Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

CHLAMYDIA PNEUMONIAE

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik Bagian


Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan Kepada:
DOKTER PEMBIMBING
dr. H. Suprapto, Sp.PD, FINASIM

Disusun Oleh:
Ekky Andhika Ilham
20174011099

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD SETJONEGORO WONOSOBO


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
HALAMAN PENGESAHAN REFERAT
CHLAMYDIA PNEUMONIAE

Telah dipresentasikan pada tanggal : 15 Januari 2018

Disusun oleh:
Ekky Andhika Ilham
20174011099

Disahkan dan disetujui oleh:


Dokter Pembimbing Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo

dr. H. Suprapto, Sp.PD, FINASIM


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat, petunjuk dan
kemudahan yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat
“Chlamydia Pneumoniae”.
Penulisan Referat ini dapat terwujud atas bantuan berbagai pihak, oleh karena itu
maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. H. Suprapto, Sp.PD. selaku dokter pembimbing dan dokter Spesialis
Penyakit Dalam RSUD Wonosobo.
2. dr. Hj. Arlyn Yuanita, Sp.PD., M.Kes dan dr. Widhi, P.S., Sp.PD. selaku
dokter Spesialis Penyakit Dalam RSUD Wonosobo.
3. Seluruh perawat bangsal Cempaka, Flamboyan , IGD dan Poli Dalam di
RSUD Wonosobo.
4. Teman-teman coass interna atas dukungan dan kerjasamanya .
5. Teman-teman coass atas dukungan dan doanya.

Dalam penyusunan Referat ini penulis menyadari bahwa masih memiliki


banyak kekurangan. Penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan
penyusunan di masa yang akan datang. Semoga dapat menambah pengetahuan
bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Wonosobo, 15 Januari 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

REFERAT ............................................................................................................... 1
HALAMAN PENGESAHAN REFERAT .............................................................. 2
KATA PENGANTAR ............................................................................................ 3
DAFTAR ISI ........................................................................................................... 4
BAB I ...................................................................................................................... 5
BAB II ..................................................................................................................... 7
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 7
A. Definisi ......................................................................................................... 7
B. Epidemiologi ................................................................................................ 8
C. Etiologi ......................................................................................................... 9
D. Patogenesis ............................................................................................. 10
E. Manifestasi Klinis ...................................................................................... 12
F. Diagnosis .................................................................................................... 13
G. Penatalaksanaan ......................................................................................... 16
H. Pencegahan ............................................................................................. 18
I. Prognosis dan Komplikasi ......................................................................... 19
BAB III KESIMPULAN ....................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 22

4
BAB I
PENDAHULUAN

Tiga jenis chlamydia bersifat patogenik pada manusia, yakni :

Chlamydophila pneumoniae, Chlamydophila psittaci, and Chlamydia trachomatis.

Organisme tersebut merupakan jenis gram negatif, obligat intraselular, dan kecil.

Ketiganya dapat menyebabkan pneumonia pada manusia (Oba, 2013).

C pneumoniae merupakan penyebab umum dari infeksi pernafasan akut,

termasuk pneumonia komuniti (community acquired pneumonia/CAP), faringitis,

bronkhitis, sinusitis, dan eksaserbasi dari bronkhitis kronis. Infeksi pada orang-

orang dengan usia lanjut mungkin akan lebih berat dan dapat terjadi infeksi ulang.

Perkiraan jumlah kasus pneumonia karena C pneumoniae di AS per tahun sebesar

300.000 dan merupakan penyebab 1-20% kasus CAP pada dewasa. Sebaliknya,

insidensi pneumonia C pneumoniae pada anak tinggi yakni sekitar 50% dari kasus

CAP. Secara global analisis pada data internasional menujukkan insidensi CAP

karena C pneumoniae pada 4337 pasien sebesar 8% di Amerika Utara, 7% di

Eropa, 6% di Amerika Latin, dan 5% di Asia. Walaupun pneumonia C

pneumoniae ini terjadi setiap tahun, namun studi epidemiologik menemukan

siklus 4 tahunan. Penyakit ini lebih umum terjadi pada laki-laki (60%-90%)

dibandingkan wanita, yang mungkin disebabkan oleh aktivitas merokok (Oba,

2013).

5
Angka mortalitas infeksi C pneumonia ialah 0,8% pada studi meta-

analisis. Infeksi sekunder seperti bakteremia pneumokokus, atau adanya penyakit

lain yang berat dapat meningkatkan angka kematian (Oba, 2013).

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Familia bakteri Chlamydiaceae yakni Chlamydia trachomatis,

Chlamydophila psittaci, and Chlamydophila pneumoniae merupakan patogen

manusia (Essig, 2007). Tidak seperti C trachomatis, C pneumoniae tidak

ditularkan secara seksual melainkan ditularkan melalui sekresi aerosol

pernafasan. C pneumoniae tidak seperti C psittaci yang merupakan patogen

zoonosic. Isolasi C pneumoniae menunjukkan hanya ada satu serovar atau

strain dari C pneumoniae yang dikenali hingga saat ini (Grayston, Aldous, &

Easton , 1993).

C pneumoniae merupakan penyebab umum dari infeksi pernafasan

akut, termasuk pneumonia komuniti (community acquired pneumonia/CAP),

faringitis, bronkhitis, sinusitis, dan eksaserbasi dari bronkhitis kronis (Sopena,

Pedro-Botet, & Sabria, 2004). Terlebih dalam 20 tahun terakhir, spektrum

heterogen dari penyakit ekstrapulmoner telah dihubungkan dengan C

pneumoniae, termasuk penyakit kardiovakular aterosklerosis. Organisme ini

telah diidentifikasi pada pasien dengan lesi aterosklerotik melalui kultur,

immunohistokimia, polymerase chain reaction (CR) dan mikroskop elektron.

Penelitian terapi dalam skala besar masih belum dapat menemukan faktor

risiko yang dapat diubah pada pasien penyakit ardiovaskular yang dirawat.

Penyakit lain yang dihubungkan dengan C pneumoniae antara lain multiple

sklerosis, asma, age-related macular degeneration, Alzheimer, sindom

7
kelelahan kronis, dan luka kulit yang kronis. Namun hubungan kausa antara

penyakit tersebut dengan C pneumoniae belum dikonfirmasi (Burillo &

Bouza, 2010).

B. Epidemiologi
Organisme ini tersebar secara luas baik di negara industrial maupun

berkembang. Bukti serologis menunjukkan infeksi sebelumnya ditemukan

pada 50% kasus di dewasa muda dan 75% kasus di orang dengan lanjut usia.

Infeksi primer terjadi terutama pada anak usia sekolah, sedangkan reinfesi

terjadi pada dewasa (Chedid, Chedid , & Ilha, 2007).

Organisme ini diperkirakan menjadi penyebab 3-10% kasus CAP pada

dewasa. Perkiraan jumlah kasus pneumonia akibat C pneumoniae di Amerika

Serikat sekitar 100 kasus per 100.000 orang. Pada studi terakhir menyatakan

CAP yang berat disebabkan oleh Legionella longbeachae, Mycoplasma

pneumoniae, dan C pneumoniae di Thailand, insidensi C pneumoniae sebesar

3 dari 23 kasus per 100.000 orang. Angkanya tinggi pada pasien yang usianya

dibawah 1 tahun (18-16 kasus per 100.000 orang) dan orang dengan usia 70

tahun atau diatasnya (23-201 kasus per 100.000 orang). Patogen ini

dihubungkan dengan 15% seluruh kasus pneumonia (Phares, Wangroongsarb,

& Chantra, 2007)

Pada suatu studi yang melibatkan 4337 pasien menunjukkan insidensi

CAP akibat patogen atipikal di berbagai belahan dunia, sekitar 7%

dikarenakan C pneumoniae (North America 8%, Europe 7%, Latin America

6%, and Asia/ Africa 5%). Angka kejadian infeksi C pneumonia tidak berbeda

8
secara signifikan berdasarkan musim. Studi epidemiologik menunjukkan

kejadian siklus 4 tahun pada pneumonia yang disebabkan oleh C pneumoniae.

Penyebaran secara pastinya belum diketahui namun diduga melalui droplets di

udara. Oubreaks pada infeksi nafas ini telah dilaporkan di panti jompo,

sekolah, dan antara anggota militer dan keluarga (Arnold, Summersgill, &

Lajoie, 2007).

C. Etiologi
Chlamydophilla pneumonia adalah spesies dari Chlamydophilla,

bakteri intraselular obligat yang menginfeksi manusia dan menyebabkan

sebagian besar kasus pneumonia. Bakteri ini dikenal dengan agen

respiratorik akut Taiwan yang diambil dari dua isolasi bernama isolasi –

Taiwan (TW-183) dan AR-39 (Kern, Maass, & Maas, 2009)

C pneumonia memiliki siklus hidup yang kompleks dan hanya bisa

bereproduksi dengan menginfeksi host. Sehingga c pneumonia disebut

pathogen intraseluler obligat. Kasus infeksi yang pertama diketahui

dengan C. pneumoniae adalah kasus konjungtivitis di Taiwan pada tahun

1950. Tidak ada kasus yang diketahui C. pneumonia dalam sejarah

manusia sebelum tahun 1950. Bakteri atipikal ini umumnya menyebabkan

faringitis, bronkitis, penyakit arteri koroner dan pneumonia atipikal (Kern,

Maass, & Maas, 2009).

9
Gambar 1. Chlamydia Pneumoniae

D. Patogenesis

Chlamydia dibedakan dari bakteria lain berdasarkan siklus

perkembangannya yang unik, yang berhubungan dengan diagnosis dari

hasil laboratorium, gejala klinis, maupun penatalaksanaan dengan

antibiotik. Chlamydia mempunyai dinding sel dengan membran dalam

maupun luar. Mereka bereplikasi dengan cara membelah diri secara biner

dan mensintesis beberapa protein. Namun chlamydia tidak dapat

mensintesis adenosin trifosfat ataupun guanosin trifosfat sehingga harus

bergantung pada host nya (Stephens, Kalman, & Lammel, 1998)

Dinding selnya mengandung lipopolisakarida yang berbeda dengan

bakteria lain karena lebih endoktoksik. Makromolekul yang berada di

permukaan dari chlamydia, termasuk MOMP, OmcB, dan lipopolisakarida

dapat memicu respon antibodi yang kuat pada individu yang terinfeksi

(Stephens, Kalman, & Lammel, 1998).

Bentuk infeksius yang tidak aktif dari organisme ini yakni kecil,

dengan badan elementer yang padat dan kecil. Badan elementer memkliki

dinding sel yang kaku, akibat disulfida pada protein envelope,

memungkinkan untuk bertahan di luar sel host selama waktu tertentu.

Setelah terjadinya infeksi melalui endositosis, badan elementer berubah

10
menjadi badan retikulat. Badan retikulat lebih besar, merupakan bentuk

non infeksius dan aktif secara metabolik. Di dalam sel host, badan

retikulat membelah diri secara biner, membentuk mikrokoloni yang

disebut inklusi intrasitoplasmik (Essig, 2007).

Selama proses ini, antigen chlamydia dilepaskan ke permukaan sel

host, memicu respon imun host. Setelah 48 hingga 72 jam, badan retikulat

menyusun kembali diri dan membentuk badan elementer baru. Setelah

lisis sel host, badan elementer kemudian dilepaskan dan membentuk siklus

infeksius baru (Essig, 2007).

C pneumonia hanya menyebabkan penyakit pada manusia dan

tidak dapat bertahan diri di luar tubuh host untuk waktu yang lama. Oleh

karena itu, C pneumonia ditularkan dengan cara kontak antar manusia

melalui droplets di udara. Seseorang dengan infeksi C pneumonia juga

dapat mengkontaminasi tangan mereka ketika mereka batuk, kemudian

orang lain dapat terinfeksi dengan menyentuh tangan yang telah

terkontaminasi tersebut kemudian memegang hidung ataupun mulut

mereka (Essig, 2007).

Gambar 2. Siklus Hidup C pneumonia

11
E. Manifestasi Klinis
C pneumoniae merupakan penyebab yang signifikan pada infeksi

saluran pernafasan atas dan bawah. Pneumonia dan bronkhitis merupakan

yang tersering, sedangkan infeksi saluran pernafasan atas seperti sinusitis,

faringitis, dan laringitis, mungkin dapat juga terjadi,, walaupun dengan

disertai infeksi saluran nafas bawah. Manifestasi klinis sangat luas mulai

dari ringan hingga CAP berat (Gupta & Sarosi, 2001)

Periode inkubasi selama 21 hari merupakan periode yang lebih

lama jika dibandingkan dengan patogen infeksi saluran pernafasan

lainnya. Sebagian besar pasien dengan infeksi C pneumoniae akan

asimptomatik dan relatif ringan. Gejala klinis dari infeksi C pneumoniare

tidak spesifik dan tidak berbeda secara signifikan dibandingkan organisme

patogen atipikal lainnya seperti Mycoplasma pneumoniae dan virus

saluran pernafasan (Gupta & Sarosi, 2001). Tanda dan gejala infeksi

saluran nafas atas, seperti rhinisitis, nyeri tenggorokan, serak, dilaporkan

lebih awal. Gejala klinis terpenting untuk membedakan M pneumoniae

dari C pneumoniae adalah adanya laringitis (Ekman, Grayston, &

Visakorpi, 1993)

Walaupun tidak semua pasien dengan CAP C pneumoniae

mengalami laringitis, sebagian besar mengalaminya. Demam biasanya

disertai dengan myalgia dan menggigil. Tanda dan gejala dapat berubah

setiap hari maupun minggu, diikuti dengan batuk, yang merupakan gejala

dominan dari infeksi C pneumoniae yang kemudian menghasilkan pola

bifasik dengan gejala yang berlangsung lama. Hal ini sering membuat

12
seseorang terlambat untuk memeriksakan diri sehingga sulit untuk

menentukan onset sesungguhnya dari penyakit ini (Ekman, Grayston, &

Visakorpi, 1993). Penelitian lain menemukan bahwa C pneumoniae tidak

menimbulkan batuk yang persisten. Pasien dengan infeksi C pneumonia

akan mengalami nyeri kepala yang lebih sering dibandingkan dengan

pneumonia oleh Streptococcus Pneumoniae (Kauppinen, Saikku, &

Kujala, 1996).

Setelah beberapa waktu, gejala infeksi pernafasan akibat C

pneumoniae mungkin akan berlanjut dalam waktu yang lama, batuk yang

persisten dan malaise mungkin akan muncul dalam beberapa minggu atau

bulan meskipun sudah diberikan antibiotik yang tepat (Daian, Wolff, &

Bielory, 2000)

Infeksi oleh organisme ini dapat memperparah asma ataupun

membuat asma sulit dikontrol. Kemampuannya dalam mendapatkan

respon TH2 dan menciptakan inflamasi pada jalan nafas mungkin menjadi

karakter umum dari respon inflamasi atopik ini (Daian, Wolff, & Bielory,

2000).

F. Diagnosis

The Infectious Diseases Society of America dan American Society

of Microbiology saat ini merekomendasikan pengujian serologis atau

polymerase chain reaction (PCR) untuk diagnosis C pneumoniae. Meski

ada kekurangan yang jelas, serologi masih dianggap standar emas, namun

hal ini kemungkinan akan berubah (Oba, 2013).

13
Kultur C pneumoniae secara teknis rumit dan memakan waktu.

Bila dibandingkan dengan serologi dan PCR, juga memiliki sensitivitas

rendah dan terutama digunakan di laboratorium penelitian (Oba, 2013).

Tes serologi yang disukai adalah microimmunofluorescence (MIF).

Ini lebih sensitif dan spesifik daripada fiksasi pelengkap (CF), walaupun

reaktivitas silang dengan spesies klamidia lainnya mungkin masih terjadi

(Oba, 2013).

Kriteria untuk infeksi meliputi titer IgM tunggal ≥1: 16 atau

peningkatan 4 kali lipat pada titer IgG. Tidak adanya titer yang terdeteksi

beberapa minggu setelah onset gejala tidak menyingkirkan diagnosis

karena antibodi mungkin perlu beberapa minggu untuk muncul (2-3

minggu untuk IgM dan 6-8 minggu untuk IgG). Pada infeksi, IgM

mungkin tidak ada atau rendah, dan IgG dapat muncul dalam 2 minggu.

Peningkatan tunggal pada titer IgG mungkin tidak dapat diandalkan,

karena pasien lansia dapat memiliki titer IgG yang meningkat secara terus-

menerus karena infeksi berulang (Oba, 2013).

Uji imunosorbent enzyme-linked adalah tes serologis lain yang

tersedia namun belum divalidasi karena reaktivitas silang dan variasi

spesifisitas tergantung pada antigen yang digunakan (Oba, 2013).

14
Secara keseluruhan, pengujian serologis tidak terstandarisasi dan

penelitian menunjukkan reproduktifitas yang buruk. Ini harus ditafsirkan

dengan hati-hati dengan memperhatikan jalannya penyakit (Oba, 2013).

Tes PCR real-time dari swab faring, pembengkakan

bronchoalveolar, sputum atau jaringan dapat digunakan untuk mendeteksi

DNA spesifik C pneumoniae. Karena kompleksnya tes ini, penerapan yang

luas telah dibatasi sampai beberapa tahun terakhir (Oba, 2013).

FilmArray Respiratory Panel adalah PCR multipleks yang

mendeteksi patogen pernafasan umum pada spesimen nasofaring. Pada

tahun 2012, Food and Drug Administration (FDA) AS menyetujui

penambahan 2 virus corona dan 3 bakteri ke Panel, termasuk C

pneumoniae, Bordetella pertussis, dan Mycoplasma pneumonia. Panel

FilmArray sekarang dapat mendeteksi 17 virus dan 3 bakteri dari satu

sampel tunggal. Sensitivitas dan spesifitas yang dilaporkan sama-sama

100% untuk C pneumoniae namun ukuran sampelnya kecil dan kurang

dari 10 sampel positif dalam penelitian ini (Oba, 2013).

Studi yang membandingkan PCR dengan MIF IgM selama wabah

C pneumoniae menunjukkan sensitivitas yang sebanding (68-71% vs 60-

79%) dan spesifitas yang lebih tinggi (93-97% vs 77-86%). Data

keseluruhan menunjukkan pengujian molekuler mungkin merupakan alat

diagnostik yang lebih bermanfaat dalam pengaturan ini (Oba, 2013).

15
Penggunaan luas pengujian molekuler di masa depan dapat

meningkatkan data yang dapat diandalkan mengenai penyajian dan

epidemiologi pneumonia C pneumoniae. Jumlah sel darah putih biasanya

tidak meningkat pada infeksi C pneumoniae. Kadar fosfat alkali bisa

meningkat (Oba, 2013).

G. Penatalaksanaan
Frekuensi terjadinya infeksi kombinasi antara C pneumonia dengan

organisme lain (pneumococci, mycoplasma, legionella) tinggi yakni

sekitar 60%. Pasien harus diberikan tatalaksana secara empiris, karena uji

untuk mengetahui patogen atipikal belum tersedia dan terapi antibiotik

biasanya dilaksanakan sebelum hasil uji serologi tersedia. Pada pasien

dengan hipoksemia berat dapat diberikan terapi supportif ventilator di ICU

(Oba, 2013).

Makrolid merupakan antibiotik lini pertama untuk pengobatan

pneumonia C pneumonia. Makrolid jenis terbaru seperti azitromisin

diberikan dengan dosis 500mg PO/IV sekali sehari dan klaritromisin

dengan dosis 500 mg PO dua kali sehari lebih baik ditoleransi jika

dibandingkan dengan eritomisin (250-500mg PO 4 kali sehari).

Pengobatan harus dilanjutkan hingga paling tidak 10-14 hari setelah

keadaan mulai membaik. Jika gejala bertahan, pengobatan dengan

antibiotic golongan berbeda biasanya dapat memberikan hasil efektif

(Oba, 2013).

16
Terapi lain yang dapat diberikan ialah doksisiklin. Terapi ini

dulunya merupakan terapi pilihan awal, namun harus dihindari pada anak-

anak < 9 tahun dan wanita hamil. Doksisiklin dapat diberikan dengan

dosis 100 mg PO 2 kali sehari selama 10- 14 hari. Tetrasiklin hidrkolorida

(500 mg PO 4 kali sehari) juga efektif dalam pengujian in vitro (Oba,

2013).

Golongan florokuinolon, seperti levofloksasin (500 mg PO/IV

sekali sehari selama 10-14 hari atau 750 mg PO/IV sekali sehari selama 5

hari) dan moxifloxacin (400 mg PO/IV sekali sehari selama 10-14 hari)

merupakan terapi pilihan. Dari hasil studi didapatkan hasil efikasi dari

eritromisin, klaritromisin, azitromisin, levofloksasin, dan moksifloksasin

hamper sama (70-86%) untuk eradikasi organisme dari nasofaaring (Oba,

2013).

Telithromisin merupakan antibiotic pertama jenis ketolida yang

diterima sebagai pengobatan C pneumonia berdasarkan US FDA pada

2007. Obat ini lebih mahal jika dibandingkan dengan doksisiklin.

Telitromisin merupakan inhibitor CYP3A4 yang poten dan dapat

menyebabkan peningkatan konsentrasi simvastatin, lovastatin,

atorvastatin, midazolam, dan terapi lain di dalam serum yang berpotensi

membahayakan. Sehingga beberapa pengobatan tersebut dihentikan

sementara selama terapi menggunakan telitromisin. Hepatotoksisitas

dengan beberapa kasus fatal dilaporkan sekitar 1/1.000.000 kasus.

17
Telitromisin merupakan kontraindikasi pada pasien dengan myasthenia

gravis (Oba, 2013).

H. Pencegahan
Untuk saat ini belum ditemukan vaksinasi untuk C pneumonia,

namun ada beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai pencegahan, yakni

(Oba, 2013) :

1) Higiene

Seperti penyakit respiratori lainnya, infeksi C pneumonia

ditularkan melalui batuk dan bersin. Sehingga cara terbaik untuk

mencegah penularan bakteri tersebut yakni dengan sering mencuci

tangan terutama jika setelah terkena bersin atau batuk.

2) Reinfeksi

Jika seseorang pernah terkena infeksi C pneumonia, orang tersebut

masih mungkin terserang C pneumonia lagi. Infeksi C pneumonia

tidak memberikan imunitas jangka panjang pada seseorang.

3) Antibiotik profilaksis

Antibiotik untuk mencegah infeksi C pneumonia biasanya tidak

direkomendasikan pada orang-orang yang terpapar dengan orang yang

telah terinfeksi C pneumonia.

Antibiotik harus digunakan pada saat dibutuhkan. Tidak hanya

mempunyai efek samping yang berbahaya, namun penggunaan

antibiotic secara berulang dapat meningkatkan resistensi bakteri

terhadap suatu antibiotic.

18
I. Prognosis dan Komplikasi
Sebagian besar kasus infeksi C pneumonia ringan dan biasanya

merespons pengobatan pada pasien rawat jalan. Pasien dengan

penyakit penyerta lain atau infeksi bersamaan (eg, bakteri

pneumococcal) dapat berkembang menjadi penyakit yang berat (Oba,

2013).

Kegagalan pada kasus pneumonia oleh C pneumonia dapat

terjadi lebih pada terapi dengan eritromisin. Pengobatan ulang

seringkali berhasil, khususnya dengan tetrasiklin. Pemulihan total

biasanya lama, batuk dan malaise dapat menetap dari minggu hingga

bulan walaupun diberikan pengobatan yang baik (Oba, 2013).

Angka mortalitas infeksi C pneumonia ialah 0,8% pada studi

meta-analisis. Infeksi sekunder seperti bakteremia pneumokokus, atau

adanya penyakit lain yang berat dapat meningkatkan angka kematian.

Sebuah penelitian di Kanada melaporkan angka kematian 4,9% dengan

pneumonia C pneumoniae, yang sebanding dengan tingkat pneumonia

pneumokokus bakteri (5,4%) dan keseluruhan kelompok pneumonia

yang didapat masyarakat (9,4%). Penyakit saluran napas aktif atau

asma terjadi pada anak-anak yang menderita pneumonia klamidia

sebelum usia 6 bulan (Oba, 2013).

Komplikasi infeksi C pneumoniae meliputi otitis, eritema

nodosum, eksaserbasi asma, endokarditis, sindrom Guillain-Barré,

radang sendi reaktif, dan ensefalitis. Meskipun beberapa penelitian

mengasosiasikan organisme C pneumoniae dengan plak atheromatosa,

19
multiple sclerosis, degenerasi makula, penyakit Alzheimer, sindrom

kelelahan kronis, asma, atau sarkoidosis, peran pneumoniae C dalam

patogenesis penyakit ini tetap harus diperhatikan. Studi klinis tidak

mendukung penggunaan antibiotik untuk pencegahan penyakit arteri

coroner (Oba, 2013).

20
BAB III

KESIMPULAN

C pneumoniae merupakan penyebab umum dari infeksi pernafasan akut,

termasuk pneumonia komuniti (community acquired pneumonia/CAP), faringitis,

bronkhitis, sinusitis, dan eksaserbasi dari bronkhitis kronis. Angkanya tinggi pada

pasien yang usianya dibawah 1 tahun (18-16 kasus per 100.000 orang) dan orang

dengan usia 70 tahun atau diatasnya (23-201 kasus per 100.000 orang). Tanda dan

gejala infeksi saluran nafas atas, seperti rhinisitis, nyeri tenggorokan, serak,

dilaporkan lebih awal. Gejala klinis terpenting untuk membedakan M pneumoniae

dari C pneumoniae adalah adanya laringitis.

The Infectious Diseases Society of America dan American Society of

Microbiology saat ini merekomendasikan pengujian serologis atau polymerase

chain reaction (PCR) untuk diagnosis C pneumoniae. Makrolid merupakan

antibiotik lini pertama untuk pengobatan pneumonia C pneumonia.

Untuk saat ini belum ditemukan vaksinasi untuk C pneumonia, namun ada

beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai pencegahan, dengan menjaga higiene.

Sebagian besar kasus infeksi C pneumonia ringan dan biasanya merespons

pengobatan pada pasien rawat jalan. Pasien dengan penyakit penyerta lain atau

infeksi bersamaan (eg, bakteri pneumococcal) dapat berkembang menjadi

penyakit yang berat.

21
DAFTAR PUSTAKA

Arnold, F., Summersgill, J., & Lajoie, A. (2007). A worldwide perspective of


atypical pathogens in community-acquired pneumoniae. Am J Respir Crit
Care Med.
Burillo, A., & Bouza, E. (2010). Chlamydophila Pneumoniae. Infect Dis Clin .
Chedid, M., Chedid , M., & Ilha, D. (2007). Community-acquired Pneumonia by
Chlamydophila pneumoniare : a clinical and incidence study in Brazil.
Braz J infect Dis.
Daian, C., Wolff, A., & Bielory, L. (2000). The role of atypical prganisms in
asthma. Allergi Asthma Proc.
Ekman, M., Grayston, J., & Visakorpi, R. (1993). An epidemic of Infection due to
Chlamydia pneumoniae in military conscripts. Clin Infect Dis.
Essig, A. (2007). Chlamydia and Clamydophila. In P. Murray, E. Baron, & J.
Jorgensen, Manual Clinical Microbiology (p. 1021). Washington DC:
ASM.
Grayston, J., Aldous, M., & Easton , A. (1993). Evidence that Chlamydia
pneumoniae causes pneumoniae and bronchitis. J Infect Dis.
Gupta, S., & Sarosi, G. (2001). The role of atypical pathogens in community-
acquired pneumonia. Med Clin North Am.
Kauppinen, M., Saikku, P., & Kujala, P. (1996). Clinical Picture of community
acquired pneumoniae pneumoniae requiring hospital treatment : a
comparison between chlamydial and pneumococcal pneumonia.
Kern, J., Maass, V., & Maas, M. (2009). Molecular pathogenesis of chronic
Chlamydia Pneumoniae Infection. Clin Microbiol Infect.
Oba, Y. (2013). Chlamydial Pneumonias. Retrieved 12 Januari 2018, from
Medscape: https://emedicine.medscape.com/article/297351-overview#a3
Phares, C., Wangroongsarb, P., & Chantra, S. (2007). Epidemiology of severe
pneumoniae caused by Legionella longbeachae, Mycoplasma pneumoniae,
and Chlamydia pneumoniae. Clin Infect Dis.
Sopena, N., Pedro-Botet, M., & Sabria, M. (2004). Comparative study of
Community Acquired pneumoniae caused by Streptococcus pneumoniae,
Legionella pneumophila, or Chlamydia pneumoniae. Scand J Infect Dis.
Stephens, R., Kalman, S., & Lammel, C. (1998). Genome sequence of an obligate
intracellular pathogen of humans : chlamydia trachomatis. Science J.

22

Anda mungkin juga menyukai