Anda di halaman 1dari 22

Responsi

ANEMIA DEFISIENSI BESI

Pembimbing:
Dr. Ketut Suardamana,SpPD-KAI

Mahasiswa:

Xena Laveda (1902612183)

KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUP

SANGLAH FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan responsi yang berjudul Anemia
Defisiensi Besi ini tepat pada waktunya. Laporan responsi kasus ini disusun dalam rangka
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP
Sanglah Denpasar. Dalam penulisan laporan responsi kasus ini penulis banyak mendapatkan
bimbingan, baik berupa informasi maupun bimbingan moril. Untuk itu, pada kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD-KHOM-FINASIM selaku Kepala Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar.
2. Dr. dr. Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator Pendidikan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar.
3. Dr. Ketut Suardamana,SpPD-KAI selaku pembimbing dalam penyusunan responsi ini.
4. Dokter residen yang bertugas di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, atas masukannya.
5. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan responsi ini yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa laporan responsi kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan
dalam rangka penyempurnaannya. Akhirnya penulis mengharapkan semoga laporan responsi
kasus ini dapat bermanfaat di bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran.

Denpasar, 12 Agustus 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

Cover ......................................................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 4
BAB II KAJIAN PUSTAKA ..................................................................................................... 6
2.1 Definisi ........................................................................................................................ 6
2.2 Epidemiologi ............................................................................................................... 6
2.3 Etiologi ........................................................................................................................ 7
2.4 Patofisiologi ................................................................................................................ 8
2.5 Manifestasi Klinis ..................................................................................................... 12
2.6 Pemeriksaan Laboratorium ....................................................................................... 13
2.7 Diagnosis ................................................................................................................... 14
2.8 Tatalaksana ................................................................................................................ 14
2.9 Diagnosis Banding .................................................................................................... 16
2.10 Komplikasi ................................................................................................................ 18
2.11 Prognosis ................................................................................................................... 19
BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 21

3
BAB I
PENDAHULUAN

Pada umumnya, anemia didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana konsentrasi


hemoglobin di dalam tubuh berkurang. Terdapat berbagai macam keadaan, baik sebagai reaksi
patologis dan fisiologis, yang menyebabkan kondisi anemia. Derajat kondisi anemia juga
bervariasi, dari ringan, sedang, hingga anemia berat. Pada kondisi anemia ringan dan sedang,
pasien mungkin tidak merasakan adanya gejala objektif, sedangkan pada kondisi anemia berat,
pasien dapat merasakan gejala-gejala seperti letih, lesu, lunglai, hingga takipnea, napas yang
pendek ketika beraktivitas, takikardia, dilatasi jantung, hingga gagal jantung.1

Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan pada masyarakat di seluruh dunia,
termasuk Indonesia. Prevalensi anemia pada anak usia kurang dari 4 tahun diperkirakan
mencapai jumlah 43%.2 Menurut Survei Nasional di Indonesia pada tahun 1992, didapatkan
bahwa 56% anak di bawah umur 5 tahun menderita anemia, sedangkan menurut survei tahun
1995 didapatkan sejumlah 41% anak di bawah umur 5 tahun dan 24-35% dari anak sekolah
menderita anemia. 3 Sering kali gejala pada anemia ringan hingga sedang tidak tampak jelas,
sehingga menyulitkan deteksi dan menyebabkan terlambatnya penanggulangan. Keadaan ini
berkaitan erat dengan meningkatnya risiko kematian pada anak.

Anemia defisiensi besi (ADB) adalah salah satu jenis anemia yang penyebabnya adalah
kurangnya bahan baku zat besi yang dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin (eritropoesis).
Anemia defisiensi besi ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer dan hasil laboratorium
yang menunjukan cadangan besi kosong. Hal ini disebabkan tubuh manusia mempunyai
kemampuan yang terbatas untuk melakukan penyerapan besi dan sering kali tubuh mengalami
kehilangan besi dalam jumlah yang berlebihan akibat perdarahan. Besi merupakan bagian dari
molekul hemoglobin, dengan berkurangnya besi maka sintesis hemoglobin akan berkurang dan
mengakibatkan kadar hemoglobin turun. Hemoglobin merupakan unsur vital bagi tubuh
manusia, karena kadar hemoglobin yang rendah dapat mempengaruhi kemampuan transportasi
oksigen yang sangat dibutuhkan oleh seluruh jaringan tubuh. 4

Faktor-faktor penyebab anemia defisiensi besi adalah status gizi yang dipengaruhi oleh
pola makanan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan dan status kesehatan. Penelitian
menunjukkan bahwa tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di negara berkembang
dilatarbelakangi oleh keadaan sosial ekonomi rendah yang meliputi pendidikan orang tua,

4
penghasilan yang rendah, serta kesehatan pribadi di lingkungan yang buruk. Meskipun anemia
disebabkan oleh berbagai faktor, namun lebih dari 50% kasus anemia yang terbanyak di seluruh
dunia secara langsung disebabkan oleh kurangnya masukan zat besi. Selain itu penyebab
anemia defisiensi besi juga dipengaruhi oleh kebutuhan tubuh yang meningkat, akibat
mengidap penyakit kronis dan kehilangan darah karena menstruasi dan infeksi parasit (cacing).
Di negara berkembang seperti Indonesia, penyakit cacingan masih merupakan salah satu
sumber masalah yang besar untuk kasus anemia defisiensi besi, karena cacing diperkirakan
dapat menghisap darah sejumlah 2-100 cc setiap harinya. 5

Secara epidemiologi, prevalensi tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal
masa kanak-kanak yang disebabkan oleh kehamilan dan percepatan tumbuh pada masa kanak-
kanak yang disertai dengan rendahnya asupan besi dari makanan, atau karena penggunaan susu
formula dengan kadar besi kurang. Selain itu anemia defisiensi besi juga banyak ditemukan
pada masa remaja akibat percepatan pertumbuhan, asupan besi yang tidak adekuat dan
diperberat dengan kehilangan darah akibat menstruasi pada remaja puteri. 6

Anemia defisiensi besi perlu mendapat perhatian khusus karena gejala yang
ditimbulkannya dapat mengakibatkan dampak yang buruk. Kekurangan zat besi dapat
menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan, baik terhadap sel tubuh maupun sel
otak. Gejala anemia dapat mengakibatkan turunnya prestasi belajar, olah raga, dan
produktivitas kerja. Selain itu, anemia defisiensi besi juga akan menurunkan daya tahan tubuh
dan mengakibatkan penderita mudah terkena infeksi. Untuk itu, upaya pencegahan dan
penanggulangan anemia perlu dilakukan. Pencegahan dan penanganan anemia dapat dilakukan
dengan banyak mengonsumsi makanan yang kaya zat besi. Selain itu, penanggulangan
penyakit yang mendasari terjadinya anemia defisiensi besi juga perlu dilakukan, misalnya
dengan pencegahan infeksi cacing dan pemberian tablet Fe yang dikombinasikan dengan
vitamin C.

5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya sediaan
besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada
akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. Ditandai oleh anemia
hipokromik mikrositer, besi serum menurun, TIBC meningkat, saturasi transferin.7
Menurut WHO dikatakan anemia bila kadar hemoglobin sebagai berikut.
• Laki dewasa : hemoglobin < 13 g/dl
• Wanita dewasa tak hamil : hemoglobin < 12 g/dl
• Wanita hamil : hemoglobin < 11g/dl
• Anak umur 6-14 tahun : hemoglobin < 12g/dl
• Anak umur 6 bulan-6 tahun : hemoglobin < 11g/dl
Kriteria klinik: untuk alasan praktis maka kriteria anemia klinik (di rumah sakit atau
praktek klinik) pada umumnya yang disepakati adalah sebagai berikut.
1. Hemoglobin < 10 g/dl
2. Hematokrit < 30 %
3. Eritrosit < 2,8 juta/mm³

2.2 Epidemiologi

Berdasarkan data prevalensi WHO yang dilakukan pada tahun 1993 sampai
2005, secara global anemia terjadi pada 1,62 miliar orang di dunia. Angka tersebut
merupakan 24,8% populasi dunia saat itu. Prevalensi paling banyak terjadi pada
anak-anak pra-sekolah (47,4%) dan prevalensi paling kecil adalah pada laki-laki
(12,7%). Data WHO regional mendapatkan kejadian paling banyak terjadi pada Asia
Tenggara sejumlah 315 juta penduduk pada populasi anak pra-sekolah, wanita
hamil, dan wanita tidak hamil. 8
Defisiensi besi merupakan salah satu bentuk malnutrisi paling sering terjadi.
Secara global, 50% anemia disebabkan oleh defisiensi besi dan teracatat sekitar
841.000 kematian di seluruh dunia. Afrika dan bagian dari Asia menanggung 71%
beban mortalitas secara global, sedangkan di Amerika utara hanya terjadi 1,4% dari
seluruh kejadian dan mortalitas akibat defisiensi besi. Berdasarkan data Global

6
Burden of Disease Study 2016, anemia defisiensi besi adalah salah satu dari lima
penyebab beban disabilitas tahunan dan paling banyak terjadi pada wanita. 9 Survei
yang dilakukan di seluruh dunia mendapatkan bahwa pada tahun 2010 anemia masih
mengenai satu per tiga dari populasi dunia dan setengah diantaranya disebabkan
oleh defisiensi besi. Perkiraannya terjadi pada 1,24 miliar penduduk yang menderita
anemia defisiensi besi pada negara dengan pendapatan rendah sampai pendapatan
tinggi. 10 Anemia defisiensi besi juga berdampak pada sosial dan kesehatan, dapat
menyebabkan gangguan kognisi pada anak-anak, komplikasi pada ibu hamil dan
bayi baru lahir, penurunan kapasitas fisik dan kerja pada orang dewasa, dan
penurunan kognisi pada lansia.

2.3 Etiologi
Terdapat beberapa penyebab dari anemia defisiensi besi, yaitu oleh karena
rendahnya asupan besi, adanya gangguan absorpsi, kebutuhan yang meningkat, serta
kehilangan besi akibat pendarahan kronis. Penyebab dari anemia defisiensi besi
dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut. 11-12
• Kehilangan besi sebagai akibat pendarahan kronis.
- Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID, kanker
lambung, kanker colon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang.
- Saluran genitalia perempuan: menorrhagia, atau metrorrhagia
- Saluran kemih: hematuria
- Saluran nafas: hemoptoe
• Faktor nutrisi
- Kurangnya jumlah asupan besi total dalam makanan
- Kualitas besi (bioavailabilitas) yang kurang baik, seperti misalnya makanan yang
mengandung banyak serat atau rendah vitamin C
• Kebutuhan besi meningkat
- Masa pertumbuhan anak dan remaja
- Masa kehamilan
• Gangguan absorpsi besi
- Gastrektomi
- Tropical sprue
- Kolitis kronis

7
Pada orang dewasa anemia defisiensi besi yang dijumpai di klinik, hampir
identik dengan pendarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi
jarang sebagai penyebab utama. Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki ialah
pendarahan gastrointestinal, di negara tropik paling sering karena infeksi cacing
tambang. Sedangkan pada perempuan dalam masa reproduksi paling sering karena meno-
metrorhgia.
Penurunan absorpsi zat besi, hal ini terjadi pada banyak keadaan klinis. Setelah
gastrektomi parsial atau total, asimilasi zat besi dari makanan terganggu, terutama akibat
peningkatan motilitas dan bypass usus halus proximal, yang menjadi tempat utama
absorpsi zat besi. Pasien dengan diare kronik atau malabsorpsi usus halus juga dapat
menderita defisiensi zat besi, terutama jika duodenum dan jejunum proximal ikut terlibat.
Kadang-kadang anemia defisiensi zat besi merupakan pelopor dari radang usus non
tropical (celiac sprue).

Populasi yang berisiko mengalami anemia defisiensi zat besi antara lain adalah: 11-12
- Wanita menstruasi
- Wanita menyusui atau hamil karena peningkatan kebutuhan zat besi
- Bayi, anak-anak dan remaja yang merupakan masa pertumbuhan yang cepat
- Orang yang kurang makan makanan yang mengandung zat besi, jarang makan
daging dan telur selama bertahun-tahun.
- Menderita penyakit maag
- Penggunaan aspirin jangka panjang
- Kanker kolon
- Vegetarian

2.4 Patofisiologi
2.4.1 Metabolisme Besi
Senyawa besi merupakan elemen yang penting bagi sel tubuh dan dibutuhkan
untuk berbagai perkembangan jaringan tubuh. Pada saat yang sama, tubuh juga harus
memproteksi dari toksisitas besi dari reaksi dengan radikal bebas. Besi yang merupakan
bagian dari hemoglobin mempunyai peran paling besar dalam membawa oksigen.
Oksigen juga berikatan dengan mioglobin otot. Tanpa adanya besi, sel tubuh akan
kehilangan kapasitasnya dalam transportasi elektron dan metabolisme besi. Dari segi
evolusi manusia, sejak awal manusia dipersiapkan untuk menerima besi dari produk

8
hewani. Kemudian, pola makan manusia berubah sehingga sebagian besi berasal dari
sumber nabati, terutama di negara tropis. Namun, disisi lain perangkat absorpsi besi tidak
mengalami evolusi, sehingga hal tersebut menimbulkan keadaan defisiensi besi.
Besi didalam tubuh dibagi menjadi tiga, yaitu senyawa besi fungsional
(hemoglobin, mioglobin, dan enzim-enzim), senyawa besi transportasi (transferin), dan
senyawa besi cadangan (feritin dan hemosiderin). Jumlah distribusi besi pada laki-laki
dan perempuan berbeda. Berikut dapat dilihat contoh komposisi besi pada seorang laki-
laki dengan berat badan 75 kg pada Tabel 1. 11

Tabel 1. Kandungan Besi Seorang Laki-Laki dengan BB 75 kg


A. Senyawa besi fungsional Hemoglobin 2300 mg
Mioglobin 320 mg
Enzim-enzim 80 mg
B. Senyawa besi transportasi Transferin 3 mg
C. Senyawa besi cadangan Feritin 700 mg
Hemosiderin 300 mg
Total 3803 mg

2.4.2 Absorpsi Besi


Tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari makanan dalam usus.
Untuk memasukkan besi dari usus ke dalam tubuh diperlukan proses absorpsi. Absorpsi
besi paling banyak terjadi pada duodenum dan jejunum proksimal, disebabkan oleh
struktur epitel usus yang memungkinkan untuk itu. Proses absorpsi besi dibagi menjadi
3 fase: 11
1. Fase luminal: besi dalam makanan diolah dalam lambung kemudian siap diserap
di duodenum
2. Fase mukosal: proses penyerapan dalam mukosa usus yang merupakan suatu
proses yang aktif.
3. Fase korporeal : meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi
oleh sel-sel yang memerlukan serta penyimpanan besi (storage)

Fase luminal
Besi dalam makanan terdapat 2 bentuk yaitu:

9
• Besi heme: terdapat dalam daging dan ikan, absorpsi tinggi, tidak dihambat oleh
bahan penghambat sehingga mempunyai bioavailabilitas tinggi.
• Besi non-heme: berasal dari sumber tumbuh-tumbuhan, absorpsi rendah,
dipengaruhi oleh bahan pemacu dan penghambat sehingga bioavailabilitasnya
rendah.
Yang tergolong sebagai bahan pemacu absorpsi besi adalah “meat factors” dan
vitamin C, sedangkan yang tergolong sebagai bahan penghambat ialah tanat, phytat, dan
serat (fibre). Dalam lambung karena pengaruh asam lambung maka besi dilepaskan dari
ikatannya dengan senyawa lain. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri ke fero
yang siap untuk diserap. 11

Fase mukosal
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejenum
proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks. Dikenal
adanya mucosal block, suatu mekanisme yang dapat mengatur penyerapan besi melalui
mukosa usus. 11

Fase korporeal
Besi setelah diserap oleh eritrosit (epitel usus), melewati bagian basal epitel
usus, memasuki kapiler usus, kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi
transferin. Transferin akan melepaskan besi pada sel RES melalui proses pinositosis. 11

Banyaknya absorpsi besi tergantung pada hal berikut. 11


1. Jumlah kandungan besi dari makanan
2. Jenis besi dalam makanan : besi heme atau besi non-heme
3. Adanya bahan penghambat atau pemacu absorpsi dalam makanan
4. Kecepatan eritropoesis

2.4.3 Siklus Besi dalam Tubuh


Pertukaran besi dalam tubuh merupakan lingkaran yang tertutup yang diatur
oleh besarnya besi yang diserap usus, sedangkan kehilangan besi fisiologik bersifat tetap.
Besi yang diserap setiap hari berkisar antara 1-2 mg, ekskresi besi terjadi dalam jumlah
yang sama melalui eksfoliasi epitel. Besi dari usus dalam bentuk transferrin akan

10
bergabung dengan besi yang dimobilisasi dari makrofag dalam sumsum tulang sebesar
22 mg untuk dapat memenuhi kebutuhan eritropoesis sebanyak 24 mg/hari. Eritrosit yang
terbentuk secara efektif yang akan beredar melalui sirkulasi memerlukan besi 17 mg,
sedangkan besi sebesar 7 mg akan dikembalikan ke makrofag karena terjadinya hemolisis
infektif (hemolisis intramedular). Besi yang dapat pada eritrosit yang beredar, setelah
mengalami proses penuaan juga akan dikembalikan pada makrofag sumsum tulang
sebesar 17 mg, sehingga dengan demikian dapat dilihat suatu lingkaran tertutup (closed
circuit) yang sangat efisien. 11

2.4.4 Klasifikasi Derajat Defisiensi Besi


Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi dapat
dibagi menjadi 3 tingkatan, sebagai berikut. 11
1. Deplesi besi (iron depleted state): cadangan besi menurun tetapi penyediaan besi
untuk eritropoesis belum terganggu.
2. Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoesis): cadangan besi kosong,
penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi belum timbul anemia secara
laboratorik.
3. Anemia defisiensi besi: cadangan besi kosong disertai anemia.

2.4.5 Patogenesis Anemia Defisiensi Besi


Progresivitas defisiensi besi dapat dibagi menjadi tiga tahapan. Pada tahap
pertama adalah tahap deplesi besi atau keseimbangan besi negatif, dimana kebutuhan
besi melebihi kemampuan tubuh dalam mengabsorpsi besi dari diet. Tahapan tersebut
bisa terjadi pada perdarahan, kehamilan (dimana kebutuhan besi untuk pembentukan
eritrosit melebihi kemampuan ibu dalam menyediakan besi), pada masa pertumbuhan
anak-anak, atau kurangnya asupan besi. Perdarahan yang terjadi melebihi 10 – 20 mL
eritrosit adalah lebih besar dari kemampuan usus dalam mengabsorpsi besi dalam diet
normal. Pada keadaan tersebut, defisit besi dalam tubuh akan mengakibatkan
pengeluaran cadangan besi (feritin) dari RE, sehingga menyebabkan cadangan menurun.
Selama cadangan besi masih tersedia dan dapat dimobilisasi, serum besi, TIBC, dan
kadar protoforfirin besi akan masih dalam batasan normal. Pada tahapan tersebut,
morfologi eritrosit masih normal.
Ketika cadangan besi menjadi deplesi, serum besi akan mulai menurun. Secara
bertahap, TIBC akan meningkat, begitu juga kadar protoforfirin eritrosit. Secara definisi,

11
cadangan besi sumsum dikatakan kosong jika serum feritin < 15 ug/L. Selama serum besi
masih dalam batasan normal, sintesis hemoglobin tidak akan terpengaruh meskipun
cadangan sudah berkurang. Ketika saturasi transferin jatuh ke 15-20%, sintesis
hemoglobin akan terganggu. Pada tahapan ini berarti sudah terjadi defisiensi besi
eritropoesis. Pemeriksaan apusan darah tepi penting untuk melihat eritrosit mikrositik,
namun jika tidak tersedia maka bisa dicari retikulosit hipokromik didalam sirkulasi.
Secara bertahap, hemoglobin dan hematokrit akan menurun yang menandakan anemia
defisiensi besi. Saturasi transferin pada anemia defisiensi besi adalah 10-15%. Pada
anemia sedang, sumsum tulang akan hiperproliferasi. Pada anemia yang lebih berat,
hipokromik dan mikrositik akan lebih jelas terlihat, dan ditemukan sel target dan
poikilositosis ditemukan sebagai cigar-shaped atau pencil-shaped. 11-12

2.5 Manifestasi Klinis


2.5.1 Gejala Umum Anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome)
dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl.
Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga
mendenging. Anemia bersifat simptomatik jika hemoglobin < 7 gr/dl, maka gejala-gejala
dan tanda-tanda anemia akan jelas. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat,
terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku. 11-12
2.5.2 Gejala Khas Defisiensi Besi
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia
jenis lain adalah sebagai berikut.
a. Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis
vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip sendok.
b. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil
lidah menghilang.
c. Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya keradangan pada sudut mulut sehingga
tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan
d. Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly adalah
kumpulan gejala yang terdiri dari anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan
disfagia. 11-12

12
Gambar 1. Gejala Khas Defisiensi Besi (dari kiri ke kanan: koilonychia, atrofi papil
lidah, stomatitis angularis).

2.5.3 Gejala penyakit dasar


Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi
penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya pada anemia akibat cacing tambang
dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit telpak tangan berwarna kuning
seperti jerami. Pada anemia karena pendarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai
gejala gangguan kebiasaan buang besar atau gejala lain tergantung dari lokasi tersebut.
11-12

2.6 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium dapat membantu penegakkan dari diagnosis anemia
defisiensi besi dan menyingkirkan kemungkinan diagnosis banding lainnya yang
memiliki tampilan manifestasi klinis yang serupa. Berikut merupakan pemeriksaan
laboratorium yang dapat dilakukan pada diagnosis anemia defisiensi besi. 11,13
1. Pengukuran kadar hemoglobin dan indeks eritrosit didapatkan anemia hipokromik
mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat.
MCV dan MCH menurun. MCV <70 fl hanya didapatkan pada anemia defisiensi besi
dan thalasemia major. MCHC menurun pada defisiensi yang lebih berat dan
berlangsung lama. RDW (red cell distribution witdh) meningkat yang menandakan
adanya anisositosis. Anisositosis merupakan tanda awal defisiensi besi. Kadar
hemoglobin sering turun sangat rendah, tanpa menimbulkan gejala anemia yang
menyolok karena anemia timbul perlahan-lahan. Hapusan darah mennunjukan
anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, poikilositosis, anulosit, sel target dan sel
pensil. Leukosit dan trombosit normal. Pada kasus ankilostomiasis sering disertai
eosinofilia.
2. Kadar besi serum menurun <50 g/dl, TIBC meningkat >350 g/dl, dan saturasi
transferin <15%
3. Kadar serum feritinin <20 g/dl.
4. Protoforfirin eritrosit meningkat ( >100 g/dl)

13
5. Sumsum tulang menunjukan hiperplasia normoblastik dengan normoblast kecilkecil
(micronormoblast) dominan.
6. Pada laboratorium yang maju dapat diperiksa reseptor transferin kadar reseptor
transferin meningkat.
7. Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (perl’s stain) menunjukan
cadangan besi yang negatif (butir hemosiderin negatif).
8. Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia defisiensi besi, antara
lain:
- Pemeriksaan feses untuk cacing tambang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan
semikuantitatif (Kato Katz)
- Pemeriksaan darah samar dalam feses, endoskopi, barium intake dan barium
inloop

2.7 Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat dan
sesuai.
Adapun kriteria diagnosis menurut kriteria Kerlin et al seperti yang diuraikan
oleh Prof. Dr. I Made Bakta pada tahun 2007 dalam buku yang berjudul Hematologi
Klinik Ringkas, anemia defisiensi besi adalah adanya gambaran anemia hipokromik
mikrositer pada apusan darah tepi, atau MCV <80fl dan MCHC <31% dengan salah satu
dari parameter berikut. 11
1. Dua dari tiga parameter di bawah ini
a. Besi serum < 50 mg/dl
b. TIBC > 350 mg/dl
c. Saturasi transferin <15%
2. Feritin serum <20µg/dl.
3. Pengecatan menggunakan biru prusia (Perl’s staining) menunjukkan cadangan besi
negatif.
4. Pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain yang setara) selama
4 minggu disertai kenaikan hemoglobin lebih dari 2 g/dl.

2.8 Tatalaksana

14
Setelah diagnosis anemia defisiensi besi ditegakkan, maka perlu dibuat rencana
terapi. Terapi anemia defisiensi besi mencakup beberapa hal berikut. 11-13
1. Terapi Kausal
Terapi kausal ini merupakan suatu pengobatan terhadap penyebab atau penyakit
dasar yang bisa menimbulkan terjadinya anemia defisiensi besi. Misal pengobatan
terhadap infeksi cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menoragia, dan
kausal lainnya yang dapat memicu timbulnya anemia defisiensi besi. Terapi kausal ini
dilakukan karena apabila penyakit dasar tidak diterapi, anemia akan timbul kembali.
Setelah menemukan dan mengatasi penyebab dasar, tujuan pengobatan harus
mengembalikan konsentrasi hemoglobin dan indeks sel darah merah menjadi normal
serta mengisi kembali simpanan zat besi.
2. Terapi Pemberian Preparat Besi
Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron
replacement therapy). Pemberian preparat besi adalah strategi paling sering dilakukan
untuk mengatasi defisiensi besi di negara berkembang. Beberapa variasi dalam cara
pemberian preparat besi ini, antara lain dijelaskan sebagai berikut.
a. Terapi besi per oral
Terapi ini merupakan obat piliham pertama (efektif, murah, dan aman). Preparat
yang tersedia: ferrosus sulphat (sulfas fenosus). Dosis anjuran 3 x 200 mg. Setiap
200 mg sulfas fenosus mengandung 66 mg besi elemental. Pemberian sulfas fenosus
3 x 200 mg mengakibatkan absorpsi besi 50 mg/hari, dapat meningkatkan
eritropoesis 2-3 kali normal. Preparat lainnya: ferrosus gluconate, ferrosus fumarat,
ferrosus lactate, dan ferrosus succinate. Sediaan ini harganya lebih mahal, dengan
efektivitas dan efek samping yang hampir sama dengan sulfas fenosus.
b. Terapi besi parenteral
Terapi ini sangat efektif tetapi memiliki efek samping yang lebih berbahaya dan
harga yang lebih mahal. Terapi besi parenteral diindikasikan jika:
- Intoleransi terhadap pemberian oral
- Kepatuhan terhadap berobat rendah
- Gangguan pencernaan kolitis ulseratif yang dapat kambuh jika diberikan besi
- Penyerapan besi terganggu, seperti misalnya pada gastrektomi
- Keadaan di mana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup
terkompensasi oleh pemberian besi oral

15
- Kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti pada kehamilan
trisemester tiga atau sebelum operasi.
- Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoetin pada anemia
gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik
Preparat yang tersedia: iron dextran complex (mengandung 50 mg besi/ml), iron
sorbitol citric acid complex, dan yang terbaru adalah iron ferric gluconate dan iron
sucrose yang lebih aman. Besi parenteral dapat diberikan secara intramuskular dalam
atau intravena. Efek samping yang dapat timbul adalah reaksi anafilaksis, flebitis,
sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop.
Terapi besi parental bertujuan untuk mengembalikan kadar hemoglobin dan mengisi
besi sebesar 500 sampai 1000 mg. Dosis yang diberikan dapat dihitung melalui
rumus sebagai berikut, dengan dosis dapat diberikan sekaligus atau diberikan dalam
beberapa kali pemberian.

Kebutuhan besi (mg) = (15 – Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500 atau 1000 mg

3. Pengobatan Lain
• Diet: sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama yang
berasal dari protein hewani.
• Vitamin C: diberikan 3 x 100 mg/hari untuk meningkatkan absorpsi besi.
• Transfusi darah: anemia defisiensi besi jarang memerlukan transfuse darah.
Indikasi pemberian transfusi darah pada anemia defisiensi besi adalah:
- Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung.
- Anemia yang sangat simpomatik, misalnya anemia dengan gejala pusing
yang sangat menyolok.
- Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti pada
kehamilan trisemester akhir atau preoperasi.

2.9 Diagnosis Banding


Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik mikrositer
lainnya seperti anemia akibat penyakit kronik, thalassemia, dan anemia sideroblastik. 13

2.9.1 Anemia akibat Penyakit Kronik

16
Anemia akibat penyakit kronik dapat terjadi akibat infeksi kronik, peradangan,
trauma, dan penyakit neoplastik yang telah berlangsung1-2 bulan. Anemia akibat
penyakit kronik sering terjadi bersamaan dengan anemia defisiensi besi dan keduanya
juga menampilkan gambaran penurunan besi serum. Oleh sebab itu digunakan parameter
besi yang lain untuk membedakan. Pada pemeriksaan status besi akan didapatkan
penurunan besi serum, transferin, saturasi transferin, dan total protein pengikat besi,
sedangkan kadar feritin dapat normal atau meningkat.

2.9.2 Thalassemia
Gambaran hipokromik mikrositer adalah presentasi umum dari kedua proses
penyakit anemia defisiensi besi dan sifat beta-thalassemia. Temuan morfologi baik
anemia defisiensi besi dan thalassemia terkadang sangat mirip dan sulit untuk
dibedakan.39 Pada thalassemia akan didapakan TIBC yang normal atau cenderung
meningkat dan saturasi transferin yang meningkat. Apabila dilakukan pengecatan besi
sumsum tulang dengan pearls’s stain akan didapatkan cadangan besi positif kuat.

2.9.3 Anemia Sideroblastik


Anemia sideroblastik adalah jenis anemia yang dihasilkan dari penggunaan besi
yang tidak normal selama eritropoiesis. Anemia sideroblastik dapat ditentukan dari
adanya cincin sideroblas pada sumsum tulang. Cincin sideroblas ini adalah perkusor
eritoid yang mengandung deposit besi non-heme di mitokondria yang membentuk suatu
distribusi seperti cincin di sekitar nucleus.40 akan didapakan TIBC yang normal atau
cenderung meningkat, saturasi transferin yang meningkat, dan kadar feritin yang
meningkat.

Untuk melihat perbedaan dari keempat jenis anemia tersebut dapat dilihat
pada Tabel 2 sebagai berikut.
Tabel 2. Diagnosis Banding Anemia Defisiensi Besi
Anemia Anemia Thalassemia Anemia
Defisiensi Penyakit Sideroblastik
Besi Kronis
Derajat Ringan-berat Ringan Ringan Ringan-berat
anemia
MCV Menurun Menurun/N Menurun Menurun/N

17
MCH Menurun Menurun/N Menurun Menurun/N
Besi serum Menurun <30 Menurun <50 Normal/ Normal/
Meningkat Meningkat
TIBC Meningkat Menurun Normal/ Normal/
>360 <300 Menurun Menurun
Saturasi Menurun Menurun/N Meningkat Meningkat
transferrin <15% 10-20% >20% >20%
Besi sumsum Negatif Positif Positif kuat Positif
tulang dengan ring
sideroblast
Protoporfirin Meningkat Meningkat Normal Normal
eritrosit
Feritinin Menurun Normal Meningkat Meningkat
serum <20 g/l 20-200 g/l >50 g/l >50 g/l

Elektroforesi N N Hb A2 N
s-Hb meningkat

2.10 Komplikasi
Anemia defisiensi ringan pada individu tidak aktif menimbulkan beberapa
konsekuensi yang diakibatkan oleh mekanisme kompensasi untuk meningkatkan
ekstraksi oksigen dari hemoglobin, meningkatkan kardiak output (Cardiac output =
stroke volume x heart rate) dan mengalihkan aliran darah ke jantung, otot, dan otak.14
Anemia sedang dan berat akan disertai peningkatan mortalitas anak maupun maternal
dan penyakit infeksi. Pada wanita hamil dengan anemia akan meningkatkan risiko
mortalitas maternal, keguguran, dan prematuritas. Sedangkan, anaknya akan berisiko
kematian lebih tinggi, berat badan lahir rendah, dan lahir dengan cadangan besi yang
buruk.
Diagnosis lebih awal anemia defisiensi besi dapat mencegah komplikasi seperti
defisit neurolokognitif ireversible, high-output heart failure, dan stroke. Pada anemia
berat dan kronis terjadi penyesuaian untuk memenuhi oksigenisasi, penyesuaian tersebut
berupa vasodilatasi perifer dan peningkatan kardiak output untuk meningkatkan aliran
darah ke jaringan. Resistensi vaskular akan menurun sebagian karena viskositas darah
yang rendah dan peningkatan aktivitas basal nitrit oxide akibat dari peningkatan regulasi
sintesis vaskular nitrit-oxide. Penurunan resistensi vaskular sistemik akan

18
mengakibatkan retensi cairan dan ekspansi volume darah yang kemudian diikuti kongesti
pulmonal dan pembuluh sistemik. Hal tersebut akan menghasilkan sindroma klinis dari
high-output heart failure.15 Defisiensi besi akan menyebabkan gangguan fungsional pada
individu seperti gangguan kognitif, tingkah laku, dan pertumbuhan fisik pada infant, anak
pre school children, dan school-aged children. Selain itu akan memengaruhi status
imunitas, kecenderungan terjadi infeksi, dan kapasitas fisik individu. Pada wanita hamil
akan meningkatkan risiko perinatal pada ibu maupun neonatus dan meningkatkan
mortalitas. Anak-anak yang mengalami anemia defisiensi besi akan meningkatkan risiko
keracunan logam berat. Pada individu dengan anemia defisiensi besi akan terjadi
peningkatan kapasitas absorpsi yang tidak spesifik terhadap besi, sehingga terjadi
peningkatan logam berat divalent seperti cadmium. 16

2.11 Prognosis
Anemia defisiensi besi merupakan penyakit yang mudah untuk ditangani
dengan prognosis yang baik. Prognosis yang buruk pada anemia defisiensi besi
diakibatkan oleh penyakit penyebabnya seperti keganasan. Prognosis juga dipengaruhi
oleh penyakit komorbid seperti coronary artery disease. Anemia defisiensi besi kronis
jarang menyebabkan kematian, sedangkan anemia defisiensi besi sedang atau berat akan
mengakibatkan hipoksia dan memperburuk penyakit penyebab pada paru-paru dan
kardiovaskular. Perdarahan yang parah pada individu bisa menyebabkan kematian akibat
hipoksia. Pada anak-anak akan mempengaruhi pertumbuhan dan mengganggu
kemampuan belajar. Anak-anak dengan anemia defisiensi besi akan disertai intelligence
quotient (IQ) yang lebih rendah, kemampuan belajar menurun, dan pertumbuhan yang
tidak optimal.

19
BAB III
PENUTUP

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan
besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya
mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang.
Prinsip pengobatan anemia defisiensi besi adalah memperbaiki penyebab dasar yang
menyebabkan terjadinya anemia (mengembalikan substrat yang dibutuhkan dalam produksi
eritrosit) dan meningkatkan nilai hemoglobin hingga mencapai angka normal yaitu 12 gr/dl.
Apabila terjadi anemia defisiensi besi maka segera tangani dengan menggunakan
preparat besi dan dicari kausanya serta pengobatan terhadap kausa ini harus juga dilakukan.
Dengan pengobatan yang tepat dan adekuat maka anemia defisiensi besi ini memiliki prognosis
yang baik yaitu sembuh sempurna dalam kurun waktu beberapa bulan.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Schwart E. Iron deficiency anemia. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia:
Saunders; 2007. hal.1469-71.
2. Ezzati M, Lopez AD, Rodgers A, Vander Hoorn S, Murray CJ, the Comparative Risk
Assessment Collaborating Group. Selected major risk factors and global and regional
burden of disease. Lancet.2002;360(1):1347-60.
3. Sari M, de Pee S, Martini E, Herman S, Sugiatmi, Bloem MW, etal. Estimating the
prevalence of anaemia: a comparison of three methods .Bulletin of the World Health
Organization.2001;79(1):506-11.
4. Raspati H, Reniarti L, Susanah S. Anemia defisiensi besi. Dalam: Permono HB,
Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdul Salam M, penyunting. Buku Ajar
Hematologi Onkologi Anak. Jakarta:BPIDAI;2005.hal.30-43.
5. Masrizal. Studi Literatur: Anemia Defisiensi Besi. Jurnal Kesehatan Masyarakat
2007;II(1):140-4.
6. Özdemir, N. (2015). Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in children.
Türk Pediatri Arşivi, 50(1), 11–9. doi:10.5152/tpa.2015.2337
7. WHO. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and assessment of
severity. Vitamin and Mineral Nutrition Information System. Geneva, World Health
Organization, 2011 (WHO/NMH/NHD/MNM/11.1)
(http://www.who.int/vmnis/indicators/ haemoglobin. pdf, accessed [12 Agustus 2021]).
8. Longo DL, et.al. Harrison’s Hematology and Oncology 3rd Edition. United states.
McGraw-Hill Education:2017
9. Anonim. Global, regional, and national incidence, prevalence, and years lived with
disability for 328 diseases and injuries for 195 countries, 1990-2016: a systematic
analysis for the Global Burden of Disease Study 2016. Lancet. 2017;390(10100):1211-
1259.
10. Kassebaum NJ, Jasrasaria R, Naghavi M, et al. A systematic analysis of global anemia
burden from 1990 to 2010. Blood. 2014;123(5):615-624 12. McCann JC, Ames BN.
An overview of evidence for a causal relation between iron deficiency during
development and deficits in cognitive or behavioral function. The American journal of
clinical nutrition. 2007;85(4):931-945. 13. Achebe MM, Gafter-Gvili A. How I treat
anemia in pregnancy: iron, cobalamin, and folate. Blood. 2017;129(8):940-949.
11. Bakta, IM. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
12. Setiati S., Alwi I., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keenam. Jilid I. Jakarta
Pusat. InternaPublishing. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Diponegoro.
13. Aru W. Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi kelima. Jakarta.
Interna Publishing.
14. Varat, MA, Adolph RJ, Fowler NO. Cardiovascular effects of anemia. Am Heart J
1972;83:416–26.
15. Reddy YNV, Melenovsky V, Redfield MM, Nishimura RA, Borlaug BA. High-Output
Heart Failure. J Am Coll Cardiol. 2016;68(5):473–82. 43. Harper JL. Iron Deficiency

21
Anemia. E-medicine. 2020. Tersedia pada laman :
https://emedicine.medscape.com/article/202333-overview#a6. Diakses pada tanggal 12
Agustus 2021.
16. Goddard WP, Murray I, Long RG, Scott B, Barton R, Salman M, et al. Iron deficiency
anaemia. Bmj. 1997;314(7096):1759.

22

Anda mungkin juga menyukai