Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

ANEMIA DEFISIENSI BESI

Pembimbing:
dr. Lisa Safira, Sp.A

Disusun Oleh:
Salma Tania - 2010221067

KEPANITRAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


PEMBELAJARAN JARAK JAUH TERPUSAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA
PERIODE 15 FEBRUARI – 14 MARET 2021

1
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan serta disetujui referat dengan judul :


“Anemia Defisiensi Besi” 

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepanitraan klinik dokter muda

Disusun Oleh:
Salma Tania - 2010221067

Jakarta,   Februari 2021

Mengetahui,
Pembimbing,

dr. Lisa Safira, Sp.A

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas karunia-
Nya saya dapat menyelesaikan referat mengenai “Anemia Defisiensi Besi”.
Penulisan referat ini merupakan salah satu syarat mengikuti ujian Program Studi
Profesi Dokter dibagian Departemen Ilmu Kesehatan Anak Universitas
Pembangunan Veteran Jakarta. Penulis berharap referat ini dapat bermanfaat
untuk kepentingan pelayanan kesehatan, pendidikan, penelitian dan dapat
dipergunakan dengan sebaik–baiknya oleh berbagai pihak yang berkepentingan.
Terima kasih penulis sampaikan kepada dokter pembimbing yang telah
menyediakan waktunya untuk membantu secara langsung dalam proses
pembuatan referat ini, yaitu kepada dr. Lisa Safira, Sp.A atas arahan dan
kebijakan yang telah diberikan sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan
baik.
Penulis sadar sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih
terdapat kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, segala masukan yang
bersifat membangun dari pembaca sangat diharapkan demi proses penyempurnaan
penulisan referat ini.

          Jakarta,   Februari 2021


          Penulis

      Salma Tania

3
DAFTAR ISI

JUDUL

REFERAT................................................................................................................1
LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................2
KATA PENGANTAR.............................................................................................3
DAFTAR ISI............................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................6
II.1 Definisi Anemia.............................................................................................6
II.2 Definisi Anemia Definisi Besi.......................................................................7
II.3 Epidemiologi Anemia Defisiensi Besi...........................................................7
II.4 Etiologi Anemia Defisiensi Besi...................................................................7
II.5 Zat Besi........................................................................................................10
II.6 Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi..........................................................12
II.7 Gejala Klinis Anemia Defisiensi Besi.........................................................12
II.8 Pemeriksaan Fisik Anemia Defisiensi Besi.................................................13
II.9 Pemeriksaan Penunjang Anemia Defisiensi Besi........................................14
II.10 Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi.........................................................17
II.11 Pencegahan Anemia Defisiensi Besi.........................................................18
BAB III KESIMPULAN........................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22

4
BAB I
PENDAHULUAN

Anemia didefinisikan sebagai penurunan konsentrasi hemoglobin atau


volume eritrosit (sel darah merah) dibawah kisaran normal pada orang sehat.
Konsentrasi hemoglobin dan volume eritrosit yang dapat diketahui berdasarkan
nilai hematokrit sangat bervariasi, bergantung pada usia dan jenis kelamin
individu.1
Menurut World Health Organization tahun 2005 diperkirakan sebanyak
47,4% anak-anak usia pra-sekolah dan sebanyak 41,8% wanita usia produktif
mengalami anemia di Indonesia. Pada usia anak-anak dan remaja anemia banyak
disebabkan karena defisiensi besi.2
Angka kejadian anemia defisiensi besi meningkat berdasarkan peningkatan
usia dengan prevalensi kejadian anemia tertinggi pada usia 12-15 tahun. Anemia
defisiensi besi juga banyak terjadi pada jenis kelamin perempuan dibanding laki-
laki.3 Anemia defisiensi besi sendiri merupakan hasil dari defisiensi besi kronik
yang dapat menyebabkan gangguan fungsi neurologis, gangguan behavioral, dan
gangguan perkembangan kognitif pada usia anak-anak.4
Anemia Defisiensi Besi merupakan kejadian defisiensi besi fase kronis yang
ditandai dengan penurunan zat besi simpanan, plasma, dan dalam sel darah merah
(eritrosit).1 Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang disebabkan karena
defisiensi nutrisi baik disebabkan karena intake yang kurang, penyerapan yang
terganggu dan disebabkan karena kehilangan darah kronis.1
Defisiensi besi yang akut biasanya hanya memberikan gambaran
laboratorium yang nyata dan belum terdapat gejala klinis. 1 Pada anemia defisiensi
besi yang merupakan defisiensi zat besi kronis sering terjadi kekosongan
simpanan besi dalam organ, plasma, maupun eritrosit dalam jangka waktu yang
lama hingga timbul gejala klinis. Hal ini, yang menyebabkan sering terjadinya
keterlambatan diagnosis pada anemia defisiensi besi hingga menimbulkan gejala
maupun komplikasi.1

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Anemia


Anemia didefinisikan sebagai penurunan konsentrasi hemoglobin atau
volume eritrosit (sel darah merah) dibawah kisaran normal pada orang sehat
sesuai dengan usia dan jenis kelamin. Konsentrasi hemoglobin dan volume
eritrosit yang dapat diketahu berdasarkan nilai hematokrit sangat bervariasi,
bergantung pada usia dan jenis kelamin individu.1
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebab yaitu gangguan
genetik, nutrisi, infeksi dan berdasarkan morfologi dari eritrosit, seperti ukuran
eritrosit atau MCV/ Mean Corpuscular Volume dengan interpretasi mikrositik,
normositik, dan makrositik. Anemia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan
fisiologi yaitu berdasarkan nilai retikulosit darah tepi, apusan retikulosit darah tepi
digunakan untuk menilai laju produksi retikulosit sebagai bentuk respon sumsum
tulang untuk memproduksi eritrosit muda terhadap anemia.1

Gambar 1. Klasifikasi Anemia Berdasarkan Penyebab (Nelson, 2016)

6
Gambar 2. Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Fisiologi
(Nelson, 2016)

II.2 Definisi Anemia Definisi Besi


Anemia defisiensi besi didefinisikan sebagai penurunan konsentrasi
hemoglobin dibawah kisaran hemoglobin normal yang disebabkan karena
defisiensi atau kekosongan pada cadangan penyimpanan besi.1
Anemia defisiensi besi termasuk kedalam anemia defisiensi nutrisi
erseing, berdasarkan morfologi termasuk kedalam jenis anemia mikrositik
hipokrom dan berdasarkan fisiologi termasuk anemia mikrositik dengan nilai
retikulosit rendah – normal.1

II.3 Epidemiologi Anemia Defisiensi Besi


Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering terjadi di
negara berkembang. Anemia defisiensi besi atau ADB banyak terjadi pada anak-
anak dan wanita usia reprodiktif. ADB memiliki prevalensi sebanyak 30% dari
penduduk populasi di dunia dimana 50% penderitanya berasal dari negara
berkembang.1

II.4 Etiologi Anemia Defisiensi Besi


Secara garis besar anemia terjadi karena gangguan pada pembentukan baik
secara kualitas dan kuantitas hemoglobin pada eritrosit maupun karena adanya
peningkatan destruksi atau blood loss pada individu. Salah satu mikronutrien yang
membantu pembentukan hemoglobin adalah zat besi. Anemia defisiensi besi
merupakan salah satu jenis anemia akibat gangguan nutrisi.1

7
Neonatus dan bayi normalnya memiliki cadangan besi yang cukup sampai
usia 6 bulan, hal ini terjadi karena adanya proses anemia fisiologis pada neonatus,
Anemia fisiologis merupakan proses penurunan kadar Hemoglobin (Hb) yang
terjadi secara fisiologis dikarenakan perubahan fisiologis yang terjadi pada bayi
baru lahir, perubahan fisiologis yang menyebabkan anemia adalah:1
a. Perubahan asupan O₂ dari suplai plasenta menjadi suplai paru 
fungsi jantung dan paru-paru secara mandiri untuk mensuplai O₂ ke
jaringan yang semula melalui suplai maternal  oksigenisasi jaringan
menjadi lebih meningkat eritropoietin (peka terhadap keadaan
hipoksia) produksinya menurun  produksi eritrosit rendah.1
b. Perubahan masa hidup eritrosit fetal (60 hari) yang berbeda dengan
eritrosit neonatus – dewasa (120 hari)  destruksi eritrosit meningkat.1
c. Terjadi karena perubahan keadaan eritosit akibat perubahan Hb dari
HbF atau HbFetal (α ₂ γ ₂) menjadi Hb dewasa atau HbA1¿ ¿) HbA2 ¿ ¿)
(Gambar 1 dan 2).1

Gambar 3. Hemoglobin fetal dan dewasa (Nelson, 2016)

8
Gambar 4. Perubahan Hemoglobin Masa Fetus dan Setelah Lahir
(Nelson, 2016)

Adanya ketidakseimbangan antara produksi dan destruksi eritrosit ini


menyebabkan terjadinya anemia fisiologis. Anemia fisiologis ini juga berfungsi
untuk mendapatkan atau memenuhi cadangan besi pada 6-9 bulan masa kehidupan
setelah lahir pada bayi. Bayi usia lebih dari 6 bulan biasanya memerlukan intake
nutrisi tambahan selain ASI.1
Pada anak-anak, anemia defisiensi besi sering terjadi karena defisit
simpanan atau cadangan zat besi (Fe). Anak-anak normalnya memerlukan
minimal zat besi dalam darah sebanyak 0,5-1 mg/hari karena adanya efek dari
metabolisme anak-anak memerlukan sekitar 8-10 mg/hari zat besi. Anemia
defisiensi besi pada anak-anak dapat disebabkan oleh:1
1. Neonatus dan anak-anak memiliki pertumbuhan yang lebih cepat.1
2. Gangguan intake mikronutrien seperti kadar besi pada ASI yang kurang
(Normalnya ASI mengandung 2-3mg/L) atau konsumsi susu sapi formula
yang rendah zat besi (normalnya sufor mengandung 1mg/L).1
3. Infeksi seperti cacing tambang, Trichuris Trichiura, Helicobacter Pylori
dan Plasmodium.1
4. Blood loss  perdarahan saluan cerna, peptic ulcer, dan Inflammatory
Bowel Disease.1

9
5. Malabsorbsi  Penggunaan susu formula pada beberapa bayi dapat
menyebabkan alergi  perdarahan saluran cerna  penurunan kadar Hb.1

II.5 Zat Besi


Zat besi merupakan salah satu mikronutrien yang esensial untuk transport
oksigen ke jaringan dan pembentukan energi oleh sel. Zat besi didapatkan dari
Recycle hasil dari degradasi eritrosit dan berasal dari asupan nutrisi yang penting
utuk menggantikan cadangan besi yang digunakan.5
Zat besi diserap dalam bentuk besi heme dan non-heme, besi heme
didapatkan dari produk hewani, sifat besi heme ini lebih mudah diserap dan tidak
memerlukan kofaktor. Sedangkan, besi non-heme yang didapatkan dari produk
nabati, bioavailibilitas penyerapannya lebih rendah dan memerlukan kofaktor.
Contoh sumber besi heme adalah daging-dagingan, ikan, dan produk unggas, dan
sumber besi non-heme adalah sayur mayur seperti bayam, sereal, dan biji-bijian.6
Zat besi lebih mudah diserap dalam keadaan asam, maka konsumsi
makanan yang mengandung zat besi atau suplemen zat besi dianjurkan bersamaan
dengan asam askorbat/ vit C.6 Sedangkan, untuk penghambat penyerapan zat besi
biasanya disebabkan oleh serat fitat seperti pada gandum dan kacang-kacangan,
polifenol dalam anggur merah dan oregano, kalsium pada susu dan zat tanin pada
produk teh.6
Metabolisme zat besi terdiri dari 3 fase besar, yaitu fase luminal, mukosal,
dan koportal. Pada fase luminal, zat besi heme dapat diserap secara langsung ke
mukosa duodenum dan jejenum proksimal. Zat besi non heme seperti Fe 3+ dan
Fe2+ harus menjadi bentuk Fe2+ dahulu untuk dapat masuk ke mukosa usus dengan
bantuan enzim ferrireduktase serta bantuan vitamin C untuk meningkatkan
bioavailibilitas penyerapannya, kemudian Fe2+ masuk kedalam lumen usus
melewati kanan Divalen Metal Transporter/DMT-1. Fe 2+ (Ferric) dalam lumen
usus akan dioksidasi kembali menjadi Fe3+ (Ferrous) dan disimpan dalam lumen
usus, selain itu Fe2+ dapat masuk ke fase koportal menuju pembuluh darah
melewati kanal Feroportin-1 dan Fe2+ dioksidasi oleh enzim hepahestin menjadi
Fe3+ yang dapat terbawa pada sirkulasi koportal dengan dibawa oleh transporter
berupa protein apo-transferin. Apo-transferin dan Fe3+ akan dibawa ke sumsum

10
tulang untuk pembentukan Hemoglobin eritrosit sebanyak 75% dan sebanyak
25% dibawa ke hepar untuk disimpan.1
Zat besi Fe3+ di hepar akan diendositosis dalam bentuk vesikel yang berisi
apo-tranferin, zat besi Fe3+ (Ferrous) dan ion H+ yang dapat membantu vesikel
melepaskan ikatan antara apo-transferin dengan zat besi Fe3+, kemudian Fe3+ dapat
disimpan dalam sel hepar dalam bentuk ferritin. Ferritin jika diperlukan akan
dilepaskan melalui kanak ferroportin di hepar.6
Selain dari intake zat besi dalam makanan, zat besi dalam bentuk Fe 3+
dapat digunakan kembali yang berasal dari destruksi eritrosit yang sudah tua (usia
lebih dari 120 hari).1

Gambar 5. Absorbsi dan Metabolisme Zat Besi (Melissalee, 2019)

11
II.6 Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi

Gambar 6. Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi (Yan Yu, 2012)

II.7 Gejala Klinis Anemia Defisiensi Besi


Gejala klinis pada pasien anemia defisiensi besi terutama pada anak-anak
adalah sebagai berikut:1,7
1. Pucat (Hb < 7g/dl)  telapak tangan konjungtiva, dasar kuku, dan
mukosa mulut serta bibir
2. 5 L (Lemah, Letih, Lesu, Lunglai dan Lemas/Lalai)
3. Iritabilitas/ mudah marah dan sulit berkonsentrasi pada anak
4. Biasanya dijumpai pica (kebiasaan mengunyah atau memakan hal yang
tidak wajar seperti es batu, pasta gigi, kertas, dll)

12
II.8 Pemeriksaan Fisik Anemia Defisiensi Besi
1. Gambaran fisik :
a. Mata : Konjungtiva anemis.7
b. Mulut : Mukosa pucat, Glositis Atropik, dan Stomatitis Angularis.7

Gambar 7. Glositis Atropik (Warner, 2020)

Gambar 8. Stomatitis Angularis (Warner, 2020)

c. Dada : Jantung  Takikardi dan gangguan irama jantung (Murmur).7


d. Ekstremitas : Koilonikia.7

Gambar 9. Koilonikia (Warner, 2020)

13
e. Tidak dijumpai adanya organomegali.7
f. Pucat (Hb < 7g/dl)  telapak tangan, konjungtiva, dasar kuku, dan
mukosa mulut serta bibir.7

II.9 Pemeriksaan Penunjang Anemia Defisiensi Besi


Terdapat 3 tahapan defisiensi besi diantaranya,
1. Deplesi besi: pada fase ini cadangan besi dalam bentu ferritin menurun
namun belum ada gangguan pada penyediaan besi untuk proses
eritropoiesis
2. Eritropoiesis defisiensi besi: pada fase ini cadangan ferritin mulai
kosong dan mulai ada gangguan pada proses eritropoiesis, namun
belum ada gangguan pada gambaran laboratorium eritrosit
3. Anemia defisiensi besi: pada fase ini cadangan ferritin kosong dan
mulai ada gambaran gangguan eritropoiesis yang ditandai dengan
abnormalitas morfologi eritrosit pada pemeriksaan lab ataupun
penunjang dan mulai terdapat gejala klinis.

Gambar 10. Tahapan Defisiensi Besi dan Pemeriksaan Lab

Menurut WHO (World Health Organization), kriteria anemia defisiensi besi


adalah sebagai berikut:7

14
1. Kadar Hb kurang dari usia Normal
2. Nilai MCH < 31% (N: 32-35%)
3. Kadar Ferritin serum <80μg/L (N: 80-180μg/L)
4. Saturasi Transferin < 15% (N: 20-50%)
Kriteria terpenuhi bila paling sedikit terdapat gejala pada nomor 1,3, dan 4.
Pemeriksaan laboratorium darah yang lebih efisien untuk mendiagnosis anemia
defisiensi besi adalah kadar ferritin serum. Bila sarana pemeriksaan tebatas,
diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:7
1. Anemia tanpa perdarahan
2. Anemia tanpa disertai organomegali
3. Gambaran pemeriksaan apusan darah tepi didapatkan  sel darah merah
mikrositik hipokrom, anisositosis, sel target dan sel pensil.
4. Berespon terhadap terapi pemberian preparat besi

Pada Anemia defisiensi besi dapat ditemukan kelainan pada pemeriksaan


laboratorium sebagai berikut,

15
Gambar 11. Hasil Lab Anemia Defisiensi Besi (Nelson, 2016)

a. Kadar Hemoglobin, Hematokrit, dan Mean Corpuscular Volume


Kadar hemoglobin yang rendah menandakan penurunan produksi
hemoglobin, hematokrit yang rendah menandakan laju endap sel darah
merah lebih cepat karena ukurannya mikrositik, sedangkan mean
corpuscular volume menandakan ukuran eritrosit atau volume eritrosit yang
rendah.1

16
Gambar 12. Nilai normal Hb, Hct, dan MCV (Nelson, 2016)

b. Kadar Serum Ferritin


Kadar serum ferritin yang rendah merupakan temuan laboratorium
yang bermakna dalam mendiagnosis anemia defisiensi besi dikarenakan
dapat meidentifikasi nilai cadangan besi dalam bentuk ferritin.1

Gambar 13. Perbedaan Hasil Lab Anemia Makrositik (Nelson, 2016)

II.10 Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi


1. Mengetahui faktor penyebab: riwayat nutrisi dan kelahiran, adanya
perdarahan yang abnormal, pasca pembedahan.7
2. Preparat besi
Preparat yang tersedia ferous sulfat, ferous glukonat, ferous fumarat, dan
ferous suksinat. Dosis besi elemental 4-6 mg/kgBB/hari. Respons terapi
dengan menilai kenaikan kadar Hb/Ht sebesar 2 g/dL atau lebih setelah
satu bulan, jika ada maka terapi dilanjutkan sampai 2-3 bulan. 7

17
Komposisi besi elemental:
a. Ferous fumarat: 33% merupakan besi elemental
b. Ferous glukonas: 11,6% merupakan besi elemental
c. Ferous sulfat: 20% merupakan besi elemental
3. Transfusi darah
Jarang diperlukan, hanya diberi pada keadaan anemia yang sangat berat
dengan kadar Hb <4g/dL. Komponen darah yang diberi PRC.7

II.11 Pencegahan Anemia Defisiensi Besi


1. Pencegahan primer:7
a. Mempertahankan ASI eksklusif hingga 6 bulan.7
b. Menunda pemakaian susu sapi sampai usia 1 tahun.7
c. Menggunakan sereal/makanan tambahan yang difortifikasi tepat pada
waktunya, yaitu sejak usia 6 bulan sampai 1 tahun.7
d. Berikan anak makan sesuai dengan usianya dan berikan makanan
tambahan berupa sumber zat besi nabati dan hewani.7
e. Pemberian vitamin C seperti jeruk, apel pada waktu makan dan
minum preparat besi untuk meningkatkan absorbsi besi, serta
menghindari bahan yang menghambat absorbsi besi seperti teh, fosfat,
dan fitat pada makanan.7
f. Menghindari minum susu yang berlebihan dan meningkatkan
makanan yang mengandung kadar besi yang berasal dari hewani
g. Pendidikan kebersihan lingkungan.7
2. Skrining ADB
- Skrining ADB dilakukan dengan pemeriksaan Hb atau Ht, waktunya
disesuaikan dengan berat badan lahir dan usia bayi. Waktu yang tepat
masih kontroversial. American Academy of Pediatrics (AAP)
menganjurkan antara usia 9–12 bulan, 6 bulan kemudian, dan usia 24
bulan. Pada daerah dengan risiko tinggi dilakukan tiap tahun sejak
usia 1 tahun sampai 5 tahun.7
- Skrining dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan MCV, RDW, feritin
serum, dan trial terapi besi. Skrining dilakukan sampai usia remaja.

18
Nilai MCV yang rendah dengan RDW yang lebar merupakan salah
satu alat skrining ADB.7
- Skrining yang paling sensitif, mudah dan dianjurkan yaitu zinc
erythrocyte protoporphyrin (ZEP) .7
- Bila bayi dan anak diberi susu sapi sebagai menu utama dan berlebihan
sebaiknya dipikirkan melakukan skrining untuk deteksi ADB dan
segera memberi terapi.7
3. Suplementasi Besi
Merupakan cara paling tepat untuk mencegah terjadinya ADB di
daerah dengan prevalens tinggi. Dosis besi elemental yang dianjurkan 7:
a. Bayi berat lahir normal dimulai sejak usia 6 bulan dianjurkan 1 mg/kg
BB/hari
b. Bayi 1,5-2,0 kg: 2 mg/kgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu
c. Bayi 1,0-1,5 kg: 3 mg/kgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu
d. Bayi <1 kg: 4 mg/kgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu
e. Bahan makanan yang sudah difortifikasi seperti susu formula untuk
bayi dan makanan pendamping ASI seperti sereal
Berdasarkan WHO mengenai suplementasi zat besi harian yang
diberikan pada anak bergantung pada usia adalah sebagai berikut:8

Gambar 14. Suplementasi Zat Besi Usia 6-23 Bulan (WHO, 2016)

19
Gambar 15. Suplementasi Zat Besi Usia 24-59 Bulan (WHO, 2016)

Gambar 16. Suplementasi Zat Besi Usia 5-12 Tahun (WHO, 2016)

Jika pada pemberian suplementasi besi, anak-anak atau bayi merasakan


gejala mual, muntah, nyeri pada abdomen dan diare, maka hentikan pemberian
suplementasi besi, gejala tersebut merupakan tanda toksikasi dari suplementasi
besi dan segera bawa ke dokter.9

20
BAB III
KESIMPULAN

Anemia defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang sering terjadi pada
anak-anak terutama di negara berkembang seperti di Indonesia. Anemia defisiensi
besi sangat banyak terjadi pada anak-anak terutama usia pra-sekolah yang dapat
berakibat pada gangguan behavioral dan kognitifnya.
Anemia defisiensi besi didefinisikan sebagai penurunan konsentrasi
hemoglobin dan penurunan volume eritrosit dibawah batas normal orang sehat
yang sesuai usia dan jenis kelaminnya. Anemia defisiensi besi dapat disebabkan
karena intake nutrisi yang kurang, infeksi, dan adanya perdarahan yang kronis
sehingga menyebabkan kadar zat besi menurun untuk keperluan eritropoiesis. Hal
ini menyebabkan gangguan penantara oksigen ke jaringan.
Diagnosis anemia defisiensi besi dapat di tegakan melalui penilaian gejala
klinis dan pemeriksaan lab darah juga penunjang. Anemia defisiensi besi dapat
dicegah dan diterapi menggunakan supplementasi besi dan intake nutrisi yang
mengandung zat besi.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Lerner NB & Sils R (2016). The Anemias and Iron Deficiency Anemia.
In:Kliegman RM, Stanton BF, Geme JW, Schor NF, Behrman RE, editors.
Nelson textbook of pediatrics. 20 ed. Philadelphia. Elsevier. h.2309-26.

2. World Health Organization (2005). Worldwide Prevalence of Anaemia


1993-2005: WHO global database of anaemia.

3. World Health Organization (2011). Prevention of Iron Deficiency


Anaemia in Adolescent: Role of Weekly Iron and Folic Acid
Supplementation. New Delhi: World Health Organization Regional
Officer for South-East Asian. p.2-54.

4. Widjaja IR. Widjaja FF. Santoso LA. Wonggokusuma E. Oktaviani


(2014). Anemia Among Children and Adolescent in a Rural Area.
Paediatrica Indonesiana. Vol 54. p88-93.

5. Coad J, Pedley K (2014). Iron deficiency and iron deficiency anemia in


women. Scand J Clin Lab Invest Suppl. Vol 244. p.82-9.

6. Hurrell R, Egli I (2010). Iron bioavailability and dietary reference


values. Am J Clin Nutr. Vol 91(5). p.1461S-1467S.

7. Ikatan Dokter Anak Indonesia (2009). Anemia Defisiensi Besi. Pedoman


Pelayanan Medis, Pujiadi, A. H. et al., eds., Ikatan Dokter Anak Indonesia.

8. World Health Organization (2016). Guideline: Daily Iron Supplementation


in Infant and Children. World Health Organization. p.8-11.

9. Baranwal, A. K., & Singhi, S. C. (2003). Acute iron poisoning:


management guidelines. Indian pediatrics, 40(6), 534–540.

10. Lee M. (2019) Iron Matters: Absorption and Metabolism. FX


Medicine. https://www.fxmedicine.com.au/content/iron-matters-
absorption-and-metabolism

22
11. Yan Yu. (2012). Iron Deficiency Anemia Pathogenesis and
Clinical Findings. The Calgary Guide To Understanding Disease.

12. Warner MJ, Kamran MT. (2020) Iron Deficiency Anemia. In:
StatPearls
[Internet].https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448065/figure/article-
23767.image.f3

23

Anda mungkin juga menyukai