Anda di halaman 1dari 57

PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN GANGGUAN TIDUR

DENGAN TERJADINYA MIOPIA PADA ANAK

Disusun oleh :
ARNITA ANINDIRA
20130310174

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2016
HALAMAN PENGESAHAN PROPOSAL KTI

HUBUNGAN GANGGUAN TIDUR

DENGAN TERJADINYA MIOPIA PADA ANAK

Disusun oleh :
ARNITA ANINDIRA
20130310174

Telah disetujui pada tanggal :


14 April 2016

Dosen pembimbing

dr. Yunani Setyandriana


NIK : 19760623200910173102

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Sang pencipta alam

semesta yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga

penulis dapat menyelesaikan proposal ini dengan baik. Tak lupa shalawat serta

salam penulis haturkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW yang telah

membawa umat manusia dari alam kebodohan menuju ke alam yang penuh dengan

ilmu pengetahuan ini.

Proposal karya tulis ilmiah yang berjudul “Hubungan Gangguan Tidur

dengan Terjadinya Miopia pada Anak” ini adalah sebagai bentuk pengajuan karya

tulis ilmiah, dimana merupakan salah satu persyaratan guna memperoleh Derajad

Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa penyusunan proposal karya tulis ilmiah ini tidak

akan terlaksana dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak, baik moril maupun

materiil, secara langsung dan tidak langsung. Untuk itu penulis mengucapkan

terimakasih kepada :

1. Kedua Orangtua penulis Bapak Jamilin dan Ibu Siti Barokah, kakak penulis

Alvian Hidayat, serta seluruh keluarga besar yang selalu mendukung dan

mendoakan dalam setiap langkah meraih ridho Allah SWT.

2. dr. Ardi Pramono, Sp. An, M. Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

iii
3. dr. Alfaina Wahyuni Sp.OG, M.Kes selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta.

4. dr. Yunani Setyandriana Sp.M, selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam memberikan petunjuk dan saran

kepada penulis selama penyusunan proposal karya tulis ilmiah ini dengan penuh

dedikasi dan keikhlasannya.

5. Semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu

dalam penyusunan proposal ini.

Akhir kata, penulis mohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam

penyusunan proposal karya tulis ilmiah ini. Demi perbaikan selanjutnya kritik dan

saran yang membangun akan penulis terima dengan senang hati. Penulis berharap

agar penelitian ini dapat berjalan dengan lancar dan bermanfaat bagi penulis

maupun pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Yogyakrta, 14 April 2016

Penulis

iv
DAFTAR ISI

PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH ........................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN PROPOSAL KTI ............................................................ ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... iii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ........................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................... viii
BAB I .................................................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 6
C. Tujuan Penelitian .................................................................................................. 6
D. Manfaat Penelitian ................................................................................................ 6
E. Keaslian Penelitian................................................................................................ 8
BAB II .............................................................................................................................. 11
A. Landasan Teori ................................................................................................... 11
1. Anatomi Mata Manusia .................................................................................. 11
2. Fisiologi Penglihatan ....................................................................................... 17
3. Kelainan Refraksi ........................................................................................... 20
4. Perkembangan Penglihatan pada Anak ....................................................... 29
5. Gangguan Tidur .............................................................................................. 31
6. Hubungan Gangguan Tidur dengan Terjadinya Miopia pada Anak ........ 34
B. Kerangka Teori ................................................................................................... 36
C. Kerangka Konsep................................................................................................ 37
D. Hipotesis ............................................................................................................... 37
BAB III............................................................................................................................. 38
A. Desain Penelitian ................................................................................................. 38
B. Populasi dan Sampel Penelitian ......................................................................... 38
C. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................................. 40
D. Variabel Penelitian.............................................................................................. 40
E. Definisi Operasional............................................................................................ 40
F. Instrumen Penelitian .......................................................................................... 41
G. Jalannya Penelitian ............................................................................................. 43
H. Analisa Data ........................................................................................................ 44

v
Daftar Pustaka ................................................................................................................ 45

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Keaslian Penelitian…………………………………………………….8

Tabel 2. Rekomendasi Durasi Tidur untuk Berbagai Usia……………………32

Tabel 3. Uji Validitas dan Reliabilitas Kuisioner Sleep Disturbances Scale for
Children (SDSC)………………………………………………………………...42

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Mata Manusia…………………………………………...12


Gambar 2. Koreksi Lensa Cekung pada Miopia……………………………..28

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kelainan tajam penglihatan pada anak usia sekolah merupakan masalah

kesehatan yang penting. Deteksi dini dan publikasi mengenai prevalensi dan faktor

yang berhubungan dengan kelainan tajam penglihatan pada pelajar Sekolah Dasar

di Indonesia masih jarang dilakukan (Fachrian dkk, 2009). Padahal menurut

Tamboto, dkk (2015), gangguan penglihatan merupakan masalah kesehatan yang

penting terutama pada anak, mengingat 80% informasi selama 12 tahun pertama

kehidupan anak didapatkan melalui penglihatan.

Miopia adalah salah satu penyebab penurunan ketajaman penglihatan pada

anak- anak, sedangkan penglihatan yang baik sangat penting dalam proses belajar

mengajar (Saw dkk, 2003). Miopia atau sering disebut sebagai rabun jauh

merupakan jenis kerusakan mata yang disebabkan pertumbuhan bola mata yang

terlalu panjang atau kelengkungan kornea yang terlalu cekung (Ilyas, 2007). Miopia

berasal dari bahasa Yunani “muopia” yang memiliki arti menutup mata. Miopia

merupakan manifestasi kabur bila melihat jauh, istilah populernya adalah

nearsightedness (American Optometric Association, 2006).

Dewasa ini terjadi kecenderungan peningkatan prevalensi miopia di

berbagai belahan dunia terutama di Asia dan peningkatan prevalensi miopia sangat

menonjol pada anak- anak usia sekolah (Saw dkk, 2003). Dalam Tiharyo (2008),

Suhardjo dkk melaporkan angka prevalensi miopia pada anak usia sekolah dasar

1
2

usia 7-12 tahun di Yogyakarta sebesar 3,69% di daerah pedesaan dan 6,39% di

daerah perkotaan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Joeri tahun 2009/2010 di

Kabupaten Tanggamus menyatakan bahwa prevalensi miopia pada anak Sekolah

Dasar sebesar 11,10% dan faktor risiko terhadap kejadian miopia pada anak

Sekolah Dasar adalah jarak membaca, genetika, posisi tubuh saat membaca, dan

jarak menonton televisi.

Masalah penyakit mata pada anak dapat dicegah dengan melakukan deteksi

dini untuk mengetahui status ketajaman penglihatan pada anak yang didukung oleh

pemeriksaan mata sebagai alat ukur yaitu Snellen card (kartu Snellen) (Porotu'o

dkk, 2009). Pemeriksaan rutin pada mata sebaiknya dimulai pada usia dini. Pada

anak usia 2,5- 5 tahun, skrining mata perlu dilakukan untuk mendeteksi apakah

menderita gangguan tajam penglihatan yang nantinya akan mengganggu aktivitas

di sekolahnya (Fachrian dkk, 2009)

Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar manusia yang merupakan

mekanisme untuk memulihkan tubuh dan fungsinya, memelihara energi dan

kesehatan, memelihara manfaat untuk memperbaharui dan memulihkan tubuh baik

secara fisik maupun emosional serta diperlukan untuk bertahan hidup (Foreman &

Wykle, 1995). Tidur adalah keadaan relatif tanpa sadar yang penuh ketenangan

tanpa kegiatan yang merupakan urutan siklus berulang- ulang dan masing- masing

menyatakan fase kegiatan otak dan badaniah yang berbeda (Lilis dkk, 2001). Tidur

mempunyai peranan penting dalam perkembangan anak dan hal ini berkaitan

dengan komponen penting lain dari kesehatan seorang anak (Sadeh dkk, 2000).
3

Pada saat tidur, tubuh beristirahat berdasarkan atas kemauan serta

kesadaran. Kemudian secara keseluruhan ataupun sebagian fungsi tubuh akan

dihambat atau dikurangi (Sleepdex, 2004). Sebagaimana Allah SWT berfirman

dalam Q.S. An- Naba ayat 9 :

ُ ‫َو َجعَ ْلنَا ن َْو َم ُك ْم‬


‫سبَات‬
“Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat”

Dalam firman-Nya tersebut Allah SWT menjelaskan bahwasanya tidur

merupakan pemutus dari kelelahan sebelumnya di mana setelah tidur manusia akan

mendapatkan kembali kebugaran tubuhnya. Hal demikian tersebut pula sebagai

nikmat dan tanda- tanda kekuasaan Allah SWT.

Gangguan tidur merupakan suatu kumpulan kondisi yang dicirikan dengan

gangguan dalam jumlah, kualitas, atau waktu tidur pada seorang individu (Free

Health Encyclopedia, 2007). Gangguan tidur dapat mengganggu pertumbuhan

fisik, emosional, kognitif, dan sosial seorang anak (Putri, 2015).

Gangguan tidur sering terjadi pada anak. Di Indonesia didapatkan

prevalensi gangguan tidur pada anak usia di bawah 3 tahun yang dilakukan oleh

Rini dan Nuri pada tahun 2006 sebesar 44,2%. Kemudian penelitian yang dilakukan

oleh Dini S dkk pada tahun 2013 menyatakan bahwa 79,8% anak usia 3- 6 tahun

mengalami gangguan tidur dengan jenis gangguan tidur terbanyak adalah gangguan

memulai dan mempertahankan tidur. Insidensi gangguan tidur pada anak usia 9-12
4

tahun adalah sebesar 42,20% dengan jenis gangguan tidur paling banyak adalah

gangguan memulai dan mempertahankan tidur (Putri, 2015)

Ada keterkaitan antara jalur biologis pengaturan tidur dan pertumbuhan

bola mata. Irama sirkadian dalam sintesis dan pelepasan melatonin adalah regulator

utama pada proses tidur, yang juga dikontrol oleh interaksi timbal balik dari jalur

dopaminergik retina. Jalur dopaminergik ini terlibat dalam regulasi pertumbuhan

bola mata pada manusia dan gangguan irama sirkadian baik di hewan maupun

manusia (Zhou dkk, 2015). Hal ini berkaitan dengan terjadinya miopia pada anak

usia sekolah akibat pertumbuhan sumbu bola mata yang cenderung meningkat

seiring pertambahan usia (Basri, 2014). Panjang aksial harian yang dipengaruhi

oleh irama sirkadian tubuh juga lebih berfluktuasi pada anak yang berusia di bawah

12 tahun sehingga dapat mempengaruhi perkembangan refraksi pada anak tersebut

(Stone dkk, 2004).

Sampai saat ini kepustakaan mengenai hubungan keduanya masih sangat

terbatas. Adanya kemungkinan hubungan antara gangguan tidur dengan terjadinya

miopia pada anak perlu diteliti lebih lanjut. Diharapkan hal ini dapat mengurangi

angka kejadian miopia pada anak sehingga dapat meningkatkan kualitas kehidupan

anak.

Sebagaimana telah dijelaskan oleh Ilyas (2009), mata merupakan salah satu

panca indera yang sangat penting bagi manusia dan menentukan kualitas hidup

manusia. Dengan mata kita dapat melihat dan mengenali lingkungan sekitar kita.

Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. An- Nahl ayat 78 :
5

‫س ْم َع‬ َ َ‫ون أ ُ هم َهاتِّ ُك ْم ََل ت َ ْعلَ ُمون‬


‫شيْئا َو َج َع َل لَ ُك ُم ال ه‬ ِّ ‫ط‬ُ ُ‫اَّللُ أ َ ْخ َر َج ُكم ِّمن ب‬ ‫َو ه‬
َ‫ار َو ْاْل َ ْفئِّدَة َ لَعَله ُك ْم ت َ ْش ُك ُرون‬
َ ‫ص‬َ ‫َو ْاْل َ ْب‬

“Dan Allah mengeluarkan kamu dariperut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun. Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu
bersyukur”

Dari firman Allah SWT tersebut dijelaskan bahwa kita dilahirkan dalam

keadaaan tidak mengetahui sesuatu apapun. Kemudian kita belajar mengenal

lingkungan dan ilmu pengetahuan melalui indera penglihatan, pendengaran, dan

hati yang telah diberikan oleh Allah SWT. Dengan senantiasa menjaga

pendengaran, penglihatan, dan hati yang telah diberikan oleh Allah SWT maka kita

akan dapat merasakan nikmat dan kebesaran Allah SWT sehingga kita akan selalu

menjadi manusia yang bersyukur.

Sebagaimana latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti

hubungan gangguan tidur dengan terjadinya miopia pada anak. Penelitian akan

lebih spesifik pada anak usia sekolah dimana pada usia tersebut rentan akan

progresifitas miopia. Anak sekolah menurut definisi WHO (World Health

Organization) yaitu golongan anak yang berusia antara 7- 15 tahun, sedangkan di

Indonesia lazimnya anak yang berusia 7-12 tahun. Dalam penelitian ini, peneliti

akan melakukan penelitian mengenai hubungan antara gangguan tidur dengan

terjadinya miopia pada anak usia 7-12 tahun. Diharapkan hasil dari penelitian ini

akan bermanfaat secara teoritis maupun praktis.


6

B. Rumusan Masalah

Adakah hubungan antara gangguan tidur dengan terjadinya miopia pada

anak usia sekolah (7- 12 tahun) ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara gangguan tidur dengan

terjadinya miopia pada anak usia sekolah (7-12 tahun).

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui prevalensi miopia pada anak usia sekolah (7-

12 tahun) berdasarkan usia dan jenis kelamin.

b. Untuk mengetahui prevalensi gangguan tidur pada anak usia

sekolah (7-12 tahun) berdasarkan usia dan jenis kelamin.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Sebagai referensi ilmiah dan ilmu pengetahuan bagi peneliti

lainnya untuk penelitian lebih lanjut, agar dapat terus memperbaharui

ilmu kedokteran yang semakin berkembang.

2. Manfaat Klinis

a. Bagi peneliti

Penelitian ini dapat menambah luas wawasan ilmu

kedokteran peneliti mengenai hubungan antara gangguan tidur

dengan terjadinya miopia pada anak usia sekolah (7-12 tahun).


7

b. Bagi Instansi

Sebagai tambahan referensi kepustakaan bagi mahasiswa,

sehingga dapat memperluas wawasan tentang hubungan gangguan

tidur dengan terjadinya miopia pada anak usia sekolah (7-12 tahun).

c. Bagi Profesi Kedokteran

Bagi bidang profesi kedokteran dengan mengetahui adanya

hubungan antara gangguan tidur dengan terjadinya miopia pada

anak usia sekolah (7-12 tahun) diharapkan dapat membantu

masyarakat untuk menghindari faktor resiko tersebut sehingga

menurunkan prevalensi terjadinya miopia pada anak usia sekolah (7-

12 tahun). Penurunan prevalensi miopia pada anak usia sekolah akan

meningkatkan kualitas hidup anak yang diharapkan akan membawa

dampak positif bagi nusa dan bangsa.


8

E. Keaslian Penelitian

Berikut beberapa penelitian serupa yang pernah dilakukan :

Tabel 1. Keaslian Penelitian

Penelitian Tujuan Metode Variabel Hasil


Jun dkk, 2016 Untuk mengetahui Cross- Variabel bebas : Miopia
Hubungan prevalensi miopia sectional - usia umum terjadi
- jenis
Antara Durasi pada siswa dan dengan pada siswa.
kelamin
Latihan, Tidur, menguji Cluster - urban dan Latihan fisik
dan Waktu hubungan antara Random rural dan tidur
- durasi
Mengerjakan PR lama latihan, Sampling yang cukup,
latihan
dengan Kejadian tidur, dan waktu harian serta
Miopia pada mengerjakan PR - durasi tidur berkurangnya
- durasi
Siswa dengan miopia durasi
mengerjakan
pada siswa. PR mengerjakan
PR dapat
Variabel terikat : mencegah
Miopia terjadinya
(pemeriksaan miopia pada
menggunakan siswa dalam
Standard Vision berbagai
Chart) cakupan
umur.
Zhou dkk, 2015 Untuk menguji Randomized Variabel bebas : Miopia dan
Gangguan Tidur hubungan antara Clinical - usia gangguan
- jenis
dan Resiko gangguan tidur Trial tidur umum
kelamin
Terjadinya dengan terjadinya - laporan terjadi,
Miopia pada miopia pada anak. orangtua namun
tentang lama
Anak Tiongkok. peneliti tidak
tidur anak
menemukan
9

- kuisioner hubungan
CSHQ yang
(Children’s
konsisten di
Sleep Habits
Questionnaire) antara
- durasi keduanya.
aktivitas
Hubungan
melihat
dekat antara durasi
- durasi tidur total
aktivitas luar
(siang dan
ruangan
malam)

Variabel terikat : dengan


Miopia miopia tidak

(pemeriksaan signifikan .

menggunakan
autorefraktor)
Gong dkk, 2014 Untuk mengetahui Cross Variabel bebas : Parental
Parental faktor-faktor yang Sectional - gender myopia, jarak
Myopia, berhubungan dengan - umur membaca,
Aktivitas dengan terjadinya Stratified - tingkat durasi
Melihat Dekat, miopia pada anak Random pendidikan aktivitas
Durasi Tidur dan Tiongkok Sampling orangtua melihat dekat
Miopia pada - pekerjaan merupakan
Anak Tiongkok. orangtua faktor resiko
- pendapatan terjadinya
keluarga miopia.
- durasi Penelitian ini
aktivitas menemukan
melihat adanya
dekat hubungan
antara durasi
10

- aktivitas tidur dengan


olahraga terjadinya
- durasi tidur miopia di
- nutrisi mana
seseorang
Variabel terikat : yang kurang
Miopia tidur akan
(pemeriksaan cenderung
menggunakan mengalami
autorefraktor) miopia.
Penelitian Ini : Untuk mengetahui Cross- Variabel bebas : -
Hubungan hubungan antara sectional gangguan tidur
pada anak.
Gangguan Tidur gangguan tidur dengan
Pemeriksaan
dengan dengan terjadinya Cluster menggunakan
Terjadinya miopia pada anak Random kuisioner Sleep
Disturbances
Miopia pada usia sekolah (7-12 Sampling
Scale for
Anak tahun). Children

Variabel terikat :
Miopia
(pemeriksaan
menggunakan
optotip snellen
chart dan trial-
lens set)

Dari tabel tersebut di atas dapat dilihat karakteristik setiap penelitian.

Penelitian mengenai hubungan gangguan tidur dengan terjadinya miopia pada anak,

pada kesempatan ini belum pernah diteliti sebelumnya.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Anatomi Mata Manusia

Mata merupakan organ penglihatan yang dimiliki manusia. Mata

dilindungi oleh area orbit tengkorak yang disusun oleh berbagai tulang

seperti tulang frontal, sphenoid, maxilla, zygomatic, greater wing of

sphenoid, lacrimal, dan ethmoid (Rizzo, 2001)

Sebagai struktur tambahan mata, dikenal berbagai struktur aksesori

yang terdiri dari alis mata, kelopak mata, bulu mata, konjungtiva, aparatus

lakrimal, dan otot- otot mata ekstrinsik (Seeley dkk, 2006).

Alis mata dapat mengurangi masuknya cahaya dan mencegah

masuknya keringat yang dapat menimbulkan iritasi ke da lam mata. Kelopak

mata dan bulu mata mencegah masuknya benda asing ke dalam mata.

Konjungtiva merupakan suatu membrane mukosa yang tipis dan transparan.

Konjungtiva palpebral melapisi bagian dalam kelopak mata dan konjungtiva

bulbaris melapisi bagian anterior permukaan mata yang berwarna putih.

Titik pertemuan antara konjungtiva palpebral dan bulbar disebut sebagai

conjunctiva fornices (Seeley dkk, 2006).

Apparatus lakrimal terdiri dari kelenjar lakrimal yang terletak di

sudut anterolateral orbit dan sebuah duktus nasolacrimal yang terletak di

sudut inferomedial orbit. Kelenjar ini menghasilkan air mata yang keluar

dari kelenjar air mata melalui berbagai duktus nasolakrimalis dan menyusuri

11
12

permukaan anterior bola mata (Seeley dkk, 2006). Air mata tidak hanya

dapat melubrikasi mata melainkan juga mampu melawan infeksi bacterial

melalui enzim lisozim, garam, serta gamma globulin (Rizzo, 2001).

Untuk menggerakkan bola mata, mata dilengkapi dengan enam otot

ekstrinsik. Otot- otot tersebut yaitu superior rectus muscle, inferior rectus

muscle, medial rectus muscle, lateral rectus muscle, superior oblique

muscle, dan inferior oblique muscle. Pergerakan bola mata dapat

digambarkan secara grafik menyerupai huruf H sehingga uji klinis yang

digunakan untuk menguji gerakan bola mata disebut sebagi H test. Superior

oblique muscle diinervasi oleh nervus troklearis. Lateral rectus muscle

diinervasi oleh nervus abdusen. Keempat otot mata lainnya diinervasi oleh

nervus okulomotorius (Seeley dkk, 2006).

Bola mata dikelilingi oleh orbital fat pada bagian sisi dan

belakangnya. Hal ini berfungsi untuk memberi kebebasan bola mata

bergerak, melindungi pembuluh darah dan saraf yang melewati bagian

tersebut serta sebagai bantalan bagi bola mata itu sendiri (Saladin, 2008)

Gambar 1. Anatomi Mata Manusia


13

Bola mata berbentuk bulat berdiameter sekitar 24 mm, dengan 3

komponen utamanya yakni : (a) tiga lapisan (tunika) yang membentuk

dinding bola mata, (b) komponen optik yang melanjutkan dan

memfokuskan cahaya, dan (c) komponen neural yaitu retina dan saraf

optikus (Saladin, 2008).

a. Tunika

Terdapat tiga lapisan (tunika) yang menyusun dinding

bola mata, yakni (Saladin, 2008):

1) The outer fibrous layer (tunika fibrosa) yang dibagi menjadi

dua bagian yaitu sclera dan cornea (Saladin, 2008)

a) Sklera

Sklera merupakan dinding bola mata yang

terdiri atas jaringan ikat kuat yang tidak bening dan

tidak kenyal dengan tebal satu milimeter. Pada sklera

terdapat insersi atau perlekatan enam otot penggerak

bola mata (Ilyas, 2008)

b) Kornea

Kornea normal berupa selaput transparan

yang terletak di permukaan bola mata (Ilyas, 2010).

Kornea di bagian sentral memiliki tebal setengah

milimeter. Kornea tidak mempunyai pembuluh

darah, namun kornea sangat kaya akan serabut saraf.

Saraf sensorik ini berasal dari saraf siliar yang


14

merupakan cabang oftalmik saraf trigeminus (saraf

V) (Ilyas, 2008)

2) The middle vascular layer (tunika vaskulosa) disebut pula

uvea. Lapisan ini terdiri dari tiga bagian yakni choroid,

ciliary body, dan iris. Di dalamnya terdapat intrinsic eye

muscle yang terdiri dari ciliary muscle, pupillary constrictor

dan pupillary dilator (Saladin, 2008).

a) Choroid merupakan lapisan yang sangat kaya akan

pembuluh darah dan sangat terpigmentasi. Lapisan

ini terletak di belakang retina (Saladin, 2008).

b) Ciliary body merupakan ekstensi choroid yang

menebal serta membentuk suatu cincin muscular di

sekitar lensa dan berfungsi menyokong iris dan lensa

serta mensekresi cairan yang disebut sebagai

aqueous humor (Saladin, 2008).

c) Iris merupakan suatu diafragma yang dapat diatur

ukurannya dan lubang yang dibentuk oleh iris ini

disebut sebagi pupil. Diameter dari pupil dikontrol

oleh dua kontraktil dari iris yakni pupillary

constrictor dan pupillary dilator. Pupil akan

mengecil sebagai respon terhadap intensitas cahaya

yang tinggi dan objek yang terletak dekat dengan

mata. Sementara pupil akan membesar ketika berada


15

di tempat dengan cahaya kurang serta untuk

memfokuskan ke objek yang letaknya jauh. Refleks

pupil untuk konstriksi dan dilatasi ini disebut

photopupillary reflex. Iris memiliki dua lapisan

berpigmen yaitu posterior pigment epithelium yang

berfungsi menahan cahaya yang tidak teratur

mencapai retina dan anterior border layer yang

mengandung sel- sel berpigmen yang disebut sebagai

chromatophores. Konsentrasi melanin yang tinggi

pada chromatophores inilah yang memberi warna

gelap pada mata seseorang seperti hitam dan coklat.

Konsentrasi melanin yang rendah memberi warna

biru, hijau, atau abu- abu (Saladin, 2008).

3) The inner layer (tunika interna) terdiri dari retina dan saraf

optikus (Saladin, 2008).

b. Komponen Optik

Komponen optik dari mata merupakan elemen

transparan dari mata yang tembus cahaya serta mampu

membelokkan cahaya (refraksi) dan memfokuskannya pada

retina. Bagian- bagian optik ini mencakup kornea, aqueous

humor, lensa, dan vitreous body (Saladin, 2008).

Aqueous humor merupakan cairan serosa yang disekresi

oleh ciliary body ke posterior chamber, sebuah ruang antara iris


16

dan lensa. Cairan ini mengalir melalui pupil menuju anterior

chamber yaitu ruang antara kornea dan iris. Dari area ini, cairan

yang disekresikan akan direabsorbsi kembali oleh pembuluh

darah yang disebut sclera venous sinus (canal of Schlemm)

(Saladin, 2008).

Lensa terdiri dari sel yang transparan, pipih, dan dan

tertekan yang disebut lens fibers. Lensa tersuspensi di belakang

pupil oleh serat- serat yang membentuk cincin yang disebut

suspensory ligament, yang menggantungkan lensa ke ciliary

body. Tegangan pada ligamen memipihkan lensa hingga

mencapai ketebalan 3,6 mm dengan diameter 9.0 mm (Saladin,

2008).

Vitreous body (vitreous humor) merupakan suatu jelly

transparan yang mengisi ruangan besar di belakang lensa yang

disebut vitreous chamber. Sebuah kanal (hyaloids canal) yang

berada di sepanjang jelly ini merupakan sisa dari arteri hyaloid

yang ada semasa embrio. Vitreous body berfungsi untuk

mempertahankan bentuk bulat dari bola mata dan menjaga retina

untuk tetap menekan permukaan dalam dari chamber secara

halus. Hal ini penting untuk memfokuskan cahaya pada retina

(Saladin, 2008).
17

c. Komponen Neural

Komponen neural dari mata adalah retina dan saraf

optikus. Retina merupakan suatu membran yang tipis dan

transparan. Retina terfiksasi pada optic disc dan ora serrata.

Optic disc adalah lokasi dimana saraf optikus meninggalkan

bagian belakang (fundus) bola mata. Ora serrata merupakan tepi

anterior dari retina. Retina tertahan ke bagian belakang dari bola

mata oleh tekanan yang diberikan oleh vitreous body. Pada

bagian posterior dari titik tengah lensa, pada aksis visual mata,

terdapat sekelompok sel yang disebut macula lutea dengan

diameter kira- kira 3 mm. Pada bagian tengah dari macula lutea

terdapat satu celah kecil yang disebut fovea centralis, yang

menghasilkan gambar/ visual tertajam. Sekitar 3 mm dari arah

medial dari macula lutea terdapat optic disc. Serabut saraf dari

seluruh bagian mata akan berkumpul pada titik ini dan keluar

dari bola mata membentuk saraf optikus. Bagian optic disc dari

mata tidak mengandung sel- sel reseptor sehingga dikenal juga

sebagai titik buta (blind spot) pada lapangan pandang setiap mata

(Saladin, 2008).

2. Fisiologi Penglihatan

Penglihatan dimulai dari masuknya cahaya ke dalam mata dan

difokuskan pada retina. Cahaya yang datang dari sumber titik jauh,
18

ketika difokuskan di retina menjadi bayangan yang sangat kecil (Guyton

& Hall, 2008).

Cahaya masuk ke mata direfraksikan atau dibelokkan ketika

melalui kornea dan bagian- bagian lain dari mata (aqueous humor, lensa,

dan vitreous humor). Bagian- bagian tersebut mempunyai kepadatan

yang berbeda- beda sehingga cahaya yang masuk dapat difokuskan ke

retina. Cahaya yang masuk melalui kornea diteruskan ke pupil. Pupil

merupakan lubang bundar anterior di bagian tengah iris yang mengatur

jumlah cahaya yang masuk ke mata. Pupil membesar bila intensitas

cahaya kecil, misalnya saat berada di tempat gelap. Apabila berada di

tempat terang atau intensitas cahaya tinggi maka pupil akan mengecil.

Pengatur perubahan pupil tersebut adalah iris yang merupakan cincin

otot yang berpigmen dan tampak dalam aqueous humor. Setelah melalui

pupil dan iris, maka cahaya sampai ke lensa (Guyton & Hall, 2008)

Ketika kita melihat benda pada jarak lebih dari 6 m (20 ft), lensa

akan memipih hingga ketebalan sekitar 3,6 mm. Sedangkan ketika kita

melihat sesuatu pada jarak kurang dari 6 m, lensa akan menebal hingga

4,5 mm pada pusatnya dan membelokkan cahaya (refraksi) dengan lebih

kuat. Perubahan ketebalan lensa tersebut dikenal dengan lens

accommodation (akomodasi lensa) (Saladin, 2008). Selain daya

akomodasi, lensa juga berfungsi untuk memfokuskan bayangan agar

jatuh tepat di retina (Guyton & Hall, 2008).


19

Bila cahaya sampai ke retina, maka sel- sel batang dan sel- sel

kerucut (sensitif terhadap cahaya) akan meneruskan sinyal- sinyal

cahaya tersebut ke otak melalui saraf optik. Bayangan atau cahaya yang

tertangkap oleh retina adalah terbalik, nyata, lebih kecil, tetapi pada

persepsi otak terhadap benda tetap tegak, karena otak mempunyai

mekanisme menangkap bayangan yang terbalik itu sebagai keadaan

normal (tegak) (Guyton & Hall, 2008).

Penglihatan manusia dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Central Vision

Central vision adalah penglihatan yang timbul pada saat cahaya

jatuh pada area macula lutea retina dan memberikan stimulus pada

fotoreseptor yang berada pada area tersebut. Dalam pemeriksaaannya,

central vision dapat dibagi menjadi uncorrected visual acuity di mana

mata diukur ketajamannya tanpa menggunakan kacamata maupun lensa

kontak dan corrected visual acuity dimana mata yang diukur telah

dilengkapi dengan alat bantu penglihatan seperti kacamata maupun

lensa kontak. Karena penurunan ketajaman penglihatan jarak jauh dapat

disebabkan oleh kelainan refraksi, umumnya jenis pemeriksaan yang

dipilih untuk menilai kesehatan mata adalah corrected visual acuity

(Riordan-Eva & Whitcher, 2007)

b. Peripheral Vision

Peripheral vision adalah penglihatan yang timbul pada saat

cahaya jatuh pada area di luar macula lutea retina dan memberikan
20

stimulus pada fotoreseptor yang berada pada area tersebut (Riordan-Eva

& Whitcher, 2007)

Penglihatan perifer dapat ditinjau secara cepat dengan

menggunakan confrontation testing. Pada pemeriksaan ini, mata yang

tidak diperiksa ditutup dengan menggunakan telapak tangan dan

pemeriksa duduk sejajar dengan pasien. Jika mata kanan pasien

diperiksa, maka mata kiri pasien ditutup dan mata kanan pemeriksa

ditutup. Pasien diminta untuk melihat lurus sejajar dengan mata kiri

pemeriksa. Untuk mendeteksi adanya gangguan, pemeriksa

menunjukkan angka tertentu dengan menggunakan jari tangan yang

diletakkan di antara pasien dan pemeriksa pada keempat kuadran

penglihatan. Pasien diminta untuk mengidentifikasi angka yang

ditunjukkan (Riordan-Eva & Whitcher, 2007).

3. Kelainan Refraksi

Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media

penglihatan yang terdiri atas kornea, aqueous humor, lensa, badan kaca,

dan panjangnya bola mata. Pada mata normal, susunan pembiasan oleh

media penglihatan dan panjangnya bola mata demikian seimbang

sehingga bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan

tepat di daerah macula lutea. Mata yang normal disebut sebagai mata

emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat di retina pada

keadaan mata tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh

(Ilyas, 2004)
21

Emetropia adalah suatu keadaan dimana sinar yang sejajar atau

jauh dibiaskan atau difokuskan oleh sistem optik mata tepat pada daerah

macula lutea tanpa melakukan akomodasi. Pada mata emetropia,

terdapat keseimbangan antara kekuatan pembiasan sinar dengan

panjangnya bola mata. Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar

ditentukan oleh dataran depan dan kelengkungan kornea serta

panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya pembiasan sinar

terkuat dibanding media penglihatan lainnya. Lensa memegang peranan

terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila melihat benda yang

dekat (Ilyas, 2006)

Panjang bola mata seseorang berbeda- beda. Bila terdapat

kelainan pembiasan sinar oleh kornea (mendatar, mencembung) atau

adanya perubahan panjang bola mata (lebih panjang, lebih pendek),

maka sinar normal tidak dapat terfokus tepat pada macula lutea.

Keadaan ini disebut sebagai ametropia (Ilyas, 2006).

Ametropia adalah suatu keadaan mata dengan kelainan refraksi

di mana mata yang dalam keadaan tanpa akomodasi atau istirahat

memberikan bayangan sinar sejajar pada fokus mata yang tidak terletak

pada retina. Ametropia dapat ditemukan dalam bentuk- bentuk kelainan

seperti hipermetropia, astigmatisma, dan miopia (Ilyas, 2006).

Keadaan ametropia atau kelainan refraksi ini dapat disebabkan

oleh berbagai faktor antara lain keturunan, usia, lingkungan, dan


22

kebiasaan atau gaya hidup seperti kebiasaan membaca dan aktivitas di

dekat komputer (Komariah, 2014).

a. Hipermetropia

Hipermetropia didefinisikan sebagai ketidaksesuaian antara

kekuatan media refrakta dengan panjang sumbu bola mata di mana

berkas sinar paralel yang masuk berkonvergensi pada satu titik fokus

di posterior retina. Kelainan ini bisa dikoreksi dengan lensa

konvergen atau lensa positif (Lang & Spraul, 2000).

b. Astigmatisma

Astigmatisma merupakan kesalahan refraksi sistem lensa

mata yang biasanya disebabkan oleh kornea yang berbentuk bujur

atau lensa yang berbentuk bujur. Karena kelengkungan lensa

astigmatisma di satu bidang lebih kecil dari bidang yang lain maka

berkas cahaya yang mengenai bagian perifer lensa itu dalam satu

bidang tidak bengkok sedemikian besar seperti berkas cahaya yang

mengenai bagian perifer bidang lainnya (Ganong, 2002).

c. Miopia

1) Definisi Miopia

Miopia adalah suatu keadaan mata yang mempunyai

kekuatan pembiasan sinar yang berlebihan sehingga sinar sejajar

yang datang dibiaskan di depan retina (bintik kuning). Pada

miopia, titik fokus sistem optik media penglihatan terletak di

depan macula lutea. Hal ini dapat disebabkan sistem optik


23

(pembiasan) terlalu kuat, miopia refraktif, atau bola mata yang

terlalu panjang (Ilyas, 2003).

2) Klasifikasi Miopia

Berdasarkan penyebabnya, myoia dapat dibedakan

menjadi (Ilyas, 2010) :

a) Miopia sumbu atau miopia aksial yaitu miopia yang

disebabkan karena sumbu bola mata (jarak kornea ke retina)

terlalu panjang di mana kornea dan lensa dalam keadaan

normal.

b) Miopia pembiasan atau myoia refraktif, yaitu miopia yang

disebabkan karena daya bias kornea, lensa, atau aqueous

humor terlalu kuat.

Menurut Sidarta (2007) berdasarkan ukuran dioptri lensa

yang dibutuhkan untuk koreksi, miopia dibagi menjadi :

a) Miopia ringan : terkoreksi dengan lensa 0,25 dioptri s/d 3,0

dioptri

b) Miopia sedang : terkoreksi dengan lensa 3,25 dioptri s/d 6,0

dioptri

c) Miopia berat : terkoreksi dengan lensa > 6,0 dioptri

Berdasarkan onset terjadinya miopia dapat digolongkan

menjadi (Ilyas, 2007):

a) Kongenital : sejak lahir dan menetap pada masa anak- anak

b) Onset anak- anak : di bawah umur 20 tahun


24

c) Onset awal dewasa : di antara umur 20 tahun sampai 40

tahun

d) Onset dewasa : di atas umur 40 tahun

3) Patofisiologi Miopia

Miopia atau “penglihatan dekat” terjadi pada saat otot

siliaris relaksasi total sehingga cahaya dari objek yang letaknya

jauh difokuskan di depan retina. Keadaan seperti ini terjadi

akibat dari bola mata yang terlalu panjang, atau karena daya bias

sistem lensa terlalu kuat. Tidak ada mekanisme bagi miopia

untuk mengurangi kekuatan lensa karena otot siliaris dalam

keadaan relaksasi sempurna. Pasien dengan miopia tidak

mempunyai mekanisme untuk memfokuskan bayangan dari

objek jauh dengan tepat di retina. Namun, jika objek didekatkan

ke mata, bayangan akan menjadi cukup dekat sehingga dapat

difokuskan tepat di retina. Saat objek terus didekatkan ke mata,

mata akan menggunakan mekanisme akomodasi agar bayangan

yang terbentuk tetap terfokus jelas. Pasien dengan miopia

mempunyai titik jauh yang terbatas untuk penglihatan jelas

(Guyton & Hall, 2008).

4) Manifestasi Klinis Miopia

Menurut National Eye Institute (NEI) (2010), terdapat

beberapa gejala yang timbul pada penderita miopia, yaitu

pusing, mata mudah lelah, penglihatan menjadi kabur jika


25

melihat benda yang letaknya jauh, dan sering menyipitkan

matanya ketika melihat benda yang jauh. Secara klinis

kecenderungan menyipitkan mata untuk mendapatkan efek

pinhole yang positif (Staff American Academy of

Ophtalmology, 2005).

5) Diagnosis Miopia pada Anak

Diagnosis miopia pada anak usia sekolah dapat

ditegakkan berdasarkan anamnesis, manifestasi klinis, dan

pemeriksaan oftalmologis. Pemeriksaan oftalmologis yang

dilakukan adalah pemeriksaan tajam penglihatan secara

subjektif dengan menggunakan kartu snellen chart pada jarak

enam meter untuk mendapatkan koreksi terbaik (Staff American

Academy of Ophtalmology, 2005). Dengan kartu Snellen

standar ini dapat ditentukan tajam penglihatan (visus) seseorang

(Ilyas, 2009).

a) Bila tajam penglihatan 6/6 maka berarti ia dapat melihat

huruf pada jarak enam meter, yang oleh orang normal huruf

tersebut dapat dilihat pada jarak enam meter.

b) Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang

menunjukkan angka 30, berarti tajam penglihatan pasien

adalah 6/30. Artinya pasien dapat membaca pada jarak 6

meter di mana orang normal d apat membaca pada jarak 30

meter.
26

c) Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu

Snellen maka dilakukan uji hitung jari. Jari dapat dilihat

terpisah oleh orang normal pada jarak 60 meter Bila pasien

hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang

diperlihatkan pada jarak tiga meter, maka dinyatakan tajam

3/60. Dengan pengujian ini tajam penglihatan hanya dapat

dinilai sampai 1/60, yang berarti hanya dapat menghitung

jari pada jarak 1 meter.

d) Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan tajam

penglihatan pasien yang lebih buruk daripada 1/60. Orang

normal dapat melihat gerakan atau lambaian tangan pada

jarak 300 meter. Bila mata hanya dapat melihat lambaian

tangan pada jarak satu meter berarti tajam penglihatannya

adalah 1/300.

e) Kadang-kadang mata hanya dapat mengenal adanya sinar

saja dan tidak dapat melihat lambaian tangan. Keadaan ini

disebut sebagai tajam penglihatan 1/~. Orang normal dapat

melihat adanya sinar pada jarak tidak berhingga.

f) Bila penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar

maka dikatakan penglihatannya adalah 0 (nol) atau buta nol.

Pemeriksaan oftalmologis lain adalah pemeriksaan

refraksi objektif dengan menggunakan streak retinoskopi.

Dianjurkan penggunaan siklopegik bila melakukan pemeriksaan


27

ketajaman penglihatan pada anak. Pemeriksaan funduskopi

dengan oftalmoskop mungkin menghasilkan gambaran fundus

yang normal, karena umumnya derajat miopia pada anak tidak

tinggi sehingga tidak menimbulkan kelainan pada fundus (Staff

American Academy of Ophtalmology, 2005).

6) Penatalaksanaan Miopia pada Anak

Pasien miopia dikoreksi dengan kacamata sferis negatif

terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal.

Sebagai contoh apabila pasien dikoreksi dengan -3,00 dioptri

memberikan tajam penglihatan 6/6, demikian juga apabila diberi

sferis -3,25 dioptri, maka sebaiknya diberikan koreksi -3,00

dioptri agar mata dapat beristirahat dengan baik setelah

dikoreksi (Sidarta, 2007). Besarnya kekuatan lensa yang

digunakan untuk koreksi ditentukan dengan cara trial and error,

yaitu mula- mula meletakkan sebuah lensa kuat dan kemudian

diganti dengan lensa yang lebih kuat atau lebih lemah sampai

memberikan tajam penglihatan terbaik (Guyton & Hall, 2008).


28

Gambar 2. Koreksi Lensa Cekung pada Miopia

Progresifitas miopia juga dapat ditekan dengan

pemberian tetes mata atropine dalam konsentrasi kecil (0,5%,

0,25%, dan 0,1%), karena atropine akan menghambat

akomodasi. Konsentrasi yang tinggi (1%) meningkatkan insiden

dan derajat efek samping local seperti midriasis, fotofobia,

buram, dan dermatitis alergi serta efek samping sistemik.

Pemberian atropine pertama kali dilakukan oleh Wells pada

abad ke-19 (Saw dkk, 2002).

Untuk melakukan pencegahan terhadap miopia pada

anak, perlu dilakukan pemeriksaan mata secara dini.

Pemeriksaan mata pada anak dilakukan pertama kali saat anak

berumur enam bulan (atau segera apabila terdapat gejala dan

tanda). Jika tidak ada abnormalitas, pemeriksaan selanjutnya

dapat dilakukan saat anak berusia 3 tahun (American Optometric

Association, 2002).
29

7) Prognosis Miopia pada Anak

Sebagian besar miopia pada anak- anak memiliki derajat

yang rendah sampai sedang, tetapi beberapa di antaranya dapat

juga berkembang menjadi miopia derajat tinggi (Fredrick,

2002). Umumnya diketahui bahwa semakin cepat miopia

muncul pada anak maka semakin besar pula derajat

progresifitasnya (Staff American Academy of Ophtalmology,

2005). Miopia memiliki efek yang negatif terhadap kepercayaan

diri, jenjang karir dan kondisi kesehatan mata (Rose dkk, 2000).

4. Perkembangan Penglihatan pada Anak

Pertumbuhan dan perkembangan mata secara anatomi dan

fisiologi berlangsung sejak kehidupan intrauterine hingga pubertas.

Setelah mencapai pubertas, panjang aksial mata yang didefinisikan

sebagai diameter anterior-posterior mata tidak mengalami perubahan

pada subjek yang sehat. Namun, status refraksi mata masih mungkin

mengalami perubahan pada orang dewasa karena proses penuaan.

Perkembangan mata dimulai dari vesikel optik saat usia embrio

mencapai 3 minggu. Mata adalah organ yang berasal dari ketiga lapisan

ectoderm, endoderm, dan mesoderm. Tiga tahun awal kehidupan adalah

masa kritis untuk pertumbuhan dan perkembangan mata. Penglihatan

yang jelas dicapai oleh visual cortex dalam masa kritis ini. Sehingga

kapasitas visual dewasa yang normal berkembang pada tiga tahun

pertama kehidupan ini (Fredrick, 2004).


30

Pertumbuhan komponen refraksi mata untuk mencapai refraksi

plano (zero refraction error) disebut emmetropization. Jika terjadi

kesalahan pada proses ini maka anak akan mengalami gangguan

refraksi. Panjang aksial bisa menjadi terlalu pendek menyebabkan

terjadinya hipermetropia atau terlalu panjang sehingga menyebabkan

miopia. Astigmatisma terjadi karena bentuk yang tidak normal dari

kornea (Mutti, 1992)

Status refraksi bayi baru lahir umumnya hipermetropia dengan

kekuatan refraksi sekitar 3,0 D (American Academy of Ophtalmology,

2005). Derajat hipermetropia yang terlalu tinggi (> +5,0 D) pada bayi

baru lahir adalah hal yang tidak normal dan mempunyai peluang kecil

untuk mencapai keadaan emetrop (Mutti, 1992)

Berbagai perubahan anatomis pada mata terjadi untuk mencapai

emmetropization. Diameter kornea ketika lahir sekitar 9,5-10,5 mm.

Ketika dewasa rata- rata ukurannya menjadi 12 mm. Daya refraksi

kornea sebesar 52 dioptri ketika lahir kemudian menurun hingga 42- 44

dioptri ketika dewasa. Panjang aksial mata ketika lahir yakni 17 mm.

Panjang aksial akan bertambah menjadi 20 mm hingga 12 bulan

kehidupan berlanjut dengan pesat hingga usia 2 tahun (Mutti, 1992).

Kemudian perubahan panjang aksial dibagi menjadi dua fase, yaitu

infantile phase dan juvenile phase. Pada infantile phase (umur 2-5

tahun) pertumbuhan sumbu bola mata sekitar 1,1 mm dan juvenile phase

(umur 5-13 tahun) pertumbuhannya mencapai 1,3 mm (Wright dan


31

Spiegel, 1999). Mencapai dewasa panjang aksial menurun menjadi 24

mm (Mutti, 1992). Saat dewasa, laki-laki memiliki sumbu mata yang

sedikit lebih panjang dari perempuan, sekitar 0,3-0,4 mm (Wright dan

Spiegel, 1999). Ketika lahir lensa mempunyai daya akomodasi sebesar

34 dioptri. Kemudian enam bulan pertama kehidupan, daya akomodasi

rata- rata menjadi 28 dioptri. Saat mencapai dewasa, daya akomodasi

menurun menjadi 20 dioptri (Mutti, 1992)

Mata anak- anak normal ialah 2 dioptri hyperopia, akan

meningkat perlahan hingga usia tujuh tahun, kemudian menurun pada

usia 9-12 tahun saat proses emmetropization tercapai (Mutti, 1992).

Emetropisasi tercapai bila kekuatan optik mata tanpa akomodasi sesuai

dengan panjang sumbu bola mata, sehingga bayangan sinar benda jauh

yang masuk ke mata difokuskan tepat di retina (Saw dkk, 2002). Mata

yang normal hanya mengalami perubahan bias kecil setelah usia 13

tahun (Mutti, 1992).

5. Gangguan Tidur

Kebutuhan tidur setiap individu berbeda. Hal utama yang

menjadi pembeda adalah usia, karena dengan peningkatan usia

seseorang maka kebutuhan tidur akan berkurang. Seorang individu

mengalami proses yang bertahap untuk bisa mendapatkan ritme

sirkadian 24 jam. Ritme sirkadian akan terbentuk sempurna ketika usia

anak mencapai 4 bulan (Widodo & Soetomenggolo, 2000). R itme atau

irama sirkadian berfungsi mengatur berbagai irama tubuh antara lain


32

siklus bangun-tidur, temperature tubuh, tekanan darah, dan pola sekresi

hormone (Hedge, 2013).

Tabel 2. Rekomendasi Durasi Tidur untuk Berbagai Usia

1) Definisi

Gangguan tidur adalah kumpulan gejala yang ditandai oleh

gangguan dalam jumlah, kualitas, dan waktu tidur pada seseorang

(Free Health Encyclopedia, 2007).

2) Klasifikasi

Secara umum PPDGJ III membagi gangguan tidur menjadi

dua yaitu disomnia dan parasomnia. Disomnia adalah suatu kondisi

psikogenik primer dengan ciri gangguan tidur dari segi kualitas,

kuantitas, atau waktu tidur yang terkait dengan faktor emosional.

Keadaan insomnia dan hipersomnia serta gangguan siklus bangun


33

tidur termasuk dalam disomnia. Parasomnia adalah adanya kejadian

abnormal yang terjadi selama tidur, seperti night terrors, nightmares,

sleep walking, dan sleep talking. Selain itu gangguan tidur lain

menurut PPDGJ III adalah gangguan tidur organic, gangguan tidur

non- psikogenik termasuk narkolepsi, sleep apnea, mioklonus

nocturnal, dan eneuresis (Maslim, 2003).

Menurut Auger dkk (2015), terdapat beberapa gangguan

tidur yang disebabkan oleh gangguan irama sirkadian tubuh yakni

delayed sleep phase disorder, advanced sleep phase disorder, jet lag

disorder, shift work disorder, irregular sleep-wake rhytm, dan free-

running (nonentrained) type. Delayed sleep phase disorder paling

umum terjadi pada anak dan dewasa muda. Pada delayed sleep phase

disorder seseorang secara teratur terlambat untuk memulai tidur dan

bangun lebih dari dua jam dibandingkan dengan orang normal.

3) Penatalaksanaan pada Anak

Beberapa terapi yang dapat dilakukan antara lain : hygiene

tidur, konseling, menghindari faktor- faktor yang mengganggu tidur,

terapi perilaku, adenotonsilektomi, dan terapi oksigen tekanan

positif (Lebourgeois dkk, 2005)

Hygiene tidur adalah perilaku sehari- hari yang dapat

membentuk kualitas dan kuantitas tidur yang baik. Beberapa

perilaku tersebut antara lain (Lebourgeois dkk, 2005)


34

a) Menghindari tidur di siang hari terlalu lama (>1 jam) dan

terlalu sore

b) Menghindari konsumsi alcohol, rokok, dan kafein sebelum

tidur

c) Menghindari aktivitas yang bersifat merangsang baik secara

fisilogis, kognitif, atau emosional

d) Tidur dalam kondisi nyaman, tenang, dan bebas toksin.

e) Mempertahankan jadwal tidur yang stabil setiap harinya

Selain terapi nonfarmakologi, terapi farmakologi yang dapat

diberikan antara lain benzodiazepine, agonis reseptor alpha-2,

derivate pirimidin, sedatif antidepresan, sedative antihistamin, dan

melatonin. Diantara terapi tersebut, pemberian melatonin adalah

yang paling efektif, aman, dan bisa ditoleransi dengan baik terutama

pada gangguan tidur yang disebabkan oleh faktor yang

mempengaruhi irama sirkadian (Cortese dkk, 2014).

6. Hubungan Gangguan Tidur dengan Terjadinya Miopia pada


Anak
Salah satu irama sirkadian pada manusia yang paling terlihat

jelas adalah siklus bangun-tidur. Tubuh mempunyai “master biologic

clock” yang mengatur siklus bangun-tidur dan irama sirkadian yang lain

yakni suprachiasmatic nuclei (SCN) pada bagian ventral anterior

hipotalamus (Markov dan Goldman, 2006). Jalur masuk utama ke

suprachiasmatic nuclei adalah dari retina yakni melalui

retinohypothalamic tract (RHT) (Markov & Goldman, 2006). Hal ini


35

menunjukkan keterkaitan yang erat antara mata dengan pengaturan

siklus bangun-tidur pada irama sirkadian.

Jalur dopaminergik retina yang terlibat dalam pengaturan irama

sirkadian tubuh pada manusia juga terlibat dalam pertumbuhan dan

perkembangan bola mata (Zhou dkk, 2015) dan selanjutnya

berpengaruh terhadap perkembangan refraksi mata (Stone dkk, 2004).

Dalam Nickla (2013), penelitian yang dilakukan Jean Lauber

dkk pada tahun 1957 menunjukkan pentingnya irama sirkadian dalam

pertumbuhan dan perkembangan mata. Mereka memaparkan cahaya

secara terus menerus kepada sejumlah anak ayam untuk memutus irama

sirkadian pada anak ayam tersebut. Hasilnya menunjukkan terjadi

pertumbuhan bola mata dan penebalan kornea yang tidak normal pada

anak ayam sesuai dengan lama pemaparan, yang menyebabkan miopia

atau hyperopia.

Gong dkk (2014) memperkirakan hubungan antara tidur dengan

miopia terjadi karena pada saat tidur otot-otot siliar mata dapat

berelaksasi atau beristirahat sehingga mencegah terjadinya miopia atau

mengurangi progresivitas miopia.


36

B. Kerangka Teori

Mata

Anatomi Mata Fisiologi Mata

Perkembangan
Penglihatan

Normal Abnormal

Mata Emetrop

Intrinsik
(Genetik &
Usia)
Faktor-faktor Kelainan
yang Lingkungan
Refraksi
berpengaruh

Lifestyle :
Gangguan
Tidur

Keterangan
= Tidak diteliti Miopia Hipermetropia Astigmatisma

= Diteliti
37

C. Kerangka Konsep

Anak Usia
Sekolah
(7-12 Tahun)

Gangguan Tidur
(Irama
Sirkadian)

Pertumbuhan Fluktuasi Otot Siliar


Mata Panjang Mata Tidak
Abnormal Aksial Harian Beristirahat

Miopia

D. Hipotesis

Ho : Tidak terdapat hubungan antara gangguan tidur dengan terjadinya

miopia pada anak.

H1 : Terdapat hubungan antara gangguan tidur dengan terjadinya miopia

pada anak.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian hubungan antara gangguan tidur dengan terjadinya

miopia pada anak merupakan jenis penelitian kuantitatif. Desain penelitian

yang digunakan adalah observasional analitik yaitu penelitian yang

menjelaskan adanya hubungan antara variabel melalui pengujian hipotesa.

Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional dimana

peneliti mengukur variabel bebas dan variabel terikat dalam waktu yang

bersamaan atau sekaligus pada satu saat (point time approach).

B. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi dari penelitian ini adalah siswa- siswi SD Negeri 1

Karangwuni, Sleman yang berusia 7-12 tahun.

2. Sampel

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah

cluster random sampling dimana populasi dikelompokkan berdasarkan

usia kemudian tiap kelompok usia akan diambil sampel secara acak.

Penentuan perkiraan jumlah sampel yang digunakan yaitu

menggunakan rumus Slovin :

𝑁
𝑛=
1 + 𝑁𝑒 2

38
39

Keterangan :

n = jumlah sampel

N : jumlah populasi, dikertahui jumlah populasi sebanyak 90 anak

e = batas toleransi kesalahan ( e = 1-α = 1- 0,95 = 0,05)

Perhitungan sampel :

90
𝑛=
1 + 90 (0,05)2

𝑛 = 73, 47 ≈ 74

Dari perhitungan tersebut diperoleh jumlah sampel yang diperlukan

untuk penelitian ini sebanyak 74 anak.

Adapun kriteria inklusi dan eksklusi sampel adalah sebagai berikut :

1) Kriteria Inklusi

a) Seluruh siswa/i SD Negeri 1 Karangwuni, Sleman yang berusia

7-12 tahun.

b) Bersedia menjadi subyek penelitian.

2) Kriteria Eksklusi

a) Siswa- siswi SD SD Negeri 1 Karangwuni yang menderita

kelainan refraksi lain seperti hipermetropia dan astigmatisma.

b) Siswa- siswi SD Negeri 1 Karangwuni yang pernah menjalani

operasi mata atau laser mata.


40

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di SD Negeri 1 Karangwuni, Sleman dan

melakukan kunjungan ke rumah siswa-siswi SD Negeri 1 Karangwuni yang

menjadi sampel. Penelitian akan dilaksanakan pada Mei-Juli 2016.

D. Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah gangguan tidur pada

anak.

2. Variabel terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah miopia pada anak.

E. Definisi Operasional

1. Gangguan tidur adalah kumpulan kondisi yang dicirikan dengan

adanya gangguan dalam jumlah, kualitas, atau waktu tidur pada

seorang individu. Dalam penelitian ini gangguan tidur didefinisikan

menggunakan measure nominal yang dibedakan menjadi ada

gangguan tidur (skor >39) dan tidak ada gangguan tidur (skor < 39).

2. Miopia adalah salah satu jenis kelainan refraksi dimana sinar sejajar

yang datang dibiaskan di depan retina. Dalam penelitian ini miopia

didefinisikan menggunakan measure nominal yang dibedakan

menjadi miopia (visus < 6/6, dengan koreksi pinhole positif dan

koreksi lensa sferis cekung) dan tidak miopia (visus normal).


41

F. Instrumen Penelitian

1. Informed Consent

2. Kuisioner Sleep Disturbances Scale for Children (SDSC)

Sleep Disturbances Scale for Children (SDSC) merupakan

kuisioner yang terdiri dari 26 pertanyaan untuk mengidentifikasi

adanya gangguan tidur pada anak. Kuisioner SDSC ini akan diisi

oleh orang tua dari anak untuk mengetahui gangguan tidur pada

anak. Berdasarkan SDSC, gangguan tidur pada anak dapat

diklasifikasikan menjadi 6 yakni :

a) Gangguan memulai dan mempertahankan tidur

Skor didapatkan dari pertanyaan nomor 1, 2, 3, 4, 5, 10, dan 11.

b) Gangguan pernafasan waktu tidur

Skor didapatkan dari pertanyaan nomor 13, 14, dan 15.

c) Gangguan kesadaran

Skor didapatkan dari pertanyaan nomor 17, 20, dan 21.

d) Gangguan transisi tidur-bangun

Skor didapatkan dari pertanyaan nomor 6, 7, 8, 12, 18, dan 19.

e) Gangguan somnolen berlebih

Skor didapatkan dari pertanyaan nomor 22, 23, 24, 25, dan 26.

f) Hiperhidrosis saat tidur

Skor didapatkan dari pertanyaan nomor 9 dan 16.


42

Persentase skor di dapatkan dengan : total skor/ skor total

gangguan tidur x 100%. Terdapat gangguan tidur pada anak apabila

skor > 39.

Kuisioner Sleep Disturbances Scale for Children (SDSC)

yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner yang sudah

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dilakukan uji validasi

dan reliabilitas ulang untuk mengukur gangguan tidur pada siswa

SD di daerah Tangerang Selatan. Berikut hasil uji validitas dan

reliabilitas instrument penelitian ini.

Tabel 3. Uji Validitas dan Reliabilitas Kuisioner Sleep


Disturbances Scale for Children (SDSC)

Variabel Item Pertanyaan R Tabel Alpha Cronbach

Pola Gangguan Tidur 26 Pertanyaan 0,391 0,776

Pada penelitian yang dilakukan oleh Christine Natalita dkk

pada April 2011 dilakukan uji diagnostik kuisioner Sleep

Disturbances Scale for Children (SDSC) yang sudah diterjemahkan

ke dalam bahasa Indonesia terhadap wrist actigraphy dengan hasil

sensitivitas dan spesifitas ialah 71,4% dan 54,5%. Kemudian

dilakukan uji Mc Nemar untuk membandingkan hasil pemeriksaan

SDSC dengan wrist actigraphy tidak didapatkan perbedaan (nilai

p=0,832) yang berarti kedua pemeriksaan ini sama.

2. Optotip Snellen Chart dan trial-lens set


43

Optotip Snellen Chart digunakan untuk mengukur ketajaman

penglihatan (visus) mata. Kemudian apabila visus diketahui

menurun, dilanjutkan dengan uji pin hole dimana jika dengan uji

pinhole penglihatan menjadi membaik maka terdapat kelainan

refraksi pada mata. Setelah didapatkan hasil positif pada uji pinhole

dilakukan koreksi dengan set lensa-coba dengan memasangkan

lensa sferis cekung, cembung, dan silinder pada dioptri tertentu

hingga menghasilkan penglihatan terbaik.

G. Jalannya Penelitian

Perizinan Siswa- siswi SD


Penelitian di Negeri 1
Survei Lokasi SDN 1 Karangwuni,
Karangwuni Sleman

Pendataan Pemeriksaan
Kriteria Inklusi
Sampel Visus di
& Eksklusi
Penelitian Sekolah

Kuisioner
Informed Pengumpulan
SDSC (Home
Consent Data
Visit)

Penyusunan
Karya Tulis Analisis Data
Ilmiah
44

H. Analisa Data

Pada penelitian ini, proses analisis data menggunakan sebuah

program pengolah data statistik yakni Statistical Package for the Social

Sciences (SPSS). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan uji Chi-

Square untuk mengetahui hubungan antara gangguan tidur dengan

terjadinya miopia pada anak.


45

Daftar Pustaka

Abimanyu, J. K., 2013. Faktor yang Berhubungan dengan Kelainan Refraksi


Miopia pada Anak Sekolah Dasar di Kabupaten Tanggamus Tahun 2009/2010,
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
American Optometric Association, 2002. Pediatric Eye and Vision Examination.
Optometric Clinical Practice Guideline.
American Optometric Association, 2006. Care of The Patient with Myopia.
American Optometric Association, U.S.A.
American Optometric Association, 2006. Care of The Patient with Myopia.
American Optometric Association.
Auger, R. R., Burgess, H. J., Emens, J. S., Deriy, L. V., Thomas, S. M., Sharkey,
K.M., dkk. 2015. Clinical Practice Guideline for the Treatment of Intrinsic
Circadian Rhytm Sleep-Wake Disorders. Journal of Clinical Sleep Medicine,
Volume 11 (10), pp. 1199-1236.
Basri, S., 2014. Etiopatogenesis dan Penatalaksanaan Miopia pada Anak Usia
Sekolah. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, Volume 14 (3), pp. 181-186.
Cortese, S., Ivanenko, A., Ramtekkar, U. & Angriman, M., 2014. Sleep Disorders
in Children and Adolescent a practical guide : Psychiatry and pediatrics. pp. 1-19.
Fachrian, D., Rahayu, A. B., Naseh, A. J., Rerung, N. E. T, Pramesti, M., dkk. 2009.
Prevalensi Kelainan Tajam Penglihatan pada Pelajar SD "X" Jatinegara Jakarta
Timur. Majalah Kedokteran Indonesia, Volume 59 (6), pp. 261-264.
Foreman, M. & Wykle, M., 1995. Sleep Disturbance in Elderly Patient. In: Nursing
Standart of Practice Protocol. Cleveland: Moshby.
Fredrick, D., 2002. Myopia Clinical Review. British Journal of Ophtalmology, pp.
1195-1199.
Fredrick, D., 2004. Special Subjects of Pedicatric Interest. In: General
Ophtalmology, Riordan-Eva P. & Whitcher JP.. USA: McGraw-Hill Companies,
pp. 230-49.
Free Health Encyclopedia, 2007. Sleep Disorders. [Online]
Dari : http;//www.faqs.org/health/Sick-V4/Sleep-Disorders-Definition.html
[Diakses 21 Maret 2016].
Ganong, 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Gong, Y., Zhang, X., Tian, D., Wang, D., Xiao, G. 2014. Parental Myopia, Near
Work, Hours of Sleep, and Myopia in Chinesse Children. SciRes, Volume 6 (1), pp.
64-70.
Guyton, A. & Hall, J., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11 ed. Jakarta: EGC.
46

Hedge, A., 2013. Biological Rhytms, s.l.: Cornell University.


Ilyas, S., 2003. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. 2 ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Ilyas, S., 2004. Dasar Teknik Pemeriksaan dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Ilyas, S., 2006. Ilmu Penyakit Mata. 2 ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Ilyas, S., 2007. Ilmu Penyakit Mata. 3 ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Ilyas, S., 2008. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Ilyas, S., 2009. Ilmu Penyakit Mata. 3 ed. Jakarta: Balai Penerbitb FKUI.
Ilyas, S., 2010. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Jun, X. S., Yuhui, W., Hui, Z., Liang, X., Bo, W., Duties, the, dkk. 2016.
Association Between Time Spent on Physical Exercise, Sleep, Homework, and
Suspected Myopia among Students. Chinesse Journal of Epidemiology, Volume 37
(02), pp. 183-186.
Komariah, C., 2014. Hubungan Status Refraksi dengan Kebiasaan Membaca,
Aktivitas di Depan Komputer, dan Status Refraksi Orang Tua pada Anak Usia
Sekolah Dasar. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Volume 28 (2), pp. 137-140.
Lang, G. & Spraul, C., 2000. Ophtalmology. Germany: George Thieme Verlag,
Stuttgart.
Lebourgeois, M. Gianotti, F., Cortesi, F., Wolfson, AR., Harsh, J. 2005. The
Relationship Between Reported Sleep Quality and Sleep hygiene in Italian and
American Adolescents. Volume 115, pp. 257-65.
Lilis, C., Taylor, C. & Lemone, P., 2001. Fundamentals of Nursing. In: The art and
science of nursing care. Philadelphia: J. B. Lippincott.
Markov, D. & Goldman, M., 2006. Normal Sleep and Circadian Rhytms :
Neurobiologic Mechanisms Underlying Sleep and Wakefullness. Elsevier, Volume
29, pp. 811-853.
Maslim, R., 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ III.
Jakarta: Direktorat Kesehatan RI.
Mutti, D., 1992. Hereditary and Environmental Contributions to Emmetropization
and Myopia. Optom Vis Sci., Volume 87 (4), pp. 255-9.
Natalita, C., Sekartini, R. & Poesponegoro, H., 2011. Skala Gangguan Tidur untuk
Anak (SDSC) sebagai Instrumen Skrining Gangguan Tidur pada Anak Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama. Sari Pediatri, Volume 12 (6), pp. 365-72.
National Eye Institute, 2010. Facts About Myopia. [Online]
Dari : https://nei.nih.gov/health/errors/myopia
[Diakses 29 Maret 2016].
47

Nickla, D. L., 2013. Ocular DIurnal Rhytms and Eye Growth Regulation : Where
we are 50 years after Lauber. Elsevier, Volume 114, pp. 25-34.
Porotu'o, L. I., Joseph, W. B. S. & Sondakh, R. C., 2009. Faktor- Faktor yang
Berhubungan dengan Ketajaman Penglihatan pada Pelajar Sekolah Dasar Katolik
Santa Theresia 02 Kota Manado. pp. 31-39.
Putri, H., 2015. Studi Deskriptif Gangguan Tidur pada Anak Usia 9-12 Tahun di
SD Negeri Pisangan 1 Ciputat Tahun 2015.
Riordan-Eva, P. & Whitcher, J., 2007. Vaughan & Asbury's General General
Ophtalmology. 17 ed. London: McGraw-Hill.
Rizzo, D., 2001. Delmar's Fundamentals of Anatomy & Physiology. USA: Delmar
Thomson Learning.
Rose, K., Harper, R., Tromans, C., Waterman, C., Goldberg, D., Haggerty, C., dkk.
2000. Quality of Life in Myopia. British Journal of Opthalomology, Volume 84,
pp. 1031-1034.
Sadeh, A., Raviv, A. & Gruber, R., 2000. Sleep Patterns and Sleep Disruptions in
School-Age Children. Developmental Psychology, Volume 36 (3), pp. 291-301.
Saladin, K. S., 2008. Human Anatomy. 2nd ed. New York: McGraw-Hill.
Saw, S.-M., Gazzard, G., Eong, K.-G.-A. & Tan, D., 2002. Myopia : Attempt to
Arrest Progression. British Journal of Ophtalmology.
Saw, S.-M., R, H., Gazzard, G. M., Koh, D., Widjaja, D., Tan, D. T. H., dkk. 2003.
Causes of Low Vision and Blindness in Rural Indonesia. British Journal of
Ophtalmology, pp. 1075-1078.
Seeley, R., Stephens, T. & Tate, P., 2006. Anatomy and Physiology. 7 ed. New
York: McGraw-Hill.
Sekartini, R. & Adi, N. P., 2006. Gangguan Tidur pada Anak Usia Bawah Tiga
Tahun di Lima Kota di Indonesia. Sari Pediatri, Volume 7 (4), pp. 188-193.
Sleepdex, 2004. Stages of Sleep- Sleepdex. [Online]
Dari : http://www.sleepdex.org/stages.htm
[Diakses 29 Maret 2016].
Staff American Academy of Ophtalmology, 2005. Clinical Optics. Basic and
Clinical Science Course.
Stone, R. A., Quinn, G. E., Francis, E. L., Ying, G., Flitcroft, D. I., Parekh, P., dkk.
2004. Diurnal Axial Length Fluctuations in Human Eyes. Investigative
Ophtalmology & Visual Science, Volume 45 (1), pp. 63-70.
Tamboto, F. C., Wungouw, H. I. S. & Pangemanan, D. H. C., 2015. Gambaran
Visus Mata Pada Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi. Jurnal e-Biomedik, September- Desember, Volume 3 (3), pp. 805-808.
48

Tiharyo, I., Gunawan, W. & Suhadrjo, 2008. Pertumbuhan Myopia pada Anak
Sekolah Dasar Perkotaan dan Pedesaan. Jurnal Oftalmologi Indonesia, Volume 6
(2), pp. 104-112.
Widodo, D. P. & Soetomenggolo, T. S., 2000. Perkembangan Normal Tidur pada
Anak dan Kelainannya. Sari Pediatri, Volume 2 (3), pp. 139-145.
Zahara, D. S., Fitri, H. & Adyaksa, G., 2013. Hubungan Antara Gangguan Tidur
dengan Pertumbuhan Pada Anak Usia 3-6 Tahun di Kota Semarang.
Zhou, Z., Morgan, I. G., Chen, Q., Jin, L., He, M., Congdon, N., dkk. 2015.
Disordered Sleep and Myopia Risk among Chinesse Children. PLoS ONE, Volume
10 (3), pp. 1-10.
49

Lampiran 1
Kuisioner Penelitian

Anda mungkin juga menyukai