PROPOSAL PENELITIAN
TEMA :
Kedokteran Mata
NO.REGISTER: 17-777-002
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2019
ii
PROPOSAL
Menyetujui
Tim Pembimbing
Pembimbing 1 Pembimbing 2
dr. Citra Azma Anggita, Sp.M dr. Mike Iriani Ruslan, MAD
Tanggal : Tanggal :
Mengetahui
Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................................I
HALAMAN PERSETUJUAN....................................................................................II
5. Hipermetropia……………………………………………………………………21
6.Astigmatisme……………………………………………………………………..23
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mata adalah panca indera yang penting dan perlu pemeriksaan serta
perawatan secara rutin. Pemeriksaan rutin pada mata sebaiknya dimulai pada
usia dini. Deteksi dini dan publikasi mengenai prevalensi dan faktor yang
berhubungan dengan kelainan tajam penglihatan pada pelajar Sekolah Dasar di
Indonesia masih jarang di lakukan (Fachrian dkk, 2009)
Tajam pengelihatan ( visual acuity ) adalah kemampuan untuk mengenali dua
objek sebagai objek-objek yang terpisah secara spatial, atau pada prinsipnya
merupakan kemampuan resolusi sistem pengelihatan. Kemampuan resolusi
rata-rata mata manusia normal adalah 1 menit busur. Dengan demikian, tajam
pengelihatan yang dianggap standar atau “normal” adalah 6/6 (dalam satuan
meter) atau 20/20 (dalam satuan feet) (Sitorus R.S, 2017)
Saat ini sangat kurangnya perhatian terhadap gangguan penglihatan
khususnya pada anak sekolah dasar, padahal lingkungan belajar yang tidak baik
menjadi salah satu pemicu terjadinya penurunan ketajaman penglihatan pada
anak, seperti membaca tulisan di papan tulis dengan jarak yang terlalu jauh
tanpa didukung oleh pencahayaan kelas yang memadai dan anak yang
membaca buku terlalu dekat (Wati, 2008)
Seiring dengan adanya kemajuan teknologi dan komunikasi seperti televisi,
komputer, video game dan lain-lain secara langsung maupun tidak langsung
akan meningkatkan aktivitas melihat dekat pada anak-anak di daerah perkotaan.
Screen time menurut Wong dkk (2009) dalam Kairupan (2012) didefinisikan
sebagai durasi waktu yang digunakan untuk melakukan screen based activities
di depan layar kaca media elektronik tanpa melakukan aktivitas olahraga
misalnya duduk menonton televisi atau video, bermain komputer maupun
bermain video game.
Penggunaan teknologi maju sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
hidup manusia secara luas namun bila tanpa disertai pengendalian yang tepat
akan dapat merugikan manusia sendiri (Supriati, 2012). Perubahan zaman saat
ini membuat anak-anak sekolah lebih banyak menghabiskan waktu untuk
menonton televisi, membaca komik, membaca novel, atau bacaan lainnya, main
game di komputer, handphone atau tablet yang berlebihan membuat penurunan
ketajaman penglihatan pada anak-anak.
8
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk mengetahui
gambaran tingkat ketajaman pengelihatan pada Siswa-siswi Sekolah Dasar
Kelas 4-6 di SDN 6 Lolu. karena sekolah ini merupakan sekolah negeri unggulan
di Kota Palu yang memiliki tingkat ekonomi keluarga menengah keatas, sehingga
paparan screen time seperti televisi, komputer, handphone, tablet dan berbagai
media lain di perkirakan sangat tinggi.
Dengan berkembangnya era globalisasi yang tidak bisa dibendung lagi, maka
secara tidak langsung penggunaan alat elektronikpun sudah semakin meningkat
dan bahkan banyak didapatkan pada siswa(i) sekolah menengah atas. Hal ini
tidak bisa dihilangakan karena penggunaan elektronik ini tidak hanya
9
menghasilkan kerugian saja, tetapi juga ada keuntungan yang bisa didapat
didalamnya, hanya saja lebih cermat dalam penggunaannya.
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah gambaran tingkat ketajaman pengelihatan pada siswa(i) SDN 6 Lolu pada
tahun 2020.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana distribusi hasil pemeriksaan ketajaman pengelihatan berdasarkan
nilai visus ?
2. Bagaimana distribusi hasil pemeriksaan ketajaman pengelihatan berdasarkan
posisi mata ?
3. Bagaimana distribusi hasil pemeriksaan ketajaman pengelihatan berdasarkan
jenis kelamin ?
4. Bagaimana distribusi hasil pemeriksaan ketajaman pengelihatan berdasarkan
umur ?
5. Bagaimana distribusi hasil pemeriksaan ketajaman pengelihatan berdasarkan
posisi membaca ?
6. Bagaimana distribusi hasil pemeriksaan ketajaman pengelihatan berdasarkan
jarak membaca ?
7. Bagaimana distribusi hasil pemeriksaan ketajaman pengelihatan berdasarkan
screen time?
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
a) Untuk mengetahui gambaran tingkat ketajaman pengelihatan pada siswa
SDN 6 Lolu
2. Tujuan khusus
a) Untuk mengetahui distribusi hasil pemeriksaan ketajaman pengelihatan
berdasarkan nilai visus
b) Untuk mengetahui distribusi hasil pemeriksaan ketajaman pengelihatan
berdasarkan posisi mata
c) Untuk mengetahui distribusi hasil pemeriksaan ketajaman pengelihatan
berdasarkan jenis kelamin
10
E. Manfaat Penelitian
1. Institusi kesehatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan pengetahuan baru mengenai tingkat
ketajaman pegelihatan pada anak SDN 6 Lolu, sehingga dapat dilakukan
pencegahan lebih dini (promosi kesehatan) dan dapat mengurangi dampak
buruk dikemudian hari.
2. Institusi Pendidikan
Sebagai informasi Untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan,
memberikan informasi sebagai bahan bacaan di perpustakaan sekolah, serta
menjadi data dasar untuk pengembangan penelitian selanjutnya.
3. Bagi peneliti
Menambah pengalaman dan wawasan khususnya mengenai ketajaman
pengelihatan
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Anatomi dan fisiologi mata
Bola mata orang dewasa normal hampir mendekati bulat, dengan diameter
anteroposterior berkisar kurang dari 25mm, terbagi kedalam dua segmen yang
berbeda, yaitu segmen anterior yang memiliki bagian transparan dan segmen
posterior yang memiliki diameter lebih luas. Nervus optikus memasuki mata
melalui diskus optikus yang berjarak 3mm kebagian nasal (medial) dari kutub
posterior. (Hayatillah A, 2011)
Bola mata terdiri dari :
a) Konjungtiva merupakan membran mukosa transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata dan permukaan anterior
sklera, terjadinya proses fagositosis dan pengenalan antigen.
b) Sklera merupakan pembungkus fibrosa pelindung mata dibagian luar,
jaringan padat dan berwarna putih serta tersambung dengan kornea di
sebelah anterior dan dura mater nervus optikus disebelah posterior.
c) Kornea merupakan jaringan transparan, disisipkan ke sklera dilimbus, kornea
dewasa rata-rata memiliki tebal 0,54mm di tengah, sekitar 0,65mm di tepi,
dan diameternya sekitar 11,5mm , berperan dalm kemampuan refraksi mata.
d) Uvea merupakan lapisan vaskuler tengah mata dan dilindungi oleh kornea
dan sklera. Iris berfungsi mengubah-ubah ukuran pupil dengan berkontraksi,
12
2. Proses Melihat
menimbulkan impuls listrik potensial. Selanjutnya impuls listrik ini akan diantar
oleh serabut saraf ke pusat penglihatan di otak untuk diproses sehingga terjadi
persepsi penglihatan.
Cahaya yang melewati kornea akan diteruskan melalui pupil, kemudia
difokuskan oleh lensa ke bagian belakang mata, yaitu retina. Fotoreseptor pada
retina mengumpulkan informasi yang ditangkap mataa, kemudian mengirim
sinyal informasi tersebut keotak melalui saraf optik. Semua bagian tersebut harus
bekerja simultan untuk dapat melihat suatu objek.
Pada mata normal, otot siliaris dan lensa mendatar untuk penglihatan jauh,
tetapi otot siliaris akan berkontraksi untuk memungkinkan lensa menjadi
cembung dan lebih kuat untuk penglihatan dekat. (Hayatillah A, 2011)
Fisiologi Penglihatan Untuk memperoleh penglihatan yang jelas, mata harus
dengan akurat memfokuskan sebuah bayangan tepat di retina. Hal ini ditentukan
oleh media penglihatan yang terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, benda kaca,
dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya pembiasan sinar terkuat
dibandingkan penglihatan lainnya. Sedangkan lensa memegang peranan
terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila melihat benda yang dekat.
Untuk memfokuskan bayangan tepat pada retina, mata melakukan sebuah
mekanisme akomodasi dimana mata dapat mengubah kekuatan refraksi dengan
cara merubah bentuk dari lensa sehingga bayangan benda pada jarak yang
dikehendaki dapat difokuskan di retina. Pada mata yang emmetropia dengan
media penglihatan dan panjang bola mata yang seimbang, ketika mata tidak
berakomodasi atau otot siliaris berelaksasi ketika melihat jauh, mata akan tetap
menempatkan bayangan benda tepat di retina dan mata akan meningkatkan
kekuatan refraksi dari kornea dan lensa ketika difokuskan pada objek pada jarak
6 meter atau 20 kaki sehingga banyangan tetap akan tepat jatuh di retina
(Saminan, 2013)
3. Tajam Pengelihatan
Tajam pengelihatan ( visual acuity ) adalah kemampuan untuk mengenali dua
objek sebagai objek-objek yang terpisah secara spatial, atau pada prinsipnya
merupakan kemampuan resolusi sistem pengelihatan. Kemampuan resolusi rata-
rata mata manusia normal adalah 1 menit busur. Dengan demikian, tajam
pengelihatan yang dianggap standar atau “normal” adalah 6/6 (dalam satuan
meter) atau 20/20 (dalam satuan feet) atau lebih baik, yang berarti bahwa orang
14
tersebut mampu melihat dua objek yang memiliki jarak sudut visual (visual angle)
sebesar satu menit busur, sebagai dua objek terpisah.
Tajam pengelihatan dapat dibedakan menjadi tajam pengelihatan jauh dan
dekat. Tajam pengelihatan jauh biasanya diukur secara subjektif menggunakan
kartu / papan Snellen, yang diambil dari nama seorang ilmuan berkebangsaan
Belanda yang menemukan optotipe Snellen, suatu desain karakter yang
digunakan untuk memeriksa tajam pengelihatan. Huruf-huruf pada papan Snellen
terdiri dari kotak-kotak 5x5, dimana huruf berukuran 6/6 memiliki rentang sudut
pengelihatan sebesar 5 menit busur pada jarak 6 meter, yang ekuivalen dengan
ukuran 8,7 x 8,7 mm per kotak. Huruf terbesar pada papan Snellen ekuivalen
dengan tajam pengelihatan 6/60. Notasi berupa pecahan ini memiliki
pemehaman sebagai berikut : pembilang menunjukan jarak antara papan
Snellen/objek dengan orang yang diperiksa (pasien), dan penyebut (60) bahwa
pasien hanya dapat mengidentifikasi huruf tersebut pada jarak periksa (dalam hal
ini 6 meter), sedangkan orang normal seharusnya mampu mengidentifikasi huruf
tersebut pada jarak 60 meter.
Emetropia adalah status refraktif dimana (media refraksi) sinar dari jarak jauh
(tak terhingga) yang masuk kedalam mata mampu membelokkan sehingga jatuh
pada titik fokus tepat diretina (makula). Kondisi refraktif dimana fungsi refraktif
bola mata tidak dapat memfokuskan bayangan tepat di makula disebut
ametropia,yang terdiri dari myopia (bayangan jatuh pada satu titik fokus di
depan retina), hipermetropia (bayangan jatuh pada satu titik fokus di belakang
retina), astigmatisme (bayangan jatuh pada dua titik fokus yang berbeda akibat
perbedaan kelengkungan media refraksi di meridian yang berbeda).
4. Miopia
Miopia adalah keadaan refraksi mata dimana dalam keadaan mata istirahat
(tanpa akomodasi), seberkas cayahasejajar yang berasal dari objek yang terletak
jauh tak terhingga akan difokuskan pada satu titik fokus depan retina
15
a) Definisi
Miopia adalah keadaan refraksi mata dimana dalam keadaan mata istirahat
(tanpa akomodasi), seberkas cayahasejajar yang berasal dari objek yang terletak
jauh tak terhingga akan difokuskan pada satu titik fokus depan retina (buku ajar
oftalmologi, BP FKUI, edisi pertama)
Miopia (rabun dekat) adalah gangguan penglihatan bias yang paling umum
pada anak-anak. Hal ini ditandai dengan pengaburan objek yang dilihat dari
kejauhan, dan biasanya merupakan hasil perpanjangan abnormal bola mata
yang menyebabkan gambar bias yang dibentuk oleh kornea dan lensa jatuh
didepan fotoreseptor retina (Brittany J. Carr , Ph.D. dan William K. Stell , MD,
Ph.D , 2017 ).
Miopia adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan pembiasaan
sinar yang berlebihan sehingga sinar sejajar yang datang dibiaskan di depan
retina (bintik kuning) (Fauziah Maulud M. , 2014).
b) Epidemiologi
Banyak penelitian cross-sectional baru-baru ini melaporkan variasi yang
cukup besar dalam prevalensi miopia di antara anak-anak dari berbagai latar
belakang etnis, lokasi yang berbeda, dan usia yang berbeda. Sebuah studi
cross-sectional berbasis populasi baru-baru ini pada anak-anak Amerika pra-
sekolah berusia 6-72 bulan melaporkan prevalensi miopia sebesar 1,2% pada
kulit putih non-Hispanik, 3,7% pada Hispanik, 3,98% pada orang Asia, dan
6,6% pada orang Amerika Afrika. Perbedaan yang lebih besar dalam
prevalensi miopia ditemukan pada anak-anak usia sekolah yang lebih tua dari
etnis yang berbeda. Prevalensi cross-sectional dari miopia pada anak sekolah
Australia dilaporkan menjadi 42,7% dan 59,1% pada anak usia 12 tahun dan
17 tahun dari etnis Asia Timur, masing-masing, sedangkan tingkat prevalensi
16
yang sesuai di Kaukasia Eropa anak-anak pada usia yang sama masing-
masing adalah 8,3% dan 17,7%. Variasi dalam prevalensi miopia pada anak-
anak dari wilayah geografis yang berbeda juga telah banyak dilaporkan.
Perbedaan regional yang cukup besar ada dari satu negara ke negara bahkan
dalam wilayah geografis yang sama. Angka prevalensi di negara-negara Asia
Timur dan Asia Tenggara secara umum lebih tinggi daripada bagian dunia
lainnya. Survei prevalensi baru-baru ini di Cina menggunakan autorefraksi
sikloplegik menunjukkan bahwa 16,2% anak usia sekolah di daerah pedesaan
di Cina utara yang berusia antara 5 dan 15 tahun adalah rabun. Secara relatif,
tingkat prevalensi miopia yang jauh lebih tinggi dilaporkan dari penelitian
terbaru pada anak-anak sekolah dengan usia yang sama di kota-kota
metropolitan besar di Cina selatan: 38,1% di Guangzhou dan 36,7% di Hong
Kong. Miopia tampaknya lebih umum di kalangan anak sekolah muda di
Singapura daripada di Cina selatan. Prevalensi miopia pada anak-anak berusia
7-9 tahun yang dilaporkan dari penelitian Singapura-Cina adalah 36,7% di
Singapura, 18,5% di Kota Xiamen Cina selatan, vs 6,6% di pedesaan Xiamen.
Sebaliknya, prevalensi miopia jauh lebih rendah di beberapa negara lain di Asia
Timur. Di anak-anak sekolah di pedesaan Mongolia yang berusia 7-17 tahun,
prevalensi miopia adalah 5,8%. Hanya 1,2% dari anak-anak Nepal berusia 5-15
tahun yang terbukti rabun (Foster PJ , 2014).
Di Indonesia, prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama pada
penyakit mata dan ditemukan jumlah penduduk kelainan refraksi di Indonesia
hampir 25% populasi penduduk atau sekitar 55 juta jiwa. Menurut perhitungan
WHO, tanpa ada tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap miopia, hal
ini kan mengakibatkan jumlah penderita akan semakin meningkat. Dan
berdasarkan laporan Institute of Eye Research diperkirakan pada tahun 2020
penderita miopia akan mencapai 2,5 milyar penduduk (Usman S, 2014).
c) Etiologi
Miopia dapat disebabkan oleh bermacam hal sehingga dapat dibagi menjadi
beberapa bentuk yaitu :
Miopia umumnya diklasifikasikan menjadi dua kelompok : miopia non-
patologis dan patologis. Kedua kelompok memiliki proses penyakit yang terpisah,
gambaran klinis, dan prognosis. Miopia non-patologis juga biasa disebut miopia
fisiologis, sederhana atau sekolah. Pada miopia non-patologis, struktur bias mata
17
berkembang dalam batas normal, namun kekuatan bias mata tidak berkorelasi
dengan panjang aksial. Tingkat miopia non-patologis biasanya minimal hingga
sedang (<6,00 dioptri) dan onset biasanya dimulai selama masa kanak-kanak
atau remaja. Kemajuan rabun umumnya berlanjut sepanjang periode
pertumbuhan remaja dan melambat atau menjadi stabil pada awal dekade
kedua. Lebih jarang, pergeseran rabun jauh kedua dapat terjadi pada akhir
dekade kedua atau awal pada dekade ketiga.
Miopia patologis umumnya diklasifikasikan sebagai kesalahan refraksi miopia
tinggi yang progresif dan umumnya timbul sangat dini di masa kanak-kanak.
Miopia patologis biasanya didefinisikan sebagai setara bola> 6,00 dioptri atau
panjang aksial> 26,5mm. Pasien dengan miopia aksial tinggi memiliki risiko lebih
besar untuk mengalami degenerasi retina progresif dan patologi yang
mengancam penglihatan lainnya (AAO, Kirkeby L, 2014)
Pada miopia sewaktu otot siliaris relaksasi total ketika mata tidak
berakomodasi atau melihat jauh, bayangan dari objek jauh difokuskan di depan
retina. Keadaan ini dapat diakibatkan karena :
1) Diameter bola mata yang terlalu panjang (miopia aksial) Dalam hal ini miopia
terjadi akibat panjang sumbu bola mata (diameter anteroposterior) lebih
panjang dari normal, sedangkan kelengkungan kornea, kelengkungan lensa
serta kekuatan refraksi normal, sehingga bayangan dari objek jauh
difokuskan di depan retina.
2) Kelengkungan kornea atau lensa yang terlalu lengkung (miopia kurvatura)
Dalam hal ini miopia terjadi karena perubahan dari kelengkungan kornea atau
perubahan kelengkungan dari lensa yang menjadi lebih cembung, seperti
yang terjadi pada katarak intumesen, sehingga pembiasan menjadi lebih kuat
sedangkan ukuran diameter bola mata normal, sehingga bayangn dari objek
jauh difokuskan di depan retina.
18
3) Perubahan indeks refraksi Perubahan indeks refraksi pada lensa yang terjadi
pada onset awal hingga sedang pada katarak nuclear sklerotik adalah
penyebab miopia yang sering dijumpai pada orang tua, perubahan sklerotik
meningkatkan indeks pembiasan sehingga menyebabkan mata menjadi
miopia.
4) Perubahan posisi lensa Pergerakan lensa yang lebih ke anterior lebih sering
ditemukan setelah operasi glaukoma dan hal ini mengakibatkan kelainan
miopia pada mata. (Saminan, 2013)
d) Patofisiologi
Patofisiologi miopia masih belum pasti. Namun pada miopia, sewaktu otot
silliaris relaksasi total ketika mata tidak berakomodasi atau melihat jauh,
bayangan dari objek jauh difokuskan didepan retina. Keadaan ini dapat
diakibatkan karena pembiasaan sinar di dalam mata yang terlalu kuat untuk
panjangnya bola mata akibat:
1) Sumbu aksial mata lebih panjang dari normal ( diameter antero-posterior
yang lebih panjang) sedangkan kelengkungan kornea, kelengkungan lensa
19
e) Manifestasi klinis
Penderita miopia akan mengeluh sakit kepala, sering disertai dengan juling
dan kelopak mata yang sempit. Selain itu, penderita miopia mempunyai
kebiasaan mengerinyitkan matanya untuk mencegah abrasi sferis untuk
mendapatkan efek pinhole (lubang kecil). Pasien miopia mempunyai pungtum
remotum (titik terjauh yang masih dilihat jelas) yang dekat sehingga mata selalu
dalam keadaan konvergensi. Hal ini yang akan menimbulkan keluhan astenopia
konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan terlihat
juling ke dalam atau esotropia. (Samina, 2013)
Pada penderita miopia, keluhan utamanya adalah penglihatan yang kabur
saat melihat jauh, tetapi jelas untuk melihat dekat. Selain itu pasien akan
memberikan keluhan sakit kepala atau mata terasa lelahsering disertai dengan
juling dan celah kelopak mata sempit. Seseorang miopia mempunyai kebiasaan
mengernyitkan matanya untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan
efek pinhole. Apabila terdapat miopia pada satu mata jauh lebih tinggi dari mata
yang lain, dapat terjadi ambliopia pada mata yang miopianya lebih tinggi dan
menyebabkan eksotropia (Hayatillah A, 2011)
f) Diagnosis
Pemeriksaan untuk miopia dapat dilakukan secara subjektif dan obyektif.
Secara subjektif dengan metode trial and error dengan menggunakan kartu
snellen. Pada prosedur ini, pasien duduk pada jarak 6 meter atau 20 feet dari
20
g) Penatalaksanaan
1) Medikamentosa
i. Obat sikloplegia kadang – kadang digunakan untuk mengurangi respon
akomodatif. Pemberian topikal harian atropin dan cyclopentolate mengurangi
angka kemajuan pada anak – anak dengan miopia. Namun, atropin
memberikan efek samping seperti nadi cepat, demam, dan mulut kering.
Penggunaan atropin jangka panjang dapat memberikan efek buruk pada
retina. ( Budiono S, Saleh TT, Moestidjab. Ilmu kesehatan mata. Surabaya :
Airlangga university press,2013)
2) Non medikamentosa
i. Koreksi / perbaiki visus dengan jalan :
h) Menetralisir kelebihan kekuatan refraksi
ii) Mengurangi kekuatan refraksi
i) Komplikasi
21
Miopia memiliki efek negatif terhadap kepercayaan diri, jenjang karir, dan
kondisi kesehatan mata. Miopia juga berhubungan dengan peningkatan resiko
beberapa kelainan okular seperti strabismus, glaukoma dan kebutaan ( saxena
R, 2015)
j) Pencegahan
1) Periksa mata sedini mungkin jika dalam keluarga ada yang memakai
kacamata
2) Melakukan pemeriksaan mata secara berkala setiap 1 tahun sekali atau
sebelum 1 tahun bila ada keluhan
3) Kurangi kebiasaan kurang baik seperti melakukan aktivitas melihat dekat
5. Hipermetropia
a. Definisi
Hipermetropia juga dikenal dengan istilah hiperopia atau rabun dekat.
Hipermetropia merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana
sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di
belakang makula lutea (Ilyas, 2004). Hipermetropia adalah suatu kondisi ketika
kemampuan refraktif mata terlalu lemah yang menyebabkan sinar yang sejajar
dengan sumbu mata tanpa akomodasi difokuskan di belakang retina (Istiqomah,
2005). Hipermetropia adalah keadaan mata yang tidak berakomodasi
memfokuskan bayangan di belakang retina. Hipermetropia terjadi jika kekuatan
yang tidak sesuai antara bola mata dan kekuatan pembiasan kornea dan lensa
lemah sehingga titik fokus sinar terletak di belakang retina (Patu, 2010).
b. Klasifikasi
Terdapat berbagai gambaran klinik hipermetropia seperti: Hipermetropia
manifes ialah hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan kacamata positif
maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal. Hipermetropia ini terdiri
atas hipermetropia absolut ditambah dengan hipermetropia fakultatif.
Hipermetropia manifes didapatkan tanpa siklopegik dan hipermetropia yang
dapat dilihat dengan koreksi kacamata maksimal. Hipermetropia fakultatif,
dimana kelainan hipermetropia dapat diimbangi dengan akomodasi ataupun
dengan kacamata positif. Pasien yang hanya mempunyai hipermetropia fakultatif
akan melihat normal tanpa kacamata. Bila diberikan kacamata positif yang
memberikan penglihatan normal, maka otot akomodasinya akan mendapatkan
22
6. Astigmatisme
a. Definisi
Astigmatisma adalah kelainan refraksi yang mencegah berkas cahaya
jatuh sebagai suatu fokus titik di retina karena perbedaan derajat refraksi di
berbagai meridian kornea atau lensa kristalina. Pada astigmatisma, mata
menghasilkan suatu bayangan dengan titik atau garis fokus multiple, dimana
berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam pada retina akan
tetapi pada 2 garis titik api yang saling tegak lurus yang terjadi akibat kelainan
kelengkungan di kornea.
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri
atas 5 lapis, yaitu : epitel, membran bowman , stroma, membran descement, dan
endotel.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf
siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid,
masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran bowman melepaskan
selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis
terdepan tanpa ada akhir saraf.
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola
mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana
40 Dioptri dari 50 Dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.
b. Etiologi
c. Klasifikasi
a) Astigmatisma regular
24
Berdasarkan axis dan sudut yang dibentuk antara dua principal meridian,
regular astigmatisma dapat dibagi dalam 3 bentuk, yaitu :
1) Horizontal-vertikal astigmatisma Astigmatisma ini merupakan dua
meridian yang membentuk sudut satu sama lain secara horizontal
(1800±200) atau vertical (900±200 ) astigmatisma ini terbagi atas 2 jenis :
i. With-in-the-rule astigmatism. Dimana meridian vertical mempunyai
kurvatura yang lebih kuat (melengkung) dari meridian horizontal.
Disebut with the rule karena mempunyai kesamaan dengan kondisi
normal mata mempunyai kurvatura vertical lebih besar oleh karena
penekanan oleh kelopak mata. Astigmatisma ini dapat dikoreksi –axis
1800 atau +axis 900
ii. Against-the rule astigmatism. Suatu kondisi dimana meridian horizontal
mempunyai kurvatura yang lebih kuat (melengkung) dari meridian
vertical. Astigmatisma jenis ini dapat dikoreksi dengan +axis 180 0 atau
-axis 900.
2) Oblique astigmatism
Merupakan suatu astigmatisma regular dimana kedua principle
meridian tidak pada meridian horizontal atau vertical. Principal meridian
terletak lebih dari 200 dari meridian vertical atau horizontal.
3) Biobligue astigmatism
Suatu kondisi dimana kedua principle meridian tidak membentuk sudut
satu sama lain.
b) Irregular Astigmatism
Suatu keadaan refraksi dimana setiap meridian mempunyai perbedaan
refraksi yang tidak teratur bahkan kadang-kadang mempunyai perbedaan
pada meridian yang sama. Principle meridian tidak tegak lurus satu dengan
lainnya. Biasanya astigmatisma irregular ini dikoreksi dengan lensa kontak
kaku (Soekardi et al, 2004).
Berbicara mengenai induksi astigmatisma pasca operasi (induced
astigmatism), seperti kita ketahui, penderita astigmatisma sebagian besar
adalah with the rule astigmatism. Insisi yang ditempatkan pada kornea akan
menyebabkan pendataran pada arah yang berhadapan dengan insisi
tersebut. Artinya, jika melakukan insisi dari temporal cenderung
menyebabkan pendataran pada sumbu horizontal kornea, dimana hal ini
25
d. Patofisiologi
Pada mata normal, permukaan kornea yang melengkung teratur akan
memfokuskan sinar pada satu titik. Pada astigmatisma, pembiasan sinar tidak
difokuskan pada satu titik. Sinar pada astigmatisma dibiaskan tidak sama pada
semua arah sehingga pada retina tidak didapatkan satu titik fokus pembiasan.
Sebagian sinar dapat terfokus pada bagian depan retina sedang sebagian sinar
lain difokuskan di belakang retina (American Academy of Opthalmology Section
5, 2009-2010).
Jatuhnya fokus sinar dapat dibagi menjadi 5 (Ilyas dkk, 2002), yaitu :
Pada nilai koreksi astigmatisma kecil, hanya terasa pandangan kabur. Tapi
terkadang pada astigmatisma yang tidak dikoreksi, menyebabkan sakit kepala
atau kelelahan mata, dan mengaburkan pandangan ke segala arah. Pada anak-
anak, keadaan ini sebagian besar tidak diketahui, oleh karena mereka tidak
menyadari dan tidak mau mengeluh tentang kaburnya pandangan mereka
(Waluyo, 2007).
g. Penatalaksanaan
Kelainan astigmatisma dapat dikoreksi dengan lensa silindris, sering kali
dikombinasi dengan lensa sferis. Karena tak mampu beradaptasi terhadap
distorsi penglihatan yang disebabkan oleh kelainan astigmatisma yang tidak
terkoreksi (American Academy of Opthalmology Section 5, 2009-2010).
27
B. Kerangka Teori
C. Kerangka Konsep
D. Defenisi Operasional
1. Ketajaman pengelihatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan
untuk mengenali dua objek sebagai objek-objek yang terpisah secara spatial,
atau pada prinsipnya merupakan kemampuan resolusi sistem pengelihatan.
Yang di ukur menggunakan Snellen chart. Dengan kriteria :
a. Baik : visus 6/6
b. Kurang : visus ≤ 6/6
2. Posisi mata yang dimaksud dalam penelitian ini adalah posisi mata yang
mengalami penurunan ketajaman pengelihatan yang diukur dengan Snellen
chart. Dengan kriteria :
a. Kanan : penurunan visus mata kanan
b. Kiri : penurunan visus mata kiri
c. Kiri dan kanan : penurunan visus pada kedua mata
3. Jenis kelamin yang dimaksud dalam penelitian ini adalah identitas seseorang
yang dapat kita lihat secara visual. Kemudian dicatat dalam lembar kuisioner,
dengan kriteria :
a. Laki-laki
b. Perempuan
4. Usia yang dimaksud pada penelitian ini adalah umur responden terhitung dari
tahun lahir sampai pada penelitian. Data diperoleh dari bagian kesiswaan
sekolah kemudian di isi dalam lembaran kuisioner, dengan kriteria :
a. 9 tahun
b. 10 tahun
c. 11 tahun
d. 12 tahun
5. Posisi membaca yang dimaksud dalam penelitian ini adalah posisi yang
dilakukan subjek pada saat sedang membaca, yang diukur dengan metode
wawancara kuisioner. Dengan kriteria :
a. Baik : posisi membaca duduk
b. Kurang : posisi membaca berbaring
6. Jarak membaca yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jarak antara bahan
bacaan dengan mata dari subjek penelitian, menggunakan metode wawancara
kuisioner. Dengan kriteria :
a. Baik : ≥ 30 cm
b. Kurang : < 30 cm
29
7. Screen time yang dimaksud dalam penelitian ini adalah durasi waktu yang
digunakan untuk melakukan screen based activities atau aktivitas didepan layar
kaca media elektronik tanpa melakukan aktifitas olahraga misalnya duduk
menonton televis atau video, bermain computer, maupun bermain permainan
video. Dengan kriteria :
a. Baik : screen time ≤ 2 jam/hari
b. Kurang : screen time > 2 jam/hari
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Sitorus RS. 2018. Buku ajar ofthalmologi FK UI. BPFKUI.
2. Thomas Santo. Gambaran Tingkat Pengetahuan Siswa SMA tentang Miopia
Universitas Sumatera Utara. Medan; 2010; tanggal akses 29 Januari 2019.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/21462/Cover.pdf?sequ
ence=7&isAllowed=y
3. Rahimi Martga Bella, Yanwirasti, Sayuti Kemala. Faktor-faktor yang
Memengaruhi Insiden Miopia Pada Siswa Sekolah Menengah Atas di Kota
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2015; 4(3); tanggal akses 29 januari
2019. http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/download/384/339
4. Dirgahayu Nadia Primivita. Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat Siswa di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah
Gonilan Kartasura Sukoharjo. Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2015;
tanggal akses 29 Januari 2019
http://eprints.ums.ac.id/39505/1/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf
5. Brittany J. Carr, Ph.D. and William K. Stell, M.D., Ph.D. The Science Behind
Myopia. Salt Lake City (UT); 7 November 2017; tanggal akses 29 januari
2019. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470669/
6. Rahimi Martga Bella, Yanwirasti, Sayuti Kemala. Faktor-faktor yang
Memengaruhi Insiden Miopia Pada Siswa Sekolah Menengah Atas di Kota
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2015; 4(3); tanggal akses 29 Januari
2019. http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/download/164/159
7. Usman Sepnita, Nukman Efhandi, Bebasari Eka. Hubungan antara Faktor
Keturunan, Aktivitas Melihat Dekat dan Sikap Pencegahan Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Riau terhadap Kejadian Miopia. Riau;
Oktober 2014; tanggal akses 28 Januari 2019
https://media.neliti.com/media/publications/186693-ID-hubungan-antara-
faktor-keturunan-aktivit.pdf
8. Foster PJ, Jiang Y. Epidemiology of Myopia. London; 10 January 2014;
tanggal akses 28 Januari 2014
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3930282/pdf/eye2013280a.pdf
9. Ostrow G I, MD FAAO FAAF, Epley K D, M.D, Irabarren R. Myopia. Amerika;
8 Maret 2018; tanggal akses 29 Januari 2019. http://eyewiki.aao.org/Myopia
31
10. Saminan. Efek Bekerja dalam Jarak Dekat terhadap Kejadian Miopia. Banda
Aceh; 3 Desember 2013; tanggal akses 29 Januari 2019.
http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/JKS/article/view/3288
11. Pusat Data dan Informasi Kementrian kesehatan RI. 2014. Situasi Gangguan
Penglihatan dan kebutaan. Diakses paa 12 Juni 2019 dari:
www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin
12. Klein, A. P., Duggal, P., Lee, K. E., Cheng, C. Y., Klein, R., Bailey-Wilson, J.
E., & Klein, B. E. (2011). Linkage analysis of quantitative refraction and
refractive errors in the Beaver Dam Eye Study. Investigative ophthalmology &
visual science, 52(8), 5220–5225. doi:10.1167/iovs.10-7096. Diakses 12 juni
2019 dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3176073/
13.
32
BAB III
METODE PENELITIAN
h. Metodologi dan desain penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif observatif yang bertujuan
untuk mengidentifikasi gambaran tingkat ketajaman pengelihatan pada siswa SDN 6
Lolu. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan cross
sectional. Desain penelitian sebagai berikut :
2) Tempat
Penelitian akan dilakukan di SDN 6 Lolu
33
2) Subjek Penelitian
Seluruh Siswa(i) SDN 6 Lolu yang memenuhi kriteria penelitian
2) Kriteria Ekslusi
a. Siswa dengan strabismus
b. Siswa dengan kelainan pengelihatan bawaan
E. Besar Sampel
Dalam menentukan sampel, peneliti menggunakan perhitungan dengan
rumus teknik slovint
𝑵
n = 𝑵 (𝒆)𝟐 + 𝟏 Keterangan:
𝟏𝟑𝟖
n = 𝟏𝟑𝟖 (𝟎,𝟏)𝟐+𝟏 n = Ukuran sampel
𝟏𝟑𝟖
n = 𝟏𝟑𝟖 (𝟎,𝟎𝟏)+𝟏 N = Ukuran populasi
𝟏𝟑𝟖
n = 𝟏,𝟑𝟖 +𝟏 e = Estimasi kesalahan
𝟏𝟑𝟖
n = 𝟐,𝟑𝟖
n = 57,98
n = 58
34
Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini diambil dengan teknik yaitu Non-
Probability Sampling berupa consecutive sampling pada siswa SDN 6 Lolu yang
memenuhi kriteria penelitian.
G. Alur Penelitian
SISWA(i) SDN 6 Lolu
Pengambilan Data
Pemeriksaan
Wawancara
Visus
Kuesioner Lembaran Kerja
Pengumpulan Data
Analisis Data
Penulisan Hasil
Seminar Hasil
H. Prosedur Penelitian
1. Populasi yang akan diteliti adalah Siswa SDN 6 Lolu
2. Penjelasan kepada subyek penelitian :
a. Peneliti akan memberikan penjelasan kepada siswa(i) dari subyek penelitian
mengenai latar belakang, tujuan, dan manfaat dari penelitian. Serta diberi
penjelasan mengenai perlakuan terhadap subyek selama penelitian dan jaminan
kerahasiaan data serta jaminan keselamatan selama tindakan penelitian
b. Pada penelitian ini, peneliti akan meberikan pertanyaan mengenai faktor genetik,
faktor lingkungan serta melakukan pengukuran visus dengan menggunakan
Snellen Chart yang diletakkan pada jarak 6 m di depan subjek, kemudian mata
subjek diberi trial frame, mata kiri ditutup dengan lensa black dan mata kanan
dilakukan pemeriksaan. Hasil dicatat dilembar penelitian. Jika mata kanan tidak
dapat mencapai visus normal, maka pada mata kanan akan dipasangkan pin
hole, selanjutnya dilakukan pemeriksaan visus kembali. Hasil dicatat pada
lembar penelitian. Demikian dilakukan pada mata kiri.
c. Dijelaskan juga tentang hak-hak dari subyek, yaitu hak menolak dan
mengundurkan diri dari penelitian tanpa konsekuensi kehilangan hak mendapat
pelayanan kesehatan yang diperlukan, hak untuk bertanya dan mendapat
penjelasan bila masih diperlukan. Subyek juga diberitahu bahwa biaya yang
dibutuhkan dalam penelitian ini akan ditanggung oleh peneliti.
3. Setelah subyek mengerti dengan semua penjelasan, maka peneliti akan meminta
persetujuan untuk mengikut sertakan siswa menjadi subyek penelitian dengan
menandatangani formulir persetujuan.
4. Subyek peneliti yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memiliki kriteria eksklusi
akan diikutkan dalam penelitian tanpa paksaan dan bersifat suka rela.
5. Selanjutnya peneliti melakukan pengambilan data dengan teknik wawancara
sesuai daftar pada lembaran kerja dan diisi oleh peneliti sesuai dengan jawaban
dan hasil pemeriksaan dari subyek.
6. Semua data yang telah terkumpul akan diinput ke dalam komputer selanjutnya
akan dilakukan pengolahan dan analisis data lebih lanjut dengan menggunakan
program SPSS. Data yang ada akan sangat dijaga kerahasiaannya.
7. Setelah analisis data selesai, peneliti mempersiapkan untuk melakukan
penulisan hasil untuk selanjutnya diseminarkan pada penyajian hasil.
36
Posisi Mata N %
Mata Kanan
Mata Kiri
Jenis Kelamin N %
Laki - laki
Perempuan
Total
37
Umur N %
9 tahun
10 tahun
11 tahun
12 tahun
Total
Posisi Membaca N %
Baik (Duduk)
Kurang (Berbaring)
Total
Jarak membaca N %
Baik (≥ 30 cm)
Screen Time N %
Baik (≤ 2 jam/hari)
J. Aspek Etika
1. Sebelum melakukan penelitian, peneliti menjelaskan secara lengkap tentang
tujuan, cara penelitian yang akan dilakukan dan dimintakan persetujuan dari
setiap responden
2. Responden yang akan diteliti setuju dan mempunyai hak untuk bertanya dan ikut
ataupun menolak untuk mengikuti penelitian ini, tanpa ada paksaan dan rasa
takut untuk mengikuti penelitian.
3. Penelitian ini tidak menimbulkan kerugian dan bahaya karena hanya
menggunakan snellen chart sebagai alat pengukuran yang sangat aman sesuai
dengan yang telah dijelaskan.
4. Peneliti tidak akan mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan
data yang akan diisi oleh peneliti dan semua data disimpan dengan aman dan
disajikan secara lisan maupun tulisan secara anonym.
5. Semua proses yang dilakukan sehubungan dengan penelitian tidak memungut
biaya apapun.
39
BAB IV
LAMPIRAN
A. Lampiran 1 : Jadwal Penelitian
2020
iatan 2018 2019
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
osal
l
omendasi Etik
n
40
Pada penelitian ini, yang saya harapkan untuk menjadi penelitian adalah Siswa(i)
SDN 6 Lolu. Dalam pengambilan data, saya hanya akan melakukan pemeriksaan
visus menggunakan Snellen chart yang dimana pada pemeriksaan ini tidak memiliki
efek samping atau bahaya kepada siswa(i) dan saya akan mengajukan beberapa
pertanyaan mengenai kebiasaan yang dapat mempengaruhi ketajaman
pengelihatan. Sehingga penelitian ini tidak dikenakan biaya apapun. Semua biaya
yang ada hubungannya dengan penelitian ini akan ditanggung oleh peneliti.
Semua informasi yang berkaitan dengan identitas peserta dalam penelitian ini
akan dirahasiakan, baik dalam bentuk arsip atau alat elektronik kelompok dan hanya
diketahui oleh peneliti dan petugas yang berkepentingan. Hasil penelitian ini akan
dipaparkan tanpa identitas dari peserta penelitian.
Apakah Ibu mengerti dengan apa yang telah saya jelaskan tadi?. Bila Ibu
mengerti, maka apakah ibu bersedia untuk menjadi salah satu peserta dalam
penelitian ini? Bila Ibu setuju, Ibu dapat memberikan persetujuan dengan
menandatangani surat persetujuan penelitian.
41
Persetujuan Ibu ini bersifat sukarela, tanpa paksaan dari pihak manapun
sehingga Ibu mempunyai hak untuk menolak bila tidak setuju ikut serta dalam
penelitian ini tanpa konsekuensi kehilangan hak mendapat pelayanan kesehatan
yang Ibu perlukan, hak untuk bertanya dan mendapat penjelasan bila masih
diperlukan.
Bila ada hal yang kurang Ibu mengerti atau kurang jelas, maka Ibu tetap bisa
menanyakan pada saya : Alin Angraini Lakoro ( 087845157464 ) Atas kesediaan
dan kerjasamanya diucapkan terima kasih .
Saya tahu bahwa keikutsertaan saya ini bersifat sukarela tanpa paksaan,
sehingga saya bisa menolak ikut atau mengundurkan diri dari penelitian ini tanpa
kehilangan hak saya untuk mendapat pelayanan kesehatan. Juga saya berhak untuk
bertanya atau meminta penjelasan pada peneliti bila masih ada hal yang belum jelas
atau masih ada hal yang ingin saya ketahui tentang penelitian ini
Klien
…………………………. …………………….. ……………………..
Saksi 1
…………………………. …………………….. ……………………..
Saksi 2
…………………………. …………………….. ……………………..
Kedudukan Dalam
Nama Keahlian
Penelitian
Mahasiswa Fakultas
Alin Angraini Lakoro Peneliti Utama kedokteran Universitas
Alkhairaat Palu
Dokter Ahli Mata Gizi
dr. Citra Azma Anggita Klinik dan dosen
Pembimbing 1
Sp.M pembimbing di PSPD
Unisa Palu
Dokter Umum, dosen dan
dr. Mike Iriani Ruslan,
Pembimbing 2 pembimbing di PSPD
MAD
Unisa Palu
Rekan Peneliti
a. Data Pribadi
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswi
b. Riwayat Keluarga
c. Riwayat Pendidikan
Nama
No Tempat Tahun
Sekolah
1 TK TK EKA DIYASA 2004
2 SD SDN 1 DUNGGALA 2010
3 SMP SMP NEGERI 1 LIMBOTO 2013
4 SMA SMA NEGERI 1 LIMBOTO 2016
5 PT Kedokteran UNISA Palu 2017- Sekarang
d. Pengalaman Organisasi
e. Riwayat Penelitian
Belum ada
46
A. KUESIONER PENELITIAN
Gambaran Tingkat Ketajaman Pengelihatan pada Siswa(i)
SDN 6 Lolu Tahun 2020
I. Identitas Responden
1. No. Kode Responden :
2. Alamat :
5. Kelas :