Anda di halaman 1dari 29

READING ASSESSMENT

AKALASIA ESOFAGUS

Oleh:

Esther Ivana Okhotan 1902612063

Pembimbing:

dr. Made Agus Dwianthara Sueta, Sp.B-KBD

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DEPARTEMEN/KSM ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP PROF. DR. IGNG NGOERAH
DENPASAR
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas rahmat- Nya penulis dapat menyelesaikan Reading Assessment yang berjudul
“Akalasia Esofagus” tepat pada waktunya.
Laporan kasus berupa tinjauan pustaka ini dibuat sebagai prasyarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya (KKM) di Departemen/KSM Ilmu Bedah
RSUP Prof. Dr. IGNG Ngoerah/FK UNUD. Dalam penyusunan tinjauan pustaka
ini, penulis memperoleh banyak bimbingan, petunjuk dan dukungan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. I Made Darmajaya, SpB, SpBA(K) MARS selaku Ketua
Departemen / KSM Ilmu Bedah FK UNUD/RSUP Prof. Dr. IGNG
Ngoerah Denpasar
2. dr. Made Agus Dwianthara Sueta, Sp.B-KBD selaku pembimbing
Reading Assessment dan Koordinator Pendidikan Profesi Dokter Muda
Departemen/KSM Ilmu Bedah FK UNUD/RSUP Prof. Dr. IGNG
Ngoerah Denpasar.
3. Semua pihak yang telah membantu pembuatan tinjauan pustaka ini.
Penulis menyadari bahwa dalam tinjauan pustaka ini masih terdapat
kekurangan, diharapkan adanya saran demi penyempurnaan karya ini. Semoga
dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi dunia kedokteran dan manfaat bagi
masyarakat. Terima kasih.

Denpasar, 2 Agustus 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul ................................................................................................... i

Kata Pengantar ..................................................................................................... ii

Daftar Isi .............................................................................................................. iii

Daftar Gambar ..................................................................................................... iv

Daftar Tabel .......................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 3

2.1 Definisi Akalasia Esofagus ................................................................ 3

2.2 Anatomi dan Fisiologi Esofagus ........................................................ 3

2.3 Epidemiologi Akalasia Esofagus ........................................................ 5

2.4 Etiologi Akalasia Esofagus ................................................................. 6

2.5 Patofisiologi Akalasia Esofagus ......................................................... 6

2.6 Gambaran Klinis Akalasia Esofagus ................................................... 8

2.7 Diagnosis Akalasia Esofagus .............................................................. 9

2.8 Klasifikasi Akalasia Esofagus ........................................................... 12

2.9 Diagnosis Banding Akalasia Esofagus.............................................. 13

2.10 Tatalaksana Akalasia Esofagus ....................................................... 15

2.11 Komplikasi Akalasia Esofagus ....................................................... 18

2.12 Prognosis Akalasia Esofagus .......................................................... 19

2.13 Rekurensi Akalasia Esofagus .......................................................... 19

BAB III KESIMPULAN .................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 21

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Esofagus ............................................................................. 4

Gambar 2.2 Temuan pada pemeriksaan endoskopi pasien akalasia esofagus. ... 10

Gambar 2.3 Barium esofagogram pada akalasia. ................................................ 11

Gambar 2.4 Timed barium swallow sebelum dan sesudah terapi. ...................... 12

Gambar 2.5 Manometri esofagus pada akalasia tipe I, II, dan III menurut klasifikasi
Chicago. .............................................................................................................. 13

Gambar 2.6. Algoritma tatalaksana akalasia. ...................................................... 15

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Skor The Ekardt. ................................................................................... 9

v
BAB I
PENDAHULUAN

Akalasia esofagus adalah gangguan motilitas pada esofagus yang


menyebabkan terjadinya disfagia baik terhadap makanan padat atau cair dan diikuti
dengan regurgitasi serta nyeri dada.1 Akalasia memang merupakan salah satu
penyakit yang jarang terjadi, dengan angka kejadian akalasia pada perempuan dan
laki laki adalah sama, yaitu 1 dari 100.000 orang per tahun dengan prevalensi 10
pada 100.000 orang.2,3 Menurut penelitian, distribusi umur pada akalasia biasanya
sering terjadi antara umur kelahiran sampai dekade ke-9, tapi jarang terjadi pada 2
dekade pertama (kurang dari 5% kasus didapatkan pada anak-anak),4 dengan
insidensi memuncak pada dekade ke 3 dan ke 5 dari usia individu.5,6
Di Amerika Serikat Akalasia esofagus terjadi sekitar 2000 kasus setiap
tahun, sebagian besar berada pada kelompok usia 25-60 tahun, dan jarang
ditemukan pada anak-anak. Sedangkan data penyakit Akalasia di Indonesia sendiri,
pernah di teliti oleh bagian Gastroentero-hepatologi, Departemen Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia saat melakukan penelitian di RS Cipto
Mangunkusumo, ditemukan adanya 48 kasus selama kurun waktu 5 tahun (1984-
1988), yang sebagian besar memiliki kelompok umur yang sama yaitu pada rentang
usia 25 – 60 tahun.3
Walaupun data epidemiologi tentang kasus akalasia terbatas, penelitian
terbaru di Inggris pada tahun 2018 menemukan keterkaitan akalasia esofagus
dengan peningkatan insidensi penyakit pernapasan lainnya yang meningkatkan
morbiditas dan mortalitas dari pasien.7 Penelitian tersebut menemukan bahwa rasio
tingkat kejadian secara signifikan lebih tinggi pada subjek dengan akalasia
(n=2369) dibandingkan dengan kontrol (n=3865) untuk: kanker esofagus (IRR 5,22
(95% CI: 1,88 hingga 14,45), p<0,001, pneumonia aspirasi (13,38 (1,66 hingga
107,79), p=0,015), infeksi saluran pernapasan bawah (1,33 (1,05 hingga 1,70),
p=0,02) dan mortalitas (1,33 (1,17 hingga 1,51), p<0,001), dengan waktu rata-rata
dari diagnosis akalasia hingga diagnosis kanker esofagus adalah 15,5 (IQR 20,4)
tahun.7

1
2

Peningkatan rasio tingkat kejadian ini membuat para klinisi harus lebih
waspada dalam mendiagnosis akalasia. Diagnosis akalasia umumnya ditegakkan
dari gambaran klinis tetapi pemeriksaan lanjutan dibutuhkan untuk mengkonfirmasi
diagnosis dan menentukan derajat penyakit serta keparahan penyakit yang
membantu klinisi dalam memberikan terapi yang sesuai pada pasien. Diagnosis
akalasia sering terlambat dan sering salah didiagnosis sebagai gastroesophageal
reflux disease (GERD) karena rendahnya kecurigaan terhadap penyakit ini dan
kurang familiernya pemeriksaan penunjang seperti manometri. Diagnosis penting
untuk segera ditegakkan sehingga pasien dapat segera mendapat tatalaksana yang
dapat disesuaikan dengan kondisi pasien.8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Akalasia Esofagus


Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama lainnya yaitu ectasia,
kardiospasme, megaesofagus, dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau dilatasi
esofagus idiopatik merupakan suatu gangguan neuromuskular yang terjadi pada
esofagus. Istilah akalasia dari Bahasa Yunani yang berarti “kegagalan untuk
berelaksasi” yang menggambarkan ketidakmampuan dari lower esophageal
sphincter (LES) untuk membuka dan membiarkan makanan lewat ke dalam gaster.
Kegagalan relaksasi LES pada proses menelan ini menyebabkan terjadinya dilatasi
pada bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak peristaltik sehingga makanan
akan sulit untuk masuk ke dalam gaster.9,10
Akalasia pertama kali dideskripsikan oleh Thomas Willis pada tahun 1679
dengan kasus kontraksi spastik kardia atau kardiospasme. 11 Mula-mula diduga
penyebabnya adalah sumbatan di esofagus distal, sehingga Willis menggambarkan
penggunaan whalebone untuk dilatasi esofagus pada pasiennya dengan penyakit ini
selama beberapa tahun. Pada tahun 1927 Hurst menyadari akalasia adalah kelainan
neuromuskuler yang terkait dengan tidak adanya relaksasi sfingter esofagus bagian
bawah.12

2.2 Anatomi dan Fisiologi Esofagus


Esofagus merupakan sebuah saluran berupa tabung berotot yang
menghubungkan dan menyalurkan makanan dari rongga mulut (faring) ke lambung
(gaster). Dari perjalanannya dari faring menuju gaster, berdasarkan regio yang
dilewati, esofagus dapat dibagi menjadi esofagus servikal, esofagus thorakal dan
esofagus abdominal. Esofagus servikal di mulai dari ujung orofaring hingga korpus
vertebra servikal 6. Esofagus thorakal berada di sepanjang mediastinum mulai
setinggi korpus vertebra thorakal 10 melintasi diafragma yang merupakan jaringan
muskuler kuat dan membatasi thorax dengan abdomen. Esofagus abdominal mulai
setinggi korpus vertebra thorakal 11, masuk kedalam lambung, membentuk sudut
yang tajam disebut cardiac angle. Panjang esofagus pada bayi bervariasi antara 8-

3
4

10 cm, pada saat remaja esofagus memiliki panjang sekitar 19 cm dan sekitar 25
cm pada orang dewasa. Esofagus memiliki pembuluh darah yang kompleks sesuai
dengan pembagian anatomi esofagus. Esofagus servikal mendapatkan aliran darah
dari arteri tiroid inferior. Esofagus thorakal mendapat aliran darah dari cabang aorta
thorakal dan arteri brakhial. Esofagus abdominal mendapatkan darah dari arteri
gastrika sinistra dan aorta abdominal cabang phrenik sinistra inferior. Begitu juga
dengan aliran darah vena.13,14

Gambar 2.1 Anatomi Esofagus13

Proses menelan dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu tahap orofaring


dan tahap esofagus. Proses menelan dipersarafi oleh saraf V (trigeminal), IX
5

(glosofaring), X (vagus), dan XII (hipoglosal). Tahap orofaring berlangsung sekitar


1 detik dan terdiri dari pemindahan bolus dari mulut melalui faring untuk masuk
ke esophagus, uvula terangkat dan menekan bagian belakang tenggorokan,
menutup saluran hidung atau nasofaring dari faring sehingga makanan tidak
masuk ke hidung. Makan dicegah masuk ke trakea terutama oleh elevasi
laring dan penutupan erat pita suara di pintu masuk laring atau glottis. Pada tahap
esophagus, pusat menelan memicu gelombang peristaltik primer yang menyapu
dari pangkal ke ujung esofagus, mendorong bolus di depannya menelusuri esofagus
untuk masuk ke lambung. Gelombang peristaltik memerlukan waktu sekitar
5 sampai 9 detik untuk mencapai ujung bawah esofagus. Perambatan
gelombang dikontrol oleh pusat menelan, dengan persarafan melalui saraf vagus.
Sewaktu gelombang peristaltik menyapu menuruni esofagus, sfingter
gastroesofagus melemas secara refleks sehingga bolus dapat masuk ke dalam
lambung. Setelah bolus masuk ke lambung, proses menelan tuntas dan sfingter
gastroesofagus kembali berkontraksi.14,15

2.3 Epidemiologi Akalasia Esofagus


Akalasia merupakan salah satu penyakit yang jarang terjadi. Angka kejadian
akalasia pada perempuan dan laki laki adalah sama, yaitu 1 dari 100.000 orang per
tahun dengan prevalensi 10 pada 100.000 orang.2,3 Menurut penelitian, distribusi
umur pada akalasia biasanya sering terjadi antara umur kelahiran sampai dekade
ke-9, tapi jarang terjadi pada 2 dekade pertama (kurang dari 5% kasus didapatkan
pada anak-anak),4 dengan insidensi memuncak pada dekade ke 3 dan ke 5 dari usia
individu.5,6
Di Amerika Serikat ditemukan sekitar 2000 kasus akalasia setiap tahun,
sebagian besar berada pada kelompok usia 25-60 tahun, dan jarang ditemukan pada
anak-anak. Sedangkan di bagian Gastroentero-hepatologi, Departemen Penyakit
Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia saat melakukan penelitian di RS
Cipto Mangunkusumo, ditemukan adanya 48 kasus selama kurun waktu 5 tahun
(1984-1988), yang sebagian besar memiliki kelompok umur yang sama.16
Walaupun data epidemiologi tentang kasus akalasia terbatas, Penelitian
terbari di Chicago dari tahun 2004 hingga 2014 menunjukkan adanya peningkatan
6

angka kejadian akalasia dua hingga tiga kali lipat lebih besar dari perkiraan dari
tahun-tahun sebelumnya yang diperkirakan, dengan puncak insiden masih sama
yaitu pada kelompok usia 25-60 tahun.3

2.4 Etiologi Akalasia Esofagus


Secara umum, akalasia dibagi menjadi akalasia primer dan sekunder. Pada
akalasia primer, etiologi penyebab nya masih belum diketahui secara pasti. Diduga
kemungkinan disebabkan oleh infeksi virus neurotropik yang mengakibatkan lesi
degeneratif pada nukleus vagus dorsal di batang otak dan pleksus mesenterika pada
lower esophageal sphincter.17,18 Teori lainnya yang diduga turut berperan dalam
menyebabkan akalasia primer ialah faktor predisposisi genetik dan autoimun yang
masih belum diketahui secara pasti. 19 Akalasia sekunder dapat disebabkan oleh
infeksi dari Trypanosma cruzi yang merupakan salah satu gejala dari penyakit
chagas yang sering terjadi pada Amerika Serikat. Selain itu akalasia sekunder dapat
juga disebabkan oleh karena infiltrasi karsinoma gaster pada esofagus,
gastroenteritis eosinofilik, limfoma, dan gangguan neurodegeneratif lainnya.19

2.5 Patofisiologi Akalasia Esofagus


Fungsi utama esofagus adalah mengantarkan makanan yang dicerna dari
faring ke lambung dengan gerakan peristaltik berkisar antara 5-15 detik. Di bagian
atas dan bawah esofagus terdapat sfingter yang penting sebagai penghalang refluks
asam lambung ke esofagus, dan normal dalam keadaan tonik atau konstriksi,
kecuali selama konsumsi makanan.20
Mukosa esofagus bersifat basa dan tidak cocok untuk asam dari sekresi
lambung. Lapisan submukosa memiliki sel sekretorik yang menghasilkan lendir
untuk membantu pergerakan makanan selama proses menelan. Pada keadaan
normal, esofagus memiliki dua jenis peristaltik: peristaltik primer dan peristaltik
sekunder. Peristaltik primer hanya merupakan gerakan mengikuti gerakan
peristaltik sebelumnya dalam faring dan berlanjut ke esofagus selama proses
menelan. 20

Periode pergerakan dari faring ke lambung diperkirakan selama 8 hingga 10


detik. Namun, konsumsi makanan saat posisi tegak menyebabkan pergerakan
7

makanan lebih cepat, sekitar 5-8 detik, karena efek gravitasi. Jika gerakan
peristaltik primer gagal mendorong semua makanan ke dalam lambung, maka
gerakan peristaltik sekunder dimulai. Gerakan ini dimulai dari nervus mienterikus
dan beberapa refleks dari nervus vagus aferen, dari esofagus ke medula kemudian
kembali ke esofagus.20
Di bagian bawah esofagus, sekitar dua sampai lima sentimeter di atas
lambung terdapat sfingter gastroesofageal. Secara anatomis, sfingter ini tidak
berbeda dengan bagian esofagus lainnya. Secara fisiologis, sfingter akan
mengalami penyempitan tonik (dengan tekanan intraluminal 30mmHg), berbeda
dengan esofagus tengah yang dalam kondisi normal dalam keadaan relaksasi.
Ketika gerakan peristaltik selama proses pencernaan melewati esofagus, proses
relaksasi reseptif akan merelaksasi sfingter esofagus bagian bawah (LES) sebelum
gerakan peristaltik dan menyebabkan makanan masuk ke lambung. Namun, pada
beberapa kasus LES tidak rileks, sehingga terjadi kondisi yang disebut Akalasia.20
Esofagus adalah saluran untuk transportasi bolus makanan dari mulut ke
lambung, tetapi juga mencegah refluks balik isi lambung. Kontraksi peristaltik
terkoordinasi di faring dan esofagus yang diimbangi dengan relaksasi sfingter
esofagus bagian atas dan bawah (LES) berperan dalam transportasi bolus
makanan.19 Jalur eksitatorik dan penghambatan parasimpatis menginervasi otot
polos sfingter esofagus bagian bawah (LES). Neurotransmitter eksitatorik, seperti
substan P dan asetilkolin, serta neurotransmitter penghambat, seperti peptida usus
vasoaktif (VIP) dan oksida nitrat (neurotransmitter penghambat terpenting dari
pleksus mienterikus), memodulasi tekanan dan relaksasi sfingter esofagus bagian
bawah (LES). Individu dengan akalasia kekurangan sel ganglion penghambat non-
kolinergik, nonadrenergik, tetapi neuron eksitatorik tetap tidak terpengaruh.
Kurangnya sel ganglion penghambat ini menghasilkan ketidakseimbangan
neurotransmisi penghambatan dan eksitatorik.19,21 Hal ini menyebabkan sfingter
esofagus hipertensif non-relaksasi.
Beberapa penelitian telah menginvestigasi hubungan akalasia dengan
polimorfisme genetik dari tiga isoform sintase oksida nitrit dan kelas Human
Leukocyte Antigen (HLA) spesifik.22 Satu penelitian di Eropa sangat mendukung
gagasan bahwa akalasia mungkin merupakan gangguan autoimun di mana
8

autoantibodi berinteraksi dengan DNA, seperti pada diabetes tipe 1 dan lupus.
Sebuah studi asosiasi genetik akalasia menunjukkan bahwa penyisipan delapan
residu pada posisi 227-234 di ekor sitoplasma HLA-DQß1 memberikan faktor
risiko paling kuat yang diketahui untuk akalasia sementara dua substitusi asam
amino di wilayah ekstraseluler HLA-DQa1 pada posisi 41 dan HLA-DQß1 pada
posisi 45 merupakan faktor risiko independen untuk akalasia. 23 Para peneliti ini
mereplikasi temuan ini dalam penelitian lain, yang juga menunjukkan bahwa
penyisipan lebih sering terjadi di Eropa selatan dibandingkan dengan Eropa utara
yang menunjukkan gradien geospasial utara-selatan di antara orang Eropa.24

2.6 Gambaran Klinis Akalasia Esofagus


Akalasia adalah penyakit yang berjalan progresif dan muncul dengan gejala
utama disfagia, regurgitasi, gejala respirasi (batuk di malam hari, aspirasi berulang)
dan adanya nyeri dada yang muncul setelah makan dan menetap lama serta
penurunan berat badan.1 Regurgitasi dari makanan yang ditelan sering salah
diinterpretasikan sebagai Gastoesophageal Reflux Disease (GERD) sehingga
menghambat dalam penegakkan diagnosis akalasia esofagus.1 Regurgitasi pada
akalasia muncul secepatnya saat pasien makan berupa makanan sisa yang belum
dicerna atau beberapa jam kemudian saat pasien berbaring terlentang dan dapat
menyebabkan aspirasi.8 Aspirasi dapat memberikan gejala respiratorik seperti
wheezing dan menimbulkan komplikasi berupa pneumonia. Nyeri dada atau
ketidaknyamanan, umumnya dirasakan pada 40% pasien akalasia. 8 Nyeri dirasa di
daerah xiphoid dan dapat menyerupai angina, tetapi pada akalasia nyeri dada tidak
dipicu oleh aktivitas atau olahraga melainkan dipicu oleh makan. Penyebab nyeri
dada sendiri belum diketahui, tetapi dapat disebabkan oleh distensi esofagus atau
kontraksi esofagus berlebihan atau terlalu lama. Penurunan berat badan muncul
karena gangguan pengosongan esofagus dan menurunnya intake makanan.8
Sistem grading yang sering digunakan untuk menilai gejala akalasia dan
efikasi terapi, dapat menggunakan skor The Ekardt. Terdapat 4 komponen yaitu
disfagia, regurgitasi, nyeri dada dan penurunan berat badan dengan masing-masing
komponen memiliki nilai 0-3. Pasien memiliki prognosis baik bila skor <3 dan
prognosis buruk bila ES ≥3. Walaupun skor ini sering digunakan dan disetujui
9

untuk menilai keparahan akalasia, tetapi komponen nyeri dada dan penurunan berat
badan dapat menurunkan reliabilitas dan validitas skor ini.25

Tabel 2.1 Skor The Ekardt.25

Nilai Penurunan berat Disfagia Nyeri Regurgitasi


Badan (kg) Retrosternal
0 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
1 <5 Kadang Kadang Kadang
2 5-10 Setiap hari Setiap hari Setiap hari
3 > 10 Setiap Setiap makan Setiap makan
makan

Gejala lain yang dapat muncul antara lain berkurangnya kecepatan makan
sehingga pada pasien sering dilaporkan paling lama dalam menghabiskan makanan,
penurunan berat badan, dan adanya stretching atau pergerakan seperti berjalan-
jalan setelah makan untuk membantu pasase makanan melalui esofagus yang
aperistaltik dan melewati barrier LES. Pada pasien dengan disfagia onset cepat
yaitu kurang dari 6 bulan dengan penurunan berat badan dan usia lebih dari 50
tahun, pseudoakalasia dapat disingkirkan dengan pemeriksaan endoskopi dan CT
scan.26

2.7 Diagnosis Akalasia Esofagus


Akalasia Esofagus biasanya dapat ditegakkan dari gejala dan pemeriksaan
penunjang yang ada. Pemeriksaan penunjang yang menjadi pilihan yaitu endoskopi,
pemeriksaan radiologi dan manometri esofagus dalam membantu memastikan
diagnosis.1

1. Endoskopi
Pada pasien dengan gejala disfagia membutuhkan
esofagogastroduodenoskopi untuk menyingkirkan kemungkinan obstruksi mekanik
akibat kanker yang dapat menyerupai akalasia primer baik secara klinis ataupun
dengan pemeriksaan manometri. Kondisi ini disebut pseudoakalasia atau akalasia
10

sekunder yang sering muncul terutama pada pasien dengan usia lebih dari 60 tahun
disertai keluhan disfagia progresif dan penurunan berat badan.1
Gambaran endoskopi pada akalasia bervariasi dari normal hingga dilatasi
esofagus dengan didapatkan sisa makanan dan saliva. Terkadang, gastroesophageal
junction tampak berkerut. Gambaran mukosa esofagus dapat normal atau diikuti
tanda esofagitis, mukosa yang rapuh, menebal, dan dapat ditemukan erosi akibat
kandidiasis sekunder.25 Temuan yang dapat ditemukan pada endoskopi bervariasi,
akan tetapi yang paling menggambarkan kondisi akalasia sesungguhnya adalah
stenosis fungsional pada esophagogastric junction dan kontraksi abnormal pada
badan esofagus, sedangkan temuan lainnya bersifat sekunder.27

Gambar 2.2 Temuan pada pemeriksaan endoskopi pasien akalasia esofagus.


a:Stenosis fungsional pada esophagogastric junction, b: Lipatan disekitar
esophagogastric junction, c: Kontraksi abnormal pada badan esofagus, d:
Penebalan mukosa dan perubahan warna menjadi lebih putih, e: dilatasi lumen
esofagus, f dan g: retensi cairan dan makanan.27

Sedangkan pada pseudoakalasia, saat endoskopi didapatkan mukosa yang


ulserasi atau noduler, berkurangnya compliance gastroesophageal junction, dan
endoskop yang tidak dapat masuk ke dalam lambung. Apabila mukosa tampak
normal, endoskop umumnya sulit untuk melewati LES berbeda dengan pada kasus
akalasia, endoskop akan dapat melalui LES hanya dengan penekanan halus.28
11

Apabila didapatkan pseudoakalasia, biopsi endoskopi dapat dilakukan untuk


menegakkan diagnosis.25
2. Pemeriksaan Radiologis
Barium esofagogram adalah pemeriksaan yang digunakan untuk evaluasi
akalasia. Pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran anatomi esofagus (diameter
dan axis) serta kondisi yang dapat menyebabkan gejala seperti adanya kanker atau
diverticula. Temuan yang sering didapat adalah bagian distal esofagus setinggi LES
yang menyempit, halus dan berbentuk lonjong menyerupai gambaran paruh burung
(bird beak’s appereance) atau menyerupai gambaran gelas sampanye. Tampak
dilatasi esofagus diatas gastroesophageal junction dengan air-fluid level dan
hilangnya udara di dalam gaster, kurangnya peristaltik yang tampak dengan
fluoroskopi dan adanya kontras yang terakumulasi di atas LES karena kurangnya
relaksasi dan pembukaan dari sphincter.8

Gambar 2.3 Barium esofagogram pada akalasia.8


Pemeriksaan radiologis lainnya adalah timed barium swallow. Prinsipnya
pasien menelan 50-100 ml barium kemudian dilakukan foto polos thoraks pada
menit pertama, kedua dan kelima. Lalu diukur tinggi akumulasi barium untuk
menentukan derajat retensi pada esofagus. Pemeriksaan ini sering dilakukan
sebelum terapi dan dilakukan secara berkala selama terapi untuk menentukan
progresivitas terapi dan mendeteksi kemungkinan rekurensi. Akan tetapi, pada
pemeriksaan barium swallow dapat memberikan gambaran normal pada 30%
pasien terutama pada stadium awal akalasia.8
12

Gambar 2.4 Timed barium swallow sebelum dan sesudah terapi.8

3. Manometri esofagus
Manometri adalah pemeriksaan gold standard untuk mendiagnosis akalasia.
Pada akalasia, harus terdapat kondisi aperistaltik esofagus. Pada akalasia, akan
didapatkan relaksasi LES yang tidak sempurna atau tidak berelaksasi sama sekali,
dan dari pemeriksaan ini akan didapatkan tekanan LES lebih dari 8mmHg. LES
yang hipertensi memiliki tekanan >45 mmHg juga muncul pada 50% pasien
akalasia.29
Adanya High-Resolution Manometry (HRM) membantu dalam
menegakkan diagnosis akalasia karena pemeriksaan lebih cepat dan lebih mudah
dioperasikan dibanding manometri konvensional. HRM dilakukan setelah puasa
pada malam harinya. Kateter dimasukkan transnasal dan diposisikan untuk
merekam dari faring hingga gaster. HRM dapat menampilkan data tekanan esofagus
dalam bentuk topografinya.29

2.8 Klasifikasi Akalasia Esofagus


Akalasia dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan pemeriksaan manometri
esofagus atau yang dikenal dengan High-Resolution Manometry (HRM). HRM
dapat menampilkan data tekanan esofagus dalam bentuk topografi dan membuat
parameter baru yang membagi akalasia menjadi 3 subtipe berbeda dalam klasifikasi
Chicago. Klasifikasi ini menentukan komplikasi, terapi yang diberikan dan
prognosis dari akalasia.26
13

Gambar 2.5 Manometri esofagus pada akalasia tipe I, II, dan III menurut
klasifikasi Chicago.26
Klasifikasi Chicago membagi akalasia menjadi 3 tipe yaitu: tipe I yaitu
relaksasi inkomplit LES, aperistaltik dan hilangnya tekanan esofagus, tipe II yaitu
relaksasi inkomplit LES, aperistaltik dan adanya tekanan panesofageal minimal
20% saat menelan dan tipe III yaitu relaksasi inkomplit LES dan adanya kontraksi
prematur pada 20% saat menelan (akalasia spastik).26
Pada akalasia tipe II memberikan respons yang lebih baik pada laparoskopi
myotomi Heller dibandingkan tipe I dan tipe III. Pada akalasia tipe III lebih baik
dilakukan endoskopi myotomi per oral. Akalasia tipe II memiliki prognosis paling
baik setelah dilatasi pneumatik dan laparoskomi myotomi Heller, akalasia tipe III
memiliki prognosis paling buruk dan akalasia tipe I berada diantara keduanya.26

2.9 Diagnosis Banding Akalasia Esofagus


Beberapa penyakit dapat menyerupai akalasia esofagus yaitu:
1. Penyakit Chagas
Penyakit Chagas adalah penyakit menular dengan fungsi esofagus yang
menyerupai akalasia. Kondisi ini disebabkan oleh protozoa T cruzi, yang ditularkan
melalui gigitan serangga reduviid. Manifestasi awal adalah septikemia, mulai dari
yang tidak tampak secara klinis hingga mengancam nyawa; bahkan tahap kronis
dapat terjadi. Patofisiologi penyakit Chagas adalah adanya kerusakan ganglion luas
di seluruh tubuh, yang melibatkan jantung, usus, saluran kemih, dan saluran
pernapasan. Progesifitas penyakit ini membutuhkan waktu bertahun-tahun.30
14

Penyebab kematian yang paling umum adalah keterlibatan jantung dengan


kardiomiopati, gangguan konduksi, dan aritmia. Keterlibatan saluran cerna
termasuk megaesophagus, megakolon, dan megaduodenum. Keterlibatan esofagus
dimulai dengan badan esofagus atonik dan LES nonrelaksasi, sehingga
menyebabkan dilatasi esofagus. Diagnosis dipastikan dengan uji serologis. 30
Pengobatan pasien dengan penyakit Chagas mirip dengan pengobatan
pasien dengan akalasia idiopatik. Perawatan ditujukan untuk mengganggu LES.
Setelah kehilangan saraf esofagus terjadi, pertumbuhan kembali atau penggantian
kehilangan saraf ini tidak mungkin dilakukan.30
2. Pseudoakalasia
Pseudoakalasia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
gambaran klinis obstruksi gastroesophageal junction, tersering akibat tumor.
Kondisi ini terdapat pada 5% pasien dengan diagnosis manometrik dan radiologis
akalasia. Presentasi klinis ini lebih mungkin terjadi dengan penyakit progresif yang
cepat (<1 tahun), onset usia yang lebih tua (>50 tahun), dan penurunan berat badan
yang signifikan. Infiltrasi tumor, terutama yang melibatkan fundus lambung,
menyerupai gangguan fungsional yang diamati dengan akalasia idiopatik. 30
Pemeriksaan menyeluruh untuk akalasia termasuk endoskopi bagian atas.
Biopsi harus dilakukan dengan kecurigaan adanya proses keganasan. Jika
ditemukan lesi yang mencurigakan, pemeriksaan pencitraan, termasuk CT scan,
MRI, dan ultrasonografi endoskopi, harus dilakukan sesuai indikasi. Pada 50%
pasien, patologinya adalah adenokarsinoma gastroesophageal junction. Penyebab
lain pseudoakalasia yaitu keganasan lainnya, obstruksi mekanis (misalnya,
neurofibromatosis, pseudokista pankreas), dan penyakit infiltratif (misalnya,
amiloidosis, sphingolipids, gastritis eosinofilik, sarkoidosis).30
3. Diffuse esophageal spasm
DES dan akalasia memiliki ciri yang sama yaitu kontraksi esofagus aktif
dengan amplitudo yang lebih tinggi. Pada kriteria manometrik, beberapa peristaltik
esofagus yang normal harus ada secara intermiten pada DES. Selain itu, relaksasi
LES, yang umumnya tidak lengkap pada pasien dengan akalasia, seharusnya
normal pada pasien dengan DES. Seiring waktu, DES dapat berkembang menjadi
akalasia.30
15

2.10 Penatalaksanaan
Tatalaksana yang ada bertujuan mengurangi hipertonus LES untuk
meningkatkan kemampuan pengosongan esofagus. Pilihan terapi disesuaikan
dengan usia pasien, adanya komorbid, keparahan, preferensi pasien, dan
ketersediaan alat. Dilatasi pneumatik dan myotomi adalah tatalaksana yang paling
efektif saat ini. Akan tetapi hipertonus LES akan muncul kembali beberapa waktu
kemudian sehingga membutuhkan tatalaksana yang berulang. 25

Gambar 2.6 Algoritma tatalaksana akalasia.31

1. Terapi farmakologis oral


Terapi ini merupakan pilihan paling tidak efektif untuk akalasia. Respons
terhadap agen farmakologis sifatnya sangat singkat dan memiliki banyak efek
samping. Selain itu, terapi farmakologis tidak mengurangi gejala secara
keseluruhan dan biasanya diberikan pada pasien dengan prognosis buruk bila
dilakukan terapi efektif lainnya atau yang gagal dengan pengobatan injeksi toksin
botulinum. Tujuan obat-obatan ini adalah menstimulasi relaksasi otot polos LES
sehingga membantu pasase makanan dari esofagus menuju gaster. Dua obat yang
paling sering digunakan adalah calcium channel blockers dan long-acting nitrates.
Nifedipine diberikan 15-60 menit sebelum makan secara sublingual dengan dosis
10-20 mg. Obat ini menghambat uptake kalsium sehingga dapat menghambat
kontraksi otot LES dan menurunkan tekanan LES saat istirahat hingga 30-60%.
Efek samping yang dapat terjadi akibat penggunaan Nifedipine antara lain
hipotensi, pusing dan nyeri kepala. Pilihan lain adalah sildenafil, fosfodiesterase-5-
16

inhibitor. Obat yang lebih jarang digunakan adalah antikolinergik, agonis β-


adrenergik dan teofilin.25,31
2. Terapi farmakologi dengan endoskopi
Injeksi toksin botulinum dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama pada
pasien akalasia yang usianya lanjut, memiliki angka harapan hidup rendah, dan
memiliki komorbid terhadap dilatasi pneumatik dan myotomi. Toksin botulinum
merupakan inhibitor poten terhadap produksi asetilkolin dari presinaps dengan
memotong protein SNAP-25 sehingga dapat memblokade stimulasi kolinergik.
Terapi ini dapat diberikan untuk pasien akalasia yang tidak dapat mentoleransi
tatalaksana yang lebih invasif.25
Komplikasi akibat prosedur ini cukup jarang dan seringnya berupa nyeri
dada pada 16-25% pasien. Komplikasi yang lebih serius dapat berupa mediastinitis
atau reaksi alergi. Pemberian injeksi toksin botulinum yang berulang dapat
menyebabkan fibrosis submukosa yang dapat mempersulit myotomi. Maka dari itu,
injeksi ini seharusnya diberikan pada pasien yang tidak mungkin menjalani
myotomi dan dilatasi pneumatik karena adanya faktor risiko operatif.25
Injeksi toksin botulinum memberikan respons baik di bulan pertama pada
80-90% pasien, akan tetapi efek terapi berkurang cepat dalam satu tahun. Maka
pemberian injeksi setiap 6-12 bulan lebih direkomendasikan. Faktor yang dapat
memperpanjang efek terapi injeksi toksin botulinum antara lain usia >40 tahun,
akalasia tipe II menurut klasifikasi Chicago, dan menurunnya tekanan basal LES. 25

3. Dilatasi pneumatik
Dilatasi pneumatik adalah prosedur dengan menggunakan tekanan udara
untuk merusak serabut otot sirkuler dari LES. Persiapan yang dilakukan adalah diet
cair selama beberapa hari dan puasa 12 jam sebelum prosedur ini dilakukan.
Prosedur ini umumnya dilakukan dengan anestesi lokal dan dilakukan observasi
selama 2-6 jam. Adanya nyeri dada dan demam perlu diwaspadai.32
Terdapat dua strategi saat melakukan dilatasi pneumatik yaitu dilatasi
tunggal atau dilatasi yang bertahap. Dilatasi pneumatik dianggap gagal apabila
tidak terjadi perbaikan gejala setelah 2-3 sesi atau apabila gejala tidak membaik
setelah dilakukan dilatasi dengan balon diameter terlebar. Pada kondisi ini, perlu
dipertimbangkan tatalaksana pembedahan menggunakan myotomi. 32
17

Komplikasi yang sering muncul adalah perforasi esofagus (0%-5%).


Perforasi yang kecil dan asimptomatik dapat ditatalaksana secara konservatif
dengan pemberian nutrisi parenteral, antibiotik dan pemasangan stent. Akan tetapi,
pada perforasi yang besar dengan kontaminasi mediastinum, perlu dilakukan
torakostomi. Komplikasi lainnya berupa GERD yang muncul pada 15-35% pasien
setelah dilakukan dilatasi pneumatik sehingga direkomendasikan pemberian obat
proton pump inhibitor.32
4. Myotomi
Myotomi adalah teknik pemisahan serabut otot sirkuler LES yang dulunya
dilakukan dengan torakotomi dan laparotomi, tetapi kini yang sering digunakan
adalah peroral endoscopic myotomy dan Heller myotomy.33

a. Peroral endoscopic myotomy (POEM)


1) Indikasi
Indikasi untuk POEM adalah pada pasien dengan akalasia.33
2) Kontraindikasi
a) Ketidakmampuan mentoleransi general anestesi
b) Koagulopati
c) Trombosit <50.000/mL
d) Hipertensi porta
e) Dalam terapi esofagus lainnya seperti radiasi, reseksi mukosa.33
3) Komplikasi POEM
Dapat terjadi pneumomediastinum minor atau pneumoperitoneum.
Komplikasi lainnya umumnya berhubungan dengan peningkatan gas
seperti emfisema subkutis (55%), pneumothorax (2,5%) dan
pneumoperitoneum (39,5%). Hal ini dapat dicegah dengan
menggunakan CO2 sebagai insufflating gas dan pemberian ventilasi
tekanan positif saat general anestesia.33
18

b. Laparoscopic heller myotomy (LHM)


Prosedur Heller myotomi adalah myotomi pada serabut otot
anterior. Myotomi ini dilakukan dengan laparoskopi. Metode
laparoskopi dipilih karena memberikan hasil yang lebih baik
dibanding thorakoskopi. Laparoskopi memberikan perbaikan gejala
lebih baik dan menurunkan kemungkinan munculnya GERD setelah
operasi. Pasien akalasia yang dilakukan laparoskopi menunjukkan
perdarahan yang lebih sedikit, penurunan waktu rawat inap, dan
pasien dapat kembali beraktivitas normal lebih cepat. Hal ini dapat
disebabkan karena fundoplication yang rutin dilakukan pada
laparoskopi. Pasien yang mendapat myotomi dengan fundoplication
memiliki insidensi refluks lebih rendah.34

2.10 Komplikasi
Diagnosis akalasia yang terlambat dapat menyebabkan terjadinya
pneumonia aspirasi berulang, bronkitis, penurunan berat badan, dan bahkan
meningkatkan resiko terjadinya keganasan pada esofagus. Hal ini disebabkan oleh
karena aspirasi bahan makanan yang iritatif terhadap saluran pernapasan sehingga
menyebabkan gangguan saluran pernapasan seperti pneumonia, bronkitis dan
penyakit paru-paru kronis. Makanan yang tertahan pada juga dapat menyebabkan
infeksi kronis pada lapisan esofagus akibat infeksi bakteri dan jamur. Terhambatnya
transpor makanan menuju gaster, juga menyebabkan tidak optimalnya nutrisi yang
diserap sehingga dapat menyebabkan penurunan berat badan atau malnutrisi. 35
Di sisi lain, pada pasien akalasia yang diobati atau tidak diobati secara
suboptimal, pertumbuhan bakteri yang berlebihan dan iritasi kimia dari
dekomposisi makanan dan air liur yang sedang berlangsung juga dapat
menyebabkan esofagitis hiperplastik kronis dan transformasi ganas sel epitel
esofagus menjadi karsinoma sel skuamosa esofagus (ESCC). 36 Sebuah tinjauan
baru-baru ini dan meta-analisis menentukan risiko ESCC pada pasien akalasia
menjadi 312,4 kasus per 100.000 pasien-tahun berisiko, dibandingkan dengan 4,3
kasus/100.000 pasien-tahun pada populasi umum dalam penelitian ini.37 Di seluruh
19

dunia, ESCC menyumbang sekitar 90% dari 456.000 kasus kanker esofagus terlihat
setiap tahun, dengan tingkat kejadian global 5,2 per 100.000. 38
Terlepas dari kenyataan bahwa akalasia dikaitkan dengan peningkatan
risiko dua jenis kanker esofagus yang berbeda, tidak ada rekomendasi yang diterima
secara umum tentang evaluasi tindak lanjut untuk pasien akalasia.39 Hal ini dapat
dijelaskan oleh fakta bahwa meskipun risiko kanker gastro-esofagus pada pasien
dengan akalasia lama jauh lebih tinggi daripada pada populasi umum, risiko
absolutnya relatif rendah.40

2.12 Prognosis
Prognosis akalasia esofagus primer umumnya memiliki prognosis yang baik
apabila dilakukan tatalaksana yang tepat. Namun klasifikasi dan skoring dari
akalasia dapat mempengaruhi prognosis pasien kedepannya. Biasanya setelah
dilakukan tindakan pembedahan, kejadian terjadinya perforasi esofagus jarang akan
tetapi keluhan akalasia seperti disfagia, nyeri retrosternal dan sulit makan terkadang
sering muncul kembali.25

2.13 Rekurensi

Akalasia dapat menjadi akalasia rekuren. Akalasia rekuren didefinisikan


sebagai kambuhnya gejala disfagia berat, regurgitasi atau nyeri dada setelah
dilakukannya intervensi sehingga diperlukan adanya intervensi kembali atau
kembali dilakukannya myotomi Heller. Hal ini terjadi akibat gangguan yang
inadekuat pada LES karena myotomi inkomplit maupun dilatasi pneumatik. Untuk
menghindari hal ini biasanya pada saat myotomi dapat diperpanjang hingga ke
kardia sekitar 2-3 cm. Perawatan lebih lanjut untuk mencegah rekurensi perlu
dipastikan bahwa sudah dilakukan myotomi komplit.41
BAB III
SIMPULAN
Akalasia esofagus merupakan suatu gangguan neuromuskular yang terjadi
pada esofagus yaitu ketidakmampuan lower esophageal sphincter (LES) untuk
membuka dan membiarkan makanan lewat ke dalam gaster. Distribusi umur pada
akalasia jarang terjadi pada 2 dekade pertama (kurang dari 5% kasus didapatkan
pada anak-anak), dengan insidensi memuncak pada dekade ke 3 dan ke 5 dari usia
individu. Secara umum, akalasia dibagi menjadi akalasia primer dan sekunder. Pada
akalasia primer, etiologi penyebab nya masih belum diketahui secara pasti, namun
pada Akalasia sekunder dapat disebabkan oleh infeksi dari Trypanosma cruzi. Pada
akalasia, LES tidak mengalami relaksasi ketikan gerakan peristaltik terjadi selama
proses pencernaan melewati esofagus.

Akalasia muncul dengan gejala utama disfagia, regurgitasi, gejala respirasi


(batuk di malam hari, aspirasi berulang) dan adanya nyeri dada yang muncul setelah
makan dan menetap lama serta penurunan berat badan. Sistem grading yang sering
digunakan untuk menilai gejala akalasia dan efikasi terapi, dapat menggunakan skor
The Ekardt. Akalasia esofagus dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah
endoskopi, pemeriksaan radiologi dan manometri esofagus. Menurut Klasifikasi
Chicago, akalasia dibagi menjadi 3 tipe. Diagnosis banding dari akalasia esofagus
adalah penyakit Chagas, pseudoakalasia dan diffuse esophageal spasm. Tatalaksana
akalasia esofagus dibagi menjadi terapi farmakologis oral, terapi farmakologi
dengan endoskopi, dilatasi pneumatik, dan myotomi. Diagnosis akalasia yang
terlambat dapat menyebabkan terjadinya pneumonia aspirasi berulang, bronkitis,
penurunan berat badan, dan bahkan meningkatkan resiko terjadinya keganasan pada
esofagus. Prognosis akalasia esofagus primer umumnya memiliki prognosis yang
baik apabila dilakukan tatalaksana yang tepat. Akalasia dapat menjadi akalasia
rekuren. Perawatan lebih lanjut untuk mencegah rekurensi perlu dipastikan bahwa
sudah dilakukan myotomi komplit.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Schlottmann, Francisco & Neto, Rafael & A M Herbella, Fernando & Patti,
Marco. Esophageal Achalasia: Pathophysiology, Clinical Presentation, and
Diagnostic Evaluation. The American surgeon. 2018; 84: 467-472.
2. Sadowski DC, Ackah F, Jiang B, Svenson LW. Achalasia: incidence,
prevalence and survival. A population-based study. Neurogastroenterol Motil
2010; 22:e256.
3. Samo S, Carlson DA, Gregory DL, et al. Incidence and Prevalence of Achalasia
in Central Chicago, 2004-2014, Since the Widespread Use of High-Resolution
Manometry. Clin Gastroenterol Hepatol 2017; 15:366.
4. Muhlisin A. Penyakit Akalasia. (online), (www mediskus.com, diakses 2
Agustus 2022).
5. Mayberry JF. Epidemiology and demographics of achalasia. Gastrointest
Endosc Clin N Am. 2001;11:235-248.
6. Podas T, Eaden J, Mayberry M, Mayberry J. Achalasia: a critical review of
epidemiological studies. Am J Gastroenterol. 1998;93:2345-2347.
7. Harvey PR, Thomas T, Chandan JS, Mytton J, Coupland B, Bhala N, Evison
F, Patel P, Nirantharakumar K, Trudgill NJ. Incidence, morbidity and mortality
of patients with achalasia in England: findings from a study of nationwide
hospital and primary care data. Gut. 2019 May;68(5):790-795. doi:
10.1136/gutjnl-2018-316089. Epub 2018 Jun 20. PMID: 29925629.
8. Laurino-Neto RM, Herbella F, Schlottmann F, Patti M. Evaluation Of
Esophageal Achalasia: From Symptoms To The Chicago Classification. Arq
Bras Cir Dig. 2018;31(2):e1376
9. Ritcher IE. Achalasia. In: Castell, The Esophagus, 4th edition. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins, 1999.
10. Islam S. Achalasia. Semin Pediatr Surg. 2017;26(2):116–20.
11. Chandrasoma PT. GERD: A New Understanding of Pathology,
Pathophysiology, and Treatment. Los Angeles: Elsevier; 2017. 1–65.

21
22

12. Fisichella P, Jalilvand A, Lebenthal A. Diagnostic evaluation of achalasia:


from the whalebone to the Chicago classification. World J Surg.
2015;39(7):1593–7.
13. Ida Bagus Gde Sujana dr. Penatalaksanaan Anestesi Pada Trakeoesofageal
Fistula. Denpasar; 2018.
14. Nyoman I, Wardana G. Anatomi Esophagus Dan Implikasi Klinisnya.
Denpasar; 2019.
15. Eky N. Digestive System. Semarang; 2019.
16. Bakry HA, Sudoyo A, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, et. al.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Interna Publ 2014.p.1743.
17. Cassella RR, Ellis FH, Brown AL. FINE-STRUCTURE CHANGES IN
ACHALASIA OF ESOPHAGUS. II. ESOPHAGEAL SMOOTH MUSCLE.
Am J Pathol. 1965 Mar;46:467-75.
18. Cassella RR, Ellis FH, Brown AL. FINE-STRUCTURE CHANGES IN
ACHALASIA OF THE ESOPHAGUS. I. VAGUS NERVES. Am J Pathol.
1965 Feb;46:279-88.
19. Francis DL, Katzka DA. Achalasia: update on the disease and its treatment.
Gastroenterology. 2010 Aug;139(2):369-74.
20. David C, Sabiston. Buku Ajar Bedah. 2nd ed. Jakarta:ECG 1995:II.p.460- 72.
21. Raymond L, Lach B, Shamji FM. Inflammatory aetiology of primary
oesophageal achalasia: an immunohistochemical and ultrastructural study of
Auerbach's plexus. Histopathology. 1999 Nov;35(5):445-53.
22. Singh R, Ghoshal UC, Misra A, Mittal B. Achalasia Is Associated With
eNOS4a4a, iNOS22GA, and nNOS29TT Genotypes: A Case-control Study. J
Neurogastroenterol Motil. 2015 Jul 30;21(3):380-9.
23. Gockel I, Becker J, Wouters MM, dkk. Common variants in the HLA-DQ
region confer susceptibility to idiopathic achalasia. Nat Genet. 2014
Aug;46(8):901-4.
24. Becker J, Haas SL, Mokrowiecka A, dkk. The HLA-DQβ1 insertion is a strong
achalasia risk factor and displays a geospatial north-south gradient among
Europeans. Eur J Hum Genet. 2016 Aug;24(8):1228-31.
23

25. Krill, J T, Naik, R D, & Vaezi, M F. Clinical management of achalasia: current


state of the art. Clinical and experimental gastroenterology. 2016; 9: 71–82.
26. Zaninotto G, Bennett C, Boeckxstaens G, Costantini M, Ferguson M K,
Pandolfino J E, Patti M G, Ribeiro U, Richter J, Swanstrom L, J Tack, G
Triadafilopoulos, S R Markar, R Salvador, L Faccio, et al. The 2018 ISDE
achalasia guidelines. Diseases of the Esophagus. 2018; 31 (9)
27. Shiwaku H, Yamashita K, Ohmiya T, Nimura S, Shiwaku Y, Inoue H, et al.
New endoscopic finding of esophageal achalasia with ST Hood short type:
Corona appearance. PLoS ONE . 2018; 13(7): e0199955.
28. Roushan N, Zolfaghari A, Asadi M, Taslimi R. Pseudoachalasia: a diagnostic
challenge. Med J Islam Repub Iran. 2014; 28:54.
29. Pohl, Daniel & Tutuian, Radu. Achalasia: an Overview of Diagnosis and
Treatment. Journal of gastrointestinal and liver diseases. 2007; 16. 297-303.
30. Gaumnitz, EA. Esophageal Motility Disorders Differential Diagnoses. 2017.
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/174783-differential
31. Furuzawa-Carballeda J, Torres-Landa S, Valdovinos M&, Coss-Adame E,
Martín del Campo LA, Torres-Villalobos G. New insights into the
pathophysiology of achalasia and implications for future treatment. World
Journal of Gastroenterology 2016; 22(35): 7892-7907
32. Esposito D, Maione F, D'Alessandro A, Sarnelli G, De Palma GD. Endoscopic
treatment of esophageal achalasia. World Journal of Gastrointestinal
Endoscopy. 2016;8(2):30–39.
33. Miranda-García P, Casals-Seoane F, Gonzalez JM, Barthet M, Santander-
Vaquero C. Per-oral endoscopic myotomy (POEM): a new endoscopic
treatment for achalasia. Rev Esp Enferm Dig 2016;109(10):719-726.
34. Gonzalo Torres-Villalobos and Luis Alfonso Martin-del-Campo, “Surgical
Treatment for Achalasia of the Esophagus: Laparoscopic Heller Myotomy,”
Gastroenterology Research and Practice. 2013: 702837
24

35. Mashkov AE, Pykchteev DA, Sigachev AV, Bobylev AV, Mayr JM.
Obstructive bronchitis and recurrent pneumonia in esophageal achalasia in a
child: A CARE compliant case report. Medicine (Baltimore). 2018
Jun;97(23):e11016.
36. Leeuwenburgh I, et al. Long-term risk of oesophagitis, Barrett's oesophagus
and oesophageal cancer in achalasia patients Scand. J. Gastroenterol., 41
(sup243) (2006), pp. 7-10
37. Tustumi F, et al. Esophageal achalasia: a risk factor for carcinoma. A
systematic review and meta-analysis Dis. Esophagus, 30 (10) (2017), pp. 1-8
38. Arnold M, et al. Global incidence of oesophageal cancer by histological
subtype in 2012 Gut, 64 (3) (2015), p. 381
39. Gong EJ, Kim, DH. Retention esophagitis in patients with achalasia requires
Cancer surveillance Clin. Endosc., 51 (2) (2018), pp. 111-112
40. Leeuwenburgh I, et al. Long-term esophageal cancer risk in patients with
primary achalasia: a prospective study Am. J. Gastroenterol., 105 (10) (2010),
pp. 2144-2149
41. Watson DI. Managing Recurrent Symptoms After Treatment of Achalasia.
Annals of Esophagus, 3 (2020).

Anda mungkin juga menyukai