Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

XEROPHTALMIA

Pembimbing

dr. Ilhamiyati, Sp.M

Mella Intaniabella Ngapriba 201910401011004

Iga Amany Zulfa 201910401011045

BIDANG MATA RSU HAJI SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2019
LEMBAR PENGESAHAN

LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
XEROPHTALMIA

Referat dengan judul “Xerophtalmia” telah diperiksa dan disetujui sebagai


salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di
bagian mata.

Surabaya, 19 Juli 2019


Pembimbing

dr. Ilhamiyati,Sp.M

i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa penulis panjatkan, karena
hanya atas berkat rahmat dan karunia – Nya penulis mendapatkan kesempatan
untuk menyelesaikan referat yang berjudul “Xeroftalmia” ini tepat waktu. Terima
kasih juga penulis sampaikan pada:
1. Direktur Rumah Sakit Umum Haji Surabaya yang telah memberikan
kesempatan untuk mengikuti kegiatan kepaniteraan dalam mempelajari
ilmu mata di RSU Haji Surabaya.
2. dr. Ululil Chusaida, Sp.M, kepala SMF bagian mata RSU Haji
Surabaya serta telah membimbing penulis selama kepaniteraan di RSU
Haji Surabaya.
3. dr. Ilhamiyati, Sp.M, dokter pembimbing yang telah banyak
menyediakan waktu, bimbingan, motivasi dan ilmu pengetahuan yang
sangat bermanfaat dalam penulisan referat ini, serta telah membimbing
penulis selama kepaniteraan di RSU Haji Surabaya.
4. Seluruh dokter dan staf RSU Haji Surabaya yang telah membantu
penulis selama kepaniteraan di RSU Haji Surabaya.
5. Keluarga dan teman – teman yang memberi dukungan dan bantuan
dalam penulisan referat ini.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam referat ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar
penulis dapat memperbaiki kekurangan tersebut.

Surabaya, Juli 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................v
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................2
2.1 Anatomi retina........................................................................................2
2.2 Definisi ..................................................................................................5
2.3 Etiologi ..................................................................................................5
2.4 Klasifikasi...............................................................................................5
2.5 Patogenesis ........................................................................................... 9
2.6 Diagnosis ............................................................................................ 10
2.7 Diagnosis Banding.............................................................................. 14
2.8 Penatalaksanaan .................................................................................. 16
2.9 Prognosis ............................................................................................ 21
BAB 3 KESIMPULAN ........................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................23

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1Lapisan Retina .......................................................................................2


Gambar 2.2 Distribusicairansubretinal.....................................................................6
Gambar 2.3Ablasio Retina RhegmatogenSuperotemporal Detachment ..................6
Gambar 2.4Ablasio retina eksudatif .........................................................................7
Gambar 2.5Ablasio retina eksudatif yang disebabkanchoroidal melanoma ............8
Gambar 2.6Ablasio retina traksional........................................................................8
Gambar 2.7Ablasio retina traksional........................................................................9
Gambar 2.8B-Scan Ablasio retina traksional ...........................................................9
Gambar 2.9Tobaco dust ........................................................................................11
Gambar 2.10Leopard spot .....................................................................................12
Gambar 2.11B-Scan USG ablasio retina ...............................................................14
Gambar 2.12 retinoskisis degeneratif lokasi inferotemporal ................................14
Gambar 2.13USG retinoskisisdegeneratif ..............................................................15
Gambar 2.14USG ablasiokoroid ............................................................................16
Gambar 2.15Circumferential explant ...................................................................17
Gambar 2.16Radial explantdancircumferential explant ........................................17
Gambar 2.17Drainasecairansubretinalselamascleral buckling ..............................18
Gambar 2.18Pars Plana Vitrektomi (PPV) ............................................................19
Gambar 2.19Alat Pars Plana Vitrektomi ..............................................................19
Gambar 2.20canula, cutter, light pipe ..................................................................20
Gambar 2.21Pneumatic Retinopexy .......................................................................21
Gambar2.22Cryotherapy, gas injection ................................................................21

iv
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kurang Vitamin A (KVA) merupakan suatu gangguan nutrisi yang
memberikan kelainan pada mata dan merupakan penyebab utama kebutaan
di negara berkembang selain infeksi mata luar, dan pada gejala sistemik
berupa retardasi mental, terhambatnya perkembangan tubuh, kulit kering,
dan kretinisasi mukosa. KVA masih menjadi masalah yang tersebar di
seluruh dunia terutama di negara berkembang dan dapat terjadi pada semua
umur terutama pada masa pertumbuhan. KVA dalam tubuh dapat
menimbulkan berbagai jenis penyakit yang merupakan Nutrition Related
Diseases yang dapat mengenai berbagai macam anatomi dan fungsi dari
organ tubuh seperti menurunkan sistem kekebalan tubuh dan menurunkan
epitelisme sel – sel kulit (Depkes RI, 2003; Oetama, S, Djaeni, A, 2008).
Salah satu dampak kurang vitamin A adalah kelainan pada mata yang
umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan - 4 tahun yang menjadi penyebab
utama kebutaan di negara berkembang. KVA pada anak biasanya terjadi
pada anak yang menderita Kurang Energi Protein (KEP) atau Gizi buruk
sebagai akibat asupan zat gizi sangat kurang, termasuk zat gizi mikro dalam
hal ini vitamin A. Akibat dari KVA sendiri adalah terganggunya kesehatan
mata, kemampuan penglihatan, meupun kekebalan tubuhnya, dan yang
memprihatinkan kebutaan yang disebabkan oleh KVA tidak dapat
disembuhkan (Depkes RI, 2003; Oetama, S, Djaeni, A, 2008).
Di seluruh dunia sekitar 350.000 kasus baru kerusakan mata yang parah
muncul setiap tahunnya pada anak – anak usia prasekolah, dan diperkirakan
60% dari anak – anak ini meninggal dalam waktu 1 tahun setelah menjadi
buta. Anak yang menderita KVA mudah sekali terserang infeksi seperti
infeksi saluran pernafasan akut, campak, cacar air, diare dan infeksi lain
karena daya tahan anak tersebut menurun. Namun masalah KVA dapat juga
terjadi pada keluarga dengan penghasilan cukup karena kurangnya
pengetahuan orang tua/ ibu tentang gizi yang baik. Gangguan penyerapan
pada usus juga dapat menyebabkan KVA walaupun hal ini sangat jarang

1
terjadi. Kurangnya konsumsi makanan (<80% AKG) yang berkepanjangan
akan menyebabkan anak menderita KVA, yang umumnya terjadi karena
kemiskinan. Sampai saat ini masalah KVA di Indonesia masih
membutuhkan perhatian yang serius (Depkes RI, 2003).
Dalam kurun waktu 1964 – 1965 dan pada tahun 1970-an, Indonesia
pernah dijuluki sebagai “home of xerophthalmia” karena insiden
xeroftalmia pada balita yang cukup tinggi. Menurut Survei Nasional
Xeroftalmia tahun 1978 – 1980, tidak banyak ditemukan kasus xeroftalmia,
bahkan pada tahun 1994, pemerintah Indonesia mendapatkan piagam Helen
Keller Awards karena dinilai berhasil menurunkan angka xeroftalmia dari
1,34% atau sekitar tiga kali lebih tinggi dari ambang batas yang ditetapkan
organisasi kesehatan dunia WHO pada 1978 menjadi 0,33% pada tahun
1992. Meskipun hasil survei Xeroftalmia (1992) menunjukkan bahwa
berdasarkan kriteria WHO secara Klinis KVA di Indonesia sudah tidak
menjadi masalah kesehatan masyarakat (<0,5%). Namun pada survei yang
sama menunjukkan 50% balita masih menderita KVA Sub Klinis (serum
retinol <20 ug/dl) (Depkes RI, 2003).
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997
menyebabkan terjadinya peningkatan kasus gizi buruk di berbagai daerah
mengakibatkan masalah KVA muncul kembali. Berdasarkan laporan dari
beberapa provinsi menunjukkan munculnya kembali kasus Xeroftalmia
mulai dari tingkat ringan sampai berat bahkan menyebabkan kebutaan.
Ibarat fenomena gunung es dikhawatirkan kasus xeroftalmia masih banyak
di masyarakat yang belum ditemukan dan dilaporkan oleh tenaga kesehatan.
Oleh karena itu, penting sekali untuk mendeteksi secara dini dan menangani
kasus xeroftalmia ini dengan cepat dan tepat agar tidak terjadi kebutaan
seumur hidup yang berakibat menurunnya kualitas Sumber Daya Manusia
(Depkes RI, 2003).

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Xeroftalmia adalah istilah yang merujuk kepada manifestasi okular


yang disebabkan oleh defisiensi vitamin A. Gejala yang timbul dapat berupa
gangguan sensitivitas retina terhadap cahaya (rabun senja) dan kerusakan
epithelial pada kornea dan konjungtiva, seperti xerosis konjungtiva, Bitot spot,
xerosis kornea dan keratomalacia. Gejala tersebut dapat terjadi tergantung dari
tingkat keparahan defisiensi Vitamin A itu sendiri dan umur seseorang
(WHO, 2014).

2.2 Etiologi

Penyebab terjadinya xerophthalmia adalah karena kurangnya Vitamin


A. Faktor-faktor yang menjadi penyebab tingginya kasus xerophthalmia di
Indonesia adalah (Depkes RI, 2003):

1. Konsumsi makanan yang tidak mengandung cukup vitamin A atau


Pro Vitamin A untuk jangka waktu yang lama.
2. Bayi tidak diberikan ASI eksklusif.
3. Menu tidak seimbang (kurang mengandung lemak, protein,
Zn/seng atau zat gizi lainnya) yang diperlukan untuk penyerapan
Vitamin A dalam tubuh.
4. Adanya gangguan penyerapan Vitamin A atau Pro Vitamin A
seperti pada penyakit-penyakit antara lain, diare kronik, KEP dan
lain-lain.
5. Adanya kerusakan hati seperti pada kwashiorkor dan hepatitis
kronis, menyebabkan gangguan pembentukan RBP (Retinol
Binding Protein) dan pre-albumin yang penting dalam penyerapan
Vitamin A.
2.3 Epidemiologi

Meskipun berbagai macam tipe defisiensi vitamin telah dijelaskan,


kemungkinan Xeroftalmia merupakan satu-satunya manifestasi klinis yang

3
mencapai epidemic level dan menyebabkan masalah kesehatan masyarakat.
Estimasi dari WHO menyebutkan bahwa sekitar 25.4 juta anak mengalami
defiseiensi vitamin dan 2.8 juta diantaranya mengalami Xeroftalmia. Hal ini
merupakan kasus umum dari penyakit kebutaan pada anak-anak dimana
terjadi sekitar 350.000 kasus baru tiap tahunnya. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa Xeroftalmia tidak hanya menyebabkan kebutaan namun
juga dapat mempengaruhi pertumbuhan, kecacatan dan kematian anak secara
menyeluruh. Menurut WHO, defisiensi vitamin A dapat menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang besar jika prevalensi anak yang mengalami bitot’s
spot dalam usia kurang dari enam tahun sebesar 0,5% atau lebih. Tercatan
dalam WHO bahwa 45% dari kasus defisiensi vitamin A dan Xeroftalmia
terjadi di Asia Selatan dan Asia tenggara (Feroze dan Evan, 2019)

Di Indonesia sendiri masalah Kurang Vitamin A (KVA) masih


membutuhkan perhatian yang serius. Meskipun hasil survey Xeroftalmia
(1992) menunjukkan bahwa berdasarkan kriteria WHO secara klinis KVA di
Indonesia sudah tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat (<0,5%).
Namun pada survey yang sama menunjukkan bahwa 50% balita Indonesia
mengalami KVA subklinis (serum retinol <20 ug/dl). Data terbaru
menunjukkan masih ditemukan kasus xeropthalmia 0,13 persen dan indeks
retinol serum 14,6 persen, serta terjadi penurunancakupan suplementasi
vitamin A secara nasional (Depkes RI, 2003)

Awalnya pada tahun 1992, hasil survei Xeroftalmia berdasarkan


kriteria WHO secara Klinis KVA di Indonesia sudah tidak menjadi masalah
kesehatan masyarakat (<0,5%). Pada tahun 1994 Pemerintah Indonesia
mendapat penghargaan “Helen Keller Award”, karena mampu menurunkan
prevalensi xeroftalmia sampai 0,3%. Keberhasilan tersebut berkat upaya
program penanggulangan KVA dengan suplemen kapsul vitamin A dosis
tinggi 200.000 SI (merah) sebanyak 2 kali setahun pada bulan Februari dan
Agustus yang ditujukan kepada anak balita (1-5 tahun) dan 1 kapsul pada ibu
nifas (< 30 hari sehabis melahirkan). Setelah tahun 1997 kemudian sasaran
diperluas kepada bayi umur 6 – 11 bulan dengan pemberian kapsul vitamin A
dosis 100.000 SI (biru) (Depkes, 2003).

4
Adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan
tahun 1997, dimana terjadi peningkatan kasus gizi buruk di berbagai daerah
mengakibatkan masalah KVA muncul kembali. Berdasarkan laporan dari
beberapa propinsi antara lain dari NTB dan Sumatera Selatan menunjukkan
munculnya kembali kasus Xeroftalmia mulai dari tingkat ringan sampai berat
bahkan menyebabkan kebutaan. Sampai saat ini masalah KVA di Indonesia
masih membutuhkan perhatian yang serius. Data laporan baik dari SP2TP
maupun data dari survei tidak mendukung, karena selama ini kasus
xeroftalmia tidak dilaporkan secara khusus dan dianggap sudah bukan menjadi
prioritas masalah kesehatan di Indonesia (Depkes, 2003).

2.4 Faktor Risiko

Faktor resiko terjadinya xeroftalmia dapat dipengaruhi oleh tiga faktor berikut
(Depkes, 2003):
1. Faktor Sosial budaya dan lingkungan dan pelayanan kesehatan
a. Ketersediaan pangan sumber vitamin A
b. Pola makan dan cara makan
c. Adanya paceklik atau rawan pangan
d. Adanya tabu atau pantangan terhadap makanan tertentu terutama yang
merupakan sumber Vit A.
e. Cakupan imunisasi, angka kesakitan dan angka kematian karena
penyakit campak dan diare
f. Sarana pelayanan kesehatan yang sulit dijangkau
g. Kurang tersedianya air bersih dan sanitasi lingkungan yang kurang
sehat
h. Keadaan darurat antara lain bencana alam, perang dan kerusuhan
2. Faktor Keluarga
a. Pendidikan orang tua yang rendah akan berisiko lebih tinggi
kemungkinan anaknya menderita KVA karena pendidikan yang rendah
biasanya disertai dengan keadaan sosial ekonomi dan pengetahuan gizi
yang kurang.
b. Penghasilan keluarga yang rendah akan lebih berisiko mengalami
KVA. Walaupun demikian besarnya penghasilan keluarga tidak

5
menjamin anaknya tidak mengalami KVA, karena harus diimbangi
dengan pengetahuan gizi yang cukup sehingga dapat memberikan
makanan kaya vitamin A.
c. Jumlah anak dalam keluarga jika semakin banyak anak semakin
kurang perhatian orang tua dalam mengasuh anaknya.
d. Pola asuh anak yang mengarah pada kurangnya perhatian keluarga
terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak seperti pasangan
suami istri (pasutri) yang bekerja dan perceraian.
3. Faktor individu
a. Anak dengan Berat Badan Lahir Rendah (BB < 2,5 kg).
b. Anak yang tidak mendapat ASI Eksklusif dan tidak diberi ASI sampai
usia 2 tahun.
c. Anak yang tidak mendapat MP-ASI yang cukup baik kualitas maupun
kuantitas
d. Anak kurang gizi atau dibawah garis merah (BGM) dalam KMS.
e. Anak yang menderita penyakit infeksi (campak, diare, Tuberkulosis
(TBC), Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), pneumonia dan
kecacingan.
f. Frekuensi kunjungan ke posyandu, puskesmas atau pelayanan
kesehatan (untuk mendapatkan kapsul vitamin A dan imunisasi).

2.5 Patofisiologi

Retina melapisi dua pertiga dinding bagian dalam bola mata. Retina
terdiri dari beberapa lapisan dimulai dari sisi dalam keluar sebagai berikut:
(1) Membran limitans retina, (2) Lapisan serat saraf, (3) Lapisan sel
ganglion, (4) Lapisan pleksiform dalam, (5) Lapisan nukleus dalam, (6)
Lapisan pleksiform luar, merupakan lapis aselular dan merupakan tempat
sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal, (7) Lapisan
nukleus luar, merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan batang, dan
(8) Membran limitan eksterna, serta (9) Lapisan fotoreseptor (Silverthorn,
2013)

6
Ada dua jenis fotoreseptor utama yang terdiri dari sel batang dan sel
kerucut yang merupakan modifikasi sel saraf. Batang berfungsi dengan baik
pada penvahayaan rendah dan digunakan untuk penglihatan malam, ketika
benda lebih terlihat sebagai hitam atau putih dan bukan berwarna. Kerucut
bertanggung jawab untuk penglihatan ketajaman tinggi dan penglihatan
warna pada siang hari. Kedua jenis fotoreseptor mempunyai struktur yang
sama, yaitu : (1) segmen luar yang ujungnya menyentuh epitel retina, (2)
segmen dalam yang mengandung inti sel dan organel untuk sintesis ATP
dan protein, dan (3) segmen basal dengan terminal sinaps yang melepaskan
glutamate ke sel bipolar. Pigmen Visual yang peka cahaya terikat pad
membrane cakram di segmen luar foto reseptor. Batang mempunyai satu
jenis pigmen visual yaitu rhodopsin (Silverthorn,2013).
Cahaya yang masuk ke dalam retina diserap oleh rhodopsin, suatu
protein yang tersusun dari opsin yang terikat pada derivat vitamin A
(retinal). Penyerapan cahaya ini akan menyebabkan isomerisasi rhodopsin
dan memisahkan opsin dari ikatannya dengan retinal menjadi opsin bentuk
aktif. Opsin bentuk aktif kemudian memfasilitasi pengikatan guanosin
triphosphate (GTP) dengan protein transducin. Kompleks GTP-transducin
ini kemudian mengaktifkan enzim cyclic guanosin monophosphate
phosphodiesterase suatu ensim yang berperan dalam pembentukan
senyawaan cyclic guanosin monophosphate (cGMP) (Silverthorn, 2013).
Siklik guanosin monophosphate (cGMP) ini berperan dalam pembukaan
kanal natrium di dalam plasmalema sel batang dan menyebabkan masuknya
natrium dari segmen luar sel batang menuju ke segmen dalam sel batang.
Keadaan ini akan menyebabkan hiperpolarisasi di segmen dalam sel batang
dan merangsang dilepaskannya neurotransmitter dari sel batang menuju ke
sel bipolar. Oleh sel bipolar rangsang kimiawi ini dirubah menjadi impuls
listrik yang akan diteruskan menuju ke sel ganglion untuk dikirim ke otak.
Sel-sel batang dan kerucut dilapisan fotoreseptor mampu mengubah
rangsang cahaya menjadi impuls saraf yang dihantarkan lapisan serat saraf
retina melalui saraf optikus hingga akhirnya kekorteks penglihatan
(Silverthorn,2013).

7
Bila dibahas mengenai fungsi retina dan kaitannya dengan vitamin A,
sekilas akan dibahas mengenai metabolisme vitamin A. Singkatnya ada 3
bentuk vitamin A yang penting bagi tubuh yaitu retinol, beta karoten, dan
karotenoid. Dalam tubuh retinol merupakan bentuk dominan dari vitamin A.
Begitu diserap dalam saluran pencernaan, vitamin A dibawa ke hati untuk
disimpan.10 Saat dibutuhkan, vitamin A akan dilepas dalam bentuk retinol
yang akan berikatan dengan protein, bentuk dari ikatan tersebut disebut juga
retinol binding protein (RBP). RBP nantinya akan berikatan dengan sel-sel
reseptor yang dituju kemudian protein akan melepaskan retinol sehingga
dapat masuk kedalam sel yang dituju (Ansstas,2012).
Metabolisme vitamin A secara lengkap adalah sebagai berikut. Vitamin
A diperoleh dari asupan makanan yang mengandung vitamin A. Vitamin A
dalam bentuk aktif berupa asam retinoat. Sedangkan secara alami vitamin A
didapatkan dari hewani dalam bentuk pro-vitamin A dan dari tumbuhan
dalam bentuk beta karoten. Dikenal 3 macam karoten yaitu α, β, dan γ-
karoten. Β-karoten memiliki aktivitas yang paling tinggi. Proses
pembentukan vitamin A dari sumber hewani diuraikan sebagai berikut
(Ansstas,2012).
Absorpsi provitamin A dan karoten di dinding usus halus dimana
kemudian diubah jadi retinol, retinol diangkut ke dalam hepar oleh
kilomikron kemudian di dalam parenkim hati sebagian dari retinol akan
diesterifikasi menjadi retinil-palmitat dan disimpan dalam sel stelat.
Sebagian lagi akan berkaitan dengan RBP dan protein lain yang disebut
trasthyretin untuk dibawa ke target sel. Pada target sel retinol akan berikatan
dengan reseptor yang terdapat pada membran sel (RBP reseptor) kemudian
di dalam sel berikatan dengan RBP intraseluler yang akan diubah menjadi
asam retinoat oleh enzim spesifik. Asam retinoat selanjutnya akan
memasuki inti sel dan berikatan dengan reseptor pada inti, asam retinoat ini
berperan dalam transkripsi gen (Ansstas,2012)
Fungsi vitamin A antara lain adalah untuk penglihatan, integritas sel,
respon imun, hemopoesis, fertilitas, dan embriogenesis. Jadi ada 3 bentuk
vitamin A yang penting bagi tubuh yaitu retinol, beta karoten, dan

8
karotenoid. Dalam tubuh retinol merupakan bentuk dominan dari vitamin A.
Begitu diserap dalam saluran pencernaan, vitamin A dibawa ke hati untuk
disimpan.10 Saat dibutuhkan, vitamin A akan dilepas dalam bentuk retinol
yang akan berikatan dengan protein, bentuk dari ikatan tersebut disebut juga
retinol binding protein (RBP). RBP nantinya akan berikatan dengan sel-sel
reseptor yang dituju kemudian protein akan melepaskan retinol sehingga
dapat masuk kedalam sel yang dituju (Ansstas, 2012).
Kadar vitamin A dan RBP dalam darah dapat ditentukan dengan
menggunakan metode kromatografi cair tekanan tinggi (High Pressure
Liquid Chromatography / HLPC). Metode ini cukup akurat dan cepat. Nilai
vitamin A dalam plasma adalah 0.7 μmol/l (50 μg/l) sering didapatkan pada
orang dewasa sehat, tidak ada batasan jelas yang mengidentifikasikan
bahwa seseorang mengalami hipervitaminosis, tetapi kemungkinan diatas
3.5 μmol/l (100 μg/l). Pembagian tingkat status vitamin A berdasarkan
kadar vitamin A darah adalah <10 μg/l adalah indikasi kekurangan vitamin
A. 10-19 μg/l disebut rendah dan 20-50 μg/l disebut cukup sedangkan >50
μg/l disebut tinggi (Ansstas, 2012).
Salah satu fungsi dari vitamin A adalah berperan dalam proses
penglihatan. Pada proses penglihatan retina merupakan salah satu target sel
dari retinol dimana retinol yang telah berikatan dengan RBP akan ditangkap
oleh reseptor pada sel pigmen epitel retina yang akan dibawa ke sel-sel
fotoreseptor untuk pembentukan rodopsin. Rodopsin ini sangat berperan
terutama untuk penglihatan dalam cahaya redup sehingga tanda dini dari
defisiensi dari vitamin A adalah rabun senja (Ansstas, 2012)
Selain itu defisiensi vitamin A juga menyebabkan gangguan fungsi
barier seperti metaplasia sel gepeng dan kretinisasi jaringan epitel yang
biasanya mensekresi mukus yang terdapat di konjungtiva atau cairan yang
melapisi permukaan bola mata, serta gangguan dalam pertumbuhan sel-sel
epitel.10 Vitamin A berperan sebagai retinal (retinene) yang merupakan
komponen dari zat penglihat rhodopsin. Rhodopsin ini mempunyai bagian
protein yang disebut opsin yang menjadi rhodopsin setelah bergabung
dengan retinene. Rhodopsin merupakan zat yang dapat menerima rangsang

9
cahaya dan mengubah energi cahaya menjadi energi biolistrik yang
merangsang indera penglihatan (Ansstas, 2012).
Rhodopsin terdapat pada bagian batang (rods) dari sel-sel retina.
Dalam cones (kerucut) terdapat zat sejenis yang komponen proteinnya
berbeda dengan opsin; zat penglihat yang terdapat di dalam cones disebut
porphyropsin.Kekurangan vitamin A pada retina berpengaruh terhadap
rhodopsin dalam retina yang berfungsi untuk adaptasi mata dari tempat
yang terang menuju tempat yang gelap. Jika dibiarkan terus-menerus akan
menyebabkan gejala awal yaitu buta senja (Ansstas, 2012).
Gejala kekeringan mata pada defisiensi vitamin A yang disebut
xeroftalmia berturut-turut terdiri atas buta senja, xerosis conjunctiva dan
xerosis kornea yaitu kekeringan epitel biji mata dan kornea karena sekresi
glandula lacrimalis menurun. Kornea kemudian mengoreng karena sel-
selnya menjadi lunak disebut keratomalasia dan dapat mengakibatkan
kebutaan. Pada penyembuhan luka kornea ini dapat terjadi luka parut yang
terdiri atas jaringan yang tidak tembus cahaya. Luka parut ini kadang-
kadang membonjol keputihan (atau kemerahan) disebut leucoma (biji
kapas). Terdapat kelainan pada sklera di sebelah lateral dari kornea yang
disebut bercak Bitot. Kelainan ini tampak sebagai kumpulan gelembung-
gelembung busa sabun yang dapat dihapus dengan kapas dan
meninggalkan epitel kering dengan pigmen kecoklatan (Ansstas, 2012).
Umumnya keratomalasia timbul pada anak dengan defisiensi vitamin
A kronis yang menderita campak atau penyakit berat lainnya. Penderita
xeroftalmia sering juga ditemukan pada penderita malnutrisi energi
protein. Ciri histopatologis dari xeroftalmia berupa timbulnya bintik-bintik
kering pada epitel kornea dan konjungtiva, pembentukan filamen,
hilangnya sel goblet konjungtiva, pembesaran abnormal sel epitel non-
goblet, peningkatan stratifikasi sel, dan peningkatan keratinisasi (Ansstas,
2012).

2.6 Gejala Klinis

Kurang vitamin A (KVA) adalah kelainan sistemik yang


mempengaruhi jaringan epitel dari organ-organ seluruh tubuh, termasuk

10
paru-paru, usus, mata dan organ lain, akan tetapi gambaran yang
karakteristik langsung terlihat pada mata. Kelainan kulit pada umumnya
tampak pada tungkai bawah bagian depan dan lengan atas bagian
belakang, kulit tampak kering dan bersisik seperti sisik ikan. Kelainan ini
selain disebabkan karena KVA dapat juga disebabkan karena kekurangan
asam lemak essensial, kurang vitamin golongan B atau Kurang Energi
Protein (KEP) tingkat berat atau gizi buruk (Depkes RI,2003)

Gejala klinis KVA pada mata akan timbul bila tubuh mengalami
KVA yang telah berlangsung lama. Gejala tersebut akan lebih cepat timbul
bila anak menderita penyakit campak, diare, ISPA dan penyakit infeksi
lainnya. Tanda-tanda dan gejala klinis KVA pada mata menurut klasifikasi
WHO 1982 adalah sebagai berikut (Depkes RI,2003):

- XN : buta senja (hemeralopia, nyctalopia)

- XIA : xerosis konjungtiva

- XIB : xerosis konjungtiva disertai bercak bitot

- X2 : xerosis kornea

- X3A : keratomalasia atau ulserasi kornea kurang dari 1/3 permukaan


kornea.

- X3B : keratomalasia atau ulserasi sama atau lebih dari 1/3 permukaan
kornea

- XS : jaringan parut kornea (sikatriks atau scar)

- XF : fundus xeroftalmia, dengan gambaran seperti cendol.

XN, XIA, XIB, X2 biasanya dapat sembuh kembali normal dengan


pengobatan yang baik. Pada stadium X2 merupakan keadaan gawat darurat
yang harus segera diobati karena dalam beberapa hari bias berubah
menjadi X3. X3A dan X3B bila diobati dapat sembuh tetapi dengan
meninggalkan cacat yang bahkan dapat menyebabkan kebutaan total bila
lesi (kelainan) pada kornea cukup luas sehingga menutupi seluruh kornea

11
(optic zone cornea). Berikut adalah penjelasan mengenai masing-masing
tanda klinis tersebut (Depkes RI,2003)

1. Buta senja = Rabun Senja = Rabun Ayam= XN

Gambar 2. Buta Senja (Depkes RI,2003)

Buta senja yang terjadi akibat gangguan pada sel batang retina
merupakan gejala awal dan tersering pada defisiensi vitamin A akibat
disfungsi dari fotoreseptor sel batang pada retina. Pada keadaan ringan, sel
batang retina sulit beradaptasi di ruang yang remang-remang setelah lama
berada di cahaya terang. Penglihatan menurun pada senja hari, dimana
penderita akan mengeluhkan tak dapat melihat di lingkungan yang kurang
cahaya, sehingga disebut buta senja atau buta ayam (hemeralopia atau
nictalopia). (Depkes RI,2003)

Adapun untuk mendeteksi apakah anak menderita buta senja dapat


dilakukan dengan cara : (1) Bila anak sudah dapat berjalan, anak tersebut
akan membentur atau menabrak benda didepannya, karena tidak dapat
melihat, (2) Bila anak belum dapat berjalan, agak sulit untuk mengatakan
anak tersebut buta senja. Dalam keadaan ini biasanya anak diam memojok
bila di dudukkan ditempat kurang cahaya karena tidak dapat melihat benda
atau makanan di depannya. Kelompok resiko tinggi buta senja adalah usia
prasekolah (> 1 tahun) dan wanita hamil. Riwayat buta senja pada ibu

12
hamil didapatkan pada akhir masa kehamilan sampai 3 tahun setelah
melahirkan. Buta senja pada anak biasanya berespon baik pada 48 jam
pertama dengan terapi standar 200.000 IU vitamin A peroral (Depkes
RI,2003).

2. Xerosis konjungtiva = XIA

Gambar 3. Xerosis Konjungtiva (Depkes RI,2003)

Tanda-tanda xerosis konjungtiva antara lain adalah selaput lendir


bola mata tampak kurang mengkilat atau terlihat sedikit kering, berkeriput,
dan berpigmentasi dengan permukaan kasar dan kusam. Penderita akan
mengeluhkan tidak dapat melihat di sore hari (nocturnal amblyopia), Rasa
tidak nyaman pada mata seperti terasa panas , dan orang tua sering
mengeluhkan mata anak tampak kering atau berubah warna kecoklatan
(xerotic). Umumnya tahap ini selalu diikuti dengan xerosis kornea. Xerosis
konjungtiva menunjukkan suatu awal proses metaplasia keratinisasi pada
lapisan superfisial epitel dengan hilangnya sel-sel goblet penghasil mukus
yang disebabkan oleh defisiensi vitamin A dan lesi tidak mempengaruhi
tajam penglihatan (Depkes RI,2003)

3. Xerosis konjungtiva dan bercak bitot = X1B

13
Gambar 4. Xerosis Konjungtiva dan Bercak Bitot (Depkes RI,2003)

Tanda-tanda xerosis kojungtiva (X1A) ditambah bercak bitot, yang


akan dikeluhkan pasien sebagai bercak putih seperti busa sabun atau keju
terutama di daerah temporal atau celah mata luar dan hampir selalu
bilateral. Lesi di daerah nasal menunjukkan defisiensi lanjut. Bercak ini
merupakan suatu lapisan putih ireguler seperti gelembung atau busa sabun
yang menutupi lesi xerosis konjungtiva terdiri dari deskuamasi epitel yang
mengalami proliferasi dan keratinisasi disertai dengan pertumbuhan
bakteri (seperti corynobacterium xerosis) tanpa disertai sel goblet (Depkes
RI,2003)
Penumpukan atau kumpulan hasil deskuamasi keratin dan sel epitel
yang membentuk bercak ini merupakan tanda khas pada penderita
xeroftalmia, sehingga dipakai sebagai kriteria penentuan prevalensi kurang
vitamin A dalam masyarakat. Dalam keadaan berat akan tampak
kekeringan meliputi seluruh permukaan konjungtiva. Konjungtiva juga
tampak menebal, berlipat-lipat dan berkerut. Orang tua biasanya
mengeluhkan mata anaknya tampak bersisik. Standar terapi adalah dengan
vitamin A 200.000 IU pada 2 hari berturut-turut akan memberikan respon
klinis dalam beberapa hari walaupun pengobatan masih diperlukan
beberapa mingu sampai beberapa bulan (Depkes RI,2003)

4. Xerosis kornea = X2

14
Gambar 5. Xerosis Kornea (Depkes RI,2003)

Xerosis kornea merupakan keadaan gawat darurat medis, tampak


bilateral, granular, kornea suram tidak bercahaya dan berkabut, pada
pemeriksaan dengan senter kornea gambarannya seperti kulit jeruk.
Edema stroma merupakan keadaan yang sering ditemukan pada xerosis
kornea. Xerosis kornea yaitu adanya keratopati pungtata superfisisal yang
terjadi akibat kekeringan pada daerah kornea. Pada pasien dengan xerosis
kornea yang parah umumnya diikuti dengan defisiensi protein. Pasien akan
mengeluhkan pandangan mata menjadi kabur, penglihatan pasien menurun
pada ruangan terang, dan penderita melihat halo pada sekitar objek
(Depkes RI,2003)
Xerosis kornea ditandai oleh adanya kekeringan pada konjungtiva
berlanjut sampai kornea dimana penebalan plak keratinisasi dapat
ditemukan pada permukaan kornea biasanya di daerah interpalpebra.
Keadaan umum anak biasanya buruk pada kondisi ini (gizi buruk dan
menderita, penyakit infeksi dan sistemik lain). Xerosis kornea dapat
berkembang cepat menjadi ulkus dan keratomalasia bila tidak diterapi
dengan vitamin A dan terapi suportif lainnya (Depkes RI,2003)

5. Keratomalasia dan ulcus kornea = X3A, X3B

15
Gambar 6. X3A (Depkes RI,2003) Gambar 7. X3B (Depkes RI,2003)

Pada tahap X3A kerusakan lapisan kornea mengenai kurang dari


1/3 permukaan kornea dan pasien akan mengeluhkan penurunan
penglihatan yang ireversibel, sedangkan pada tahap X3B bila kelainan
sudah mengenai semua atau lebih dari 1/3 permukaan kornea dan pasien
akan menjadi buta total. Pada tahap ini kornea melunak seperti bubur dan
dapat terjadi ulkus dimana gambarannya tampak kecil, oval, defek
bergaung, sering pada daerah inferior, perifer permukaan kornea, disertai
injeksi konjungtiva, dan kadang ada hipopion. Ulkus dapat dangkal atau
dalam dan dapat menyebabkan perforasi. Terapi vitamin A biasa berespon
baik dimana perbaikan kornea terjadi disertai jaringan parut dan leukoma
adheren. Keratomalasia (perlunakan kornea) mencakup seluruh permukaan
kornea dimana lesi berwarna kuning keabuan. Biasanya satu mata lebih
berat dari yang lainnya (Depkes RI,2003)

Keadaan umum penderita biasanya dalam kondisi sangat buruk.


Pada tahap ini dapat terjadi perforasi kornea (kornea pecah).
Keratomalasia dan tukak kornea dapat berakhir dengan perforasi dan
prolaps jaringan isi bola mata dan membentuk cacat tetap karena
kerusakan pada lapisan stroma yang dapat menyebabkan kebutaan.
Keadaan umum yang cepat memburuk dapat mengakibatkan keratomalasia
dan ulkus kornea tanpa harus melalui tahap-tahap awal xeroftalmia
(Depkes RI,2003)

16
6. Xeroftalmia scar (XS) = sikatriks (jaringan parut) kornea

Gambar 8. Xeroftalmia scar (Depkes RI,2003)

Gejala sisa dari lesi kornea atau sikatriks kornea akibat atau
konsekuensi kebutaan dari proses perbaikan dari ulkus dan keratomalasia
yang bisa terletak di tepi ataupun di sentral. Kornea mata tampak menjadi
putih atau bola mata tampak mengecil. Bila luka pada kornea telah sembuh
akan meninggalkan bekas berupa sikatrik atau jaringan parut. Penderita
menjadi buta dan sudah tidak dapat disembuhkan walaupun dengan
operasi cangkok kornea. Parut kornea akibat defisiensi vitamin A harus
dibedakan dari parut kornea akibat penyebab lain seperti trauma atau
infeksi dengan memeriksa secara cermat riwayat pasien. Pada stadium ini
gejala yang dirasakan pasien bervariasi tergantung dari tingkat keparahan
penyakitnya. Keparahan gangguan penglihatan tergantung dari letak
sikatriks. (Depkes RI,2003)

7. Xeroftalmia Fundus (XF)

17
Gambar 9. Xeroftalmia Fundus, dengan Oftalmoskop pada Fundus Tampak
Gambaran Cendol (Depkes RI,2003)

Fundus xeroftalmia atau disertai kelainan fundus xeroftalmia yaitu


dimana pada fundus didapatkan bercak-bercak kuning keputihan yang
tersebar dalam retina, umumnya terdapat di tepi sampai arkade vaskular
temporal akibat defisiensi vitamin A berkepanjangan. Pada bagian ini
hanya dapat diamati dengan funduskopi, dan bila ditemukan maka akan
terjadi kebutaan yang tidak dapat disembuhkan (Depkes RI,2003).

2.7 Penegakan Diagnosis

Diagnosis xeroftalmia ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan khusus. Pemeriksaan laboratorium dapat digunakan
untuk mendukung diagnosis kekurangan vitamin A, bila secara klinis tidak
ditemukan tanda – tanda khas KVA, namun hasil pemeriksaan lain
menunjukkan bahwa anak tersebut risiko tinggi untuk menderita KVA.
Pemeriksaan laboratorium lain dapat dilakukan untuk mengetahui penyakit
lain yang dapat memperparah seperti pada penderita malaria, TBC,
Pneumonia dan gangguan funsi hepar. Pemeriksaan laboratorium dapat
dilakukan di Puskesmas, Rumah Sakit / Labkesda atau BKMM, sesuai dengan
ketersediaan sarana laboratorium (Samosir, 2015).
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk mengetahui faktor risiko tinggi yang
menyebabkan anak rentan menderita xeroftalmia. Secara lengkapnya,
anamnesis yang perlu ditanyakan kepada penderita atau keluarga penderita
adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2003):
a. Identitas penderita dan orang tua
1) Nama
2) Umur
3) Jenis kelamin
4) Jumlah saudara dalam keluarga
5) Jumlah saudara balita dalam keluarga

18
6) Anak ke berapa
7) Berat Lahir : Normal/BBLR
8) Nama ayah/ibu
9) Alamat/tempat tinggal
10) Pendidikan
11) Pekerjaan
12) Status Perkawinan
b. Keluhan Penderita
1) Keluhan Utama: Ibu mengeluh anaknya tidak bisa melihat pada
sore hari (buta senja) atau ada kelainan pada matanya. Kadang –
kadang keluhan utama tidak berhubungan dengan kelainan pada
mata seperti demam.
2) Keluhan Tambahan: Tanyakan keluhan lain pada mata tersebut dan
kapan terjadinya. Lalu upaya apa yang telah dilakukan untuk
pengobatannya.
c. Riwayat penyakit yang diderita sebelumnya
1) Apakah pernah menderita Campak dalam waktu < 3 bulan?
2) Apakah anak sering menderita diare dan atau ISPA?
3) Apakah anak pernah menderita Pneumonia?
4) Apakah anak pernah menderita infeksi cacingan?
5) Apakah anak pernah menderita Tuberkulosis?
d. Kontak dengan pelayanan kesehatan
Tanyakan apakah anak ditimbang secara teratur mendapatkan
imunisasi, mendapat suplementasi kapsul vitamin A dosis tinggi dan
memeriksakan kesehatan baik di posyandu atau puskesmas (cek dalam
buku KIA/ KMS anak).

e. Riwayat pola makan anak


1) Apakah anak mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan?
2) Apakah anak mendapatkan MPASI setelah umur 6 bulan?
Sebutkan jenis dan frekuensi pemberiannya.
3) Bagaimana cara memberikan makan kepada anak: Sendiri/
Disuapi.

19
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui tanda – tanda atau
gejala klinis dan menentukan diagnosis serta pengobatannya, terdiri dari
pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus atau pemeriksaan mata.
Pemeriksaan umum dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit –
penyakit yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan timbulnya
xeroftalmia seperti gizi buruk, penyakit infeksi dan kelainan fungsi hati.
Pemeriksaan mata untuk melihat tanda Xeroftalmia dengan menggunakan
senter yang terang (loop) (Kurihayashi, 2015).
Pemeriksaan umum meliputi pengukuran berat badan dan tinggi
badan (Antropometri) dan penilaian status gizi untuk mengetahui apakah
anak menderita gizi kurang atau gizi buruk. Sedangkan pemeriksaan
khusus dilakukan dengan cara memeriksa adanya tanda – tanda
xeroftalmia seperti kulit kering atau bersisik. Pemeriksaan mata digunakan
untuk melihat tanda Xeroftalmia dengan menggunakan senter yang terang
(loop). Pada pemeriksaan mata perlu diperhatikan hal – hal berikut
(Samosir, 2015) :
a. Apakah ada tanda kekeringan pada konjungtiva (X1A)
b. Apakah ada bercak bitot (X1B)
c. Apakah ada tanda – tanda xerosis kornea (X2)
d. Apakah ada tanda – tanda ulkus kornea dan keratomalasia (X3A/ X3B)
e. Apakah ada tanda – tanda sikatriks akibat xeroftalmia (XS)
f. Apakah ada gambaran seperti cendol pada fundus oculi dengan
opthalmoskop (XF)
2.8 Pemeriksaan Penunjang

a. Serum retinol merupakan pengukuran yang mahal tetapi langsung


menggunakan cairan kromatografi kinerja tinggi. Nilai kurang dari 0,7
mg/L pada anak – anak usia 12 tahun dianggap rendah (Gomes,
Saunders, Ramalho, 2009).
b. Pada penelitian serum retinol binding protein (RBP) lebih mudah
untuk dilakukan dan lebih murah dibandingkan serum retinol, karena
RBP adalah protein dan dapat dideteksi oleh tes imunologi. RBP juga

20
senyawa yang lebih stabil dari retinol sehubungan dengan cahaya dan
suhu. Namun, tingkat keakuratan RBP kurang akurat, karena
dipengaruhi oleh konsentrasi protein serum dan karena jenis RBP tidak
dapat dibedakan (Gorstein, Dary, Pongtorn, et al., 2008).
c. Uji adaptasi gelap (Garcia, Schwab, 2007).
d. Sitologi impresi konjungtiva. Dari pemeriksaan sitologi konjungtiva
didapatkan keberadaan sel goblet dan sel – sel epitel abnormal yang
mengalami keratinisasi (Garcia, Schwab, 2007).
e. Uji Schirmer. Untuk menilai kualitas air mata, menilai kecepatan
sekresi air mata dengan memakai kertas filter Whatman 41 bergaris 5
mm – 30 mm dan salah satu ujungnya berlekuk berjarak 5 mm dari
ujung kertas (Garcia, Schwab, 2007).
f. Pada anak – anak, film radiografi dari tulang panjang berguna saat
evaluasi untuk melihat pertumbuhan tulang dan untuk deposisi
berlebihan tulang periosteal (Ansstas, 2014).
g. Kadar albumin <2,5 mcg/dl, tetapi kadar albumin tidak bisa mengukur
secara langsung kadar vitamin A (Ansstas, 2014).
h. Uji fungsi evaluasi elektrolit harus dilakukan untuk mengevaluasi
status gizi dan volume elektrolit (Ansstas, 2014).

2.9 Tatalaksana

1. Terapi Lama
Pemberian Vitamin A rekomendasi WHO (1995)

Tabel 2.1 Pemberian vitamin A (WHO, 1995).


Waktu Dosis
Segera setelah diagnosis 110 mg retinyl palmitate atau 66 mg retinyl
acetate 200.000 IU) per oral
Hari berikutnya 110 mg retinyl palmitate atau 66 mg retinyl
acetate 200.000 IU) per oral
1 – 4 minggu, atau jika 110 mg retinyl palmitate atau 66 mg retinyl
kerusakan klinis terjadi, acetate 200.000 IU) per oral
atau 2-4 minggu
kemudian

21
Untuk penderita <1 tahun atau BB <8 kg dosis 100.000 IU, dan
untuk usia <6 bulan dosisnya 50000 IU.

2. Terapi Baru

Gambar 2.1 Jadwal dan dosis pemberian kapsul vitamin A


(Nurvalinda, 2012).

a. Pemberian Obat Mata


Obat tetes/ salep mata antibiotik tanpa kortikosteroid
(tetrasiklin 1%, Kloramfenikol 0.25 – 1% dan gentamisin 0.3%)
diberikan pada penderita X2, X3A, X3B dengan dosis 4 x 1 tetes/
hari dan berikan juga tetes mata atropin 1% 3 x 1 tetes/ hari.
Pengobatan dilakukan sekurang – kurangnya 7 hari sampai semua
gejala pada mata menghilang. Mata yang terganggu harus ditutup
dengan kasa selama 3 – 5 hari hingga peradangan dan iritasi
mereda. Gunakan kasa yang telah dicelupkan ke dalam larutan
Nacl 0,26 dan gantilah kasa setiap kali dilakukan pengobatan.
Lakukan tindakan pemeriksaan dan pengobatan dengan sangat
berhati – hati. Selalu mencuci tangan pada saat mengobati mata
untuk menghindari infeksi sekunder, Segera rujuk ke dokter
spesialis mata untuk mendapat pengobatan lebih lanjut
(Nurvalinda, 2012).

22
b. Terapi Gizi
1) Energi
Pada kasus gizi buruk, diberikan bertahap mengikuti fase
stabilisasi, transisi dan rehabilitasi, yaitu 80 – 100 kalori/
kgBB, 150 kalori/ kgBB dan 200 kalori/ kgBB (Oetama,
Djaeni, 2008).
2) Protein
Protein diberikan tinggi, mengingat peranannya dalam
pembentukan Retinol Binding Protein dan Rodopsin. Pada gizi
buruk diberikan bertahap yaitu: 1 - 1,5 gram/ kgBB/ hari ; 2 - 3
gram/ kgBB/ hari dan 3 - 4 gram/ kgBB / hari (Oetama, Djaeni,
2008).
3) Lemak
Lemak diberikan cukup agar penyerapan vitamin A optimal.
Pemberian minyak kelapa yang kaya akan asam lemak rantai
sedang (MCT=Medium Chain Tryglycerides). Penggunaan
minyak kelapa sawit yang berwarna merah dianjurkan, tetapi
rasanya kurang enak (Oetama, Djaeni, 2008).
c. Pemantauan dan Respon Pengobatan dengan kapsul vitamin A
XN : Reaksi pengobatan terlihat dalam 1 – 2 hari
setelah diberikan kapsul vitamin A.

XIA & XIB : Tampak perbaikan dalam 2 – 3 hari, dan gejala –


gejala menghilang dalam waktu 2 minggu.

X2 : Tampak perbaikan dalam 2 – 5 hari, dan gejala –


gejala menghilang dalam waktu 2 – 3 minggu.

X3A & X3B : Penyembuhan lama dan meninggalkan cacat


mata. Pada tahap ini penderita harus
berkonsultasi ke dokter spesialis mata Rumah
Sakit/BKMM agar tidak terjadi kebutaan.

d. Rujukan
1) Anak segera dirujuk ke puskesmas bila ditemukan tanda –

23
tanda kelainan XN, X1A, X1B, X2.
2) Anak segera dirujuk ke dokter Rumah Sakit/ Spesialis Mata/
BKMM bila ditemukan tanda – tanda kelainan mata X3A,
X3B, XS.
e. Tindakan Operatif
Tindakan operatif pada xeroftalmia berupa pemasangan
sumbatan di punctum yang bersifat temporer (kolagen) atau untuk
waktu yang lebih lama (silicon). Tindakan ini untuk menahan
sekret air mata. Penutupan puncta dan kanalikuli secara permanen
dapat dilakukan dengan terapi termal (panas), kauter listrik, atau
dengan laser (Priscilia et al, 2012).

2.10 Komplikasi

Pada awal perjalanan xeroftalmia, penglihatan sedikit terganggu. Pada kasus


lanjut dapat timbul ulkus kornea, penipisan kornea dan perforasi. Sesekali dapat
terjadi infeksi bakteri sekunder dan berakibat jaringan parut serta vaskularisasi
pada kornea yang memperberat penurunan penglihatan. Untuk komplikasi infeksi
bakteri sekunder diberikan antibiotik berupa topikal maupun sistemik. Antibiotik
topikal yang dapat diberikan seperti ciprofloxacin (0.3%) atau ofloxacin (0.3%).
Sedangkan antibiotik sisitemik yang dapat diberikan seperti ciprofloxacin 750 mg
dua kali dalam sehari atau sefalosporin (Priscilia et al, 2012).

2.11 Pencegahan

Prinsip dasar untuk mencegah xeroftalmia adalah memenuhi kebutuhan


vitamin A yang cukup untuk tubuh serta mencegah penyakit infeksi terutama
diare dan campak. Selain itu perlu memperhatikan kesehatan secara umum. Untuk
mencegah xeroftalmia dapat dilakukan: (Depkes RI, 2003)
1. Mengenal wilayah yang berisiko mengalami xeroftalmia (faktor sosial budaya
dan lingkungan dan pelayanan kesehatan, faktor keluarga dan faktor
individu).
2. Mengenal tanda – tanda kelainan secara dini.
3. Memberikan vitamin A dosis tinggi kepada bayi dan anak secara periodik,
yaitu untuk bayi diberikan setahun sekali pada bulan Februari atau Agustus

24
(100.000 SI), untuk anak balita diberikan enam bulan sekali secara serentak
pada bulan Februari dan Agustus dengan dosis 200.000 SI.
4. Mengobati penyakit penyebab atau penyerta.
5. Meningkatkan status gizi, mengobati gizi buruk.
6. Penyuluhan keluarga untuk meningkatkan konsumsi vitamin A /provitamin A
secara terus menerus.
7. Memberikan ASI Eksklusif.
8. Pemberian vitamin A pada ibu nifas (< 30 hari) 200.000 SI.
9. Melakukan imunisasi dasar pada setiap bayi.
Agar xeroftalmia tidak terjadi ulang diperlukan penyuluhan untuk
masyarakat dan keluarga, karena kejadian xeroftalmia tidak lepas dari lingkungan,
keadaan sosial ekonomi, pendidikan dan pengetahuan orang tua (terutama ibu).
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal tersebut diatas
adalah : (Depkes RI, 2003)
- Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) atau promosi kesehatan
Dilakukan dengan advokasi berupa lobi, pendekatan dan lain –
lain bentuk yang disertai dengan penyebarluasan informasi. Hal ini
perlu dilakukan untuk meningkatkan kepedulian dan tanggung jawab
para pengambil keputusan dan penentu kebijakan dan pemerintah
daerah mengenai masalah KVA dan dampaknya. Sosialisasi program
penanggulangan xeroftalmia perlu dilakukan terhadap petugas
kesehatan di Puskesmas, Rumah Sakit atau institusi pelayanan
kesehatan lainnya agar terjalin kerjasama lintas program maupun lintas
sektoral dalam pelaksanaan deteksi dan tatalaksana kasus Xeroftalmia.
Bina Suasana : dilakukan melalui forum komunikasi. Forum
komunikasi ini bermanfaat sebagai wahana yang mendukung
terlaksananya kegiatan KIE di berbagai sektor yang terkait dalam
kegiatan deteksi dan tatalaksana kasus Xeroftalmia. Gerakan
Masyarakat dilakukan melalui kampanye. Kegiatan ini dilakukan guna
memberdayakan keluarga dan masyarakat dalam program
penanggulangan KVA atau deteksi dan tatalaksana kasus Xeroftalmia.
Kegiatan konseling/konsultasi gizi dilakukan oleh tenaga kesehatan di

25
puskesmas dan Rumah Sakit pada sasaran ibu anak. Kegiatan ini
dilakukan agar ibu balita dapat memahami masalah xeroftalmia pada
anaknya, cara pencegahan dan penanggulangannya.
- Suplementasi Vitamin A
Dalam upaya pencegahan kasus xeroftalmia melalui
suplementasi vitamin A diperlukan perbaikan manajemen distribusi
melalui program dan pengembangan swadaya masyarakat dalam wujud
kemandirian penyediaan kapsul vitamin A yang. Melalui penyediaan
vitamin A mandiri nantinya diharapkan akan dapat menumbuhkan rasa
tanggung jawab masyarakat terhadap masalah KVA khususnya
xeroftalmia yang ada di masyarakat. Disamping itu hal tersebut akan
dapat mengurangi beban pemerintah untuk penyediaan kapsul vitamin
A.
Tabel 3. Suplementasi Vitamin A (Depkes RI, 2003)
Bayi berumur 6 – Tiap 3 – 6 bulan diberikan vitamin A secara oral dengan
11 bulan dosis 100.000 IU
Anak 1 – 6 tahun Tiap 3 – 6 bulan diberikan vitamin A secara oral dengan
dosis 200.000 IU
Wanita menyusui Diberikan secara oral dosis tunggal sebanyak 200.000 IU
dengan waktu pemberian:
- Saat bersalin
- 8 minggu pertama setelah persalinan pada
wanita yang menyusui
- 6 minggu pertama setelah persalinan pada
wanita yang tidak menyusui

- Fortifikasi
Kegiatan fortifikasi dapat dilakukan oleh pemerintah maupun
swasta melalui upaya memproduksi bahan makanan kaya vitamin A
yang dikonsumsi masyarakat luas. Pemerintah dalam hal ini perlu
menyediakan sarana yang memadai dan perangkat peraturan
perundangan yang dapat mendorong produsen bahan makanan
berperan aktif dalam kegiatan fotifikasi vitamin A. Disamping itu
adanya kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi bahan makanan
alami dan produk bahan makanan sumber vitamin A akan sangat
membantu kegiatan fortifikasi vitamin A dan secara tidak langsung
berpartisipasi dalam pencegahan xeroftalmia di masyarakat.

26
Penambahan vitamin A pada beberapa jenis makanan yang secara
alami kandungan vitamin Anya tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan tubuh per hari contohnya gandum, beras, teh, dan margarin.
Perlu ditambahan juha mikronutrient seperti preparat besi dan seng
yang membantu absorbsi vitamin A.
2.12 Prognosis

Prognosis pada stadium XN, XIA, X1B dan X2 adalah baik dengan syarat
pengobatan harus dilakukan secara dini dan tepat. Sedangkan pada stadium yang
lebih lanjut dimana telah terjadi kerusakan kornea dan dapat menyebabkan
kebutaan yang tidak dapat disembuhkan lagi maka prognosisnya jauh lebih buruk
(Depkes RI, 2003; Garcia-Ferrer FJ, Schwab IR, 2007).

27
BAB 3

RINGKASAN

Xeroftalmia merupakan suatu istilah yang menerangkan gangguan


kekurangan vitamin A pada mata, termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata
dan gangguan fungsi sel retina yang berakibat kebutaan. Xeroftalmia terjadi akibat
tubuh kekurangan vitamin A, dan bila ditinjau dari konsumsi sehari – hari
kekurangan vitamin A disebabkan oleh konsumsi makanan yang tidak
mengandung cukup vitamin A, bayi yang tidak diberikan ASI eksklusif, menu
tidak seimbang, adanya gangguan penyerapan vitamin A atau pro – vitamin A,
dan adanya kerusakan hati.
Tanda – tanda dan gejala klinis KVA pada mata dibagi menurut klasifikasi
WHO yaitu stadium XN, XIA, XIB, X2 yang biasanya dapat sembuh dan kembali
normal dengan pengobatan yang baik. Pada stadium X2 merupakan keadaan
gawat darurat yang harus segera diobati karena dalam beberapa hari bisa berubah
menjadi X3, X3A dan X3B yang bila diobati dapat sembuh dengan meninggalkan
cacat yang bahkan dapat menyebabkan kebutaan total bila lesi pada kornea cukup
luas sehingga menutupi seluruh kornea (optic zone cornea).

28
DAFTAR PUSTAKA

Ansstas, G. 2014. “Vitamin A Deficiency Treatment & Management”. Attending


Physician in Leukemia and Bone Marrow Transplant and Oncology,
Washington University School of Medicine. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/126004-treatment (diakses pada 17
Juli 2019).
Departemen Kesehatan RI. Tatalaksana Kasus Xeroftalmia Pedoman Bagi
Tenaga Kesehatan. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jendral Bina
Kesehatan Masyarakat. 2003.
Feroze Kaberi dan Evan J. Kaufman. 2019. “Xerophthalmia”. Statpearls
Publishing.
Garcia-Ferrer FJ, Schwab IR. 2007. Konjungtiva dalam Vaughan & Asbury
Oftalmologi Umum. Ed. 17. Jakarta. EGC. Hal 97 – 123.
Gomes MM, Saunders C, Ramalho A. 2009. Placenta: a possible predictor of
vitamin A deficiency. Br J Nutr.
Gorstein JL, Dary O, Pongtorn, et al. 2008. Feasibility of using retinol-binding
protein from capillary blood specimens to estimate serum retinol
concentrations and the prevalence of vitamin A deficiency in low-resource
settings. Public Health Nutr. 11(5):513-20.
Kurihayashi, A.Y., Augusto, R.A., Escaldelai, F.M.D. and Martini, L.A., 2015.
Vitamin A and D status among child participants in a food
supplementation program. Cadernos de Saúde Pública, 31(3), pp.531-542.
Oetama, S, Djaeni, A. 2008. Vitamin dalam Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan
Profesi. Jilid I. Jakarta: Dian Rakyat. Hal. 111-112.
Priscilia et al. 2012. “Referat Xeroftalmia”. Fakultas Kedokteran Universitas
Kristen Indonesia. Available at
https://www.scribd.com/doc/98074258/Referat-Xeroftalmia-Dr-Jannes
(diakses pada 17 Juli 2019).
Samosir, H., 2015. Hubungan Pengetahuan Bidan Tentang Vitamin A Dengan
Cakupan Pemberian Vitamin A Pada Ibu Nifas di BPS Wilayah Kerja
Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai Tahun 2013.
Silverthorn, Dee Unglaub. 2013. “ Fisiologi Manusia Sebuah Pendekatan
terintegrasi Edisi 6. EGC : Jakarta. Hal. 377-383
WHO. 1995. “Vitamin A Deficiency and Its Consequences”. Available at
http://www.who.int/nutrition/publications/vad_consequences.pdf (diakses
pada 17 Juli 2019).
WHO, 2014. “Xerophthalmia and Night Blindness for The Assessment of Clinical
Vitamin A Deficiency in Individuals and Populations”. VMNIS :
Switzerland

29

Anda mungkin juga menyukai