AKALASIA ESOFAGUS
Oleh:
Pembimbing:
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas rahmat- Nya penulis dapat menyelesaikan Reading Assessment yang berjudul
“Akalasia Esofagus” tepat pada waktunya.
Laporan kasus berupa tinjauan pustaka ini dibuat sebagai prasyarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya (KKM) di Departemen/KSM Ilmu Bedah
RSUP Prof. Dr. IGNG Ngoerah/FK UNUD. Dalam penyusunan tinjauan pustaka
ini, penulis memperoleh banyak bimbingan, petunjuk dan dukungan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. I Made Darmajaya, SpB, SpBA(K) MARS selaku Ketua
Departemen / KSM Ilmu Bedah FK UNUD/RSUP Prof. Dr. IGNG
Ngoerah Denpasar
2. dr. Made Agus Dwianthara Sueta, Sp.B-KBD selaku pembimbing
Reading Assessment dan Koordinator Pendidikan Profesi Dokter Muda
Departemen/KSM Ilmu Bedah FK UNUD/RSUP Prof. Dr. IGNG
Ngoerah Denpasar.
3. Semua pihak yang telah membantu pembuatan tinjauan pustaka ini.
Penulis menyadari bahwa dalam tinjauan pustaka ini masih terdapat
kekurangan, diharapkan adanya saran demi penyempurnaan karya ini. Semoga
dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi dunia kedokteran dan manfaat bagi
masyarakat. Terima kasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.2 Temuan pada pemeriksaan endoskopi pasien akalasia esofagus. ... 10
Gambar 2.4 Timed barium swallow sebelum dan sesudah terapi. ...................... 12
Gambar 2.5 Manometri esofagus pada akalasia tipe I, II, dan III menurut klasifikasi
Chicago. .............................................................................................................. 13
iv
DAFTAR TABEL
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
Peningkatan rasio tingkat kejadian ini membuat para klinisi harus lebih
waspada dalam mendiagnosis akalasia. Diagnosis akalasia umumnya ditegakkan
dari gambaran klinis tetapi pemeriksaan lanjutan dibutuhkan untuk mengkonfirmasi
diagnosis dan menentukan derajat penyakit serta keparahan penyakit yang
membantu klinisi dalam memberikan terapi yang sesuai pada pasien. Diagnosis
akalasia sering terlambat dan sering salah didiagnosis sebagai gastroesophageal
reflux disease (GERD) karena rendahnya kecurigaan terhadap penyakit ini dan
kurang familiernya pemeriksaan penunjang seperti manometri. Diagnosis penting
untuk segera ditegakkan sehingga pasien dapat segera mendapat tatalaksana yang
dapat disesuaikan dengan kondisi pasien.8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
4
10 cm, pada saat remaja esofagus memiliki panjang sekitar 19 cm dan sekitar 25
cm pada orang dewasa. Esofagus memiliki pembuluh darah yang kompleks sesuai
dengan pembagian anatomi esofagus. Esofagus servikal mendapatkan aliran darah
dari arteri tiroid inferior. Esofagus thorakal mendapat aliran darah dari cabang aorta
thorakal dan arteri brakhial. Esofagus abdominal mendapatkan darah dari arteri
gastrika sinistra dan aorta abdominal cabang phrenik sinistra inferior. Begitu juga
dengan aliran darah vena.13,14
angka kejadian akalasia dua hingga tiga kali lipat lebih besar dari perkiraan dari
tahun-tahun sebelumnya yang diperkirakan, dengan puncak insiden masih sama
yaitu pada kelompok usia 25-60 tahun.3
makanan lebih cepat, sekitar 5-8 detik, karena efek gravitasi. Jika gerakan
peristaltik primer gagal mendorong semua makanan ke dalam lambung, maka
gerakan peristaltik sekunder dimulai. Gerakan ini dimulai dari nervus mienterikus
dan beberapa refleks dari nervus vagus aferen, dari esofagus ke medula kemudian
kembali ke esofagus.20
Di bagian bawah esofagus, sekitar dua sampai lima sentimeter di atas
lambung terdapat sfingter gastroesofageal. Secara anatomis, sfingter ini tidak
berbeda dengan bagian esofagus lainnya. Secara fisiologis, sfingter akan
mengalami penyempitan tonik (dengan tekanan intraluminal 30mmHg), berbeda
dengan esofagus tengah yang dalam kondisi normal dalam keadaan relaksasi.
Ketika gerakan peristaltik selama proses pencernaan melewati esofagus, proses
relaksasi reseptif akan merelaksasi sfingter esofagus bagian bawah (LES) sebelum
gerakan peristaltik dan menyebabkan makanan masuk ke lambung. Namun, pada
beberapa kasus LES tidak rileks, sehingga terjadi kondisi yang disebut Akalasia.20
Esofagus adalah saluran untuk transportasi bolus makanan dari mulut ke
lambung, tetapi juga mencegah refluks balik isi lambung. Kontraksi peristaltik
terkoordinasi di faring dan esofagus yang diimbangi dengan relaksasi sfingter
esofagus bagian atas dan bawah (LES) berperan dalam transportasi bolus
makanan.19 Jalur eksitatorik dan penghambatan parasimpatis menginervasi otot
polos sfingter esofagus bagian bawah (LES). Neurotransmitter eksitatorik, seperti
substan P dan asetilkolin, serta neurotransmitter penghambat, seperti peptida usus
vasoaktif (VIP) dan oksida nitrat (neurotransmitter penghambat terpenting dari
pleksus mienterikus), memodulasi tekanan dan relaksasi sfingter esofagus bagian
bawah (LES). Individu dengan akalasia kekurangan sel ganglion penghambat non-
kolinergik, nonadrenergik, tetapi neuron eksitatorik tetap tidak terpengaruh.
Kurangnya sel ganglion penghambat ini menghasilkan ketidakseimbangan
neurotransmisi penghambatan dan eksitatorik.19,21 Hal ini menyebabkan sfingter
esofagus hipertensif non-relaksasi.
Beberapa penelitian telah menginvestigasi hubungan akalasia dengan
polimorfisme genetik dari tiga isoform sintase oksida nitrit dan kelas Human
Leukocyte Antigen (HLA) spesifik.22 Satu penelitian di Eropa sangat mendukung
gagasan bahwa akalasia mungkin merupakan gangguan autoimun di mana
8
autoantibodi berinteraksi dengan DNA, seperti pada diabetes tipe 1 dan lupus.
Sebuah studi asosiasi genetik akalasia menunjukkan bahwa penyisipan delapan
residu pada posisi 227-234 di ekor sitoplasma HLA-DQß1 memberikan faktor
risiko paling kuat yang diketahui untuk akalasia sementara dua substitusi asam
amino di wilayah ekstraseluler HLA-DQa1 pada posisi 41 dan HLA-DQß1 pada
posisi 45 merupakan faktor risiko independen untuk akalasia. 23 Para peneliti ini
mereplikasi temuan ini dalam penelitian lain, yang juga menunjukkan bahwa
penyisipan lebih sering terjadi di Eropa selatan dibandingkan dengan Eropa utara
yang menunjukkan gradien geospasial utara-selatan di antara orang Eropa.24
untuk menilai keparahan akalasia, tetapi komponen nyeri dada dan penurunan berat
badan dapat menurunkan reliabilitas dan validitas skor ini.25
Gejala lain yang dapat muncul antara lain berkurangnya kecepatan makan
sehingga pada pasien sering dilaporkan paling lama dalam menghabiskan makanan,
penurunan berat badan, dan adanya stretching atau pergerakan seperti berjalan-
jalan setelah makan untuk membantu pasase makanan melalui esofagus yang
aperistaltik dan melewati barrier LES. Pada pasien dengan disfagia onset cepat
yaitu kurang dari 6 bulan dengan penurunan berat badan dan usia lebih dari 50
tahun, pseudoakalasia dapat disingkirkan dengan pemeriksaan endoskopi dan CT
scan.26
1. Endoskopi
Pada pasien dengan gejala disfagia membutuhkan
esofagogastroduodenoskopi untuk menyingkirkan kemungkinan obstruksi mekanik
akibat kanker yang dapat menyerupai akalasia primer baik secara klinis ataupun
dengan pemeriksaan manometri. Kondisi ini disebut pseudoakalasia atau akalasia
10
sekunder yang sering muncul terutama pada pasien dengan usia lebih dari 60 tahun
disertai keluhan disfagia progresif dan penurunan berat badan.1
Gambaran endoskopi pada akalasia bervariasi dari normal hingga dilatasi
esofagus dengan didapatkan sisa makanan dan saliva. Terkadang, gastroesophageal
junction tampak berkerut. Gambaran mukosa esofagus dapat normal atau diikuti
tanda esofagitis, mukosa yang rapuh, menebal, dan dapat ditemukan erosi akibat
kandidiasis sekunder.25 Temuan yang dapat ditemukan pada endoskopi bervariasi,
akan tetapi yang paling menggambarkan kondisi akalasia sesungguhnya adalah
stenosis fungsional pada esophagogastric junction dan kontraksi abnormal pada
badan esofagus, sedangkan temuan lainnya bersifat sekunder.27
3. Manometri esofagus
Manometri adalah pemeriksaan gold standard untuk mendiagnosis akalasia.
Pada akalasia, harus terdapat kondisi aperistaltik esofagus. Pada akalasia, akan
didapatkan relaksasi LES yang tidak sempurna atau tidak berelaksasi sama sekali,
dan dari pemeriksaan ini akan didapatkan tekanan LES lebih dari 8mmHg. LES
yang hipertensi memiliki tekanan >45 mmHg juga muncul pada 50% pasien
akalasia.29
Adanya High-Resolution Manometry (HRM) membantu dalam
menegakkan diagnosis akalasia karena pemeriksaan lebih cepat dan lebih mudah
dioperasikan dibanding manometri konvensional. HRM dilakukan setelah puasa
pada malam harinya. Kateter dimasukkan transnasal dan diposisikan untuk
merekam dari faring hingga gaster. HRM dapat menampilkan data tekanan esofagus
dalam bentuk topografinya.29
Gambar 2.5 Manometri esofagus pada akalasia tipe I, II, dan III menurut
klasifikasi Chicago.26
Klasifikasi Chicago membagi akalasia menjadi 3 tipe yaitu: tipe I yaitu
relaksasi inkomplit LES, aperistaltik dan hilangnya tekanan esofagus, tipe II yaitu
relaksasi inkomplit LES, aperistaltik dan adanya tekanan panesofageal minimal
20% saat menelan dan tipe III yaitu relaksasi inkomplit LES dan adanya kontraksi
prematur pada 20% saat menelan (akalasia spastik).26
Pada akalasia tipe II memberikan respons yang lebih baik pada laparoskopi
myotomi Heller dibandingkan tipe I dan tipe III. Pada akalasia tipe III lebih baik
dilakukan endoskopi myotomi per oral. Akalasia tipe II memiliki prognosis paling
baik setelah dilatasi pneumatik dan laparoskomi myotomi Heller, akalasia tipe III
memiliki prognosis paling buruk dan akalasia tipe I berada diantara keduanya.26
2.10 Penatalaksanaan
Tatalaksana yang ada bertujuan mengurangi hipertonus LES untuk
meningkatkan kemampuan pengosongan esofagus. Pilihan terapi disesuaikan
dengan usia pasien, adanya komorbid, keparahan, preferensi pasien, dan
ketersediaan alat. Dilatasi pneumatik dan myotomi adalah tatalaksana yang paling
efektif saat ini. Akan tetapi hipertonus LES akan muncul kembali beberapa waktu
kemudian sehingga membutuhkan tatalaksana yang berulang. 25
3. Dilatasi pneumatik
Dilatasi pneumatik adalah prosedur dengan menggunakan tekanan udara
untuk merusak serabut otot sirkuler dari LES. Persiapan yang dilakukan adalah diet
cair selama beberapa hari dan puasa 12 jam sebelum prosedur ini dilakukan.
Prosedur ini umumnya dilakukan dengan anestesi lokal dan dilakukan observasi
selama 2-6 jam. Adanya nyeri dada dan demam perlu diwaspadai.32
Terdapat dua strategi saat melakukan dilatasi pneumatik yaitu dilatasi
tunggal atau dilatasi yang bertahap. Dilatasi pneumatik dianggap gagal apabila
tidak terjadi perbaikan gejala setelah 2-3 sesi atau apabila gejala tidak membaik
setelah dilakukan dilatasi dengan balon diameter terlebar. Pada kondisi ini, perlu
dipertimbangkan tatalaksana pembedahan menggunakan myotomi. 32
17
2.10 Komplikasi
Diagnosis akalasia yang terlambat dapat menyebabkan terjadinya
pneumonia aspirasi berulang, bronkitis, penurunan berat badan, dan bahkan
meningkatkan resiko terjadinya keganasan pada esofagus. Hal ini disebabkan oleh
karena aspirasi bahan makanan yang iritatif terhadap saluran pernapasan sehingga
menyebabkan gangguan saluran pernapasan seperti pneumonia, bronkitis dan
penyakit paru-paru kronis. Makanan yang tertahan pada juga dapat menyebabkan
infeksi kronis pada lapisan esofagus akibat infeksi bakteri dan jamur. Terhambatnya
transpor makanan menuju gaster, juga menyebabkan tidak optimalnya nutrisi yang
diserap sehingga dapat menyebabkan penurunan berat badan atau malnutrisi. 35
Di sisi lain, pada pasien akalasia yang diobati atau tidak diobati secara
suboptimal, pertumbuhan bakteri yang berlebihan dan iritasi kimia dari
dekomposisi makanan dan air liur yang sedang berlangsung juga dapat
menyebabkan esofagitis hiperplastik kronis dan transformasi ganas sel epitel
esofagus menjadi karsinoma sel skuamosa esofagus (ESCC). 36 Sebuah tinjauan
baru-baru ini dan meta-analisis menentukan risiko ESCC pada pasien akalasia
menjadi 312,4 kasus per 100.000 pasien-tahun berisiko, dibandingkan dengan 4,3
kasus/100.000 pasien-tahun pada populasi umum dalam penelitian ini.37 Di seluruh
19
dunia, ESCC menyumbang sekitar 90% dari 456.000 kasus kanker esofagus terlihat
setiap tahun, dengan tingkat kejadian global 5,2 per 100.000. 38
Terlepas dari kenyataan bahwa akalasia dikaitkan dengan peningkatan
risiko dua jenis kanker esofagus yang berbeda, tidak ada rekomendasi yang diterima
secara umum tentang evaluasi tindak lanjut untuk pasien akalasia.39 Hal ini dapat
dijelaskan oleh fakta bahwa meskipun risiko kanker gastro-esofagus pada pasien
dengan akalasia lama jauh lebih tinggi daripada pada populasi umum, risiko
absolutnya relatif rendah.40
2.12 Prognosis
Prognosis akalasia esofagus primer umumnya memiliki prognosis yang baik
apabila dilakukan tatalaksana yang tepat. Namun klasifikasi dan skoring dari
akalasia dapat mempengaruhi prognosis pasien kedepannya. Biasanya setelah
dilakukan tindakan pembedahan, kejadian terjadinya perforasi esofagus jarang akan
tetapi keluhan akalasia seperti disfagia, nyeri retrosternal dan sulit makan terkadang
sering muncul kembali.25
2.13 Rekurensi
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Schlottmann, Francisco & Neto, Rafael & A M Herbella, Fernando & Patti,
Marco. Esophageal Achalasia: Pathophysiology, Clinical Presentation, and
Diagnostic Evaluation. The American surgeon. 2018; 84: 467-472.
2. Sadowski DC, Ackah F, Jiang B, Svenson LW. Achalasia: incidence,
prevalence and survival. A population-based study. Neurogastroenterol Motil
2010; 22:e256.
3. Samo S, Carlson DA, Gregory DL, et al. Incidence and Prevalence of Achalasia
in Central Chicago, 2004-2014, Since the Widespread Use of High-Resolution
Manometry. Clin Gastroenterol Hepatol 2017; 15:366.
4. Muhlisin A. Penyakit Akalasia. (online), (www mediskus.com, diakses 2
Agustus 2022).
5. Mayberry JF. Epidemiology and demographics of achalasia. Gastrointest
Endosc Clin N Am. 2001;11:235-248.
6. Podas T, Eaden J, Mayberry M, Mayberry J. Achalasia: a critical review of
epidemiological studies. Am J Gastroenterol. 1998;93:2345-2347.
7. Harvey PR, Thomas T, Chandan JS, Mytton J, Coupland B, Bhala N, Evison
F, Patel P, Nirantharakumar K, Trudgill NJ. Incidence, morbidity and mortality
of patients with achalasia in England: findings from a study of nationwide
hospital and primary care data. Gut. 2019 May;68(5):790-795. doi:
10.1136/gutjnl-2018-316089. Epub 2018 Jun 20. PMID: 29925629.
8. Laurino-Neto RM, Herbella F, Schlottmann F, Patti M. Evaluation Of
Esophageal Achalasia: From Symptoms To The Chicago Classification. Arq
Bras Cir Dig. 2018;31(2):e1376
9. Ritcher IE. Achalasia. In: Castell, The Esophagus, 4th edition. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins, 1999.
10. Islam S. Achalasia. Semin Pediatr Surg. 2017;26(2):116–20.
11. Chandrasoma PT. GERD: A New Understanding of Pathology,
Pathophysiology, and Treatment. Los Angeles: Elsevier; 2017. 1–65.
21
22
35. Mashkov AE, Pykchteev DA, Sigachev AV, Bobylev AV, Mayr JM.
Obstructive bronchitis and recurrent pneumonia in esophageal achalasia in a
child: A CARE compliant case report. Medicine (Baltimore). 2018
Jun;97(23):e11016.
36. Leeuwenburgh I, et al. Long-term risk of oesophagitis, Barrett's oesophagus
and oesophageal cancer in achalasia patients Scand. J. Gastroenterol., 41
(sup243) (2006), pp. 7-10
37. Tustumi F, et al. Esophageal achalasia: a risk factor for carcinoma. A
systematic review and meta-analysis Dis. Esophagus, 30 (10) (2017), pp. 1-8
38. Arnold M, et al. Global incidence of oesophageal cancer by histological
subtype in 2012 Gut, 64 (3) (2015), p. 381
39. Gong EJ, Kim, DH. Retention esophagitis in patients with achalasia requires
Cancer surveillance Clin. Endosc., 51 (2) (2018), pp. 111-112
40. Leeuwenburgh I, et al. Long-term esophageal cancer risk in patients with
primary achalasia: a prospective study Am. J. Gastroenterol., 105 (10) (2010),
pp. 2144-2149
41. Watson DI. Managing Recurrent Symptoms After Treatment of Achalasia.
Annals of Esophagus, 3 (2020).