Anda di halaman 1dari 21

ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA KEHAMILAN

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Bagian Ilmu Obstetri dan ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Abulyatama Aceh

Disusun Oleh:
Bela Malika Yusuf
19174028

Pembimbing:
dr. Yusrizal, Sp.OG
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MEURAXA
BANDA ACEH
2021

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, kasih sayang dan karunia
kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan refrat yang berjudul “Anemia Defisiensi Besi pada
Kehamilan”. Refrat ini disusun sebagai salah satu tugas menjalani kepaniteraan klinik senior
pada Bagian/SMF Ilmu Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama/
RSUD Meuraxa Banda Aceh.

Selama penyelesaian refrat ini penulis mendapatkan bantuan, bimbingan, pengarahan,


dan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada
dr. Yusrizal, Sp.OG yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan
bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan refrat ini. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada keluarga, sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan motivasi dan doa
dalam menyelesaikan refrat ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam refrat
ini. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca
sekalian demi kesempurnaan refrat ini. Harapan penulis semoga refrat ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan umumnya dan profesi kedokteran khususnya. Semoga Allah
selalu memberikan Rahmat dan Hikmah-Nya kepada kita semua.

Banda Aceh, 28 September 2021

Bela Malika Yusuf

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................2

2.1 Definisi Anemia defisiensi besi pada kehamilan.....................................................2

2.2 Etiologi Anemia defisiensi besi pada kehamilan.....................................................3

2.3 Patofisiologi Anemia defisiensi besi pada kehamilan..............................................3

2.4 Diagnosis Anemia defisiensi besi pada kehamilan..................................................4

2.5 Diagnosis Banding Anemia defisiensi besi pada kehamilan....................................10

2.6 Tatalaksana Anemia defisiensi besi pada kehamilan...............................................11

2.7 Komplikasi Anemia defisiensi besi pada kehamilan................................................15

2.8 Prognosis Anemia defisiensi besi pada kehamilan...................................................16

BAB V KESIMPULAN............................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anemia adalah kehamilan dengan kondisi ibu dengan kadar hemoglobin dibawah
11% pada trimester 1 dan 3 atau kadar <10,5% pada trimester ke 2. Nilai batas tersebut
perbedaannya dengan kondisi wanita tidak hamil terjadi karena hemodilusi, terutama pada
trimester ke.1

Prevalensi terjadinya anemia pada wanita hamil di Indonesia cukup tinggi yaitu berkisar
20%-80%, tetapi pada umumnya banyak penelitian yang menunjukan prevalensi anemia pada
wanita hamil yang lebih besar dari 50%. Sehingga dapat dikatakan 5 dari 10 wanita hamil di
Indonesia menderita Anemia. WHO melaporkan bahwa prevalensi anemia pada kehamilan
secara global 55% dimana secara bermakna tinggi pada trimester ke.2

Anemia defisiensi besi merupakan tahap defisiensi besi yang paling parah, yang ditandai
oleh penurnan cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan saturasi transferin yang rendah, dan
konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit yang menurun. Pada kehamilan anemia
kekurangan besi akan timbul jika keperluan besi tidak dapat dipenuhi dari cadangan besi dan dari
besi yang dapat diabsorpsi dari traktus gastrointestinal. Volume darah bertambah cepat pada
kehamilan trimester ke 2 sehingga kekurangan besi seringkali terlihat pada turunnya kadar
hemoglobin. meskipun bertambahnya volume darah tidak begitu banyak pada trimester ke 3,
tetapi keperluan akan besi tetap banyak karena penambahan Hb ibu terus berlangsung dan lebih
banyak besi yang diangkut melalui plasenta ke neonatus.1,3

Pada kehamilan, kehilangan zat besi akibat pengalihan besi maternal ke janin untuk
eritropoeisis, kehilangan zat darah saat persalinan, dan laktasi yang jumlah keseluruhannya
mencapai 900mg atau setara 2 liter darah. Oleh karena sebagian besar perempuan mengawali
kehamilan dengan cadangan besi yang rendah, maka kebutuhan tambahan ini berakibat pada
anemia defisiensi besi.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi

Anemia merupakan keadaan tidak mencukupinya eritrosit untuk mengantarkan kebutuhan


oksigen jaringan. Karena hal ini sulit diukur, maka anemia didefinisikan sebagai rendahnya
konsentrasi hemoglobin (Hb), hitung eritrosit, dan hematokrit (Ht) dari nilai normal.4

Berdasarkan WHO, anemia pada kehamilan ditegakkan apabila kadar hemoglobin (Hb)
<11 g/dL atau hematokrit (Ht) <33%, serta anemia pasca salin apabila didapatkan Hb <10 g/dL.1
Center for disease control and prevention mendefinisikan anemia sebagai kondisi dengan kadar
Hb <11 g/dL pada trimester pertama dan ketiga, Hb <10,5 g/dL pada trimester kedua, serta <10
g/dL pada pasca persalinan.1,5-6

Anemia defisiensi besi adalah kondisi dimana tubuh kekurangan besi, yang terbukti
dengan tanda kekurangan besi pada jaringan dan tidak tercukupinya cadangan besi dalam tubuh,
disertai dengan penurunan kadar hemoglobin. Spektrum defisiensi besi berkisar dari deplesi besi,
ketika besi yang disimpan rendah, hingga eritropoiesis defisiensi besi, ketika besi yang disimpan
dan diangkut rendah, hingga anemia defisiensi besi, ketika disimpan, diangkut, dan besi
fungsional rendah. Berikut adalah beberapa stadium anemia defsiensi besi (Tabel 7.1):4

 Stadium 1 – Deplesi besi


Deplesi cadangan besi ditandai dengan penurunan serum feritn (<40 µg/L), sedangkan
pemeriksaan hemoglobin dan besi serum masih normal. Pada stadium ini terjadi
peningkatan absorbsi besi di usus.
 Stadium 2 – Eritropoiesis defsiensi besi
Apabila keadaan deplesi besi terus berlanjut, cadangan besi akan menjadi sangat rendah,
sehingga penyediaan besi untuk eritropoiesis berkurang. Kondisi ini disebut eritropoiesis
defsiensi besi, dimana manifestasi klinis anemia belum terlihat dan kadar hemoglobin
masih normal. Pemeriksaan laboratorium didapatkan penurunan besi serum (SI) dan
saturasi transferin, sedangkan Total Iron Binding Capacity (TIBC) meningkat.

2
 Stadium 3 – Anemia defsiensi besi
Pada anemia defsiensi besi sudah terjadi gangguan fungsi, ditandai dengan penurunan
kadar Hb, MCV, MCH disamping penurunan kadar feritn dan kadar besi di dalam serum.
Gambaran darah tepi didapatkan mikrositk dan hipokromik. Pada kondisi ini biasanya
manifestasi klinis anemia dapat mulai terlihat.
Tabel 3.1 Gambaran Laboratorium sesuai Defisiensi Besi

3.2. Etiologi

Pada wanita usia reproduksi pada populasi umum, faktor risiko anemia defisiensi besi
yaitu: pola makan yang buruk dalam makanan yang kaya zat besi, seperti kerang, tiram, hati,
daging sapi, udang, kalkun, sereal sarapan yang diperkaya, kacang-kacangan, dan lentil; diet
yang buruk dalam peningkat penyerapan zat besi, seperti jus jeruk, jeruk bali, stroberi, brokoli,
dan paprika; diet kaya makanan yang mengurangi penyerapan zat besi, seperti produk susu,
produk kedelai, bayam, kopi, dan teh; pica (makan zat non-makanan seperti tanah liat atau pati
cucian); penyakit gastrointestinal yang mempengaruhi penyerapan; menstruasi berat; interval
antar kehamilan yang pendek; dan kehilangan darah saat melahirkan melebihi dari persalinan
pervaginam tanpa komplikasi.5

3.3. Patofisiologi

Ketika kebutuhan zat besi meningkat yang disebabkan penurunan asupan besi, usus halus
akan meningkatkan penyerapan zat besi untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Jika tubuh kehabisan
simpanan zat besi, oleh sebab itu akan mempengaruhi nilai beberapa parameter hematologi.
Ketika simpanan besi jaringan menurun, kadar feritin serum juga ikut menurun. Ketika simpanan

3
besi hampir habis, saturasi transferin menurun menyebabkan berkurangnya pasokan besi di
sumsum tulang, temuan eritropoiesis besi terbatas pada akumulasi eritrosit bebas. Gangguan
eritropoiesis ini mengakibatkan penurunan indeks eritrosit. Dari nilai normal disertai dengan
penurunan kadar hemoglobin juga akan terjadi. Yang Perlu diperhatikan ialah mean corpuscular
volume rendah, mean corpuscular hemoglobin rendah, dan mean corpuscular hemoglobin
concentration rendah. Apusan darah yang dilakukan pewarnaan dengan baik menunjukkan
hipokromia, mikrosit (mikrositosis), dan variasi dalam ukuran sel (anisositosis) dan bentuk
(poikilositosis).1,

Ada tiga tahap umum kekurangan zat besi. Yang pertama adalah pengurangan simpanan
besi. Simpanan besi normal pada wanita yang tidak hamil dan sedang menstruasi adalah sekitar
300 mg. kadar feritin serum berguna untuk menilai status zat besi bila nilainya <12 mg/dL
biasanya menunjukkan penurunan atau penipisan simpanan zat besi. Tahap kedua kekurangan zat
besi dimulai ketika simpanan zat besi habis tetapi anemia belum terjadi. Hal ini menyebabkan
keadaan eritropoiesis kekurangan zat besi. Eritropoiesis defisiensi besi dapat dikenali dengan
pemeriksaan besi plasma terhadap sel eritropoietik (ditunjukan oleh penurunan saturasi
transferin) dan ketersediaan besi untuk sintesis hemoglobin (ditunjukan oleh peningkatan
protoporfirin eritrosit bebas). Tahap kedua umumnya terlihat pada trimester pertama ketika
belum terjadi anemia, tetapi simpanan zat besi sudah tidak ada. Derajat ketiga dan yang paling
parah dari defisiensi besi di manifestasikan sebagai anemia mikrositik yang nyata. Hal ini
tercermin dari kadar hemoglobin yang rendah, feritin serum yang rendah, dan penurunan
eritrosit.1,7-8

3.4. Diagnosis

3.4.1. Manifestasi

Gejala dan tanda klinis anemia defisiensi besi pada kehamilan biasanya tidak spesifik,
kecuali anemia berat. Kelelahan adalah gejala yang paling umum. Pasien mungkin mengeluh
pucat, lemah, sakit kepala, palpitasi, pusing, dyspnoea dan iritabilitas. Ada keinginan untuk
mengkonsumsi barang-barang non-makanan seperti es dan kotoran. Anemia defisiensi besi juga

4
dapat mengganggu pengaturan suhu dan menyebabkan wanita hamil merasa lebih dingin dari
biasanya.9

3.4.2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik kekurangan zat besi dapat terjadi kelelahan, lekas marah, konsentrasi
yang buruk dan rambut rontok, atrofi papila lingual, atau mulut kering karena berkurangnya air
liur dan suhu lebih dingin dari biasanya. Pemeriksaan tanda-tanda pucat pada kelopak mata,
kuku, dan telapak tangan lebih pucat.9

3.4.3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan skrining anemia pada kehamilan disarankan untuk dilakukan pada saat
trimester 1, saat usia 24–28 minggu, serta dalam 24–48 jam pascasalin (sesuai indikasi).

1. Konsentrasi hemoglobin (Hb)

Hemoglobin merupakan protein dalam darah yang dapat merepresentasikan kadar besi di
sirkulasi. WHO mengklasifkasikan derajat keparahan anemia sebagai berikut:4,9

a. Ringan : kadar Hb <11 mg/dL


b. Sedang : kadar Hb <10 mg/dL
c. Berat : kadar Hb <7 mg/Dl

2. Kadar hematokrit (Ht)

Hematokrit adalah jumlah eritrosit pada volume darah keseluruhan yang dihitung dalam
persentase. Pada kehamilan terjadi peningkatan volume plasma yang jumlahnya tdak berimbang
dengan peningkatan jumlah eritrosit sehingga menyebabkan penurunan kadar hematokrit dalam
kehamilan. Kadar hematokrit <33% mengindikasikan adanya anemia.4,9

3. Hitung eritrosit

Anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit yang disertai dengan berkurangnya
kadar hemoglobin atau perubahan morfologi eritrosit. Pada ibu hamil, jumlah hitung eritrosit
<3,42 x106/mm3 dapat dikatakan anemia.4,9

5
4. Mean Corpuscular Volume (MCV) dan Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH)

MCV adalah ukuran atau volume rata-rata eritrosit. Sedangkan MCH adalah rata-rata
konsentrasi hemoglobin dalam satu sel eritrosit. Pada anemia defsiensibesi terjadi penurunan
nilai MCV <80 fl dan MCH <26 pg, serta pada apusan darah tepi tampak gambaran eritrosit
mikrositk hipokrom. Selain anemia defsiensi besi, anemia mikrositk hipokrom juga dapat
ditemukan pada thalasemia, anemia sideroblastk, atau anemia karena penyakit kronik. 4,9

Selama kehamilan terjadi peningkatan eritropoiesis akibat peningkatan hormon human


placental lactogen (HPL), sehingga akan meningkatkan persentase eritrosit muda yang besar.
Hal ini mengakibatkan diagnosis defsiensi besi melalui mikrositosis lebih sulit selama
kehamilan, dan defsiensi besi dapat terjadi meskipun MCV masih normal. 4,9

5. Red-cell Distributon Width (RDW)

RDW merupakan pemeriksaan yang rutn dilakukan karena termasuk dalam pemeriksaan
Darah Perifer Lengkap (DPL). RDW menunjukkan variasi ukuran eritrosit dan dapat melihat
adanya defsiensi besi lebih awal. RDW yang tinggi merefleksikan heterogenitas MCV
(anisositosis), yang dapat disebabkan gangguan maturasi atau degradasi eritrosit. Tidak sepert
MCV yang masih normal pada tahap prelaten dan laten defsiensi besi, RDW akan mengalami
peningkatan akibat jumlah sel mikrositk yang meningkat. Selain anemia defsiensi besi,
peningkatan RDW juga dapat ditemukan pada anemia megaloblastk akibat defsiensi asam folat
atau vitamin B12, anemia sideroblastk, sindrom mielodisplastk, hemoglobinopat, serta pasien
anemia yang telah mendapatkan transfusi darah. Studi menunjukan nilai RDW >14,5 %
mengkonfrmasi diagnosis anemia defsiensi besi dengan sensitvitas 43,8% dan spesifsitas 73,7%.4

6. Retikulosit

Retikulosit merupakan eritrosit imatur yang dilepaskan ke sirkulasi dan hanya berada
dalam sirkulasi selama 1–2 hari sebelum mengalami maturasi. Retikulosit dapat digunakan untuk
menilai respons sumsum tulang terhadap anemia. Jumlah retikulosit normal adalah sekitar
50.000–100.000/μl untuk hitung absolut dan 0,6–2% untuk persentasi absolut, namun nilai ini
memiliki standard error yang cukup tinggi. 4,9

6
Untuk penilaian efektivitas produksi eritrosit yang lebih baik, nilai retikulosit absolut
perlu dikoreksi dengan kadar hematocrit dan waktu maturasi retikulosit di sirkulasi, yang
dinamakan reticulocyte production index (RPI). Nilai RPI <2% berhubungan dengan kondisi
anemia hipoproliferatif dan kelainan maturasi eritrosit, seperti pada anemia defisiensi besi. Kadar
retikulosit ini juga dapat digunakan untuk penilaian awal respon terapi anemia (besi, asam folat,
atau transplantasi sumsum tulang). 4,9

7. Reticulocyte Hemoglobin Content (Ret-He/CHr)

Ret-He menggambarkan ketersediaan zat besi untuk eritropoiesis, sehingga penurunan


Ret-He dapat digunakan untuk deteksi awal defsiensi besi. Ret-He merupakan indikator paling
awal untuk mengetahui penurunan ataupun peningkatan availabilitas besi di sumsum tulang. 4,9

Ret-He merupakan petanda muatan dari hemoglobin selular, yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi defisiensi besi. Keuntungan utama pemeriksaan Ret-He adalah menunjukkan hasil
pemeriksaan real time dan termasuk ke dalam pemeriksaan DPL yang rutin dilakukan, sehingga
tidak dibutuhkan Teknik pemeriksaan tambahan. Ret-He juga lebih akurat dibandingkan dengan
ferritin dan saturasi transferin dalam mendeteksi defisiensi besi pada pasien dengan inflamasi
atau penyakit kronis. 4,9

Ret-He memberikan informasi mengenai respon pasien terhadap terapi. Terapi besi
menghasilkan kenaikan hb yang signifikan dalam 2–3 minggu, sedangkan Ret-He memberikan
respon hanya dalam 2 hari. Dengan menggunakan batas <27,2 pg, Ret-He dapat mendeteksi
defisiensi besi dengan sensitivitas.4,9

8. Feritin

Feritin adalah protein yang mengandung besi, dan menggambarkan total besi yang
tersimpan dalam tubuh. Feritin terutama didapatkan pada sel retikuloendotelial pada hati, limpa,
sumsum tulang dan jaringan tubuh lainnya. serum feritin <15 μg/L dijadikan diagnosis patokan
defisiensi besi. Walaupun begitu, nilai serum feritin <30 μg/L memiliki nilai sensitivitas 92%
dan spesifisitas 98%, untuk mendeteksi defisiensi. 4-5,9-10

7
Meskipun feritin serum merupakan pemeriksan standar untuk mendiagnosis defsiensi
besi, namun dapat terjadi misinterpretasi hasil karena peningkatan kadar feritn palsu akibat
apoferitn yang juga merupakan reaksi fase akut yang dapat meningkat pada keadaan infeksi,
inflamasi sistemik, keganasan, dan gagal ginjal kronik. Hal ini menjelaskan kadar feritn yang
rendah dapat digunakan untuk diagnosis defsiensi besi, namun kadar yang normal tdak
menyingkirkan diagnosis defsiensi besi. Adanya infeksi atau inflamasi perlu disingkirkan apabila
dijumpai kadar feritn normal. Studi menjelaskan bahwa pada kondisi inflamasi, kadar serum
feritn yang dapat dihubungkan dengan defsiensi besi adalah <100 μg/L. Sebaliknya, pada kadar
feritn >100 µg/L, diperlukan pengecekan marker inflamasi, penyakit ginjal, hepar, maupun
keganasan. 4-5,9-10

9. Serum Iron (SI) dan Total Iron Binding Capacity (TIBC)

Pengukuran besi serum merupakan pengukuran jumlah besi yang berikatan dengan
transferin. Kadar besi serum normal adalah 60–120 mg/dL. Kadar serum besi yang rendah
menggambarkan tidak mampunya sumsum tulang untuk meningkatkan produksi eritrosit dengan
yang baik, akibat proses pembentukan hemoglobin yang membutuhkan besi terganggu. 4,9

Selanjutnya, perhitungan TIBC adalah pengukuran kadar protein transferrin yang


berikatan dengan besi. Kadar normal TIBC adalah antara 300–350 mg/dL (meningkat hingga
300–400 mg/dL pada kehamilan). Besi serum kurang dari 60 mg/dL, atau TIBC lebih dari 400
mg/dL menandakan adanya anemia defisiensi besi pada kehamilan. 4,9

10. Reseptor Transferin/soluble Transferin Receptor (sTfR)

Reseptor transferin/sTfR meningkat pada defisiensi besi dipicu oleh eritroblas di sumsum
tulang akibatnya sTfR dapat memberikan informasi terkait kebutuhan sel akan besi, serta derajat
proliferasi eritropoiesis. Kadar sTfR rendah pada awal kehamilan, kemudian meningkat mulai
trimester 2 seiring peningkatan kebutuhan besi. Reseptor transferrin meningkat pada keadaan
defisiensi besi atau apabila kebutuhan zat besi seluler meningkat seperti dalam kehamilan. Pada
keadaan defisiensi besi, peningkatan sTfR memungkinkan sel untuk meningkatkan aviditas
terhadap besi sehingga meningkatkan absorbsinya.4

8
Reseptor transferin tidak dipengaruhi oleh inflamasi dan infeksi, sehingga dapat
digunakan untuk membedakan anemia defisiensi besi dan anemia penyakit kronis. Selain ADB,
peningkatan sTfR juga dapat ditemukan pada keadaan lain seperti eritropoiesis yang tidak efektif
(misalnya thalasemia) atau anemia hemolitik. Sensitivitas sTfR dalam mendeteksi anamia
defisiensi besi sebesar 86% dengan spesifisitas 75%.4

11. Saturasi Transferin (TSAT)

Nilai TSAT diperoleh dari kadar serum besi dibagi TIBC, yang merepresentasikan
seberapa banyak kadar besi yang dapat digunakan pada proses eritropoiesis. TSAT <20%
merupakan tanda defisiensi besi kronik pada kehamilan yang terjadi akibat banyaknya besi yang
dilepaskan dari transferrin yang bersirkulasi untuk mempertahankan eritropoiesis. Saturasi
transferrin dapat menggantikan feritin pada kondisi inflamasi, meskipun tidak sebaik ferritin
dalam mendiagnosis stadium awal defisiensi besi.4

12. Rasio mikrositik/hipokrom (MCV/MCH)

Eritropoiesis pada keadaan defisiensi besi menunjukan persentase eritrosit yang


hipokrom lebih besar dibandingkan dengan yang mikrositik. Eritrosit hipokrom terjadi lebih awal
dibandingkan dengan eritrosit mikrositik pada individu dengan defisiensi besi ringan. MCV
mencerminkan populasi eritrosit selama 120 hari sebelumnya. 4,9

Rasio MCV/MCH >0,9 berhubungan dengan trait beta-thalasemia, sedangkan rasio


MCV/MCH < 0,9 berhubungan dengan defisiensi besi. Parameter ini bermanfaat untuk
membedakan defisiensi besi dengan trait beta-thalasemia sebesar 92,4%.4,9

13. Hepsidin

Hepsidin memiliki angka diagnostik yang lebih tinggi dibandingkan serum feritin dan
TSAT untuk melihat respon terapi. Hal ini dikarenakan hepsidin bertindak sebagai regulator
utama dari besi, sehingga peningkatan hepsidin menunjukan penyimpanan besi yang adekuat.
Kenaikan hepsidin >20 µg/L, memiliki sensitivitas 84,4%, and nilai prediktif positif 81,6% untuk
melihat respon terapi besi oral. Pemeriksaan hepsidin sebelum pengobatan dapat membantu
mengidentifikasi pasien anemia defisiensi besi. Sehingga, pasien yang kurang respon dengan
pemberian terapi oral dapat dipertimbangkan dengan pemberian terapi intravena.4

9
Gamabar 3.1 Alur Diagnosis Anemia Dalam Kehamilan

3.5 Diagnosis Banding

Beberapa anemia mikrositik atau hipokromik harus dipertimbangkan untuk diagnosis


banding ketika mengevaluasi seorang wanita hamil dengan anemia. Eritrosit membutuhkan zat
besi, protoporfirin, dan globin untuk sintesis hemoglobin ketika terbentuk. Dalam mendiagnosis
anemia defisiensi besi harus memperhatikan nilai dari MCV, RDW, feritin, eritrosit dan TIBC.
Maka diagnosis banding dari anemia defifiensi besi adalah:4,5

Gambar 3.2 Diagnosis Banding Anemia Dalam Kehamilan

10
3.6 Tatalaksana Anemia Defsiensi Besi pada Kehamilan

3.6.1. Pencegahan Anemia Defisiensi Besi pada Kehamilan

Perencanaan diet untuk anemia perlu memasukan keseimbangan antara diet makanan
yang sehat dan makanan kaya zat besi heme dan non heme, seperti daging, seafood, kacang-
kacangan dan biji-bijian. Mengurangi konsumsi zat yang dapat menghambat penyerapan besi.
Beberapa hal yang bisa dipakai sebagai pedoman untuk mencukupi kebutuhan besi antara lain:

 Mengatur pola diet seimbang berdasarkan piramida makanan sehingga kebutuhan


makronutrien dan mikronutrien dapat terpenuhi.
 Meningkatkan konsumsi bahan makanan sumber besi terutama dari protein hewani
seperti daging, sehingga walaupun tetap mengkonsumsi protein nabati diharapkan
persentase konsumsi protein hewani lebih besar dibandingkan protein nabati.
 Meningkatkan konsumsi bahan makanan yang dapat meningkatkan kelarutan dan
bioavailabilitas besi seperti vitamin C yang berasal dari buah-buahan bersama-sama
dengan protein hewani.
 Membatasi konsumsi bahan makanan yang dapat menghambat absorpsi
besi seperti bahan makanan yang mengandung polifenol atau pitat.

Suplementasi besi dan asam folat direkomendasikan untuk semua wanita hamil di seluruh
dunia. suplementasi besi oral menurunkan risiko anemia maternal pada kehamilan aterm, berat
bayi lahir rendah dan kelahiran preterm.4

Dosis suplementasi yang direkomendasikan WHO pada ibu hamil adalah 60 mg besi
elemental dan dilanjutkan hingga 3 bulan pasca salin, karena prevalensi anemia dalam kehamilan
di Indonesia >40%, yaitu 48,9%. Penilaian kadar feritin di awal kehamilan dapat memberikan
gambaran dosis suplementasi yang diperlukan. Berikut rekomendasi suplementasi besi
berdasarkan kadar feritin:1,3-4

 Feritin 70–80 µg/L: Diperkirakan cadangan besi dalam tubuh lebih dari 500 mg, sehingga
tdak diperlukan suplementasi.

11
 Feritn 30–70 µg/L: Diperkirakan cadangan besi dalam tubuh 250–500 mg, sehingga
direkomendasikan suplementasi 30–40 mg besi elemental.
 Feritn <30 µg/L: Diperkirakan cadangan besi dalam tubuh cukup rendah sehingga
diperlukan suplementasi 60–80 mg besi elemental.

Tabel 3.2 Pemberian Suplementasi Besi

Dosis Terapi

Pemberian besi merupakan terapi utama defsiensi besi dan anemia defsiensi besi. Dosis
terapi defsiensi besi disesuaikan dengan derajat defsiensi dan usia kehamilan saat diagnosis
ditegakkan. Pada anemia defsiensi besi ringan dengan kadar Hb 10–10,4 g/dL dapat diberikan
terapi besi oral 80–100 mg/hari. Jika ibu hamil terdiagnosis anemia defsiensi besi pada trimester
pertama dan kedua, maka tablet besi oral dapat diberikan sebagai terapi lini pertama.4

Pada keadaan defsiensi besi, penghitungan kebutuhan besi dilakukan sebagai perkiraan
pemberian terapi menggunakan Ganzoni Formula.4

Tabel 3.3 Rekomendasi Tatalaksana ADB pada Kehamilan

12
3.6.2 Jenis Preparat Besi

Preparat Besi Oral

Preparat besi oral dapat berupa preparat garam, lepas lambat, kompleks besipolisakarida,
dan besi karbonil. Ferrous sulfate, ferrous fumarate, dan ferrous gluconate merupakan preparat
besi garam. Preparat besi garam yang lebih sering digunakan di Indonesia salah satunya adalah
ferrous sulfat, karena lebih mudah didapat dan harga lebih terjangkau.1,4,9,11

Kementerian Kesehatan Indonesia pada tahun 2014, merekomendasikan ibu hamil


mengkonsumsi tablet tambah darah/TTD (ferrous fumarate) setiap hari selama masa
kehamilannya atau minimal 90 (sembilan puluh) tablet. Namun, kepatuhan ibu hamil untuk
minum TTD ini cukup rendah. Kelemahan besi dalam bentuk garam adalah keluhan pada saluran
gastrointestnal sekitar 23%, sepert mual muntah, nyeri perut, konstpasi dan BAB kehitaman.
Sebelum pemberian besi lakukan pemeriksaan ferritin. Apabila ditemukan kadar ferritin < 10-15
ng/ml, berikan terapi besi dengan dosis setara 180-200 mg besi elemental per hari.1,4,9,11

Tabel 3.4 Jenis Preparat Besi Oral dan Kandungan Besi Elementalnya

Preparat besi parenteral

13
Preparat besi parenteral merupakan alternatf yang efektif apabila respon tidak adekuat
atau intoleransi pemberian besi oral. Indikasi pemberian besi parenteral lainnya adalah adanya
gangguan pencernaan yang dapat mengganggu absorbsi besi, atau kondisi medis lain seperti
inflammatory bowel disease, angiodisplasia, hereditary hemorragic telangiectasias. Terapi
parenteral dianjurkan pada kehamilan trimester 3, terutama >34 minggu. Hal ini dilakukan agar
target hemoglobin. tercapai pada saat persalinan. Preparat besi parenteral juga dipertmbangkan
pada pasien dengan kadar Hb <10 mg/dL.1,4,9,12

Beberapa preparat besi parenteral yang dapat digunakan adalah iron dextran, iron
sucrose, sodium ferric gluconate complex, dan ferric carboxymaltose. Iron sucrose dan sodium
ferric gluconate complex terbukti aman dibandingkan dengan Iron Dextran. Oleh karena berat
molekul yang lebih kecil, efek samping sepert risiko anaflaksis jarang ditemukan pada iron
sucrose dan sodium ferric gluconate complex. Preparat besi parenteral lainnya, yaitu ferric
carboxymaltose juga aman digunakan selama kehamilan dan pasca salin, dan dapat diberikan
hingga dosis 1000 mg selama 15 menit. 1,4,9,12

Tabel 3.5 Berbagai Preparat Besi Intravena

Tranfusi darah

Transfusi PRC (packed red cell) diberikan pada Hb <7 g/dL, atau Hb ≥7 g/dL pada
pasien dengan gejala, seperti dekompensasi jantung, serta tdak respon terhadap terapi pemberian
besi intravena. Tranfusi darah jarang sekali diberikan kecuali terdapat tanda-tanda hipovolemik,
contohnya akibat perdarahan pasca salin. Kondisi anemia berat akan menyebabkan oksigenisasi

14
janin yang abnormal sehingga menyebabkan denyut jantung janin abnormal, berkurangnya
cairan amion, hipoperfusi janin, hingga kematan janin. Transfusi untuk anemia dilakukan pada
pasien dengan kondisi berikut:1,4,11

 Kadar Hb <7 g/dl atau kadar hematokrit <20 %


 Kadar Hb >7 g/dl dengan gejala klinis: pusing, pandangan berkunang-kunang, atau
takikardia (frekuensi nadi >100x per menit)

3.7 Komplikasi

Morbiditas dan mortalitas ibu

Kekurangan zat besi dapat berkontribusi pada morbiditas ibu melalui efek pada fungsi
kekebalan dengan peningkatan kerentanan atau keparahan infeksi, kapasitas dan aktivitas yang
buruk menyebabkan gangguan kognisi dan emosi postpartum. Ada sedikit informasi mengenai
ambang batas Hb dimana kematian meningkat, ketika kadar Hb setinggi 8,9 g/dl, yang dikaitkan
dengan dua kali lipat risiko kematian ibu. Namun anemia berat cenderung memiliki banyak
penyebab dan efek pada ibu hamil.9

Efek pada janin dan bayi

Janin relatif terlindung dari efek defisiensi besi dengan regulasi protein transpor besi
plasenta yang baik, tetapi bukti menunjukkan bahwa deplesi besi ibu hamil meningkatkan risiko
defisiensi besi dalam 3 bulan pertama kehidupan, oleh berbagai mekanisme. Gangguan
perkembangan psikomotor dan mental dijumpai pada bayi dengan anemia defisiensi besi dan
juga dapat berdampak terhadap perilaku emosional bayi dan kehidupan sosial serta memiliki
kerentanan terserang penyakit kronis di usia dewasa.9

Efek pada kehamilan

Ada beberapa bukti untuk hubungan antara defisiensi besi ibu dengan kelahiran prematur,
berat badan lahir rendah, kemungkinan solusio plasenta dan peningkatan kehilangan darah
peripartum. Namun penelitian lebih lanjut tentang efek kekurangan zat besi, terlepas dari faktor
pengganggu, diperlukan untuk mengetahui hubungan yang jelas antara kehamilan dan janin.9

3.8 Prognosis

15
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekuarnagn besi saja dan
diketahui penyebab serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan
manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi.1

16
BAB III

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Anemia defisiensi besi adalah kondisi dimana tubuh kekurangan besi, yang terbukti
dengan tanda kekurangan besi pada jaringan dan tidak tercukupinya cadangan besi dalam tubuh,
disertai dengan penurunan kadar hemoglobin. Kehamilan merupakan keadaan yang
meningkatkan kebutuhan ibu terhadap besi untuk memenuhi kebutuhan fetal, plasenta dan
penambahan massa eritrosit selama kehamilan. Simpanan besi yang tidak mencukupi sebelum
kehamilan akibat asupan besi yang tidak adekuat dapat mengakibatkan terjadinya anemia
defisiensi.

Pada Laporan kasus yang sudah dijelaskan diatas dapat disimpulkan secara teori kasus ini
sesuai dengan keadaan anemia defisiensi besi pada kehamilan. Untuk penyebab pada kasus ini
karna kurangnya asupan besi pada pasien. Hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang pada kasus ini mengarah kedalam kondisi anemia defisiensi besi pada kehamilan.
Pasien diberi terapi sulfat ferosus dan transfusi PRC sehingga kadar Hb dan klinisnya membaik.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Dashe JS, Haffman BL, Casey BM et al.
Williams Obstetrics. Edisi 25. New York: Mc Graw Hill; 2018.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2008.
3. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH, Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo. Edisi IV. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2008.
4. Wibowo N, Irwinda R, Hiksas Rabbania. Anemia Defisiensi Besi Pada Kehamilan. Edisi
I. Jakarta: UI Publishing; 2021.
5. American College of Obstetricians and Gynecologysts. Anemia in Pregnancy. ACOG
Practice Bulletin 233. Obstet Gynecol, 2021; 138(2):202-207.
6. World Health Organization. Guideline: daily iron and folic acid supplementation in
pregnant women. Geneva: World Health Organization; 2012.
7. Schwart WJ, Thurnau GR. Iron Deficiency Anemia in Pregnancy. Clinical Obstetrics
and Gynecology. 2000; 38(3):443-454.
8. Breymann C. Iron Defciency Anemia in Pregnancy. Semin Hematol. 2015;52(4):339-347.
9. Pravord S, Daru J, Prasannan N, Robinson S, Stanworth, Girling J. UK Guidelines on the
Management of Iron Deficiency in Pregnancy. British Journal of Haematology.
2020;188(1):819-830.
10. Short MW, Domagalski JE. Iron Deficiency Anemia: Evaluation and Management.
American Family Physician. 2015; 87(2): 98-104
11. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pelayanan Kesehatan Ibu Difasilitas
Kesehatan Dasar Dan Rujukan. Edsi III. Jakarta: Kemenkes; 2013.
12. Garzon S, Cacciato PM, Certelli C, Salvaggio C, Magliarditi M, Rizzo G. Iron
Deficiency Anemia in Pregnancy: Novel Approahes for an Old Problem. Oman Medical
Journal. 2020;35(5):100-106

18

Anda mungkin juga menyukai