau
lebih dari asupan makan setelah jam 7 malam dantidur larut malam (insomnia),
berupa kesulitan untuk tidur dan terbangun dari tidur akibat rasa lapar (Stunkard,
et al. 1996).
lanjut dari kriteria sindrom ini, yaitutidak sarapan pagi meskipun tersedia
makanan,makan banyak di malam hari, yaitu sekitar 50% asupan energi sehari
menggunakan kriteria tahun 1996 dan sampai saat ini tidak ada satupun studi yang
4. Patofisiologi
pemakan malam, kenaikan hormon leptin yang terlihat pada individu bukan
pemakan malam telah terbukti mengurangi nafsu makan dikarenakan tidak terjadi
penurunan, sedangkan kadar hormon leptin pada pemakan malam tidak naik
malam meningkat bila dibandingkan dengan individu bukan pemakan malam, hal
ini menunjukkan bahwa mereka lebih stres. Pola lain yang juga terlihat
padamereka individu yang pemakan malam, yaitu depresi dan gangguan makan
dimana terjadi penundaan waktu makan dengan frekuensi makan yang semakin
bahwa pemakan malam mengonsumsi lebih banyak asupan kalori harian (26-
56%) setelah makan malam dibandingkan dengan asupan kalori harian kelompok
ketika makan di malam hari dan mengingat makanan tersebut hingga keesokan
NEQ ini telah dirancang sebagai alat ukur untuk mengetahui gejala yang
berkaitan dengan night eating syndrome (NES) atau sindrom makan malam
terdapat beberapa keterbatasan data pada sifat psikometri ini (Van der Wal dalam
Skoring: Pertanyaan 1-9, fokus pada variabel yang terjadi sebelum waktu
tidur, dijawab oleh seluruh responden. Metode ‘stop’ atau ‘berhenti’ terdapat pada
dijawab jika makan larut malam saat terbangun di waktu tidur dan menjawab
bukan 0 pada pertanyaan 12. Pertanyaan dijawab dengan nilai 0-4 skala Likert,
14
kecuali pertanyaan 7 yang terdapat pilihan “cek apakah mood anda tidak berubah
terbalik jadi semakin tinggi nilai semakin mencerminkan gejala SMM. Semua
NES mungkin mengalami rasa gugup, namun mereka sadar ketika melakukan
hasil studi yang ada sekarang, jika tujuannya hanya mencari gejala-gejala kasus
yang mungkin terkena SMM, nilai total 25 dapat digunakan. Namun jika
baik digunakan. Total nilai NEQ memiliki hubungan positif untuk mengukur
asupan makanan, perilaku makan, kebiasaan tidur, emosi dan stres, namun tidak
a. Usia
remaja dan dewasa muda yaitu usia 18-20 tahun. Hal ini dikarenakan adanya
terhadap bentuk tubuh atau pola makan, khususnya pada peningkatan lemak pada
15
b. Jenis Kelamin
(2005) menyatakan bahwa prevalensi perempuan yang terkena SMM tiga kali
lipat lebih banyak dibandingkan dengan kaum pria. Sedangkan menurut Tiemer
secara biologis sejak seseorang lahir. Seks berkaitan dengan tubuh laki-laki dan
hamil dan menyusui. Perbedaan dan fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak
dapat dipertukarkan diantara keduanya, dan fungsinya tetap dengan laki-laki dan
perempuan pada segala ras yang ada di muka bumi (Hungu dalam Marbun, 2011).
mengalami SMM (Aronoff dalam Gluck, 2002). Sementara studi lain menemukan
tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan SMM (Gluck, et al. 2001;
Napolitano dalam Gluck, 2002) ataupun ada beberapa studi yang hanya meneliti
pada wanita saja (Stunkard, et al. 1996; dan Greeno dalam Gluck, 2002).
16
c. Kondisi Emosi
dan cemas, serta depresi (Gluck, 2002). Sebuah studi meneliti profil 24-jam
suasana hati individu pemakan malam dan yang bukan pemakan malam,
ditemukan bahwa pemakan malam memiliki suasana hati yang lebih rendah
itu, suasana hati para pemakan malam biasanya memburuk di malam hari, berbeda
dengan pola yang terlihat pada orang-orang yang depresi, suasana hati mereka
lebih menonjol pada pemakan malam, bahkan jika dibandingkan dengan mereka
berbeda. Para pemakan malam, bila dibandingkan dengan bukan pemakan malam,
dilaporkan mengalami depresi dan stres lebih tinggi, dan secara signifikan
d. Stres
Stres dijelaskan oleh Cannon pada tahun 1932 dengan teori fight-or-flight.
maka secara cepat tubuh akan terangsang dan termotivasi melalui sistem saraf
menyerang ancaman tadi atau melarikan diri (Garmezy dan Taylor dalam Smet,
1994). Definisi lain stres juga dipaparkan oleh Seyle pada tahun 1936 dengan
yang dilakukan oleh organisme ketika menghadapi stressor atau penyebab stres
e. Depresi
Depresi merupakan tingkat yang lebih parah dari stres negatif (distress).
depresi diakui sebagai masalah kesehatan utama dan merupakan penyakit mental
yang utama.
dan Binge Eating Disorder (Allison, 1995) juga menjelaskan bahwa kurang
percaya diri juga turut mempengaruhi perilaku makan menyimpang. Hal ini pula
Disorders (2004), yang menyatakan bahwa kurang kepercayaan diri secara tidak
langsung memicu seseorang berdiet ketat dan binge eatting. Rasa percaya diri
(self-esteem) sebagai faktor risiko juga diteliti oleh Gluck dan disimpulkan bahwa
memiliki pola makan atau asupan makan yang berbeda, yang pada akhirnya dapat
makan lebih sedikit di pagi hari namun semakin meningkat jumlahnya menjelang
malam hari, serta dilaporkan bahwa para pemakan malam lebih banyak
mengkonsumsi lebih dari 50% total kalori dalam sehari dibandingkan dengan
18
h. Status Gizi
dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk
variabel tertentu (Idrus dan Kunanto dalam Supariasa, 2002). Penilaian status gizi
secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian, salah satunya adalah
dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai
macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat
umur dan tingkat gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk melihat
pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan
badan normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index (BMI).
Di Indonesia istilah Body Mass Index diterjemahkan menjadi Indeks Massa Tubuh
(IMT). IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang
dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan,
tahun. IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan
olahragawan. Di samping itu pula IMT tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus
19
Berat Badan ( Kg )
IMT =
Tinggi Badan ( m 2 )
untuk kategori kurus tingkat berat dan menggunakan ambang batas perempuan
orang yang terkena SMM memiliki IMT yang lebih tinggi (Aronoff dalam Gluck,
2002). Kebanyakan studi tidak menemukan hubungan antara IMT pada orang-
orang obesitas baik dengan SMM maupun tidak (Gluck, 2002). Penelitian
Birketvedt (1999) dan Marshall (2004) menunjukkan tidak ada perbedaan dari
segi klinis antara pemakan malam yang obesitas dengan yang non-obesitas
(2009) menunjukkan hasil bahwa rata-rata IMT pada pria-SMM lebih tinggi dari
20
pada pria tanpa SMM. Rata-rata IMT pada wanita-SMM juga lebih tinggi
daripada wanita tanpa SMM. Subjek yang mengalami keduanya, BED dan SMM,
dilaporkan memiliki IMT yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan
subjek yang tidak mengalami kedua perilaku tersebut (Stunkard, et al. 1996).
a. Obesitas
badan dan tinggi badan melebihi standar yang ditentukan. Sedangkan obesitas
adalah kondisi kelebihan lemak, baik di seluruh tubuh atau terlokalisasi pada
seimbangan antara tinggi badan dan berat badan akibat jaringan lemak dalam
tubuh sehingga terjadi kelebihan berat badan yang melampaui ukuran ideal
sudah merupakan suatu problem kesehatan yang harus segera ditangani (WHO,
2000). Beberapa studi mengindikasi bahwa prevalensi SMM pada populasi umum
sebesar 30% (Rand, et al. dalam Gluck, 2002), dan 50% pada pasien obesitas
(Stunkard, et al. 1955; Stunkard, et al. 1996; dan Gluck, et al. 2001).
Di Indonesia, terutama di kota besar, dengan adanya perubahan-perubahan
makan tinggi kalori, tinggi lemak, dan kolesterol terutama terhadap penawaran
satu faktor risiko untuk timbulnya penyakit gula (diabetes). Pada penelitian di
Jakarta pada tahun 1982 juga ditemukan bahwa diabetes lebih banyak terdapat
gemuk. Pada penelitian itu ditemukan bahwa 67% pada orang-orang gemuk
menderita diabetes sedangkan pada orang yang tidak gemuk hanya 15%. Di
Makin lama orang gemuk makin besar kemungkinan untuk menderita diabetes
komplikasi obesitas dengan IMT > 25 Kg/M2. Hal ini mungkin terjadi sebagai
akibat dari perilaku makannya yang menyimpang (Kenardy dalam Allison, 2007).
Satu hal yang paling kuat ditunjukkan dalam penelitian SMM pada penderita
dibandingkan dengan diabetes tidak SMM. Individu gemuk diabetes dengan BED
dan NES memiliki IMT lebih tinggi (sekarang dan sepanjang hidupnya) dan
pada pasien diabetes mellitus tipe 1 dan 2, ditemukan bahwa makan banyak di
malam hari (evening hyperphagia) merupakan faktor yang secara signifikan paling
mempengaruhi. Hal tersebut juga terjadi pada kelompok obesitas dan kelompok
C. Obesitas
22
1. Definisi Obesitas
ketidakseimbangan antara tinggi badan dan berat badan akibat jaringan lemak
dalam tubuh sehingga terjadi kelebihan berat badan yang melampaui ukuran
ideal(Sumanto, 2009).
2. Etiologi
imbalance) untuk waktu yang lama. Hal ini dapat terjadi karena terlalu banyak
masukan kalori tanpa diimbangi dengan aktifitas fisik yang cukup. Penyebab
status sosial ekonomi. Komposisi diet juga berpengaruh besar terhadap terjadinya
overweight dan obesitas, dan kedua faktor ini banyak digunakan untuk mencegah
apabila tidak dapat diatasi dapat menyebabkan obesitas, dan hal ini akan menjadi
c. Faktor Genetik.
keturunan dengan obesitas. Jika salah satu orang tua dengan obesitas maka
peluang anaknya menjadi obesitas adalah 40%. Jika kedua orang tua dengan
makin kecil jika kedua orang tua tidak mengalami obesitas,yaitu 7%. Obesitas
(Smith, 1996).
perubahan pada pola makan sangat luas, mulai dari kerusakan di hipotalamus
3. Patofisiologi
penggunaan energi oleh tubuh, antara lain akibat masukan energi tinggi sedangkan
energi rendah.
24
masukan energi yang berlebih dan atau berkurang energy expenditure yang
obesitas makanan masuk kedalam tubuh dalam jumlah makanan yang lebih besar
dari pada yang dipakai oleh tubuh untuk energi. Makanan berlebih baik
adipose yang kemudian akan dipakai sebagai energi, dimana jumlah energi yang
memasuki tubuh lebih besar dari pada jumlah energi yang keluar, maka berat
4. Dampak Obesitas
1) Penyakit Kardiovaskuler
pembuluh darah koroner. Hasil penelitian menyebutkan bahwa dari 500 penderita
yang terjadi pada usia 20-40 tahun ternyata berpengaruh lebih besar terjadinya
penyakit jantung dibandingakan dengan usia yang lebih tua. (Purwati 2001).
tersebut tidak selalu timbul jika seseorang tidak kelebihan berat badan. Lebih dari
Hampir semua orang dewasa yang obesitas dengan diabetes melitus tipe-2
penebalan jaringan lemak di daerah dinding dada dan perut yang mengganggu
pergerakan dinding dada dan diafragma, sehingga terjadi penurunan volume dan
perubahan pola ventilasi paru serta meningkatkan beban kerja otot pernafasan.
Pada saat tidur terjadi penurunan tonus otot dinding dada dan CO2, serta
penurunan tonus otot yang mengatur pergerakan lidah dan menyebabkan lidah
jatuh ke arah dinding belakang faring yang mengakibatkan obstruksi saluran nafas
4) Penyakit Gout.
radang sendi yang serius jika dibandingkan dengan orang yang mempunyai berat
badan ideal. Biasanya orang yang mengalami obesitas berat akan mengalami sakit
5) Hipertensi
26
Orang yang obesitas akan mempunyai risiko yang lebih tinggi terhadap
kejadian hipertensi. Menurut hasil penelitian menunjukkan bahwa pada usia 20-39
tahun orang obesitas mempunyai risiko dua kali lebih besar terserang hipertensi
1994)
D. Kerangka Teori
27
Usia
Jenis Kelamin
Hormon
kortisol Pola makan
Rasa percaya Pola tidur
diri Kondisi
Asupan energi SindromMakan Malam emosi
dan zat gizi (Stress)
makro
hormon
leptin dan
kortisol
DM tipe-2
Faktor Genetik
Faktor Lingkungan
Faktor Neuro
Psikologik
Ketidakseimbangan
asupan kalori
terhadap aktivitas
IMT ( Kg/M2 )
fisik
Obesitas
Penyakit
BB (Kg)
kardiovaskuler
TB (M)
DM Tipe 2
Obstructive sleep
apnea
Penyakit gout
Hipertensi
E. Hipotesis Kerja
Jika sindrom makan malam meningkat maka kejadian obesitas meningkat
pada mahasiswa/mahasiswi Fakultas kedokteran UNIBA angkatan 2013.
28