OLEH :
dr. Ni Ketut Putri Angga Dewi
PEMBIMBING :
dr. Devi Rina M Tarigan
1
BAB 1
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS
Nama : Ny. ID
Usia : 66 tahun 3 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Sekarbela
Suku : Sasak
Agama : Islam
Status : Menikah
Pendidikan : SD
Pekerjaan :-
2. SUBYEKTIF
2.1. Keluhan Utama
Lemas seluruh badan sejak 2 hari yang lalu
2.2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD rujukan dari poliklinis penyakit dalam. Pasien mengeluh
lemas sejak 2 hari yang lalu. Pasien memiliki riwayat diabetes melitus sejak lama namun
tidak rutin kontrol. Mual muntah disangkal. Nafas berbau aseton (-)
Buang air kecil frekuensi meningkat. Pasien merasa cepat haus, nafsu makan
pasien juga meningkat. Makan tidak pernah diatur. Buang air besar lancar tidak ada
keluhan. Pasien mendapat pengobatan suntik insulin, namun sudah 4 tahun tidak pernah
disuntik lagi.
2.3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat DM
2.4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluhan serupa yang dialami oleh keluarga pasien.
2.5. Riwayat Pengobatan
Pengobatan dengan insulin, namun sudah tidak pernah berobat lagi sejak 4 tahun lalu
3. PEMERIKSAAN FISIK
2
3.1. Status Generalis
Keadaan umum : tampak lemas
Kesadaran : compos mentis
3.2. Tanda Vital
Tekanan darah : 140/80 mmHg
Nadi : 62 x/menit, regular, kuat angkat (posisi baring)
Frekuensi Nafas : 22 x/menit, regular, tipe torakoabdominal, kusmaul (-)
Suhu aksiler : 36,5ºC
SpO2 : 100% tanpa O2
3.3. Pemeriksaan Fisik Umum
Kepala dan leher
- Kepala : Ekspresi wajah normal, bentuk dan ukuran normal, rambut normal,
edema (-), Parese N. VII (-), Nyeri tekan kepala (-), Massa (-).
- Mata :konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterus (-/-), reaksi cahaya pupil (+/
+) isokor, exoptalmus (-/-), nistagmus (-/-), strabismus (-/-), ptosis
(-/-), edema palpebra (-/-), kornea dan lensa normal, pergerakan bola
mata ke segala arah normal, nyeri tekan periorbita (-).
- Telinga : simetris, otorrhea (-/-), nyeri tekan (-/-), pendengaran kesan normal.
- Hidung :deformitas(-),rhinorrhea (-), perdarahan(-), deviasi septum(-),
mukosa normal, hiperemis (-).
- Mulut :
Bibir :sianosis (-), stomatitis angularis (-), pursed lips breathing (-)
Gusi :hiperemia (-), perdarahan (-)
Lidah :glositis (-), atropi papil lidah (-), lidah berselaput (-),
kemerahan di pinggir (-), tremor (-), lidah kotor (-)
Gigi :karang gigi (-)
Mukosa :normal
- Leher :deviasi trakea (-), kaku kuduk (-), pembesaran kel. tiroid (-), massa
(-), pembesaran KGB (-), otot SCM tidak aktif maupun hipertrofi,
JVP 5+2 (tidak meningkat)
Thoraks
1. Inspeksi
Bentuk dada normal, ukuran dada simetris kiri dan kanan
Pergerakan dinding dada simetris antara kiri dan kanan
Permukaan dada : skar (-), petechiae (-), purpura (-), spider naevi (-), vena
kolateral (-), massa (-), ginekomasti (-), iktus kordis tidak tampak
Penggunaan otot bantu nafas : otot SCM aktif (-), hipertrofi SCM (-), otot
bantu abdomen aktif (-)
Fossa jugularis: tidak tampak adanya deviasi trakea
Fossa supraclavicularis dan infraclavicularis simetris antara kiri dan kanan
3
Tulang iga dan sela iga : simetris kiri dan kanan, pelebaran sela iga (-)
Tipe pernapasan : torakal
2. Palpasi
Pergerakan dinding dada simetris antara kiri dan kanan
Posisi mediastinum : deviasi trakea (-), iktus kordis teraba di ICS V linea
midklavikula sinistra
Nyeri tekan (-), massa (-), edema (-), krepitasi (-)
Fremitus vocal
Kanan Kiri
Normal Normal
Normal Normal
Normal Normal
3. Perkusi
- Densitas
Kanan Kiri
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
- Batas paru-hepar
- Inspirasi : ICS VI
- Ekspirasi : ICS IV Ekskursi 2 ICS
- Batas paru-jantung
- Kanan : ICS IV linea parasternalis dekstra
- Kiri : ICS V axillaris anterior
4. Auskultasi
Cor : S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :
o Suara napas
Lapang Paru Depan
Kanan Kiri
Vesikular Vesikular
Vesikular Vesikular
Vesikular Vesikular
4
o Suara napas tambahan rhonki
Lapang Paru Depan
Kanan Kiri
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
- -
Abdomen
1. Inspeksi:
Distensi (-) minimal, darm countuor (-), darm steifung (-)
Umbilicus: smiling umbilicus (-)
Permukaan kulit: tanda-tanda inflamasi (-), sianosis (-), venektasi (-),
ikterik (-), massa (-), vena kolateral (-), caput meducae (-), papula (-),
petekie (-), purpura (-), ekimosis (-).
2. Auskultasi:
Bising usus (+)
Metallic sound (-)
Bising aorta (-)
5
3. Perkusi:
Orientasi
timpani timpani timpani
Ekstremitas
Akral hangat : + + Sianosis : - -
+ + - -
- - - -
Deformitas : - - Tremor : - -
- - - -
Pergerakan sendi : normal
Capillary Refill Time < 2 detik
4. RESUME
Pasien seorang wanita 66 tahun datang ke IGD rujukan dari poliklinis penyakit
dalam. Pasien mengeluh lemas sejak 2 hari yang lalu. Pasien memiliki riwayat diabetes
melitus sejak lama namun tidak rutin kontrol. Buang air kecil frekuensi meningkat.
Pasien merasa cepat haus, nafsu makan pasien juga meningkat. Makan tidak pernah
diatur. Pasien mendapat pengobatan suntik insulin, namun sudah 4 tahun tidak pernah
disuntik lagi. Dari pemeriksaan fisik pasien didapatkan kompos mentis, tekanan darah
140/80 mmHg, nadi 62x menit, pernafasan 22x/menit, suhu 36,5 derajat C, konjungtiva
anemis +/+, nyeri tekan epigastrium (+). Pemeriksaan GDS stick 578 mg/dl.
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
6
5.1. Pemeriksaan Darah Lengkap
6. DIAGNOSIS
Hiperglikemia pada DM tipe 2, anemia ringan, hipoalbumin
7. TATALAKSANA
- IVFD loading NS 500 cc lanjut maintenance 20 tpm
- Bolus insulin (apidra) 4 unit selanjutnya 4 unit/jam IV, bila penurunan GDS >75
mg/dL drip insulin turunkan 1 unit, bila penurunan GDS <50 mg/dL drip insulin
7
naik 1 unit. Target penurunan 50-75 mg/dL. Bila GDS ≤ 200 mg/dL drip insulin
1 unit paralel D5% 20 tpm
- Planning ; Cek DL, AGD, elektrolit, UL, Rontgen thorax, EKG, Cek GDS/jam,
drip insulin dimulai bila Kalium 3,3-5
8. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad fuctionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
9. FOLLOW UP
Tanggal Keluhan Subjektif Assessment Terapi yang diberikan
& Objektif
KU: sadar
Conjungtiva anemis +/+
NT epigastrium (+)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Diabetes Melitus
1.1. Definisi
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya.
1.2. Epidemiologi
8
Diantara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu diantara penyakit
tidka menular yang meningkat jumlahnya. Diabetes merupakan salah satu ancaman
utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21. WHO membuat perkiraan bahwa
pada tahun 2000 jumlah pengidap diabetes diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta
orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah ini akan
membengkak menjadi 300 juta orang.1
Secara epidemiologik, diabetes sering kali tidak terdeteksi dan dikatakan onset
atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga
morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi dini. Penelitian
lain menyatakan bahwa dengan adanya urbanisasi, populasi diabetes tipe 2 akan
meningkat 5-10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku rural-tradisional menjadi
urban. Faktor resiko yang berubah secara epidemiologic diperkirakan adalah
bertambahnya usia, lebih banyak dan lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh,
kurangnya aktifitas jasmani, dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi
dengan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2.1
1.3. Etiologi
Faktor penyebab. Bukti menunjukkan bahwa diabetes mellitus memiliki
berbagai penyebab, termasuk hereditas, lingkungan (infeksi, makanan, toksin, dan
stress), perubahan gaya hidup pada orang yang secara genetik rentan, serta faktor
kehamilan.9
Diabetes mellitus tipe 1. DM tipe ini disebabkan destruksi sel beta, dan
umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolute melalui proses imunologik atau
idiopatik.1
Diabetes mellitus tipe 2. Penyebab DM tipe 2 bervariasi, mulai yang
predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif, sampai yang
perdominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin.1
Diabetes mellitus tipe lain. Sedangkan diabetes mellitus tipe lain dapat
disebabkan oleh defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit
eksokrin pankreas, endokrinopati, obat atau zat kimia, infeksi (seperti rubella
kongenital, CMV), imunologi, serta sindroma genetik lain.1
1.4 Patofisiologi
Diabetes mellitus tipe 2 merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh salah
satu atau lebih faktor berikut, yaitu kerusakan sekresi insulin, produksi glukosa yang
tidak tepat di dalam hati, atau penurunan sensitivitas reseptor insulin perifer. Faktor
9
genetik merupakan hal yang signifikan, dan awitan diabetes dipercepat oleh obesitas
serta gaya hidup sering duduk. Sekali lagi stress tambahan dapat menjadi faktor
penting.9
Pada diabetas mellitus tipe 2, jumlah insulin normal malah mungkin lebih
banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel berkurang.
Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel.
Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hinga walaupun anak kunci
(insulin) banyak, tetapi karena lubang kunci (reseptor) kurang, maka glukosa yang
masuk sel akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan
glukosa di dalam pembuluh darah meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama
dengan pada DM tipe 1. Perbedaannya adalah DM tipe 2 di samping kadar glukosa
tinggi, juga kadar insulin tinggi, dan normal. Keadaan ini disebut resistensi insulin.10
Penyebab resistensi insulin pada DM tipe 2 sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi
faktor-faktor yang berperan antara lain, obsitas terutama yang bersifat sentral, kurang
gerak badan, diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat, Kurang gerak badan, diet tinggi
lemak dan rendah karbohidrat, dan faktor keturunan (herediter).10
Pada DM tipe 2 jumlah sel beta berkurang sampai 50-60% dari normal. Yang
menyolok adalah peningkatan jumlah jaringan amilois pada sel beta yang disebut
amilin. Baik pada DM tipe 1 ataupun tipe 2 kadar glukosa darah jelas meningkat dan
bila kadar itu melewati batas ambang ginjal, maka glukosa itu akan keluar melalui
urin.10
Kekurangan glukosa sebagai sumber energi pada sel menyebabkan berbagai
macam akibat diantaranya muncul dari tingginya kadar glukosa dalam darah
disebabkan adanya resistensi insulin atau sejumlah abnormalitas genetik dari reseptor
insulin. Pada sebagian besar pasien DM tipe 2 mengalami hiperinsulinemia pada
awalnya sebagai bentuk kompensasi terhadap kurangnya glukosa yang masuk ke dalam
sel, konsekuensi terjadinya hiperinsulinemia berkepanjangan adalah terjadinya defiensi
insulin yang dalam keadaan ini relatif.10
Sel kekurangan sumber enegi dan menimbulkan respon glikogenesis,
glukoneogenesis, dan lipolisis unutk menghasilkan glukosa unutk energi. Hal ini
memperparah hiperglikemia. Penghancuran protein dan lemak tubuh menyebabkan
penurunan berat badan. Glukosa disekresi di urin dalam bentuk diuresis yang
selanjutnya dapat menyebabkan kehilangan cairan dan garam tubuh. Pasien menjadi
dehidrasi, selalu merasa haus dan minum air dalam jumlah banyak (polidipsia).10
10
Sekresi insulin residual berarti bahwa seseorang dengan diabetes mellitus tipe 2
tidak mengalami ketoasidosis diabetik, namun orang tersebut dapat mengalami koma
hiperosmolar non-ketotik (HONK) yang diinduksi oleh hiperglikemia berkepanjangan
serta dehidrasi dan hipernatremia.10
Efek dari menderita diabetes melitus dapat bermanifestasi mempengaruhi
banyak sistem dalam tubuh seperti pada mata, ginjal dan pada persarafan (neuropati
diabetik). Pada neuropatik diabetik proses kejadiannya berawal dari hiperglikemia
berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan aktivitas jalur dipol, sintesis
advance glycosilation end products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan akttivasi
protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut berujung pada kurangnya
vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf menurun bersama dengan rendahnya
mioinositol dalam sel yang terjadi karena efek hiperglikemia (sorbitol da fruktoda)
yang merusak sel saraf.10
Manifestasi neuropati diabetik sangat bervariasi mulai dari tanpa keluhan yang
terdeteksi dengan pemeriksaan elektrofisologis, hingga keluhan nyeri hebat. Bisa juga
keluhannya dalam bentuk neuropati lokal atau sistemik, yang semua itu bergantung
pada lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi. Rasa yang dikeluhkan pasien karena
neuropati diabetik bervariasi mulai dari kesemutan, kebas, tebal, mati rasa, rasa
terbakar, seperti ditusuk, disobek, dan ditikam.10
1.5 Gejala Klinis
Keluhan khas DM berupa poliuri, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan
pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta
pruritus vulvae pada pasien wanita.1 Berikut adalah tanda dan gejala diabetes mellitus
serta akibatnya.9
1. Poliuria dan polidipsia, yang disebabkan oleh osmolalitas serum yang tinggi akibat
kadar glukosa serum yan tinggi.
2. Anoreksia atau polifagia.
3. Penurunan berat badan (10% hingga 30%) karena tidak dapat metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein yang normal, sebagai akibat fungsi insulin yang rusak
atau tidak ada.
4. Sakit kepala, rasa cepat lelah, mengantuk, tenaga yang berkurang, dan gangguan pada
kinerja sekolah serta pekerjaan, semua ini disebabkan oleh kadar glukosa intrasel yang
rendah.
5. Kram otot, iribilitas, dan emosi yang labil, akibat ketidakseimbangan elektrolit.
11
6. Gangguan penglihatan, seperti penglihatan kabur, akibat pembengkakan yang
disebabkan glukosa.
7. Baal dan kesemutan, akibat kerusakan jaringan saraf.
8. Gangguan rasa nyaman dan nyeri pada abdomen, akibat neuropati otonom yang
menimbulkan gastroparesis dan konstipasi.
9. Mual, diare, atau konstipasi, akibat dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit
ataupun neuropati otonom.
10. Infeksi atau luka pada kulit yang lambat sembuhnya, serta rasa gatal pada kulit.
11. Infeksi kandida yang rekuren pada vagina atau anus.
1.6 Diagnosis
Diabetes mellitus tipe II. DM merupakan penyakit menahun, dapat menyerang
segala lapisan umur dan sosial ekonomi, dan ditandai oleh kadar glukosa darah yang
melebihi nilai normal, atau yang biasanya disebut hiperglikemi. Secara umum,
hiperglikemia ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥200
mg/dl atau ≥126 mg/dl.1,8
Dalam beberapa dekade akhir ini hasil penelitian baik klinik maupun laboratorik
menunjukkan bahwa diabetes mellitus merupakan suatu keadaan heterogen baik sebab
maupun macamnya. Walaupun secara klinis terdapat 2 macam diabetes, tetapi
sebenarnya ada yang berpendapat diabetes hanya merupakan suatu spectrum defisiensi
insulin. Individu yang kekurangan insulin secara total atau hampir total dikatakan
sebagai diabetes “Juvenile onset” atau “insulin dependent” atau “ketosis prone”, karena
tanpa insulin dapat terjadi kematian dalam beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis.
Pada ekstrem yang lain terdapat individu yang “stable” atau “maturity onset” atau
“non-insulin dependent”. Orang-orang ini hanya menunjukkan defisiensi insulin yang
relatif dan walaupun banyak diantara mereka mungkin memerlukan suplementasi
insulin, tidak akan terjadi kematian karena ketoasidosis walaupun insulin eksogen
dihentikan. Bahkan diantara mereka mungkin terdapat kenaikan jumlah insulin secara
absolute bila dibandingkan dengan orang normal, tetapi ini biasanya berhubungan
dengan obesitas dan atau inaktifasi fisik.1
Sesuai dengan konsep mutakhir, kedua kelompok besar diabetes dapat dibagi
lagi atas kelompok kecil. Pada satu kelompok besar “IDDM” (Insulin Dependent
Diabetes Mellitus)atau diabetes tipe 1, terdapat hubungan dengan HLA tertentu pada
kromosom 6 dan beberapa auto-imunitas serologik dan cell-mediated. Infeksi virus
pada atau dekat sebelum onset juga disebut-sebut berhubungan dengan patogenesis
diabetes. Pada percobaan binatang, virus, dan toksin diduga berpengaruh pada
kerentanan proses auto-imunitas ini.1
12
Kelompok besar lainnya “NIDDM” (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus)
atau diabetes tipe 2, tidak mempunyai hubungan dengan HLA, virus atau autoimunitas
dan biasanya mempunyai sel beta yang masih berfungsi, sering memerlukan insulin
tetapi tidak bergantung kepada insulin seumur hidup.1
Dalam teminologi juga terdapat perubahan dimana pada klasifikasi WHO 1985
tidak lagi terdapat istilah tipe 1 dan tipe 2. Tetapi karena istilah ini sudah mulai dikenal
umum, maka untuk tidak membingungkan, kedua istilah ini masih dapat dipakai tetapi
tanpa mempunyai arti khuss seperti implikasi etiopatogenik. Istilah ini pun kemudian
kembali digunakan oleh ADA pada tahun 1997 sampai 2005, sehingga DM tipe 1 dan
tipe 2 merupakan istilah yang saat ini dipakai ketimbang IDDM dan NIDDM.1
13
Waktu pengambilan sampel darah. Berdasar waktu pengambilan sampel
darah, dikenal beberapa jenis pemeriksaan kadar glukosa darah, yaitu kadar glukosa
darah sewaktu, kadar glukosa darah puasa, kadar glukosa darah 2 jam setelah makan
(post prandial), dan kadar glukosa jam ke-2 Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO).7
Pada pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu, pengambilan sampel darah
dilakukan tanpa perlu memperhatikan waktu terakhir makan. Pemeriksaan kadar
glukosa darah sewaktu plasma vena dapat digunakan untuk pemeriksaan penyaring dan
memastikan diagnosis, sedangkan pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu darah
kapiler hanya untuk pemeriksaan penyaring saja. Pada pemeriksaan kadar glukosa
darah puasa, pengambilan sampel darah dilakukan setelah penderita berpuasa paling
sedikit 8 jam sebelum pemeriksaan. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dari
plasma vena dapat digunakan untuk pemeriksaan penyaring, memastikan diagnosis,
memantau hasil pengobatan, dan pengendalian DM. Sedangkan pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa dari darah kapiler hanya digunakan untuk pemeriksaan penyaring,
memantau hasil pengobatan, dan pengendalian DM.7
Pemeriksaan kadar glukosa darah 2 jam setelah makan (post prandial) sukar
dilakukan standarisasi karena jenis dan jumlah makanan yang dimakan sukar
disamakan. Selain itu sukar pula mengamati apakah pasien dalam tenggang waktu 2
jam untuk tidak makan atau minum lagi. Namun pemeriksaan glukosa darah 2 jam post
prandial masih bermanfaat untuk memantau pengobatan dan pengendalian DM.7
Pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2 Tes Toleransi Glukosa (TTGO)
merupakan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis
DM bila berdasarkan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa atau sewaktu
diagnosis DM belum dapat dipastikan. Dengan demikian, pemeriksaan ini tidak
diperlukan bagi penderita dengan gejala khas DM dan kadar glukosa darah puasa dan
atau sewaktu yang memenuhi kriteria diagnostik DM.7
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1999)7
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup)
2. Kegiatan jasmani seperti biasa dilakukan
3. Puasa paling sedikit 8 jam, mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air
putih diperbolehkan
4. Diperiksa kadar glukosa darah puasa
5. Diberikan 75 gram glukosa (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum habis dalam waktu 5 menit.
6. Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa
14
7. Selama proses pemeriksaan pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok
15
mg/dl dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dl. Bagi kelompok resiko tinggi dengan hasil
pemeriksaan penyaring negatif, pemeriksaan perlu dilakukan setiap tahun. Bagi
mereka yang berusia diatas 45 tahun tanpa faktor resiko, pemeriksaan penyaring dapat
dilakukan setiap 3 tahun.1,7
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi
glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat
ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT
merupakan tahapan sementara menuju DM. setelah 5-10 tahun kemudia 1/3 kelompok
TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT, dan 1/3 lainnya kembali normal.
Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini
resiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT
sering berikatan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi, dan displipidemia. Peran
aktif para pengelola kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan
sedini mungkin dan pencegahan primer dan sekunder dapat segera diterapkan.1
Pemeriksaa penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa
darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes
toleransi glukosa oral (TTGO) standar.1
Tabel 2. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan
Diagnosis DM (mg/dl)1
Bukan DMBelum pasti DM DM
Kadar glukosa darah sewaktu Plasma vena <110 110-199 ≥200
(mg/dl) Darah kapiler <90 90-199 ≥200
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan TTGO Tanpa Keluhan Khas DM dan Kadar Glukosa
Darah Puasa 110-12 mg/dl.7
Kadar glukosa darah puasa (mg/dl) Penilaian
<140 Glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
140-199 Toleransi glukosa terganggu (TGT)
≥200 DM
Penilaian hasil pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2 TTGO pada
penderita tanpa keluhan khas DM yang hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu antara 110-199 mg/dl tercantum pada table dibawah ini.7
Tabel 4. Hasil Pemeriksaan TTGO Tanpa Keluhan Khas DM dan Kadar Glukosa
Darah Sewaktu 110-199 mg/dl.7
Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dl) Penilaian
<140 Normal
140-199 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)
≥200 DM
17
enzimatik dari hemoglobin dan glukosa. Reaksi non-enzimatik ini berlangsung terus-
menerus sepanjang eritrosit (kira-kira 120 hari), sehingga eritrosit tua mengandung
A1C lebih tinggi daripada eritrosit muda. Proses glikosilasi non-enzimatik ini
dipengaruhi langsung oleh kadar glukosa darah. Karena eritrosit bersifat permeabel
dialalui glukosa maka pengukuran kadar A1C mencerminkan keadaan glikemik
selama masa 120 hari. Berdasarkan waktu paruh A1C yang lamanya sekitar setengah
dari masa hidup eritrosit yaitu 60 hari, maka pemeriksaan kadar A1C digunakan untuk
memantau keadaan glikemik untuk kurun waktu 2-3 bulan yang lampau. Nilai normal
kadar A1C adalah 5-8% dari kadar Hb total. Pada penderita DM dengan hiperglikemi
kronik, jumlah protein yang terglikosilasi (A1C) akan meningkat. Pemeriksaan A1C
digunakan untuk menilai efek perubahan pengobatan 8-12 minggu sebelumnya tetapi
tidak dapat dipakai untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan ini
dianjurkan untuk dilakukan sedikitnya 2 kali dalam setahun.
3. Pemeriksaan glukosa darah mandiri. Sampel darah untuk pemeriksaan ini adalah
darah kapiler dan diperlukan reagen kering. Pada umumnya pemeriksaan ini
sederhana dan mudah dilakukan. Yang perlu diingat adalah alat pemriksaan perlu
dikaliberasi. PDGM dianjurkan bagi pasien yang mendapat pengobatan dengan
insulin atau pemicu sekresi insulin.
5. Pemeriksaan benda keton. Pemeriksaan benda keton darah maupun urin cukup
penting dilakukan terutama pada penderita DM tipe-2 terkendali buruk, misalnya
kadar glukosa darah >300 mg/dl, penderita DM tipe-2 dengan penyulit akut, serta
terdapat gejala keto asidosis diabetik (KAD), dan pada penderita DM tipe-2 yang
sedang hamil. Pemeriksaan benda keton dapat dilakukan dengan metode carik celup,
metode Rothera, dan metode Gerhardt. Benda keton dalam darah yang penting adalah
asam betahidroksi butirat. Bila kadar benda keton darah <0.6 mmol/L dianggap
normal, kadar benda keton darah diatas 1 mmol/L disebut ketosis, dan kadar benda
keton darah diatas 3 mmol/L merupakan indikasi adanya KAD. Dengan melakukan
18
pemeriksaan ini, diharapkan penyulit akut DM dapat dicegah, khusunya KAD, yang
mempunyai angka kematian yang tinggi.
Untuk penderita berumur lebih dari 60 tahun kadar glukosa darah lebih tinggi
yaitu kadar glukosa darah puasa <150 mg/dl dan kadar glukosa darah sesudah makan
<200 mg/dl. Demikian pula dengan kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain mengacu
pada batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat
khusus penderita usia lanjut dan juda mencegah kemungkinan timbulnya efek samping
dan interaksi obat.7
1.8 Tatalaksana
Anak Pilar Penatalaksanaan DM
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
19
4. Intervensi farmakologis
20
Asidosis laktat jarang terjadi namun merupakan komplikasi yang serius, khususnya
pada insufisiensi ginjal dan gagal jantung kongestif. Sedangkan tiazolidinedion
meningkatkan kepekaan insulin perifer dan menurunkan produksi glukosa hepatik.10,11
Efek obat-obatan ini kelihatannya menjadi perantara interaksi dengan
proliferator peroksisom reseptor inti yang mengaktifkan reseptor gamma (PPAR-
gamma). Dua analog tiazolidinedion, yaitu rosiglitazon dengan dua dosis 4 hingga 8
mg/hari dan pioglitazon dengan dosis 30 hingga 45 mg/hari, dapat diberikan sebagai
terapi tunggal atau dikombinasikan dengan metformin, sulfonilurea, atau insulin.
Obat-obatan ini dapat menyebabkan retensi air dan tidak dianjurkan untuk diberikan
pada pasien dengan gagal jantung kongestif. 10,11
Bila kadar glukosa tidak dapat dikontrol secara optimal dengan menggunakan
cara-cara yang sudah dijelaskan, pasien-pasien diabetik tipe 2 dengan sisa sel-sel
pulau Langerhans yang masih berfungsi, merupakan calon yang tepat untuk
menggunakan sulfonilurea. Obat-obat ini merangsang fungsi sel beta dan
meningkatkan sekresi insulin. Sebaliknya, pasien-pasien dengan diabetes tipe 1 yang
telah kehilangan kemampuannya untuk menyekresi insulin, pengobatan dengan
sulfonilurea menjadi tidak efektif. Efek potensial yang merugikan akibat penggunaan
agen-agen hipoglikemik oral. Namun, sulfonil urea generasi kedua menyebabkan
sedikit retensi air atau tidak ada sama sekali, yang merupakan masalah potensial
dengan beberapa agen generasi pertama. Dua bahan sulfonilurea yang paling sering
digunakan adalah glipizid 2,5 hingga 40 mg/hari, dan gliburid 2,5 hingga 25 mg/hari.
Gliburid memiliki waktu paruh yang lebih lama dari pada glipizid, dan dosis total
hariannya dapat diberikan sekali sehari. Gabungan sulfonilurea dengan pensensitif
insulin adalah terapi obat yang paling sering digunakan untuk pasien ini, absorbs
karbohidrat dapat diturunkan atau diperlambat dengan mengonsumsi akarbosa
preprandial, yaitu penghambat alfa glukosida yang bekerja pada usus halus dengan
menyekat pencernaan kompleks karbohidrat.10,11
Pasien-pasien dengan gejala diabetes mellitus tipe 2 dini dapat
mempertahankan kadar glukosa darah normal hanya dengan menjalankan rencana diet
dan latihan fisik saja. Tetapi, sebagai penyakit yang progresif, obat-obat oral
hipoglikemik juga dianjurkan. Obat-obatan yang digunakan adalah pensensitif insulin
dan sulfoniurea.10,11
Dua tipe pensensitif yang tersedia adalah metformin dan tiazolidinedion.
Metformin yang merupakan suatu biguanid, dapat memberikan sebagai terapi tunggal
21
pertama dengan dosis 500 hingga 1700 mg/hari. Metformin menurunkan prouksi
glukosa hepatik, menurunkan absorbsi glukosa pada usus, dan meningkatkan
kepekaan insulin, khususnya di hati. Metformin tidak meningkatkan berat badan
seperti insulin sehingga biasa digunakan, khususnya pada pasien dengan obesitas.
Asidosis laktat jarang terjadi namun merupakan komplikasi yang serius, khususnya
pada insufisiensi ginjal dan gagal jantung kongestif. Sedangkan tiazolidinedion
meningkatkan kepekaan insulin perifer dan menurunkan produksi glukosa hepatik.10,11
Efek obat-obatan ini kelihatannya menjadi perantara interaksi dengan
proliferator peroksisom reseptor inti yang mengaktifkan reseptor gamma (PPAR-
gamma). Dua analog tiazolidinedion, yaitu rosiglitazon dengan dua dosis 4 hingga 8
mg/hari dan pioglitazon dengan dosis 30 hingga 45 mg/hari, dapat diberikan sebagai
terapi tunggal atau dikombinasikan dengan metformin, sulfonilurea, atau insulin.
Obat-obatan ini dapat menyebabkan retensi air dan tidak dianjurkan untuk diberikan
pada pasien dengan gagal jantung kongestif. 10,11
Bila kadar glukosa tidak dapat dikontrol secara optimal dengan menggunakan
cara-cara yang sudah dijelaskan, pasien-pasien diabetik tipe 2 dengan sisa sel-sel
pulau Langerhans yang masih berfungsi, merupakan calon yang tepat untuk
menggunakan sulfonilurea. Obat-obat ini merangsang fungsi sel beta dan
meningkatkan sekresi insulin. Sebaliknya, pasien-pasien dengan diabetes tipe 1 yang
telah kehilangan kemampuannya untuk menyekresi insulin, pengobatan dengan
sulfonilurea menjadi tidak efektif. Efek potensial yang merugikan akibat penggunaan
agen-agen hipoglikemik oral. Namun, sulfonil urea generasi kedua menyebabkan
sedikit retensi air atau tidak ada sama sekali, yang merupakan masalah potensial
dengan beberapa agen generasi pertama. Dua bahan sulfonilurea yang paling sering
digunakan adalah glipizid 2,5 hingga 40 mg/hari, dan gliburid 2,5 hingga 25 mg/hari.
Gliburid memiliki waktu paruh yang lebih lama dari pada glipizid, dan dosis total
hariannya dapat diberikan sekali sehari. Gabungan sulfonilurea dengan pensensitif
insulin adalah terapi obat yang paling sering digunakan untuk pasien ini, absorbsi
karbohidrat dapat diturunkan atau diperlambat dengan mengonsumsi akarbosa
preprandial, yaitu penghambat alfa glukosida yang bekerja pada usus halus dengan
menyekat pencernaan kompleks karbohidrat.10,11
1.9 Pencegahan
Mengingat jumlah pasien DM yang membengkak dan besarnya biaya
perawatan pasien DM yang terutama disebabkan oleh karena komplikasinya, maka
22
upaya yang paling baik adalah pencegahan. Menurut WHO tahun 1994, upaya
pencegahan pada diabetes ada tiga jenis atau tahap, yaitu:1
Pencegahan primer. Semua aktivitas yang ditujukan untuk pencegah timbulnya
hiperglikemia pada individu yang beresiko untuk jadi diabetes atau pada populasi
umum.1
Pencegahan sekunder. Menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan
tes penyaringan terutama pada populasi resiko tinggi. Dengan demikian pasien DM
yang sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, hingga dengan demikian, dapat
dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah ada komplikasi
masih reversibel.1
Pencegahan tersier. Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan akibat
komplikasi itu. Usaha ini meliputi mencegah timbulnya komplikas, mencegah
progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak menjadi kegagalan organ, serta
mencegah kecacatan tubuh.1
Dalam menyelenggarakn upaya pencegahan ini diperlukan suatu strategi yang efisien
dan efektif untuk mendapatkan hasil yang maksimal, yaitu pendekatan populasi atau
masyarakat serta pendekatan individu beresiko tinggi.1
1.10 Komplikasi
Komplikasi diabetes mellitus meliputi:9
1. Penyakit mikrovaskuler, termasuk retinopati, nefropati, dna neuropati
2. Displipidemia
3. Penyakit makrovaskuler, termasuk penyakit arteri koroner, arteri perifer, dan arteri
serebri
4. Ketoasidosis diabetic
5. Sindrom hiperosmoler hiperglikemik nonketotik
6. Kenaikan berat badan yang berlebihan
7. Ulserasi kulit
8. Gagal ginjal kronis
1.11 Prognosis
Prognosis DM pada umumnya baik hanya butuh pengobatan seumur hidup dan
menjaga agar gula darah terkontrol dengan baik.
23
BAB 3
KESIMPULAN
Sindoma nefrotik adalah suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari
proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia serta sembab. Proteinuria masif
adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/ kg berat badan/ hari atau lebih.
Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl. Terkadang juga
dijumpai hipertensi, hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia.
Gejala yang biasanya timbul sehingga membuat pasien sindrom nefrotik datang
memeriksakan diri yaitu edema palpebra atau pretibia. Apabila makin memberat akan disertai
asites, efusi pleura, dan edema genitalia. Pada kasus lain juga disertai oliguria, gejala infeksi,
nafsu makan berkurang, serta diare. Keadaan semakin buruk bila disertai dengan nyeri perut
karena hal ini bisa menunjukkan terjadinya peritonitis atau hipovolemia.
Sindrom nefrotik pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering
dijumpai. Insiden sindrom nefrotik dipengaruhi oleh usia, ras, dan geografis. Insidens
sindroma nefrotik pada anak di Amerika Serikat dan Inggris yaitu 2 sampai 7 kasus baru per
100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12 sampai 16 kasus per 100.000 anak.
Angka ini berbeda dengan negara berkembang yang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia
dilaporkan kasus sindroma nefrotik sebesar 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang
dari 14 tahun. Adapun perbandingan anak laki-laki dan perempuan yaitu sebesar 3:2.
Etiologi sindroma nefrotik dibagi 2 yaitu primer/idiopatik, dan sekunder. Dikatakan
sindroma nefrotik primer oleh karena sindrom ini secara primer terjadi akibat kelainan pada
glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada
anak.
Sebagian besar sindrom nefrotik idiopatik pada anak mempunyai gambaran patologi
anatomi kelainan minimal (SNKM), yaitu sebesar 80%. Gambaran patologi anatomi lainnya
adalah glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus (MPD)
2-5%, glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) 4-6%, dan nefropati membranosa
(GNM) 1,5%. Pada pengobatan kortikosteroid inisial sebagian besar SNKM (94%)
mengalami remisi total (responsif), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak responsif (resisten
steroid). Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun menunjukkan hanya
4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal
terminal dalam 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal.
Berdasarkan data dari berbagai penelitian jangka panjang, penentuan prognosis lebih sering
ditentukan oleh respons terhadap pengobatan steroid dibandingkan dengan gambaran patologi
24
anatomi. Sehingga klasifikasi sindrom nefrotik pada saat ini lebih didasarkan pada respons
klinik yaitu Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) dan Sindrom nefrotik resisten steroid
(SNRS).
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Ilmu penyakit dalam.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2006.h.1874-91.
2. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta; Interna Publishing; 2011.h.11-25, 47-8, 61,
155-65.
3. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC; 2010.h.181-3.
4. Gleadle Jonathan. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit
Erlangga; 2007.h.12-21.
5. Setiati S, Rinaldi I, Ranitya R, Purnamasari D. Lima puluh masalah kesehatan di bidang
ilmu penyakit dalam. Buku kedua. Jakarta: Interna Publishing; 2011.h.24-31,163-7.
6. Boon, Nicholas A. Walker, Brian. Davidson’s Principles and Practice of Medicine. 20th
Edition. Elsevier. 2006.
7. Halim SL, Iskandar I, Edward H, Kosasih R, Sudiono H. Kimia klinik. Jakarta: Bagian
Patologi Klinik Fakultas Kedokteran UKRIDA; 2013.h.51-68.
8. Setiati S, Sari DP, Rinaldi I, Ranitya R, Pitoyo CW. Lima puluh masalah kesehatan di
bidang ilmu penyakit dalam. Buku kesatu. Jakarta: Interna Publishing; 2008.h.292-9.
9. Komalasari R, Tampubolon AO, Ester M. Buku ajar patofisiologi. Jakarta: EGC;
2012.h.519-21.
26