Disusun oleh:
Riawanti
030.13.166
Pembimbing:
SEMARANG
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga referat dengan judul
“Tatalaksana OAT pada Drug Induced Liver Injury (DILI)” dapat selesai pada
waktunya.
Referat ini dibuat oleh dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti demi memenuhi tugas dalam menempuh kepaniteraan di bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSUD KRMT WONGSONEGORO. Penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
i
Riawanti
PERSETUJUAN
Referat
Judul :
Tatalaksana OAT pada DILI
Nama: Riawanti
NIM: 030.13.230
Pembimbing,
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB IV DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 25
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
pemberian obat TB menjadi sangat penting, khususnya pada anak. Untuk melakukan
monitoring pada anak diperlukan data epidemiologi, gejala klinis, keparahan, dan
luaran Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil pasien TB anak dengan anti-
tuberculosis drug induced hepatotoxicity yang diharapkan dapat menjadi acuan untuk
mendeteksi secara dini efek samping OAT pada pasien TB anak sehingga dapat
dilakukan intervensi secara cepat dan tepat.9
Salah satu fungsi hati yang penting ialah melindungi tubuh terhadap terjadinya
penumpukan zat berbahaya yang masuk dari luar, misalnya obat. Banyak diantara obat
yang bersifat larut dalam lemak dan tidak mudah diekskresikan oleh ginjal. Untuk itu
maka sistem enzim pada mikrosom hati akan melakukan biotransformasi sedemikian
rupa sehingga terbentuk metabolit yang lebih mudah larut dalam air dan dapat
dikeluarkan melalui urin atau empedu. Dengan faal sedemikian ini, tidak
mengherankan bila hati mempunyai kemungkinan yang cukup besar pula untuk dirusak
oleh obat. Kerusakan hati akibat obat (Drugs Induced Liver Injury) pada umumnya
tidak menimbulkan kerusakan permanen, tetapi kadang-kadang dapat berlangsung
lama dan fatal.10
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis dan Mycobacterium
africanum. Tuberkulosis adalah penyakit menular yang bersifat sistemik dan
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang mayoritas (> 95%)
menyerang paru.2,5
2.1.2 Penularan
Penularan tuberkulosis anak sebagian besar melalui udara sehingga
focus primer berada di paru dengan kelenjar getah bening membengkak serta
jaringan paru mudah terinfeksi kuman tuberkulosis. Selain itu dapat melalui
mulut saat minum susu yang mengandung kuman Mycobacterium bovis dan
melalui luka atau lecet di kulit.2,3
2.1.3 Diagnosis
Banyak orang yang menderita tuberkulosis paru dibanding dengan
tuberkulosis organ yang lain. Hal ini dikarenakan penyebaran melalui udara
yang dihirup mengandung kuman tuberkulosis yang berkembang menjadi
kompleks pimer dan disusul infeks3 Hal ini sangat sering terjadi tetapi gejala
pada umunya tidak khas. Satu-satunya bukti dengan menggunakan uji
tuberculin cara Mantoux dengan ditemukannya basil tuberkulosis. Mayoritas
diagnosis tuberkulosis anak didasarkan pada gambaran klinis, gambaran
3
radiologis dan uji tuberculin. Anak dicurigai menderita tuberkulosis apabila
terdapat keadaan atau gejala sebagai berikut :4
4
dicurigai terkena infeksi tuberkulosis, biasannya ditemukan tuberkel dan basil
tahan asam.
Pemeriksaan mikrobiologi4
Pemeriksaan langsung BTA secara mikroskopis dari dahak.
Pengobatan OAT (Obat Anti Tuberkulosis)4,10
Dilakukan evaluasi tiap bulan, bila dalam 2 bulan terdapat perbaikan
klinis akan menunjang diagnosis tuberkulosis. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
yang biasa digunakan yaitu Isoniazid, Rifampisin, Piranizamid, Etambutol dan
Streptomisin. Efek samping OAT jarang dijumpai pada anak jika dosis dan cara
pemberiannya benar. Efek samping yang biasa muncul yaitu hepatotoksisitas
dengan gejala ikterik, keluhan ini biasa muncul pada fase intensif (awal).
Panduan OAT di Indonesia dibagi menjadi :10
1. Kategori 1 : 2 (HRZE)/4 (HR)3
2. Kategori 2 : 2 (HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Dari kedua kategori ini disediakan panduan obat sisipan (HRZE)
3. Kategori anak : 2HRZ/4HR.
Panduan OAT kategori 1 dan kategori 2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT) sedangkan untuk kategori anak
dalam bentuk OAT kombipak. Paket kombipak terdiri dari obat lepas yang
dikemas dalam satu paket yaitu Isoniazid, Rifampisin, Piranizamid dan
Etambutol. Diagnosis TB anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik
overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak batuk bukan merupakan
gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis
tuberkulosis anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistim skor.10
5
Tabel 2.1 Sistim skor diagnosis tuberkulosis anak11
2.1.4 Tatalaksana
Pengobatan secara umum dilakukan dengan meningkatkan gizi anak
untuk daya tahan tubuh dan istirahat. Hal yang perlu diperhatikan dalam
pemberian obat tuberkulosis pada anak yaitu pemberian obat tahap intensif atau
lanjutan diberikan setiap hari, dosis obat disesuaikan dengan berat badan anak,
6
pengobatan tidak boleh terputus dijalan.11,12
Untuk terapi tuberkulosis terdiri dari dua fase yaitu fase intensif (awal)
dengan panduan 3-5 OAT selama 2 bulan awal dan fase lanjutan dengan
panduan 2 OAT (INH-Rifampisin) hingga 6-12 bulan. Fase intensif (awal)
pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk
mencegah terjadinya resistensi obat, bila pengobatan fase intensif diberikan
secara tepat biasannya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun
waktu 2 minggu, sebagian besar pasien tuberkulosis BTA positif menjadi BTA
negatif (konversi) dalam 2 bulan sedangkan untuk fase lanjutan pasien
mendapat jenis obat lebih sedikit namun dalam jangka waktu yang lebih lama,
tahap ini penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan.11,12
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang biasa digunakan yaitu Isoniazid,
Rifampisin, Piranizamid, Etambutol dan Streptomisin. Terapi OAT untuk
tuberkulosis paru yaitu INH, Rifampisisn, Pirazinamid selama 2 bulan fase
intensif dilanjutkan INH dan Rifampisin hingga 6 bulan terapi (2HRZ-4HR).
Efek samping OAT jarang dijumpai pada anak jika dosis dan cara
pemberiannya benar. Efek samping yang biasa muncul yaitu hepatotoksisitas
dengan gejala ikterik, keluhan ini biasa muncul pada fase intensif (awal).11,12
7
Cara pengobatan INH diberikan selama 6 bulan, Rifampisin selama 6
bulan, Piranizamid selama 2 bulan pertama. Pada kasus-kasus berat dapat
ditambahkan Etambutol selama 2 bulan pertama. Untuk mengurangi angka
drop out dibuat dalam bentuk FCD (Fixed Dose Combination) untuk 2 bulan
pertama digunakan FDC yang berisi Rifampisin/Isoniazid/Piranizamid Dengan
dosis 75mg/50mg/150mg. sedangkan untuk 4 bulan berikutnya digunakan FDC
yang berisi Rifampisin/Isoniazid dengan dosis 75 mg/50mg.11,12
Untuk kategori anak (2RHZ/4RH) , prinsip dasar pengobatan
tuberculosis minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu 6 bulan. OAT
pada anak diberikan setiap hari baik pada fase intensif (awal) maupun fase
lanjutan, dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak. Pada sebagian
besar kasus tuberkulosis anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat.
Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun
pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada tuberkulosis anak merupakan
parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai
perbaikian klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan
8
perubahan yang berarti maka OAT dihentikan.11,12
2.1.5 Pencegahan
Pencegahan tuberkulosis anak dapat dilakukan dengan Imunisasi BCG
(dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi tuberkulosis, perbaikan
lingkungan (dicari sumber penularannya), makanan bergizi (bila anak dengan
gizi kurang akan mudah terinfeksi kuman tuberkulosis, sedangkan anak dengan
gizi baik dapat meningkatkan daya tahan tubuh sehingga anak tersebut tidak
mudah terinfeksi kuman tuberkulosis), kemoprofilaksis ( kemoprofilaksis
primer untuk anak yang belum pernah terinfeksi tuberkulosis dengan tujuan
untuk mencegah anak dengan kontak tuberkulosis dan uji tuberculin negatif
sedangkan kemoprofilaksis sekunder untuk anak yang sudah terinfeksi kuman
tuberkulosis diberikan dengan tujuan mencegah berkembangnya infeksi
menjadi penyakit).12
9
karena sejak lama seseorang tersebut sudah tertular kuman Mycobacterium
tuberculosis yang mengakibatkan kondisi tubuhnya menurun
d. Jenis kelamin6,12
Menurut penelitian Islamiyati cenderung lebih banyak pada anak
perempuan , perbandingannya 1:4 (laki-laki : perempuan) karena pada anak
laki-laki porsi makan lebih besar sehingga cenderung memiliki status gizi lebih
baik yang memungkinkan memiliki pertahanan tubuh lebih baik dalam
melawan penyakit
e. Status imunisasi6,12
Pemberian imunisasi BCG pada bayi dapat memberikan perlindungan
terhadap penyakit tuberkulosis karena dengan imunisasi BCG ini akan
memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis sehingga anak
tersebut tidak mudah terkena penyakit tuberculosis
f. Faktor toksik6,12
Faktor toksik yang dapat mempengaruhi yaitu asap rokok karena asap
rokok dapat menurunkan respon terhadap antigen sehingga benda asing yang
masuk dalam paru tidak langsung bisa dikenali atau dilawan oleh tubuh selain
itu juga dapat menjadi salah satu penyebab anak mudah terkena tuberculosis.
g. Kondisi rumah6,12
Kondisi rumah ikut berpengaruh karena pada kondisi rumah yang buruk
atau tidak layak untuk dihuni akan mempermudah terkena penyakit tuberculosis
h. Kepadatan hunian6,12
Merupakan proses penularan penyakit karena jika semakin padat maka
perpindahan penyakit (khusus penyakit menular) melalui udara akan semakin
mudah dan cepat, apalagi jika dalam satu rumah terdapat anggota keluarga yang
terkena tuberculosis.
2.2.1 Definisi
10
Kerusakan hati akibat obat (Drug Induced Liver Injury) adalah
kerusakan hati yang berkaitan dengan gangguan fungsi hati yang disebabkan
oleh karena terpajan obat atau agen non-infeksius lainnya. FDA-CDER (2001)
mendefinisikan kerusakan hati sebagai peningkatan level alanine
aminotransferase (ALT/SGPT) lebih dari tiga kali dari batas atas nilai normal,
dan peningkatan level alkaline phosphatase (ALP) lebih dari dua kali dari batas
atas nilai normal, atau peningkatan level total bilirubine (TBL) lebih dari dua
kali dari batas atas nilai normal jika berkaitan dengan peningkatan alanine
aminotransferase atau alkaline phosphatase.14
2.2.2 Epidemiologi
Insiden DILI pada populasi anak adalah tidak dapat diketahui. Banyak
kasus tidak dilaporkan, dan lebih banyak kemungkinan subklinis. Pada orang
dewasa, di mana insidensinya lebih banyak dipelajari, DILI terjadi pada sekitar
14 kasus per 100.000 orang setiap tahun. Namun, kejadian pediatric
kemungkinan lebih rendah karena anak-anak mengkonsumsi lebih sedikit obat-
obatan, lebih kecil kemungkinan untuk menyalahgunakan alkohol atau
merokok (dua faktor yang mengubah metabolisme obat), serta proses
metabolisme obat-obatan yang berbeda, yang dapat memberikan perlindungan
terhadap hepar. Kasus DILI parah pada anak-anak untuk sekitar 19% dari
semua kasus pediatrik akut yang mengalami gagal hati. DILI dari toksisitas
asetaminofen sekitar 14% dari kasus, dan DILI dari obat-obatan selain dari
akun acetaminophen sekitar 5% dari kasus sisanya.13
11
Tabel 2.3 Obat-obat yang telah dilaporkan dapat menyebabkan Drug Induced
Liver Injury13
12
hepatik ini melibatkan jalur oksidatif utamanya melalui sistem enzim sitokrom
P-450.10,14
13
diketahui saat ini mengenai peran sistem detoksifikasi pada metabolism zat
endogen. 10,14
Mekanisme Hepatotoksisitas
Mekanisme jejas hati karena obat yang mempengaruhi protein transport
pada membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit
karena asam empedu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati
karena gangguan transport pada kanalikuli yang menghasilkan translokasi Fas
sitoplasmik ke membran plasma, dimana reseptor-reseptor ini mengalami
pengelompokan sendiri dan memacu kematian sel melalui apoptosis.
Disamping itu, banyak reaksi hepatoseluler melibatkan sistem sitokrom P-450
yang mengandung heme dan menghasilkan reaksi-reaksi energi tinggi yang
dapat membuat ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga menghasilkan
ikatan baru yang tidak punya peran Kompleks enzim-obat ini bermigrasi ke
permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk berperan sebagai imunogen-
imunogen sasaran serangan sitolitik sel T, merangsang respons imun multifaset
yang melibatkan sel-sel sitotoksik dan berbagai sitokin. Obat-obat tertentu
menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan
enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-metabolit toksis yang dikeluarkan
dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu. 10,14
14
untuk pengobatan. Contohnya ialah karbon tetraklorid dan kloroform.
Hepatotoksin yang predictable yang merusak secara tidak langsung masih
banyak yang dipakai misalnya parasetamol, tetrasiklin, metotreksat, etanol,
steroid kontrasepsi dan rifampisin. Tetrasiklin, etanol dan metotreksat
menimbulkan steatosis yaitu degenerasi lemak pada sel hati. Parasetamol
menimbul kan nekrosis, sedangkan steroid kontrasepsi dan steroid yang
mengalami alkilasi pada atom C--17 menimbulkan ikterus akibat terhambatnya
pengeluaran empedu. Rifampisin dapat pula menimbulkan icterus karena
mempengaruhi konjugasi dan transpor bilirubin dalam hati.
2. Unpredictable Drug Reactions/Idiosyncratic drug reactions: kerusakan hati
yang timbul disini bukan disebabkan karena toksisitas intrinsik dari obat, tetapi
karena adanya reaksi idiosinkrasi yang hanya terjadi pada orang-orang tertentu.
Ciri dari kelainan yang bersifat idiosinkrasi ini ialah timbulnya tidak dapat
diramalkan dan biasanya hanya terjadi pada sejumlah kecil orang yang rentan.
Menurut sebab terjadinya, reaksi yang berdasarkan idiosinkrasi ini dapat
dibedakan dalam dua golongan yaitu karena reaksi hipersensitivitas dan karena
kelainan metabolisme.
Reaksi Hipersensitivitas
Biasanya terjadi setelah satu sampai lima minggu dimana terjadi proses
sensitisasi. Biasanya dijumpai tanda-tanda sistemik berupa demam, ruam kulit,
eosinofilia dan kelainan histologik berupa peradangan granulomatosa atau
eosinofilik pada hati. Dengan memberikan satu atau dua challenge dose, gejala-
gejala di atas biasanya segera timbul lagi. 10,14
Reaksi idiosinkrasi karena kelainan metabolisme (Metabolicidiosyncratic)
Mempunyai masa laten yang sangat bervariasi yaitu antara satu minggu
sampai lebih dari satu tahun. Biasanya tidak disertai demam, ruam kulit,
eosinofilia maupun kelainan histopatologik yang spesifik seperti di atas.
Dengan memberikan satu atau dua challenge dose kelainan ini tidak dapat
diinduksi untuk timbul lagi ; untuk ini obat perlu diberikan lagi selama beberapa
15
hari sampai beberapa minggu. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan waktu
yang cukup lama agar penumpukan metabolit10,14
1. Tipe Hepatoseluler/Parenkimal
Tipe hepatoseluler didefinisikan sebagai peningkatan alanine
aminotranferase (ALT) > 2 kali batas atas nilai normal (ULN=upper Limit of
Normal) atau R M 5, dimana R adalah rasio aktivitas serum ALT/aktivitas
alkaline phosphatase (ALP), yang keduanya terjadi peningkatan terhadap batas
atas nilai normal. Kerusakan hati lebih berat terjadi pada tipe hepatoseluler
daripada tipe kolestasis atau campuran, dan pasien dengan peningkatan
bilirubin level pada kerusakan hati hepatoseluler mengindikasikan kerusakan
16
hati yang serius dengan tingkat kematian yang tinggi. Tipe ini ditemukan rata-
rata 0,7 sampai 1,3 dari 100.000 individu yang menerima pemberian obat.
2. Tipe Kolestasis
Tipe kolestasis didefinisikan sebagai peningkatan ALP > 2 kali ULN
3. Tipe Campuran
Tipe campuran didefinisikan sebagai peningkatan ALT > 2 kali ULN
dan 2<R<5. Pasien dengan tipe kolestasis atau campuran lebih sering
berkembang menjadi penyakit kronik daripada tipe hepatoseluler Drug-Induced
Liver Injury )etwork (DILIN) mengembangkan system penilaian untuk
menentukan derajat berat Drug-Induced Liver Injury berdasarkan gejala,
ikterik, membutuhkan perawatan rumah sakit, tanda-tanda gagal hati dan
kematian atau membutuhkan transplantasi hati.
2.2.6 Diagnosis
17
Penilaian DILI awal juga harus mencakup serum albumin dan parameter
koagulasi. Nilai INR tinggi, yang menunjukkan kegagalan hati yang akan
datang, harus segera rujukan ke transplantasi hati. Biokimia hati harus diuji
secara rutin pasien dengan DILI sampai normalisasi lengkap. Penurunan
mantap aminotransferases mendukung diagnosis, sedangkan resolusi lambat
atau tidak lengkap dari kelainan biokimia. Selain itu, aminotransferase terus
meningkat dapat menunjukkan hasil kronis.14,15
18
mengalami kenaikan konsentrasi aminotransferase serum dalam minggu-
minggu pertama terapi yang nampaknya menunjukkan respons adaptif terhadap
metabolit toksik obat. Isoniazid dilanjutkan atau tidak tetap akan terjadi
penurunan konsentrasi aminotransferase sampai batas normal dalam beberapa
minggu. Hanya sekitar 1% yang berkembang menjadi seperti hepatitis viral;
50% kasus terjadi pada 2 bulan pertama dan sisanya baru muncul beberapa
bulan kemudian.16
2.2.8 Tatalaksana
Tatalaksana utama pada pasien dengan DILI adalah pembersihan dari
agen yang merugikan dan perawatan suportif. Beberapa agen, selain dari
acetaminophen (NAC) dan valproate (L-karnitin), memiliki antidote nya.
Penggunaan kortikosteroid dalam DILI pediatrik telah dipublikasikan dalam
kasus progresif cholestasis, dalam transplantasi pasca kelahiran pasien dengan
DILI sekunder amoksisilin / klavulanat, dan pada DILI yang menyerupai
hepatitis autoimun sekunder dari minocycline. Namun, khasiatnya dan
keamanan kortikosteroid untuk sebagian besar bentuk DILI tidak terbukti dan
belum ada uji coba terkontrol telah dilakukan.17,18
Kecuali penggunaan N-acetylcysteine untuk keracunan asetaminofen
(parasetamol), tidak ada antidotum spesifik terhadap setiap obat. Terapi efek
hepatotoksik obat terdiri dari penghentian segera obat-obatan yang dicurigai.
Jika dijumpai reaksi alergi berat dapat diberikan kortikosteroid, meskipun
belum ada bukti penelitian klinis dengan kontrol. Demikian juga penggunaan
ursodiol pada keadaan kolestatik. Pada obat-obatan tertentu seperti amoksisilin,
asam klavulanat dan fenitoin berhubungan dengan sindrom dimana kondisi
pasien memburuk dalam beberapa minggu sesudah pengobatan dihentikan dan
perlu waktu berbulan-bulan untuk pulih seperti sedia kala. Prognosis gagal hati
akut karena reaksi idiosinkratik obat buruk, dengan angka mortalitas lebih dari
80%.19
19
Gambar 2.1 Algoritme penatalaksanaan DILI20
20
- Jika ALT dan bilirubin meningkat lebih lanjut dan memenuhi
definisi DILI, kemudian pindahkan ke bagian yang relevan di bawah
ini.
DILI Sedang: ALT baik secara klinis dan tinggi > 200 IU / l terlepas dari
bilirubin total 21
- Hentikan rejimen TB standar.
- Mulai STR, moxifloxacin (MOX) dan EMB (catatan: STR
merupakan kontraindikasi jika laju filtrasi glomerulus (GFR)
<60 ml / mnt).
- Hentikan profilaksis kotrimoksazol dan obat hepatotoksik
lainnya.
- Hentikan ART. Jika pasien menggunakan rejimen berbasis
NNRTI, hentikan NNRTI pertama dan NRTI setelah 5 - 7 hari.
- Jika pasien menggunakan Regimen berbasis PI, hentikan semua
obat sekaligus.
- Jika pasien telah menggunakan rejimen ART yang stabil
selama> 6 bulan, pertimbangkan untuk melanjutkan terapi,
karena ART kurang mungkin menjadi penyebabnya.
- Ulangi ALT dan bilirubin dalam 2 - 3 (rawat inap) atau 7 hari
(rawat jalan).
- Ketika ALT <100 IU / l dan bilirubin total normal, mulai
diberikan kembali.
- Hari 1: RIF 450 atau 600 mg setiap hari, tergantung berat badan.
- Hari 3: Periksa ALT.
- Hari 4 - 6: Tambahkan 300 mg INH setiap hari.
- Hari 7: Periksa ALT.
- Hari 8: Pertimbangkan resistensi PZA (terutama dalam kasus
meningitis TB atau intoleransi / resistensi terhadap obat lain)
dan periksa ALT pada hari ke 10.
- Setelah ditantang ulang, ikuti panduan pada Tabel 4.
21
- Pantau ALT setiap minggu selama 4 minggu setelah pemberian
ulang.
DILI Sedang: Ikterus terisolasi (ALT <120 IU / l dan bilirubin total> 40
μmol / l) 21
- Lanjutkan ART.
- Hentikan profilaksis kotrimoksazol jika ALP dan GGT juga
meningkat.
- Stop RIF (RIF kemungkinan besar merupakan penyebab
penyakit kuning yang terisolasi).
- Lanjutkan INH, PZA dan EMB dan tambahkan MOX.
- Ulangi ALT dan bilirubin setelah 7 hari. Jika bilirubin tidak
menetap, kemudian konsultasikan dengan ahlinya.
- Jika bilirubin mengendap, ikuti petunjuk pada Tabel 4.
- Dokter dapat mempertimbangkan RIF dosis penuh yang
diresepkan 2 - 3 minggu setelah menghentikan RIF.
- Ulangi ALT dan bilirubin setelah 7 hari. Jika ALT dan bilirubin
stabil, kemudian hentikan MOX dan lanjutkan dengan RIF
standar, INH, PZA dan EMB selama 2 bulan, diikuti oleh 4
bulan RIF dan INH.
- Jika bilirubin meningkat menjadi> 40 μmol / l, hentikan RIF dan
lanjutkan INH, PZA, EMB dan MOX. Ikuti panduan dalam
Tabel 4.
- Pantau ALT dan bilirubin setiap minggu selama 4 minggu
setelah uji ulang.
- Jika ALT meningkat hingga> 120 IU / l, lakukan USG perut dan
rujuk
- Untuk penyelidikan lebih lanjut. Ikuti panduan di bagian 6.1.1
atau 6.1.2.
DILI berat: Secara klinis tidak baik (mual, muntah, sakit perut), DILI
definisi (Tabel 2) 21
22
- Rujuk pasien.
- Konsultasikan dengan spesialis penyakit menular atau
pengobatan TB, jika ada.
- Menilai fungsi sintetik hati dengan rasio normalisasi
internasional (INR) dan pantau glukosa darah (hipoglikemia
bisa menyulitkan gagal hati).
- Hentikan pengobatan TB standar, profilaksis kotrimoksazol dan
semua obat hepatotoksik lainnya.
- Jika pasien menggunakan rejimen berbasis NNRTI, hentikan
NNRTI terlebih dahulu dan NRTI setelah 5 - 7 hari. Namun, jika
pasien gagal hati, hentikan semua ART segera.
- Jika pasien menggunakan rejimen berbasis PI, hentikan semua
obat sekaligus.
- Mulai EMB, STR dan MOX (catatan: STR dikontraindikasikan
jika GFR adalah <60 ml / mnt).
- Ulangi ALT dan bilirubin setelah 2 - 3 hari.
- Penantang ulang obat TB ketika ALT <100 IU / l dan bilirubin
normal.
- Hari 1: RIF 450 atau 600 mg setiap hari tergantung berat badan.
- Hari 3: Periksa ALT (harus membaik atau menjadi stabil).
- Hari 4 - 6: Tambahkan 300 mg INH setiap hari.
- Hari 7: Periksa ALT (ALT harus membaik atau menjadi stabil).
- Hentikan STR dan ikuti panduan dalam Tabel 4.
- Pertimbangkan tantangan ulang PZA (terutama dalam kasus
meningitis TB atau intoleransi / resistensi terhadap obat lain).
- Pantau ALT setiap minggu selama 4 minggu setelah uji ulang.
23
Manajemen jika RIF tidak ditoleransi setelah pemberian obat kembali 21
- Hentikan RIF.
- Periksa ALT setelah 2 - 3 hari.
- Jika ALT <100 IU / l dan bilirubin normal, tambahkan 300 mg
INH setiap hari.
- Periksa ALT setelah 2 - 3 hari.
- Jika ALT stabil, ikuti panduan dalam Tabel 4.
- Jika ALT memburuk, hentikan INH dan lanjutkan pengobatan
dengan berkonsultasi dengan penyakit menular atau spesialis
pengobatan TB.
- Pertimbangkan tantangan PZA di mana RIF belum ditoleransi.
- Pantau ALT setiap minggu selama 4 minggu setelah uji ulang.
24
BAB III
KESIMPULAN
25
DAFTAR PUSTAKA
26
9. Donald PR. Antituberculosis drug-induced hepatotoxicity in children. Pediatric
Reports 2011;3:16.
10. Setiabudy R. Hepatitis Karena Obat. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran 1979; 15:812.
11. Rahajoe, N. N., Basir, D., Makmuri, M. S., & Kartasasmita, C. B. 2007.
Pedoman nasional tuberkulosis anak. Edisi, 2, 3-115.
12. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2014.
13. Squires RH, Shneider BL, Bucuvalas J, et al. Acute liver failure in children: the
first 348 patients in the pediatric acute liver failure study group. J Pediatr 2006;
148:652–658.
14. Dhingra MS. Drug Induced Liver Injury. 2006.
15. Tajiri K and Shimizu Y. Practical Guidelines for Diagnosis and Early
Management of Drug-Induced Liver Injury. World J Gastroenterol
2008;14(44): 6774–6785.
16. Bayupurnama P. Hepatoksisitas Imbas Obat. Dalam Buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi IV. Editor Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk. 2006.
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.
17. Studniarz M, Czubkowski P, Cielecka-Kuszyk J, et al. Amoxicillin/clavulanic
acid-induced cholestatic liver injury after pediatric liver transplantation. Ann
Transplant Q Pol Transplant Soc 2012; 17:128–131.
18. Goldstein NS, Bayati N, Silverman AL, Gordon SC. Minocycline as a cause of
drug-induced autoimmune hepatitis. Report of four cases and comparison with
autoimmune hepatitis. Am J Clin Pathol 2000; 114:591–598.
19. Tajiri K and Shimizu Y. Practical Guidelines for Diagnosis and Early
Management of Drug-Induced Liver Injury. World J Gastroenterol 2008;
14(44): 6774–6785.
20. Chau TN. Drug Induced Liver Injury: An Update. The Hongkong Medical
Diary 2008; 13(3): 2326.
27
21. Jong, E., et al. Consensus statement: management of drug-induced liver injury
in HIV-positive patients treated for TB: guideline. Southern African Journal of
HIV Medicine 14.3 (2013): 113-119.
28