Anda di halaman 1dari 55

REFERAT

PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA DIARE ANAK

Disusun oleh:

Dani Pratama Febrianto

201910401011010

Pembimbing:
dr. Dahsyat Wasis Setiadi, Sp.A
dr. Lily Diah Farida, Sp.A
dr. Renyta Ika Damayanti, Sp.A

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang

Rumah Sakit Gambiran Kediri

2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikumWr.Wb.

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas

berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan referat dengan

judul “Penggunaan Antibiotik Pada Diare Anak”.

Penulisan referat ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan

pada program pendidikan profesi dokter pada Fakultas Kedokteran Universitas

Muhammadiyah Malang yang dilaksanakan di RSUD Gambiran Kediri.Ucapan

terimakasih penulis sampaikan kepada seluruh dokter pembimbing

dr. Dahsyat Wasis Setiadi, Sp.A, dr. Lily Diah Farida, Sp.A, dan dr. Renyta Ika

Damayanti, Sp.A serta semua pihak terkait yang telah membantu

terselesaikannya referat dan laporan kasus ini.

Tulisan laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan

kerendahan hati, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharapkan

kritik dan saran yang membangun. Semoga tulisan laporan kasus ini dapat

bermanfaat bagi semua pihak.

Wassalamualaikum WR.WB.

Kediri, 23 September 2019

Penulis

i
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

Telah disetujui sebagai hasil referat dan laporan kasus

untuk memenuhi persyaratan

Pendidikan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran

Universitas Muhammadiyah Malang

Tanggal: 23 September 2019

Mengetahui,
SMF Anak RSUD Gambiran Kediri
Ketua,

dr. Dahsyat Wasis Setiadi, Sp. A

ii
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv
DAFTAR TABEL..................................................................................................v
BAB I: PENDAHULUAN.....................................................................................1
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................3
2.1 Definisi Diare................................................................................................3
2.2 Etiologi Diare................................................................................................3
2.3 Epidemiologi Diare.......................................................................................4
2.3.1 Cakupan Penderita Diare.....................................................................4
2.3.2 Kejadian Luar Biasa (KLB) Diare.......................................................6
2.3.3 Penggunaan Oralit dan Zink................................................................7
2.4 Cara Penularan dan Faktor Risiko............................................................8
2.5 Mekanisme Diare..........................................................................................9
2.6 Manifestasi Klinis Diare............................................................................16
2.7 Penegakan Diagnosis Diare.......................................................................18
2.7.1 Anamnesis.............................................................................................18
2.7.2 Pemeriksaan Fisik Diare.....................................................................19
2.8 Pemeriksaan Penunjang diare..................................................................21
2.9 Tatalaksana Diare......................................................................................23
2.10 Komplikasi Dan Prognosis......................................................................30
2.11 Pencegahan Dan Edukasi Diare..............................................................31
BAB III: PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA DIARE...............................34
3.1 Prinsip Penggunaan Antibiotik Pada Penderita Diare...........................34
BAB IV: KESIMPULAN.....................................................................................46
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................47

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Penderita Diare Balita Menurut Provinsi Tahun 2017.........................5

Gambar 2.2 Frekuensi KLB Diare Tahun 2010.......................................................6

Gambar 2.3 Rencana Terapi A untuk Terapi Diare tanpa Dehidrasi.....................24

Gambar 2.4 Rencana Terapi B untuk Terapi Diare Dehidrasi Ringan – Sedang...26

Gambar 2.5 Rencana Terapi C untuk Terapi Diare Dehidrasi Berat.....................28

Gambar 3.2 Bagan Alur Penatalaksaan Disentri Pada Anak dibawah Usia 5 tahun

................................................................................................................................41

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Rekapitulasi KLB Diare Di Indonesia Tahun 2010 – 2017.....................7

Tabel 2.2 Mekanisme Diare...................................................................................10

Tabel 2.3 Organisme Patogen Yang Menyebabkan Diare dan Mekanismenya.....12

Tabel 2.4 Jenis – Jenis diare berdasarkan gejala klinis..........................................18

Tabel 2.5 Klasifikasi Tingkat Dehidrasi Anak Dengan Diare...............................21

Tabel 3.1 Antibiotik Pilihan untuk beberapa jenis diare yang disebabkan oleh

bakteri dan parasit..................................................................................................36

Tabel 3.2 Dosis Antibiotik Menurut KMK No. 24 Tahun 2014............................37

Tabel 3.3 Dosis Antibiotik Untuk Disenteri Menurut KMK No. 24 Tahun 2014. 38

Tabel 3.4 Dosis Antibiotik Untuk Kolera Menurut KMK No. 24 Tahun 2014.....38

Tabel 3.5 Antibiotik Pilihan Pada Diare Anak......................................................39

Tabel 3.6 Antibiotik yang tidak efektif untuk pengobatan Shigellosis..................40

Tabel 3.7 Pilihan Antibiotik Berdasarkan Etiologi................................................43

v
BAB I

PENDAHULUAN

Sampai saat ini penyakit diare masih menjadi masalah kesehatan dunia

terutama di negara berkembang. Besarnya masalah tersebut terlihat dari

tingginya angka kesakitan dan kematian akibat diare. Diare adalah penyebab

utama kematian nomor dua pada anak di bawah lima tahun. WHO

memperkirakan secara global, ada hampir 1,7 miliar kasus penyakit diare anak-

anak setiap tahun, dan tiap tahunnya diare dapat membunuh sekitar 525.000 anak

balita. Diare juga merupakan penyebab utama malnutrisi pada anak di bawah lima

tahun1. Di Indonesia, diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan

masyarakat utama. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kesakitan dan

menimbulkan banyak kematian terutama pada bayi dan balita, serta sering

menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Riskesdas 2007 diare merupakan

penyebab kematian pada 42% bayi dan 25,2 % pada anak usia 1 – 4 tahun. Pada

tahun 2017 terjadi 21 kali KLB Diare yang tersebar di 12 provinsi, 17

kabupaten/kota. Kabupaten Polewali Mandar, Pohuwato, Lampung Tengah dan

Merauke masing-masing terjadi 2 kali KLB2.

Diare adalah buang air besar dengan feses lembek maupun cair dengan

frekuensinya lebih dari tiga kali sehari, dimana diare akut terjadi apabila buang air

besar lebih dari 3 kali dalam 24 jam dengan konsistensi cair dan berlangsung

kurang dari 1 minggu3. Penyebab dari diare diklasifikasikan menjadi tiga yaitu

bakteri, virus dan parasit. Bakteri penyebab diare adalah Escherichia coli,

Campylobacter, Shigella sp., Vibrio Cholerae, dan Salmonella, sedangkan virus

1
2

yang paling sering menyebabkan diare adalah rotavirus (World Gastroenterology

Organisation, 2008).

Salah satu terapi diare akut adalah antibiotik namun pemberiannya harus

berdasarkan adanya indikasi seperti diare berdarah yang biasa disebut dengan

disentri3. Pemberian antibiotik berguna pada diare inflamasi dan infeksi yang

disebabkan oleh parasit maupun patogen yang biasanya ditandai dengan adanya

darah, leukosit dan yeast cell pada tinja. Pada diare akut dengan adanya darah

biasanya didiagnosis sebagai disentri dan penangannya beda dengan diare akut

tanpa adanya darah (World Health Organization, 2005).

Pentingnya dilakukan evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien

balita adalah resiko penggunaan antibiotik yang tidak rasional dapat

meningkatkan resistensi bakteri. Penelitian tentang resistensi bakteri penyebab

diare di Indonesia telah dilakukan oleh Tjaniadi dkk pada tahun 2003 hasilnya

adalah Shigella sp. dan V. cholerae O1 resisten terhadap ampisilin,

kotrimoksazol, kloramfenikol dan tetrasiklin; Campylobacter jejuni dan V.

cholerae non-O1 resisten terhadap siprofloksasin, norfloksasin, seftriakson.

Penelitian juga telah dilakukan oleh Kristina pada tahun 2017 menunjukkan

sebagian besar (93,2%) pasien anak dengan diare akut mendapatkan antibiotik

selama perawatan di RS menunjukkan tidak terbukti dapat memperpendek lama

perawatan di rumah sakit. Selain itu penggunaan antibiotik juga berkontribusi

cukup besar terhadap total biaya terapi sebesar 45,49% dari total biaya terapi yang

dipergunakan untuk pembiayaan antibiotik1.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Diare

Diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi

defekasi lebih dari bisanya (>3 kali perhari) disertai perubahan konsistensi tinja

(menjadi cair), dengan atau tanpa darah dan atau lendir5.

Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali

perhari, disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa

lendir dan darah yang berlangsung kurang dari satu minggu. Pada bayi yang

minum ASI sering frekuensi buang air besar lebih dari 3-4 kali perhari,

keadaan ini tidak dapat disebut diare, tetapi masih bersifat fisiologis atau

normal. Selama berat badan bayi meningkat normal, hal tersebut tidak

tergolong diare, tetapi merupakan intoleransi laktosa sementara akibat belum

sempurnanya perkembangan saluran cerna. Untuk bayi yang minum ASI

secara eksklusif definisi diare yang praktis adalah meningkatnya frekuensi

buang air besar atau konsistesinya menjadi cair yang menurut ibunya

abnormal atau tidak seperti biasanya. Kadang-kadang pada seorang anak buang

air besar kurang dari 3 kali perhari, tetapi konsistesinya cair, keadaaan ini sudah

dapat disebut diare6.

2.2 Etiologi Diare

Menurut World Gastroenterology Organization global guidelines 2005, etiologi

diare akut dibagi atas empat penyebab7:

1. Bakteri: Shigella, Salmonella, E. Coli, Vibrio, Bacillus cereus,

Clostridium perfringens, Staphilococcus aureus, Campylobacter aeromonas

3
4

2. Virus: Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus, Coronavirus, Astrovirus

3. Parasit: Protozoa, Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Balantidium

coli, Trichuris trichiura, Cryptosporidium parvum, Strongyloides

stercoralis

4. Non infeksi: malabsorpsi, keracunan makanan, alergi, gangguan motilitas,

imunodefisiensi, kesulitan makan, dll.

2.3 Epidemiologi Diare

Diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara

berkembang termasuk di Indonesia dan merupakan salah satu penyebab

kematian dan kesakitan tertinggi pada anak, terutama usia di bawah 5 tahun.

Penyakit Diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga merupakan

penyakit potensial Kejadian Luar Biasa (KLB) yang sering disertai dengan

kematian2.

2.3.1 Cakupan Penderita Diare

Di dunia, sebanyak 6 juta anak meninggal tiap tahunnya karena diare

dan sebagian besar kejadian tersebut terjadi di negara berkembang. Sebagai

gambaran 17% kematian anak di dunia disebabkan oleh diare sedangkan di

Indonesia, hasil Riskesdas 2007 diperoleh bahwa diare masih merupakan

penyebab kematian bayi yang terbanyak yaitu 42% dibanding pneumonia 24%,

untuk golongan 1-4 tahun penyebab kematian karena diare 25,2% dibanding

pneumonia 15,5%8.

Riskesdas tahun 2016 jumlah penderita diare disarana kesehatan sejumlah

3.176.079 penderita dan terjadi peningkatan pada tahun 2017 yaitu menjadi
5

4.274.790 penderita atau 60,4% dari perkiraan diare di sarana kesehatan. Insiden

diare semua umur secara nasional adalah 270/1.000 penduduk menurut Rapid

Survey Diare yang dilakukan pada tahun 20152.

Papua 4.06
Sumatera Utara 15.4
Nusa Tenggara Timur 17.78
Sulawesi Utara 17.89
Bengkulu 19.59
DI Yogyakarta 19.94
Papua 20.66
Kepulauan Riau 20.93
Maluku Utara 21.9
Maluku 26.15
Sulawesi Tenggara 26.59
Sumatera Barat 27.34
Aceh 27.95
Jawa Tengah 31.41
Gorontalo 33.66
Kalimatan Tengah 34.05
Kepulauan Bangka Belitung 34.56
Riau 34.58
Bali 34.96
Kalimantan Barat 36.52
Sulawesi Selatan 37.7
Lampung 38.07
Jawa Timur 38.83
Kalimantan Selatan 42.31
Sulawesi Barat 43.69
Jambi 43.79
Sulawesi Tengah 45.35
Sumatera Selatan 52.66
Jawa Barat 54.22
DKI Jakarta 54.23
Banten 55.25
Kalimantan Timur 56.91
Kalimantan Utara 63.43
Nusa Tenggara barat 96.94
0 20 40 60 80 100 120

Gambar 2.1 Penderita Diare Balita Menurut Provinsi Tahun 20172


Gambar diatas adalah cakupan pelayanan penderita diare Balita secara

nasional tahun 2017, dengan provinsi tertinggi yaitu Provinsi Nusa Tenggara
6

Barat (96,94%), Kalimantan Utara (63,43%) dan Kalimantan Timur (56,91%),

sedangkan provinsi terendah yaitu Nusa Tenggara Timur (17,78%), Sumatera

Utara (15,40%) dan Papua Barat (4,06%). Kemudian secara nasional didapatkan

cakupan pelayanan penderita diare di Indonesia sebesar 40,07%.

2.3.2 Kejadian Luar Biasa (KLB) Diare

Pada survei yang dilakukan pada tahun 2009 – 2010 didapatkan peta

sebaran KLB yang terjadi diseluruh provinsi di Indonesia. Pada peta di bawah ini

menggambarkan sebaran frekuensi KLB diare yang umumnya lebih banyak di

wilayah Sulawesi bagian tengah kemudian Jawa bagian timur.

Gambar 2.2 Frekuensi KLB Diare Tahun 20108


Angka kematian (CFR) saat KLB Diare diharapkan <1%. Pada tabel 2.1

dapat dilihat rekapitulasi KLB Diare dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2017.

Terlihat bahwa CFR saat KLB masih cukup tinggi (>1%) kecuali pada tahun 2011

CFR pada saat KLB sebesar 0,40%, sedangkan tahun 2017 CFR Diare saat KLB

mengalami penurunan di banding tahun 2016 yaitu menjadi 1,97%.


7

Tabel 2.1 Rekapitulasi KLB Diare Di Indonesia Tahun 2010 – 20172


Tahun Jumlah Propinsi Jumlah Kasus Kematia CFR (%)

Kejadian n

2010 11 33 4.204 73 1,74

2011 15 19 3.003 12 0,40

2012 17 34 1.625 25 1,54

2013 6 8 633 7 1,11

2014 5 6 2.549 29 1,14

2015 13 21 1.213 30 2,47

2016 3 3 198 6 3,03

2017 12 21 1.725 34 1,97

2.3.3 Penggunaan Oralit dan Zink

Penggunaan oralit sesuai dengan LINTAS DIARE (Lima Langkah

Tuntaskan Diare) bahwa semua penderita diare harus mendapatkan oralit maka

target penggunaan Oralit adalah 100% dari semua kasus diare yang

mendapatkan pelayanan di Puskesmas dan kader. Tahun 2017 secara nasional

penggunaan oralit semua umur masih di bawah target yaitu 88,72%. Pencapaian

yang masih kurang tersebut karena pemberi layanan di Puskesmas dan kader

belum memberikan oralit sesuai dengan standar tata laksana yaitu sebanyak 6

bungkus/penderita diare. Selain itu, masyarakat masih belum mengetahui

tentang manfaat oralit sebagai cairan yang harus diberikan pada setiap penderita

Diare untuk mencegah terjadinya dehidrasi

Penggunaan Zink dimana Zink merupakan mikronutrien yang

berfungsi untuk mengurangi lama dan tingkat keparahan diare, mengurangi

frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja serta menurunkan


8

kekambuhan kejadian diare pada tiga bulan berikutnya. Penggunaan zink selama

10 hari berturut-turut pada saat balita diare merupakan terapi diare balita.

Pada tahun 2017 cakupan pemberian zink pada balita diare adalah 86,17%2.

2.4 Cara Penularan dan Faktor Risiko

Cara penularan diare pada umumnya melalui cara fekal – oral yaitu

melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau

kontak langsung tangan dengan penderita atau barang-barang yang telah

tercemar tinja penderita atau tidak langsung melalui lalat. (melalui 4 F =

finger, flies, fluid, field)9,10.

Faktor resiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen antara

lain : tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4 – 6 bulan pertama

kehidupan bayi, tidak memadainya penyediaan air bersih, pencemaran air

oleh tinja, kurangnya sarana kebersihan (MCK), kebersihan lingkungan dan

pribadi yang buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak

higienis dan cara penyapihan yang tidak baik. Selain hal-hal tersebut,

beberapa faktor pada penderita dapat meningkatkan kecenderungan untuk

dijangkiti diare antara lain: gizi buruk, imunodefisiensi, berkurangnya

keasaman lambung, menurunnya motilitas usus, menderita campak dalam 4

minggu terakhir dan faktor genetik11.


9

2.5 Mekanisme Diare

Secara umum diare disebabkan 2 hal yaitu gangguan pada proses

absorbsi atau sekresi11.

Terdapat beberapa pembagian diare:

1. Pembagian diare menurut etiologi

2. Pembagian diare menurut mekanismenya yaitu

a. Sekretorik

b. Osmotik (gangguan abosrpsi)

c. Motilitas

3. Pembagian diare menurut lamanya diare

a. Diare akut yang berlangsung kurang dari 14 hari.

b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi non-

infeksi.

c. Diare persisten yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi

infeksi.
10

Tabel 2.2 Mekanisme Diare12


Mekanisme Defek Pemeriksaan Contoh Keterangan
Primer Tinja
Sekretorik Terjadi Cair, Kolera, E coli Tetap
penurunan Osmolalitas toksigenik, VIP, berlangsung
absorbsi, normal; neuroblastoma, selama puasa,
peningkatan osmole = 2x diare klorida malabsorbsi
sekresi: (Na+ + K+) kongenital, garam, empedu
transport Clostridium dapat
elektrolit difficile, meningkatkan
croptosporidios sekresi air di
(pada pasien usus;
AIDS) ditemukan
adanya leukosit
pada tinja
Osmotik Maldigesti, Cair, Asam, Defisiensi Berhenti
gangguan + reducing lactase, dengan puasa,
transport, substance; malabosorbsi peningkatan
konsumsi peningkatan glukosa – hydrogen napas
cairan yang osmolalitas galaktosa, pada
tidak dapat osmoles > laktulosa, malabsorbsi
diserap 2x (Na+ + pemberian karbohidrat,
K+) laksatif yang dan tidak
berlebihan ditemukan
leukosit di
dalam tinja
Motilitas
Peningkatan Penurunan Tinja dengan Irritable bowel Infeksi dapat
motilitas waktu transit bentuk syndrome, mengakibatkan
normal tirotoksikosis, peningkatan
sampai sindroma motilitas
lembek, postvagotomy
terstimulasi dumping
dengan
reflex
gastrokolik
Penurunan Gangguan Bentuk tinja Pseudo- Kemungkinan
motilitas system yang normal obstruksi, blind terjadinya
neuromuskular sampai tidak loop bakteri tumbuh
, terjadinya berbentuk lampau
stasis dan (lembek)
bakteri tumbuh
lampau
Invasi mukosa Inflamasi, Terdapat Penyakit Celiac, Disentri
penurunan luas darah dan infeksi ( darah, lendir
permukaan peningkatan Salmonella, dan leukosit)
mukosa dan / leukosit di Shigellosis,
atau reabsorbsi dalam tinja amebiasis,
oleh kolon, yersiniosis,
peningkatan infeksi
motilitas usus campylobacter,
rotavirus
enteritis
VIP: Vasoactive Intestinal Peptide
11

Di negara berkembang, diare merupakan penyebab utama kematian pada

anak. Epidemiologi gastroenteritis bergantung pada factor penyebab. Cara

penyebaran penyakkit adalah dengan kontak erat dari orang ke orang, melalui

makanan atau minuman yang terkontaminasi, serta dari binatang ke manusia.

Seringkali kuman menyebar melalui berbagai rute. Kemampuan kuman untuk

membentuk koloni di saluran cerna, dan jumlah minimal kuman untuk

menyebabkan penyakit12.
12

Tabel 2.3 Organisme Patogen Yang Menyebabkan Diare dan Mekanismenya13


Organisme Mekanisme Patogen
Virus
Rotavirus Merusak Mikrovilli
Caliciviruses (noroviruses) Lesi Mukosa
Astroviruses Lesi Mukosa
Enteric adenoviruses Lesi Mukosa
(serotypes 40 and 41)
Bakteria
Campylobacter jejuni menghasilkan enterotoxin yang menyerang mukosa jejunum, ilemum,
dan kolon. Biasanya didapat dari makanan dan air terkontaminasi
terutama daging unggas, susu mentah dan keju.

Clostridium difficile Cytotoxin, enterotoxin yang menghasilkan C. Difficle-associated


diarrhea atau antibiotik-associated diarrhea.
Escherichia coli
Enteropathogenic (EPEC) Menyebabkan banyaknya diare epidemik di pusat perawatan bayi baru
lahir (newborn nurseries) di pelayanan kesehatan.
Enterotoxigenic (ETEC) Menginduksi enterotoksin seperti kolera (Cholera-like Enterotoxin),
(Traveler’s diarrhea) menyebabkan 40% hingga 60% dari kasus Traveler’s diarrhea. ETEC
menempel pada sel epitel di usus kecil bagian atas dengan membebaskan
racun yang meningkatkan sekresi usus dan membatasi absorbsi.
Enteroinvasive (EIEC) Menyerang mukosa kolon, memproduksi meluas dengan peradangan
akut, mirip dengan Shigella sp.
Enterohemorrhagic (EHEC) Menghasilkan Shiga-like toxin yang menyebabkan kolitis hemorragik
(includes O157: H7 dan sebagian besar kasus diare yang terkait dengan Hemolytic Uremic
menyebabkan Hemolytic Syndrome (HUS), yang merupakan sindrom mikroangiopati,
Uremic Syndrome (HUS)) trombositopenia, dan gagal ginjal. EHEC dikaitkan dengan makanan
yang terkontaminasi, termasuk jus buah dan, terutama, daging sapi yang
kurang matang.
Enteroaggregative (EAEC) Adherence, mucosal damage
Salmonella Invasion, enterotoxin
Shigella Invasion, Enterotoxin, Cytotoxin
Vibrio cholerae Enterotoxin
Vibrio parahaemolyticus Invasion, Cytotoxin
Yersinia entorocolitica Invasion, Enterotoxin
Parasit
Entamoeba hystolytica menginfeksi kolon; amuba dapat melewati dinding usus dan menyerang
hati, paru-paru, dan otak. Diare bersifat onset akut, berdarah, dan
mengandung leukosit.
Giardia lamblia Bertransmisi melalui ingesti dari cyst yang berasal dari kontak orang lain
atau dari makan dan air bersih maupun mentah yang terkontaminasi
feses yang terinfeksi. Amoba melekat pada mikrovili dari epitel
duodenum dan jejunum. Gejala klinis seperti anoreksia progresif, mual,
gas, perut kembung, diare encer, sekunder dan penurunan berat badan
adalah karakteristik giardiasis.
Spore-forming intestinal menyebabkan diare ringan dan berair pada orang imunokompeten yang
protozoa sembuh tanpa pengobatan (self-limited). Namun menghasilkan diare
 Cryptosporidium yang parah dan berkepanjangan pada orang acquired immunodeficiency
parvum syndrome (AIDS)
 Isospora belli
 Cyclospora
cayetanensis
Microsporidia
(Enterotozoon bieneusi,
Enchepalitozoon Intestinalis)
13

Virus yang menyebabkan diare pada anak antara lain rotavirus, calcivirus

(norovirus), asreovirus, dan adenovirus enteric. Rotavirus menginvasi epitel dan

merusak vili di usus halus bagian atas dan pada kasus yang berat dapat

menginvasi seluruh usus haus dan usus besar. Rotavirus merupakan virus

penyebab diare tersering. Muntah dapat berlangsung selama 3 – 4 hari dan diare

sampai 7 – 10 hari. Dehidrasi sering terjadi pada anak – anak yang lebih kecil.

Infeksi primer rotavirus dapat menyebabkan penyakit yang berat pada bayi, dan

berkurang sesuai dengan pertambahan usia12.

Demam tifoid disebabkan oleh salmonella typhi dan, terkadang oleh

Salmonella paratyphi. Di seluruh dunia, diperkirakan terdapat 16 juta kasus

demam tifoid per tahun, dan menyebabkan 600.000 kematian. Bakteri tifoid hanya

menginfeksi manusia. Infeksi ini ditandai oleh demam berkepanjangan dan

manifestasi ekstrakranial, sedangkan manifestasi diare yang terjadi sifatnya

inkonsisten. Masa inkubasi demam tifoid umumnya sekitar 7 – 14 hari ( dengan

kisaran 3 – 60 hari). Pasien tifoid tanpa gejala atau karier kronik dapat menjadi

reservoar dan menjadi sumber penyebaran penyakit secara terus menerus. Pasien

karier seringkali mengidap kolelitiasis.

Salmonella nontifoid menimbulkan diare dengan cara menginvasi mukosa

usus. Kuman ditransmisikan melalui kontak dengan binatang yang terinfeksi

(ayam, iguana, atau binatang reptile lainnya seperti kura – kura) atau dari

makanan yang terkontaminasi, yaitu produk – produk dari susu, telur, atau daging

unggas. Inokulasi dalam jumlah besar (1000 – 10 juta kuman) dibutuhkan kuman

untuk menimbulkan penyakit, karena kuman Salmonella dapat terbunuh oleh


14

asam lambung. Masa inkubasi diare berkisar antara 6 – 72 jam, tetapi umumnya

terjadi kurang dari 24 jam12.

Shigella dysentriae dapat menyebabkan diare dengan cara memproduksi

toksin shiga, secara berdiri sendiri ataupun kombinasi dengan invasi jaringan.

Masa inkubasi berkisar 1 – 7 hari. Pasien dewasa yang terinfeksi dapat

menyebarkan bakteri selama 1 bulan, infeksi menyebar secara kontak dari

individu ke individu, ataupun dengan cara mengkonsumsi makanan yang telah

terkontaminasi oleh 10 – 1000 bakteri. Usus besar akan terinfeksi secara selektif.

Selain terjadi diare, dapat pula terjadi demam tinggi dan kejang12.

Untuk bakteri E. Coli, hanya beberapa strain yang dapat menyebabkan

diare. Strain yang berkaitan dengan terjadinya enteritis diklasifikasikan menurut

mekanisme diare yang terjadi: Enteropatogenik (EPEC), Enterotoksigenik

(ETEC), Enteroinvasif (EIEC), Enterohemoragik (EHEC) atau Enteroaggregatif

(EAEC). EPEC bertanggung jawab untuk berbagai kejadian epidemic diare di

tempat penitipan bayi dan anak. Strain ETEC memproduksi enterotoksi yang tak

tahan panas (heat-labile enterotoxin, cholera like), enterotoksin tahan panas

(heat-stabile enterotoxin) atau keduanya. ETEC menjadi factor penyebab 40 –

60% diare pada pelancong (traveller’s diarrhea). EPEC dan ETEC melekat pada

sel epitel usus halus bagian atas dan mengakibatkan penyakit dengan cara

melepaskan toksin yang menginduksi sekresi usus dan membatasi absorbs. EIEC

menyerang mukosa kolon dan mengakibatkan kerusakan mukosa kolon dan

mengakibatkan kerusakan mukosa yang luas dan disertasi oleh proses inflamasi

akut, serupa dengan Shigella. EHEC, terutama akibat E. Coli strain O157:57

memproduksi Shiga-like toxin yang bertanggung jawab pada terjadinya colitis


15

hemoragik dan sebagian besar kasus hemolytic uremic syndrome (HUS), suatu

sindrom yang terdiri dari anemia hemolitik, mikroangiopati, trombositopenia, dan

gagal ginjal. EHEC berkaitan dengan makanan yang terkontaminasi, termasuk jus

buah yang tidak terpasteurisasi, dan terutama daging sapi yang tidak dimasak

matang. EHEC termasuk penyakit yang self-limiting, umumnya memiliki gejala

diare berdarah, tetapi produksi toksin ini menghambat sintesa sel protein penjamu

dan berpengaruh pada sel endotel vascular dan glomerulus, sehingga terjadilah

manifestasi klinis HUS12.

Campylobacter jejuni menular dengan cara kontak langsung dari individu

ke individu melalui air dan makanan yang terkontaminasi, terutama produk susu

mentah, keju dan daging unggas. Kuman menyerang mukosa jejunum, ileum dan

kolon. Yersinia enterocolitica menular melalui hewan peliharaan dan makanan

yang terkontaminasi, terutama jeroan babi. Bayi dan balita mengalami gejala

diare, sedangkan pada anak yang lebih besar karena adanya lesi akut pada ileum

terminalis atau timbul limfadenitis mesenterium akut sehingga timbul gejala yang

mirip dengan appendicitis dan penyakit Chron. Dapat disertai adanya artritis,

ruam, dan spondilopati pasca infeksi12.

Clostridium difficile menyebabkan C. Difficle-associated diarrhea atau

antibiotik-associated diarrhea, akibat toksinnya. Kuman memproduksi spore yang

dapat menyebar dari individu ke individu. C. Difficle-associated diarrhea dapat

terjadi setelah pemberian berbagai jenis antibiotik12.

Entamoeba histolytica (amebiasis), Giardia lamblia, dan cryptosporidium

parvum merupakan parasite enteric yang penting yang ditemukan di Amerika


16

Utara. Amebiasis timbul di daerah beriklim hangat, sedangkan giardiasis

merupakan penyakit endemic di seluruh Amerika Serikat dan umum ditemukan

pada bayi yang bedara di tempat penitipan. E. histolytica menyerang usus besar,

amuba dapat menembus dinding usus dan menyerang hati, paru dan otak. Diare

yang terjadi umumnya akut, berdarah, dan mengandung leukosit. G. lamblia

ditransmisikan melalui kista yang tertelan, baik dengan cara kontak langsung

dengan penderita atau dari makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh tinja

yang terinfeksi. Kuman melekat pada mikrovili epitel duodenum dan jejunum.

Cryptosporidium menyebabkan diare cair ringan pada pasien imunokompeten

yang dapat sembuh tanpa pemberian terapi, namun pada penderita Acquired

Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) dapat memanjang dan lebih hebat12.

2.6 Manifestasi Klinis Diare

Diare akibat virus memiliki kareteristik diare cair (watery stool), tanpa

disertai darah ataupun lendir. Dapat disertai gejala muntah dan dehidrasi tampak

jelas. Demam tifoid memiliki karakteristik adanya bakterimia dan demam yang

umumnya timbul pada akhir masa enteric. Keluhan demam, sakit kepala, dan

nyeri abdomen makin jelas setelah 48 – 72 jam, dengan gejala mual, penurunan

nafsu makan, dan konstipasi yang timbul pada minggu pertama. Apabila tidak

diobati, penyakit akan menetap selama 2 – 3 minggu yang ditandai dengan

penurunan berat badan yang bermakna dan terkadang timbul hematokesia atau

melena. Perforasi usus merupakan komplikasi demam tifoid yang seringkali

ditemukan pada pasien dewasa, namun jarang ditemukan pada anak. Disentri

adalah penyakit infeksi saluran cerna yang melibatkan bagian kolon dan rectum,

dan ditemukan adanya darah dan lendir pada tinja, serta bau busuk dan demam.
17

Shigella merupakan prototipe penyebab penyakit disentri, yang harus dibedakan

dar infeksi akibat EIEC, EHEC, E. Hystolytica (disentri Amoeba), C. Jejuni, Y.

enterocolitica dan Salmonella non-tifoid. Pendarahan saluran cerna dan

kehilangan darah yang terjadi dapat signifikan. Penyakit diare entoritoksigenik

disebabkan oleh kuman yang memproduksi enterotoksin seperti V. Cholerae dan

ETEC. Demam umumnya tidak ditemukan ataupun hanya demam ringan. Diare

umumnya melibatkan organ ileum dengan gejala diare cair (watery stool) tanpa

adanya darah ataupun lendir dan biasanya berlangsung selama 3 – 4 hari dengan

ferkuensi 4 – 5 kali buang air cair per hari. Terjadinya anoreksia progresif, nausea,

kembung, distensi abdomen, diare cair, intoleransi lactose sekunder dan

penurunan berat badan merupakan karateristik penyakit giardiasis12.


18

Tabel 2.4 Jenis – Jenis diare berdasarkan gejala klinis6


Diagnosis Karakteristik
Diare cair akut  Diare lebih dari 3 kali sehari berlangsung kurang dari
14 hari
 Tidak mengandung darah
Kolera  Diare air cucian beras yang sering dan banyak dan
cepat menimbulkan dehidrasi berat, atau
 Diare dengan dehidrasi berat selama terjadi KLB
kolera, atau
 Diare dengan hasil kultur tinja positif untuk V.
cholerae O1 atau O139
Disentri Diare berdarah (terlihat atau dilaporkan)
Diare persisten Diare berlangsung selama 14 hari atau lebih
Diare dengan gizi Diare jenis apapun yang disertai tanda gizi
buruk buruk (adanya severe wasting (BB/TB < 70% atau < -
3SD*), atau ada gejala klinis gizi buruk (kwashiorkor,
marasmus atau marasmik-kwashiorkor)
Diare terkait Mendapat pengobatan antibiotik oral spektrum luas
antibiotik
(antibiotik
associated diarrhea)
Invaginasi  Dominan darah dan lendir dalam tinja
 Massa intra abdominal (abdominal mass)
 Tangisan keras dan kepucatan pada bayi

2.7 Penegakan Diagnosis Diare

2.7.1 Anamnesis3

 Lama diare berlangsung, frekuensi diare sehari, warna dan

konsentrasi tinja, lendir dan/ darah dalam tinja

 Muntah; rasa haus, rewel, anak lemah, kesadaran menurun, buang

air kecil terkahir, demam, sesak, kejang, kembung

 Jumlah cairan yang masuk selama diare

 Jenis makanan dan minuman yang diminum selama diare,

mengkonsumsi makanan yang tidak biasa

 Penderita diare di sekitarnya dan sumber air minum


19

2.7.2 Pemeriksaan Fisik Diare3

 Keadaan umum, kesadaran, tanda - tanda vital

 Tanda utama: keadaan umum gelisah/cengeng atau

lemah/letargi/koma, rasa haus, turgor kulit abdomen menurun

 Tanda tambahan: ubun – ubun besar, kelopak mata, air mata, mukosa

bibir, mulut, dan lidah

 Berat badan

 Tanda gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit seperti napas

cepat dan dalam (Asidosis metabolic), kembung (hypokalemia),

kejang (Hipo atau hiper natremia)

 Penilaian derajat dehidrasi dilakukan sesuai kriteria berikut:

 Tanpa dehidrasi (Kehilangan cairan <5% berat badan)

 Tidak ditemukan tanda utama dan tanda tambahan

 Keadaan umum baik, sadar

 Ubun – ubun besar tidak cekung, mata tidak cekung, air

mata ada, mukosa mulut dan bibir basah

 Turgor abdomen baik, bising usus normal

 Akral hangat

 Dehidrasi Ringan sedang

 Apabila didapatkan 2 tanda utama ditambah 2 atau lebih

tanda tambahan

 Keadaan umum gelisah atau cengeng

 Ubun – ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, air


20

mata kurang, mukosa mulut dan bibir sedikit kering

 Turgor kurang, akral hangat

 Dehidrasi berat

 Apabila didapatkan 2 tanda utama ditambah dengan 2 atau

lebih tanda tambahan

 Keadaan umum lemah, letargi atau koma

 Ubun – ubun sangat cekung, mata sangat cekung, air mata

tidak ada, mukosa mulut dan bibir sangat kering

 Turgor sangat kurang dan akral dingin

 Pasien harus rawat inap


21

Tabel 2.5 Klasifikasi Tingkat Dehidrasi Anak Dengan Diare5


Kalsifikasi Tanda-Tanda atau Pengobatan
Gejala
Tanpa Tidak terdapat cukup Beri cairan dan makanan untuk
Dehidrasi tanda untuk mengani diare di rumah (Rencana
diklasifikasikan sebagai Terapi A), Nasihat ibu kapan kembali
dehidrasi ringan atau segera, kunjungan ulang dalam waktu
berat 5 hari jika tidak membaik.
Dehidrasi Apabila didapatkan 2 Beri cairan dan makanan untuk
Ringan - tanda utama ditambah 2 dehidrasi ringan - sedang (Rencana
Sedang atau lebih tanda Terapi B), Setelah rehidrasi, nasehati
tambahan: ibu untuk penanganan di rumah dan
 Gelisah atau kapan kembali segera, kunjungan
cengeng/rewel, ulang dalam waktu 5 hari jika tidak
 Ubun – ubun besar membaik.
sedikit cekung, mata
sedikit cekung,
 Minum dengan lahap,
haus,
 Turgor kembali
lambat, akral hangat
Dehidrasi Apabila didapatkan 2 Beri cairan dan makanan untuk
Berat tanda utama ditambah dehidrasi berat (Rencana Terapi C)
dengan 2 atau lebih
tanda tambahan:
 Letargi / Tidak
Sadar,
 Ubun – ubun sangat
cekung, mata sangat
cekung,
 Tidak bisa minum
atau malas minum,
 Turgor sangat
kurang dan akral dingin
(Turgor ≥2 detik)

2.8 Pemeriksaan Penunjang diare

Pemeriksaan tinja tidak rutin dilakukan pada diare akut, kecuali apabila

ada tanda intoleransi laktosa dan bila ada kecurigaan invasi bakteri atau parasite.

Adanya lendir darah ataupun leukosit dapat mengindikasikan adanya colitis

sebagai respon terhadap invasi bakteri yang luas pada mukosa kolon seperti
22

infeksi kuman Shigella, Salmonella, C. Jejuni dan E. Coli invasif. Pasien yang

terinfeksi E. Coli penghasil shiga-toksin dan E. histolytica umumnya memiliki

leukosit pada tinja yang minimal. Pemeriksaan kultur feses dianjurkan pada diare

yang persisten, klinis toksik, atau diduga menderita HUS. Apabila hasil

pemeriksaanfeses tidak ditemukan adanya darah dan peningkatan leukosit, dan

tidak terdapat riwayat mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi, tipe ini

umumnya disebabkan oleh virus. Pemeriksaan tinja parasite perlu

dipertimbangkan pada penyakit disentri akut, terutama pada para pelancong; pada

diare yang berkepanjangan namun tidak ada bakteri yang teridentifikasi.

Penegakan diagnosis E. histolytica dilakukan berdasarkan identifikasi organisme

pada tinja. Pemeriksaan serologis berguna untuk menegakkan diagnosis

amoebiasis ekstraintestinal termasuk abses hati amoeba. Diagnosis Giardiasis

dapat ditegakkan jika ditemukan trofozoit / kista didalam tinja, bisa juga diperiksa

biopsy duodenum / jejunum proksimalis apabila diperlukan namum ini jarang

dilakukan, jika feses tidak dapat memberikan diagnosis, bisa dilakukan Entero-

Test (menelan benang nilon yang diikatkan kapsul gelatin) selang beberapa jam

benang tersebut ditarik dan cairan duodenum yang terdapat dikapsul diperiksa

apakah ada trofozoit Giardia lamblia. pemeriksaan kultur darah dengan hasil

positif jarang ditemukan pada enteritis bacterial kecuali pada enteritis akibat S.

typhi (demam tifoid), Salmonella nontifoidal, dan enteritis akibat E. coli pada bayi

kecil. Pemeriksaan kultur darah pada demam tifoid umumnya positif pada awal

penyakit, sedangkan kultur feses positif ditemukan setelah bakterimia sekunder12.

 Hal yang dinilai pada pemeriksaan tinja3:

 Makroskopis: konsistensi, warna lendir darah, bau


23

 Mikroskopis: leukosit, eritrosit, parasite, bakteri

 Kimia: pH, clinitest, elektrolit (Na, K, HCO3)

 Biakan dan uji sensivitas tidak dilakukan pada diare akut

 Analisis gas darah, serum elektrolit, Blood Urea Nitrogen (BUN),

kreatinin bila secara klinis dicurigai adanya gangguan keseimbangan asam

basa dan elektrolit3

2.9 Tatalaksana Diare

Menurut Kemenkes RI pada tahun 2011, prinsip tatalaksana diare pada

balita adalah LINTAS DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare), yang didukung

oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia dengan rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan

satu-satunya cara untuk mengatasi diare tetapi memperbaiki kondisi usus serta

mempercepat penyembuhan / menghentikan diare dan mencegah anak kekurangan

gizi akibat diare juga menjadi cara untuk mengobati diare. Adapun program lintas

diare dari pemerintah meliputi: (1) Cairan, (2) Seng, (3) Nutrisi, (4) Antibiotik

selektif, (5) Edukasi3.

 Diare tanpa dehidrasi (Rencana Terapi A)3

 Cairan Rehidrasi oralit dengan menggunakan NEW ORALIT diberikan

5 – 10 mL/KgBB setiap diare cair atau berdasarkan usia, yaitu umur < 1

tahun sebanyak 50 - 100 mL, umur 1 – 5 tahun sebanyak 100 – 200 mL,

dan umur diatas 5 tahun semaunya. Dapat diberikan cairan rumah

tangga sesuai kemauan anak. ASI harus terus diberikan.

 Pasien dapat dirawat dirumah, kecuali apabila terdapat komplikasi lain

(tidak mau minum, muntah terus menerus, diare frekuen dan profuse)
24
25

Gambar 2.3 Rencana Terapi A untuk Terapi Diare tanpa Dehidrasi5


26

 Diare dengan dehidrasi ringan – sedang (Rencana Terapi B)3

 Cairan rehidrasi oral (CRO) Hipoosmolar diberikan sebanyak 75

mL/KgBB dalam 3 jam untuk mengganti kehilangan cairan yang telah

terjadi dan sebanyak 5 – 10 mL/KgBB setiap diare cair.

 Rehidrasi parenteral (Intravena) diberikan bila anak muntah setiap diberi

minum walaupun telah diberikan dengan cara sedikit demi sedikit atau

melalui pipa nasogastric. Cairan intravena yang diberikan adalah ringer

laktat atau KaEN 3B atau NaCL dengan jumlah cairan dihitung

berdasarkan berat badan. Status hidrasi dievaluasi secara berkala.

 Berat badan 3 – 10 kg : 200 mL/kgBB/hari

 Berat badan 10 – 15 kg : 175 mL/kgBB/Hari

 Berat badan > 15 kg : 135 mL/kgBB/hari

Pasien dipantau di puskesmas / Rumah Sakit selama proses rehidrasi sambil

memberi edukasi tentang melakukan rehidrasi kepada orang tua3.


27

Gambar 2.4 Rencana Terapi B untuk Terapi Diare Dehidrasi Ringan – Sedang5
28

 Diare dengan dehidrasi berat (Rencana Terapi C)3

 Diberikan segera cairan rehidrasi parenteral dengan ringer laktat atau

ringer asetat atau NaCl (bila RL tidak tersedia ) 100 mL/kgBB dengan

cara pemberian:

 Umur < 12 bulan: 3 mL/kgBB dalam 1 jam pertama, dilanjutkan 70

mL/kgBB dalam 5 jam berikutnya

 Umur > 12 bulan: 30 mL/kgBB dalam ½ jam pertama, dilanjutkan

70 mL/KgBB dalam 2,5 jam berikutnya

 Masukan cairan peroral diberikan bila pasien sudah mau dan dapat

minum, dimulai dengan 5 mL/kgBB selama proses rehidrasi.


29

Gambar 2.5 Rencana Terapi C untuk Terapi Diare Dehidrasi Berat5

 Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit3

 Hipernatremia (Na > 155 mEq/L)

Koreksi penurunan Na dilakukan secara bertahap dengan

pemberian cairan dekstrose 5% ½ salin. Penurunan kadar Na tidak


30

boleh lebih dari 10 mEq per hari karena bisa menyebabkan edema

otak.

 Hiponatremia (Na < 130 mEq/L)

Kadar natrium diperiksa ulang setelah rehidrasi selesai,

apabila masih dijumpai hiponatremia dilakukan koreksi: Kadar Na

koreksi (mEq/L) = 125 – Kadar Na serum x 0.6 x berat badan:

diberika dalam 24 jam

 Hyperkalemia (K >5 mEq/L)

Koreksi dilakukan dengan pemberian kalsium glukonas

10% sebanyak 0,5 – 1 ml/kgBB i.v secara perlahan – lahan dalam 5

– 10 menit, sambil dimonitor irama jantung dengan EKG.

 Hypokalemia (K <3,5 mEq/L)

Koreksi dilakukan menurut kadar Kalium:

 Kadar K 2,5 – 3,5 mEq/L, diberikan KCl 75 mEq/kgBB per

oral per hari dibagi 3 dosis

 Kadar K <2,5 mEq/L berikan KCl melakui drip intravena

dengan dosis:

 3,5 – kadar K terukur x BB (kg) x 0,4 + 2 mEq/kgBB/24

jam dalam 4 jam pertama

 3,5 – kadar K terukur x BB (kg) x 0,4 + 1/6 x 2 mEq x BB

dalam 20 jam berikutnya

 Seng (Zinc)3
31

Seng terbukti secara ilmiah terpercaya dapat menurunkan frekuensi buang

air besar dan volume tinja sehingga dapat menurnkan risiko terjadinya dehidrasi

pada anak. SengZink elemental diberikan selama 10 – 14 hari meskipun anak

telah tidak mengalami diare dengan dosis:

 Umur di bawah 6 bulan : 10mg mg per hari

 Umur diatas 6 bulan : 20mg per hari

 Nutrisi3

ASI dan makanan dengan menu yang sama saat anak sehat sesuai umur

tetap diberikan untuk mecegah kehilangan berat badan dan sebai pengganti nutrisi

yang hilang. Adanya perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan. Anak

tidak boleh dipuasakan, makanan diberikan sedikit - sedikit tapi sering (lebih

kurang 6x sehari), rendah serat, buah – buahan diberikan terutama pisang.

 Medikamentosa3

 Tidak boleh diberikan obat antidiare

 Antibiotik

Antibiotik diberikan bila ada indikasi, misalnya disentri (diare berdarah

atau kolera). Pemberian antibiotik yang tidak rasional akan mengganggu

keseimbangan flora usus sehingga dapat memperpanjang lama diare dan

Clostridium difficle akan tumbuh yang menyebabkan diare sulit disembuhkan.

Selain itu, pemberian antibiotik yang tidak rasional dapat mempercepat resistensi

kuman tehadap antibiotik.

2.10 Komplikasi Dan Prognosis

Komplikasi utama gastroenteritis adalah dehidrasi dan syok hipovolemik.

Kejang dapat terjadi pada pasien dengan demam tinggi, terutama yang terinfeksi
32

dengan Shigella. Abses usus dapat terbentuk pada penderita diare karena

terinfeksi Shigella dan Salmonella, terutama demam tifoid yang mengarah sampai

dengan perforasi usus, yang dapat mengancam jiwa. Muntah terus - menerus yang

diasosiasikan dengan gastroenteritis dapat menyebabkan robekan esofagus atau

pneumonia aspirasi (Aspiration pneumonia). Kematian akibat diare

mencerminkan masalah utama yaitu adanya gangguan homeostasis cairan dan

elektrolit, yang menyebabkan dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit,

ketidakstabilan pembuluh darah, dan syok. Di Amerika Serikat, sekitar 75 hingga

150 kematian terjadi setiap tahun akibat penyakit diare, terutama pada anak di

bawah 1 tahun. Kematian ini terjadi dalam pola musiman antara Oktober dan

Februari, bersamaan dengan musim rotavirus. Setidaknya 10% dari pasien yang

menderita demam tifoid menumpahkan S. typhi selama sekitar 3 bulan, dan 4%

menjadi pembawa kronis. Risiko menjadi pembawa kronis rendah pada anak-

anak. Ciprofloxacin direkomendasikan untuk karier dewasa dengan ekskresi

Salmonella persisten12.

2.11 Pencegahan Dan Edukasi Diare

Cara paling penting untuk mencegah diare pada masa kanak-kanak adalah

penyediaan air bersih, tidak tercemar dan kebersihan yang baik dalam menanam,

mengumpulkan, dan menyiapkan makanan. Tindakan higienis yang baik, terutama

mencuci tangan dengan sabun dan air, adalah cara terbaik untuk mengendalikan

penyebaran orang ke orang dari sebagian besar organisme yang menyebabkan

gastroenteritis. Demikian pula produk unggas harus dianggap berpotensi

terkontaminasi dengan Salmonella maka harus ditangani dan dimasak dengan

tepat13.
33

Imunisasi terhadap infeksi rotavirus direkomendasikan untuk semua anak

mulai usia 6 minggu, dengan dosis pertama 14 minggu 6 hari dan dosis terakhir 8

bulan. Dua vaksin tifoid dilisensikan di Amerika Serikat: vaksin yang dilemahkan

secara oral (Ty21a) untuk anak-anak 6 tahun ke atas, dan vaksin polisakarida

kapsul (ViCPS) untuk pemberian intramuskuler untuk orang berusia 2 tahun ke

atas. Ini direkomendasikan untuk pelancong ke daerah endemik di negara

berkembang atau untuk kontak rumah tangga dengan pembawa kronis S. typhi13.

Keluarga harus mewaspadai risiko tertular salmonellosis dari hewan

peliharaan reptil rumahan. Penularan Salmonella dari reptil dapat dicegah dengan

mencuci tangan secara menyeluruh dengan sabun dan air setelah menangani reptil

atau kandang reptil. Anak-anak di bawah usia 5 tahun dan orang yang mengalami

gangguan kekebalan harus menghindari kontak dengan reptil13.

Risiko diare bagi pelancong (Traveler’s diarrhea), terutama disebabkan

oleh ETEC, dapat diminimalkan dengan menghindari makanan yang tidak

dimasak dan air minum yang tidak diolah. Profilaksis dengan bismut subsalisilat

(Pepto-Bismol) untuk orang dewasa (2 ons atau dua tablet oral 4 kali sehari)

mungkin efektif untuk pencegahan tetapi tidak dianjurkan untuk anak-anak.

Pengobatan sendiri simtomatik untuk diare ringan dengan loperamide (Imodium)

dan solusi rehidrasi oral direkomendasikan oleh WHO untuk anak-anak

setidaknya 6 tahun dan orang dewasa. Pengobatan sendiri untuk diare sedang

dengan demam dengan fluoroquinolone direkomendasikan pada orang dewasa

yang berusia minimal 18 tahun. Evaluasi medis segera dilakukan untuk penyakit

yang bertahan lebih dari 3 hari, tinja mengeluarkan darah, demam di atas 102 ° F
34

(38,9 ° C) atau kedinginan, muntah terus-menerus, atau dehidrasi sedang hingga

parah, terutama pada anak-anak13.

Lactobacillus acidophilus adalah probiotik dapat mengurangi insidensi

community-acquired dan antibiotik-associated diarrhea pada anak yang diobati

dengan antibiotik oral untuk penyakit menular lainnya13.

Orang tua diminta untuk membawa kembali anaknya ke pusat pelayanan

kesehatan bila ditemukan hal sebagai berikut demam, tinja berdarah, makan atau

minum sedikit, sangat haus, diare makin sering, atau belum membaik dalam 3

hari. Orang tua dan pengasuh diajarkan cara menyiapkan oralit secara benar.

Langkah promotif/preventif: (1) ASI tetap diberikan, (2) kebersihan perorangan,

cuci tangan sebelum makan, (3) kebersihan lingkungan, buang air besar di

jamban, (4) immunisasi campak, (5) memberikan makanan penyapihan yang

benar, (6) penyediaan air minum yang bersih. (7) selalu memasak makanan3.
BAB III

PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA DIARE

3.1 Prinsip Penggunaan Antibiotik Pada Penderita Diare

Antibiotik pada kasus diare tidak boleh digunakan secara rutin. Karena

penggunaan antibiotik yang tidak rasional adalah alasan utama timbulnya

resistensi antibiotik. Penyalahgunaan antibiotik dalam masyarakat dipengaruhi

oleh faktor lingkungan dan perilaku. Termasuk preferensi di lingkungan

masyarakat untuk membeli antibiotik, bisa karena kurangnya infrastruktur

pelayanan kesehatan, kurangnya edukasi dari dokter umum dan kebijakan dalam

mengatur penggunaan antibiotik. Perilaku dipengaruhi oleh kurangnya informasi

dalam penggunaan antibiotik dan ketidaktahuan resistensi antibiotik. Seperti

penelitian yang telah dilakukan oleh Rocci Jack dkk pada tahun 2017 terhadap

pengetahuan masyarakat dalam penggunaan antibiotik yang dilakukan di desa

Jatinagor, Jawa Barat didapatkan lebih dari setengah responden (80,2%) tahu

bahwa antibiotik diindikasikan untuk mengobati infeksi bakteri dan 87,5%

responden tahu bahwa antibiotik diindikasikan untuk mengobati pembengkakan

yang disebabkan oleh infeksi. Namun, 17,7% responden salah meyakini bahwa

antibiotik dapat digunakan untuk infeksi virus, sedangkan, 39,6% responden

percaya bahwa antibiotik dapat digunakan untuk flu biasa, 30,2% responden

setuju bahwa antibiotik selalu digunakan untuk mengobati demam dan 50%

responden setuju bahwa antibiotik itu selalu digunakan untuk mengobati sakit

perut dan diare. Ketika ditanya tentang resistensi antibiotik, mayoritas responden

(77,1%) tahu bahwa resistensi antibiotik disebabkan oleh tidak mengikuti

instruksi klinisi, dan kurang dari sepertiga responden (22,9%) setuju bahwa

35
36

efektivitas antibiotik akan tidak terpengaruh oleh penyalahgunaan antibiotik,

16,7% responden masih percaya bahwa dengan mengubah merek antibiotik akan

menyebabkan resistensi, dan 39,6% responden percaya antibiotik akan selalu

efektif dalam pengobatan infeksi serupa di masa depan 14. Menurut penelitian

Kurniawan dkk pada tahun 2017 yang dilakukan secara cross – sectional study di

Puskesmas Teling Atas, Kecamatan Wanea pada bulan September – oktober 2015

tentang pengetahuan masyarakat mengenai penggunaan antibiotik sebagai

swamedikasi didapatkan nilai pengetahuan responden mengenai antibiotik

termasuk kategori “sedang” (skor 7,14±2,49). Responden dengan pengetahuan

yang lebih buruk / rendah memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk melakukan

swamedikasi dengan antibiotik15.

Ini berarti dibutuhkan kebijakan dari dokter untuk memilih antibiotik yang

efektif dan edukasi terhadap penggunaan antibiotik untuk mengatasi patogen

penyebab diare. Selain itu, penggunaan antibiotik yang tidak rasional hanya akan

menambah biaya pengobatan, risiko reaksi yang merugikan. Pemberian antibiotik

diindikasikan hanya untuk anak-anak dengan diare berdarah (kemungkinan

shigellosis), suspek kolera dengan dehidrasi berat, dan infeksi non-usus yang

serius seperti pneumonia16.

Obat-obatan "antidiare" dan anti-emetik tidak memiliki manfaat untuk

anak-anak dengan diare akut atau persisten. Mereka tidak mencegah dehidrasi

atau meningkatkan status gizi, yang seharusnya menjadi tujuan utama perawatan.

Beberapa memiliki efek samping yang berbahaya, dan terkadang fatal. Obat-

obatan ini tidak boleh diberikan kepada anak di bawah 5 tahun16.


37

Menurut Buku Panduan Pelayanan Medis IDAI edisi 1 tahun 2009 untuk

disentri basiler, antibiotik diberikan sesuai dengan data sensitivitas setempat, bila

tidak memungkinkan dapat mengacu kepada data publikasi yang dipakai saat ini,

yaitu kotrimoksazol sebagai lini pertama, kemudian ciprofloxacin sebagai lini

kedua. Bila kedua antibiotik tersebut sudah resisten maka lini ketiga adalah

sefiksim2. Pada Diare yang disebabkan oleh antiparasit pemberian metronidazol

50 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis merupakan obat pilihan untuk amuba vegetatif

Tabel 3.6 Antibiotik Pilihan untuk beberapa jenis diare yang disebabkan oleh
bakteri dan parasit5
Penyebab Antibiotik Pilihan Alternatif
Kolera Tetracyclin Erytromycin
12,5 mg/KgBB 12,5 mg/KgBB
2 kali sehari selama 3 hari 4 kali sehari selama 3 hari
Disentri
Shigellosis Cotrimoxazale Ceftriaxon
24 mg/kgBB/hari 5 kali 50 – 100mg/kgBB
sehari selama 3 hari 1 kali sehari secara
Ciprofloxacin intramuskular selama 2 – 5
15 mg/kgBB hari
2 kali sehari selama 5 hari
Sefiksim
4 mg/kgBB
2 kali sehari selama 5 hari
Asam Nalidiksat
15 mg/kgBB
4 kali sehari selama 5 hari
Amoebiasis
Entamoeba Metronidazole
Histolytica 50 mg/kgBB
3 kali sehari selama 5 hari
Clostridium Metronidazole
difficile 30 mg/kgBB
3 kali sehari selama 5 hari
Giardiasis Metronidazole
50 mg/kgBB
3 kali sehari selama 5 hari
Menurut Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Indonesia di RS, pada

anak diare yang dicurigai kolera yakni pada anak dengan BAB seperti air cucian

beras, terdapat KLB Kolera didaerah tersebut, dan didapatkan kultur tinja positif
38

dengan V. cholera maka diberikan antibiotik oral yang spesifik untuk strain

Vibrio colera yakni Tetrasiklin dan alternatifnya yaitu eritomisin. Di tingkat

pelayanan primer semua diare berdarah (disentri) selama ini dianjurkan untuk

diobati sebagai shigellosis dan diberi antibiotik kotrimoksazol. Jika dalam 2

hari tidak ada perbaikan, diulang untuk kemungkinan mengganti

antibiotiknya. Beri pengobatan antibiotik oral (selama 5 hari), yang sensitif

terhadap sebagian besar strain shigella. Contoh antibiotik yang sensitif

terhadap shigella di Indonesia adalah siprofloxasin, sefiksim dan asam

nalidiksat. Jika diare berdarah dan didapatkan amuba vegetatif pada

pemeriksaan feses, maka diberikan antibiotik metronidazol dengan dosis –

dosis yang tertera pada tabel 3.1 diatas.

Beri Antibiotik Oral Yang Sesuai


Untuk Semua Klasifikasi Yang Membutuhkan Antibiotik Yang Sesuai:
 ANTIBIOTIK PILIHAN PERTAMA: KOTRIMOKSAZOL
(TRIMETROPRIM + SULFAMETOKSAZOL)
 ANTIBIOTIK PILIHAN KEDUA: AMOKSISILIN (untuk infeksi telinga
akut, sebagai pilihan pertama)
Tabel 3.7 Dosis Antibiotik Menurut KMK No. 24 Tahun 201418
Umur KOTRIMOKSAZOL AMOKSISILIN
atau 2 x sehari selama 3 hari untuk Pneumonia 2 x sehari selama 3 hari
Berat 2 x sehari selama 5 hari untuk infeksi telinga akut untuk Pneumonia
Badan 2 x sehari selama 5 hari
utk infeksi telinga akut
TAB TAB ANAK Sirup per 5 ml TABLET Sirup per 5
DEWASA (20 mg Tmp + (40 mg Tmp + (500 mg) ml
(8 mg Tmp + 100 mg Smz) 200 mg Smz) (125 mg)
400 mg Smz)
2 bln - < ¼ 1 2.5 ml ¼ 5 ml
4 bln (1/2 sendok (1 sendok
(4 - <6 takar) takar)
kg)
4 bln - < ½ 2 5 ml ½ 10 ml
12 bln (1 sendok takar) (2 sendok
(6 -< 16 takar)
kg)
12 bln - ¾ 2½ 7.5 ml 2/3 12.5 ml
< 3 tahun (1 ½ sendok (2 ½ sendok
(10 - < takar) takar)
16 kg)
39

3 tahun - 1 3 10 ml ¾ 15 ml
< 5 tahun (2 sendok takar) (3 sendok
(16 - < takar)
19 kg)
UNTUK DISENTERI: Beri antibiotik yang dianjurkan untuk Shigella
 ANTIBIOTIK PILIHAN PERTAMA : KOTRIMOKSAZOL
 ANTIBIOTIK PILIHAN KEDUA : ASAM NALIDIKSAT
Tabel 3.8 Dosis Antibiotik Untuk Disenteri Menurut KMK No. 24 Tahun 201418
Umur KOTRIMOKSAZOL ASAM METRONIDAZOL
atau 2 x sehari selama 5 NALIDIKSAT Tablet 500 mg
Berat Badan hari Tablet 500 mg 3 x sehari selama 10 hari
4 x sehari untuk amuba
selama 5 hari
2 bln - < 4 bln 1/8 50 mg (1/8 tab)
4 bln - < 12 Lihat Dosis Diatas 1/4 100 mg (1/4 tab)
bln
(6 -< 10 kg)
12 bln - < 5 1/2 200 mg (1/2 tab)
tahun
(10 - < 12 kg)
UNTUK KOLERA: Beri antibiotik yang dianjurkan untuk kolera selama 3
hari
 ANTIBIOTIK PILIHAN PERTAMA : TETRASIKLIN
 ANTIBIOTIK PILIHAN KEDUA: KOTRIMOKSAZOL
(TRIMETROPRIM + SULFAMETOKSAZOL)
Tabel 3.9 Dosis Antibiotik Untuk Kolera Menurut KMK No. 24 Tahun 201418
Umur TETRASIKLIN KOTRIMOKSAZOL
atau Kapsul 250 mg 2 x sehari selama 3 hari untuk Pneumonia
Berat 4 x sehari selama 2 x sehari selama 5 hari untuk infeksi telinga akut
Badan 3 hari TAB TAB ANAK (20 Sirup per 5 ml
DEWASA mg Tmp + 100 (40 mg Tmp +
(8 mg Tmp + mg Smz) 200 mg Smz)
400 mg Smz)
2 bln - < Jangan Diberi ¼ 1 2.5 ml
4 bln
(4 - <6
kg)
4 bln - < 1/2 ½ 2 5 ml
12 bln
(6 -< 10
kg)
12 bln - 1 ¾ 3 10 ml
< 5 tahun
(10 - <
19 kg)
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) nomor 25 tahun 2014 18

indikasi pemberian antibiotik pada disentri dianjurkan untuk diberikan


40

pengobatan Shigellosis dengan antibiotik pilihan pertama yaitu kotrimoksazol 2

kali sehari selama 5 hari dan yang kedua adalah asam nalidiksat 4 kali sehari

dengan acuan dosis seperti gambar diatas (Gambar 3.1). Pada kolera dapat

diberikan antibiotic selama 3 hari dengan pilihan antibiotik pilihan pertama yaitu

tetrasiklin, namun kontraindikasi pada bayi dengan usia 2 – 4 bulan atau dengan

berat badan 4 - < 6 kg, dan untuk pilihan antibiotik pilihan kedua adalah

kotrimoksazol (Trimetropin + Sulfametroksazol) dengan dosis tertera pada

gambar diatas (3.1).

Tabel 3.10 Antibiotik Pilihan Pada Diare Anak16


Penyebab Antibiotik Pilihan Alternatif
Kolera Tetracyclin Erytromycin
12,5 mg/KgBB 12,5 mg/KgBB
4 kali sehari selama 3 hari 4 kali sehari selama 3 hari
Shigella Ciprofloxacin Pivmecillinam
disentri 15 mg/kgBB 20 mg/kgBB
2 kali sehari selama 3 hari 4 kali sehari selama 5 hari
Ceftriaxon
50 – 100mg/kgBB
1 kali sehari secara
intramuskular selama 2 – 5
hari
Amoebiasis Metronidazole
10 mg/kgBB
3 kali sehari selama 5 hari (10
hari untuk severe disease)
Giardiasis Metronidazole
5 mg/kgBB
3 kali sehari selama 5 hari

Menurut Buku “The Treatment of Diarrhea” yang diterbitkan oleh WHO

untuk semua kasus yang diduga kolera dengan dehidrasi berat harus menerima

antibiotik oral yang dikenal efektif melawan strain Vibrio cholerae. Ini akan

mengurangi total volume tinja yang dikeluarkan, menyebabkan diare berhenti

dalam waktu 48 jam, dan mempersingkat periode ekskresi tinja dari V. cholerae.
41

Dosis pertama harus diberikan segera setelah muntah berhenti, yang biasanya 4-6

jam setelah memulai terapi rehidrasi16.

Tatalaksana pada pasien diare dengan darah (disenteri) diberikan antibiotik

selama tiga hari dengan ciprofloxacin, atau selama lima hari dengan antibiotik

oral lain yang sensitif terhadap Shigella di daerah tersebut. Antibiotik yang tidak

efektif untuk pengobatan shigellosis tidak boleh diberikan untuk mengobati

shigellosis, Antiobiotik yang tidak efektif dengan shigella tercantum pada tabel

berikut.

Tabel 3.11 Antibiotik yang tidak efektif untuk pengobatan Shigellosis16

Antibiotik yang tidak efektif untuk pengobatan Shigellosis


 metronidazole  nitrofurans (contoh: nitrofurantoin,
 streptomycin · furazolidone)
 tetracyclines ·  aminoglycosides (contoh:
 chloramphenicol · gentamicin, kanamycin)
 sulfonamides  first and second generation
 amoxycillin cephalosporins (contoh:
cephalexin, cefamandole)

Baru-baru ini direkomendasikan bahwa asam nalidiksat tidak lagi

direkomendasikan untuk pengobatan infeksi Shigella16.


42

Gambar 3.6 Bagan Alur Penatalaksaan Disentri Pada Anak dibawah Usia 5
tahun16

Amoebiasis adalah penyebab diare berdarah yang tidak biasa pada anak

kecil, biasanya menyebabkan kurang dari 3% episode. Anak kecil dengan diare

berdarah tidak boleh diobati secara rutin untuk amoebiasis. Pengobatan tersebut

dipertimbangkan hanya ketika pemeriksaan mikroskopis dari tinja segar yang

dilakukan di laboratorium menunjukkan adanya trofozoit dari E. histolytica yang

mengandung eritrosit, atau pemberian dua antibiotik yang berbeda yang biasanya

efektif untuk infeksi Shigella telah diberikan namun tidak ada perbaikan klinis 16.
43

Pada pasien dengan diare persisten biasanya diasosiasikan dengan

penurunan berat badan dan dengan infeksi serius non-intestinal, penderita diare

persisten tidak selalu diberikan antibiotik dan tatalaksana lebih berfokus pada

menaikkan berat badan pasien dan mengembalikan fungsi GI tract yakni dengan

pemberian cairan yang adekuat untuk mencegah atau mengobati dehidrasi, diet

bergizi yang tidak menyebabkan diare memburuk, pemberian vitamin dan mineral

tambahan, seperti seng (Zink) selama 10 - 14 hari, dan pemberian antibiotik

spesifik hanya diberikan setelah terkonfirmasi didapatkan pathogen spesifik yang

ditemukan pada pemeriksaan tinja16.

Diare dengan gizi buruk adalah peristiwa serius dan fatal pada anak-anak

dengan gizi buruk. Walaupun pengobatan dan pencegahan dehidrasi adalah

perawatan yang sangat penting, Tatalaksana pada penderita ini juga harus fokus

pada pengelolaan gizi buruk dan pengobatan infeksi lainnya secara hati-hati.

Semua anak diare dengan gizi buruk harus diberikan pengobatan antibiotik

spektrum luas, misalnya gentamisin dan ampisilin, selama beberapa hari ketika

dirawat di rumah sakit. Kombinasi ini atau antibiotik lain yang berspektrum luas

diberikan kepada anak-anak dengan adanya tanda-tanda syok septik. Anak-anak

harus diperiksa setiap hari untuk mencari infeksi lain dan diobati ketika telah

teridentifikasi16.
44

Tabel 3.12 Pilihan Antibiotik Berdasarkan Etiologi17,19


Organisme Antibiotik yang Alternatif pilihan Efikasi
dipilih
Campylobacter Azithromycin Ciprofloxacin, Terbukti jika dimulai dalam 3 hari
jejuni 10 mg/kgBB 7.5 mg/kgBB dari onset
Sekali sehari selama Dua kali sehari
5 hari selama 5 hari
Vancomycin
40 mg/kgBB
Empat kali sehari
selama 5 hari
Clostridium Metronidazole Vancomycin Terbukti dalam kasus yang parah
difficile 30mg/kgBB 40 mg/kgBB
Empat kali sehari Empat kali sehari
Selama 5 hari selama 5 hari
Non-typhoidal Amoxicillin Trimethoprim- Terbukti pada anak-anak dengan
Salmonella Bayi 1 – 3 bulan sulfamethoxazole toxic status, pada anak di bawah 3
30 mg/kgBB 25 mg/kgBB bulan, pada anak-anak berisiko,
Dua kali sehari Dua kali sehari dan jika terkena infeksi sistemik
selama 5 hari Selama 5 hari atau fokal
atau
Ceftriaxone
50 mg/kgBB
Dua kali sehari
selama 5 hari
Salmonella typhi Cefixime Chloramphenicol Terbukti
4 mg/kgBB 12.5 mg/kgBB IV
Dua kali sehari Empat kali sehari
Selama 5 hari
atau
Ceftriaxone
50 mg/kgBB
Dua kali sehari
selama 5 hari
Shigella Azithromycin Cefixime Terbukti
Azithromycin 4 mg/kgBB
10 mg/kgBB Dua kali sehari
Sekali sehari selama Selama 5 hari
5 hari atau
Ceftriaxone Ciprofloxacin
50 mg/kgBB 7.5 mg/kgBB
Dua kali sehari Dua kali sehari
selama 5 hari selama 5 hari
Yersinia Trimethoprim- Ceftriaxone Terbukti pada penyakit berat atau
sulfamethoxazole 50 mg/kgBB bakteremia
25 mg/kgBB Dua kali sehari
Dua kali sehari selama 5 hari
Selama 5 hari
Vibrio cholerae Azithromycin Doxycycline Mengurangi durasi hingga 50%
10 mg/kgBB (anak >8 tahun) dan shedding
Sekali sehari selama 5 mg/kgBB
5 hari Satu kali sehari /
dibagi 2 dosis sehari
atau
Ciprofloxacin
7.5 mg/kgBB
Dua kali sehari
selama 5 hari
ETEC Azithromycin (hanya Trimethoprim- Untuk dipertimbangkan dalam
(enterotoxigenic untuk traveler’s sulfamethoxazole kasus-kasus tertentu
Escherichia coli) diarrhea) 25 mg/kgBB
10 mg/kgBB Dua kali sehari
Sekali sehari selama Selama 5 hari
5 hari
45

Menurut penelitian oleh Eugenia dkk pada tahun 2018 juga

mengkalsifikasikan indikasi penggunaan antibiotik menurut etiologi dan

rekomendasi antibotik seperti pada tabel diatas, namun antibiotik pada umumnya

tidak diperlukan dan bahkan dapat berbahaya pada anak-anak, tetapi harus

diberikan dalam keadaan tertentu. Ada tiga set kriteria yang berbeda yang harus

dipertimbangkan dengan cermat yakni gejala klinis, faktor terkait host, dan

pengaturan. Ketika ada indikasi potensial untuk antibiotik, pemeriksaan

mikrobiologis (pemeriksaan feses) harus selalu diperoleh sebelum dimulainya

terapi. Terapi antibiotik empiris harus dimulai segera setelah pengumpulan

spesimen pada bayi dan anak-anak dalam kondisi diare parah, pemberian

Kotrimoksazol dan metronidazol harus dipertimbangkan untuk pemberian oral.

Azitromisin dan rifaximin juga dapat digunakan, berdasarkan hasil mikrobiologis

atau jika terdapat tanda-tanda kolitis. Ceftriaxone, metronidazole, dan

ciprofloxacin dapat dipertimbangkan pada anak-anak dengan penyakit sistemik

dan invasif. Bayi, anak-anak dengan kondisi kronis, dan mereka yang dalam

keadaan toxic-state atau dengan tanda-tanda infeksi sistemik harus

dipertimbangkan berisiko infeksi sistemik, dan pemberian antibiotik oral atau

parenteral dapat diindikasikan. Jika gejala ringan dan observasi ketat

dimungkinkan, mungkin lebih baik menunggu hasil mikrobiologis. Terapi

antibiotik secara spesifik juga diindikasikan jika terdapat masalah pada

penyebaran. Diare pelancong mungkin memerlukan terapi antibiotik. Pilihan

antibiotik spesifik harus didasarkan pada etiologi dan pola resistensi pada daerah

masing-masing. Kesimpulannya, meskipun penting untuk mengurangi

penggunaan antibiotik yang tidak perlu, ada keadaan di mana obat ini diperlukan
46

dan berpotensi menyelamatkan jiwa. Namun, penggunaannya masih jauh dari

didukung oleh bukti dan membutuhkan pertimbangan cermat dari gejala klinis dan

studi epidemiologis17.
BAB IV

KESIMPULAN

Diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang

utama, karena masih tingginya angka kesakitan dan kematian. Penyebab utama

diare akut adalah infeksi Rotavirus yang bersifat self-limiting sehingga tidak

memerlukan pengobatan dengan antibiotik. Pemakaian antibitika hanya untuk

kasus-kasus yang diindikasikan seperti telah dijelaskan diatas. Masalah utama

diare akut pada anak berkaitan dengan risiko terjadinya dehidrasi. Upaya

rehidrasi secara adekuat menggunakan cairan rehidrasi oral merupakan salah satu

pendekatan terapi yang dianjurkan. Penggantian cairan dan elektrolit jika

diperlukan koreksi juga merupakan elemen yang penting dalam terapi diare akut.

Penggunaan, probiotik, dan mikronutrien dapat memperbaiki frekuensi dan

lamanya diare. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemberian makanan

atau nutrisi yang cukup selama diare dan mengobati penyakit penyerta yang ada.

47
48

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. WHO. [Online].; 2017 [diakses tanggal 22


September 2019. Tersedia di:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/diarrhoeal-disease.

2. DitJen KR. Profil Kesehatan Indonesia Dasar Tahun 2017 Jakarta:


KEMENKES RI; 2017. h. 176-9.

3. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Pedoman Praktik Klinis. 1st ed. IDAI ,
editor. Jakarta: IDAI Press; 2009. h. 58-61.

4. Trisnowati KE, Irawati S, Setiawan E. Kajian Penggunaan Antibiotik Pada


Pasien Diare Akut Di Bangsal Rawat Inap Anak. 2017. h. 22-3.

5. World Health Organization. Buku Saku Kesehatan Anak Indonesia. In World


Health Organization. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit
Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten. Jakarta: Tim Adaptasi Indonesia; 2009.
h. 133-53.

6. World Health Organization. Hospital care for children. [Online].; 2005 [diakses
tanggal 14 September 2019]. Tersedia di: http://www.ichrc.org/51-anak-dengan-
diare.

7. Simadibrata M. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jakarta: FK UI; 2006. h.


1899-908

8. KEMENKES RI. Buletin Diare: Situasi Diare di Indonesia Jakarta:


KEMENKES RI; 2011. h. 9-10.

9. Tolia V. Acute infections diarrhea in children. Current treatment option in


infections diseases. 2002;4: 183-94.

10. Vanderhoof JA. Pediatric gastrointestinal disease pathophysiology, diagnosis


and management. In.: WB Saunders Co; 1993. h. 187-95.

11. Subagyo B, Santoso NB. Scribd. [Online].; 2015 [diakses tanggal 22


September 2019]. Tersedia di: https://www.scribd.com/doc/283574883/diare-idai.

12. Bishop WP. Gastroenteritis Acute. In Hegar B, Juffrie M, editors. Essentials


of Pediatric. Philladelphia: Elsevier Inc.; 2015. h. 482-6.

13. Ebach DR. Acute Gastroenteritis. In Marcdante KJ, Kliegman RM. Essential
of Pediatric. 7th ed. Philladelphia: Elsevier Inc.; 2017. h. 366-9.

14. Parse RJ, Hidayat E, Alisjahbana B. Knowledge, Attitude and Behavior


Related to Antibiotic Use in Community Dwellings. Althea Medical Journal.
2017; 2: 272-3.
49

15. Kurniawan , Posangi J, Rampengan N. Association between public


knowledge regarding antibiotics and self-medication with antibiotics in Teling
Atas Community Health Center, East Indonesia. Community Research. 2017;26:
62-9.

16. World Health Organization. The Treatment of Diarrhoea. In Organization


WH. A Manual for psycians and other senior health workers. Geneva: WHO
Press; 2005. h. 4-26.

17. Bruzzese E, Giannattasio A, Guarino A. Antibiotic treatment of acute


gastroenteritis in children. F1000 Research. 2018; 1: 1-10.

18. KEMENKES RI. Upaya Kesehatan Anak. Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014. 2014: 35-6.

19. EMBABA El-A'M Hospital. Neonatal and Pediatric Drug Doses Arab:
Clinical Pharmacy Departement; 2014: 2-8.

Anda mungkin juga menyukai