Demam Tifoid
OLEH :
dr. Ni Ketut Putri Angga Dewi
1. IDENTITAS
Nama : An. AF
Usia : 2 tahun 8 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Sekarbela
Suku : Sasak
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Pendidikan :-
Pekerjaan :-
2. SUBYEKTIF
2.1.Keluhan Utama
Demam sejak 6 hari yang lalu
2.2.Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan demam sejak 6 hari yang lalu. Demam
naik turun, naik ketika malam hari. Sudah sempat berobat namun keluhan tidak
membaik. Keluhan lain adalah mencret sejak 3 hari yang lalu. Frekuensi mencret 6x
dalam sehari, ampas (+), lender (+), darah (-). Pasien juga mengeluh nyeri perut,
muntah setiap kali makan. BAK lancar, batuk (-), pilek (-).
2.3.Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menyangkal memiliki riwayat keluhan serupa sebelumnya.
2.4.Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluhan serupa yang dialami oleh keluarga pasien.
2.5.Riwayat Pengobatan
Pasien sudah minum obat paracetamol dari dokter.
1
2.6.Riwayat kehamilan dan Kelahiran
A. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Pasien dikandung cukup bulan dan sesuai masa kehamilan. Ibu pasien memeriksakan
kehamilannya secara teratur selama hamil. Ibu pasien tidak memiliki keluhan yang
berarti. Pasien dilahirkan di klinik di Bantu oleh dokter. Lahir spontan, langsung
menangis, pergerakan aktif dan tidak ada cacat fisik maupun trauma lahir. Berat badan
lahir 3600 gr, panjang badan lahir 51 cm.
Kesan: Riwayat kehamilan dan persalinan baik.
2
D. Riwayat Makanan
0 - 3 bulan : ASI, > 3x sehari, pasien minum ASI sampai tertidur dan
bergantian pada kedua payudara.
3 - 12 bulan : ASI diganti oleh susu soya 3 kali sehari.
12 - 24 bulan : Susu sapi kaleng. Makanan lunak, bubur nasi, hati ayam, sayuran,
telur, 3 piring sehari. Sekali - kali pasien diberikan buah – buahan seperti pepaya dan
pisang sekali sehari.
24 - sekarang : Makan biasa nasi padat dengan lauk ikan/daging dan sayuran, 3 kali
sehari, teratur, buah-buahan sekali sehari. Susu kaleng atau kemasan.
Diare - Darah -
Otitis - Difteri -
Tuberkulosis + Parotitis -
Kejang - Demam berdarah -
Jantung - Operasi -
Cacingan - Kecelakaan -
1 23-09-2004 ♀ + - - - -
2 22-01-2006 ♂ + - - - -
G. Data Keluarga
Ayah Ibu
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 30 25
Keadaan kesehatan baik Baik
3. PEMERIKSAAN FISIK
3.1. Status Generalis
Keadaan umum : tampak lemas
3
Kesadaran : compos mentis
3.2.Tanda Vital
Nadi : 133 x/menit, regular, kuat angkat (posisi baring)
Frekuensi Nafas : 28 x/menit, regular, tipe torakoabdominal
Suhu aksiler : 37,8ºC
SpO2 : 98% tanpa O2
3.3. Pertumbuhan
Berat badan : 12 Kg
Tinggi Badan : 85 cm
3.4. Pemeriksaan Fisik Umum
Kepala dan leher
- Kepala : Ekspresi wajah normal, bentuk dan ukuran normal, rambut normal,
edema (-), Parese N. VII (-), Nyeri tekan kepala (-), Massa (-).
- Mata :konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-), reaksi cahaya pupil
(+/+) isokor, exoptalmus (-/-), nistagmus (-/-), strabismus (-/-), ptosis
(-/-), edema palpebra (-/-), kornea dan lensa normal, pergerakan bola
mata ke segala arah normal, nyeri tekan periorbita (-).
- Telinga : simetris, otorrhea (-/-), nyeri tekan (-/-), pendengaran kesan normal.
- Hidung :deformitas(-),rhinorrhea (-), perdarahan(-), deviasi septum(-),
mukosa normal, hiperemis (-).
- Mulut :
Bibir :sianosis (-), stomatitis angularis (-), pursed lips breathing (-)
Gusi :hiperemia (-), perdarahan (-)
Lidah :glositis (-), atropi papil lidah (-), lidah berselaput (-),
kemerahan di pinggir (-), tremor (-), lidah kotor (-)
Gigi :karang gigi (-)
Mukosa :normal
- Leher :deviasi trakea (-), kaku kuduk (-), pembesaran kel. tiroid (-), massa
(-), pembesaran KGB (-), otot SCM tidak aktif maupun hipertrofi,
JVP 5+2 (tidak meningkat)
Thoraks
1. Inspeksi
Bentuk dada normal, ukuran dada simetris kiri dan kanan
4
Pergerakan dinding dada simetris antara kiri dan kanan
Permukaan dada : skar (-), petechiae (-), purpura (-), spider naevi (-), vena
kolateral (-), massa (-), ginekomasti (-), iktus kordis tidak tampak
Penggunaan otot bantu nafas : otot SCM aktif (-), hipertrofi SCM (-), otot
bantu abdomen aktif (-)
Fossa jugularis: tidak tampak adanya deviasi trakea
Fossa supraclavicularis dan infraclavicularis simetris antara kiri dan kanan
Tulang iga dan sela iga : simetris kiri dan kanan, pelebaran sela iga (-)
Tipe pernapasan : torakal
2. Palpasi
Pergerakan dinding dada simetris antara kiri dan kanan
Posisi mediastinum : deviasi trakea (-), iktus kordis teraba di ICS V linea
midklavikula sinistra
Nyeri tekan (-), massa (-), edema (-), krepitasi (-)
Fremitus vocal
Kanan Kiri
Normal Normal
Normal Normal
Normal Normal
3. Perkusi
- Densitas
Kanan Kiri
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
- Batas paru-hepar
- Inspirasi : ICS VI
Ekskursi 2 ICS
- Ekspirasi : ICS IV
- Batas paru-jantung
- Kanan : ICS IV linea parasternalis dekstra
- Kiri : ICS V axillaris anterior
4. Auskultasi
5
Cor : S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :
o Suara napas
Lapang Paru Depan
Kanan Kiri
Vesikular Vesikular
Vesikular Vesikular
Vesikular Vesikular
- -
- -
- -
- -
6
- -
- -
- -
- -
Abdomen
1. Inspeksi:
Distensi (-), darm countuor (-), darm steifung (-)
Umbilicus: masuk merata
Permukaan kulit: tanda-tanda inflamasi (-), sianosis (-), venektasi (-),
ikterik (-), massa (-), vena kolateral (-), caput meducae (-), papula (-),
petekie (-), purpura (-), ekimosis (-).
2. Auskultasi:
Bising usus (+) meningkat, frekuensi 15 x/menit
Metallic sound (-)
Bising aorta (-)
3. Perkusi:
Orientasi
Timpani Timpani Timpani
7
Turgor kulit kembali cepat
Ekstremitas
Akral hangat : + + Sianosis : - -
+ + - -
Deformitas : - - Tremor : - -
- - - -
Pergerakan sendi : normal
Capillary Refill Time < 2 detik
4. RESUME
Pasien anak perempuan usia 2 tahun 8 bulan Pasien datang ke IGD dengan
keluhan demam sejak 6 hari yang lalu. Demam naik turun, naik ketika malam hari.
Sudah sempat berobat namun keluhan tidak membaik. Keluhan lain adalah mencret
sejak 3 hari yang lalu. Frekuensi mencret 6x dalam sehari, ampas (+), lender (+),
darah (-). Pasien juga mengeluh nyeri perut, muntah setiap kali makan. BAK lancar,
batuk (-), pilek (-).
Dari pemeriksaan fisik didapatkan KU tampak lemas, GCS compos mentis. Nadi
133 x/menit, pernapasan 28 x/menit, suhu aksila 37,80C, region abdomen bising usus
meningkat, nyeri tekan region epigastrium.
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
5.1.Pemeriksaan Darah Lengkap
8
HCT 48 35,0 – 47,0 %
MCV 87,2 80,0 – 96,0 fl
MCH 29,6 26,0 – 32,0 pg
MCHC 34,0 32,0 – 36,0 g/dL
WBC 12,01 4,5–11,5 x 103 /µL
Eosinophil 0,4 1,0 – 3,0 %
Basofil 0,2 0 – 2,0 %
Neutrophil 89 50 – 70 %
Limfosit 12,4 18 – 42 %
Monosit 8,5 2,0 – 11,0 %
PLT 314 150– 450 x 103 /µL
5.2.Pemeriksaan lainnya
Kimia klinik
6. DIAGNOSIS
- Demam Tifoid
7. PROGNOSIS
Dubia ad bonam
9
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Demam Tifoid
1.1. Definisi
Demam tifoid (Tifus abdominalis, Enterik fever, Eberth disease) adalah
penyakit infeksi akut pada usus halus (terutama didaerah illeosekal) dengan gejala
demam selama 7 hari atau lebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan
kesadaran.
Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan, ditopang dengan
bakteriemia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri
sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar
limfe usus, dan Peyer’s patch.1
1.2. Epidemiologi
Insiden, cara penyebaran dan konsekuensi demam enterik sangat berbeda di
negara maju dan yang sedang berkembang. Insiden sangat menurun di negara maju.
Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia. 96% kasus demam tifoid
disebabkan oleh Salmonella typhi, sisanya disebabkan oleh Salmonella paratyphi.
Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian
meningkat setelah umur 5 tahun.2 Sebagian besar dari penderita (80%) yang dirawat
di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM berumur di atas lima tahun.5
10
sekitar 600.000 – 1,5 juta kasus setiap tahunnya. Diantara penyakit yang tergolong
penyakit infeksi usus, demam tifoid menduduki urutan kedua setelah gastroenteritis.
Di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM sejak tahun 1992 – 1996 tercatat 550 kasus
demam tifoid yang dirawat dengan angka kematian antara 2,63 – 5,13%.6
1.3. Etiologi
Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella
typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella paratyphi C.
Jika penyebabnya adalah Salmonella paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding
dengan yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Pada minggu pertama sakit, demam
tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya. Untuk memastikan
diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.8
Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus
Salmonella. Kuman Salmonella typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak berspora,
motile, berflagela, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 370C (150C-
410C), bersifat fakultatif anaerob, dan hidup subur pada media yang mengandung
empedu. Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,40C selama satu jam dan 600C
selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan dalam jangka lama. Salmonella
mempunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa, namun tidak
terhadap laktosa atau sukrosa.9
Salmonella typhi dapat bertahan hidup lama di lingkungan kering dan beku,
peka terhadap proses klorinasi dan pasteurisasi pada suhu 63 0C. Organisme ini juga
dapat bertahan hidup beberapa minggu dalam air, es, debu, sampah kering, pakaian,
mampu bertahan disampah mentah selama 1 minggu, dan dapat bertahan serta
berkembang biak dalam susu, daging, telur, atau produknya tanpa merubah warna dan
bentuknya. Manusia merupakan satu-satunya sumber penularan alami Salmonella
typhi melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan seorang penderita
demam tifoid atau karier kronis.3
Bakteri ini berasal dari feses manusia yang sedang menderita demam tifoid
atau karier Salmonella typhi. Mungkin tidak ada orang Indonesia yang tidak pernah
menelan bakteri ini. Bila hanya sedikit tertelan, biasanya orang tidak menderita
11
demam tifoid. Namun bakteri yang sedikit demi sedikit masuk ke tubuh menimbulkan
suatu reaksi serologi Widal yang positif dan bermakna.10
Salmonella typhi sekurang-kurangnya mempunyai tiga macam antigen, yaitu:
Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam
antigen tersebut. Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi
juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap
multiple antibiotik.1
Dosis infeksius S. enterica serotipe typhi pada pasien bervariasi dari 1000
hingga 1 juta organisme. Strain Vi negatif dari Salmonella enterica serotipe typhi ini
kurang infeksius dan kurang virulen dibandingkan strain Vi positif. Untuk dapat
mencapai usus halus biasanya Salmonella typhi ini harus dapat bertahan melalui
sawar asam lambung dan kemudian melekat pada sel mukosa serta melakukan invasi.
Sel M sebagai sel epitel khusus yang melapisi sepanjang lapisan Peyer ini merupakan
tempat potensial Salmonella typhi untuk invasi dan sebagai transpor menuju jaringan
limfoid. Pasca penetrasi, bakteri ini menuju ke dalam folikel limfoid intestinal dan
nodus limfe mesenterik dan kemudian masuk dalam sel retikuloendotelial dalam hati
dan limpa. Pada keadaan ini terdapat perubahan degeneratif, proliferatif, dan
granulomatosa pada villi, kelenjar kript, lamina propria usus halus, dan kelenjar limfe
mesenterica.6
12
Organisme Salmonella typhi mampu bertahan hidup dan bermultiplikasi
dalam fagosit mononuklear folikel limfoid, hati, dan limpa. Faktor penting proses ini
mencakup jumlah bakteri, tingkat, tingkat virulensi dan respon tubuh. Bakteri ini
kemudian dilepaskan dari habitat intraseluler masuk aliran darah. Masa inkubasi ini
berkisar 7-14 hari. Pada fase bakteriemi, bakteri akan menyebar dan tempat infeksi
sekunder paling sering ialah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan
lapisan Peyer ileum terminal. Invasi kandung empedu terjadi langsung dari asam
empedu. Jumlah bakteri pada fase akut diperkirakan 1 bakteri /ml darah (sekitar 66 %
dalam sel fagositik) dan sekitar 10 bakteri /ml sumsum tulang. Walaupun Salmonella
typhi menghasilkan endotoksin namun angka mortalitas stadium ini < 1 %. Studi
menunjukkan peningkatan kadar proinflamasi dan sitokin anti inflamasi dalam
sirkulasi pasien tifoid.1
1.4. Patofisiologi
Huckstep membagi patologi dalam plaque Peyeri dalam empat fase. Keempat
fase ini akan terjadi secara berurutan bila tidak segera diberikan antibiotik yaitu :
Fase 1 : hiperplasia folikel limfoid
Fase 2 : nekrosis folikel limfoid selama seminggu kedua melibatkan mukosa dan
submukosa
Fase 3 : ulserasi pada aksis panjang bowel dengan kemungkinan perforasi dan
pendarahan
Fase 4 : penyembuhan terjadi pada minggu keempat dan tidak menyebabkan
terbentuknya struktur seperti pada tuberkulosis bowel.11
Ileum merupakan lokasi patologi tifoid klasik, tetapi folikel limfoid pada
bagian traktus gastrointestinal lainnya juga dapat terlibat seperti yeyunum dan kolon
ascending. Ileum biasanya mengandung plaque Peyeri lebih banyak dan luas
dibandingkan yeyunum. Jumlah folikel limfoid akan berkurang seiring dengan
pertambahan usia.11
Beberapa faktor yang ikut berperan penting dalam patofisiologi demam tifoid
berdasarkan penelitian terbaru ialah :
b. lima gen virulensi (A< B< C< D< dan E) of Salmonella spp yang mengkode
Sips (Salmonella Invasion Proteins).
13
c. Reseptor Toll R2 and Toll R4 dijumpai pada permukaan makrofag yang
berperan penting dalam signalisasi yang diperantarai LPS dalam makrofag
e. Peranan fundamental sel endotelial pada deviasi inflamasi dari aliran darah
menuju jaringan yang terinfeksi bakteri.12
Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki
mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh berusaha
menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh
kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan
merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan asam lemak rantai pendek yang
akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman berhasil mengatasi mekanisme
pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan melekat pada permukaan usus.
Setelah menembus epitel usus, kuman akan masuk ke dalam kripti lamina propria,
berkembang biak dan selanjutnya akan difagositosis oleh monosit dan makrofag.
Namun demikian Salmonella typhi dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam
fagosit karena adanya perlindungan oleh kapsul kuman. Melalui plak peyeri pada
ileum distal bakteri masuk ke dalam KGB mesenterium dan mencapai aliran darah
melalui duktus torasikus menyebabkan bakteriemia pertama yg asimptomatis.9
14
Kemudian kuman akan masuk kedalam organ–organ system retikuloendotelial
(RES) terutama di hepar dan limpa sehingga organ tersebut akan membesar disertai
nyeri pada perabaan. Dari sini kuman akan masuk ke dalam peredaran darah,
sehingga terjadi bakteriemia kedua yang simptomatis (menimbulkan gejala klinis).
Disamping itu kuman yang ada didalam hepar akan masuk ke dalam kandung empedu
dan berkembang biak disana, lalu kuman tersebut bersama dengan asam empedu
dikeluarkan dan masuk ke dalam usus halus. Kemudian kuman akan menginvasi
epitel usus kembali dan menimbulkan tukak yang berbentuk lojong pada mukosa
diatas plaque peyeri. Tukak tersebut dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan dan
perforasi usus yang menimbulkan gejala peritonitis.1
Pada masa bakteriemia kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan
kimianya sama dengan somatic antigen (lipopolisakarida). Endotoksin sangat
berperan membantu proses radang lokal dimana kuman ini berkembang biak yaitu
merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang
meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat
termoregulator di hypothalamus yang mengakibatkan terjadinya demam.1 Sedangkan
gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus.5
Akhir-akhir ini beberapa peneliti mengajukan patogenesis terjadinya
manifestasi klinis sebagai berikut: Makrofag pada penderita akan menghasilkan
substansi aktif yang disebut monokin, selanjutnya monokin ini dapat menyebabkan
nekrosis seluler dan merangsang sistem imun, instabilitas vaskuler, depresi sumsum
tulang, dan panas.
Perubahan histopatologi pada umumnya ditemukan infiltrasi jaringan oleh
makrofag yang mengandung eritrosit, kuman, limfosit yang sudah berdegenerasi yang
dikenal sebagai sel tifoid. Bila sel-sel ini beragregasi, terbentuklah nodul. Nodul ini
sering didapatkan dalam usus halus, jaringan limfe mesenterium, limpa, hati, sumsum
tulang, dan organ-organ yang terinfeksi.
Kelainan utama terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi
(minggu pertama), nekrosis (minggu kedua), dan ulserasi (minggu ketiga) serta bila
sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk bulat
lonjong sejajar dengan sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat menyebabkan
perdarahan bahkan perforasi. Gambaran tersebut tidak didapatkan pada kasus demam
tifoid yang menyerang bayi maupun tifoid kongenital.2
15
1.5 Gejala Klinis
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan
bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang
timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran
pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran.5
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit.
Demam pada pasien demam tifoid disebut step ladder temperature chart yang ditandai
dengan demam timbul indisius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan
mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan
tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila
terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak, maka demam akan
menetap. Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi
harinya. Pada saat demam sudah tinggi pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala
sistem saraf pusat seperti kesadaran berkabut atau delirium, atau penurunan
kesadaran.1
Masa inkubasi rata-rata 10-14 hari, selama dalam masa inkubasi dapat
ditemukan gejala prodromal, yaitu: anoreksia, letargia, malaise, dullness, nyeri
kepala, batuk non produktif, bradicardia. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap
dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise,
anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta
gangguan status mental.1 Pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di
tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan juga banyak dijumpai meteorismus.
Sembelit dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal dan kemudian pada
minggu kedua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang
terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare,
menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh
tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa.
Roseola (bercak makulopapular) berwarna merah, ukuran 2-4 mm, dapat timbul pada
kulit dada dan abdomen, ekstremitas, dan punggung, timbul pada akhir minggu
pertama dan awal minggu kedua, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung
singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda
klinis menghilang, namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.2
16
Fase relaps adalah keadaan berulangnya gejala penyakit tifus, akan tetapi
berlangsung lebih ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu
badan normal kembali. Terjadi sukar diterangkan, seperti halnya keadaan kekebalan
alam, yaitu tidak pernah menjadi sakit walaupun mendapat infeksi yang cukup berat
Menurut teori, relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak
dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti. Mungkin pula terjadi pada
waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan
jaringan-jaringan fibroblas.5 Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati
akan mengakibatkan timbulnya relaps.6
Rifai dkk, melaporkan dalam penelitiannya di Rumah Sakit Karantina, Jakarta,
diare lebih sering ditemukan dari pada sembelit, masing-masing 39,47% dan 15,79%
pada anak. Gejala sakit kepala ditemukan pada 76,32% anak, nyeri perut 60,5%,
muntah 26,32%, mual 42,11%, gangguan kesadaran 34,21%, gangguan mental berupa
apatis ditemukan 31,58% dan delirium pada 2,63% anak. Penulis lain melaporkan
ditemukannya lidah khas tifoid.1
Anak usia sekolah dan remaja
Gejala awal demam, malaise, anoreksia, mialgia, nyeri kepala, dan nyeri perut
berkembang selama 2-3 hari, walaupun diare berkonsistensi mungkin ada selama awal
perjalanan penyakit, konstipasi kemudian menjadi gejala yang lebih mencolok, mual
muntah adalah jarang dan memberi kesan komplikasi terutama jika terjadi pada
minggu ke-2 atau ke-3. Batuk dan epistaksis mungkin ada. Kelesuhan berat dapat
terjadi pada beberapa anak. Demam yang terjadi secara bertingkat menjadi tidak
turun-turun dan tinggi dalam 1 minggu, sering mencapai 40 0C.8
Tanda-tanda fisik adalah bradikardi relatif, yang tidak seimbang dengan
tingginya demam. Hepatomegali, splenomegali, dan perut kembung dengan nyeri
difus, terjadi pada minggu ke-2 penyakit.8
Bayi dan Anak (< 5 tahun)
Demam enterik relatif jarang pada kelompok umur ini. Demam ringan dan
malaise, salah interpretasi sebagai sindrom virus, ditemukan pada bayi dengan demam
tifoid terbukti secara biakan . Diare lebih lazim pada anak muda dengan demam
tifoid daripada orang dewasa, membawa pada diagnosis gastroenteritis akut. Yang
lain dapat datang dengan tanda-tanda dan gejala-gejala infeksi saluran pernafasan
bawah.
17
Neonatus
Disamping kemampuannya menyebabkan aborsi dan persalinan prematur,
demam enterik selama kehamilan dapat ditularkan secara vertikal. Penyakit neonatus
biasanya mulai dalam 3 hari persalinan. Muntah, diare ,dan kembung sering ada. Suhu
bervariasi, tetapi dapat setinggi 40,5 0C. Dapat terjadi kejang-kejang. Hepatomegali,
ikterus, anoreksia, dan kehilangan berat badan mungkin nyata.
1.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
Demam yang naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada
akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi. Anak sering
mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau
konstipasi, muntah, perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai
penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus.
2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi.
Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu di
bagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih
sering dijumpai daripada splenomegali. Kadang-kadang dijumpai terdengar ronki
pada pemeriksaan paru.
3. Pemeriksaan penunjang
# Darah tepi perifer
- Anemia
Pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe, atau
perdarahan usus.
- Leukopenia
Namun jarang kurang dari 3000/ul
- Limfositosis relatif
- Trombositopenia
Terutama pada demam tifoid berat.
# Pemeriksaan serologi
- Serologi Widal
18
Kenaikan titer Salmonella typhi titer O 1:200 atau kenaikan 4 kali titer fase akut
ke fase konvalesens.
- Kadar IgM dan IgG (Typhidot)
# Pemeriksaan biakan Salmonella
- Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit.
- Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4.
# Pemeriksaan radiologik
- Foto toraks
Apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia.
- Foto abdomen
Apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus atau
perdarahan saluran cerna. Pada perforasi usus tampak distribusi udara tak merata,
tampak air fluid level, bayangan radiolusen di daerah hepar, dan udara bebas pada
abdomen.1
1.7 Komplikasi
Sesuai dengan perjalanan penyakit tifoid, permulaan sakit harus dibedakan
antara lain :2 Bronkhitis, influensa, bronkopneumonia.
Pada stadium selanjutnya: Demam paratifoid, malaria, TBC milier, meningitis,
endokarditis bakterial, rickettsia.
19
kemerahan. Pada abdomen dapat dijumpai adanya kembung (meteorismus). Hepar
dan lien yang membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya terdapat juga
konstipasi pada anak yang lebih tua dan remaja, akan tetapi dapat juga normal
bahkan terjadi diare pada anak yang lebih muda.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walau tidak berapa dalam berupa apatis
sampai somnolen. Jarang terjadi sopr, coma atau gelisah.
Disamping gejala-gejala diatas yang biasa ditemukan mungkin juga dapat
ditemukan gejala-gejala lain:
- Roseola atau rose spot; pada punggung, upper abdomen dan, lower chest dapat
ditemukan rose spot (roseola), yaitu bintik-bintik merah dengan diameter 2-4 mm
yang akan hilang dengan penekanan dan sukar didapat pada orang yang bekulit
gelap. Rose spot timbul karena embolisasi bakteri dalam kapiler kulit. Biasanya
ditemukan pada minggu pertama demam.
- Bradikardia relatif; Kadang-kadang dijumpai bradikardia relative yang biasanya
ditemukan pada awal minggu ke II dan nadi mempunyai karakteristik notch
(dicrotic notch).5,13
22
Pada individu yang pernah terinfeksi Salmonella typhi atau mendapat
imunisasi, anti H menetap selama beberapa tahun. Adanya demam oleh sebab lain
dapat menimbulkan reaksi anamnestik yang menyebabkan peningkatan titer anti H.
Peningkatan titer anti O lebih bermakna, tetapi pada beberapa penderita hanya
dijumpai peningkatan titer anti H. Pada individu sehat yang tinggal di daerah endemik
dijumpai peningkatan titer antibodi akibat terpapar bakteri sehingga untuk
menentukan peningkatan titer antibodi perlu diketahui titer antibodi pada saat individu
sehat.
Anti O dan H negatif tidak menyingkirkan adanya infeksi. Hasil negatif palsu
dapat disebabkan antibodi belum terbentuk karena spesimen diambil terlalu dini atau
antibodi tidak terbentuk akibat defek pembentukan antibodi seperti pada penderita
gizi buruk, agamaglobulinemia, imunodefisiensi atau keganasan. Pengobatan
antibiotik seperti kloramfenikol dan ampisilin, terutama bila diberikan dini, akan
menyebabkan titer antibodi tetap rendah atau tidak terbentuk akibat berkurangnya
stimulasi oleh antigen.15
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan memakai uji
Widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit)
menunjukkan nilai ramal positif 96%. Beberapa klinisi di Indonesia berpendapat
apabila titer O aglutinin sekali periksa > 1/200 atau terjadi kenaikan 4 kali maka
diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.
Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman Salmonella typhi (
karier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang dapat
dipercaya sebab tidak spesifik, dapat positif palsu pada daerah endemis, dan
sebaliknya.14
Uji Widal ini ternyata tidak spesifik oleh karena:
- semua Salmonella dalam grup D ( kelompok Salmonella typhi) memiliki antigen O
yang sama yaitu nomor 9 dan 12, namun perlu diingat bahwa antigen O nomor 12
dimiliki pula oleh Salmonella grup A dan B ( yang lebih dikenal sebagai paratyphi A
dan paratyphi B).
- semua Salmonella grup D memiliki antigen d-H fase1 seperti Salmonella typhi dan
- titer antibodi H masih tinggi untuk jangka lama pasca infeksi atau imunisasi.
Sensitivitas uji Widal juga rendah, sebab kultur positif yang bermakna pada
pasien tidak selalu diikuti dengan terdeteksinya antibodi dan pada pasien yang
23
mempunyai antibodi pada umumnya titer meningkat sebelum terjadinya onset
penyakit. Sehingga keadaan ini menyulitkan untuk memperlihatkan kenaikan titer 4
kali lipat. Kelemahan lain uji Widal adalah antibodi tidak muncul di awal penyakit,
sifat antibodi sering bervariasi dan sering tidak ada kaitannya dengan gambaran
klinis, dan dalam jumlah cukup besar (15% lebih) tidak terjadi kenaikan titer O
bermakna.16
Hasil negatif palsu pemeriksaan Widal mencapai 30% karena adanya
pengaruh terapi antibiotik sebelumnya. Spesifisitas pemeriksaan Widal kurang baik
karena serotype Salmonella lain juga memiliki antigen O dan H. Epitop Salmonella
typhi bereaksi silang dengan enterobacteriaceae lain sehingga memicu hasil positif
palsu.17
Sebaiknya tes Widal dilakukan dua kali yaitu pada fase akut dan konvalesen,
untuk mendeteksi adanya peningkatan titer. Diperlukan 2 spesimen dengan interval 7-
10 hari, peningkatan titer anti O dan H minimal empat kali menunjang diagnosis
demam tifoid. Pada beberapa penderita tidak dijumpai peningkatan titer antibodi
karena spesimen diambil pada stadium lanjut, titer antibodi yang tinggi pada daerah
endemik atau respon antibodi tidak baik sebagai akibat pemberian antibiotik yang
terlalu dini. Akhir-akhir ini tes Widal dilakukan satu kali pada fase akut. Penilaian
hasil tes Widal pada satu spesimen sangat sulit.15
Mengingat hal-hal tersebut di atas, meskipun uji serologi Widal sebagai alat
penunjang diagnosis demam tifoid telah luas digunakan di seluruh dunia, namun
manfaatnya masih menjadi perdebatan. Hingga saat ini pemeriksaan serologik Widal
sulit dipakai sebagai pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar
aglutinasi (cut off point) 16
Tidak selalu widal positif walaupun penderita sungguh-sngguh menderita tifus
abdominalis. Dan widal juga bukan mrpkan pemeriksaan untuk menentukan
kesembuhan penderita.
Sebaliknya titer dapat positif pada keadaan berikut:
- Titer O dan H tinggi karena terdapatnya agglutinin normal,karena infeksi basil
coli patogen dlm usus.
- Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui plasenta.
- Terdapatnya infeksi silang dgn rickettsia (Weil Felix).
- Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basisl perora; atau pada
keadaan infeksi.5
24
Pemeriksaan Penunjang Lain
Pemeriksaan antibodi
Antibodi terhadap antigen O merupakan IgM yang mendominasi,
muncul pada awal penyakit dan menghilang lebih dini. Antibodi terhadap H baik
IgM maupun IgG muncul lebih lambat tetapi bertahan lebih lama. Biasanya
antibodi O muncul pada hari ke 6-8 sedangkan antibodi H pada hari 10-12 dari
onset penyakit.10
Mengingat tingkat sensitivitas dan spesifisitas tes Widal rendah maka
pemeriksaan serologis untuk diagnosis dini demam tifoid mulai beralih dari tes
Widal menuju pelacakan antibodi terhadap antigen Salmonella typhi yang lebih
spesifik seperti:
# Dot EIA ( Dot Enzyme Immunoabsorbent Assay )
Pemeriksaan ELISA untuk mendeteksi protein spesifik pada membran
luar atau outer membrane protein (OMP) dimana OMP dengan berat 50 kDa
ternyata sangat spesifik pada serum pasien tifoid. Sensitivitas Dot EIA mencapai
95-100% jauh lebih baik daripada sensitivitas Widal yang hanya 60%.
Pemeriksaan Dot EIA tidak ada reaksi silang dengan salmonelosis non tifoid
dibandingkan dengan Widal. Produk komersial pemeriksaan ini dikenal sebagai
Typhidot.13 Salah satu modifikasi Typhidot dengan inaktivasi IgG dalam sampel
serum untuk menyingkirkan kemungkinan ikatan kompetitif dan memungkinkan
akses antigen terhadap IgM spesifik, dikenal sebagai Typhidot M.6 Dengan kata
lain, Typhidot M hanya mendeteksi antibodi IgM spesifik sedangkan Typhidot
mendeteksi antibodi IgM dan IgG terhadap antigen 50 kD Salmonella typhi.
Pemeriksaan Typhidot membutuhkan waktu 3 jam.18
# Polymerase Chain Reaction (PCR)
Untuk amplifikasi DNA dari teknik hibridisasi asam nukleat. Pada
sistem hibridisasi ini, sebuah molekul asam nukleat yang sudah diketahui
spesifisitasnya (DNA probe) digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya
urutan asam nukleat yang sepadan dari target DNA (kuman). Meskipun DNA
probe memiliki spesifisitas tinggi, pemeriksaan ini tidak cukup sensitif untuk
mendeteksi jumlah kuman dalam darah yang sangat rendah, misalnya 10-15
Salmonella typhi/ml darah dari pasien demam tifoid. Oleh sebab itu target DNA
telah dapat diperbanyak terlebih dahulu sebelum dilakukan hibridisasi.
25
Penggandaan target DNA dilakukan dengan teknik PCR menggunakan enzim
DNA polimerase. Cara ini dapat melacak DNA Salmonella typhi sampai sekecil 1
pikogram namun usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum
memberikan hasil yang memuaskan.16
# IgM Dipstick test
Pemeriksaan ini didasarkan pada ikatan antibodi IgM spesifik
Salmonella typhi pada LPS antigen Salmonella typhi. Tes Tubex merupakan tes
aglutinasi kompetitif semi kuantitatif sederhana dan cepat. Hasil positif tes Tubex
menunjukkan adanya infeksi Salmonella walaupun tidak dapat menunjukkan
Salmonella grup D mana yang menjadi faktor kausatifnya. Infeksi Salmonella
serotipe lainnya seperti Salmonella paratyphi A memberikan hasil yang negatif.
Oleh sebab itu, tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya
mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu
singkat.10,18
1.10 Komplikasi
Komplikasi typoid dapat terjadi pada :
1. Intestinal (usus halus) :
Umumnya jarang terjadi, tapi sering fatal, yaitu:
a. Perdarahan (haemorrhage) usus.
Bervariasi dari mikroskopik sampai terjadi melena. Pada anak lebih
jarang. Dilaporkan di Surabaya terjadi pada hari ketujuh belas atau
awal minggu ke-3.
Insidennya berbeda-beda berkisar antara 0,8%-8,6%
Diagnosis dapat ditegakkan dengan:
Penurunan tekanan darah
Denyut nadi bertambah cepat dan kecil
Kulit pucat
Penurunan suhu tubuh
Mengeluh nyeri perut
Sangat iritabel
Darah tepi: sering diikuti peningkatan lekosit dalam waktu singkat
b. Perforasi usus
26
Timbul pada minggu ketiga atau setelah itu dan sering terjadi pada
ileum terminalis. Lebih jarang dibandingkan pada orang dewasa.
Angka kejadian antara 0,4-2,5%. Apabila hanya terjadi perforasi tanpa
peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dalam rongga
peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara bebas
(free air sickle) diantara hati dan diafragma pada foto Rontgen
abdomen yang dibuat dalam posisi tegak.
c. Peritonitis
Pada umumnya tanda/gejala peritonitis sering didapatkan,
penderita nampak kesakitan di daerah perut yang mendadak, perut
kembung, dinding abdomen tegang ( defense musculair ), nyeri tekan,
tekanan darah menurun, suara bising usus melemah, pekak hati
berkurang. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan peningkatan
lekosit dalam waktu singkat.
2. Ekstraintestinal
Terjadi umumnya karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteriemia):
a. Liver, gallbladder, dan pancreas
Dapat terjadi mild jaundice pada enteric fever oleh karena terjadi
hepatitis typhosa, kolesistitis, kholangitis atau hemolisis. Dapat juga
terjadi pankreatitis.
b. Kardiorespiratory
Toxic myocarditis adalah penyebab kematian yna signifikan pada
daerah endemic. Hal tersebut terjadi pada pasien yang sangat parah
sekali dan ditandai oleh takikardia, nadi dan bunyi jantung yang lemah,
hypotensi, dan EKG yang abnomal.
Bronkitis ringan sering terjadi, broncopneumonia .
c. Nervous system
Berupa disorientasi, delirium, meningismus, meningitis (jarang),
encephalomyelitis.
d. Hematologi dan renal
Terjadi DIC yang subclinical pada typhoid fever yang mana
merupakan manifestasi sindrom uremia hemolitik, dan hemolisis.
Glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.5,13
27
1.11 Tatlaksana
Penderita yang harus dirawat dengan diagnosis praduga demam tifoid harus
dianggap dan dirawat sebagai penderita demam tifoid yang secara garis besar ada 3
bagian yaitu:
perawatan
diet
obat
Perawatan
Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi serta
pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi tidak harus tirah baring
sempurna seperti pada perawatan demam tifoid di masa lampau. Mobilisasi dilakukan
sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi penderita. Pada penderita dengan kesadaran
yang menurun harus diobservasi agar tidak terjadi aspirasi serta tanda-tanda komplikasi
demam tifoid yang lain termasuk buang air kecil dan buang air besar perlu mendapat
perhatian. Mengenai lamanya perawatan di rumah sakit sampai saat ini sangat bervariasi
dan tidak ada keseragaman, sangat tergantung pada kondisi penderita serta adanya
komplikasi selama penyakitnya berjalan.
Diet
Di masa lampau, penderita diberi makan diet yang terdiri dari bubur saring,
kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kekambuhan penderita.
Banyak penderita tidak senang diet demikian, karena tidak sesuai dengan selera dan ini
mengakibatkan keadaan umum dan gizi penderita semakin mundur dan masa
penyembuhan ini menjadi makin lama.
Beberapa penelitian menganjurkan makanan padat dini yang wajar sesuai dengan
keadaan penderita dengan memperhatikan segi kualitas maupun kuantitas ternyata dapat
diberikan dengan aman. Kualitas makanan disesuaikan kebutuhan baik kalori, protein,
elektrolit, vitamin maupun mineralnya serta diusahakan makan yang rendah/bebas
selulose, menghindari makan iritatif sifatnya. Pada penderita dengan gangguan kesadaran
maka pemasukan makanan harus lebih diperhatikan.
Ternyata pemberian makanan padat dini banyak memberikan keuntungan seperti
dapat menekan turunnya berat badan selama perawatan, masa di rumah sakit sedikit
28
diperpendek, dapat menekan penurunan kadar albumin dalam serum, dapat mengurangi
kemungkinan kejadian infeksi lain selama perawatan.
Kloramfenikol
Bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat pada ribosom
subunit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan peptide tidak
terbentuk pada proses sintesis protein kuman. Meskipun telah dilaporkan adanya resistensi
kuman Salmonella terhadap kloramfenikol di berbagai daerah. Kloramfenikol tetap
digunakan sebagai drug of choice pada kasus demam tifoid, karena sejak ditemukannya obat
ini oleh Burkoder (1947) sampai saat ini belum ada obat antimikroba lain yang dapat
menurunkan demam lebih cepat, di samping harganya murah dan terjangkau oleh penderita.
Di lain pihak kekurangan kloramfenikol ialah reaksi hipersentifitas, efek toksik pada system
hemopoetik (depresi sumsum tulang, anemia apastik), Grey Syndrome, kolaps serta tidak
bermanfaat untuk pengobatan karier. Dalam pemberian kloramfenikol tidak terdapat
keseragaman dosis, dosis yang dianjurkan ialah 50-100 mg/kg.bb/hari, oral atau IV, dibagi
dalam 4 dosis selama 10-14 hari serta untuk neonatus sebaiknya dihindarkan, bila terpaksa
dosis tidak boleh melebihi 25 mg/kgbb/hari.2,3
Tiamfenikol
Mempunyai efek yang sama dengan kloramfenikol, mengingat susunan kimianya
hampir sama hanya berbeda pada gugusan R-nya. Dengan pemberian tiamfenikol demam
turun setelah 5-6 hari, hanya komplikasi hematologi pada penggunaan tiamfenikol lebih
jarang dilaporkan, sedangkan strain salmonella yang resisten terhadap tiamfenikol.
Dosis oral yang dianjurkan 50-100 mg/kg.bb/hari.
Co Trimoxazole
Efektifitasnya terhadap demam tifoid masih banyak pendapat yang kontroversial.
Kelebihan co trimoxazole antara lain dapat digunakan untuk kasus yang resisten terhadap
kloramfenikol, penyerapan di usus cukup baik, kemungkinan timbulnya kekambuhan
pengobatan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol.
Kelemahannya ialah terjadi skin rash (1-15%). Steven Johnson sindrome,
agranulositosis, tromositopenia, megaboblastik anemia, hemolisis eritrosit terutama pada
penderita defisiensi G6PD.
Dosis oral: 30-40 mg/kg.bb/hari dari sulfametoxazole dan 6-8 mg/kg.bb/hari, oral,
selama 10 hari untuk trimetoprim, diberikan dalam 2 kali pemberian.
29
Ampisilin dan Amoksisilin
Merupakan derivat penisilin yang digunakan pada pengobatan demam tifoid, terutama
pada kasus yang resisten terhadap kloramfenikol, tetapi pernah dilaporkan adanya Salmonella
yang resisten terhadap ampisilin di Thailand.
Ampisilin umumnya lebih lambat menurunkan demam bila dibandingkan dengan
kloramfenikol, tetapi lebih efektif untuk mengobati karier serta kurang toksisitas.
Kelemahannya dapat terjadi skin rash (3-18%), diare (11%). Amoksisilin mempunyai daya
antibakteri yang sama dengan ampisilin, tetapi penyerapan peroral lebih baik, sehingga kadar
obat yang tecapai 2 kali lebih tinggi, timbulnya kekambuhan lebih sedikit (2%-5%) dan
karier (0-5%).
Dosis yang dianjurkan:
Ampisilin 100-200 mg/kg.bb/hari, oral atau IV selama 10 hari
Amoksisilin 100 mg/kg.bb/hari,
Pengobatan demam tifoid yang menggunakan obat kombinasi tidak memberikan keuntungan
yang lebih baik bila diberikan obat tunggal.
Seftriakson
Lebih aman dari Kloramfenikol. DOC jika terdapat resistensi terhadap kloramfenicol.
Seftriakson tersedia dalam bentuk bubuk obat suntik. Dosisnya 80 mg/kgbb/hari, IV atau IM,
sekali sehari, 5 hari.
Sefiksim
10mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari.
# Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi yang tepat karena dapat menyebabkan perdarahan
usus dan relaps. Tetapi pada kasus berat maka penggunaan kortikosteroid secara bermakna
menurunkan angka kematian. Diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran.
Dexametason 1-3mg/kgbb/hari intravena, dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik.2,3
# Antipiretik
Diberikan apabila demam > 39ºC, kecuali pada riwayat kejang demam dapat
diberikan lebih awal.
Lain-lain
Transfusi darah
Kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan perforasi usus.
Bedah
Konsultasi Bedah Anak apabila dijumpai komplikasi perforasi usus.
30
Monitoring
Evaluasi demam reda dengan memonitor suhu. Apabila pada hari 4-5 setelah
pengobatan demam tidak reda, maka segera harus dievaluasi adakah komplikasi, sumber
infeksi lain, resistensi Salmonella typhi terhadap antibiotik, atau kemungkinan salah
menegakkan diagnosis.
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik,
nafsu makan membaik, klinis perbaikan dan tidak dijumpai komplikasi. Pengobatan dapat
dilanjutkan di rumah.3
1.12 Prognosis
Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita cepat datang
berobat dan istirahat total. Prognosis menjadi buruk bila terdapat gejala klinis yang berat
seperti:
- Hiperpireksia atau febris kontinua
- Kesadaran yang menurun sekali; sopor, koma, delirium.
- Komplikasi berat; dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkopneumonia.
- Keadaan gizi buruk (malnutrisi energi protein).5
31
BAB 3
KESIMPULAN
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh kuman
Salmonella typhi. Sampai saat ini demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat serta berkaitan erat dengan sanitasi yang buruk terutama di negara-negara
berkembang. 1
Pada tahun 1813 Bretoneau melaporkan pertama kali tentang gambaran klinis dan
kelainan anatomis dari demam tifoid, sedangkan Cornwalls Hewett (1826) melaporkan
perubahan patologisnya. Pada tahun 1829 Pierre Louis (Perancis) mengeluarkan istilah
typhoid yang berarti seperti typhus. Baik kata typhoid maupun typhus berasal dari kata
Yunani typhos yang berarti asap/kabut. Terminologi ini dipakai pada penderita yang
mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu. Baru pada tahun 1837 William Word
Gerhard dari Philadelphia dapat membedakan tifoid dari typhus. Pada tahun 1880 Eberth
menemukan Bacillus typhosus pada sediaan histologi yang berasal dari kelenjar limfe
mesenterial dan limpa. Pada tahun 1884 Gaffky berhasil membiakkan Salmonella typhi, dan
memastikan bahwa penularannya melalui air dan bukan udara. Pada tahun 1896 A. Pfeifer
berhasil pertama kali menemukan kuman Salmonella dari feses penderita, kemudian Haeppe
menemukan kuman Salmonella di dalam urin, dan R. Neuhauss menemukan kuman
Salmonella di dalam darah. Pada tahun yang bersamaan Widal berhasil memperkenalkan
diagnosis serologis demam tifoid. Pfeifer dan Wright mencoba vaksinasi terhadap demam
tifoid. Pada era 1970 dan 1980 mulai dicoba vaksin oral yang berisi kuman hidup yang
dilemahkan dan vaksin suntik yang berisi Vi kapsul polisakarida. Pada tahun 1948
Woodward dkk di Malaysia menemukan bahwa kloramfenikol adalah efektif untuk
pengobatan penyakit demam tifoid.1,2
Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang cenderung meningkat
pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan yang rendah. 96 % kasus demam
tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sisanya disebabkan oleh Salmonella paratyphi. 91 %
kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun.
Penyakit demam tifoid termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang
nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit
yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan
wabah.3
32
Penyebaran bakteri Salmonella ke dalam makanan atau minuman bisa terjadi akibat
pencucian tangan yang kurang bersih setelah buang air besar maupun setelah berkemih. Lalat
bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari tinja ke makanan ( oro-fecal ).4
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku ajar ilmu kesehatan anak infeksi
dan penyakit tropis., ed 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia: h.367-75.
2. Rampengan TH. Penyakit infeksi tropik pada anak, ed 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2008: h.46-62.
3. Pusponegoro HD, dkk. Standar pelayanan medis kesehatan anak, ed 1. Jakarta : Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2004: h.91-4.
5. Hassan R, dkk. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 2, ed 11. Jakarta : Percetakan
Infomedika, 2005: h.592-600.
8. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of pediatrics,
18th ed. Philadelphia, 2007: p.1186-1190.
9. Partini P. Tritanu dan Asti Proborini. Demam Tifoid. Pediatrics Update. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2003: h.37-43.
10. Hartoyo E, Yunanto A, Budiarti L. UJi sensitivitas salmonella typhi terhadap berbagai
antibiotik di bagian anak RSUD Ulin Banjarmasin. Sari Pediatri. September
2006;8(2):118-121.
14. Hadinegoro SRS, Tumbelaka AR, Satari HI. Pengobatan Cefixime pada Demam
Tifoid Anak. Sari Pediatri. 2001;2(4):182-7.
15. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB. Pedoman imunisasi di
Indonesia, ed 2. Jakarta : Badan Penerbit Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2005: h.173-4.
34
16. Retnosari S, Tumbelaka AR. Pendekatan diagnostik serologik dan pelacak antigen
salmonella typhi. Sari Pediatri. 2000;2(2):90-5.
17. World Health Organization. Backgroud Document: The Diagnosis, Treatment and
Prevention of Typhoid Fever. Geneva: WHO, 2003. Available from:
http://www.who.int/vaccines-documents/ (Updated 2003, cited : 2009 August 5th).
18. Zulkarnain I. Patogenesis demam tifoid. Jakarta : Pusat informasi & penerbitan bagian
ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000: h.3-5.
35