Anda di halaman 1dari 44

SKRIPSI

GAMBARAN KESEHATAN MATA PADA ANAK USIA


SEKOLAH

Disusun oleh:

DINUL TAUHID ALMATURIDI


NIM. 1611116076

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan

rahmat-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan

Karakteristik Individu Perawat Kamar Operasi dengan Adaptasi Kerja”. Skripsi

ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Keperawatan di

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Riau.

Dalam proses penyusunan skripsi ini peneliti banyak mendapat bantuan

dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada Kesempatan ini peneliti menyampaikan

ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang

terhormat:

1. Usman Muhammad Tang, Ir, MS, Dr Prof, selaku dekan Fakultas

Keperawatan Universitas Riau.

2. Riri Novayelinda, S.Kp., M.Ng selaku pembimbing I, dan Ns. Herlina,

M.Kep., Sp. Kom selaku pembimbing II, atas waktu dan kesediaannya untuk

memberikan bimbingan dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Seluruh dosen dan staf Fakultas Keperawatan Universitas Riau yang telah

banyak memberikan bimbingan, bekal ilmu pengetahuan dan dukungan

kepada peneliti dalam penyusunan skripsi ini.

Peneliti sadar bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Untuk

itu kritik dan saran pembaca sangat diharapkan peneliti demi kebaikan skripsi ini.

Akhirnya peneliti berharap semoga penelitian ini bermanfaat bagi dunia

keperawatan.

ii
Pekanbaru, 3 Mei 2020

Peneliti

iii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL..........................................................................................................i

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii

DAFTAR ISI......................................................................................................................iv

DAFTAR TABEL..............................................................................................................v

DAFTAR SKEMA.............................................................................................................vi

DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................................vii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1

A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................5
C. Tujuan Penelitian............................................................................................5
D. Manfaat Penelitian..........................................................................................6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................7

A. Tinjauan Teori................................................................................................7
B. Kerangka Konsep...........................................................................................19
C. Pertanyaan Penelitian.....................................................................................20

BAB III METODE PENELITIAN...................................................................................21

A. Desain Penelitian............................................................................................21
B. Lokasi dan Waktu Penelitian..........................................................................21
C. Populasi dan Sampel......................................................................................22
D. Etika Penelitian...............................................................................................23
E. Definisi Operasional.......................................................................................24
F. Alat Pengumpulan Data..................................................................................25
G. Prosedur Pengumpulan Data..........................................................................25
H. Pengolahan dan Analisis Data........................................................................28

iv
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

v
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Jadwal Kegiatan Penelitian ......................................................................... 22


Tabel 2 Definisi Operasional.................................................................................... 22
Tabel 3 Hasil Pemeriksaan Uji Ishihara.................................................................... 27

vi
DAFTAR SKEMA

Halaman
Skema 1 Kerangka Konsep..................................................................................................19

vii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Permohonan responden

Lampiran 2 Lembar persetujuan responden

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan jumlah anak-anak terbesar


keempat di dunia. Perbandingan anak-anak di Indonesia dengan rentang
usia 0-17 tahun sepertiga dari seluruh kelompok umur yang jika
dijumlahkan mencapai 85 juta jiwa. Sedangkan untuk anak usia sekolah
dengan umur 6-12 tahun di Indonesia mencapai 31.051.000 jiwa
(Kemenppa, 2019). Anak usia sekolah adalah anak yang sedang
mengembangkan segala kemampuanya seperti berkomunikasi, bekerja
sama dengan orang lain dan dapat mengingat berbagai hal dalam kegiatan
ataupun perilaku yang dikerjakannya karena ini menjadi pengalaman yang
paling penting bagi anak (Wong, 2009). Usia sekolah adalah waktu
berlanjutnya perkembangan kematangan karakteristik fisik, sosial, dan
psikologis anak. Koordinasi penglihatan-tangan-otot mereka
memungkinkan untuk berpartisipasi baik di sekolah maupun komunitas
(Kyle & Carman, 2014)

Perkembangan penglihatan yang baik membutuhkan stimulasi


sensorik yang tepat pada kedua penglihatan selama beberapa tahun
pertama kehidupan. Jika salah satu atau kedua penglihatan kurang
mendapat stimulasi ini, kemajuan perkembangan penglihatan tidak sesuai
maka dapat terjadi gangguan penglihatan pada anak. Jika gangguan
penglihatan didiagnosis pada usia dini dan terapi segera diberikan,
penglihatan dapat berkembang normal. Akan tetapi, jika gangguan tersebut
tidak ditangani, penglihatan anak yang sedang berkembang dapat
berkurang secara signifikan. Oleh karena itu, penting untuk melakukan
skrining gangguan penglihatan yang tepat pada anak (LeMone, 2016).

Gangguan penglihatan adalah kondisi yang ditandai dengan


penurunan tajam penglihatan atau menurunnya luas lapang pandang yang
dapat mengakibatkan kebutaan (Kemenkes, 2017). Prevalensi di Indonesia

1
2

sendiri dengan gangguan penglihatan berada dalam rentang 3,34%-5,61%


dimana ini rentang tertinggi dibanding yang lain (WHO, 2012). Beberapa
data menunjukkan sekitar 66 juta anak usia sekolah di Indonesia menderita
kelainan refraksi. Kondisi ini dapat mengakibatkan generasi Indonesia
memiliki kualitas hidup dan intelektual yang rendah di kemudian hari
(Limburg, 2003).

Penyebab terjadinya berkurangnya penglihatan pada anak saat ini


cukup banyak, salah satunya terpapar layar monitor alat elektronik.
Menurut hasil peneliti di SDN Majalaya 2 tahun 2015 diketahui bahwa
sebanyak 44 orang siswa (65,7%) menatap layar monitor lebih dari 2 jam
setiap harinya, yang mana durasi ini melewati dari standar yang telah
ditetapakan. Dalam hasil analisis peneliti siswa yang melihat layar dengan
durasi tidak normal memiliki peluang 3,1 kali mengalami penurunan
ketajaman penglihatan (Rudhiati, 2015). Ini berbanding lurus dengan
angka pengguna internet pada anak dalam jenjang Sekolah Dasar di
Indonesia, yang mencapai 41.4% (APJII, 2018).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik INDONESIA


NOMOR 879/Menkes/SK/XI/2006 bahwa kesehatan indera penglihatan
merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas kehidupan
masyarakat. Dalam rangka menurunkan prevalensi gangguan penglihatan
dan kebutaan di Indonesia untuk mencapai vision 2020 - the right to sight,
perlu dilakukan strategi penanggulangan gangguan penglihatan dan
kebutaan (Kepmenkes, 2005). Dalam pencegahan sudah tercantum
didalam Peta Jalan Penanggulangan Penglihatan di Indonesia Tahun 2017-
2030 yaitu menjamin terkoreksinya penglihatan anak usia sekolah dengan
kelainan refraksi (Kemenkes, 2017).

Perawat sebagai tenaga ahli yang bertanggung jawab terhadap


kesehatan seseorang terutama pada anak usia sekolah harus berpartisipasi
dalam mencegah penurunan gangguan penglihatan. Karena jika dibiarkan
tubuh anak akan memberikan sinyal kimiawi yang akan memacu
perubahan arah pertumbuhan struktur bola mata tepatnya pada otot siliaris
3

mata dan akhirnya bola mata mudah memanjang. Hal ini dapat terjadi
kerentanan gangguan penglihatan pada anak (Wong, 2009). Hal ini sangat
penting dilakukan pemeriksaan secara dini ditambah dengan fakta
bahwasanya 80% informasi selama 12 tahun pertama kehidupan anak
didapatkan melalui penglihatan (Ester, 2013).

Salah satu cara untuk mendeteksi gangguan penglihatan adalah


dengan melalui tes kesehatan mata sejak dini. Sejumlah penyakit mata
umum seperti refraksi (pembelokkan cahaya), mata juling dan buta warna
dapat dideteksi. Skrining dapat dilakukan dengan menggunakan alat ukur
sederhana bisa dengan menggunakan kartu Snellen, PEEK Acuity, uji
Isihara, Cover test dan lain sebagainya (Ilyas, 2017)

Beberapa penelitian terkait menunjukkan angka yang cukup besar


pada gangguan penglihatan anak. Seperti menurut (Rudhiati, 2015) yang
mendapatkan sebagian besar dari responden termasuk katagori ketajaman
tidak normal dimana nilai kartu Snellen (6/9–6/21) sebanyak 38 anak
(65,7%). Dan penelitian (Porotu’o, 2015) menunjukan bahwa siswa
Sekolah Dasar Katolik Santa Theresia 02 Manado memiliki ketajaman
penglihatan yang tidak normal yaitu berjumlah 65,7%. Dalam peneltian
(Hidayah, 2016) menggunakan alat ukur kartu Snellen didapatkan 17
orang (24,3%) mengalami penurunan ketajaman penglihatan pada anak
kelas III, IV dan V Sekolah Dasar di Banjarmasin Dan menurut (Karolina,
2019) yang meneliti sebanyak 900 siswa SD terdapat 2% mengalami buta
warna. Sedangkan kejadian mata juling umum dijumpai dan terjadi pada
hampir 7% anak (Kyle & Carman, 2014). Tes ini sangat penting karena
ketajaman penglihatan adalah kemampuan mata untuk membedakan aspek
kecil dan seseorang dapat melihat lebih rinci pada suatu benda (Marsden,
2019)

Mata merupakan alat indera yang penting bagi anak usia sekolah
diantaranya pada proses pendidikan karena dapat mempengaruhi
kemampuan menyerap materi pembelajaran dan berkurangnya potensi
untuk meningkatkan kecerdasan (Tauhidah, 2019). Penglihatan terganggu
4

dapat berdampak pada kemampuan untuk belajar, berkonsentrasi,


menggerakkan tubuh, dan sensoris integritas atau proses pada sistem saraf
yang berhubungan dengan persepsi dan pergerakan motorik. Kemampuan
untuk membelokkan cahaya (refraksi) tergantung pada struktur yang
dilalui cahaya, yaitu salah satunya lensa. Lensa juga mengubah
kelengkunganya sehingga berakomodasi terhada objek yang terletak pada
tempat yang berbeda-beda dan berkas cahaya biasanya berjalan dalam
garis lurus. Sedangkan pada saraf mata anak masih rentan kerusakan dan
jika mengalami kerusakan pada lensa bisa berakibat menurunnya
ketajaman penglihatan (Sacharin, 2006). Kebanyakan pada anak-anak
dengan kelainan refraksi yang tidak terkoreksi biasanya asimptomatik dan
skrining membantu deteksi dini kelainan refraksi dan waktu intervensi.
Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi mempunyai pengaruh yang besar
pada kemampuan belajar dan potensi tiap anak (Pavithra et al., 2013).

Provinsi Riau termasuk provinsi dengan jumlah penduduk muda


yang signifikan. Sebanyak 2,3 juta orang atau 37 persen dari total
penduduk di provinsi ini adalah anak-anak. Hampir dua dari 5 anak tinggal
di wilayah perkotaan (SDGs,2019). Semakin dini ditemukan
penyimpangan maka semakin mudah dilakukan intervensi untuk
perbaikannya (Tauhidah, 2019).

Di daerah Pekanbaru, Riau sendiri belum banyak ditemukan


penelitian terkait pemeriksaan penglihatan pada anak-anak terutama usia
sekolah. Salah satunya pada penelitian (Juneti, 2015) di SDN 017 Bukit
Raya Pekanbaru pada anak kelas V dan kelas VI didapatkan 38 orang anak
(16,24%) mengalami gangguan penglihatan. 16 diantaranya mengalami
gangguan unilateral dan 22 lainya mengalami gangguan bilateral.

Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah yang muncul


adalah “Bagaimana gambaran tes kesehatan mata pada anak usia sekolah
di Pekanbaru?”
5

B. Rumusan Masalah
Anak usia sekolah dengan umur 6-12 tahun di Indonesia mencapai
31.051.000 jiwa. Usia sekolah adalah waktu berlanjutnya perkembangan
kematangan karakteristik fisik, sosial, dan psikologis anak. Koordinasi
penglihatan-tangan-otot mereka memungkinkan untuk berpartisipasi baik
di sekolah maupun komunitas. Perkembangan penglihatan yang baik
membutuhkan stimulasi sensorik yang tepat pada kedua penglihatan
selama beberapa tahun pertama kehidupan. Penyebab terjadinya
berkurangnya penglihatan pada anak saat ini cukup banyak, salah satunya
terpapar layar monitor alat elektronik ditambah dengan pengguna internet
pada anak usia sekolah di Indonesia tergolong tinggi. Dalam pencegahan
sudah tercantum didalam Peta Jalan Penanggulangan Penglihatan di
Indonesia Tahun 2017-2030 yaitu menjamin terkoreksinya penglihatan
anak usia sekolah dengan kelainan refraksi. Sebagai seorang tenaga
kesehatan perawat bertanggung jawab terhadap pencegahan penurunan
gangguan penglihatan pada anak usia sekolah. Salah satu cara
pencegahanya adalah mendeteksi gangguan penglihatan dengan melalui
tes kesehatan mata sejak dini. Dan di daerah Pekanbaru, Riau sendiri
belum banyak ditemukan penelitian terkait pemeriksaan penglihatan pada
anak-anak terutama usia sekolah. Oleh sebab itu, berdasarkan fenomena
yang didapatkan maka peneliti menganggap perlu dilakukan penelitian
tentang “Gambaran tes kesehatan mata pada anak usia sekolah”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran tes kesehatan mata pada anak usia sekolah di
Pekanbaru
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik responden
b. Mengetahui gambaran tajam penglihatan pada anak usia sekolah
c. Mengetahui gambaran buta warna pada anak usia sekolah
6

D. Manfaat Penelitian
1. Perkembangan Ilmu Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk
perkembangan ilmu keperawatan anak tentang tes kesehatan mata pada
anak usia sekolah.
2. Bagi responden dan keluarga
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
responden tentang kesehatan matanya.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai bahan dan data
pendukung pada penelitian selanjutnya terkait tes kesehatan mata pada
anak usia sekolah
4. Bagi tempat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
guru terkait gambaran tes kesehatan mata pada anak usia sekolah.
7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori
1. Konsep Anak Usia Sekolah
a. Definisi
Anak usia sekolah dimulai dengan masuknya anak kedalam
lingkungan sekolah, yang memiliki dampak yang sangat signifikan
dalam pertumbuhan, perkembangan dan hubungan anak dengan
orang lain. Anak usia sekolah memiliki rentang umur 6-12 tahun
dimana anak sedang mengembangkan kemampuanya seperti
kemampuan untuk berkomunikasi, bekerjasama dengan orang lain,
dan kemampuan mengemukakan pendapat (Wong, 2009).
Anak usia sekolah merupakan tahap dimana anak usia
sekolah dimulai pada saat anak memasuki sekolah dasar pada usia
6 tahun dan akhir dari tahap usia sekolah ini ditandai dengan
pubertas yang terjadi pada umur 12 tahun yang menandakan akhir
dari masa pertengahan. Pada masa ini anak menjadi lebih baik
dalam berbagai hal (Potter & Perry, 2009)
b. Konsep perkembangan anak usia sekolah
1.) Perubahan Fisik
Sekolah memberikan kesempatan bagi anak untuk
membandingkan dirinya dengan anak-anak lainnya yang
berusia sama. Pemeriksaan fisik yang dilakukan saat awal
sekolah merupakan kesempatan untuk mendiskusikan dengan
orang tua dan anak tentang pengaruh genetik, nutrisi, serta
olahraga pada tinggi dan berat badan. Pengukuran tinggi dan
berat badan tiap tahunnya akan mendeteksi perubahan
pertumbuhan yang merupakan gejala timbulnya berbagai
penyakit anak (Potter & Perry, 2009).
Anak usia sekolah menjadi lebih terkoordinasi karena dapat
mengatur otot besar dan kekuatanya yang meningkat. Sebagian
8

besar melakukan keterampilan motorik kasar seperti berlari,


melompat, menjaga keseimbangan, melempar, dan menangkap
saat bermain. Hal ini menghasilkan peningkatan fungsi dan
keterampilan neuromuskular. Melalui permainan akan terlihat
pencapaian tingkat keterampilan dan keterampilan terbaik anak
(Potter & Perry, 2009).
Pada indra penglihatan bola mata berubah karena terjadi
pertumbuhan tulang. Hal ini akan meningkatkan ketajaman
penglihatan menjadi 6/6. Skrining penglihatan menjadi lebih
mudah karena anak telah memahami dan dapat bekerjasama
dengan arahan pemeriksaan. Perawat sekolah umumnya
menilai pertumbuhan, fungsi penglihatan dan pendengaran
anak, lalu merujuk mereka yang memiliki kelainan kepada
penyelenggara layanan kesehatan (Potter & Perry, 2009).
Perawat sebagai penyelenggara layanan kesehatan yang
bertanggung jawab terhadap kesehatan seseorang terutama
pada anak usia sekolah sudah seharusnya berpartisipasi dalam
mencegah penurunan gangguan penglihatan. Karena jika
dibiarkan tubuh pada anak akan memberikan sinyal kimiawi
yang akan memacu perubahan arah pertumbuhan struktur bola
mata tepatnya pada otot siliaris mata dan akhirnya bola mata
mudah memanjang. Hal ini dapat terjadi kerentanan gangguan
penglihatan pada anak (Wong, 2009).
2.) Perubahan kognitif
Perubahan kognitif memberikan kemampuan untuk berpikir
secara logis tentang waktu dan lokasi serta untuk memahami
hubungan antara benda dan pikiran. Anak telah dapat
membayangkan suatu peristiwa tanpa harus mengalami terlebih
dahulu. Pada usia 7 tahun anak mampu menggunakan simbol
untuk melakukan tindakan dalam pikiran bukan secara nyata.
Mereka mulai menggunakan proses pikir logis dengan materi
9

yang konkret (objek, manusia, dan peristiwa yang dapat


disentuh dan dilihat) (Potter & Perry, 2009).
Anak usia sekolah dapat berkonsentrasi pada lebih dari satu
aspek situasi. Mereka mulai memahami bahwa tinjauan orang
berbeda dari mereka dan bahkan dapat memahami sudut
pandang yang lain. Mereka mulai memahami bahwa kuantitas
substansi tetap sama walaupun terjadi perubahan bentuk pada
substansi tersebut (Potter & Perry, 2009).
Anak kecil telah dapat membedakan objek ke dalam
kelompok berdasarkan bentuk dan warna, sedangkan anak usia
sekolah memahami bahwa unsur yang sama dapat dikandung
dalam dua benda pada saat yang sama. Anak usia sekolah
mampu membangun alasan tentang hubungan antar benda.
Pada usia 7 atau 8 tahun mereka telah mampu menempatkan
objek berdasarkan ukuran yang semakin besar atau kecil. Anak
usia sekolah mampu memecahkan masalah dengan baik serta
memiliki karakteristik seperti: pandangan positif bahwa
masalah dapat diselesaikan dengan usaha, memusatkan
perhatian pada ketepatan, kemampuan membagi masalah
menjadi bagian-bagian pelajaran, dan kemampuan menghindari
tebakan saat mencari fakta (Potter & Perry, 2009).
3.) Perkembangan bahasa
Pada masa pertengahan sulit mengevaluasi hubungan
perkembangan bahasa dengan usia karena kemampuan
berkembang sangat cepat. Terjadi peningkatan penggunaan
bahasa dan perluasan pengetahuan strukturalnya. Mereka
memahami peraturan bahasa, frase, dan kalimat. Mereka
memahami bahwa bahasa merupakan alat penyampaian untuk
menggambarkan dunia secara subjektif dan mereka memahami
bahwa kata-kata memiliki arti yang relatif bukan absolut.
Mereka dapat menggunakan kata yang berbeda untuk objek
10

atau konsep yang sama, selain itu juga memahami bahwa suatu
kata memiliki berbagai arti (Potter & Perry, 2009).
Perkembangan perbendaharaan kata sangat berhubungan
dengan kegiatan membaca. Penelitian menunjukkan bahwa
anak yang memasuki sekolah dengan perbendaharaan kata yang
sedikit memiliki kesulitan yang lebih besar dalam belajar
membaca (Potter & Perry, 2009).
4.) Perubahan psikososial
Pada masa ini, anak mencoba memperoleh kompetensi dan
keterampilan yang dibutuhkan untuk berfungsi kelas pada usia
dewasa. Mereka yang direspons secara positif akan merasakan
adanya harga diri. Mereka yang memperoleh kegagaan sering
merasa rendah diri atau tidak berharga sehingga dapat
mengakibatkan penarikan diri dari sekolah maupun kelompok
temanya (Potter & Perry, 2009).
Anak usia sekolah mulai mendeskripsikan diri mereka
berdasarkan karakteristik internal. Mereka mulai
mendefinisikan konsep diri dan membangun kepercayaan diri
yang merupakan suatu evaluasi diri. Interaksi dengan kelompok
akan menyebabkan mereka mendefinisikan pencapaian diri
berdasarkan perbandingan dengan pencapaian orang lain. Hal
ini dilakukan saat mereka berusaha membanguncitra diri yang
positif (Potter & Perry, 2009).
2. Konsep Penglihatan
a. Anatomi dan fisiologi mata
1.) Bola mata
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24
mm. Bola mata di bagian depan (kornea) mempunyai
kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat bentuk
dengan 2 lengkungan yang berbeda (Ilyas, 2017).
2.) Sklera
11

Sklera adalah merupakan jaringan ikat yang kenyal dan


memberikan bentuk pada mata, merupakan bagian terluar yang
melindungi bola mata. Bagian terdepan sklera disebut kornea
yang bersifat transparan yang memudakan sinar masuk ke
dalam bola mata. Kelengkungan kornea lebih besar dibanding
sklera (Ilyas, 2017).
3.) Jaringan uvea
Jaringan uvea merupakan jaringan vaskular. Jaringan sklera
dan uvea dibatasi oleh ruang yang potensial mudah dimasuki
darah. Jaringan uvea ini terdiri atas iris, badan siliar, dan
koroid. Pada iris didapatkan pupil yang oleh 3 susunan otot
dapat mengatur jumlah sinar masuk ke dalam bola mata. Otot
dilatator terdiri atas jaringan ikat jarang yang tersusun dalam
bentuk yang dapat berkontraksi yang disebut sebagai sel
mioepitel. Sel ini dirangsang oleh sistem saraf simpatetik yang
mengakibatkan sel berkontraksi yang akan melebarkan pupil
sehingga lebih banyak cahaya masuk. Otot dilatator pupil
bekerja berlawan dengan otot konstriktor yang mengecilkan
pupil dan mengakibatkan cahaya kurang masuk kedalam mata.
Sedang sfingter iris dan otot siliar di persarafi oleh
parasimpatis. Otot siliar yang terletak di badan siliar mengatur
bentuk lensa untuk kebutuhan akomodasi (Ilyas, 2017).
4.) Retina
Retina yang terletak paling dalam dan mempunyai susunan
lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis membran
neurosensoris yang akan merubah sinar menjadi rangsangan
pada saraf optik dan diteruskan ke otak. Terdapat rongga yang
potensial antara retina dan koroid sehingga retina dapat terlepas
dari koroid yang disebut ablas retina (Ilyas, 2017).
5.) Pupil
Pupil anak-anak berukuran kecil akibat belum
berkembangnya saraf simpatis. Pupil akan mengecil akibat rasa
12

silau yang dibangkitkan oleh lensa yang sklerosis. Fungsi


mengecilnya pupil untuk mencegah aberasi kromatis pada
akomodasi dan untuk memperdalam fokus seperti pada kamera
foto yang difragmanya dikecilkan (Ilyas, 2017).
6.) Lensa mata
Lensa mata berasal dari ektoderm permukaan yang
berbentuk lensa di dalam mata dan bersifat bening. Lensa di
dalam bola mata terletak di belakang iris yang terdiri dari zat
tembus cahaya berbentuk seperti cakram yang dapat menebal
dan menipis pada saat terjadinya akomodasi (Ilyas, 2017).
7.) Otot luar bola mata
Pergerakan kedua bola mata dimungkinkan oleh adanya 6
pasang otot mata luar. pergerkan bola mata ke segala arah ini
bertujuanuntuk memperluas lapang pandangan, mendapatkan
penglihatan foveal dan penglihatan binokular untuk jauh dan
dekat (Ilyas, 2017). Perawat bertanggung jawab terhadap
kesehatan mata seseorang terutama pada anak usia sekolah.
Karena jika dibiarkan tubuh akan memberikan sinyal kimiawi
yang akan memacu perubahan arah pertumbuhan struktur bola
mata tepatnya pada otot siliaris mata dan akhirnya bola mata
mudah memanjang. Hal ini dapat terjadi kerentanan gangguan
penglihatan pada anak (Wong, 2009).
Fungsi masing-masing otot:
a.) Otot rektus medius, kontaksinya akan menghasilkan aduksi
atau menggulirnya bola mata ke arah nasal dan otot ini
dipersarafi oleh saraf ke III (saraf okulomotor).
b.) Otot rektus lateral, kontraksinya akan menghasilkan
abduksi atau menggulirnya bola mata ke arah temporal dan
otot ini dipersarafi oleh saraf ke VI (saraf abdusen).
c.) Otot rektus superior, kontraksinya akan menghasilkan
elevasi, aduksi dan intorsi bola mata dan otot ini dipersarafi
ke III (sarag okulamotor). Fungsinya menggerakkan mata-
13

elevasi, terutama bila mata melihat ke lateral: aduksi,


terutama bila tidak melihat ke lateral
d.) Otot oblik superior, otot ini dipersarafi saraf ke IV (saraf
troklear) yang keluar dari bagian dorsal susunan saraf
pusat. Mempunyai aksi pergerakan miring dari troklea pada
bola mata dengan kerja utama terjadi bila sumbu aksi dan
sumbu penglihatan searah atau mata melihat ke arah nasal.
Berfungsi menggerakan bola mata untuk depresi (primer)
terutama bila mata melihat ke nasal.
Kedua sumbu penglihatan dipertahankan lurus dan sejajar
dengan suatu refleks. Bila refleks ini tidak dapat dipertahankan
lurus dan sejajar dengan suatu refleks. Bila refleks ini tidak
dapat dipertahankan maka akan terdapat juling. Juling adalah
suatu keadaan dimana kedudukan bola mata yang tidak normal.
Yang dimaksud dengan sumbu penglihatan adalah garis yang
menghubungkan titik nodal dan fovea sentral.
Faal penglihatan yang normal adalah apabila bayangan
benda yang dilihat kedua mata dapat diterima dengan
ketajaman yang sama dan kemudia secara serentak dikirim
kesusunan saraf pusat untuk diolah menjadi penglihatan
tunggal. Mata akan melakukan gerakan konvergensi dan
divergensi untuk dapat melihat bersama serentak pada kedua
mata. Pasien dengan juling akan mengeluh mata lelah atau
astenopia, penglihatan kurang pada satu mata, lihat ganda atau
diplopia, dan sering menutup sebelah mata.
b. Fungsi mata
Semua struktur transparan mata ambil bagian dalam
pembentukan bayangan objek luar pada retina. Kemampuan untuk
membelokkan cahaya (refraksi) tergantung pada struktur yang
dilalui cahaya, yaitu kornea dan lensa. Lensa juga mengubah
kurvaturnya sehingga berakomodasi terhadap objek yang terletak
pada tempat yang berbeda-beda. Berkas cahaya biasanya berjalan
14

dalam garis lurus. Akomodasi juga tergantung pada konstriksi


pupil yang menutup bagian yang lebih perifer dari lensa.
Kehilangan akomodasi dapat terjadi akibat sklerosis dari bahan
lensa (Sacharin, 2006).
Mata neonatus berbeda dari mata orang dewasa. Selama 2
bulan pertama mata memperlihatkan gerakan yang kasar sebagai
respon terhadap rangsangan. Kornea menempati bagian terbesar
dari selubung luar mata; kurvaturnya besar, mata dalam keadaan
hipermetropik (melihat jauh). Iris berwarna tidak sempurna, sklera
tipis dan tampak biru dan lensa secara relatif speris (Sacharin,
2006).
c. Gangguan penglihatan
Perkembangan penglihatan yang adekuat membutuhkan
stimulasi sensorik yang tepat pada kedua mata selama beberapa
tahun pertama kehidupan. Jika salah satu atau kedua mata kurang
mendapat stimulasi ini, kemajuan perkembangan penglihatan tidak
sesuai dan kerusakan penglihatan atau kebutaan dapat terjadi. Ini
dapat terjadi jika mata tidak sejajar, ketajaman penglihatan diantara
kedua mata tidak sama, atau terdapat masalah lain pada mata. Jika
gangguan penglihatan didiagnosis pada usia dini dan terapi segera
diberikan, penglihatan dapat berkembang normal. Akan tetapi, jika
gangguan tersebut tidak ditangani, penglihatan anak yang sedang
berkembang dapat berkurang secara signifikan. Oleh sebab itu,
penting untuk melakukan skrining gangguan penglihatan yang
tepat pada anak. Gangguan yang umum terjadi pada masa kanak-
kanak meliputi kesalahan refraksi dan strabismus. Juga penting
pada anak skrining untuk diskriminasi warna (Kyle, 2014).
1.) Kesalahan refraksi
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media
penglihatan yang terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, badan
kaca dan panjangnya bola mata. Pada orang normal susunan
pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola mata
15

demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui


penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata yang
normal disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan
bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan mata tidak
melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh (Ilyas, 2017).
2.) Strabismus
Pada anak strabismus umum dijumpai dan terjadi pada
hampir 7% anak. Tipe strabismus yang paling umum adalah
eksotropia dan esotropia. Pada eksotropia, mata mengarah ke
luar; sementara pada esotropia, mata mengarah ke dalam.
Karena kesejajaran yang tidak seimbang tersebut, kecepatan
perkembangan penglihatan berbeda pada masing-masing mata
(Kyle, 2014)
Strabismus merupakan ketidak seimbangan dalam
kedudukan bola mata. Strabismus diakibatkan tidak
terkoordinasinya gerakan kedua mata, dan melihat pada arah
yang berbeda. Penglihatan 3D tidak dapat dibentuk bila
bayangan pada kedua mata tidak terdapat pada macula lutea
serentak. Diperlukan penentuan kedudukan pergerakan bola
mata, dan 9 posisi untuk diagnosis kelainan pergerakan mata.
Dikenal beberapa kedudukan bola mata (llyas, 2017):
a.) Posisi primer, mata melihat lurus ke depan
b.) Posisi sekunder mata melihat; 1. Lurus ke atas, 2. Lurus ke
bawah, 3. Lurus ke kiri, 4. Lurus ke kanan
c.) Posisi tertier; 1. Ke atas kanan, 2. Ke atas kiri, 3. Ke
bawah kanan, 4. Ke bawah kiri

Strabismus harus dibedakan dari pseudostrabismus. Pada


pseudostrabismus, mata tampak sedikit juling (sebagaimana
terlihat pada anak yang memiliki batang hidung besar dan
lipatan lipatan epikantus tebal), tetapi refleks kornea terhadap
cahaya tetap simetris. Strabismus harus ditangani secara tepat
pada masa perkembangan sehingga ketajaman penglihatan
16

yang seimbang dapat dicapai pada kedua mata. Jika tidak,


komplikasi yang dapat terjadi pada mata anak bisa meliputi
ambliopia dan penurunan penglihatan (Kyle, 2014)

3.) Buta warna


Buta warna adalah penglihatan warna-warna yang tidak
sempurna. Pasien tidak tahu atau kurang dapat membedakan
warna yang dapat terjaadi kongenital ataupun didapatkan akibat
penyakit tertentu. Hampir 5% laki-laki di negara barat
menderita buta warna yang diturunkan, lebih sering terdapat
pada laki-laki dibanding perempuan. Mungkin pula disebabkan
karena tidak terlatih untuk melihat warna-warna. Buta warna
total merupakan keadaan yang jarang. Kebanyakan penderita
buta warna dapat membedakan warna akan tetapi dengan
penilaian yang berbeda. Dengan adanya teori trikromat maka
kemungkinan gangguan dapat terletak hanya pada satu atau
lebih pigmen kerucut. Bentuk defisiensi yang sering ditemukan
adalah trikromat anomali.
Pada protanomali terdapat kekurangan kerentanan merah
sehingga diperlukan lebih banyak merah untuk bergabung
dengan kuning baku. Sedang deutanopia merupakan kurangnya
pigmen hijau kerucut. Pada deutranomali diperlukan lebih
banyak hijau untuk menjadi kuning baku. Sedang deutranopia
merupakan kurangnya pigmen hijau kerucut. Trinomali
terdapat kekurangan pada warna biru, pada keadaan ini akan
sukar membedakan warna biru terhadap kuning. Akromatopsia
atau monokromat berarti ketidakmampuan membedakan warna
dasar atau warna antara. Pasien hanya mempunyai satu pigmen
kerucut (monokromat rod atau batang). Pada monokramat
kerucut hanya dapat membedakan warna dalam arti
intensitasnya saja dan biasanya mempunyai tajam penglihatan
6/30. Pada orang dengan buta warna total atau akromatopsia
17

akan terdapat keluhan silau dan nistagmus dan bersifat


autosomal resesif.
Pada buta warna yang diturunkan ia tidak bersifat progresif
dan tidak dapat diobati. Uji buta warna biasanya dilakukan
dengan memasangkan warna yang terlihat. Pengujian buta
warna dapat menentukan ada atau tidak adanya buta warna
didapatkan (Ilyas, 2017)
d. Pemeriksaan penglihatan
Pemeriksaan penglihatan dilakukan pada mata tanpa
menggunakan kaca mata. Setiap mata diperiksa terpisah. Salah satu
pemeriksaan bertujuan untuk mengkaji ketajaman penglihatan.
Ketajaman penglihatan bisa diukur dengan Snellen Test untuk
menguji jarak pandang. (LeMone, 2014).
1.) Snellen Test
Snellen Test berisi sederet huruf dengan berbagai ukuran,
dengan angka baku diujung masing-masing baris. Angka
diujung baris mengindikasikan ketajaman penglihatan pasien
yang dapat membaca baris pada jarak 6 meter.angka paling atas
diujung baris selalu 20, menunjukkan jarak antara pasien dan
kartu. Angka didasar adalah jarak (dalam kaki) ketika individu
dengan penglihatan normal dapat membaca garis tersebut.
Individu yang memiliki penglihatan normal dapat membaca
baris yang bertanda 20/20. Untuk melakukan pengkajian
tersebut, minta pasien berdiri 20 kaki dari kartu tersebut pada
area dengan pencahayaan baik. Minta pasien menutup satu
mata dengan penutup opal. Kemudian minta pasien membaca
setiap baris huruf, mulai dari huruf terbesar ke huruf terkecil
yang dapat dilihat oleh pasien. Ukur ketajaman penglihatan
mata satunya dengan cara yang sama, dan kemudian kaji
ketajaman penglihatan sementara kedua mata pasien tidak
tertutup (LeMone, 2014).
2.) Cover test
18

Uji ini sering dipergunakan untuk mengetahui adanya


tropia dan foria. Uji permeriksaan ini dilakukan untuk
pemeriksaan jauh dan dekat, dan dilakukan dengan menyuruh
mata berfiksasi pada satu objek. Bila telah terjadi fiksasi kedua
mata maka kiri ditutup dengan lempeng penutup. Di dalam
keadaan ini mungkin akan terjadi (Ilyas, 2017):
a) Mata kanan bergerak berarti mata tersebut mempunyai
kejulingan yang manifes. Bila mata kanan bergerak ke nasal
berarti mata kanan juling keluar atau eksotropia. Bila mata
kanan bergerak ke temporal berarti mata kanan juling ke
dalam atau esotropia (Ilyas, 2017).
b) Mata kanan bergoyang yang berarti mata tersebut mungkin
ambliopia atau tidak dapat berfiksasi
c) Mata kanan tidak bergerak sama sekali, yang berarti bahwa
mata normal berkedudukan normal, lurus atau telah
berfiksasi
3.) Uji Ishihara
Selain untuk menskrining ketajaman penglihatan anak juga
harus diskrining untuk diskriminasi warna. Salah satu instumen
skrining penglihatan pada anak usia sekolah adalah uji Ishihara.
Uji Ishihara adalah skrining untuk diskriminasi warna (angka
terdiri dari titik-titik, yang tersembunyi dalam titik yang lain)
(Kyle & Carman, 2014).
Uji Ishihara merupakan pemeriksaan untuk penglihatan
warna dengan memakai satu seri titik bola kecil dengan warna
dan besar berbeda, sehingga dalam keseluruhan terligat warna
pucat dan menyukarkan pasien dengan kelainan penglihatan
warna dapat melihat sebagian ataupun sama sekali tidak dapat
melihat gambaran yang diperhatikan
Pada pemeriksaan pasien diminta melihat dan mengenali
tanda seperti buta merah dan hijau pada saraf optik, optik
neuropati toksik dengan pengecualian neuropati iskemia,
19

glaukoma dengan atrofi optik yang memberikan gangguan


penglihatan biru-kuning (Ilyas, 2017).
4) PEEK Acuity
PEEK (portable eye examination kit) Acuity adalah aplikasi
smartphone sebagai alat bantu pemeriksaan tajam penglihatan
yang mudah digunakan. Aplikasi ini fungsinya hampir sama
dengan kartu Snellen dimana menurut (Evani, 2019) hasil
pemeriksaan tajam penglihatan menggunakan aplikasi PEEK
Acuity sesuai dengan hasil pengukuran tajam penglihatan
menggunakan kartu Snellen berdasarkan plot Bland Altman.

B. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dapat diperoleh melalui dasar teori yang akan
digunakan peneliti dan mampu menjelaskan secara runtut dan teoritis.
Bentuk kerangka konsep tidak selalu berupa kalimat. Bisa berupa diagram
dan tabel (Donsu, 2019).
Kerangka konsep pada penelitian ini menjelaskan gambaran
kesehatan mata pada anak usia sekolah.
Skema 1.
Kerangka konsep penelitian

Gambaran kesehatan mata pada anak usia anak sekolah

Tidak normal

Tidak normal

Tidak normal

Normal
1. Tajam penglihatan
20

Normal

Normal

C. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan peneliti pada penelitian ini adalah “ Bagaimanakah gambaran
kesehatan mata pada anak usia sekolah? “
21

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Desain penelitian merupakan strategi dalam mencapai tujuan yang
berfungsi sebagai pedoman agar memudahkan peneliti selama proses
penelitian (Donsu, 2019). Desain penelitian yang digunakan pada
penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan cross sectional.
Desain penelitian deskriptif melaporkan penelitian dengan
mendeskripsikan variabel penelitian, berdasarkan hasil yang diambil dari
populasi secara akurat dan sistematis. Teknik cross sectional merupakan
rancangan penelitian yang dilakukan dalam satu waktu dan membutuhkan
waktu relatif singkat (Donsu, 2019). Penelitian dilakukan untuk
mendeskripsikan tes kesehatan mata pada anak.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian


1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di SD Negeri 80 Pekanbaru. peneliti
menggunakan teknik Cluster Sampling dan didapatkan SD Negeri 80
22

sebagai lokasi penelitian. Karena di SD Negeri 80 Pekanbaru terletak


di kecamatan Tenayan Raya yang memilki jumlah sekolah negeri
terbanyak. Dan SD Negeri 80 Pekanbaru memiliki murid kelas III dan
IV dengan jumlah 275 siswa berdasarkan rekapitulasi data dari SD
Negeri 869 Pekanbaru tanggal 20 Maret 2020.
2. Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian ini dimulai dari persiapan proposal sampai
dengan pengumpulan laporan dalam bentuk proposal yang berlangsung
dari bulan Februari hingga bulan Juli 2020. Jadwal penelitian dapat
dilihat dari tabel dibawah ini.

Tabel 3. 1
Jadwal Kegiatan Penelitian

Waktu Pelaksanaan
Kegiatan Feb Mar Apr Mei Jun Jul
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Perumusan
masalah
Penyusunan
proposal
Seminar
proposal
Revisi proposal
Penelitian
Pengolahan data
Seminar hasil
Revisi laporan
hasil

C. Populasi dan Sampel Penelitian


1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan jumlah yang terdiri atas objek atau
subjek yang memiliki kualitas dan karakteristik tertentu yang sudah
ditentukan oleh peneliti (Donsu, 2019). Peneliti meneliti siswa kelas
III dan IV di SD Negeri 80 Pekanbaru dengan total populasi 275 siswa.
2. Sampel
23

Sampel merupakan objek yang diteliti dan dianggap mewakili


seluruh populasi penelitian (Notatmodjo, 2012).
Teknik pengambilan sampel merupakan yang paling berpeluang
terjadi kesamaan. Fungsinya untuk menggenarilisasikan kemungkinan
terbesar sampel yang terpilih. Jenis teknik yang digunakan adalah
Cluster Sampling. Teknik penelitian yang melibatkan banyak
objek/sumber data. Dimana sumber data tersebut tetap heterogen.
Secara umum, jenis penelitian ini memiliki jangkauan luas dan besar.
Maka, pengambilan sampel bisa melibatkan suatu kelompok, populasi
di suatu daerah yang bersifat homogen, setelah itu dilakukan
randominasi. Dapat menggunakan randominasi untuk menentukan
sampel daerah dan kemudian menentukan unit yang ada di daerah
cluster yang telah terpilih (Donsu, 2019).
3. Kriteria sampel
Agar karakteristik sampel tidak menyimpang dari populasinya,
maka sebelum dilakukan pengaambilan sampel perlu ditentukan
kriteria inklusi maupun kriteria eksklusi. Kriteria inklusi adalah
kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi
yang dapat diambil secara sampel. Sedangkan kriteria eksklusi adalah
ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat diambil sebagai sampel
(Notatmodjo, 2012). Adapun kriteria inklusi dan eksklusi untuk
dijadikan sampel pada penelitian ini adalah:
a. Kriteria inklusi:
1) Siswa kelas III dan IV yang masih terdaftar siswa aktif di
sekolah
2) Bersedia untuk menjadi subjek dalam penelitian.
b. Kriteria eksklusi:
1) Didapatkan kelainan pada mata yang dapat mempengaruhi
status refraksi misalnya kelainan kongenital dan infeksi
2) Apabila subjek menolak untuk menjadikan sampel penelitian

D. Etika Penelitian
24

Peneliti dalam melaksanakan seluruh kegiatan penelitian harus


memegang teguh sikap ilmiah serta menggunakan prinsip-prinsip etika
penelitian (Notoatmodjo, 2012). Etika dalam penelitian ini meliputi:
1. Informed consent (lembar persetujuan)
Lembar persetujuan diberikan kepada subjek yang diteliti. Peneliti
menjelaskan maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan. Setelah
responden setuju dan menandatangani lembar persetujuan tersebut,
maka peneliti melanjutkan penelitian
2. Confidentiality (kerahasiaan)
Peneliti menjamin kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun
masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang didapatkan dijamin
kerahasiaanya oleh peneliti.
3. Anonymity (tanpa nama)
Tujuan ini adalah untuk menjaga kerahasiaan responden dimana
peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar
pengumpulan data, diganti dengan memberikan nomor kode
responden
4. Balancing harm and benefits (memperhitungkan manfaat dan kerugian
yang ditimbulkan
Penelitian yang dilakukan tidak menimbulkan resiko yang dapat
mempengaruhi responden serta memaksimalkan manfaat dari hasil
penelitian yang dilakukan

E. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah uraian tentang batasan variabel yang
digunakan untuk mengukur dengan menggunakan instrumen atau alat
ukur. Definisi operasional ini penting dan diperlukan agar pengukuran
variabel atau pengumpulan data itu konsisten antara sumber data
(responden) yang satu dengan responden yang lain (Notatmodjo, 2012)

Tabel 3.2
Definisi Operasional
Variabel Definisi Alat Skala Hasil ukur
penelitian operasional ukur ukur
25

Tajam Aplikasi PEEK Ordinal - Normal = 6/6


penglihatan smartphone Acuity - Tidak Normal=
sebagai alat < 6/6
bantu
pemeriksaan
tajam
penglihatan
yang mudah
digunakan
Buta warna Kurangnya Uji Nominal - Normal
kemampuan ishihara (score=14)
untuk - Tidak normal
membedakan (skor= <14)
warna-warna
tertentu yang
diukur dengan
jarak 30 cm
menggunakan
uji Ishihara
F. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data penelitian bertujuan untuk


mempermudah penelti dalam proses penelitian. Berikut prosedur
pengumpulan data dalam penelitian ini:
a. Setelah proposal penelitian mendapat persetujuan dari pembimbing
selanjutnya peneliti meminta surat rekomendasi dari FKP UNRI untuk
izin penelitian.
b. Peneliti memasukkan surat permohonan pengambilan data, dan
menunggu balasan persetujuan dari pihak di SDN 80 Pekanbaru
c. Setelah disetujui, peneliti langsung melakukan studi pendahuluan dan
mengambil data jumlah populasi siswa kelas III dan IV SDN 80
Pekanbaru.
d. Mengumpulkan responden dalam satu grup chatting.
e. Peneliti menjelaskan tujuan penelitian dan prosedur penelitian terkait
serta menjamin hak-hak responden.
f. Peneliti meminta responden untuk menandatangani informed consent
(lembar persetujuan responden).
g. Pemeriksaan kesehatan mata dengan menggunakan PEEK Acuity dan
uji Isihara dilakukan pada setiap orang secara bergantian.
26

h. Pemeriksaan pertama dengan menggunakan PEEK Acuity dan setelah


itu dilakukan pencatatan.
i. Pemeriksaan kedua dengan menggunakan uji Ishihara dan setelah itu
dilakukan pencatatan.
j. Setelah proses pengumpulan data selesai, peneliti melakukan analisa
dengan menggunakan uji statistik yang sesuai dengan jenis data.
Selanjutnya diakhiri dengan penyusunan laporan hasil penelitian dan
penyajian hasil penelitian.

G. Alat Pengumpul Data


1. PEEK Acuity
PEEK (portable eye examination kit) Acuity adalah aplikasi
smartphone sebagai alat bantu pemeriksaan tajam penglihatan yang
mudah digunakan. Aplikasi ini fungsinya hampir sama dengan kartu
Snellen dimana menurut (Evani, 2019) hasil pemeriksaan tajam
penglihatan menggunakan aplikasi PEEK Acuity sesuai dengan hasil
pengukuran tajam penglihatan menggunakan kartu Snellen
berdasarkan plot Bland Altman. Durasi pemeriksaan menggunakan
PEEK Acuity secara signifikan lebih singkat dibandingkan kartu
Snellen pada anak usia pra-sekolah (5-6 tahun). Berikut prosedur
pengumpulan data dalam penelitian ini:
a. Mengajarkan orangtua melakukan pemeriksaan dengan
menggunakan aplikasi PEEK Acuity
b. Responden diminta menunjuk arah yang sesuai dengan arah kaki
huruf “E” yang ditampilkan, lalu pemeriksa akan mengusap layar
dengan arah sesuai dengan arah yang ditunjuk oleh responden.
c. Aplikasi PEEK Acuity menawarkan alternatif untuk “menghitung
jari”, “gerakan tangan”, hingga “persepsi cahaya”.
d. Untuk “hitung jari”, aplikasi secara acak menampilkan satu
hingga empat persegi panjang berwarna hitam dan pilihan
jawaban yang benar ataupun salah ditampilkan di layar untuk
dipilih oleh pemeriksa sesuai jawaban responden.
27

e. Untuk “gerakan tangan”, gambar persegi panjang hitam bergerak


ke kiri dan kanan pada layar.
f. Untuk “persepsi cahaya”, PEEK Acuity berpindah pada lampu
LED ponsel/ tablet dan subjek diminta mengidentifikasi jika
melihat lampu menyala dan mati, serta pilihan untuk menilai
persepsi arah proyeksi.
g. Orangtua melakukan kepada anaknya.
h. Akhir pemeriksaan pada aplikasi ditandai dengan suara atau nada
getar. Hasil pemeriksaan tajam penglihatan akan muncul pada
layar, satuan dapat dipilih menggunakan logMAR unit (0,0),
Snellen metrik (6/6), atau Snellen imperial (20/20) (Evani, 2019).
2. Uji Ishihara
Merupakan uji untuk mengetahui uji defek penglihatan warna
didasarkan pada menentukan angka atau pola yang ada pada kartu
dengan berbagai warna. Uji ini berupa buku dan meiliki 14 halaman.
Karena keterbatasan tidak dapat bertemu secara langsung peneliti
menggunakan Google form. Tiap halamanya meiliki tingkat kesulitan
yang berbeda. Berikut tabel hasil dari pemeriksaan dengan
menggunakan uji Ishihara:
Tabel 3.3
Hasil pemeriksaan uji Ishihara

No. Normal Person with Red-Green Deficiencies Person with Total


person Colour Blindness
and Weakness
1 12 12 12
2 8 3 X
3 5 2 X
4 29 70 X
5 74 21 X
6 7 X X
7 45 X X
8 2 X X
9 X 2 X
10 16 X X
11 Traceable X X
Proton Strong
Strong Mild Strong Mild
28

12 35 5 (3) 5 3 (3) 5
13 96 6 (9) 6 9 (9) 6
14 Can trace Purple Purple red Red X
two lines (red) (red) (purple)
Apabila anak dapat melalui semua halaman dengan benar maka
mata anak dapat dinyatakan normal, sedangkan jika hanya memiliki
jawaban yang benar satu maka anak dinyatakan buta warna (Ilyas,
2017).

H. Pengolahan dan Analisa Data


Pengolahan data merupakan suatu proses untuk memperoleh data
atau data ringkasan dari kelompok data mentah dengan menggunakan
rumus tertentu untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan (Setiadi,
2013). Langkah-langkah pengolahan data:
1. Pengelolahan data
a. Editing
Memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau data yang
terkumpul. Jika terdapat data yang terlewat, maka peneliti kembali
menanyakan data tersebut kepada responden saat itu juga.
b. Coding
Pemberian code untuk mempermudah peneliti
mengumpulkan dan mengolah data, peneliti memberikan kode
berupa angka pada semua variabel yaitu mulai dari karakteristik
responden, hasil PEEK Acuity dan uji Isihara
Entry data
Peneliti memasukkan seluruh data yang telah dikumpulkan yang
diperlukan dalam penelitian ini dan mengelolah data tersebut serta
menganalisanya dan menggunakan program komputer (SPSS).
c. Cleaning data
Data demografi dan hasil kuesioner yang sudah dimasukkan akan
diperiksa lagi kelengkapannya. Untuk data yang tidak lengkap,
maka sampel tersebut dianggap tidak lengkap.
d. Processing
29

Data selanjutnya diproses dengan mengelompokkan data ke dalam


variabel yang sesuai yaitu variabel karakteristik individu dan
variabel adaptasi, dengan menggunakan program komputer
(SPSS).
e. Analizing
Data yang telah dimasukkan ke dalam program komputer dan
sudah lengkap kemudian dianalisa dengan menggunakan analisis
univariat.
2. Analisa data
Analisa data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisa
univariat dengan menggunakan program komputer.
a. Analisa Univariat
Tujuan analisa univariat adalah untuk menjelaskan
karakteristik setiap masing-masing variabel. Bentuk analisis
univariat tergantung dari jenis datanya. Pada umumnya analisis ini
hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap
variabel (Notoadmodjo, 2012) Analisa ini digunakan untuk melihat
gambaran masing masing variabel, dengan menggunakan
distribusi frekuensi dalam bentuk persentase dan narasi yang
diantaranya adalah data demografi responden (usia, jenis kelamin,
dan kelas) dan serta memperoleh gambaran dari variabel yang
diteliti yaitu hasil PEEK Acuity dan uji Isihara.
30

DAFTAR PUSTAKA

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia [APJII]. (2018). Profil Pengguna


Internet Indonesia. Jakarta: Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia.

Evani, S., Witono, A. A., & Junaidi, F. J., (2019). Perbandingan Hasil
Pemeriksaan Tajam Penglihatan Menggunakan Kartu Snellen dan Aplikasi
Smartphone PEEK Acuity pada Anak Usia 5-6 Tahun. CDK, 46(8). 492-
296.

Kepmenkes (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia). 2005. Rencana


Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan
Untuk Mencapai Vision 2020. Jakarta.

Donsu, Jenita Doli. (2019). Metodologi Penelitian Keperawatan. Yogyakarta :


Pustaka Baru.

Hidayah, N., Daulay, R., & Permana, L. I. (2016). Kondisi Penurunan Ketajaman
Penglihatan Anak Di Sdn Sungai Jingah 4 Banjarmasin. Dinamika
Kesehatan Jurnal Kebidanan Dan Keperawatan, 7(2), 185-192.

Hidayat, A.A.. (2014). Metode penelitian keperawatan dan teknis analisis data.
Jakarta : Salemba Medika

Ilyas S, Yulianti SR. (2017). Ilmu penyakit mata, edisi 5. Jakarta: FKUI
31

Juneti, J., Bebasari, E., & Nukman, E. (2015). Gambaran faktor-faktor yang


mempengaruhi gangguan tajam penglihatan pada anak sekolah dasar
kelas V dan kelas VI di SDN 017 Bukit Raya Pekanbaru tahun
2014 (Doctoral dissertation, Riau University).

Karolina, N. W., Pharmawati, M., & Setyawati, I. (2019). Prevalensi dan


frekuensi gen buta warna siswa sekolah dasar di Kabupaten Badung, Bali,
Indonesia. Jurnal Biologi Udayana, 23(2), 42-49.

Kementerian Kesehatan RI. (2017). Menkes Luncurkan Peta Jalan


Penanggulangan Gangguan Pengelihatan. Retrieved from
http://www.depkes.go.id/article/view/17101200004/minister-of-health-
launches-road-map-to-visual-impairment-handling.html

Perempuan, K. P. (2018). Profil anak indonesia 2012. Jakarta (ID): KPPA

Kyle & Carman. (2015). Buku Ajar Keperawatan Pediatri Edisi 2 Volume 1.
Diterjemahkan Oleh Devi Yulianti Dan Dwi Widiarti. Jakarta: EGC.

Kyle & Carman. (2015). Buku Ajar Keperawatan Pediatri Edisi 2 Volume 3.
Diterjemahkan Oleh Devi Yulianti Dan Dwi Widiarti. Jakarta: EGC.

LeMone, Priscilla., Burke, Karen. M., & Bauldoff, Gerene.(2016). Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Limburg H and Scheim. (2003). Vision 2020. The Epidemiology of Eye Disease,
Second Edition. London. Arnold Published 120- 36Ades AE. Evaluating
screening test and screening programmes. Arch Dis Child 1990;65:792-5.

Notoatmodjo,S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Pavithra et al. (2013). A Study on The Prevakence of Refractive Errors Among


School Children of 7-15 Years Age Group in The Field Practice Areas of
A Medical College in Bangalore. International Journal of Medical Science
and Public Health. Vol 2. Issue 3.

Potter & Perry. (2009). Fundamental Keperawatan. Edisi 7. Jakarta : Salemba


Medika
Porotu’o, L. I., Joseph, W. B., & Sondakh, R. C. (2015). Faktor-Faktor yang
Berhubungan Dengan Ketajaman Penglihatan Pada Pelajar Sekolah Dasar
Katolik Santa Theresia 02 Kota Manado. KESMAS, 4(1).
32

Rudhiati F. (2015). Hubungan Durasi bermain Video Game dengan Ketajaman


Penglihatan Anak Usia Sekolah. Jurnal Skolastik Keperawatan. 1(2).

Sacharin, Rosa M. (2006). Prinsip Keperawatan Pediatrik Edisi 2. Jakarta: EGC

Setiadi (2013). Konsep dan Praktek Penulisan Riset Keperawatan, Edisi 2.


Yogyakarta, Graha Ilmu
Sustainable Development Goals SDGs (2017). Indikator Kesehatan SDGs DI
Indonesia.
Tauhidah, N. I. (2019). Status Gizi dan Kemampuan Daya Lihat dan Daya Dengar
Anak di TK Aisiyah XV Bustanul Athfal Banjarmasin Tahun 2019. 2-
TRIK: TUNAS-TUNAS RISET KESEHATAAN, 9(4), 346-351.
World Health Organization. (2012). Global data on visual impairments 2010.
Geneva: World Health Organization

Wong, D, dkk. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Volume 1. Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta

Lampiran 1

LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Kepada Yth:

Calon responden penelitian

Di SDN 80 Pekanbaru

Dengan hormat,

Saya yang bertanda tangan dibawah ini adalah mahasiswa Fakultas


Keperawatan Universitas Riau (FKP UNRI) Pekanbaru.

Nama : Dinul Tauhid Almaturidi

NIM : 1611116076
33

Alamat : Jl. Kembang Harapan No. 26

Dengan ini menyampaikan bahwa saya akan melakukan penelitian tentang


“Gambatan Kesehatan Mata Pada Anak Usia Sekolah”. Penelitian ini bertujuan
untuk untuk mengetahui gambaran pada anak usia sekolah. Penelitian ini tidak
akan menimbulkan akibat yang merugikan bagi responden. Peneliti juga akan
menjaga kerahasiaan semua informasi yang diberikan dan hanya digunakan untuk
kepentingan penelitian.

Peneliti sangat mengharapkan responden dapat berpartisipasi dalam


penelitian ini, Jika responden menyetujui dan bersedia menjadi responden, maka
dengan ini saya mohon kesediaannya untuk menandatangani lembar persetujuan
dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya sertakan dalam surat ini. Atas
perhatiannya dan kesediaannya saya ucapkan terima kasih.

Peneliti

(Dinul Tauhid Almaturidi)


34

Lampiram 2

LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama orangtua/ wali (inisial) :

Nama anak (insial) :

Umur :

Jenis kelamin :

Setelah mendengarkan penjelasan yang diberikan peneliti maka responden


bersedia untuk berpartisipasi sebagai responden peneliti dengan judul “Gambatan
Kesehatan Mata Pada Anak Usia Sekolah”. Saya memahami bahwa penelitian ini
tidak akan menimbulkan dampak yang merugikan bagi saya. Oleh sebab itu saya
akan memberikan informasi dan jawaban yang sebenarnya.

Dengan menandatangani surat persetujuan ini, maka saya menyatakan


bersedia untuk berperan serta menjadi responden dalam penelitian ini tanpa
adanya paksaan dan ancaman dari pihak manapun.
35

Pekanbaru, Mei 2020

Orangtua/wali murid
36

Anda mungkin juga menyukai