Anda di halaman 1dari 53

REFERAT

UVEITIS ANTERIOR

DISUSUN OLEH:

Moh Rizki Wardany 19710149

Pembimbing:

dr. Moh. Amarusmana, Sp.M


dr. Marisca, Sp. M

SMF ILMU PENYAKIT MATA


RSUD dr. M. SALEH KOTA PROBOLINGGO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2021/2022

i
LEMBAR PENGESAHAN

Referat ini telah disetujui oleh dokter pembimbing dari :

Nama : Moh Rizki Wardany

NPM : 19710149

Fakultas : Kedokteran

Universitas : UniversitasWijayaKusuma Surabaya

Kegiatan : KepanitraanKlinikIlmuPenyakit Mata

Judul Referat : Uveitis Anterior

Pembimbing : dr. M Amarusmana, Sp. M

Probolinggo, 14 Februari 2022

Pembimbing

Dr. Amarusmana, Sp. M

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tugas Referat ini sesuai dengan harapan dan
tepat pada waktunya.
Tugas Referat ini disusun untuk memenuhi syarat penilaian menurut kurikulum
pendidikan profesi di rumah sakit. Dalam penyusunan tugas ini, penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan dan dukungan,
sehingga tugas ini dapat selesai dengan baik. Oleh karena itu, sudah selayaknya penulis
mengucapkan terimakasih kepada:

1. dr. Moh. Ammarusmana., Sp.M sebagai kepala bagian kepaniteraan klinik SMF
Ilmu Penyakit Mata di RSUD dr. Moh. Saleh Probolinggo
2. dr. Marisca., Sp.M sebagai pembimbing tugas Laporan Kasus ini
3. Orang tua saya yang memberikan dukungan moral dan spiritual kepada penulis.
4. Teman – teman sejawat dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya
Kusuma RSUD dr. Mohammad Saleh Kota Probolinggo khususnya kelompok dokter
muda A1 yang telah memberikan masukan–masukan membangun.

Penulis menyadari akan segala keterbatasan kemampuan baik di bidang pengalaman


maupun sumber-sumber yang mendukung dalam hal menyusun tugas ini. Untuk itu penulis
memohon maaf atas kekurangan dan penulis mengharapkan kritik dan saran demi
kesempurnaan tugas ini. Untuk itu penulis ucapkan terimakasih. Penulis berharap semoga
referat ini dapat berguna bagi semua yang memanfaatkannya.

Probolinggo, February 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ......................................................................................................................... i

Halaman Pengesahan ............................................................................................................... ii

Kata Pengantar ......................................................................................................................... iii

Daftar Isi .................................................................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ....................................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah .................................................................................................. 2

1.3. Rumusan Masalah .................................................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Traktus Uvealis ................................................................... 3


1. Iris ..................................................................................................................... 4
2. Badan Siliaris .................................................................................................... 6
3. Choroid ............................................................................................................. 7
2.2. Uveitis Anterior
1. Definisi ............................................................................................................. 9
2. Epidemiologi .................................................................................................... 10
3. Patofisiologi ...................................................................................................... 11
4. Klasifikasi ......................................................................................................... 15
1) Granuloma .................................................................................................. 16
2) Simpatetik Opthalmika ................................................................................ 20
3) Non Granuloma ........................................................................................... 21
4) Klasifikasi Berdasarkan Infeksi Bakteri ....................................................... 24
a) Uveitis Leptorik..................................................................................... 24
b) Herpes zoster Uveitis ............................................................................. 24
c) Toxocariasis .......................................................................................... 24
5. Gejala ............................................................................................................... 25
6. Macam Autoimun yg Berkaitan Dengan Terjadinya Uveitis .............................. 34
iv
a. Juvenile Idiopathic Arthritis .................................................................. 34
b. Ankylosing Spondylitis ......................................................................... 35
7. Faktor Penyulit.................................................................................................. 40
8. Diagnosis Banding ............................................................................................ 40
9. Pemeriksaan Laboratorium dan Konsultasi ........................................................ 40
2.3. Hubungan Uveitis Anterior dengan Glaukoma Sekunder......................................... 44

BAB III KESIMPULAN


A. Kesimpulan............................................................................................................. 46
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 47

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Uveitis adalah salah satu bentuk kelainan intraokular yang paling umum
dimana peradangan yang terjadi melibatkan saluran uveal dan dapat terjadi
pada anak-anak dan dewasa muda. Ini termasuk dalam sekelompok besar
penyakit radang intraokular dari beragam etiologi yang ada (Mishra, Bishnu
Prasad.,dkk,2018).
Uveitis merupakan inflamasi yang terjadi di uvea. Uvea merupakan
struktur vaskuler pada mata yang terdiri atas iris, badan siliar dan koroid.
Reaksi inflamasi yang terjadi semakin memburuk karena etiologinya tidak
hanya disebabkan agen infeksius tetapi juga agen non infeksius seperti proses
autoimun (Artini, Widya .,2016).
Klasifikasi uveitis berdasarkan anatomi mata dibedakan menjadi uveitis
anterior, uveitis intermediet, uveitis posterior, dan panuveitis. Uveitis anterior
merupakan kejadian yang paling sering dari peradangan uvea dengan kejadian
yang bervariasi dalam populasi umum dari berbagai negara di seluruh dunia.
Uveitis dapat disebabkan oleh karena genetik, infeksi, lingkungan, penyakit
sistemik, dan reaksi imunologi, namun 20-30% kasus uveitis adalah idiopatik
(Sari, Kadek Ayu Dorinda.,dkk,2019).
Uveitis anterior didefinisikan sebagai adanya sel atau agregat seluler yang
terlihat di ruang anterior. Uveitis anterior adalah salah satu jenis yang paling
umum dari adanya peradangan mata. Penyakit ini dapat muncul sebagai: akut,
subakut, atau kronis (Harthan, Jennifer S.,dkk,2016).
Uveitis Anterior adalah inflamasi Di iris Dan badan siliar dengan gejala
nyeri, mata merah, foto phobia, dan penurunan tajam penglihatan. Diagnosis
uveitis ditetapkan berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan mata,
pemeriksaan laboratorium dan pencitraan. Terapi uveitis ditujukan untuk
menekan inflamasi, perbaikan struktur dan fungsi penglihatan, menghilangkan

1
nyeri serta foto phobia. Kortikosteroid dan immunosupresan merupakan obat
pilihan untuk mengatasi inflamasi sedangkan NSAID untuk mengurangi nyeri
dan sikloplegik untuk mencegah sinekia posterior (Sitompul,Ratna,2015).
Uveitis anterior terdiri dari 30% -73% dari semua kasus uveitis yang ada.
Uveitis anterior apabila mendapatkan penanganan secara dini tidak
menyebabkan banyak kelaianan/komplikasi. Namun, pengobatan yang
tertunda dan tidak memadai dapat menjadikan uveitis ini memiliki prognosis
yang kurang baik (Bajoria, Sushil Kumar dan Jyotirmay Biswas,2022).

1.2.Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, rumusan masalah pada makalah ini yaitu, apa
yang anda ketahui terkait dengan uveitis anterior?

1.3.Tujuan Makalah
Untuk mengetahui mengenai uveitis anterior, sehingga diaharapkan saat
lulus nanti kami (mahasiswa kedokteran) mengetahui cara tindakan dan KIE
yang tepat pada penderita uveitis anterior ini.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Dan Fisiologi Traktus Uvealis


Uvea adalah lapisan yang sangat vaskular yang melapisi sklera dan fungsi
utamanya adalah untuk memberikan nutrisi pada mata. Itu iris bertanggung
jawab untuk metabolisme segmen anterior, dengan difusi metabolit melalui
air. Itu badan siliaris mensekresikan akuos yang membasahi avaskular struktur
segmen anterior. Sayangnya, vaskularisasinya memungkinkan seringnya
keterlibatan saluran uveal pada penyakit vaskular sistemik, imun dan infeksi
(Sihota,2015).
Derivasi embriologis uvea ditelusuri ke jaringan mesoderm dan neural
crest. Uvea berada di dalam cangkang scleral dan menempel kuat di sclera
anterior, titik keluar vena vortex dan saraf optic posterior. Traktus uvealis
posterior (koroid) terikat secara internal oleh retina. Uvea berfungsi mensuplai
nutrisi ke berbagai struktur mata. Selain itu, elemen otot memiliki fungsi
sebagai kontrol iris dan badan siliaris, akomodasi lensa kristalin dan aliran
keluar cairan akuos humor (Stuntz, Michael.,dkk,2019).

Gambar 2.1 Anatomi Traktus Uvea (Augsburger,James J dan Paul Riordan Eva.,2015)

3
Traktus uveal terdiri dari koroid, badan siliaris, dan iris. Kelainan pada
daerah tersebut disebut juga sebagai "uveitis" yaitu menunjukkan adanya
peradangan pada iris (iritis, iridosiklitis), badan siliaris (uveitis intermediet,
siklitis, uveitis perifer, atau pars planitis), atau koroid (koroiditis). Uveitis
juga dapat terjadi secara sekunder akibat peradangan pada kornea (keratitis),
sklera (skleritis), atau keduanya (sclerokeratitis) (Augsburger,James J dan
Paul Riordan Eva.,2015).

1. Iris
Menurut Budiono,Sjamsu.,dkk (2013) dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Mata, Iris adalah bagian paling anterior dari traktus uvea yang
terdiri dari pembuluh darah, jaringan otot dan jaringan ikat. Iris
mempunyai lubang bulat ditengah yang disebut pupil. Pupil dapat
membesar dan mengecil. Saat membesar (midriasis) iris akan membentuk
lipatan-lipatan, sedangkan saat mengecil (miosis) iris cenderung datar.
Selain itu iris memiliki warna yang warna tersebut berasal dari sel
melanosit dan sel-sel pigment.
Elemen pembuluh darah di iris memberikan nutrisi mendukung
segmen anterior. Peningkatan kemampuan permea vaskular pada uveiti
menyebabkan kebocoran protein dan sel, menghasilkan sel dan suar yang
terlihat pada slit-lamp biomikroskopi. Secara mikroskopis, iris terdiri dari
lapisan-lapisan, Lapisan batas anterior, Stroma Tengah dan Epitel
posterior (Stuntz, Michael.,dkk,2019).
Iris memiliki fungsi sebagai pengatur jumlah cahaya yang masuk
dalam mata. Dalam menangkap cahaya iris dibantu oleh otot dilatators
pupil dan sfinghter pupil. Otot dilatators pupil digunakan saat midriasis,
sedangkan sfinghter pupil digunakan saat miosis. Ukuran pupil pada
dasarnya ditentukan oleh keseimbangan antara kontraksi akibat dari
aktivitas parasimpatik yang ditransmisikan melalui saraf cranial ketiga dan

4
dilatasi akibat aktivitas simpatik dari kedua otot tersebut
(Budiono,Sjamsu.,dkk.,2013)

Gambar 2.2 Anatomi Iris, badan seliar dan jaringan disekitarnya


(Budiono,Sjamsu.,dkk,2013)

Gambar 2.3 Histologi Iris (Stuntz, Michael.,dkk,2019)

5
Iris memiliki banyak serabut saraf sensorik yang berasal dari saraf
trigeminal. Spichter pupil mendapat suplai dari serabut saraf secretomotor
otonom saraf parasimpatik yang berasal dari saraf okulomotor.
Sedangkan saraf motorik otot dilator berasal dari saraf simpatik
(Sihota,Ramanjit dan Radhika tandon, 2015).

Menurut Ahmed,E.,2011 dalam buku Comprehesinsive Manual Of


Ophtalmology, iris memiliki ketebalan 0.5mm dan berdiameter 12 mm.

2. Badan Siliar
Menurut Gnanadoss,A Samuel,2009 dalam buku Clinical
Ophtalmology Made Esay, menyatakan bahwa badan siliar memiliki otot
yang dinamakan otot siliaris. Badan siliar memiliki serat berbentuk
longitudinal, yang melingkar dan radial. Selai itu pada badan siliar juga
terdapat epitel pigmen anterior dan epitel non pigmen posterior. Dan
kedua epitel ini akan menuju ke iris.
Badan siliaris memanjang dari akar iris dan berlanjut posterior di luar
ora serrata sebagai koroid. Silia tubuh dibagi menjadi dua bagian, Bagian
anterior dengan banyak lipatan (pars plicata), Bagian posterior yang halus
(pars plana). Pars plicata berisi sekitar 70-80 radial menempatkan
proyeksi seperti jari yang dikenal sebagai proses siliaris. Di antara
prosesus siliaris terdapat lembah Kuhnt dimana ligamen suspensorium
dari sisipan lensa. Lapisan terdalam dari badan siliaris adalah yang tidak
berpigmen epitel, yang merupakan kelanjutan anterior dari lapisan
fotoreseptor retina. Epitel yang tidak berpigmen berlanjut ke anterior
sebagai epitel berpigmen posterior iris. Saat sel melanjutkan dari iris ke
badan siliaris, sel menjadi lebih kecil dan mengandung lebih sedikit
butiran melanin (Stuntz, Michael.,dkk,2019).
Badan siliar berwarna hitam. Badan siliar ini terletak 1,5 mm dari
persimpangan sclerocorneal (scelar spur) dan memanjang sekitar 6 mm ke
arah belakang ora serrata. Pada sclera terdapat ruang suprachoroidal yang

6
menginervasi antara sclera dan badan siliar. Badan siliar merupakan
kelanjutab dari lapisan koroid dan retina. Terdapat dua hal penting yang
berhubungan dengan badan siliar, antara lain:
1) Mengendurnya ligament suspensori yang menyebabkan penurunan
ketegangan pada kapsul lensa yang diikuti dengan permukaan lensa
anterior menjadi lebih cembung saat akomodasi
2) Terbukanya ruang trabekuler akibat tarikan kebelakang pada sclera
splur dapat membantu drainase aquous (Ahmed,E.,2011).

Gambar 2.4 Histologi Badan silier (Stuntz, Michael.,dkk,2019)

3. Choroid
Choroid merupakan bagian posterior dari traktus uvea yang letaknya
diantara retina dan sclera dengan ketebalan kurang lebih 0.25 mm.
Choroid terletak dengan Bruch’s membrane dan juga pada choroid
terdapat ruang suprakoroid. Pada bagian posterior, koroid melekat dengan
tepi saraf optikus, dan pada bagian anterior melekat pada badan siliar
(Budiono,Sjamsu.,dkk ,2013).
Choroid memiliki pembuluh darah yang tersusun dalam tiga lapisan
yang terletak di jaringan kolagen. Pasokan arteri ke iris dan badan siliar

7
berasal dari artery ciliary posterior dan anterior yang panjang melalui
circulus arteriosus mayor dan minor. Patologi umum saluran uvea adalah
peradangan (Gnanadoss,A Samuel,2009).
Menurut Budiono,Sjamsu.,dkk (2013) dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Mata, choroid terdiri atas tiga lapisan pembuluh darah, antara
lain:
1) Choriocapillaris (lapisan paling dalam)
2) Lapisan tengah (pembulu darah kecil)
3) Lapisan luar paling atas (pembulu darah besar)

Gambar 2.5 Penampang melintang choroid (Budiono,Sjamsu.,dkk, 2013)

Koroid adalah lapisan struktur spons, tipis, sangat vascular permukaan


bagian dalam sklera dari ora serrata ke optic saraf. Permukaan dalamnya
yang halus menempel pada Bruch's membran, yang terus menempel pada
pigmen retina epitel. Lapisan koroid dari luar ke dalam meliputi: lamina
suprachoroidal (lamina fusca), stroma, dan choriocapillaris. Lamina
suprachoroidal terdiri dari fibroblas, melanosit, dan serat kolagen. Ini

8
menutupi ruang suprachoroidal di mana ciliary posterior panjang saraf
dan arteri yang terkandung (Stuntz, Michael.,dkk,2019).

2.2 Uveitis Anterior


1. Definisi
Menurut Buku Pedoman Diagnosis Dan Terapi Smf Ilmu Penyakit
Mata Edisi III 2006 RS Sutomo Surabaya mengatakan bahwa, Uveitis
anterior merupakan radang akut yang terjadi pada jaringan iris, badan
silier ataupun keduanya.
Sedangkan, menurut Buku Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima
Ilyas,Sidarta dan Sri Rahayu Yulianti.,2019, Uveitis anterior merupakan
keradangan pada uvea yang apabila mengenai bagian depan jaringan uvea
atau selaput pelangi disebut sebagai iritis. Apabila mengenai bagian
tengah uvea disebut siklitis. Dan apabila iritis disertai dengan siklitis
disebut uveitis anterior. Serta apabila mengenai bagian selaput hitam
bagian belakang mata disebut sebagai uveitis posterior (koroiditis).
Menurut Bowling, Brad tahun 2016 dalam buku Kanski’s Clinical
Ophtalmology Edisi 8 menyatakan bahwa, Uveitis anterior adalah
peradangan yang melibatkan uveal anterior saluran – iris dan bagian
anterior (pars plicata) dari ciliary tubuh – dan merupakan bentuk uveitis
yang paling umum. Iritis merujuk peradangan terutama yang melibatkan
iris, dan iridosiklitis keterlibatan iris dan badan siliaris anterior; dalam
praktiknya ini dapat dipertukarkan karena tidak dapat dibedakan secara
klinis.

Gambar 2.6 Klasifikasi Letak Uveitis (Bowling, Brad.,2016)

9
2. Epidemiologi
Insiden uveitis di negara berkembang sebanyak 714 per 100.000
populasi dan 25% diantaranya menjadi penyebab kebutaan. Negara
berkembang khususnya negara tropis memiliki iklim dan patogen yang
berbeda-beda dengan negara maju sehingga prevalensi penyakit uveitis
akibat infeksi seperti toxoplasma dan tuberculosis lebih tinggi (Sari,
Kadek Ayu Dorinda.,dkk,2019).
Uveitis anterior adalah jenis yang paling umum dari semua entitas
uveitik (57,4%). Berdasarkan gambaran klinis keseluruhan, bentuk
unilateral akut, non-infeksi dan non-granulomatosa lebih sering terjadi.
Usia rata-rata saat presentasi adalah 38,3 tahun dan umumnya menyerang
usia paruh baya (17-59 tahun). Ini lebih sering terjadi pada pria (61,3%)
dibandingkan dengan wanita (38,6%). Uveitis anterior adalah bentuk
uveitis yang paling umum dan menyumbang kejadian tahunan sekitar 17
kasus per 1, 00.000 penduduk (Mishra, Bishnu Prasad.,dkk,2018).
Uveitis anterior adalah salah satu jenis peradangan mata yang paling
umum yang akan dihadapi oleh praktisi perawatan mata. Ini dapat muncul
sebagai akut, subakut, atau kronis. Diperkirakan 14–17 kasus per 100.000
dan 38.000 kasus baru dikonfirmasi setiap tahun di AS. Uveitis
menyumbang 10% (30.000 kasus baru setiap tahun) kebutaan hukum di
AS, dan dapat mempengaruhi semua usia, meskipun paling sering terjadi
pada individu pada dekade ketiga dan keempat. Dalam keadaan tertentu,
tubuh menghasilkan respon inflamasi yang normal sebagai mekanisme
perlindungan untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Dalam kasus kronis
atau tidak terkontrol, infiltrasi berlebihan neutrofil, makrofag, dan limfosit
dapat menyebabkan kerusakan permanen pada jaringan ocular (Harthan,
Jennifer S.,dkk,2016).

10
3. Patofisiologi
Menurut Buku Pedoman Diagnosis Dan Terapi Smf Ilmu Penyakit
Mata Edisi III 2006 RS Sutomo Surabaya mengatakan bahwa, radang akut
pada uveitis diawali dengan adanya dilatasi pembuluh darah kecil yang
kemudian diikuti oleh eksudasi, sehingga jaringan iris edema, pucat dan
reflex menjadi lebih lambat. Eksudasi fibrin dan sel radang masuk ke bilik
mata depan, maka aqous humor akan menjadi keruh yang dinamakan flare
dan sel positif. Bila sel radang mengumpul dan mengendap dibagian
bawah bilik mata depan dinamakan hipopion, dan apabila mengendap di
endotel kornea dinamakan keratik presipitat.

Gambar 2.7 Signs of acute anterior uveitis. (A) Ciliary injection; (B) miosis; (C)
anterior chamber cells in mild anterior uveitis; (D) hypopyon (Bowling,
Brad.,2016)

Menurut Ichhpujani, Parul tahun 2020 dalam buku Current Practices


in Ophthalmology Uveitis menyatakan bahwa, penyebab uveitis terbagi
dua yaitu infeksi dan non infeksi. Uveitis anterior noninfeksi dikaitkan
dengan berbagai manifestasi klinis dan hubungan sistemik, pengetahuan

11
yang muncul mengenai patogenesisnya kemungkinan beragam. Meskipun
hubungan antara HLA B27 dan uveitis ditemukan pada tahun 1972, peran
pastinya dalam memicu respons inflamasi sebagian besar masih belum
diketahui. Ada teori mengenai kemungkinan pemicu infeksi yang
menyebabkan mimikri molekuler, dengan self-peptida yang diidentifikasi
pada pasien dengan anky lost spondylitis. Bacille Calmette-Guerin (BCG)
dikenal sebagai pemicu bakteri untuk uveitis dan artritis reaktif. Dalam
penelitian pada hewan, tikus yang disuntik BCG telah mengembangkan
spondyloarthritis berikutnya, uretritis, dan uveitis. Asosiasi dengan
mikrobioma usus adalah bidang minat yang muncul, karena banyak kasus
uveitis atau artritis reaktif mengikuti gastroenteritis basilus gram negatif.
Penelitian pada hewan sekarang menunjukkan bahwa HLAB27 memang
mempengaruhi mikrobioma usus pada hewan pengerat. Ada teori
mengenai kemungkinan peningkatan permeabilitas usus terhadap antigen
bakteri yang dapat memicu peradangan baik dari paparan antigen
langsung di jaringan mata atau menjadi predisposisi mimikri molekuler
atau perubahan lain dalam repertoar atau respons imun. Gen lain juga
telah dikaitkan dengan uveitis anterior HLA B27, beberapa
mempengaruhi respons sel T, yang mendukung gagasan beberapa faktor
yang mungkin berperan. Langkah juga telah dibuat dalam
mengidentifikasi penanda genetik dan imun spesifik pada penyakit
sistemik lain yang terkait dengan uveitis anterior noninfeksi. Sarkoidosis
telah terbukti melibatkan sebagian besar proses yang diperantarai limfosit
T CD4+ . Penyakit Behcet telah dikaitkan dengan haplotipe HLA B51
dan telah terbukti melibatkan sel T dan neutrofil. Sarkoidosis dan Behcet
keduanya telah dikaitkan dengan tingkat interleukin 2 dan interferon
gamma yang lebih tinggi . JIA telah dikaitkan dengan beberapa gen, dan
JIA dengan uveitis telah dikaitkan dengan HLA-A(∗)02:06 dalam kohort
Jepang . Peradangan melibatkan respons sel T dan sel B dengan

12
konsentrasi tinggi faktor nekrosis tumor alfa, interleukin 6, dan
interleukin-1.

Gambar 2.8 Uveitis Infeksi dan Infeksi (Ichhpujani, Parul,2020)

Menurut Sihota tahun 2015, Uveitis anterior dikarenakan infeksi


biasanya berhubungan dengan adanya peradangan iris yang pada dasarnya
memiliki karakteristik yang sama seperti pada jaringan ikat lainnya.
Dilatasi pembuluh darah terjadi dengan kerusakan dinding kapiler dan
eksudasi cairan kaya protein ke dalam ruang jaringan dengan infiltrasi
leukosit atau limfosit. Karena vaskularisasi iris yang ekstrem, distribusi
pembuluh yang khas dan stroma yang longgar, hiperemia cenderung
menyebabkan pupil berkontraksi secara mekanis karena disposisi radial
pembuluh darah. Eksudasi dan pembengkakan dalam jumlah yang luar
biasa besar menyebabkan iris menjadi seperti spons yang terendam air
yang penuh dengan cairan lengket sehingga gerakannya terganggu, dan
reaksi pupil yang normal menjadi lamban atau hilang. Cairan ekstravasasi

13
juga mengandung zat-zat yang bertindak sebagai iritan yang
menyebabkan serat otot berkontraksi, dan karena sfingter di atas terjadi
kerja otot dilator, konstriksi pupil terjadi. Oleh karena itu pada iritis pupil
menyempit, reaksinya lamban, dan pola halus iris, bukannya jelas dan
tegas, menjadi kabur dan tidak jelas (iris 'muddy'). Warna mengalami
perubahan yang dapat dipertimbangkan; iris biru menjadi hijau kebiruan
atau kekuningan; iris coklat menunjukkan sedikit perbedaan, tetapi
menjadi abu-abu atau coklat kekuningan. Perbandingan warna kedua iris
biasanya akan menunjukkan beberapa perbedaan, karena iritis umumnya
unilateral selama serangan akut. Hiperemia juga bermanifestasi dalam
kongesti silia sirkumkornea, yang paling jelas jika korpus siliaris terlibat
secara serius. Karena iris kaya akan suplai saraf sensorik dari divisi
oftalmik saraf trigeminal, nyeri, biasanya lebih buruk pada malam hari,
merupakan gejala yang menonjol dari iritis akut. Tidak terbatas pada
mata, meskipun nyeri saraf berat dirasakan di sini, tetapi juga menjalar ke
cabang saraf lainnya, terutama ke dahi dan kulit kepala, ke pipi dan tulang
malar, dan kadang-kadang ke hidung dan gigi. Eksudat albuminus keluar
ke bilik mata depan dan, terutama jika badan siliaris terlibat, cairan
menjadi plasmoid yang mengandung leukosit dan serpihan protein
terkoagulasi, atau bahkan jaringan fibrinosa pada kasus yang parah. Oleh
karena itu menjadi kabur, membentuk 'suar' seperti susu di sorot lampu
celah yang, saat melintasi bilik mata depan, seharusnya tidak terlihat
(lihat Gambar 11.9). Kekeruhan ini mengganggu pandangan yang jelas
dari iris dan mudah disalahartikan sebagai kekaburan kornea. Dalam
kasus yang sangat intens, leukosit polimorfonuklear keluar dan tenggelam
ke dasar bilik mata depan untuk membentuk hipopion. Hifaema, atau
darah di bilik mata depan, jarang terjadi.

14
Gambar 2.9 Normal corneal endothelium as photographed by specular
microscopy. A quasi-regular array of hexagonal cells, all having nearly the same
area, is seen ( Sihota, 2015)

4. Klasifikasi
Menurut Stuntz, Michael.,dkk tahun 2019 dalam buku Atlas Uveitis
menyatakan bahwa. Setelah diagnosis sebagai uveitis anterior
dikonfirmasi, uveitis dibagi menjadi dua yaitu uveitis non granulomatosa
atau granulomatosa. Uveitis anterior granulomatosa ditandai dengan KP
(Keratic precipitates) yang memiliki "volume". KP non-granulomatosa
muncul sebagai "debu" pada permukaan endotel kornea. KP
granulomatosa putih berukuran sedang dan besar disebut KP “mutton fat”.
Gambaran karakteristik lain dari uveitis granulomatosa adalah nodul
Koeppe dan Busacca di tepi pupil (Koeppe) atau di dalam stroma iris
(Busacca). Synechiae umum terjadi pada peradangan yang lebih jelas. Di
FUS, KP bersifat granulomatosa karena berukuran sedang, terstruktur, dan
biasanya berbentuk seperti bintang. Istilah uveitis granulomatosa
sebenarnya keliru karena istilah histopatologis digunakan untuk
menggambarkan kondisi klinis berdasarkan gambaran klinis tertentu
termasuk KP spesifik dan nodul iris, di antara tanda klinis lainnya.
Awalnya, istilah klinis uveitis granulomatosa masih didasarkan pada

15
adanya lesi granulomatosa secara histopatologis yang saat ini tidak selalu
menjadi kasus Meskipun perbedaan klinis antara granulomatosa dan non-
granulomatosa adalah klasifikasi yang sangat berguna, pembagiannya
tidak mutlak. . Uveitis granulomatosa awalnya dapat muncul sebagai non-
granulomatosa sebelum mengambil aspek granulomatosanya. Di sisi lain,
ketika KP berdebu sangat banyak dan tebal, mereka dapat disalahartikan
sebagai granulomatosa. Setelah pemeriksaan awal, seseorang harus dapat
mengkategorikan uveitis anterior menjadi granulomatosa versus non-
granulomatosa. Pemeriksaan lebih lanjut akan tergantung pada
kategorisasi ini.

Gambar 2.10 Sindrom uveitis Fuchs dengan nodul iris, anterior


reaksi bilik tetapi tidak ada bukti sinekia posterior (Stuntz, Michael.,dkk, 2019)
1) Granuloma
Sebelum mendapatkan tes diagnostik apa pun, penting untuk
menyingkirkan sindrom uveitis Fuchs (FUS) karena kondisi
granulomatosa ini, bila cukup khas, tidak memerlukan pemeriksaan
atau pengobatan. Kondisi ini biasanya muncul dengan Keratic
precipitates. Lebih-lebih lagi, pengobatan kortikosteroid tidak boleh
digunakan di FUS untuk menghindari efek samping dari pengobatan
yang biasanya tidak berdampak pada proses inflamasi. Hal ini juga
relevan untuk mengecualikan posterior keterlibatan segmen dengan

16
inflamasi segmen anterior spillover. Luapan anterior uveitis
granulomatosa dapat terjadi pada kondisi yang sangat inflamasi seperti
toksoplasma retinokoroiditis. Penyebab paling umum dari uveitis
granulomatosa anterior termasuk sarkoidosis, tuberkulosis, dan etiologi
virus. Peningkatan tekanan intraokular harus meningkatkan kecurigaan
kemungkinan etiologi virus dan orang harus melihat fitur klinis lain
dari uveitis virus termasuk: cacat transiluminasi iris, pengurangan
sensasi kornea, di antara fitur lainnya. Untuk membedakan antara
tuberkulosis dan sarkoidosis, tes kulit tuberkulin (TST) dapat
dilakukan yang menunjukkan infeksi sekarang atau masa lalu dengan
mycobacterium tuberculosis. Di antara pasien dengan sarkoidosis, tes
kulit tuberkulin mungkin negatif. TST negatif, terutama yang
divaksinasi BCG populasi, merupakan indikator kuat terhadap
sarkoidosis. Tes laboratorium tambahan dilakukan termasuk serum
angiotensinconverting enzyme (ACE) dan lisozim. Penting untuk
diingat bahwa kadar ACE secara normal dapat meningkat pada anak-
anak dan rendah pada pasien yang menggunakan ACE inhibitor dan
kortikosteroid sistemik, dan kadar lisozim serum cenderung meningkat
secara progresif pada orang tua. Oleh karena itu penting untuk
melakukan kedua tes. Komputerisasi yang ditingkatkan kontras
tomografi (CECT) dada berguna pada pasien ini untuk mendeteksi
limfadenopati hilus pada sarkoidosis dan dapat diikuti dengan biopsi di
bawah pengawasan ahli paru untuk menetapkan diagnosis
histopatologi sarkoidosis. Ketika tes Mantoux (tes kulit tuberkulin)
adalah positif, dengan adanya tanda klinis yang sesuai seperti uveitis
anterior granulomatosa, sinekia posterior berbasis luas, dan KP lemak
kambing, ini harus meningkatkan kecurigaan a uveitis granulomatosa
tuberkulosis. Tes penting yang dilakukan selain kulit tuberkulin
pengujian adalah uji pelepasan interferon gamma (QuantiFERON TB
gold). Dalam tes ini, limfosit pasien diuji secara in vitro untuk

17
mendeteksi apakah ada limfosit bereaksi in vitro ketika diletakkan di
hadapan protein spesifik yang berasal dari mycobacterium
tuberkulosis. Ketika limfosit pasien melepaskan gamma interferon, itu
berarti bahwa pasien telah terpapar bakteri, dan tuberkulosis harus
diteliti secara aktif. CECT dari dada dilakukan pada pasien ini untuk
mendeteksi adanya kalsifikasi kelenjar getah bening hilus tua atau
Ghon's fokus yang akan menunjukkan paparan masa lalu terhadap
Mycobacterium tuberculosis. Dalam kasus di mana semua ini bukti
yang menguatkan tidak jelas dan dicurigai TB, PCR dari aqueous
humor mungkin dilakukan. Penting untuk diingat penyebab infeksi lain
dari uveitis granulomatosa anterior seperti virus. Seperti disebutkan
sebelumnya, TIO tinggi pada presentasi dan atrofi iris harus
meningkatkan kecurigaan kemungkinan etiologi virus. Tanda-tanda
klinis yang sangat sugestif dari herpes simpleks/zoster uveitis adalah
hipertensi okular, atrofi iris, dan hifema (ditemukan baik pada herpes
simpleks dan uveitis varisela-zoster). Konfirmasi laboratorium uveitis
anterior herpes simpleks/zoster dapat diperoleh dengan mendeteksi
produksi antibodi intraokular dalam aqueous humor (Koefisien
Goldmann-Witmer). Paracentesis berair dapat dilakukan dalam kasus
ini ketika di keraguan untuk mendeteksi keberadaan DNA virus
menggunakan reaksi berantai polimerase. Polimerase negatif reaksi
berantai secara efektif menyingkirkan infeksi virus. Parasentesis bilik
mata depan dapat dilakukan pada uveitis yang diduga herpetik tetapi
tidak berespons terhadap kombinasi klasik antivirus sistemik dan terapi
antivirus topikal untuk mencari DNA cytomegalovirus dalam air.
Serologi sifilis dilakukan baik secara rutin atau dalam kasus riwayat
positif di antara pasien dengan uveitis granulomatosa anterior. Dalam
kasus diagnosis yang tidak terdefinisi, serologi untuk Lyme borreliosis
adalah: dilakukan dengan keterbatasan yang diketahui dari nilai
serologi positif. Ada yang langka lainnya kondisi yang dapat dikaitkan

18
dengan uveitis granulomatosa anterior seperti multiple sclerosis (MS).
Temuan segmen posterior seperti periphlebitis dan vitritis biasanya
hadir pada pasien dengan NONA. MS juga dapat muncul sebagai
uveitis menengah. Meskipun uveitis mungkin satu-satunya presentasi
fitur MS, riwayat menyeluruh yang kompatibel dengan MS seperti
gangguan neurologis, multiple cacat saraf kranial, dan neuroimaging
termasuk MRI otak harus dipertimbangkan.

Gambar 2.11 Stellate keratic Gambar 2.12 Highly magnified


view of fresh KP in early anterior
precipitates
uveitis

Gambar 2.13 Koeppe’s nodules (at


the pupillary edge) pada pasien
tubercular anterior uveitis

19
2) Simpatetik Opthalmika
Menurut Ilyas, Sidarta tahun 2019. Oftalmika Simpatika
merupakan uveitis granulomatosa bilateral dengan gejala pengelihatab
menurun diserati mata merah. Penyebabnya yaitu akibat trauma
tembus atau bedah mata intraocular, terjadi 5 hari sampai 60 tahun dan
90% terjadi dalam 1 tahun. Penyebabnya belum jelas, akan tetapi di
prediksi berhubungan dengan sel-sel berpigmen di uvea. Gejalanya
berupa gangguan binocular akomodasi atau tanda radang ringan uvea
anterior ataupun posterior, rasa sakit, fotofobia pada kedua mata.
Pada bilik mata terdapat reaksi intraocular berat berupa mutton fat
deposit pada dataran belakang kornea, nodule kecil berpigmen pada
lapisan epitel pigmen retina, dan uvea menipis. Iris terdapat nodul
infiltrasi, sinekia anterior perifer, neovaskularisasi iris, okulsi pupil,
katarak, abalsi rerina eksudatif, dan papilitis. Infiltrat koroid multifokal
berkembang di pertengahan tepi, dengan infiltrat sub-RPE sesuai dengan
nodul Dalen-Fuchs. Ablasi retina eksudatif, vaskulitis, dan pembengkakan
cakram optik semuanya dapat terjadi. Saat peradangan mengendap, jaringan
parut chorioretinal sisa dapat memberikan penampilan 'cahaya matahari
terbenam' yang mirip dengan VKH (sindrom Vogt – Koyanagi – Harada)
(Kan’ski, 2016).

Gambar 2.15 Mutton-fat keratic


Gambar 2.14 Large ‘mutton fat’
precipitates in a patient with
keratic precipitates tubercular anterior uveitis

20
Pengobatan pada simpatika oftalmika yaitu dengan enukleasi mata
yang buta sebelum mata tersebut menimbulkan reaksi simpatis.
Biasanya dilakukan antara 7-14 hari setelah trauma. Enukleasi
dilakukan pada mata dengan visus nol walaupun oftalmika simpatika
telah terjadi (Ilyas, Sudarta, 2019).
Enukleasi mata yang cedera parah pada minggu pertama atau lebih
setelah cedera secara historis dianggap efektif dalam mencegah atau
mengurangi keparahan SO, tetapi ada beberapa bukti bahwa efek yang
sedikit berguna diberikan, terutama dengan standar modern untuk
perbaikan bedah. Ini mungkin dipertimbangkan untuk cedera mata
dengan prognosis visual tanpa harapan. Pengeluaran secara
konvensional dipandang tidak memadai, meskipun bukti terbaru telah
meningkatkan kemungkinan efek perlindungan asalkan semua jaringan
uveal diangkat. Penggunaan Steroid adalah dasar pengobatan.
Prednisolon oral dosis tinggi diberikan selama beberapa bulan, dan
diturunkan secara bertahap sesuai respons. Inisiasi dengan
metilprednisolon intravena dapat digunakan dalam beberapa kasus.
Steroid topikal tambahan dan sikloplegik dapat diberikan untuk
menargetkan uveitis anterior, dan steroid peri- dan intraokular,
termasuk implan intravitreal lepas lambat, dapat memfasilitasi
pengurangan pengobatan sistemik. Selain itu, Imunosupresif seperti
azathioprine, ciclosporin dan methotrexate dapat digunakan pada kasus
resisten atau sebagai agen hemat steroid. Penghambat biologis
(misalnya infliximab, adalimumab) dapat dipertimbangkan (Kans’ki,
2016).

3) Non Granuloma
Pada seseorang dengan uveitis anterior non-granulomatosa
kemungkinan besar memiliki JIA (Juvenile Idiopathic Arthritis) atau
TINU (Tubulointerstitial Nephritis and Uveitis). Mereka harus diuji

21
untuk antibodi antinuklear (ANA) untuk menyingkirkan JIS yang
biasanya muncul dalam bentuk mata putih (tidak ada gejala inflamasi)
dan mungkin terkait dengan bentuk pita keratopati. Kadang-kadang,
tanda-tanda peradangan termasuk hipopion dapat muncul secara total
mata tanpa gejala. Sebagian besar memiliki bentuk oligoartikular JIA.
Tes ANA harus dilakukan dan positif pada hingga 70% pasien. Uveitis
non-granulomatosa bilateral pada anak-anak dapat manifestasi dari
sindrom TINU. Pemeriksaan urin untuk beta-2 mikroglobulin,
glukosuria, dan fungsi ginjal dapat dilakukan. Dalam kasus di mana
TINU dicurigai, biopsi ginjal mungkin diperlukan untuk
mengkonfirmasi diagnosis. Dalam kasus pasien muda-pertengahan
(lebih sering laki-laki) dengan akut uveitis anterior fibrinous dengan
atau tanpa hipopion, pemeriksaan utama adalah HLA B27 dan
radiologi tulang belakang sakroiliaka. HLA B27 positif membantu
dalam memprediksi perjalanan penyakit dan juga mencegah
penyelidikan untuk beberapa etiologi lainnya. Penyakit ini cenderung
bergantian antara dua mata dengan beberapa kekambuhan. Uveitis
hipopion juga dapat menunjukkan tanda Behcet's uveitis. Namun,
fibrin secara khas tidak ada pada pasien dengan uveitis Behcet.
Mobilitas dari hypopyon adalah sugestif dari penyakit Behcet.
Pemeriksaan untuk melebarkan fundus pada pasien ini dan mencari
bukti patch retinitis. Dalam kasus yang meragukan, fundus fluorescein
angiography dapat dilakukan untuk mencari bukti kebocoran vaskular
terutama kebocoran kapiler. Kortikosteroid adalah andalan dalam
pengobatan untuk kedua granulomatosa dan nonuveitis anterior
granulomatosa bersama dengan agen sikloplegik seperti atropin topikal
1% yang membantu mengurangi spasme silia. Dalam kondisi refrakter
di mana etiologi infeksi telah cukup dikesampingkan, agen
imunomodulator seperti adalimumab, infliximab, dan lainnya agen

22
biologis atau terapi imunosupresif seperti azathioprine, cyclosporine,
atau metotreksat digunakan untuk mengurangi peradangan mata.

Gambar 2.16 Foto segmen anterior anak kecil dengan uveitis terkait JIA
menunjukkan adanya pita perifer berbentuk pita.
keratopati dan sinekia posterior (a). Pemeriksaan slit-lamp menunjukkan
inflamasi bilik mata depan dan deposisi iris pada permukaan lensa anterior (b)

Gambar 2.17 Foto segmen anterior pasien dengan uveitis anterior terkait HLA-
B27 menunjukkan adanya segmen anterior ringan peradangan dengan deposisi
pigmen iris yang signifikan pada permukaan lensa anterior (a). Evaluasi slit-
beam mengungkapkan suar samar (b)

23
4) Klasifikasi berdasarkan infeksi bakteri
Menurut Ahmed,E tahun 2011 dalam buku comprehensive
manual of opthamology uveitis bakteri dibagi menjadi beberapa jenis
diantara lain adalah :
a) Uveitis leptorik
Lepra terdiri dari 3 jenis tipe yaitu lepromatosus (nodular), TBC
(saraf) dan dimorh (garis batas atau menengah) uveitis sendiri
terjadi pada tipe lepromatosus. Kusta sebagian besar melibatkan
uveitis anterior dan dapat bermanifestasi sebagai : Iritis kronis
akibat invasi langsung pada iris oleh Mycobacterium leprae.
Kehadiran mutiara iris yang terdiri dari histiosit yang menelan
basil kusta pada Margin pupil adalah tanda patognomonik dari
kusta lepromatosa. Iritis akut dapat terjadi karena deposisi
kompleks imun dan dibuktikan dengan reaksi eksudatif yang
intens.

b) Herpes zoster uveitis


Jenis Iridocyclitis ringan dan sementara terkait dengan
keterlibatan kornea. Jenis eksudatif difus yang parah. Komplikasi
yang sering terjadi antara lain atrofi epitel pigmen di dekat akar
iris,hifema,glaucoma sekunder. Pengobatan pada herpes zoster
uveitis ini sama dengan pengobatan herpes pada umunya yaitu
menggunakan acyclovir.

c) Toxocariasis.
Penyebab dari herpes zoster uveitis ini yaitu Toxocaracanis.
Struktur mata pada toxocariasis antara lain, endophthalmitis kronis
difus terlihat pada anak-anak, dapat menghasilkan reflex putih
pada pupil. Ultrasonografi dapat membantu dalam menegakkan
diagnosis. Serta adanya granuloma posterior.

24
5. Gejala
Menurut Ilyas,Sidarta dan Sri Rahayu Yulianti.,2019 buku Ilmu
Penyakit Mata Edisi Kelima berdasarkan bentuknya Uveitis anterior
dibagi menajadi Granuloma dan Non granuloma. Gejala pada bentuk
granuloma yaitu tidak nyeri, fotofobia ringan, buram, keratik presipitat
besar (mutton fat) benjolan koeppe (penimbunan sel pada tepi pupil atau
benjolan busacca (penimbunan sel pada permukaan iris), terjadi akibat
sarkoiditis, sifilis, tuberculosis, virus, jamur, atau parasit. Sedangkan
gejala pada bentuk Non Granuloma yaitu nyeri, fotofobia, pengelihatan
buram keratik presipitat kecil, pupil mengecil dan sering terjadi
kekambuhan.
Menurut Bowling, Brad tahun 2016 pada buku Kanski’s Clinical
Ophtalmology Edisi 8 menyatakan bahwa, Gejala pada AAU terdiri dari
onset cepat nyeri unilateral, fotofobia, kemerahan dan sekret encer,
kadang-kadang didahului oleh ketidaknyamanan okular ringan selama
beberapa hari. Penglihatan kabur berhubungan dengan tingkat keparahan.
Karena penyakit rekuren sangat umum, terutama dengan tipe idiopatik dan
terkait HLA-B27, akan sering ada riwayat episode serupa sebelumnya.
CAU mungkin dengan onset yang berbahaya atau akut, dan dapat
asimtomatik sampai berkembangnya komplikasi seperti katarak.
a. Ketajaman penglihatan bervariasi tergantung pada tingkat keparahan
peradangan dan adanya komplikasi. Hal ini sering hanya sedikit
berkurang di Anterior Uveitis.
b. 'Injeksi siliaris' (injeksi perilimbal, flush silia, atau hanya 'injeksi')
adalah hiperemia konjungtiva sirkumkornea dengan rona keunguan
(keunguan) karena keterlibatan pembuluh darah yang lebih dalam ,
dan biasanya terlihat pada uveitis anterior onset akut. Injeksi silia
secara khas tidak ada pada beberapa bentuk CAU, dan kadang-
kadang AAU.

25
Gambar 2.18 Ciliary injection

c. Miosis akibat spasme sfingter pupil merupakan predisposisi


pembentukan sinekia posterior (lihat di bawah). Sel bilik mata depan
merupakan indikator aktivitas inflamasi yang dapat diandalkan.
Grading (SUN Working Group) dilakukan dengan mengestimasi
jumlah sel dalam bidang berkas sinar celah 1 mm kali 1 mm,
menggunakan intensitas cahaya dan perbesaran yang memadai. Ini
harus dilakukan sebelum dilatasi pupil, yang dapat menyebabkan
pelepasan sel pigmen ke dalam air. Sel-sel inflamasi umumnya juga
terlihat di vitreous anterior.

Gambar 2.19 Miosis Gambar 2.20 Anterior Chamber


Cells In Mild Anterior Uveitis

26
d. Hipopion mengacu pada eksudat purulen keputihan yang terdiri dari
banyak sel inflamasi di bagian inferior bilik mata depan (AC),
membentuk tingkat horizontal di bawah pengaruh gravitasi.
Hipopion sering terjadi pada AAU terkait-HLA-B27 (lihat di
bawah), ketika kandungan fibrin yang tinggi membuatnya tidak
bergerak dan lambat menyerap. Pada pasien dengan penyakit Behcet,
hipopion mengandung sedikit fibrin sehingga secara khas bergeser
sesuai dengan posisi kepala pasien.

Gambar 2.21 Hypopyon Gambar 2.22 Hypopyon

Endapan keratik (KP). (A) Tampilan KP segar yang sangat


diperbesar pada uveitis anterior dini; (B) histologi menunjukkan
tipikal Gambar dibawah ini, kumpulan sel inflamasi pada endotel
kornea; (C) endapan keratik “Mutton Fat” besar; (D) KP bintang
pada sindrom uveitis Fuchs; (E) KP granulomatosa tua berpigmen;
(F) 'debu' seluler endotel dan pembentukan KP awal (Courtesy of J
Harry dan G Misson, dari Clinical Ophthalmic Pathology,
Butterworth-Heinemann 2001 – gambar B) A B C D E F

27
Gambar 2.23 Endapan keratik (KP). (A) Tampilan KP segar yang sangat
diperbesar pada uveitis anterior dini; (B) histology menunjukkan tipikal
kumpulan sel inflamasi pada endotel kornea; (C) endapan keratik 'mutton
fat’besar; (D) KP bintang di
sindrom uveitis Fuchs; (E) KP granulomatosa tua berpigmen; (F) 'debu'
seluler endotel dan pembentukan KP awal

e. Keratik Presipitat (KP) adalah endapan pada endotel kornea yang


terdiri dari sel inflamasi seperti limfosit, sel plasma, dan makrofag .
Mereka biasanya terkonsentrasi rendah, sering dalam pola segitiga
dengan puncak mengarah ke atas (segitiga Arlt) di bawah pengaruh
gravitasi dan arus konveksi air; pengecualian penting adalah sindrom
uveitis Fuchs (FUS), di mana mereka didistribusikan secara difus.
Karakteristiknya menunjukkan kemungkinan jenis uveitis: biasanya

28
lebih kecil pada peradangan non-granulomatosa khas AAU, dan
sedang hingga besar pada peradangan granulomatosa (klasik kronis)
di mana jenis sel mungkin termasuk sel epiteloid dan berinti banyak.
KP granulomatosa besar berminyak yang muncul dikatakan memiliki
penampilan ‘mutton fat’. KP berukuran kecil hingga sedang dan
mengadopsi morfologi berbentuk bintang atau filamen di FUS. KP
biasanya sembuh saat peradangan akut mereda: KP non-
granulomatosa yang lama dapat menjadi berpigmen; KP
granulomatosa dapat menjadi berpigmen dan/atau terlihat seperti
'ground glass'. Debu endotel oleh banyak sel individu mendahului
pembentukan agregat KP sejati.

Gambar 2.24 Mutton Fat

Gambar 2.25 Keratic precipitate

29
f. Aqueous flare adalah kekaburan dari cairan yang biasanya jernih di
bilik mata depan, yang mencerminkan adanya protein karena
rusaknya sawar darah-aqueous. Berdasarkan penelitian pada anak-
anak dengan CAU terkait arthritis idiopatik remaja, sekarang
diperkirakan bahwa pada sebagian besar atau semua pasien, adanya
flare menunjukkan peradangan aktif dengan risiko komplikasi yang
lebih tinggi yang dihasilkan dalam jangka panjang. Flare dapat
dinilai secara klinis menggunakan slit lamp untuk menilai derajat
gangguan visualisasi iris dan lensa. Jika tersedia, fotometri sinar
laser memberikan objektivitas yang lebih besar.

Gambar 2.26 Evaluasi slit-beam tampak flare samar-samar

Gambar 2.27 Tampak sel flare

30
g. Eksudat fibrosa di bilik mata depan sering terjadi pada AAU berat,
dan seperti halnya hipopion, sering terlihat pada peradangan yang
berhubungan dengan HLA-B27.

Gambar 2.28 Fibrinous exudate

h. Nodul iris: Nodul Koeppe terletak di tepi pupil, dan mungkin


merupakan tempat pembentukan sinekia posterior (lihat di bawah).
Mereka dapat terjadi pada uveitis anterior granulomatosa dan non-
granulomatosa. Nodul Busacca melibatkan stroma iris dan
merupakan gambaran uveitis granulomatosa. Nodul kekuningan
dapat berkembang dari pembuluh iris yang melebar (roseolae) pada
uveitis sifilis. Iris ‘pearls' dapat terlihat pada uveitis anterior kronis
lepromatosa. Kristal iris (Badan Russell), diduga terdiri dari deposit
imunoglobulin, jarang ditemukan pada beberapa kasus uveitis kronis,
termasuk FUS.

31
Gambar 2.29 Iris nodules in anterior uveitis. (A) Koeppe nodules in Fuchs
uveitis syndrome; (B) Busacca and Koeppe nodules; (C) very large nodule in
sarcoid uveitis; (D) iris crystals (Russell bodies) in chronic syphilitic uveitis

i. Sinekia posterior (PS) adalah perlengketan inflamasi antara tepi


pupil dan kapsul lensa anterior, dan mungkin secara khusus
terbentuk di lokasi nodul Koeppe. Mereka dapat berkembang dengan
cepat, dan untuk mencegah pembentukannya, profilaksis awal
dengan agen midriatik adalah rutin pada semua kecuali AAU yang
sangat ringan. Setelah terbentuk, setiap upaya harus dilakukan untuk
memutus PS sebelum menjadi permanen.

Gambar 2.30 Sinekia Pada Uveitis Anterior


j. Atrofi iris dapat memberikan petunjuk diagnostik yang berguna.
Atrofi stroma difus terlihat pada FUS, dan atrofi tidak merata atau

32
sektoral dapat terjadi pada uveitis herpetic, kedua pola tersebut dapat
terlihat pada peradangan yang berhubungan dengan simpleks dan
zoster, meskipun yang terakhir dikatakan lebih sering memberikan
pola sektoral.

Gambar 2.31 Atrofi iris yang luas setelah herpes zoster


ophthalmicus – pola dominan sektoral

k. Heterochromia iridis mengacu pada perbedaan warna antara iris


kedua mata, paling baik terlihat di siang hari. Dalam konteks uveitis,
heterochromia secara khas terjadi pada FUS.

l. Neovaskularisasi iris (rubeosis iridis) dapat terjadi, terutama pada


inflamasi kronis. Prosesnya cenderung kurang akut dibandingkan
dengan penyebab vaskular primer seperti oklusi vena retina sentral.
Pembuluh darah iris abnormal sangat umum pada FUS, tetapi tidak
menyebabkan penutupan sudut sinekia. Neovaskularisasi iris juga
dapat terjadi pada uveitis posterior, terutama bila perfusi retina
terganggu. Pembuluh darah iris baru mungkin sulit dibedakan dari
pembuluh darah normal yang melebar (kadang disebut
'pseudorubeosis'); pembuluh darah normal berjalan secara radial

33
berbeda dengan distribusi neovaskularisasi yang tidak teratur.
Angiografi fluorescein dapat menunjukkan kebocoran dari pembuluh
darah baru, meskipun ini juga dapat dilihat pada pembuluh darah
normal yang melebar, terutama dengan adanya peradangan aktif.

m. Tekanan intraokular (TIO) dapat berkurang sebagai akibat gangguan


sekresi akuos oleh epitel siliaris, atau meningkat karena berbagai
mekanisme , termasuk steroid terapeutik. Pemeriksaan segmen
posterior harus selalu dilakukan untuk mendeteksi penyebab uveitis
anterior yang menyamar (misalnya ablasio retina, tumor), inflamasi
segmen intermediet atau posterior primer, dan komplikasi uveitis
anterior seperti edema makula sistoid.

6. Macam-macam autoimun yang berkaitan dengan terjadinya Uveitis


a. Juvenile Idiopathic Arthritis
Menurut Augsburger,James J dan Paul Riordan Eva, tahun 2015,
Komplikasi mata dari artritis idiopatik remaja paling sering terjadi
pada anak perempuan dengan penyakit oligoartikular. Penyakit
sistemik tampaknya ringan secara tidak proporsional pada anak-anak
dengan kehilangan penglihatan yang parah, sehingga diagnosis dan
pengobatan dapat ditunda. Keterlibatan mata dapat terjadi sebelum
keterlibatan sendi. Terdapat uveitis tersembunyi yang kronis dengan
insiden komplikasi segmen anterior yang tinggi (misalnya, sinekia
posterior, katarak, glaukoma sekunder, keratopati berbentuk pita).
Sedangkan antibodi antinuklear terdapat pada 30% pasien dengan
artritis idiopatik remaja secara keseluruhan, mereka hadir pada 88%
yang mengembangkan uveitis. Sebagian besar kasus dapat
dikendalikan dengan kortikosteroid lokal dan mydriatics, tetapi kasus
yang parah memerlukan metotreksat dan terkadang kortikosteroid
sistemik dosis tinggi jangka pendek.

34
Gambar 2.32 Keratopati pita, sinekia posterior, dan katarak matur pada uveitis
anterior kronis yang berhubungan dengan artritis idiopatik remaja

b. Ankylosing Spondylitis
Menurut Kanski 2016, Ankylosing spondylitis (AS) ditandai
dengan peradangan, kifikasi kal dan akhirnya osifikasi ligamen dan
kapsul sendi yang mengakibatkan ankylosis tulang pada kerangka
aksial. Ini lebih sering mempengaruhi laki-laki, di antaranya 90%
adalah HLA-B27-positif. Gejala umumnya terjadi pada dekade ketiga
hingga keempat dengan onset nyeri dan kekakuan yang berbahaya di
punggung bawah atau bokong. Spondyloarthritis menyebabkan
keterbatasan gerak tulang belakang secara progresif; pada akhirnya
tulang belakang bisa tertekuk. Stenosis dan patah tulang belakang
dapat terjadi. Secara klinis, entesitis ditandai dengan peradangan dan
nyeri pada perlekatan ligamen ke tulang. Komplikasi jantung jarang
terjadi. Radiologi sendi sakroiliaka menunjukkan osteoporosis juxta-
artikular pada tahap awal, diikuti oleh sklerosis dan obliterasi tulang
sendi. Pengapuran ligamen tulang belakang menimbulkan 'tulang
punggung bambu'. Perubahan radiologis sering mendahului gejala
klinis.

35
Menurut Ahmed, 2011, Uveitis juga bisa disebabkan oleh virus,
jamur dan bakteri, yaitu antara lain
a. Kusta Uveitis Leptorik
Kusta Uveitis Leprotik terdiri dari tiga jenis - lepromatosa
(nodular), tuberkuloid (saraf) dan dimorfus (garis batas atau perantara).
Uveitis terjadi pada tipe lepromatous. Kusta terutama menyerang uvea
anterior dan dapat bermanifestasi sebagai. Iritis kronis akibat invasi
langsung dari iris oleh Mycobacterium leprae. Adanya iris pearl yang
tersusun atas histiosit yang menelan basil kusta pada pupillary Margin
merupakan tanda patognomonik dari kusta lepromatosa. Iritis akut
dapat terjadi karena deposisi kompleks imun dan dibuktikan dengan
reaksi eksudatif yang intens. Ini terdiri dari pengobatan uveitis dan
penggunaan diaminodiphenyl sulfone (Dapsone), 50-100 mg setiap
hari.

b. Shypilis di Uvea Tract


Ini dapat dikelompokkan dalam salah satu dari Iritis yang
merupakan bawaan atau diperoleh. Pada sifilis sekunder, terdapat tiga
jenis lesi-iritis roseata yang memperlihatkan jaringan kapiler yang
kecil, iritis papulosa yang menunjukkan papula yang sangat vaskuler
dan iritis nodosa yang di dalamnya terdapat nodul besar berwarna
merah kekuningan. Koroiditis. Ini bilateral pada 50% kasus dan
biasanya mengenai zona tengah fundus okular. Ini mungkin menyebar,
menyebar atau perifer. Pengobatan uveitis, 1 juta penisilin-600.000
unit setiap hari selama 10 hari.

36
Gambar 2.33 Shyfilis dalam Uvea Track

c. Leptospirosis
Bentuk etiologi Spirochaete Leptospira Ini mengikuti kontak
dengan atau asupan air yang terkontaminasi urin hewan liar. Gambaran
Klinis Tanda-tanda okuler yang terjadi pada sekitar 10% kasus
termasuk uveitis dan hipopion. Gambaran sistemik meliputi demam,
malaise, dan demam. Diagnosis dapat dilakukan dengan tes antibodi
antileptospira pada darah dan kultur organisme hidup.

d. Herpes zoozter uveitis


Jenis Iridocyclitis Ringan dan terkait sementara dengan
keterlibatan kornea. Jenis eksudatif difus parah. Komplikasi Atrofi
epitel pigmen dekat akar iris, Hyphema, Glaukoma sekunder.
Pengobatannya yaitu Asiklovir oral.

Gambar 2.34 Herpes Zoster Uveitis

37
Gambar 2.35 (A) Iris atrophy in herpes simplex anterior uveitis; (B) sectoral iris
atrophy in herpes zoster anterior uveitis

e. Toxoplasmatic Uveitis
Toksoplasmosis mungkin bertanggung jawab atas sekitar 30
sampai 50% dari semua kasus uveitis posterior. Pada bayi, keterlibatan
retina adalah yang utama dalam kaitannya dengan ensefalitis. Pada
orang dewasa, koroiditis adalah kejadian utama. Pada bayi bilateral,
banyak, lesi chorioretinal berlubang dengan tepi berpigmen berat
terutama yang mempengaruhi makula adalah karakteristiknya. Lesi
segar adalah satelit dari lesi yang lebih tua. Gambaran terkait adalah
hidrosefalus, kalsifikasi di otak dan keterbelakangan mental.
Kekambuhan terjadi karena pecahnya kista toksoplasma.
Toksoplasmosis yang didapat cenderung menghasilkan lesi pada satu
mata dan jarang terjadi. Pengobatan toksoplamosis uveitis, Pengobatan
sistemik dengan, Klindamisin, 300 mg 4 kali sehari selama 3-4
minggu, Sulphadiazine, 1 gm 4 kali sehari selama 3-4 minggu,
Pyremethamine (Daraprim), dosis muatan 50 mg diikuti dengan 25-50

38
mg setiap hari selama 4 minggu dengan 5 mg asam folinat oral,
Steroid-dalam vitritis berat.

Gambar 2.36 Toxoplamosis Retinochorioditis

f. Presumed Ocular Histoplasmosis Syndrome (Fungal)


Etiologi dari uveitis jamur sering disebabkan oleh Histoplasma
capsulatum. Jamur dihirup ke paru-paru dan selanjutnya mencapai
aliran darah. Gambaran Klinis Sekitar 62% kasus bilateral. Lesi okuler
meliputi, lesi chorioretinal berlubang, kuning-putih (bintik 'histo'
atrofi), atrofi peripapiler, membran neovaskular subretinal (SRNVM).
Pengobatan Dalam kasus akut, steroid dosis tinggi harus dicoba.

Gambar 2.37 Retinal photograph of ocular histoplasmosis

Ophthalmology

39
7. Faktor Penyulit
Menurut Menurut Buku Pedoman Diagnosis Dan Terapi Smf Ilmu
Penyakit Mata Edisi III 2006 RS Sutomo Surabaya mengatakan bahwa
terdapat beberapa faktor penyulit uveitis antara lain:
a. Sinikea anterior : Perlekatan iris dengan endotel kornea
b. Katarak komlikata
c. Glaucoma sekunder
d. Okulsi pupil
e. Endolftalmitis

8. Diagnosis Banding
Menurut Cantor,Louis B.,2014 dalam buku Intraocular Inflamation and
Uveitis American Academy of Ophtamology menyatakan, diagnosis
banding pada uveitis sangat beragam. Salah satunya yaitu agen infeksius
seperti virus, bakteri,protozoa,jamur dan atau cacing. Limfoma large cell,
retinoblastoma, leukemia, dan melanoma ganas dapat disalah artikan
sebagai uveitis. Selain itu konjungtivitis dan glaucoma juga sering
disangka sebagai penyakit uveitis (Wati,Mita Erna dan Alvin Fajri
Yudistio.,2018).

9. Pemeriksaan Laboratorium dan Konsultasi


Perlu adanya pemeriksaan laboratorium selain pemeriksaan fisik dan
anamnesis yang tepat. Pendekatan yang harus dilakukan pada pasien
dengan uveitis yaitu berdasarkan penyebab yang paling mungkin terjadi.
Ketika pemeriksaan fisik dan juga anamnesis dirasa kurang menunjang
diagnosis, kebanyakan dokter akan melakukan pemeriksaan tes kulit
turunan protein-purified protein (PPD) atau uji pelepasan interferon-
gamma, serum angiotensin-converting enzyme, lisosim (Cantor,Louis
B.,2014).

40
Menurut Buku Pedoman Diagnosis Dan Terapi Smf Ilmu Penyakit
Mata Edisi III 2006 RS Sutomo Surabaya, pada beberapa kasus yang
rekurensi, berat, bilateral atau granulomatous, dilakukan tes untuk sifilis,
foto rontgen untuk mencari kemungkinan TBC/sarkoidosis dan PPD untuk
mencari kemungkinan mumps dan candida. Pada kasus dengan arthritis
penderita muda, dilakukan tes ANA. Pada kasus
arthritis,psoriasis,uretritis,radang yang konsisten dan terdapat gangguan
pencernaan. Maka dilakukan pemeriksaan HLA-B27 untuk mencari
penyebab autoimun.
Menurut Kanski 2016, terdapat beberapa pemeriksaan penunjang
untuk uveitis antara lain :
a. HLA (HLA-B27)
Kompleks histokompatibilitas utama (MHC) adalah
sekelompok gen yang terlibat dalam interaksi antigen sel darah
putih dan fungsi kekebalan lainnya, termasuk pengkodean
glikoprotein permukaan sel. Pada manusia, MHC, yang
ditemukan pada kromosom 6, disebut sistem antigen leukosit
manusia (HLA). Pemeriksaan HLA digunakan untuk
menentukan kompatibilitas transplantasi organ dan juga dapat
menunjukkan kecenderungan penyakit tertentu. Ini secara
konvensional telah dilakukan dengan identifikasi antigen
serologis, tetapi semakin melibatkan analisis DNA. HLA-B27
adalah protein permukaan sel umum (misalnya 6-8% Kaukasia
di AS, 0,5% pasien asal Jepang) yang menunjukkan peptida ke
sel T. Fenotipe memiliki hubungan yang sangat kuat dengan
uveitis anterior akut, spondilitis ankilosa dan beberapa kondisi
inflamasi lainnya seperti artritis reaktif (sindrom Reiter),
artritis psoriatis, dan artritis pada penyakit radang usus. Hal ini
terjadi pada 50% pasien dengan AAU yang bugar dan sehat,
dan 90% pasien dengan Uveitis Anterior yang memiliki

41
spondyloarthropathy terkait, terutama ankylosing spondylitis.
Banyak subtipe HLA-B27 telah diidentifikasi dan
signifikansinya tunduk pada penyelidikan yang sedang
berlangsung. Pengujian HLA-B27 harus dilakukan pada setiap
orang dewasa atau anak-anak dengan uveitis anterior non
granulomatosa berulang atau kronis.

b. Serologi Shipilis
Tes antibodi treponemal seperti ELISA (enzyme linked
immunosorbent assay) sangat sensitif dan spesifik, tetapi
membutuhkan waktu sekitar 3 bulan untuk menjadi positif. Tes
antibodi kardiolipin non-spesifik yang dapat dititrasi seperti
rapid plasma reagin (RPR) atau laboratorium penelitian
penyakit kelamin (VDRL) lebih umum positif pada infeksi
awal, dan digunakan untuk membantu memantau aktivitas
penyakit; mereka menjadi negatif dari waktu ke waktu,
biasanya pada penyakit yang diobati. Hasil positif palsu dapat
terjadi. Kedua kategori tes harus dilakukan saat skrining untuk
sifilis mata. Gambaran klinis yang menunjukkan diagnosis
sifilis harus segera dirujuk ke dokter spesialis penyakit menular
atau penyakit menular seksual.

c. Serum Angiotensin-Converting Enzyme (ACE)


Tes non spesifik yang menunjukkan adanya penyakit
granulomatosa seperti sarkoidosis, tuberkulosis, dan kusta.
Peningkatan terjadi pada hingga 80% pasien dengan
sarkoidosis akut tetapi mungkin normal selama remisi. Pada
anak-anak, kadar ace serum cenderung lebih tinggi dan kurang
berguna secara diagnostik. Olahraga berat dapat meningkatkan
ace.

42
d. Lyzozym
Lisozim adalah sekelompok enzim yang ditemukan dalam
neutrofil polimorfonuklear dan banyak sekresi termasuk air
mata. Ini memiliki aksi antibakteri yang kuat, memediasi
kerusakan dinding sel bakteri. Uji lisozim serum umumnya
sedikit kurang sensitif dan spesifik dibandingkan serum ACE
dalam diagnosis sarkoidosis, tetapi melakukan kedua tes dapat
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas.
e. Lisozim adalah sekelompok enzim yang ditemukan dalam
neutrofil polimorfonuklear dan banyak sekresi termasuk air
mata. Ini memiliki aksi antibakteri yang kuat, memediasi
kerusakan dinding sel bakteri. Uji lisozim serum umumnya
sedikit kurang sensitif dan spesifik dibandingkan serum ACE
dalam diagnosis sarkoidosis, tetapi melakukan kedua tes dapat
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas.
f. Laju sedimentasi eritrosit (ESR) dan C-reactive protein (CRP):
reaktan fase akut yang mungkin memiliki nilai terbatas, tetapi
dapat meningkat pada berbagai gangguan inflamasi sistemik.
g. Antibodi antinuklear (ANA): penggunaan terbatas, kecuali
pada anak-anak. Pada mereka yang mengidap artritis idiopatik
remaja (JIA), keberadaannya dikaitkan dengan risiko CAU
yang lebih tinggi; kasus JIA subklinis yang mungkin telah
dilaporkan pada anak-anak ANA-positif dengan CAU.
h. Antibodi sitoplasma antineutrofil (ANCA): penggunaan
terbatas pada uveitis anterior kecuali terkait dengan skleritis
dan / atau keratitis ulseratif perifer, ketika pengujian ANCA
sitoplasma (c-ANCA) harus dianggap sebagai bukti
granulomatosis Wegener.

43
2.3 Hubungan Uveitis Anterior dengan Glaukoma Sekunder
Menurut Menurut Buku Pedoman Diagnosis Dan Terapi Smf Ilmu
Penyakit Mata Edisi III 2006 RS Sutomo Surabaya, Glaukoma sekunder
terjadi akibat adanya radang pad iris dan badan silier . Glaukoma sudut
terbuka terjadi akibat adanya radang iris yang menimbulkan edema pada
lembar-lembar trabekula dan endotelnya ataupun adanya penumpukan
bahan-bahan radang pada saluran pembuangan sehingga akuos tidak dapat
dibuang yang berakibat tekanan intraokuler meningkat. Pada glaucoma sudut
tertutup, pada stadium lanjut uveitis anterior radang iris dapat menimbulkan
sinekia posterior total sehingga terjadi blok pupil dan aquos humor
terbendung dibilik mata belakang yang akhirnya menyebabkan iris perifer
menonjol kedepan (Iries Bombans) hingga ke trabekula sehingga sudut bilik
mata depan tertutup dengan akibat TIO meningkat.

Gambar 2.38 Sinekia Anterior

Umumnya apabila terjadi uveitis yang tidak diatasi segara, maka TIO
akan menikat secara akut, akibat sel radang, protein, debris yang melekat
dan menutup saluran di tubular anyaman trabekulum, sementara ciri khas
uveitis adalah miosis pupil. Akibat iris yang meradang, peradangan
mengakibatkan terjadi sinekia posterior iris dan menempel lensa di

44
belakangnya yang akan menghalangi humor akuos dari bilik mata belakang
melalui pupil tidak dapat mengalir ke bilik mata depan, akibatnya terjadi
tekanan positif di bilik mata belakang menjadi positif dan mendorong iris
kedepan yang di sebut iris bombe yang mengakibatkan sudut bilik mata
depat tertutup dan naiknya TIO secara akut. Yang terjadi adalah Mekanisme
blockade pupil (proses iris bombe) dan Non populari blok (choroidal
effusion seperti pada simpatik ophthalmia dan penyakit Vogt Hayanagi
Harada) (Artini,Widya,2016).

Gambar 2.39 Profil glaucoma akut akibat mekanisme blokade pupil dan non
blokade pupil

45
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Uveitis merupakan inflamasi yang terjadi di uvea. Uvea merupakan
struktur vaskuler pada mata yang terdiri atas iris, badan siliar dan koroid.
Reaksi inflamasi yang terjadi semakin memburuk karena etiologinya tidak
hanya disebabkan agen infeksius tetapi juga agen non infeksius seperti proses
autoimun.
Uveitis anterior merupakan keradangan pada uvea yang apabila mengenai
bagian depan jaringan uvea atau selaput pelangi disebut sebagai iritis. Apabila
mengenai bagian tengah uvea disebut siklitis. Dan apabila iritis disertai
dengan siklitis disebut uveitis anterior. Serta apabila mengenai bagian selaput
hitam bagian belakang mata disebut sebagai uveitis posterior (koroiditis).
Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya uveitis, seperti trauma,
infeksi, penyakit autoimun, neoplasma dan idiopatik. Trauma dapat
mengakibatkan terlepasnya antigen yang tersekuestrasi dalam uvea,
kontaminasi mikroba, dan akumulasi produk nekrotik.Uveitis diklasifikasikan
menjadi beberapa yaitu uveitis anterior, posterior, intermediate dan panuveitis.
Selain itu uveitis juga dapat terjadi akibat bakteri.
Dalam mendiagnosis suatu uveitis perlu dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penu jang dapat
berupa pemeriksaan laboratoriumm, salah satu contohnya yaitu pemeriksaan
kulit. Uveitis juga memerlukan pengobatan yang pas, seperti contohnya perlu
diberikan steroid, IMT dan medriatikum.

46
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed,E.,2011.,Comprehensive Manual of Ophthamology. Medical

Publisher Inc. India

Artini,Widya.,2016. Jurnal Uveitis dan Glaukoma : how to Diagnose

Properly. Dipresentasikan JEC @ Saturday Seminar Meeting. Jakarta

Augsburger,James J dan Paul Riordan Eva,.2015. Vaugan & Asbury’s

General Ophtamology 19th Edition. McGraw-Hill Education. New

York

Bishnu Prasad P, dkk. 2018 Incidence, Etiology And Management Of Acute


Anterior Uveitis: A Hospital Based Study. European Journal of
Biomedical AND Pharmaceutical sciences. ejbps, 2018, Volume 5,
Issue 11, 317-321.

Bowling, Brad. 2016. Kanski’s Clinical Ophtalmology Edisi 8. Elsevier

Budiono,Sjamsu.,dkk.,2013. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata. Airlngga

University Press. Surabaya

Cantor,Louis,.2014. Intraocular Inflamation and Uveitis American Academy

of Ophtalmology. American Academy of Opthamology.

Gnanadoss,A Samuel.,2009., Clinical Opthamology Made Easy. Jaypee

Brothers Medical Publisher (LPD). India

Ilyas,Sidarta dan Sri Rahayu Yulianti.,2019. Buku Ilmu Penyakit Mata Edisi

Kelima. Badan Penerbit Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.

47
Jakarta

Jennifer S, Dkk. 2016. Diagnosis And Treatment Of Anterior Uveitis:


Optometric Management. Clinical Optometry. Correspondence:
Jennifer S Harthan Illinois College Of Optometry, 3241 South
Michigan Avenue, Chicago, Il 60616, USA

Kadek Ayu D, Dkk. 2019. Karakteristik Pasien Uveitis Di Rumah Sakit


Umum Pusat Sanglah Denpasar Periode Maret 2016 Sampai Desember
2016. Jurnal Medika Udayana, Vol. 8 No.8,Agustus, 2019

Nurwasis.,dkk.,2006. Buku Pedoman Diagnosis dan Terapi bagian/SMF Ilmu

Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.

Surabaya

Sihota,Ramanjit dan Radhika Tandon.,2015.,Parson’s Diseases Of The Eye.

Elsevier Private Limited. India

Sitompul,Ratna.,2015. Jurnal Diagnosis dan Penatalksaan Uveitis dalam

Upaya Menccegah Kebutaan. Departement Ilmu Kesehatan Mata Fk

Universitas Indonesia-RSCM RSUP Nasional dr. Cipto

Mangunkusumo. Jakarta

Sushil Kumar B, dkk. 2018. Recent approach in diagnosis and management of


anterior uveitis. Journal of Clinical Ophthalmology and Research |
Published by Wolters Kluwer - Medknow

Wati,Mita erna dan Alvin Fjri Yudistio.,2018. Buku Ilmu kesehatan Mata

Oftalmology Edisi 2018. Medicobook.

48

Anda mungkin juga menyukai