Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

TATALAKSANA OAT PADA DILI

Disusun oleh:

Riawanti

030.13.166

Pembimbing:

DR. Adriana Lukmasari, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KRMT WONGSONEGORO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 23 SEPTEMBER – 29 NOVEMBER 2019

SEMARANG
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga referat dengan judul
“Tatalaksana OAT pada Drug Induced Liver Injury (DILI)” dapat selesai pada
waktunya.
Referat ini dibuat oleh dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti demi memenuhi tugas dalam menempuh kepaniteraan di bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSUD KRMT WONGSONEGORO. Penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. dr. Adriana Lukmasari, Sp.Adokter pembimbing yang telah


memberikan saran dan koreksi dalam penyusunan referat ini.
2. Teman-teman dokter muda dan semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini tidak luput dari kekurangan dan
masih jauh dari sempurna. Maka dari itu, penulis memohon maaf kepada para
pembaca atas kekurangan yang ada. Atas semua keterbatasan yang dimiliki,
maka semua kritik dan saran yang membangun akan diterima dengan lapang
hati agar ke depannya menjadi lebih baik.
Akhir kata, demikian yang penulis dapat sampaikan. Semoga referat ini
bermanfaat dalam bidang kedokteran, kususnya bidang ilmu kesehatan Anak .

Semarang, November 2019

i
Riawanti

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PERSETUJUAN

Referat
Judul :
Tatalaksana OAT pada DILI

Nama: Riawanti
NIM: 030.13.230

Telah disetujui untuk dipresentasikan

Pada Hari …………, Tanggal ......................... 2019

Pembimbing,

dr. Adriana Lukmasari, Sp.A

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................ i


LEMBAR PERSETUJUAN ....................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 3
2.1 Tuberkulosis Anak
2.1.1 Definisi .............................................................................. 3
2.1.2 Penularan .......................................................................... 3
2.1.3 Diagnosis ........................................................................... 3
2.1.4 Tatalaksana ........................................................................ 6
2.1.5 Pencegahan ........................................................................ 8
2.1.6 Faktor yang mempengaruhi tuberculosis ........................... 9
2.2 Drug Induced Liver Injury
2.2.1 Definisi ............................................................................. 10
2.2.2 Epidemiologi ..................................................................... 10
2.2.3 Patofisiologi dan Mekanisme Drug ................................... 12
Induced Liver Injury Metabolisme Obat
2.2.4 Klasifikasi DILI ................................................................. 15
2.2.5 Maninfestasi klinis............................................................. 16
2.2.6 Diagnosis ........................................................................... 17
2.2.7 Hepatotoksis Obat OAT .................................................... 17
2.2.8 Tatalaksana ..................................................................... 18
BAB III KESIMPULAN ........................................................................... 24

iii
BAB IV DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 25

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular penyebab kematian utama di


dunia. Lembaga kesehatan dunia WHO memperkirakan pada tahun 2015 terdapat 10,4
juta kasus baru TB di dunia. Asia Tenggara menempati posisi pertama dengan angka
kejadian TB tertinggi pada anak, yaitu 40% dari kasus di tahun 2015. Indonesia
termasuk dalam tiga negara dengan angka kejadian TB tertinggi di dunia, bersama
India dan Cina.1 Saat ini, untuk pengobatan TB pada anak digunakan kategori
2(HRZ)/4(HR), terdiri atas kombinasi isoniazid, pirazinamid, dan rifampisin selama 2
bulan, dan dilanjutkan dengan kombinasi isoniazid dan rifampisin selama 4 bulan.2,3
Obat obat ini berguna untuk mengeradikasi bakteri secara efektif. Namun, obat ini
berpotensi menimbulkan efek samping. Terlebih lagi pada pasien anak yang fungsi
organnya belum bekerja sempurna, efek samping obat sangat mungkin terjadi.4
Hepatotoksisitas merupakan efek samping paling banyak terjadi pada
pemberian obat anti tuberkulosis (OAT) atau biasa disebuh dengan anti-tuberculosis
drug induced hepatotoxicity (ADIH), 7% dari semua efek samping disebabkan oleh
OAT. Toksisitas akan meningkat ketika obat ini dikombinasikan.5 Isoniazid merupakan
obat yang paling efektif dalam pengobatan TB. Sekitar 10% pasien yang mendapat
isoniazid akan mengalami peningkatan aktivitas aspartat dan alanin transaminase di
plasma.7 Selain itu, rifampisin juga dapat menyebabkan hepatotoksisitas. Kombinasi
isoniazid dengan, rifampisin akan memicu metabolisme isoniazid sehingga akan
terbentuk hidrazin yang lebih banyak. Pemberian dosis rifampisin lebih dari 15 mg/kg
dapat memicu hepatotoksisitas pada anak. Pirazinamid juga dapat menimbulkan
hepatotoksisitas dan biasanya muncul pada 15% pasien yang diberikan pirazinamid
dengan dosis 40-50 mg/kg, 2-3% disertai dengan gejala kuning.6,7 Apa bila terjadi
hepatotoksisitas disebabkan oleh obat tersebut maka pengobatan perlu dihentikan
sampai gejala hepatotoksisitasnya tidak timbul kembali. Namun, penghentian obat ini
akan berpengaruh pada keberhasilan pengobatan TB sehingga risiko terjadi perburukan
penyakit TB, kambuh, dan resistensi obat menjadi lebih tinggi.8 Monitoring terhadap

1
pemberian obat TB menjadi sangat penting, khususnya pada anak. Untuk melakukan
monitoring pada anak diperlukan data epidemiologi, gejala klinis, keparahan, dan
luaran Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil pasien TB anak dengan anti-
tuberculosis drug induced hepatotoxicity yang diharapkan dapat menjadi acuan untuk
mendeteksi secara dini efek samping OAT pada pasien TB anak sehingga dapat
dilakukan intervensi secara cepat dan tepat.9
Salah satu fungsi hati yang penting ialah melindungi tubuh terhadap terjadinya
penumpukan zat berbahaya yang masuk dari luar, misalnya obat. Banyak diantara obat
yang bersifat larut dalam lemak dan tidak mudah diekskresikan oleh ginjal. Untuk itu
maka sistem enzim pada mikrosom hati akan melakukan biotransformasi sedemikian
rupa sehingga terbentuk metabolit yang lebih mudah larut dalam air dan dapat
dikeluarkan melalui urin atau empedu. Dengan faal sedemikian ini, tidak
mengherankan bila hati mempunyai kemungkinan yang cukup besar pula untuk dirusak
oleh obat. Kerusakan hati akibat obat (Drugs Induced Liver Injury) pada umumnya
tidak menimbulkan kerusakan permanen, tetapi kadang-kadang dapat berlangsung
lama dan fatal.10

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis Anak

2.1.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis dan Mycobacterium
africanum. Tuberkulosis adalah penyakit menular yang bersifat sistemik dan
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang mayoritas (> 95%)
menyerang paru.2,5

2.1.2 Penularan
Penularan tuberkulosis anak sebagian besar melalui udara sehingga
focus primer berada di paru dengan kelenjar getah bening membengkak serta
jaringan paru mudah terinfeksi kuman tuberkulosis. Selain itu dapat melalui
mulut saat minum susu yang mengandung kuman Mycobacterium bovis dan
melalui luka atau lecet di kulit.2,3

2.1.3 Diagnosis
Banyak orang yang menderita tuberkulosis paru dibanding dengan
tuberkulosis organ yang lain. Hal ini dikarenakan penyebaran melalui udara
yang dihirup mengandung kuman tuberkulosis yang berkembang menjadi
kompleks pimer dan disusul infeks3 Hal ini sangat sering terjadi tetapi gejala
pada umunya tidak khas. Satu-satunya bukti dengan menggunakan uji
tuberculin cara Mantoux dengan ditemukannya basil tuberkulosis. Mayoritas
diagnosis tuberkulosis anak didasarkan pada gambaran klinis, gambaran

3
radiologis dan uji tuberculin. Anak dicurigai menderita tuberkulosis apabila
terdapat keadaan atau gejala sebagai berikut :4

 Anak dicurigai menderita tuberkulosis bila :4


o Kontak erat dengan penderita tuberkulosis BTA positif
o Ada reaksi kemerahan setelah suntik BCG dalam 3-7 hari
o Terdapat gejala umum tuberkulosis.
 Gejala umum yang dicurigai anak menderita tuberculosis :4
o Berat badan turun 3 bulan secara berturut-turut tanpa sebab yang
jelas dan tidak naik dalam 1 bulan walaupun sudah dengan
penanganan gizi yang baik.
o Nafsu makan tidak ada (anoreksia)
o Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus,
malaria, ISPA)
o Pembesaran kelenjar limfe tanpa disertai nyeri
o Batuk lebih dari 30 hari dan nyeri dada
o Diare persisten yang tidak kunjung sembuh
 Uji tuberculin4
Tuberculin test positif (indurasi lebih dari 10 mm), meragukan bila
indurasi 5-9 mm, negative bila kurang dari 5 mm. Uji tuberculin positif
menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis dan mungkin tuberkulosis aktif pada
anak.
 Reaksi cepat BCG4
Setelah mendapatkan penyuntikan BCG ada reaksi cepat (indurasi lebih
dari 5 mm) dalam 3-7 hari curigai terkena infeksi tuberkulosis.
 Foto Rontgen Paru4
Sebagian foto tidak menunjukkan gambaran yang khas untuk
tuberculosis.
 Pemeriksaan patologi anatomi4
Pada pemeriksaan ini dilakukan biopsi kelenjar, kulit, jaringan lain yang

4
dicurigai terkena infeksi tuberkulosis, biasannya ditemukan tuberkel dan basil
tahan asam.

 Pemeriksaan mikrobiologi4
Pemeriksaan langsung BTA secara mikroskopis dari dahak.
 Pengobatan OAT (Obat Anti Tuberkulosis)4,10
Dilakukan evaluasi tiap bulan, bila dalam 2 bulan terdapat perbaikan
klinis akan menunjang diagnosis tuberkulosis. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
yang biasa digunakan yaitu Isoniazid, Rifampisin, Piranizamid, Etambutol dan
Streptomisin. Efek samping OAT jarang dijumpai pada anak jika dosis dan cara
pemberiannya benar. Efek samping yang biasa muncul yaitu hepatotoksisitas
dengan gejala ikterik, keluhan ini biasa muncul pada fase intensif (awal).
Panduan OAT di Indonesia dibagi menjadi :10
1. Kategori 1 : 2 (HRZE)/4 (HR)3
2. Kategori 2 : 2 (HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Dari kedua kategori ini disediakan panduan obat sisipan (HRZE)
3. Kategori anak : 2HRZ/4HR.
Panduan OAT kategori 1 dan kategori 2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT) sedangkan untuk kategori anak
dalam bentuk OAT kombipak. Paket kombipak terdiri dari obat lepas yang
dikemas dalam satu paket yaitu Isoniazid, Rifampisin, Piranizamid dan
Etambutol. Diagnosis TB anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik
overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak batuk bukan merupakan
gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis
tuberkulosis anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistim skor.10

5
Tabel 2.1 Sistim skor diagnosis tuberkulosis anak11

2.1.4 Tatalaksana
Pengobatan secara umum dilakukan dengan meningkatkan gizi anak
untuk daya tahan tubuh dan istirahat. Hal yang perlu diperhatikan dalam
pemberian obat tuberkulosis pada anak yaitu pemberian obat tahap intensif atau
lanjutan diberikan setiap hari, dosis obat disesuaikan dengan berat badan anak,

6
pengobatan tidak boleh terputus dijalan.11,12
Untuk terapi tuberkulosis terdiri dari dua fase yaitu fase intensif (awal)
dengan panduan 3-5 OAT selama 2 bulan awal dan fase lanjutan dengan
panduan 2 OAT (INH-Rifampisin) hingga 6-12 bulan. Fase intensif (awal)
pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk
mencegah terjadinya resistensi obat, bila pengobatan fase intensif diberikan
secara tepat biasannya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun
waktu 2 minggu, sebagian besar pasien tuberkulosis BTA positif menjadi BTA
negatif (konversi) dalam 2 bulan sedangkan untuk fase lanjutan pasien
mendapat jenis obat lebih sedikit namun dalam jangka waktu yang lebih lama,
tahap ini penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan.11,12
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang biasa digunakan yaitu Isoniazid,
Rifampisin, Piranizamid, Etambutol dan Streptomisin. Terapi OAT untuk
tuberkulosis paru yaitu INH, Rifampisisn, Pirazinamid selama 2 bulan fase
intensif dilanjutkan INH dan Rifampisin hingga 6 bulan terapi (2HRZ-4HR).
Efek samping OAT jarang dijumpai pada anak jika dosis dan cara
pemberiannya benar. Efek samping yang biasa muncul yaitu hepatotoksisitas
dengan gejala ikterik, keluhan ini biasa muncul pada fase intensif (awal).11,12

Tabel 2.2 Obat Anti Tuberkulosis11

7
Cara pengobatan INH diberikan selama 6 bulan, Rifampisin selama 6
bulan, Piranizamid selama 2 bulan pertama. Pada kasus-kasus berat dapat
ditambahkan Etambutol selama 2 bulan pertama. Untuk mengurangi angka
drop out dibuat dalam bentuk FCD (Fixed Dose Combination) untuk 2 bulan
pertama digunakan FDC yang berisi Rifampisin/Isoniazid/Piranizamid Dengan
dosis 75mg/50mg/150mg. sedangkan untuk 4 bulan berikutnya digunakan FDC
yang berisi Rifampisin/Isoniazid dengan dosis 75 mg/50mg.11,12
Untuk kategori anak (2RHZ/4RH) , prinsip dasar pengobatan
tuberculosis minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu 6 bulan. OAT
pada anak diberikan setiap hari baik pada fase intensif (awal) maupun fase
lanjutan, dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak. Pada sebagian
besar kasus tuberkulosis anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat.
Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun
pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada tuberkulosis anak merupakan
parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai
perbaikian klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan

8
perubahan yang berarti maka OAT dihentikan.11,12

2.1.5 Pencegahan
Pencegahan tuberkulosis anak dapat dilakukan dengan Imunisasi BCG
(dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi tuberkulosis, perbaikan
lingkungan (dicari sumber penularannya), makanan bergizi (bila anak dengan
gizi kurang akan mudah terinfeksi kuman tuberkulosis, sedangkan anak dengan
gizi baik dapat meningkatkan daya tahan tubuh sehingga anak tersebut tidak
mudah terinfeksi kuman tuberkulosis), kemoprofilaksis ( kemoprofilaksis
primer untuk anak yang belum pernah terinfeksi tuberkulosis dengan tujuan
untuk mencegah anak dengan kontak tuberkulosis dan uji tuberculin negatif
sedangkan kemoprofilaksis sekunder untuk anak yang sudah terinfeksi kuman
tuberkulosis diberikan dengan tujuan mencegah berkembangnya infeksi
menjadi penyakit).12

2.1.6 Faktor yang mempengaruhi tuberculosis


a. Riwayat kontak6,12
Sumber penularan tuberkulosis anak adalah orang dewasa yang sudah
menderita tuberkulosis aktif (tuberkulosis positif) sedangkan anak-anak masih
sangat rentan tertular tuberkulosis dari orang dewasa karena daya tahan dan
kekebalan tubuh anak yang lemah.
b. Status gizi6,12
Pada anak status gizi sangatlah penting, anak yang memiliki gizi baik
tidak mudah terkena infeksi karena tubuh memiliki kemampuan yang cukup
untuk mempertahankan diri (daya tahan tubuh meningkat) sedangkan bagi anak
yang memiliki gizi buruk akan sangat mudah terkena infeksi karena reaksi
kekebalan tubuh menurun yang berarti kemampuan tubuh untuk
mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menurun
c. Umur6,12
Penyakit tuberkulosis sering ditemukan pada usia muda atau produktif

9
karena sejak lama seseorang tersebut sudah tertular kuman Mycobacterium
tuberculosis yang mengakibatkan kondisi tubuhnya menurun
d. Jenis kelamin6,12
Menurut penelitian Islamiyati cenderung lebih banyak pada anak
perempuan , perbandingannya 1:4 (laki-laki : perempuan) karena pada anak
laki-laki porsi makan lebih besar sehingga cenderung memiliki status gizi lebih
baik yang memungkinkan memiliki pertahanan tubuh lebih baik dalam
melawan penyakit
e. Status imunisasi6,12
Pemberian imunisasi BCG pada bayi dapat memberikan perlindungan
terhadap penyakit tuberkulosis karena dengan imunisasi BCG ini akan
memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis sehingga anak
tersebut tidak mudah terkena penyakit tuberculosis
f. Faktor toksik6,12
Faktor toksik yang dapat mempengaruhi yaitu asap rokok karena asap
rokok dapat menurunkan respon terhadap antigen sehingga benda asing yang
masuk dalam paru tidak langsung bisa dikenali atau dilawan oleh tubuh selain
itu juga dapat menjadi salah satu penyebab anak mudah terkena tuberculosis.
g. Kondisi rumah6,12
Kondisi rumah ikut berpengaruh karena pada kondisi rumah yang buruk
atau tidak layak untuk dihuni akan mempermudah terkena penyakit tuberculosis
h. Kepadatan hunian6,12
Merupakan proses penularan penyakit karena jika semakin padat maka
perpindahan penyakit (khusus penyakit menular) melalui udara akan semakin
mudah dan cepat, apalagi jika dalam satu rumah terdapat anggota keluarga yang
terkena tuberculosis.

2.2 Drug Induced Liver Injury

2.2.1 Definisi

10
Kerusakan hati akibat obat (Drug Induced Liver Injury) adalah
kerusakan hati yang berkaitan dengan gangguan fungsi hati yang disebabkan
oleh karena terpajan obat atau agen non-infeksius lainnya. FDA-CDER (2001)
mendefinisikan kerusakan hati sebagai peningkatan level alanine
aminotransferase (ALT/SGPT) lebih dari tiga kali dari batas atas nilai normal,
dan peningkatan level alkaline phosphatase (ALP) lebih dari dua kali dari batas
atas nilai normal, atau peningkatan level total bilirubine (TBL) lebih dari dua
kali dari batas atas nilai normal jika berkaitan dengan peningkatan alanine
aminotransferase atau alkaline phosphatase.14

2.2.2 Epidemiologi

Insiden DILI pada populasi anak adalah tidak dapat diketahui. Banyak
kasus tidak dilaporkan, dan lebih banyak kemungkinan subklinis. Pada orang
dewasa, di mana insidensinya lebih banyak dipelajari, DILI terjadi pada sekitar
14 kasus per 100.000 orang setiap tahun. Namun, kejadian pediatric
kemungkinan lebih rendah karena anak-anak mengkonsumsi lebih sedikit obat-
obatan, lebih kecil kemungkinan untuk menyalahgunakan alkohol atau
merokok (dua faktor yang mengubah metabolisme obat), serta proses
metabolisme obat-obatan yang berbeda, yang dapat memberikan perlindungan
terhadap hepar. Kasus DILI parah pada anak-anak untuk sekitar 19% dari
semua kasus pediatrik akut yang mengalami gagal hati. DILI dari toksisitas
asetaminofen sekitar 14% dari kasus, dan DILI dari obat-obatan selain dari
akun acetaminophen sekitar 5% dari kasus sisanya.13

11
Tabel 2.3 Obat-obat yang telah dilaporkan dapat menyebabkan Drug Induced
Liver Injury13

2.2.3 Patofisiologi dan Mekanisme Drug Induced Liver Injury


Metabolisme Obat
Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga membuat mereka mampu
menembus membran sel intestinal. Obat kemudian diubah lebih hidrofilik
melalui proses-proses biokimiawi di dalam hepatosit, menghasilkan produk
produk larut air yang diekskresi ke dalam urin atau empedu. Biotransformasi

12
hepatik ini melibatkan jalur oksidatif utamanya melalui sistem enzim sitokrom
P-450.10,14

Sistem Enzim yang Berperan Dalam Detoksifikasi


a. Sistem tahap I
Sistem detoksifikasi tahap I, melibatkan terutama enzim supergene
sitokrom P-450, secara umum merupakan enzim pertahanan pertama melawan
bahan asing. Sebagian besar bahan kimia dimetabolisme melalui
biotransformasi tahap I. Pada reaksi umum tahap I, enzim sitokrom P-450
(CYP450) menggunakan oksigen dan sebagai kofaktor, NADH, untuk
menambah kelompok reaktif, misalnya hidroksil radikal. Sebagai hasil dari
tahap ini dalam detoksifikasi, diproduksi suatu molekul reaktif yang lebih
toksik daripada molekul awal. Apabila molekul reaktif ini tidak berlanjut pada
metabolisme selanjutnya, yaitu tahap II (konjugasi), dapat menyebabkan
kerusakan pada protein, RNA, dan DNA di dalam sel. Beberapa penelitian
menunjukkan bukti terhadap hubungan antara terjadinya induksi tahap I
dan/atau berkurangnya aktivitas tahap II dengan meningkatnya resiko penyakit,
misalnya kanker, SLE, dan penyakit Parkinson. 10,14
b. Sistem tahap II
Reaksi konjugasi pada tahap II umumnya mengikuti aktivasi tahap I,
dimana akan mengakibatkan xenobiotik yang telah larut air dapat diekskresikan
melalui urin atau empedu. Beberapa macam reaksi konjugasi terdapat di dalam
tubuh, termasuk glukoronidasi, sulfas, dan konjugasi glutation serta asam
amino. Reaksi ini memerlukan kofaktor yang tercukupi melalui makanan.
Banyak yang diketahui mengenai peran dari sistem enzim tahap I pada
metabolism bahan kimia seperti halnya aktivasinya oleh racun lingkungan dan
komponen makanan tertentu. Walau begitu, peran detoksifikasi tahap I pada
praktek klinik tidak terlalu diperhatikan. Kontribusi dari sistem tahap II lebih
diperhatikan dalam penelitian dan praktek klinik. Dan hanya sedikit yang

13
diketahui saat ini mengenai peran sistem detoksifikasi pada metabolism zat
endogen. 10,14

Mekanisme Hepatotoksisitas
Mekanisme jejas hati karena obat yang mempengaruhi protein transport
pada membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit
karena asam empedu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati
karena gangguan transport pada kanalikuli yang menghasilkan translokasi Fas
sitoplasmik ke membran plasma, dimana reseptor-reseptor ini mengalami
pengelompokan sendiri dan memacu kematian sel melalui apoptosis.
Disamping itu, banyak reaksi hepatoseluler melibatkan sistem sitokrom P-450
yang mengandung heme dan menghasilkan reaksi-reaksi energi tinggi yang
dapat membuat ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga menghasilkan
ikatan baru yang tidak punya peran Kompleks enzim-obat ini bermigrasi ke
permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk berperan sebagai imunogen-
imunogen sasaran serangan sitolitik sel T, merangsang respons imun multifaset
yang melibatkan sel-sel sitotoksik dan berbagai sitokin. Obat-obat tertentu
menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan
enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-metabolit toksis yang dikeluarkan
dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu. 10,14

Secara patofisiologik, obat yang dapat menimbulkan kerusakan pada


hati dibedakan atas dua golongan yaitu hepatotoksin yang predictable dan yang
unpredictable : 10,14
1. Predictable Drug Reactions (intrinsik) : merupakan obat yang dapat
dipastikan selalu akan menimbulkan kerusakan sel hepar bila diberikan kepada
setiap penderita dengan dosis yang cukup tinggi. Dari golongan ini ada obat
yang langsung merusak sel hati, ada pula yang merusak secara tidak langsung
yaitu dengan mengacaukan metabolisme atau faal sel hati. Obat hepatotoksik
predictable yang langsung merusak sel hati umumnya tidak digunakan lagi

14
untuk pengobatan. Contohnya ialah karbon tetraklorid dan kloroform.
Hepatotoksin yang predictable yang merusak secara tidak langsung masih
banyak yang dipakai misalnya parasetamol, tetrasiklin, metotreksat, etanol,
steroid kontrasepsi dan rifampisin. Tetrasiklin, etanol dan metotreksat
menimbulkan steatosis yaitu degenerasi lemak pada sel hati. Parasetamol
menimbul kan nekrosis, sedangkan steroid kontrasepsi dan steroid yang
mengalami alkilasi pada atom C--17 menimbulkan ikterus akibat terhambatnya
pengeluaran empedu. Rifampisin dapat pula menimbulkan icterus karena
mempengaruhi konjugasi dan transpor bilirubin dalam hati.
2. Unpredictable Drug Reactions/Idiosyncratic drug reactions: kerusakan hati
yang timbul disini bukan disebabkan karena toksisitas intrinsik dari obat, tetapi
karena adanya reaksi idiosinkrasi yang hanya terjadi pada orang-orang tertentu.
Ciri dari kelainan yang bersifat idiosinkrasi ini ialah timbulnya tidak dapat
diramalkan dan biasanya hanya terjadi pada sejumlah kecil orang yang rentan.
Menurut sebab terjadinya, reaksi yang berdasarkan idiosinkrasi ini dapat
dibedakan dalam dua golongan yaitu karena reaksi hipersensitivitas dan karena
kelainan metabolisme.
 Reaksi Hipersensitivitas
Biasanya terjadi setelah satu sampai lima minggu dimana terjadi proses
sensitisasi. Biasanya dijumpai tanda-tanda sistemik berupa demam, ruam kulit,
eosinofilia dan kelainan histologik berupa peradangan granulomatosa atau
eosinofilik pada hati. Dengan memberikan satu atau dua challenge dose, gejala-
gejala di atas biasanya segera timbul lagi. 10,14
 Reaksi idiosinkrasi karena kelainan metabolisme (Metabolicidiosyncratic)
Mempunyai masa laten yang sangat bervariasi yaitu antara satu minggu
sampai lebih dari satu tahun. Biasanya tidak disertai demam, ruam kulit,
eosinofilia maupun kelainan histopatologik yang spesifik seperti di atas.
Dengan memberikan satu atau dua challenge dose kelainan ini tidak dapat
diinduksi untuk timbul lagi ; untuk ini obat perlu diberikan lagi selama beberapa

15
hari sampai beberapa minggu. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan waktu
yang cukup lama agar penumpukan metabolit10,14

Tabel 2.4 Reaksi Obat Idiosinkrasi dan Sel-Sel yang dipengaruhinya10,14

2.2.4 Klasifikasi Drug-Induced Liver Injury

Berdasarkan The Councils for International Organizations of Medical


Scinces (CIOMS) DILI dibagi menjadi tiga tipe, yaitu :15

1. Tipe Hepatoseluler/Parenkimal
Tipe hepatoseluler didefinisikan sebagai peningkatan alanine
aminotranferase (ALT) > 2 kali batas atas nilai normal (ULN=upper Limit of
Normal) atau R M 5, dimana R adalah rasio aktivitas serum ALT/aktivitas
alkaline phosphatase (ALP), yang keduanya terjadi peningkatan terhadap batas
atas nilai normal. Kerusakan hati lebih berat terjadi pada tipe hepatoseluler
daripada tipe kolestasis atau campuran, dan pasien dengan peningkatan
bilirubin level pada kerusakan hati hepatoseluler mengindikasikan kerusakan

16
hati yang serius dengan tingkat kematian yang tinggi. Tipe ini ditemukan rata-
rata 0,7 sampai 1,3 dari 100.000 individu yang menerima pemberian obat.
2. Tipe Kolestasis
Tipe kolestasis didefinisikan sebagai peningkatan ALP > 2 kali ULN
3. Tipe Campuran
Tipe campuran didefinisikan sebagai peningkatan ALT > 2 kali ULN
dan 2<R<5. Pasien dengan tipe kolestasis atau campuran lebih sering
berkembang menjadi penyakit kronik daripada tipe hepatoseluler Drug-Induced
Liver Injury )etwork (DILIN) mengembangkan system penilaian untuk
menentukan derajat berat Drug-Induced Liver Injury berdasarkan gejala,
ikterik, membutuhkan perawatan rumah sakit, tanda-tanda gagal hati dan
kematian atau membutuhkan transplantasi hati.

2.2.5 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis hepatotoksisitas karena obat sulit dibedakan secara
klinis dengan penyakit hepatitis atau kolestasis dengan etiologi lain. Riwayat
pemakaian obat-obatan atau substansi hepatotoksik lain harus dapat diungkap.
Onset umumnya cepat, gejala berupa malaise dan ikterus, serta dapat terjadi.
gagal hati akut berat terutama bila pasien masih meminum obat tesebut setelah
awitan hepatotoksisitas. Apabila jejas hepatosit lebih dominan maka
konsentrasi aminotransferase dapat meningkat hingga paling tidak lima kali
batas atas normal, sedangkan kenaikan konsentrasi alkali fosfatase dan bilirubin
menonjol pada kolestasis. Mayoritas reaksi obat idiosikratik melibatkan
kerusakan hepatosit seluruh lobus hepatik dengan derajat nekrosis dan
apoptosis bervariasi. Pada kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul dalam
beberapa hari atau minggu sejak mulai minum obat dan mungkin terus
berkembang bahkan sesudah obat penyebab dihentikan pemakaiannya.14,15

2.2.6 Diagnosis

17
Penilaian DILI awal juga harus mencakup serum albumin dan parameter
koagulasi. Nilai INR tinggi, yang menunjukkan kegagalan hati yang akan
datang, harus segera rujukan ke transplantasi hati. Biokimia hati harus diuji
secara rutin pasien dengan DILI sampai normalisasi lengkap. Penurunan
mantap aminotransferases mendukung diagnosis, sedangkan resolusi lambat
atau tidak lengkap dari kelainan biokimia. Selain itu, aminotransferase terus
meningkat dapat menunjukkan hasil kronis.14,15

2.2.7 Hepatotoksisitas obat anti tuberkulosis (OAT)


Obat anti tuberculosis terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid,
dan etambutol/streptomisin, dan tiga obat yang disebut pertama bersifat
hepatotoksik. Faktor-faktor resiko hepatotoksisitas yang pernah dilaporkan
adalah usia lanjut, pasien perempuan, status nutrisi buruk, konsumsi tinggi
alkohol, memiliki dasar penyakit hati, karier hepatitis B, prevalensi hepatitis
viral yang meningkat di negara sedang berkembang, hipoalbuminemia,
tuberculosis lanjut, serta pemakaian obat yang tidak sesuai aturan dan status
asetilatornya. Telah dibuktikan secara meyakinkan adanya keterkaitan
HLADR2 dengan tuberkulosis paru pada berbagai populasi dan keterkaitan
varian gen NRAMP1 dengan kerentanan terhadap tuberkulosis, sedangkan
resiko hepatotoksisitas karena obat anti tuberkulosis berkaitan juga dengan
tidak adanya HLA-DQA1*0102 dan adanya HLA-DQB1*0201 disamping usia
lanjut, albumin serum < 3,5 gram/dl dan tingkat penyakit yang moderat atau
tingkat lanjut berat. Dengan demikian resiko hepatotoksisitas pada pasien
dengan obat anti tuberkulosis dipengaruhi faktor-faktor klinis dan genetik. Pada
pasien TBC dengan hepatitis C atau HIV mempunyai resiko hepatotoksisitas
terhadap obat anti tuberkulosis lima dan empat kali lipat. Sementara pasien
tuberkulosis dengan karier HbsAg-positif dan HbeAgnegatif yang inaktif dapat
diberikan obat standar jangka pendek INH, rifampisin, etambutol dan/atau
pirazinamid dengan syarat pengawasan tes fungsi hati paling tidak dilakukan
setiap bulan. Sekitar 10% pasien tuberkulosis yang mendapatkan isoniazid

18
mengalami kenaikan konsentrasi aminotransferase serum dalam minggu-
minggu pertama terapi yang nampaknya menunjukkan respons adaptif terhadap
metabolit toksik obat. Isoniazid dilanjutkan atau tidak tetap akan terjadi
penurunan konsentrasi aminotransferase sampai batas normal dalam beberapa
minggu. Hanya sekitar 1% yang berkembang menjadi seperti hepatitis viral;
50% kasus terjadi pada 2 bulan pertama dan sisanya baru muncul beberapa
bulan kemudian.16

2.2.8 Tatalaksana
Tatalaksana utama pada pasien dengan DILI adalah pembersihan dari
agen yang merugikan dan perawatan suportif. Beberapa agen, selain dari
acetaminophen (NAC) dan valproate (L-karnitin), memiliki antidote nya.
Penggunaan kortikosteroid dalam DILI pediatrik telah dipublikasikan dalam
kasus progresif cholestasis, dalam transplantasi pasca kelahiran pasien dengan
DILI sekunder amoksisilin / klavulanat, dan pada DILI yang menyerupai
hepatitis autoimun sekunder dari minocycline. Namun, khasiatnya dan
keamanan kortikosteroid untuk sebagian besar bentuk DILI tidak terbukti dan
belum ada uji coba terkontrol telah dilakukan.17,18
Kecuali penggunaan N-acetylcysteine untuk keracunan asetaminofen
(parasetamol), tidak ada antidotum spesifik terhadap setiap obat. Terapi efek
hepatotoksik obat terdiri dari penghentian segera obat-obatan yang dicurigai.
Jika dijumpai reaksi alergi berat dapat diberikan kortikosteroid, meskipun
belum ada bukti penelitian klinis dengan kontrol. Demikian juga penggunaan
ursodiol pada keadaan kolestatik. Pada obat-obatan tertentu seperti amoksisilin,
asam klavulanat dan fenitoin berhubungan dengan sindrom dimana kondisi
pasien memburuk dalam beberapa minggu sesudah pengobatan dihentikan dan
perlu waktu berbulan-bulan untuk pulih seperti sedia kala. Prognosis gagal hati
akut karena reaksi idiosinkratik obat buruk, dengan angka mortalitas lebih dari
80%.19

19
Gambar 2.1 Algoritme penatalaksanaan DILI20

2.2.8.1 Fase intensif Tatalaksana TB


 DILI Ringan: Baik secara klinis dengan ALT tinggi <200 IU / l dan
bilirubin total <40 μmol / l 21
- Lanjutkan obat TB jika TB telah dikonfirmasi atau masih
kemungkinan.
- Lanjutkan ART jika pasien menerima ART
- Ulangi ALT dan bilirubin dalam satu minggu.
- Jika ALT dan bilirubin telah membaik atau dinormalisasi, hentikan
pemantauan laboratorium.
- Jika ALT dan bilirubin tetap meningkat tetapi stabil selama 4
minggu berturut-turut, pertimbangkan penyebab lain yang
tercantum di atas, abdominal sonar dan rujukan untuk pemeriksaan
disfungsi hati lebih lanjut.

20
- Jika ALT dan bilirubin meningkat lebih lanjut dan memenuhi
definisi DILI, kemudian pindahkan ke bagian yang relevan di bawah
ini.
 DILI Sedang: ALT baik secara klinis dan tinggi > 200 IU / l terlepas dari
bilirubin total 21
- Hentikan rejimen TB standar.
- Mulai STR, moxifloxacin (MOX) dan EMB (catatan: STR
merupakan kontraindikasi jika laju filtrasi glomerulus (GFR)
<60 ml / mnt).
- Hentikan profilaksis kotrimoksazol dan obat hepatotoksik
lainnya.
- Hentikan ART. Jika pasien menggunakan rejimen berbasis
NNRTI, hentikan NNRTI pertama dan NRTI setelah 5 - 7 hari.
- Jika pasien menggunakan Regimen berbasis PI, hentikan semua
obat sekaligus.
- Jika pasien telah menggunakan rejimen ART yang stabil
selama> 6 bulan, pertimbangkan untuk melanjutkan terapi,
karena ART kurang mungkin menjadi penyebabnya.
- Ulangi ALT dan bilirubin dalam 2 - 3 (rawat inap) atau 7 hari
(rawat jalan).
- Ketika ALT <100 IU / l dan bilirubin total normal, mulai
diberikan kembali.
- Hari 1: RIF 450 atau 600 mg setiap hari, tergantung berat badan.
- Hari 3: Periksa ALT.
- Hari 4 - 6: Tambahkan 300 mg INH setiap hari.
- Hari 7: Periksa ALT.
- Hari 8: Pertimbangkan resistensi PZA (terutama dalam kasus
meningitis TB atau intoleransi / resistensi terhadap obat lain)
dan periksa ALT pada hari ke 10.
- Setelah ditantang ulang, ikuti panduan pada Tabel 4.

21
- Pantau ALT setiap minggu selama 4 minggu setelah pemberian
ulang.
 DILI Sedang: Ikterus terisolasi (ALT <120 IU / l dan bilirubin total> 40
μmol / l) 21
- Lanjutkan ART.
- Hentikan profilaksis kotrimoksazol jika ALP dan GGT juga
meningkat.
- Stop RIF (RIF kemungkinan besar merupakan penyebab
penyakit kuning yang terisolasi).
- Lanjutkan INH, PZA dan EMB dan tambahkan MOX.
- Ulangi ALT dan bilirubin setelah 7 hari. Jika bilirubin tidak
menetap, kemudian konsultasikan dengan ahlinya.
- Jika bilirubin mengendap, ikuti petunjuk pada Tabel 4.
- Dokter dapat mempertimbangkan RIF dosis penuh yang
diresepkan 2 - 3 minggu setelah menghentikan RIF.
- Ulangi ALT dan bilirubin setelah 7 hari. Jika ALT dan bilirubin
stabil, kemudian hentikan MOX dan lanjutkan dengan RIF
standar, INH, PZA dan EMB selama 2 bulan, diikuti oleh 4
bulan RIF dan INH.
- Jika bilirubin meningkat menjadi> 40 μmol / l, hentikan RIF dan
lanjutkan INH, PZA, EMB dan MOX. Ikuti panduan dalam
Tabel 4.
- Pantau ALT dan bilirubin setiap minggu selama 4 minggu
setelah uji ulang.
- Jika ALT meningkat hingga> 120 IU / l, lakukan USG perut dan
rujuk
- Untuk penyelidikan lebih lanjut. Ikuti panduan di bagian 6.1.1
atau 6.1.2.
 DILI berat: Secara klinis tidak baik (mual, muntah, sakit perut), DILI
definisi (Tabel 2) 21

22
- Rujuk pasien.
- Konsultasikan dengan spesialis penyakit menular atau
pengobatan TB, jika ada.
- Menilai fungsi sintetik hati dengan rasio normalisasi
internasional (INR) dan pantau glukosa darah (hipoglikemia
bisa menyulitkan gagal hati).
- Hentikan pengobatan TB standar, profilaksis kotrimoksazol dan
semua obat hepatotoksik lainnya.
- Jika pasien menggunakan rejimen berbasis NNRTI, hentikan
NNRTI terlebih dahulu dan NRTI setelah 5 - 7 hari. Namun, jika
pasien gagal hati, hentikan semua ART segera.
- Jika pasien menggunakan rejimen berbasis PI, hentikan semua
obat sekaligus.
- Mulai EMB, STR dan MOX (catatan: STR dikontraindikasikan
jika GFR adalah <60 ml / mnt).
- Ulangi ALT dan bilirubin setelah 2 - 3 hari.
- Penantang ulang obat TB ketika ALT <100 IU / l dan bilirubin
normal.
- Hari 1: RIF 450 atau 600 mg setiap hari tergantung berat badan.
- Hari 3: Periksa ALT (harus membaik atau menjadi stabil).
- Hari 4 - 6: Tambahkan 300 mg INH setiap hari.
- Hari 7: Periksa ALT (ALT harus membaik atau menjadi stabil).
- Hentikan STR dan ikuti panduan dalam Tabel 4.
- Pertimbangkan tantangan ulang PZA (terutama dalam kasus
meningitis TB atau intoleransi / resistensi terhadap obat lain).
- Pantau ALT setiap minggu selama 4 minggu setelah uji ulang.

23
 Manajemen jika RIF tidak ditoleransi setelah pemberian obat kembali 21
- Hentikan RIF.
- Periksa ALT setelah 2 - 3 hari.
- Jika ALT <100 IU / l dan bilirubin normal, tambahkan 300 mg
INH setiap hari.
- Periksa ALT setelah 2 - 3 hari.
- Jika ALT stabil, ikuti panduan dalam Tabel 4.
- Jika ALT memburuk, hentikan INH dan lanjutkan pengobatan
dengan berkonsultasi dengan penyakit menular atau spesialis
pengobatan TB.
- Pertimbangkan tantangan PZA di mana RIF belum ditoleransi.
- Pantau ALT setiap minggu selama 4 minggu setelah uji ulang.

 Manajemen jika INH tidak dapat ditoleransi setelah pemberian obat


kembali 21
- Hentikan INH.
- Periksa ALT setelah 2 - 3 hari.
- Lanjutkan RIF, MOX dan EMB total selama 12 bulan.
- Pertimbangkan PZA untuk pemberian kembali dalam
pengaturan ini di mana INH belum ditoleransi.
- Pantau ALT setiap minggu selama 4 minggu setelah uji ulang.

24
BAB III

KESIMPULAN

Kerusakan hati akibat obat (Drug Induced Liver Injury) adalah


kerusakan hati yang berkaitan dengan gangguan fungsi hati yang disebabkan
oleh karena terpajan obat atau agen non-infeksius lainnya. Lebih dari 900 jenis
obat, toksin dan herbal telah dilaporkan dapat mengakibatkan kerusakan pada
selsel hati. Kerusakan hati akibat obat (Drugs Induced Liver Injury) adalah
alasan paling banyak dimana suatu obat dapat ditarik dari peredarannya ataupun
dibatasi di dalam penggunaannya.
Gejala DILI yang sering muncul pada anak berupa ikterus, mual, dan
muntah. Berdasarkan pemeriksaan fisik, sebagian besar mengalami
hepatomegali. Pada pemeriksaan fungsi liver, terjadi peningkatan SGOT/SGPT
dan bilirubin. Gejala DILI paling sering muncul di dua bulan pertama terapi
OAT.
Sebagian besar pasien TB anak mengalami DILI pada fase inisial terapi
atau 2 bulan pertama terapi. Kondisi tersebut dapat dijadikan acuan dalam
memberi OAT pada pasien anak dan pemantauan terhadap respon obat pada
pasien TB anak. Pasien TB anak yang menjalani pengobatan pada tahap awal
perlu mendapat pengawasan ketat untuk mencegah terjadinya efek samping
OAT atau untuk deteksi lebih dini terhadap efek samping yang ditimbulkan
sehingga mencegah komplikasi yang akan terjadi.
Terapi efek hepatotoksik obat terdiri dari penghentian segera obat-
obatan yang dicurigai. Jika dijumpai reaksi alergi berat dapat diberikan
kortikosteroid, meskipun belum ada bukti penelitian klinis dengan kontrol

25
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Global tuberculosis report 2016: World Health


Organization. Geneva: WHO; 2016.
2. World Health Organization. Guidance for National Tuberculosis Programmes
on the Management of Tuberculosis in Children 2014. Geneva: WHO; 2014.
3. Roy B, Chowdhury A, Kundu S, Santra A, Dey B, Chakraborty M, dkk.
Increased risk of antituberculosis drug-induced hepatotoxicity in individuals
with glutathione S-transferase M1 ‘null’mutation. J Gastroenterol Hepatol
2001;16:1033-7.
4. Malani PN. Harrison’s Principles of Internal Medicine. JAMA 2012;308:1813-
4.
5. Baghaei P, Tabarsi P, Chitsaz E, Saleh M, Marjani M, Shemirani S, dkk.
Incidence, clinical and epidemiological risk factors, and outcome of drug-
induced hepatitis due to antituberculous agents in new tuberculosis cases. Am
J Ther 2010;17:17-22.
6. Bruton LL, Lazo JS, Parker KL. Goodman and Gilman’s the pharmacological
basis of therapeutical. New York: McGrawHill; 2006.
7. Tostmann A, Boeree MJ, Aarnoutse RE, De Lange W, Van Der Ven AJAM,
Dekhuijzen R. Antituberculosis drug induced hepatotoxicity: concise up to date
review. J Gastroenterol Hepatol 2008;23:192-202.
8. Rifai A, Herlianto B, Mustika S, Pratomo B, Supriono S. Insiden dan gambaran
klinis hepatitis akibat obat anti tuberkulosis di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Saiful Anwar Malang. J Kedokt Brawijaya 2015;28:238-41.

26
9. Donald PR. Antituberculosis drug-induced hepatotoxicity in children. Pediatric
Reports 2011;3:16.
10. Setiabudy R. Hepatitis Karena Obat. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran 1979; 15:812.
11. Rahajoe, N. N., Basir, D., Makmuri, M. S., & Kartasasmita, C. B. 2007.
Pedoman nasional tuberkulosis anak. Edisi, 2, 3-115.
12. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2014.
13. Squires RH, Shneider BL, Bucuvalas J, et al. Acute liver failure in children: the
first 348 patients in the pediatric acute liver failure study group. J Pediatr 2006;
148:652–658.
14. Dhingra MS. Drug Induced Liver Injury. 2006.
15. Tajiri K and Shimizu Y. Practical Guidelines for Diagnosis and Early
Management of Drug-Induced Liver Injury. World J Gastroenterol
2008;14(44): 6774–6785.
16. Bayupurnama P. Hepatoksisitas Imbas Obat. Dalam Buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi IV. Editor Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk. 2006.
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.
17. Studniarz M, Czubkowski P, Cielecka-Kuszyk J, et al. Amoxicillin/clavulanic
acid-induced cholestatic liver injury after pediatric liver transplantation. Ann
Transplant Q Pol Transplant Soc 2012; 17:128–131.
18. Goldstein NS, Bayati N, Silverman AL, Gordon SC. Minocycline as a cause of
drug-induced autoimmune hepatitis. Report of four cases and comparison with
autoimmune hepatitis. Am J Clin Pathol 2000; 114:591–598.
19. Tajiri K and Shimizu Y. Practical Guidelines for Diagnosis and Early
Management of Drug-Induced Liver Injury. World J Gastroenterol 2008;
14(44): 6774–6785.
20. Chau TN. Drug Induced Liver Injury: An Update. The Hongkong Medical
Diary 2008; 13(3): 2326.

27
21. Jong, E., et al. Consensus statement: management of drug-induced liver injury
in HIV-positive patients treated for TB: guideline. Southern African Journal of
HIV Medicine 14.3 (2013): 113-119.

28

Anda mungkin juga menyukai