Metodologi Penelitian
OLEH :
1705025146
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut data Riskesdas 2007, menunjukkan prevalensi obesitas dan gizi lebih
pada penduduk usia 15 tahun keatas secara nasional adalah 19,1%. Berdasarkan
hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2010, angka overweight
dan obesitas pada penduduk usia 16-18 tahun tercatat sebanyak 4,1%. Data
selama 2010, di Indonesia ternyata prevalensi obesitas pada anak usia > 17 tahun
tertinggi berada di jakarta (24,8%).
Menurut data Riskesdas tahun 2018, proporsi penduduk Indonesia usia ≥ 15 tahun
yang mengalami obesitas sentral adalah 31%, mengalami peningkatan
dibandingkan tahun 2013, yaitu 26,6%. World Health Organization (WHO)
melaporkan bahwa tahun 2015, sekitar 2,3 miliyar remaja usia 15 tahun ke atas
mengalami kelebihan berat badan. Prevelensi tinggi terjadi di negara maju seperti
Amerika serikat maupun Eropa yang mengalami overweight sebesar 62% dan
26% obesitas. Di Asia Tenggara angka overweight mencapai 14% dan 3%
obesitas (Widyaningtyas dan Kartini, 2013). Di Jakarta (1998) pada umur 6- 12
tahun ditemukan obesitas sekitar 4%, pada anak remaja 12-18 tahun ditemukan
6,2%, dan umur 17-18 tahun 11,4 %.(Setiyorini, 2004)
Selain itu, juga terdapat factor kualitas tidur pada remaja. Factor ini juga sangat
berpengaruh kepada obesitas di remaja, karena ketika tidurnya kurang dari
anjuran maka akan menimbulkan kejadian obesitas pada remaja. Biasanya remaja
tersebut sering tidur malam bahkan tidur pagi dan itu akan menyebabkan mereka
makan di malam hari. Menurut penelitian di Kanada, kurangnya waktu tidur dapat
menyebabkan keseimbangan energy yang positif karena remaja pun akan
memiliki waktu lebih banyak untuk makan snack atau ngemil. Selain itu, waktu
tidur yang pendek dapat menyebabkan kelelahan pada siang harinya yang akan
memungkinkan terjadi penurunan aktivitas fisik(Chaput et al. 2006).
Menurut hasil riskesdas 2018 prevalensi obesitas pada remaja di DKI Jakarta
sebanyak ±30% daripada provinsi di Indonesia lainnya. Berdasarkan uraian latar
belakang yang dipaparkan, peneliti perlu untuk meneliti ‘’ hubungan tingkat
pengetahuan gizi, asupan serat dan kualitas tidur terhadap kejadian obesitas pada
remaja di Jakarta ‘’
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pertumbuhan Fisik
Pertumbuhan meningkat cepat dan mencapai puncak kecepatan. Pada fase
remaja awal (11-14 tahun)karakteristik seks sekunder mulai tampak,
seperti penonjolan payudara pada remaja perempuan, pembesaran testis
pada remaja laki-laki, pertumbuhan rambut ketiak, atau rambut pubis.
Karakteristik seks sekunder ini tercapai dengan baik pada tahap remaja
pertengahan (usia 14-17 tahun) dan pada tahap remaja akhir (17-20 tahun)
struktur dan pertumbuhan reproduktif hampir komplit dan remaja telah
matang secara fisik.
2. Kemampuan berpikir
Pada tahap awal remaja mencari-cari nilai dan energi baru serta
membandingkan normalitas dengan teman sebaya yang jenis kelaminnya
sama. Sedangkan pada remaja tahap akhir, mereka telah mampu
memandang masalah secara komprehensif dengan identitas intelektual
sudah terbentuk.
Setiap orang memerlukan sejumlah lemak tubuh yang berfungsi sebagai energy,
penyekat panas, penyerap goncangan, dan fungsi lainnya. Pada masa anak-anak
lemak tubuh meningkat minimal 16% pada perempuan dan 13% pada lakilaki. lemak
tubuh pada pubertas terjadi lebih dahulu pada perempuan dibandingkan laki-laki 19%
pada perempuan dan 14% pada laki-laki sedangkan saat memasuki usia remaja awal
laki-laki memiliki massa otot yang lebih tinggi dibandingkan perempuan
(Rahmawati, 2009). Rata-rata wanita memiliki lemak tubuh yang lebih banyak
dibandingkan pria. Perbandingan normal antara lemak tubuh dengan berat badan
adalah sekitar 25–30% pada wanita dan 18-23% pada pria, dengan lemak tubuh lebih
dari 25% dianggap mengalami obesitas. Jadi obesitas adalah keadaan dimana
seseorang memiliki berat badan yang lebih berat dibandingkan berat badan idealnya
yang disebabkan terjadinya penumpukan lemak ditubuhnya (Suandi.2004)
Secara klinik biasanya dinyatakan dalam bentuk Indeks Masa Tubuh (IMT) >
30 kg/m2. Untuk orang Asia, kriteria obesitas apabila IMT > 25kg/m2.23 Wiardani
membagi jenis obesitas dalam dua tipe, yakni obesitas overall yang dinilai
berdasarkan indeks massa tubuh dan obesitas sentral yang dinilai berdasarkan lingkar
pingang (DL Franko, RH Striegel-Moore, D Thompson, et.al , 2007). Berbagai
komplikasi obesitas lebih erat hubungannya dengan obesitas sentral, yang
penetapannya paling baik dengan mengukur lingkar pinggang. Apabila lingkar
pinggang > 90 cm pada pria dan > 80 cm pada wanita, sudah termasuk obesitas
sentral (untuk orang Asia) (Tchernof & Despres, 2013).
Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan adiposa
meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah.
Kemudian, leptin merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan
produksi Neuro Peptida Y (NPY) sehingga terjadi penurunan nafsu makan. Demikian
pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka jaringan
adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic center di hipotalamus yang
menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar penderita obesitas
terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya kadar leptin tidak menyebabkan
penurunan nafsu makan (Jeffrey, 2009).
a. Obesitas tipe apple shaped atau yang lebih dikenal sebagai “android
obesity” merupakan obesitas dengan distribusi jaringan lemak lebih banyak dibagian
atas (upper body obesity) yaitu pinggang dan rongga perut, sehingga tubuh cenderung
menyerupai buah apel. Tipe obesitas ini berhubungan lebih kuat dengan diabetes,
hipertensi, dan penyakit kardiovaskuler daripada obesitas tubuh bagian bawah
(Sugianti, 2009). Rasio lingkar pinggang dan panggul untuk perempuan diatas 0,85
dan untuk laki-laki diatas 0,95 maka berkaitan dengan obesitas sentral/ apple shaped
obesity (WHO, 2008).
b. Obesitas pear shaped, pada obesitas tipe ini, distribusi jaringan lemak lebih
banyak dibagian panggul dan paha, sehingga tubuh menyerupai buah pir (Boivin,
2007). Tipe obesitas ini lebih banyak terjadi pada wanita sehingga sering disebut
“gynoid obesity” (David, 2004). Resiko kesehatan pada tipe ini lebih tinggi
dibandingkan dengan tipe menyerupai buah pear karena sel-sel lemak di sekitar perut
lebih siap melepaskan lemaknya ke dalam pembuluh darah dibandingkan dengan sel-
sel lemak ditempat lain atau perifer (Adam, 2009). Rasio untuk lingkar pinggang dan
panggul pada obesitas perifer/pear shaped obesity untuk perempuan dibawah 0,85 dan
untuk laki-laki dibawah 0,95 (WHO, 2008).
2.2.4 Faktor-faktor yang mendukung kejadian obesitas
1. Pola makan
Remaja umumnya suka makan di luar rumah. Makanan jajanan yang dijual oleh
kantin sekolah nampaknya menjual makanan dengan kandungan energi dan lemak
yang tinggi, tetapi rendah serat, vitamin, dan mineral. Makanan fast food memang
sangat terkenal dengan rasanya yang enak, mudah didapat dan juga praktis. Ketika
seseorang telah merasakan sebuah makanan yang sangat enak, asupan makanan yang
ia makan pun akan berlebih dan ketika pola makan yang berlebih atau disebut tidak
seimbang dikarenakan tingginya mengkonsumsi makanan siap saji yang akan
mendorong timbulnya peningkatan penyimpanan lemak di dalam tubuh, karena
makanan siap saji mengandung 40-50% lemak (Wulandari et al. 2016). Selain
makanan siap saji, remaja pun juga memiliki kebiasaan dalam mengkonsumsi
makanan ringan. Makanan ringan ini akan memberikan kontribusi sekitar 20-75%
total intake kalori(Berdanier et.al, 2008). Biasanya apabila anak remaja yang
mengalami obesitas akan sedikit makan di waktu pagi dan akan banyak makan di
waktu siang. Jenis fast food yang sering dikonsumsi adalah fast food local seperti
burger, es krim, steak, mie ayam, bakso, mie instan, batagor, sosis, siomay. (Kurdanti
et al. 2015). Ada penelitian yang dilakukan Handayani(2018) bahwa ada hubungan
yang signifikan antara konsumsi fast food dengan kejadian obesitas. Ada studi yang
dilakukan di Australia yang menunjukkan bahwa remaja yang obesitas
mengkonsumsi fastfood lebih banyak dibanding remaja normal. Pada studi lainnya
yang dilakukan oleh Bowman et al menyebutkan bahwa kontribusi energy pada
fastfood sebesar 187 kkal/hari. Remaja sering mengkonsumsi western fast food dan
makanan local.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Hafidz dan Hanapi(2019) ditemukan bahwa
meskipun seorang remaja mengkonsumsi fast food jarang tetapi tetap mengalami
obesitas karena setiap mengkonsumsinya dalam porsi yang lebih banyak yang
memiliki nilai p value = 0,002.
2. Aktivitas fisik
Sebagian besar energy yang masuk melalui makanan pada anak remaja dan orang
dewasa seharusnya digunakan untuk aktivitas fisik. Kurangnya aktivitas fisik
menyebabkan banyak energy yang tersimpan sebagai lemak, sehingga orang-orang
yang kurang melakukan aktivitas fisik cenderung menjadi gemuk. Apabila seseorang
semakin lama menonton TV maka prevalensi obesitas meningkat karena menonton
TV tanpa mengeluarkan energy dan cenderung mengurangi waktu untuk aktivitas
lain(Herini, 1999).
Aktivitas fisik yang biasa dilakukan oleh remaja obesitas berdasarkan penelitian
seperti menonton televise, tiduran, bermain handphone, duduk di kantin, dan lain-
lain. Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh Kartika&Siti (2012) bahwa remaja
yang obesitas memiliki tingkat aktivitas ringan. Beberapa penelitian epidemiologi
menyebutkan bahwa obesitas pada remaja terjadi karena interaksi antara makan yang
banyak dan sedikitnya aktivitas.
Menurut penelitian Hafidz dan Hanapi (2019) ditemukan bahwa aktivitas fisik
seseorang yang sedang tetapi tetap mengalami obesitas karena dipengaruhi oleh
aktivitas fisik yang tidak dipatuhi atau aktivitas fisik 30 menit per hari seminggu 2
kali tetapi setiap hari mengkonsumsi makan yang tinggi kalori. Pada penelitian ini
memiliki nilai p value = 0,027 yang menjelaskan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara aktivitas fisik dengan kejadian obesitas remaja.
3. Kualitas tidur
Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh semua
orang. Pada kondisi istirahat dan tidur, tubuh melakukan proses pemulihan untuk
mengembalikan stamina tubuh hingga berada dalam kondisi yang optimal. Pola tidur
yang baik dan teratur memberikan efek yang bagus terhadap kesehatan. Waktu tidur
yang pendek di dapati pada yang memiliki waktu menonton atau bermain game yang
tinggi (Kaar et al., 2018). Waktu tidur rata-rata 9 jam pada hari sekolah dan 10 jam
pada akhir pekan (Garmy et al., 2018). Cut off point durasi tidur sekitar 7-8 jam/hari
Penurunan durasi tidur remaja terjadi akibat penundaan waktu tidur, tetapi waktu
bangun tidak berubah, kenyataan nya banyak menganggap tidur menjadi buangbuang
waktu saja,kesehatan tidur sering diabaikan sebagai komponen penting dalam gaya
hidup (Chaput & Dutil, 2016).
Durasi tidur yang pendek dapat menyebabkan peningkatan berat badan yang
disebabkan oleh adanya peningkatan rasa lapar (nafsu makan). Dua hormon kunci
yang mengatur nafsu makan yaitu leptin dan grelin. Leptin dan grelin adalah dua
hormon yang telah diakui memiliki pengaruh besar pada keseimbangan energi. Leptin
adalah mediator regulasi jangka panjang keseimbangan energi, menekan asupan
makanan dan dengan demikian mendorong penurunan berat badan. Grelin sebagian
besar adalah peptide yang berasal dari abdomen yang menstimulasi nafsu makan
(Klok et al. 2007 & Garcia et al. 2008).
Penurunan waktu tidur pada seseorang akan mengakibatkan berbagai efek bagi tubuh
dan pikiran. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa terdapat hubungan yang
dekat antara penurunan waktu tidur seseorang dengan kejadian hipertensi, diabetes
melitus dan hiperlipidemia. Selain itu beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa
pemendekan waktu tidur seseorang bisa mengakibatkan obesitas yang memiliki
hubungan dengan terjadinya beberapa penyakit yang berkaitan dengan gaya hidup
seperti hipertensi dan diabetes melitus(Kaneita dkk, 2008). Adamkova dkk (2009)
dalam penelitiannya terhadap suatu populasi dengan rentang umur 18-65 tahun
menunjukkan bahwa responden yang tidur kurang dari 7 jam perhari menunjukkan
Indeks Massa Tubuh (IMT) yang lebih tinggi. Selain itu Adamkova dkk (2009) juga
mengkonfirmasi waktu tidur yang lebih lama yang tidak disertai dengan aktivitas fisik
dan pengurangan asupan energi juga bisa menaikkan IMT.
Capuccio dkk (2008) juga melakukan pendekatan secara meta-analisis terhadap
hubungan durasi tidur dengan obesitas dan menyimpulkan pada orang dewasa setiap
pengurangan waktu tidur selama satu jam perharinya, bisa menaikkan IMT sebanyak
0,35 kg/m² .
Penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth&Wanda (2020) bahwa aspek tidur yang
mempengaruhi obesitas pada remaja adalah durasi tidur, waktu mulai tidur, gangguan
saat ini. Sebaiknya mereka tidur mulai pukul 21.00 sehingga memiliki waktu tidur
yang lama sekitar 9-10 jam. Penelitian yang dilakukan Garaulet dkk(2011) hubungan
antara durasi tidur yang pendek dengan peningkatan resiko obesitas remaja di Eropa
memiliki nilai yang tinggi (p<0,05)
4. Asupan serat
Konsumsi buah sekitar 2-3 porsi sehari serta konsumsi sayur 3-4 porsi sehari. Contoh
buah yang dapat dikonsumsi dan kaya sumber serat seperti : anggur, apel, belimbing,
blewah, cempedak, jambu, jeruk, kedondong, kiwi, manggis, markisa, melon, nangka,
pear, papaya, pisang, salak, plum, sirsak, srikaya, strawberry. Sedangkan contoh
sayur yang dapat dikonsumsi dan kaya sumber serat seperti : oyong, timun, brokoli,
buncis, jagung muda, kangkung, buncis, kacang panjang, kecipir, kembang kol, kol,
sawi, terong, wortel, bayam merah, daun katuk, daun singkong(Waspadji dkk, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Septiana dkk(2018) bahwa rata-rata frekuensi remaja
dalam konsumsi makanan sumber serat terbilang rendah karena hanya mengkonsumsi
2-3x seminggu. Menurut Dietary Guidelines for Americans (1990) telah
merekomendasikan bahwa konsumsi buah 2x/hari dan sayur 3x/hari.
Adapun cut off point dari asupan serat untuk remaja sekitar 400-600 gram/hari yang
terdiri dari buah dan sayur.
5. Faktor genetic
Faktor genetik sangat berperan dalam peningkatan berat badan. Data dari berbagai
studi genetik menunjukkan adanya beberapa alel yang menunjukkan predisposisi
untuk menimbulkan obesitas. Di samping itu, terdapat interaksi antara faktor genetik
dengan kelebihan asupan makanan padat dan penurunan aktivitas fisik. Studi genetik
terbaru telah mengidentifikasi adanya mutasi gen yang mendasari obesitas. Terdapat
sejumlah besar gen pada manusia yang diyakini mempengaruhi berat badan dan
adipositas. Hal ini dimungkinkan karena pada saat ibu yang obesitas sedang hamil
maka unsur sel lemak yang berjumlah besar dan melebihi ukuran normal, secara
otomatis akan diturunkan kepada sang bayi selama dalam kandungan. Maka tidak
heranlah bila bayi yang lahirpun memiliki unsur lemak tubuh yang relatifsama
besar(Salam, 2010) .
6. Stress
Dalam keadaan stres remaja mengalami perubahan nafsu makan, remaja dengan
status gizi lebih mereka lebih banyak makan, konsumsi energi lebih banyak yaitu
makan makanan tinggi kalori dan lemak. Sedangkan pada remaja dengan status gizi
kurang mereka lebih banyak mengurangi konsumsi energi atau susah untuk makan.
Saat mengalami stres otak akan merangsang sekresi adrenalin dan akan menuju ginjal
untuk memicu proses perubahan glikogen menjadi glukosa sehingga mempercepat
peredaran darah tekanan darah akan meningkat, pernafasan semakin cepat (untuk
meningkatkan asupan oksigen) dan pencernaan terkena dampaknya (Tienne et al,
2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Nishitani dan Sakakibara (2006) yang menyatakan
kondisi seseorang yang mengalami stres akan mempengaruhi perilaku makan. Begitu
juga dengan penelitian lain yang menyatakan bahwa pada remaja, gambaran kondisi
emosional yang tidak stabil menyebabkan individu cenderung melakukan pelarian
diri dengan cara banyak makan makanan yang mengandung kalori atau kolesterol
tinggi, energi dan protein, sehingga berakibat pada kegemukan. Hal ini terutama
ditemukan pada kondisi kehidupan yang penuh stres (Dariyo, 2005).
7. Asupan lemak
Lemak merupakan salah satu zat gizi makro yang sangat berpengaruh
terhadap status gizi seseorang apabila tidak diseimbangi dengan aktivitas fisik.
Konsumsi makanan yang tinggi lemak dalam jangka waktu yang lama akan
meningkatkan resiko obesitas oleh karena itu asupan lemak yang dikonsumsi juga
perlu diperhatikan. ( Laquatra, 2004). Pada usia remaja biasanya yang paling sering
dikonsumsi adalah makanan yang tinggi lemak karena makanan tinggi lemak
memiliki rasa yang lezat dan kemampuan membuat seseorang kenyang lebih rendah
sehingga seseorang dapat mengkonsumsi lebih banyak. Lemak itu sendiri memiliki
kemampuan dalam hal penyimpanan yang tidak terbatas. Kelebihan asupan lemak
tidak diiringi peningkatan oksidasi lemak sehingga sekitar 96% lemak akan disimpan
dalam tubuh. (Silvia, 2012)
8. Tingkat pengetahuan
Pengetahuan pada dasarnya merupakan bagian dari perilaku dari seseorang, tetapi
tidak menjamin bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan baik juga memiliki
perilaku yang baik. Karena perilaku seseorang juga dipengaruhi oleh factor lainnya.
Apabila tingkat pengetahuan seseorang tinggi dalam hal memilih bahan makanan
yang baik dari segi jumlah, frekuensi, kandungan dalam makanan, jenis, cara
pemberian dan manfaat zat gizi, maka tidak akan sembarang dalam memilih makanan
dan memikirkan bagaimana dampak dari makanan tersebut apabila dikonsumsi. .
Apabila seseorang yang memiliki tingkat pengetahuan kurang biasanya akan sering
memilih makanan yang akan membuatnya kenyang tanpa memperhatikan nilai gizi
makanan tersebut sehingga akan terjadi ketidakseimbangan zat gizi yang benar-benar
diperlukan oleh tubuh. Sehingga akan terlalu banyak karbohidrat yang akan
dikonsumsi dalam satu porsi makanan, dan akan berdampak kepada tubuh sendiri
yaitu indeks massa tubuh akan naik atau melebihi dari batas normal. Apabila terus
menerus seperti itu seseorang akan menjadi obesitas kecuali ia berniat untuk
mengubah gaya hidup yang hanya memikirkan ia makan untuk membuat kenyang
tanpa memikirkan kandungan zat gizi makanan tersebut.
Semakin tinggi pengetahuan gizi seseorang akan semakin memperhitungkan jenis dan
jumlah makan yang dipilih untuk dikonsumsi. Orang yang pengetahuan gizinya
rendah akan berperilaku memilih makan yang menarik pada indra dan tidak
mengadakan pemilihan berdasarkan nilai gizi makan tersebut (Sediaotama, 2000).
Kategori pengetahuan gizi dibagi dalam tiga kelompok yaitu: baik, cukup dan kurang.
Cara pengkategorian dilakukan dengan menetapkan cut off point dari skor yang
dijadikan persen.
Pola makan praktis dan siap saji terutama terlihat di kota-kota besar di Indonesia, dan
jika dikonsumsi secara tidak rasional akan menyebabkan kelebihan masukan kalori
yang akan menimbulkan obesitas(Virgianto dan Purwaningsih, 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Hadi dkk (2005) tingkat social ekonomi keluarga juga
mempengaruhi kejadian obesitas pada remaja.
3. Masalah psikis, seseorang yang obesitas tidak memiliki control diri dan
motivasi yang kuat, rasa rendah diri, merasa berbeda, dan juga keterbatasan fisik.
2.3.1 Antropometri
2.3.1.1 Berat badan
Menurut Clement dan Ferre (2003), seorang anak yang mempunyai
kelebihan lemak tubuh atau mempunyai BMI lebih dari 30. Rata-rata wanita
memiliki lemak tubuh yang lebih banyak dibandingkan pria. Perbandingan
yang normal antara lemak tubuh dengan berat badan adalah sekitar 25- 30%
pada wanita dan 18-23% pada pria. Wanita dengan lemak tubuh lebih dari
30% dan pria dengan lemak tubuh lebih dari 25% dianggap mengalami
obesitas.
Seseorang yang memiliki berat badan 20% lebih tinggi dari nilai tengah
kisaran berat badannya yang normal dianggap mengalami obesitas. Obesitas
digolongkan menjadi 3 kelompok: Obesitas ringan : kelebihan berat badan 20-
40% , obesitas sedang : kelebihan berat badan 41-100% dan obesitas berat :
kelebihan berat badan >100%. Obesitas berat ditemukan sebanyak 5% dari
antara orang-orang yang gemuk..
2.3.1.2 IMT
KLASIFIKASI BMI
Berat badan kurang(underweight) < 18,5
Berat badan normal 18,5-22,9
Kelebihan berat badan(overweight) 23-24,9
Obesitas I 25-29,9
Obesitas II ≥ 30
KLASIFIKASI IMT
Kurus tingkat berat < 17,0
Kurus tingkat ringan 17,0-18,4
Normal 18,5-25,0
Gemuk tingkat ringan 25,1-27,0
Gemuk tingkat berat >27
2.3.1.3 Lingkar pinggang dan panggul
Pada penelitian lain yang dilakukan Wang et al. (2005), ukuran lingkar pinggang
yang besar berhubungan dengan peningkatan faktor risiko terhadap penyakit
kardiovaskular karena lingkar pinggang dapat menggambarkan akumulasi dari lemak
intraabdominal atau lemak visceral.
Lingkar panggul juga merupakan salah satu indikator untuk menentukan jenis
obesitas yang diperoleh melalui hasil pengukuran panjang lingkar maksimal dari
pantat dan pada bagian atas simphysis ossis pubis. Lingkar panggul yang besar (tanpa
menilai IMT dan lingkar pinggang) memiliki risiko diabetes melitus dan penyakit
kardiovaskular yang lebih rendah dibandingkan dengan obesitas apple shaped
(Oviyanti, 2010).
2.3.2 Biokimia
Penentuan status gizi dengan biokimia adalah salah satu metode yang
dilakukan secara langsung pada tubuh atau bagian tubuh. Tujuan penilaian status gizi
ini adalah untuk mengetahui tingkat ketersediaan zat gizi dalam tubuh sebagai akibat
dari asupan gizi dari makanan.
2.3.3 Klinis
Pemeriksaan klinis merupakan metode klinis yang dapat digunakan untuk
mendeteksi gejala dan tanda yang berkaitan dengan melihat dari keadaan klinis
seseorang. Mengukur status gizi dengan melakukan pemeriksaan bagian-bagian tubuh
dengan tujuan untuk mengetahui gejala akibat kekurangan atau kelebihan gizi.
Metode yang digunakan di dalam penilaian status gizi secara tidak langsung
dengan melihat gambaran asupan zat gizi serta mengetahui kebiasaan dan pola makan
dari segi individu, rumah tangga dan nasional apakah tidak mencukupi atau kelebihan
asupan.
POLA MAKAN
TIDAK BAIK ASUPAN SERAT
ASUPAN LEMAK
GENETIK TINGKAT
PENGETAHUAN
GIZI
STRESS
KUALITAS TIDUR
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
Variabel Independen
Variabel Dependen
ASUPAN SERAT
TINGKAT PENGETAHUAN
1.2 DEFINISI OPERASIONAL
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
1. Asupan serat Rata-rata jumlah Wawancara Food Recall 24 1. Kurang : <80% AKG Ordinal
serat yang Jam 2. Baik : 80-110% AKG
dikonsumsi oleh 3. Lebih : >110% AKG
individu dalam (WNPG, 2004)
sehari dalam satuan
gram
2. Kualitas tidur Kualitas tidur Pengisian Pittsburgh sleep 1. Baik, skor nilai 1-5 Rating
merupakan kepuasan kuesioner PSQI quality index 2. ringan, skor nilai 6-7 scale
seseorang terhadap (PSQI). Kuesioner 3. sedang, skor nilai 8-14
tidurnya, sehingga PSQI terdiri dari 9 4. buruk, skor nilai mencapai
seseorang tidak pertanyaan 15-21.
merasakan
kelelahan, sering
menguap dan
mengantuk di pagi
hari.
3. Tingkat Suatu proses yang Wawancara Kuesioner 1. Kurang jika nilainya <60% Ordinal
pengetahuan gizi merupakan hasil dari 2. Cukup jika nilainya 60 – 80 %
pembelajaran guna 3. Baik jika nilainya >80 %
untuk meningkatkan (Ali Khomsan,2000)
pemahaman dari
masing-masing
individu yang
berkaitan dengan
gizi individu
3.3 HIPOTESIS
1. Ada pengaruh asupan serat dengan kejadian obesitas pada remaja
2. Ada pengaruh kualitas tidur dengan kejadian obesitas pada remaja
3. Ada pengaruh tingkat pengetahuan gizi dengan kejadian obesitas pada remaja
BAB IV
METODE PENELITIAN
1. Kuesioner
2. Timbangan
3. Microtoise
5. Alat tulis
1. Data primer
Pengumpulan data sekunder pada penelitian ini dapat diperoleh dari dokumen-
dokumen atau catatan tertulis yang dapat menunjang proses penelitian.
Adamkova V, Hubacek JA, Lanska V, Vrablik M, Lesna IK, Suchanek P, et al. (2009).
Association between duration of the sleep and body weight. Physiological. Res, 58, 27-31.
Adriani, Merryana & Bambang WirjadMadi. (2014). Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta:
Kencana
Arisman, (2004). Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Berdanier CD, Dwyer JT, Feldman EB. (2008). Handbook Nutrition and Food. 2nd Ed.
USA: CRC Press, Taylor and Francis Group.
Bjorvatn B, Sagen IM, Oyane N, Waage S, Fetveit A, Pallesen S, et al. (2007). The
association between sleep duration, body mass index and metabolic measures in Hordaland
Health Study. J Sleep Res; 16, 66-76
Candra, Alfianto, Tavip Dwi Wahyuni, Ani. Sutriningsih. (2016). Hubungan Antara
Aktivitas Fisik dan Pola Makan dengan Kejadian Obesitas Pada Remaja di SMA
Laboratorium Malang. Nursing News : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Keperawatan, 1(1), 1–6
Cappuccio FP, Taggart FM, Kandala NB, Currie A, Peile E, Stranges S, et al. (2008). Meta-
analysis of short sleep duration and obsety in children and adults. SLEEP; 31, 619-26.
Chaput, J. P., & Dutil, C. (2016). Lack of sleep as a contributor to obesity in adolescents:
Impacts on eating and activity behaviors. International Journal of Behavioral Nutrition and
Physical Activity, 13(1), 1–10.
Desmita. (2011).Psikologi Perkembangan Peserta Didik; Panduan Bagi Orang Tua Dan
Guru Dalam Memahami Psikologi Anak Usia SD, SMP,dan SMA. Bandung : Rosda Karya.
DL Franko, RH Striegel-Moore, D Thompson, et.al. The relationship between meal
frequency and body mass index in black and white.
Garcia EL, Faubel R, Leon-Munoz L, Zuluaga MC, Banegas JR, Artalejo FR. 2008. Sleep
duration, general and abdominal obesity, and weight change among the older adult
population of Spain. Journal of Clinical Nutrition. 87: 310-6
Garmy, P., Clausson, E. K., Nyberg, P., & Jakobsson, U. (2018). Insufficient sleep is
associated with obesity and excessive screen time amongst ten-year-old children in Sweden.
Journal of Pediatric Nursing, 39, e1–e5.
Gottlieb DJ, Redline S, Nieto FJ, Baldwin CM, Newman AB, Resnick HE, et al. (2006).
Association of usual sleep duration with hypertension: the sleep heart health study. SLEEP ,
29, 1009-14
Hall MH, Muldoon MF, Jennings JR, Buysse DJ, Flory JD, Manuck SB. (2008). Self-
reported sleep duration is associated with metabolic syndrome in midlife adult. SLEEP, 31 ,
635-43
Hegarty, V. (1996). Nutrition, Food and Environment. USA : Eagon Press, Minnesotta.
Herini, E.S., P. Hagung, W., E.P. Prawirohartono, dan T. Sadjimin. (1999). Karakteristik
Keluarga dengan Anak Obesitas. Berita Kedokteran Masyarakat. XV.2.41-85
Hidayati, N.S., Irawan, R., dan Hidayat, B.(2006). Obesitas Pada Anak.
Idamarie Laquatra. (2004). Nutritional For Health and Fitness. In: Mahan LK, Stump SE.
Krause’s Food, Nutrition, & Diet Therapi 11th Ed. United States of America : Elsevier, p
567.
Kaar, J. L., Schmiege, S. J., Vadiveloo, M., Simon, S. L., & Tovar, A. (2018). Sleep duration
mediates the relationship between health behavior patterns and obesity. Sleep Health, 4(5),
442–447.
Kadek Hartini,dkk, (2014). Korelasi Derajat Obesitas dengan Prestasi Belajar Siswa
Sekolah Dasar . Sari Pediatri, Vol. 16, No. 1, Juni 2014.
Kurdanti Weni, Diana Mustikaningsih. (2015). Risk Factors For Obesity In Adolescent.
Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 11(4), 179–190
Klok MD, Jakobsdottir S, Drent ML. (2007). The role of leptin and ghrelin in the regulation of food
intake and body weight in humans: a review. Natioanal Institutes of Health. 8(1):21-34.
Knutson KL, Van Cauter E. (2008). Association Between Sleep Loss and Increased Risk
Obesity and Diabetes. Ann N Y Acad Sci, 1129, 287-304.
Labuza, T.P. (1991). Obesity, Weight Control and Dieting in Food and Your Well Being.
New York : Chapman and Hall
Nelwan, E.J., Widjajanto, E., Andarini, S. and Djati, M.S., (2017). Modified Risk Factors for
Coronary Heart Disease (CHD) in Minahasa Ethnic Group From Manado City Indonesia.
The Journal of Experimental Life Science, 6(2), pp.88-94
Purwati, S., dkk. (2005). Perencanaan Menu untuk Penderita Kegemukan. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Pramono, A., & Sulchan, M. (2014). Kontribusi makanan jajan dan aktivitas fisik terhadap
kejadian obesitas pada remaja di kota Semarang. Jurnal Gizi Indonesia, 2(2), 59–64
Safarino, E., & Timothy W. (2011). Health Psychology Biopsychosocial Interaction Seventh
Edition. United States of America
Salam. A. (2010). “Faktor Risiko Kejadian Obesitas Pada Remaja”.Jurnal MKMI Vol 6 No.3
Juli 2010, Hal 185-190
Salam, M.A. (1989). Epidemiologi dan Psikologi Obesitas dalam Obesitas, Permasalahan
dan Penanggulangannya. Yogyakarta : Laboratorium Farmakologi Klinis Fakultas
Kedokteran UGM.
Sediaoetama, A.D. (2006). Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Cetakan V. Jakarta :
Dian Rakyat.
Silvia A. (2012). Hubungan Usia Menarche Dengan Obesitas Pada Remaja Putri Di Sma
Theresiana 1. Semarang (skripsi). Semarang: Universitas Diponegoro.
Singh M, Drake CL, Roehrs T, Hudgel DW, Roth T. (2005). The association between obesity
and short sleep duration: a population-based study. J Clin Sleep Med , 1: 357-63
Virgianto, G., dan Purwaningsih, E. (2006). Konsumsi Fast Food Sebagai Faktor Risiko
Terjadinya Obesitas Pada Remaja.
Waspadji, S., Surkadji, K., Suharyati. (2013). Menyusun Diet Berbagai Penyakit(4rd ed.).
Jakarta : Badan Penerbit FKUI.
Widyaningtyas Silvia Agus, Kartini Apoina. (2013). Hubungan Usia Menarche Dengan
Obesitas Pada Remaja Putri di SMA Theresiana 1 Semarang. Journal of Nutrition College, 2
(1) : 10–17
Wulandari, Syamsinar, Hariati, Lestari., & Andi, Faizal Fachlevy. (2016). Faktor Yang
Berhubungan dengan Kejadian Obesitas Pada Remaja di SMA Negeri 4 Kendari. Skripsi.
Kendari : Universitas Halu Oleo
Whitney, E.N., Cataldo, C.B., dan Rolfes, S.R. (1990). Weight Control : Over Weight and
Under Weight. Fifth Edition. USA : West/Wadsworth.
LAMPIRAN 1
BIODATA RESPONDEN
No. Sampel :
Nama :
Umur :
Alamat rumah :
Nomor telepon/Hp :
Tanggal wawancara :
No. Sampel :
Tanggal/ Jam wawancara :
Nama responden :
Nama pewawancara :
LAMPIRAN 3
No. Sampel :
Tanggal/ Jam wawancara :
Nama responden :
Nama pewawancara :
No Pertanyaan Tidak 1x 2x 3x
pernah seminggu seminggu seminggu