Tingkat Stres, Durasi dan Kualitas Tidur, Serta Sindrom Makan Malam
Pada Mahasiswi Obesitas Dan Non Obesitas Fakultas Kedokteran
Adilla Eka Afriani1*, Ani Margawati1, Fillah Fithra Dieny1
1
Program Studi S1 Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang
adillaeka136@yahoo.com
ABSTRAK
Obesitas merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara
berlebihan. Tingkat stress, kualitas dan durasi tidur serta sindrom makan malam merupakan salah satu
faktor risiko terjadinya obesitas. Tujuan penelitian untuk menganalisis perbedaan tingkat stres, kualitas dan
durasi tidur, serta sindrom makan malam pada mahasiswi obesitas dan non obesitas fakultas kedokteran
Penelitian ini menggunakan desain case-control, dengan jumlah responden sebanyak 36 subjek mahasiswi
obesitas sebagai kelompok kasus dan 36 mahasiswi non obesitas sebagai kelompok kontrol di Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro. Pengambilan subjek menggunakan metode simple random sampling.
Data meliputi tingkat stress, durasi dan kualitas tidur, sindrom makan malam, asupan makan dan aktivitas
fisik masing- masing diukur menggunakan Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS 42), Pittsburgh Sleep
Quality Index (PSQI), The Night Eating Questionnaire (NEQ), food recall, dan International Physical Activity
Quetionnaire (IPAQ). Analisis data menggunakan uji independent t test dan Mann Whitney. Rerata kualitas
dan durasi tidur pada kelompok kasus sebesar 8,4±2,7 dan 5,9 ±1,3 jam, sedangkan pada kelompok
kontrol sebesar 7,1±2,3 dan 6,5±1,3 jam. Ada perbedaan durasi tidur (p=0,025), kualitas tidur (p=0,030), dan
asupan protein (p=0,044) antara kelompok obesitas dan non obesitas. Namun, tidak terdapat perbedaan
tingkat stress (p=0,768) dan sindrom makan malam (p=0,722) antara kelompok obesitas dan non obesitas).
Terdapat perbedaan kualitas tidur, durasi tidur dan asupan protein pada kelompok obesitas dan non obesitas.
Kata Kunci : tingkat stres, kualitas tidur, durasi tidur, sindrom makan malam, obesitas
ABSTRACT
Obesity identified by abnormality marked by fat accumulation of body tissue excessively. Stress levels,
duration and sleep quality, and night eating syndrome is one of risk factors for obesity. The objective of the study
was to analyze the difference between stress levels, duration and sleep quality, and night eating syndrome among
obese and non-obese students of the Faculty of Medicine. This study was case control design. This research
was conducted at Medical Faculty Diponegoro University. Subjects were 36 obese students as a case group
and were 36 non obese students as a control group. Subjects were chosen through simple random sampling
methods. Data of stress levels, duration and quality of sleep, night eating sindrom, nutrient intake and physical
activity were measured by the Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42), the Pittsburgh Sleep Quality Index
(PSQI), The Night Eating Questionnaire (NEQ), food recall and International Physical Activity Questionnaire
(IPAQ), respectively. Data were analyzed using independent t-test and Mann Whitney. The average of duration
and sleep quality of the case group was 8.4 ± 2.7 and 5.9 ± 1.3 hours, while the control group it was 7.1 ± 2.3
and 6.5 ± 1.3 hours. There were significant differences of sleep quality (p=0,030), sleep duration (p=0,025)
and protein intake (p=0,044) in between obese and non obese. There were no significant difference of stress
levels (p=0,768) and night eating syndrome (p=0,722) between obese and non obese. Conclusion: There were
significant differences of sleep quality, sleep duration and protein intake between obese and non obese groups.
Key words : stress levels, sleep quality, sleep duration, night eating syndrome, obesity
63
Sport and Nutrition Journal, Vol. 1, No. 2, November 2019: 63-73
64
Adilla Eka Afriani, Ani Margawati, Fillah Fithra Dieny / Tingkat Stres, Durasi, dan Kualitas Tidur ...
≥ 25 kg/m2 untuk kelompok kasus dan IMT 18,5- termasuk kedalam SMM (≥25) dan tidak SMM
22,9 kg/m2 untuk kelompok kontrol. Besar subjek (<25) pada kuesioner.
penelitian sebanyak 72 orang, dengan 36 orang Data asupan zat gizi merupakan rata-
untuk masing-masing kelompok. Kriteria inklusi rata makanan dan minuman yang diperoleh
subjek antara lain bersedia menjadi subyek dengan wawancara menggunakan food recall
penelitian dengan mengisi informed consent, 3x24 jam. Analisis asupan energi, karbohidrat,
tercatat sebagai mahasiswi aktif di Fakultas lemak, protein dan serat menggunakan aplikasi
Kedokteran Universitas Diponegoro berusia 18- Nutrisurvey 2005. Setelah dianalisis, asupan
21 tahun dan mampu berkomunikasi dengan zat gizi dibandingkan dengan total kebutuhan
baik. Kriteria eksklusi adalah subjek mengalami setiap individu, subjek dikategorikan kurang
sakit dan tidak dapat dihubungi. Pengambilan (<90%), cukup (90-119%) dan lebih (>120%)
subjek dilakukan dengan metode simple random (Wahyuningsih R, 2013). Aktivitas fisik adalah
sampling. Variabel terikat dalam penelitian ini setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot
adalah kejadian obesitas, sedangkan variabel rangka yang memerlukan pengeluaran energi
bebas adalah tingkat stres, kualitas dan durasi (Muzamil, 2014). Data aktivitas fisik diperoleh
tidur serta sindrom makan malam. Variabel dari kuesioner International Physical Activity
yang diduga perancu adalah asupan energi, Quetionnaire (IPAQ). Subjek dalam kategori
karbohidrat, lemak, protein, serat dan aktivitas aktivitas fisik berat jika aktivitas intensitas berat 3
fisik. hari atau lebih atau kombinasi berjalan, aktivitas
Stres dalam arti umum merupakan intensitas berat, dan sedang yang mencapai
pola reaksi serta adaptasi umum, dalam arti minimal 3000 METs-menit/minggu, aktivitas
pola reaksi menghadapi stresor, yang dapat fisik sedang jika lima hari atau lebih kombinasi
berasal dari dalam maupun luar individu yang dari aktivitas berjalan, aktivitas fisik sedang dan
bersangkutan, dapat nyata maupun tidak nyata aktivitas fisik berat mencapai total MET minimal
sifatnya. Data tingkat stres diperoleh dari 600 MET-menit/minggu, aktivitas fisik rendah jika
kuesioner Depression Anxiety Stres Scale 42 total aktivitas fisik seseorang tidak mencakup
(DASS 42) dengan hasil skoring kuesioner pada kategori tinggi atau sedang dan total MET <
subjek dikategorikan normal (0-14), ringan (15- 600 MET-menit/minggu (Hamrik, 2014). Analisis
18), sedang (19-25), berat (26-33) dan sangat univariat digunakan untuk menggambarkan
berat (>34) (Musradinur, 2016). Kualitas tidur variabel.
adalah kemampuan individu untuk dapat tetap Analisis univariat dilakukan untuk
tidur, tidak hanya mencapai jumlah atau lamanya mendeskripsikan variabel. Uji kenormalan data
tidur (Sulistiyani C, 2012). Durasi tidur adalah menggunakan Kolmogorov-Smirnov. Analisis
waktu seseorang tidur sampai terbangun di pagi bivariat dilakukan untuk mengetahui perbedaan
hari tanpa menyebutkan terbangun pada tengah masing-masing variabel dengan variabel terikat
malam (Lestari R, 2018). Data kualitas dan dengan menggunakan uji independent t-test
durasi tidur diperoleh dari kuisioner Pittsburgh apabila data berdistribusi normal dan apabila
Sleep Quality Index (PSQI) (Fandiani, 2017). data berdistribusi tidak normal menggunakan
Kemudian hasil pengukuran dikategorikan Mann Whitney.
subjek dengan kualitas tidur baik (≤5) dan buruk
(>5). Selanjutnya untuk mengetahui durasi tidur HASIL DAN PEMBAHASAN
malam pada subjek dengan menggunakan Gambaran Umum Penelitian
metode skoring nomer 4 yang mengkalkulasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa
antara waktu tidur malam dengan waktu bangun tingkat stres pada mahasiswi FK UNDIP tidak
tidur di pagi hari. Hasil pengukuran kemudian jauh berbeda antara kelompok obesitas dan non
dikategorikan durasi tidur malam kurang (<7 obesitas. Kelompok kasus lebih banyak mengalami
jam/hari) dan cukup (7–9 jam/hari) (NSF, 2010). tingkat stres ringan sebanyak 9 responden (25%)
Sindrom makan malam (SMM) adalah gangguan dan kelompok kontrol sebanyak 6 orang (16,7%).
yang sangat spesifik di mana individu yang
terkena bangun beberapa kali pada malam
hari dan tidak dapat kembali untuk tidur kecuali
mereka memakan sesuatu (Milano et al, 2012).
Data sindrom makan malam diperoleh dari
kuisioner The Night Eating Questionnaire (NEQ)
(Omar, 2007). Hasil pengukuran dikategorikan
65
Sport and Nutrition Journal, Vol. 1, No. 2, November 2019: 63-73
Tingkat stres sedang lebih banyak lebih banyak dialami oleh kelompok kasus
dialami oleh kelompok kontrol yaitu sebanyak (97,2%) dibandingkan dengan kelompok kontrol
delapan responden (22,2%) dibandingkan (69,4%). SMM ditemukan lebih banyak dialami
dengan kelompok kasus sebanyak lima oleh kelompok kontrol (19,4%) dibandingkan
responden (13,9%). Durasi tidur malam dengan kelompok kasus (11,1%). Aktivitas fisik
pada kedua kelompok rata-rata cukup tetapi ringan lebih dipilih oleh kedua kelompok dengan
jumlah durasi tidur malam <7 jam/hari lebih kelompok kasus sebanyak 17 orang (47,2%) dan
banyak dialami pada kelompok kasus (44,4%) kelompok kontrol sebanyak 21 orang (58,3%).
dibandingkan dengan kelompok kontrol (19,4%).
Responden dengan kualitas tidur yang buruk
66
Adilla Eka Afriani, Ani Margawati, Fillah Fithra Dieny / Tingkat Stres, Durasi, dan Kualitas Tidur ...
Tabel 2 menunjukkan bahwa pada stres, SMM, aktivitas fisik, asupan energi, lemak,
kelompok kasus dan kelompok kontrol memiliki karbohidrat dan serat antara kelompok obesitas
kualitas tidur buruk yang ditandai dengan jumlah dan non obesitas (p>0,05). Asupan zat gizi pada
skor >5. Rata- rata durasi tidur malam pada kedua kelompok rata-rata kurang dari kebutuhan,
kelompok kasus adalah 5,9 jam dan 6,5 jam pada serta asupan serat pada kedua kelompok
kelompok kontrol. Nilai minimum 4 jam pada ditemukan kurang dari kebutuhan yaitu 25 gram/
kedua kelompok, sedangkan nilai maksimum hari. Rerata asupan serat pada kelompok kasus
sebesar 7 jam pada kelompok kasus dan 8 jam 6,3 gram dan 6,1 gram pada kelompok kontrol.
pada kelompok kontrol. Hal ini menandakan
bahwa pada kedua kelompok, responden memiliki Tingkat Stres, Kualitas Tidur, Durasi
durasi tidur malam paling pendek ±4 jam/hari. Tidur, Sindrom Makan Malam, Asupan Zat
Pada analisis bivariat, diperoleh hasil Gizi dan Aktivitas Fisik
bahwa terdapat perbedaan kualitas tidur, Analisis bivariat menunjukkan adanya
durasi tidur malam dan asupan protein antara perbedaan kualitas tidur antara mahasiswi
kelompok obesitas dan non obesitas (p<0,05). obesitas dan non obesitas (p=0,03) dengan rata-
Namun, ditemukan tidak ada perbedaan tingkat
67
Sport and Nutrition Journal, Vol. 1, No. 2, November 2019: 63-73
rata kualitas tidur pada kelompok mahasiswi Debby dkk, yaitu prevalensi orang dewasa yang
obesitas memiliki skor yang lebih tinggi (8,4±2,7) memiliki durasi tidur <7 jam /hari pada kelompok
dibandingkan dengan skor mahasiswi non obesitas 42% lebih besar dibandingkan dengan
obesitas (7,1±2,3). Hal ini disebabkan karena prevalensi orang dewasa tidak obesitas yang
mahasiswi obesitas cenderung mengalami durasi tidurnya >7 jam/hari. Hubungan durasi
gangguan saat tidur seperti gangguan tidur yang pendek dengan terjadinya obesitas
pernafasan (sleep apnea) yang ditandai dengan pada orang dewasa dapat dijelaskan dengan
mendengkur pada saat tidur, posisi tidur yang beberapa mekanisme. Durasi tidur yang lebih
tidak benar sehingga susah bernafas dan sedikit dapat meningkatkan asupan energi dan
sering terjaga di malam hari. Kualitas tidur yang menurunkan pegeluaran energi (Safitri, 2015).
buruk juga dapat disebabkan oleh kebiasaan Perubahan yang terjadi bila seseorang kurang
mahasiswi tidur larut malam, menonton, bermain tidur antara lain adalah perubahan metabolisme
game dan menggunakan handphone. Hasil tubuh dan hormonal. Metabolisme tubuh pada
penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang saat tidur 5% lebih rendah dibandingkan saat
dilakukan pada mahasiswa Fakultas Kesehatan bangun. Pada orang yang tidur <7 jam/hari, kadar
Masyarakat Universitas Diponegoro yang hormon leptin dan melatonin berkurang (Farooqi,
menyatakan adanya hubungan signifikan antara 1999). Kadar hormon melatonin tinggi ditemukan
IMT dan kualitas tidur (p=0,013). Penelitian pada kondisi tidur. Hormon melatonin membuat
tersebut juga menyatakan bahwa mahasiswa kadar hormon leptin meningkat (Arendt, 2000).
dengan kategori IMT kurus lebih cenderung Ghrelin akan menurun jika jumlah jam tidur
memiliki kualitas tidur yang baik. Kualitas tidur orang dewasa cukup (≥ 7 jam). Waktu tidur
yang baik pada mahasiswa dengan kategori IMT yang kurang dapat menyebabkan terjadinya
kurus dikarenakan tidak mengalami sleep apnea penurunan kadar hormon kortisol (hormon yang
sehingga lebih mudah untuk tidur dan merasa berperan dalam pengaturan laju metabolisme)
nyenyak saat tidur. Kualitas tidur yang baik serta kadar growth hormone (hormon yang
dapat memberikan efek seperti merasa segar berperan penting di dalam pembakaran lemak
saat bangun, tidak mengantuk saat beraktivitas, dan pembentukan otot) (Spiegel, 2004).
dan tidak merasakan keletihan saat beraktivitas Hasil penelitian menunjukkan tidak ada
(Sulistiyani C, 2012) Kualitas tidur yang buruk perbedaan yang bermakna mengenai tingkat
dengan gaya hidup yang tidak baik dalam jangka stres antara mahasiswi obesitas dan non obesitas
waktu lama akan menyebabkan peningkatan (p=0,768). Kelompok kasus dan kelompok
IMT seseorang bahkan dalam kategori obesitas kontrol memiliki rata-rata tingkat stres dalam
(Marfuah, 2015). kategori normal. Penelitian ini juga menunjukkan
Analisis bivariat selanjutnya menunjukkan skor tingkat stres pada mahasiswi obesitas lebih
adanya perbedaan durasi tidur antara mahasiswi rendah (13,9±6) dibandingkan dengan skor
obesitas dengan mahasiswi non obesitas mahasiswi non obesitas (14,4±7,5). Mahasiswi
(p=0,025). Hasil pengukuran menunjukkan obesitas lebih banyak mengalami tingkat stres
rata-rata durasi tidur malam pada kelompok ringan dan tingkat stres sedang lebih banyak
mahasiswi obesitas <7 jam/hari (5,9±1,3 jam) dialami oleh mahasiswi non obesitas, akan tetapi
sedangkan rata-rata pada mahasiswi non jumlah tingkat stres ringan dan sedang antara
obesitas sudah mencapai ≥7 jam/hari (6,5±1,3 kedua kelompok ditemukan tidak berbeda. Faktor
jam). National Sleep Foundation menganjurkan risiko yang menyebabkan mahasiswa mengalami
pada usia dewasa muda memiliki waktu tidur stres diantaranya adalah lingkungan, akademik,
sebanyak 7-9 jam setiap malam (NSF, 2010). persaingan, hubungan interpersonal dan cara
Durasi tidur malam yang kurang pada mahasiswi berpikir. Status gizi subyek juga dimungkinkan
obesitas dikarenakan adanya masalah gangguan sebagai penyebab keadaan stres pada
tidur yang menyebabkan sering terjaga ditengah responden sehingga mahasiswi non obesitas
malam sehingga sulit untuk tidur kembali. juga memiliki risiko mengalami stres sama
Hal ini yang menyebabkan para mahasiswi dengan mahasiswi non obesitas. Hasil penelitian
obesitas tersebut tidak dapat mencukupi waktu ini sejalan dengan penelitian pada mahasiswa
durasi tidur yang baik. Beberapa responden UNS yang menunjukkan bahwa stres tidak
memiliki durasi tidur yang kurang disebabkan berhubungan dengan IMT (p=0.491). Tidak ada
oleh kebiasaan tidur larut malam dan kemudian hubungan antara stres dengan IMT dikarenakan
harus bangun di pagi hari untuk kuliah. Hal ini pada keadaan stres, seseorang cenderung lupa
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh akan kebutuhan makan, kebersihan diri dan
68
Adilla Eka Afriani, Ani Margawati, Fillah Fithra Dieny / Tingkat Stres, Durasi, dan Kualitas Tidur ...
istirahat. Pilihan makan selama periode stres malam dilaporkan memiliki suasana hati yang
juga dapat mempengaruhi status gizi seperti lebih tertekan dan stres yang dirasakan dan
adanya kecenderungan makan lebih banyak yang secara signifikan memiliki kualitas hidup
bahkan kecenderungan makan dalam jumlah yang lebih rendah (Lundgren, 2008).
sedikit (Wardani, 2015). Variabel perancu dalam penelitian
Penelitian pada mahasiswa Fakultas ini adalah asupan energi, lemak, protein,
Kedokteran UNSRAT juga menunjukkan karbohidrat, serat dan aktivitas fisik. Hasil
hasil yang sejalan dengan penelitian ini yakni penelitian pada asupan energi menunjukkan
sebagian besar mahasiswa memiliki tingkat stres tidak terdapat perbedaan antara mahasiswi
rendah dan ada juga yang mengalami tingkat obesitas dengan non obesitas (p=0,362). Rerata
stres tinggi. Penilaian individu terhadap stressor asupan energi pada kedua kelompok ditemukan
dapat mempengaruhi kemampuan individu untuk tidak jauh berbeda yaitu 1122±4,2 kkal pada
melakukan tindakan pencegahan terhadap kelompok mahasiswi obesitas dan 1127±3,2
stressor yang membuat stres. Govaerest & kkal pada kelompok mahasiswi non obesitas.
Gregoire mengatakan bahwa respon seseorang Kelompok kasus menunjukkan bahwa sebanyak
berhadapan dengan stressor tidak akan sama 94,4% responden memiliki asupan energi yang
dengan saat pertama kali, seseorang cenderung kurang. Hal tersebut dapat terjadi karena pada
lebih dapat mengelolah stressor ketika mahasiswi obesitas cenderung membatasi
dihadapkan dalam kondisi yang berulang. Setiap jumlah konsumsi makanan karena takut berat
mahasiswa tentunya memiliki pengalaman yang badan akan mengalami kenaikan dan beberapa
berbeda dan dipersepsikan berbeda walaupun mahasiswi juga mengungkapkan porsi makanan
dengan stressor yang sama, sehingga tingkat yang sedikit dan beberapa lainnya disebabkan
stres yang dialami oleh mahasiswa juga terjadinya bias karena mahasiswi lupa. Rerata
bervariasi tergantung dari pengalaman stres asupan energi mahasiswi diperoleh dari sumber
akademik individu tersebut (Bingku, 2015). energi yaitu nasi, roti, kentang, mie bihun, mie
Hasil penelitian menunjukkan tidak instan, dan dari jenis umbi-umbian. Hal tersebut
terdapat perbedaan SMM antara mahasiswi sejalan dengan penelitian Vicennia dkk yaitu
obesitas dan non obesitas (p=0,722). Responden didapatkan hasil bahwa sebanyak 70% dari
pada kelompok kasus ataupun kelompok kontrol responden mahasiswa Fakultas Kedokteran
mengalami SMM dengan jumlah sedikit. Rerata Universitas Riau belum memiliki asupan energi
skor SMM pada mahasiswi non obesitas lebih yang cukup. Hal tersebut disebabkan karena
tinggi (17,6±6,9) dibandingkan dengan mahasiswi kurangnya dukungan dari lingkungan, sulitnya
obesitas (16,8±5,7). Hasil penelitian menemukan mendapatkan makanan yang sehat, hambatan
pada kelompok kasus sebanyak empat orang seseorang tidak dapat merubah kebiasaan
mahasiswi (11,1%) dan pada kelompok kontrol makannya menjadi lebih baik. Penyebab lainnya
sebanyak tujuh orang mahasiswi (19,4%) yang adalah karena sebagian besar mahasiswi hidup
mengalami SMM. SMM lebih banyak terjadi tinggal di kos sehingga makanan yang dikonsumsi
pada responden non obesitas dikarenakan tidak beragam. Berbeda dengan mereka yang
adanya faktor seperti kepercayaan diri, stres dan tinggal di rumah, karena diasumsikan bahwa
depresi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian dengan tinggal di rumah asupannya lebih
pada mahasiswa Universitas Indonesia yaitu terjaga, lebih sehat, dan dalam variasi maupun
tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ketersediannnya pun juga mencukupi (Serly,
status gizi dengan SMM (p=0,600). Orang gemuk 2015).
dan tidak gemuk yang memiliki kriteria SMM Kemudian berdasarkan hasil uji bivariat
memiliki jumlah perbedaan yang kecil (Parastika, terdapat perbedaan asupan protein yang
2012). Beberapa hasil penelitian menemukan signifikan antara mahasiswi obesitas dan non
bahwa SMM pada orang tidak gemuk tidak obesitas (p=0,044), rerata asupan protein
bisa disepelekan, meskipun kegemukan belum pada kelompok mahasiswi obesitas lebih tinggi
terlihat sebagai dampak saat ini. Pada pemakan (43,8±12,9 gram) dibandingkan kelompok
malam yang non obes menunjukkan bahwa mahasiswi non obesitas (39,2±11,3 gram).
SMM berhubungan dengan pola makanan yang Namun ditemukan asupan protein pada kedua
abnormal, perilaku makan yang tidak teratur, kelompok sebagian besar masih kurang dari
gangguan tidur, suasana hati, peningkatan stres, kebutuhan, sehingga perbedaan asupan protein
penurunan kualitas hidup, dan kemungkinan pada kedua kelompok ini tidak bisa dikatakan
yang lebih besar dari psikopatologi. Pemakan sebagai penyebab terjadinya obesitas pada
69
Sport and Nutrition Journal, Vol. 1, No. 2, November 2019: 63-73
mahasiswi. Hasil food recall 3x24 jam pada kurang dengan rerata 117,8±56,2 gram pada
mahasiswi obesitas menunjukkan bahwa sumber mahasiswi obesitas dan 123,5±38,6 gram pada
protein hewani berasal dari daging ayam dan mahasiswi non obesitas. Hal tersebut dapat
telur, sedangkan untuk protein nabati berasal disebabkan karena. mahasiswi lebih memilih
dari kacang-kacangan. Selanjutnya, pada makanan dengan karbohidrat yang tidak terlalu
mahasiswi non obesitas sumber protein lebih besar dikarenakan mereka sudah mengetahui
bervariasi yaitu berasal dari daging sapi, daging bahwa tinggi karbohidrat tidak baik untuk bentuk
ayam, telur dan susu, sedangkan untuk protein badan. Beberapa dari mahasiswi juga pernah
nabati yaitu tahu dan tempe. Saat menghindari menghindari mangkonsumsi nasi dengan alasan
makanan berlemak dan karbohidrat, seseorang ingin menurunkan berat badan. Kelompok
cenderung mengonsumsi protein sebagai kasus yakni responden obesitas sebagian besar
pengganti. Namun menurut Prof Ali protein juga sumber karbohidrat yang dikonsumsi hampir
dapat menyebabkan kegemukan (Khomsan, sama dengan responden non obesitas yaitu
2003). berasal dari nasi, roti, kentang, tepung terigu,
Perbedaan asupan lemak pada gula pasir, bakso pentol, siomay, mie instan dan
mahasiswi obesitas dan non obesitas tidak pasta. Penelitian ini sejalan dengan Pramono
signifikan (p=0,826). Nilai rerata asupan lemak yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan
kedua kelompok sebagian besar masih kurang antara kecukupan karbohidrat dengan obesitas
dari kebutuhan individu, yaitu pada mahasiswi (Sasmito, 2013). Hasil penelitian yang dilakukan
obesitas sebesar 47,1±21,6 gram dan pada terhadap remaja di New York yang menemukan
kelompok mahasiswi non obesitas sebesar bahwa remaja dengan asupan karbohidrat yang
44,9±14 gram. Namun ditemukan kelebihan rendah selama 12 minggu mengalami penurunan
asupan lemak lebih banyak ditemukan pada berat badan sebesar 9.9±9.3 kg. Jika asupan
mahasiswi non obesitas (8,3%) dibandingkan karbohidrat ini dilakukan untuk waktu yang lebih
dengan mahasiswi obesitas (5,6%). Hal ini lama maka akan didapatkan status gizi normal
disebabkan karena mahasiswi obesitas mulai yang diinginkan (Sondike, 2003).
memikirkan body image dibandingkan dengan Pada asupan serat tidak terdapat
mahasiswi non obesitas, sehingga rata-rata perbedaan antara mahasiswi obesitas dengan
mereka mengurangi makanan sumber lemak non obesitas (p= 0,884). Nilai rerata asupan
sebagai upaya dalam menurunkan berat badan. serat pada mahasiswi obesitas sebesar 6,3±3
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan gram dan 6,1±2,4 gram pada mahasiswi non
oleh Fajar yaitu tidak terdapat perbedaan rata- obesitas, sehingga asupan serat pada kedua
rata pada asupan lemak obese dan tidak obese kelompok 100% kurang dari kebutuhan.
pada mahasiswa obese dengan non obese di Kebutuhan serat yang dianjurkan untuk
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. kelompok wanita dewasa yaitu 25 gram/ hari.
Hasil penelitian tersebut didapat bahwa rata- Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Annisa
rata konsumsi lemak pada orang tidak obese dkk asupan serat pada penduduk dewasa (>18
lebih besar dibandingkan orang yang obese tahun) di Provinsi Sumatra Barat, Jawa Barat,
(Aprilianti, 2013). Hal ini diduga karena pada Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan memiliki
penelitian hanya diambil satu kali food recall tingkat asupan serat yang kurang (99%). Hal
24 jam dan pada peneliti hanya menanyakan ini diduga bahwa ada masalah didalam recall
frekuensi makanan berlemak dan tidak mengukur asupan serat yang berasal dari makanan
besarnya kontribusi energi dari makanan yang dikonsumsi responden (Sasmito, 2013).
berlemak yang dikonsumsi sampel sehingga Makaryani menyatakan asupan serat yang
hasil yang diperoleh tidak menggambarkan rendah dipengaruhi oleh pengetahuan serat
kondisi konsumsi makanan berlemak sampel yang masih rendah. Selain itu asupan serat juga
sebenarnya (Sugianti, 2009). Kemungkinan dipengaruhi oleh gaya hidup, adat istiadat, dan
ada faktor lain yang mempengaruhi status gizi kondisi fisiologis (Makaryani, 2013).
lebih seperti ketidaknormalan produksi hormon Tidak terdapatnya perbedaan aktivitas fisik
seseorang dapat meningkatkan resiko obesitas antara kelompok obesitas dengan non obesitas
(Sasmito, 2013). (p=0,612). Aktivitas fisik ringan sebagian besar
Pada asupan karbohidrat tidak memiliki dimiliki oleh kedua kelompok baik mahasiswi
perbedaan antara mahasiswi obesitas dengan obesitas (1221±1,4 MET-menit/minggu) maupun
non obesitas (p=0,136). Sebanyak 97,2% non obesitas (1289±1,7 MET-menit/minggu).
responden memiliki asupan karbohidrat yang Namun, ditemukan pada kelompok kasus
70
Adilla Eka Afriani, Ani Margawati, Fillah Fithra Dieny / Tingkat Stres, Durasi, dan Kualitas Tidur ...
lebih banyak melakukan aktivitas fisik sedang Salah satunya hormon leptin yang berperan
(33,3%) dibandingkan dengan kelompok kasus dalam pengaturan keseimbangan energi
(25%). Hal ini disebabkan karena adanya upaya sehingga perubahan kadar leptin dalam tubuh
mahasiswi dalam menurunkan berat badan memengaruhi asupan maupun pengeluaran
dengan melakukan penambahan aktivitas fisik. energi secara akut. Peningkatan asupan kalori
Jenis aktivitas fisik yang dilakukan mahasiswi dan selera makan yang berlebihan dapat
antara lain senam, berenang, jogging, work- dijelaskan dengan adanya peningkatan kadar
out, dan taekwondo. Hal ini sejalan dengan ghrelin pada plasma darah setelah seseorang
hasil penelitian Ruslie dkk yaitu mayoritas melewati malam tanpa tidur yang cukup. Hormon
responden memiliki aktivitas fisik yang kurang, metabolisme lain yang juga dapat dipengaruhi
sedangkan sisanya memiliki aktivitas fisik cukup. oleh durasi tidur malam yang singkat adalah
Hal ini mungkin disebabkan karena mahasiswa kadar kortisol yang lebih tinggi pada sore dan
FK UAJ terlalu sibuk dengan jadwal kuliah malam hari. Kortisol dapat memengaruhi kadar
sehingga waktu yang bisa digunakan untuk insulin dalam darah sehingga penimbunan
berolahraga sangat terbatas. Tingginya jumlah lemak meningkat. Kemudian menurunnya kadar
mahasiswa yang memiliki aktivitas fisik kurang Growth hormone apabila seseorang tidak cukup
bisa disebabkan oleh kemajuan teknologi dan tidur. Sehingga dapat merangsang penyerapan
pengaruh globalisasi yang memicu semakin tidak glukosa oleh sel, glikogenesis dan lipogenesis.
pernah beraktivitas, seperti lebih menghabiskan Hal ini, apabila terjadi secara terus menerus
waktunya untuk bermain komputer, menonton dapat menyebabkan kegemukan (Safitri, 2015).
televisi, dan memilih bepergian dengan Tidur yang kurang (2-4 jam sehari)
kendaraan bermotor (Ruslie, 2012). dapat mengakibatkan kehilangan 18% leptin
dan meningkatkan 28% ghrelin yang dapat
Kualitas Tidur, Durasi Tidur, Sindrom menyebabkan bertambahnya nafsu makan
Makan Malam Terhadap Kejadian Obesitas kira–kira sebesar 23–24%. Kemudian dapat
Berdasarkan hasil penelitian kualitas dan disimpulkan dari beberapa penelitian bahwa
durasi tidur berkaitan dengan status gizi subjek. secara keseluruhan, pengurangan tidur dapat
Kualitas tidur yang buruk serta durasi tidur yang meningkatkan asupan yang berlebih sebesar
pendek lebih banyak dialami pada mahasiswi >250 kkal/hari. Beberapa pendapat dikemukakan
obesitas dibandingkan dengan mahasiswi non bahwa dalam lingkungan yang sudah tersedia
obesitas. Namun ditemukan hanya sedikit subjek makanan, durasi tidur yang pendek dapat
yang mengalami sindrom makan malam. Hal ini memberikan peluang peningkatan untuk makan,
dapat terjadi dikarenakan tidak semua subjek terutama jika sebagian besar waktu luang hanya
yang memiliki gangguan tidur bisa digolongkan dihabiskan dalam kegiatan tidak aktif (sedentary
kedalam sindrom makan malam, dikarenakan lifestyle) seperti menonton televisi yang biasanya
subjek dikatakan mengalami SMM apabila telah diikuti dengan ngemil atau makan snack
memenuhi tiga kriteria utama menurut Stunkard, (Marfuah D, 2015). Meskipun berdasarkan pada
et al yaitu tidak sarapan pagi, makan banyak hasil penelitian zat gizi makro responden masih
di malam hari atau terbangun dari tidur disertai kurang dari kebutuhan perindividu. Hal ini dapat
dengan makan dan tidur larut malam serta disebabkan karena terjadinya bias pada saat
pengulangan seluruh kriteria selama tiga bulan recall karena metode ini sangat membutuhkan
(Lundgren, 2008). Sehingga kualitas dan durasi kejujuran responden dan terkadang hasil
tidur dapat berkaitan dengan kejadian obesitas yang diperoleh kurang memuaskan. Hal ini
dapat disebabkan oleh faktor lain selain dari disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
sindrom makan malam. Faktor-faktor utama tidur ketidaksesuaian dalam menggunakan alat ukur,
dihubungkan dengan kejadian obesitas seperti waktu pengumpulan data yang tidak tepat,
konsumsi makanan dan aktivitas fisik. Hubungan instrumen tidak sesuai dengan tujuan, ketelitian
durasi tidur yang pendek dengan terjadinya alat timbang makanan, kemampuan petugas
obesitas pada orang dewasa dapat dijelaskan pengumpulan data, daya ingat responden,
dengan beberapa mekanisme. Durasi tidur yang daftar komposisi makanan yang tidak sesuai
pendek dapat meningkatkan asupan energi dan dengan makanan yang dikonsumsi responden
menurunkan pegeluaran energi. Peningkatan dan interpretasi hasil yang kurang tepat (Silvia,
asupan dan penurunan pengeluaran energi 2011).
karena durasi tidur malam yang singkat, berkaitan
dengan perubahan kadar berbagai hormon.
71
Sport and Nutrition Journal, Vol. 1, No. 2, November 2019: 63-73
72
Adilla Eka Afriani, Ani Margawati, Fillah Fithra Dieny / Tingkat Stres, Durasi, dan Kualitas Tidur ...
73