Anda di halaman 1dari 35

Laporan Kasus RSUD Kota Mataram

Sindrom Nefrotik

OLEH :
dr. Ni Ketut Putri Angga Dewi

PEMBIMBING :
dr. Devi Rina M Tarigan

DALAM RANGKA MENGIKUTI PROGRAM INTERNSHIP


BAGIAN RUANGAN RAWAT INAP
RSUD KOTA MATARAM
2019

1
BAB 1
LAPORAN KASUS

Tanggal Masuk RSUD Kota Mataram : 18 April 2019


No. RM : 328061
Diagnosis Masuk : Sindrom nefrotick
Tanggal Pemeriksaan : 20 April 2019

1. IDENTITAS
Nama : Tn. HZ
Usia : 20 tahun 4 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Mataram
Suku : Sasak
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan :-

2. SUBYEKTIF
2.1.Keluhan Utama
Bengkak seluruh badan sejak 2 hari yang lalu
2.2.Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan bengkak seluruh badan sejak 2 hari yang
lalu. Pasien dikeluhkan oleh orangtuanya bengkak di seluruh badan mulai dari wajah,
tangan, perut, dan kaki. Bengkak awalnya tidak terlalu terlihat, makin lama makin
membesar. Bengkak dialami terutama saat bangun tidur di pagi hari. Perut pasien
kelihatan semakin membesar, namun pasien tidak mengeluh nyeri pada perutnya.
Pasien dikeluhkan demam kadang-kadang sejak 7 hari SMRS. Sesak atau nafas
cepat disangkal. Buang air kecil pasien berbusa, adanya warna darah disangkal. Nafsu
makan pasien dirasa tetap selama sakit. Muntah disangkal. Buang air besar pasien lancar.
Pasien sempat dirawat di RS dengan keluhan yang sama, keluar RS sekitar 1 minggu
yang lalu.
2.3.Riwayat Penyakit Dahulu
2
Pasien menyangkal memiliki riwayat keluhan serupa sebelumnya.
2.4.Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluhan serupa yang dialami oleh keluarga pasien.
2.5.Riwayat Pengobatan
Pengobatan sejak keluar dari rawat inap, namun nama obat-obatan pasien lupa

3. PEMERIKSAAN FISIK
3.1. Status Generalis
 Keadaan umum : tampak lemas
 Kesadaran : compos mentis
3.2.Tanda Vital
 Tekanan darah : 130/90 mmHg
 Nadi : 92 x/menit, regular, kuat angkat (posisi baring)
 Frekuensi Nafas : 22 x/menit, regular, tipe torakoabdominal
 Suhu aksiler : 36,6ºC
 SpO2 : 97% tanpa O2
3.3. Pemeriksaan Fisik Umum
 Kepala dan leher
- Kepala : Ekspresi wajah normal, bentuk dan ukuran normal, rambut normal,
edema (+), Parese N. VII (-), Nyeri tekan kepala (-), Massa (-).
- Mata :konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-), reaksi cahaya pupil
(+/+) isokor, exoptalmus (-/-), nistagmus (-/-), strabismus (-/-), ptosis
(-/-), edema palpebra (+/+), kornea dan lensa normal, pergerakan
bola mata ke segala arah normal, nyeri tekan periorbita (-).
- Telinga : simetris, otorrhea (-/-), nyeri tekan (-/-), pendengaran kesan normal.
- Hidung :deformitas(-),rhinorrhea (-), perdarahan(-), deviasi septum(-),
mukosa normal, hiperemis (-).
- Mulut :
Bibir :sianosis (-), stomatitis angularis (-), pursed lips breathing (-)
Gusi :hiperemia (-), perdarahan (-)
Lidah :glositis (-), atropi papil lidah (-), lidah berselaput (-),
kemerahan di pinggir (-), tremor (-), lidah kotor (-)
Gigi :karang gigi (-)
Mukosa :normal
3
- Leher :deviasi trakea (-), kaku kuduk (-), pembesaran kel. tiroid (-), massa
(-), pembesaran KGB (-), otot SCM tidak aktif maupun hipertrofi,
JVP 5+2 (tidak meningkat)
 Thoraks
1. Inspeksi
 Bentuk dada normal, ukuran dada simetris kiri dan kanan
 Pergerakan dinding dada simetris antara kiri dan kanan
 Permukaan dada : skar (-), petechiae (-), purpura (-), spider naevi (-), vena
kolateral (-), massa (-), ginekomasti (-), iktus kordis tidak tampak
 Penggunaan otot bantu nafas : otot SCM aktif (-), hipertrofi SCM (-), otot
bantu abdomen aktif (-)
 Fossa jugularis: tidak tampak adanya deviasi trakea
 Fossa supraclavicularis dan infraclavicularis simetris antara kiri dan kanan
 Tulang iga dan sela iga : simetris kiri dan kanan, pelebaran sela iga (-)
 Tipe pernapasan : torakal
2. Palpasi
 Pergerakan dinding dada simetris antara kiri dan kanan
 Posisi mediastinum : deviasi trakea (-), iktus kordis teraba di ICS V linea
midklavikula sinistra
 Nyeri tekan (-), massa (-), edema (-), krepitasi (-)
 Fremitus vocal
Kanan Kiri
Normal Normal
Normal Normal
Normal Normal
3. Perkusi
- Densitas
Kanan Kiri
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor

- Batas paru-hepar

4
- Inspirasi : ICS VI
Ekskursi 2 ICS
- Ekspirasi : ICS IV
- Batas paru-jantung
- Kanan : ICS IV linea parasternalis dekstra
- Kiri : ICS V axillaris anterior
4. Auskultasi
 Cor : S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)
 Pulmo :
o Suara napas
Lapang Paru Depan
Kanan Kiri
Vesikular Vesikular
Vesikular Vesikular
Vesikular Vesikular

Lapang Paru Belakang


Kanan Kiri
Vesikular Vesikular
Vesikular Vesikular
Vesikular Vesikular

o Suara napas tambahan rhonki


Lapang Paru Depan
Kanan Kiri
- -

- -

- -

Lapang Paru Belakang


Kiri Kanan
- -

- -

- -

5
o Suara napas tambahan wheezing
Lapang Paru Depan
Kanan Kiri
- -

- -

- -

Lapang Paru Belakang


Kiri Kanan
- -

- -

- -

 Abdomen
1. Inspeksi:
 Distensi (+) minimal, darm countuor (-), darm steifung (-)
 Umbilicus: smiling umbilicus (-)
 Permukaan kulit: tanda-tanda inflamasi (-), sianosis (-), venektasi (-),
ikterik (-), massa (-), vena kolateral (-), caput meducae (-), papula (-),
petekie (-), purpura (-), ekimosis (-).
2. Auskultasi:
 Bising usus (+)
 Metallic sound (-)
 Bising aorta (-)
3. Perkusi:
 Orientasi
redup redup redup

redup redup redup

redup redup redup

 Organomagali : hepatomegali (-), splenomegali (-)

6
 Nyeri ketok CVA: (-/-)
 Shifting dullness : (+)
4. Palpasi:
 Nyeri tekan (+) epigastrium
 Hepar, lien, dan ren dextra/sinistra tidak teraba
 Turgor kulit kembali cepat

Ekstremitas
 Akral hangat : + +  Sianosis : - -
+ + - -

 Edema : + +  Clubbing finger : - -


+ + - -

 Deformitas : - -  Tremor : - -
- - - -
 Pergerakan sendi : normal
 Capillary Refill Time < 2 detik

4. RESUME
Pasien datang ke IGD dengan keluhan bengkak seluruh badan sejak 2 hari yang
lalu. Pasien dikeluhkan oleh orangtuanya bengkak di seluruh badan mulai dari wajah,
tangan, perut, dan kaki. Bengkak awalnya tidak terlalu terlihat, makin lama makin
membesar. Bengkak dialami terutama saat bangun tidur di pagi hari. Perut pasien
kelihatan semakin membesar, namun pasien tidak mengeluh nyeri pada perutnya.
Pasien dikeluhkan demam kadang-kadang sejak 2 hari SMRS. Buang air kecil
pasien berbusa. Nafsu makan pasien dirasa tetap selama sakit. Pasien sempat dirawat di
RS dengan keluhan yang sama, keluar RS sekitar 1 minggu yang lalu.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan KU tampak lemas, GCS compos mentis. TD
0
130/90 mmHg, Nadi 92 x/menit, pernapasan 22 x/menit, suhu aksila 36,6 C,
pemeriksaan wajah tampak udem, palpebral udem +/+, perut tampak distensi minimal,
perkusi redup, Shifting dullness (+), ekstremitas atas dan bawah udem (+).

7
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
5.1.Pemeriksaan Darah Lengkap

Hasil Nilai Rujukan


Parameter
16-04-19

HGB 16,0 14,0–17,5 g/dL


RBC 6,09 4,0-5,90 x 106 /µL
HCT 48,7 40,0-52,0 %
MCV 80,0 80,0 – 96,0 fl
MCH 26,3 26,0 – 32,0 pg
MCHC 32,9 32,0 – 36,0 g/dL
WBC 9,10 4,5–11,5 x 103 /µL
Eosinophil 3,1 1,0 – 3,0 %
Basofil 0,04 0,00 – 0,10 %
Neutrophil 6,5 2,3-6,1 %
Limfosit 1,96 0,80-4,80 %
Monosit 0,32 0,45-1,30 %
PLT 351 150– 450 x 103 /µL

5.2.Pemeriksaan lainnya
 Kimia klinik

Hasil Nilai Rujukan


Parameter
16-04-2019

Na 143 136 -145 mmol/l


K 4,6 3,5-5,1 mmol/l
Cl 106 98-107 mmol/l
Kolesterol total 520 <200 mg/dl
HDL 80 >35 mg/dl
LDL 329 <155 mg/dl
Urea darah 48,6 17,0-43,0 mg/dl
Creatinin darah 1,61 0,90-1,30 mg/dl

8
Asam urat 7,3 4,4-7,6 mg/dl

 Urinalisa

Hasil Nilai Rujukan


Parameter
16-04-2019

Makroskopis
Warna kuning kuning
Kejernihan keruh jernih
blood negatif negatif
Berat jenis 1,020 1,000-1,030
pH 6,0 5,0-9,0
Leukosit esterase negatif negatif
nitrit negatif negatif
Protein (+) 3 Negatif
Glukosa negatif normal
Keton negatif negatif
Urobilinogen negatif Negative (<1.0)
Bilirubin negatif negatif
Sedimen
Jamur negatif
Eritrosit 0-1 0-2 /lpb
Lekosit 0-3 0-5 /lpb
Sel epitel 0-2 0-1/lpb
kritsal negatif
Bakteri negatif negatif
silinder negatif negatif

6. DIAGNOSIS
Sindrom nefrotik

9
7. TATALAKSANA
- IVFD NS 8 tpm
- Diet protein 0,8 g/kgbb/hari + protein loss
- Injeksi metilprednisolon 2x62,5 mg iv
- Injeksi furosemid 3 x 20 mg
- Ramipril 1x 2,5 mg p.o
- Simvastatin 1 x20 mg p.o
- Cek ulang BUN, AGD elektrolit
- Monitor balance cairan
- Planning ; protein urine esbach 24 jam
8. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fuctionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

9. FOLLOW UP
Tanggal Keluhan Subjektif Assessment Terapi yang diberikan
& Objektif

21-04-19 Bengkak seluruh tubuh (+) 1. Edema Anasarka ec  IVFD NS 8 tpm


berkurang sindrom nefrotik  Injeksi
metilprednisolon
TD: 130/90 mmHg
2x62,5 mg iv
Nadi : 90x/m
 Injeksi furosemid 3
RR : 20 x/m
x 20 mg
T : 36,7 C
 Ramipril 1x 2,5 mg

KU: sadar p.o


Edema palpebra (+/+)  Simvastatin 1 x20
Abdomen: shifting dullness + mg p.o
Ekstremitas: edema ke empat  Diet protein 0,8
ekstremitas +/+ g/kgbb/hari +
protein loss
Planning ; protein urine
esbach 24 jam

10
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Sindrom nefrotik
1.1. Definisi
Sindoma nefrotik adalah suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari
proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia serta sembab. Proteinuria
masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat badan/ hari
atau lebih dari 40mg/m2/jam. Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang
dari 2,5 gram/dl. Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang juga dijumpai
hipertensi, hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia.
1.2.Epidemiologi
Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit kronik yang sering dijumpai pada
masa kanak-kanak, dengan insiden antara 2-4 kasus dari setiap 100.000 anak di
bawah 16 tahun setiap tahunnya. Sedangkan berdasarkan penelitian Willa Wirya,
dilaporkan 6 orang anak menderita sindrom nefrotik diantara 100.000 anak yang
berusia di bawah 14 tahun per tahun di Jakarta.
Sebagian besar sindrom nefrotik idiopatik pada anak mempunyai gambaran
histopatologi tipe kelainan minimal (SNKM), yaitu sebesar 80%. Gambaran
histopatologi lainnya adalah glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%,
mesangial proliferatif difus (MPD) 2-5%, glomerulonefritis membranoproliferatif
(GNMP) 4-6%, dan nefropati membranosa (GNM) 1,5%.
Sindrom nefrotik dapat menyerang semua umur, namun paling sering
menyerang anak-anak pada usia antara 2-6 tahun, anak laki-laki lebih banyak
menderita dibandingkan anak perempuan dengan rasio 2:1. Lebih dari 90% kasus
sindrom nefrotik adalah idiopatik, sedangkan sisanya adalah sindrom nefrotik
sekunder yang disebabkan oleh beragam penyakit, antara lain nefritis Henoch-
Schonlein, Lupus Eritematosus Sistemik, amyloidosis, dan sebagainya.

1.3. Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
1. Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindroma
nefrotik primer oleh karena sindrom ini secara primer terjadi akibat kelainan pada
glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering
dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom

11
nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak
anak lahir atau usia dibawah 1 tahun. Kelainan histopatologik glomerulus pada
sindrom nefrotik primer dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC
(International Study of Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini
sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila
diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan
imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi histopatologi
sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan terminologi menurut
rekomendasi ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children, 1970)
serta Habib dan Kleinknecht (1971).
Tabel Klasifikasi Kelainan Glomerulus pada Sindrom Nefrotik Primer

Sumber: Willa Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede
SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.
Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa
sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik
tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak.
Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak
berbeda dengan data-data di luar negeri. Willa Wirya menemukan hanya 44,2%
tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindroma nefrotik primer yang
dibiopsi, sedangkan Noer di Surabaya mendapatkan 39,7% tipe kelainan minimal
dari 401 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi.

2. Sindroma nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik
atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping
obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah:

12
a. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom
Alport, miksedema.
b. Infeksi: hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptococcus, AIDS.
c. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penicillamin, probenecid, racun serangga,
bisa ular.
d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch-Schonlein, sarkoidosis.
e. Neoplasma: tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.
1.4 Patofisiologi
Proteinuria merupakan kelainan utama pada sindrom nefrotik, sedangkan
gejala klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder. Proteinuria pada sindrom
nefrotik dinyatakan berat yaitu sama atau lebih besar dari 40 mg/ m2 luas permukaan
badan/ jam. Penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori
yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di
sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif
tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus
sawar kapiler glomerulus.
Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang berat.
Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya
tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke
ruang interstitial.
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh
penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya alfa-glikoprotein sebagai
perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara
spontan atau dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali
normal.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus
dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan
edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi
timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai
usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap
normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan

13
demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat
ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu
rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium
dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat, dan kadar natirum rendah.
Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan bahwa
peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia,
tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena
tersebut. Skema terbentuknya edema menurut TEORI UNDERFILL :

Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan


volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga
timbullah konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal
natrium dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada
stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi
volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat
overfilling cairan ke dalam kompartmen interstitial. Teori overfill ini dapat
menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan
aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia. Pembentukan sembab pada sindrom
nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan mungkin saja kedua proses
underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu
yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu
kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.

14
1.5 Gejala Klinis
1. Edema
Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinis utama adalah sembab, yang
tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab muncul
secara lambat sehingga orangtua mengira anak bertambah gemuk. Pada fase awal
sembab sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang
mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau
labia). Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).
Sembab berpindah dengan perubahan posisi. Sembab pada wajah sewaktu
bangun tidur, dan menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya.
Sembab bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting oedema),
menyeluruh, dan dependen. Asites umum dijumpai, dan sering menjadi anasarka.
Akibat sembab kulit, anak tampak lebih pucat. Sembab biasanya tampak lebih hebat
pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut
disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM.
2. Gangguan Gastrointestinal
Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang disebabkan sembab
mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema
atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat
terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena sembab dinding perut atau
pembengkakan hati. Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia dan
terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom
nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan
prolaps ani.
3. Gangguan Pernapasan
Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak,
maka pernapasan sering terganggu, bahkan dapat menjadi gawat. Keadaan ini dapat
diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik. Anak-anak dengan asites akan
mengalami restriksi pernafasan, dengan kompensasi berupa tachypnea.
4. Gangguan Psikososial
Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit
berat dan kronis umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang
sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan
respon emosional, tidak saja pada orangtua pasien, namun juga dialami oleh anak
15
sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu sering dan lama
menyebabkan dunia sosial anak menjadi terganggu.
5. Hipertensi
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian
International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien
SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil umur.
6. Proteinuria
Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria masif yaitu lebih dari
40mg/m2 luas permukaan tubuh/jam atau > 50 mg/kg berat badan/24 jam; biasanya
berkisar antara 1 – 10 gram perhari. Pasien SNKM biasanya ,mengeluarkan protein
yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe lain.
7. Hipoalbumin dan Hiperlipidemia
Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum < 2,5
g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan umumnya
berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL dan VLDL
meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai
1-3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria. Pasien sindrom nefrotik idiopatik
mengalami hiperkolesterolemia, dimana kolesterol serum lebih dari 200 mg/dl.
8. Hematuria
Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun
tidak dapat dijadikan pertanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik.
Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal penyakit.
Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatini serum biasanya
terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik dari tipe histologik yang bukan
SNKM.

1.6 Diagnosis
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:
1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL

16
BIOPSI GINJAL
Biopsis ginjal tidak diperlukan pada sebagian besar anak dengan sindrom
nefrotik. Sebagian besar sindrom nefrotik idiopatik pada anak mempunyai gambaran
histopatologi tipe kelainan minimal (SNKM), yaitu sebesar 80% dengan ciri khasnya
berupa histologi ginjal yang normal pada pemeriksaan dengan mikroskop cahaya.
Gambaran histopatologi lainnya adalah glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-
8%, mesangial proliferatif difus (MPD) 2-5%, glomerulonefritis membranoproliferatif
(GNMP) 4-6%, dan nefropati membranosa (GNM) 1,5%.
Pasien yang menunjukkan gambaran klinik dan laboraturium yang tidak sesuai
dengan gejala kelainan minimal, sebaiknya dilakukan biopsi ginjal sebelum terapi
steroid dimulai. Biopsi ginjal umumnya tidak dilakukan pada sindrom nefrotik
kambuh sering atau dependen steroid (sebelum dimulainya terapi levamisol atau
siklofosfamid) selama masih sensitif steroid.
Adapun indikasi biopsi ginjal adalah sebagai berikut:
1. Pada presentasi awal atau saat onset
a. Awitan sindrom nefrotik pada usia <1 tahun atau lebih dari 16 tahun.
b. Hematuria makroskopik atau mikroskopik persisten, atau kadar komplemen
C3 serum yang rendah
c. Hipertensi menetap.
d. Penurunan fungsi ginjal yang tidak disebabkan oleh hipovolemia
e. Adanya gejala-gejala ekstrarenal, misal arthritis, rash, limfadenopati.
2. Setelah pengobatan inisial
a. Resisten steroid – dini atau lambat
b. Sebelum memulai terapi siklosporin A

1.7 Diagnosa banding


1. Sembab non – renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema hepatal,
edema Quincke.
2. Glomerulonefritis akut.
3. Lupus sistemik eritematosus.
1.8 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, antara lain:
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan
gejala klinis yang mengarah kepada infeksi saluran kemih.

17
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin
pada urin pertama pagi hari.
3. Pemeriksaan darah
a. Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, hematokrit,
LED)
b. Albumin dan kolesterol plasma
c. Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus Schwartz
d. Titer ASO dan kadar komplemen C3 bila terdapat hematuria mikroskopis persisten.
e. Bila dicurigai lupus eritematosus sistemik pemeriksaan ditambah dengan kadar
komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA.

1.9 Komplikasi

1. Syok akibat sepsis, emboli, atau hipovolemia


2. Thrombosis akibat hiperkoagulabilitas
3. Infeksi
4. Hambatan pertumbuhan
5. Gagal ginjal akut atau kronis
6. Efek samping steroid, misalnya sindrom Cushing, hipertensi, osteoporosis, gangguan
emosi, dan perilaku.

1.10 Tatlaksana
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah
sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit,
penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.
Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut:

1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan


2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus
eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi perlu
dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6 bulan
bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT).

18
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema
anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau
syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan
kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah.
Diet
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan
menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi)
dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi
malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi
cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances)
yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak
menderita edema atau hipertensi.
Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop
diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari 2 kali sehari, bila perlu dikombinasikan
dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari.
Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada
pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium
dan natrium darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-
25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial
dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak
mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10
tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila
diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan
pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga
mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang. Skema pemberian
diuretik untuk mengatasi edema tampak pada gambar berikut:

19
Skema Algoritma Pemberian Diuretik

Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2mg/kgbb/hari
atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien
imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat
dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated polio
vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin
virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN
sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan
varisela.

PENGOBATAN DENGAN KORTIKOSTEROID


Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila
ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.
Sebagian besar anak datang dengan sembab atau dengan infeksi berat yang harus
ditangani dengan benar sebelum terapi steroid dimulai.

20
A. TERAPI INSIAL
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60
mg/m LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dibagi dalam 3 dosis,
2

untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal
(berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial
diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan
dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40mg/m LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5
2

mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi.
Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien
dinyatakan sebagai resisten steroid.

Skema Pengobatan Inisial dengan Kortikosteroid

B. PENGOBATAN SN RELAPS
Skema pengobatan relaps dapat dilihat di bawah ini, yaitu diberikan prednison
dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating
selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++
tetapi tanpa edema, sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya,
biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari,
dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps.
Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps
dapat ditegakkan, dan prednison mulai diberikan.

21
Skema Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps

C. PENGOBATAN SN RELAPS SERING ATAU DEPENDEN STEROID


Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:

1. Pemberian steroid jangka panjang


2. Pemberian levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir)
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang
telinga tengah, atau kecacingan.
Faktor risiko terjadinya relaps sering adalah:
a. Onset penyakit pada umur kurang dari 3 tahun
b. Relaps terjadi pada 6 bulan pertama
c. Remisi lambat pada episode awal.
1. Steroid Jangka Panjang
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah
remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb
secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb
setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut
dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba
dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison 0,5
mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb secara alternating.

22
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating,
maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi,
diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan
menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb
setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat
terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps yang terakhir.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating,
tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau
langsung diberikan siklofosfamid (CPA).
Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini:
1. Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau
2. Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
a. Efek samping steroid yang berat
b. Pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia, trombosis, dan sepsis
diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu.

2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan.
Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan
neutropenia yang reversibel.

3. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak
adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.
Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam
dosis tunggal (Gambar 4), maupun secara intravena atau puls (Gambar 5). CPA puls
diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan
2

NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan
interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA
adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik,
azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena
itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit,
trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8

23
g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan
kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif
mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis
total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak.

Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu.
Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang
dan infeksi.

24
4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau
sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari
(100-150 mg/m2 LPB).15 Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah
berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA
dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat
dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali
(dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat
pada bagian penjelasan SN resisten steroid.

5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)


Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik
dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200 mg/m2 LPB atau 25-

25
30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan.16 Efek
samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.
Ringkasan tata laksana anak dengan SN relaps sering atau dependen steroid
dapat dilihat pada Gambar 6.

D. PENGOBATAN SN DENGAN KONTRAINDIKASI STEROID


Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid, seperti
tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat, maka dapat

26
diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat diberikan per oral
dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara intravena (CPA puls). CPA
oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m LPB, 2

yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls
diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah
6 bulan).

E. PENGOBATAN SN RESISTEN STEROID


Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Pada
pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat
gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi mempengaruhi prognosis.

1. Siklofosfamid (CPA)

Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan remisi. Pada
SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat
dicoba pemberian prednison lagi karena SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif
kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten
steroid) atau menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin. Skema
pemberian CPA oral dan puls dapat dilihat pada Gambar 7.

2. Siklosporin (CyA)

Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak 20%
pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.

Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan
juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada
pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap:

a. Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL


b. Kadar kreatinin darah berkala
c. Biopsi ginjal setiap 2 tahun
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam literatur, tetapi
karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat selektif.

27
3. Metilprednisolon puls

Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil prednisolon


puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12
minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-
100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam.19 (Tabel 1).

28
4. Obat imunosupresif lain
Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS adalah
vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur yang masih
sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum direkomendasi di
Indonesia.

PEMBERIAN OBAT NON-IMUNOSUPRESIF UNTUK MENGURANGI PROTEINURIA


Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor blocker
(ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja kedua obat ini
dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan tekanan hidrostatik dan
mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga mempunyai efek renoprotektor melalui
penurunan sintesis transforming growth factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator inhibitor
(PAI)-1, keduanya merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya
glomerulosklerosis. Pada SNSS relaps, kadar TGF-β1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada
SNRS, berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid mempunyai risiko
untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS. Dalam kepustakaan dilaporkan
bahwa pemberian kombinasi ACEI dan ARB memberikan hasil penurunan proteinuria lebih
banyak.
Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan untuk
diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid atau
imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah:

29
1. Golongan ACEI: kaptopril 0.3mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril
0.5mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis, lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal
2. Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal

TATA LAKSANA KOMPLIKASI SINDROM NEFROTIK

1. INFEKSI
Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat infeksi perlu
segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang terutama adalah selulitis dan
peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman Gram
negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin parenteral
dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim atau seftriakson selama 10-
14 hari. Infeksi lain yang sering ditemukan pada anak dengan SN adalah pnemonia dan
infeksi saluran napas atas karena virus.

Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien varisela. Bila
terjadi kontak diberikan profilaksis dengan imunoglobulin varicella-zoster, dalam waktu
kurang dari 96 jam. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan suntikan dosis tunggal
imunoglobulin intravena (400mg/kgbb). Bila sudah terjadi infeksi perlu diberi obat asiklovir
intravena (1500 mg/m2/hari dibagi 3 dosis) atau asiklovir oral dengan dosis 80 mg/kgbb/hari
dibagi 4 dosis selama 7 – 10 hari, dan pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara.

2. TROMBOSIS
Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan bukti defek
ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat trombosis pembuluh
vaskular paru yang asimtomatik. Bila diagnosis trombosis telah ditegakkan dengan
pemeriksaan fisis dan radiologis, diberikan heparin secara subkutan, dilanjutkan dengan
warfarin selama 6 bulan atau lebih. Pencegahan tromboemboli dengan pemberian aspirin
dosis rendah, saat ini tidak dianjurkan.

3. HIPERLIPIDEMIA
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan VLDL
kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL menurun atau
normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik, sehingga meningkatkan
morbiditas kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis.

30
Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara dan
tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup dengan pengurangan diit lemak.
Pada SN resisten steroid, dianjurkan untuk mempertahankan berat badan normal untuk tinggi
badannya, dan diit rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian obat penurun lipid
seperti inhibitor HMgCoA reduktase (statin).

4. HIPOKALSEMIA
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:

a. Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan


osteopenia
b. Kebocoran metabolit vitamin D2.
Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama (lebih dari 3 bulan)
dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D (125-250 IU).
Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 10% sebanyak 0,5 mL/kgbb
intravena.

5. HIPOVOLEMIA
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat terjadi
hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering disertai sakit
perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20 mL/kgbb
dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgbb atau plasma 20 mL/kgbb (tetesan
lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap oliguria, diberikan
furosemid 1-2 mg/kgbb intravena.

6. HIPERTENSI
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit SN
akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE (angiotensin
converting enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker) calcium channel blockers, atau
antagonis β adrenergik, sampai tekanan darah di bawah persentil 90.

7. EFEK SAMPING STEROID


Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang signifikan,
karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan orangtuanya. Efek samping
tersebut meliputi peningkatan napsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku,
peningkatan risiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang. Pada

31
semua pasien SN harus dilakukan pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid, pengukuran
tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi
timbulnya katarak setiap tahun sekali.

1.11 Prognosis

Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut:


1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
2. Disertai dengan hipertensi.
3. Disertai hematuria
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal
Pada umumnya sebagian besar (80%) sindrom nefrotik primer memberi respon yang baik
terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relapse
berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.

32
BAB 3
KESIMPULAN
Sindoma nefrotik adalah suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari
proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia serta sembab. Proteinuria masif
adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/ kg berat badan/ hari atau lebih.
Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl. Terkadang juga
dijumpai hipertensi, hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia.
Gejala yang biasanya timbul sehingga membuat pasien sindrom nefrotik datang
memeriksakan diri yaitu edema palpebra atau pretibia. Apabila makin memberat akan disertai
asites, efusi pleura, dan edema genitalia. Pada kasus lain juga disertai oliguria, gejala infeksi,
nafsu makan berkurang, serta diare. Keadaan semakin buruk bila disertai dengan nyeri perut
karena hal ini bisa menunjukkan terjadinya peritonitis atau hipovolemia.
Sindrom nefrotik pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering
dijumpai. Insiden sindrom nefrotik dipengaruhi oleh usia, ras, dan geografis. Insidens
sindroma nefrotik pada anak di Amerika Serikat dan Inggris yaitu 2 sampai 7 kasus baru per
100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12 sampai 16 kasus per 100.000 anak.
Angka ini berbeda dengan negara berkembang yang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia
dilaporkan kasus sindroma nefrotik sebesar 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang
dari 14 tahun. Adapun perbandingan anak laki-laki dan perempuan yaitu sebesar 3:2.
Etiologi sindroma nefrotik dibagi 2 yaitu primer/idiopatik, dan sekunder. Dikatakan
sindroma nefrotik primer oleh karena sindrom ini secara primer terjadi akibat kelainan pada
glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada
anak.
Sebagian besar sindrom nefrotik idiopatik pada anak mempunyai gambaran patologi
anatomi kelainan minimal (SNKM), yaitu sebesar 80%. Gambaran patologi anatomi lainnya
adalah glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus (MPD)
2-5%, glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) 4-6%, dan nefropati membranosa
(GNM) 1,5%. Pada pengobatan kortikosteroid inisial sebagian besar SNKM (94%)
mengalami remisi total (responsif), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak responsif (resisten
steroid). Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun menunjukkan hanya
4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal
terminal dalam 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal.
Berdasarkan data dari berbagai penelitian jangka panjang, penentuan prognosis lebih sering
ditentukan oleh respons terhadap pengobatan steroid dibandingkan dengan gambaran patologi
33
anatomi. Sehingga klasifikasi sindrom nefrotik pada saat ini lebih didasarkan pada respons
klinik yaitu Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) dan Sindrom nefrotik resisten steroid
(SNRS).

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Kompendium Nefrologi Anak. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia: 2011.
2. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi Keenam, Elsevier: 2014.
3. Sindroma Nefrotik, Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi Pertama, Badan Penerbit IDAI:
2008.
4. Sindroma Nefrotik, Pedoman Diagnosis dan Terapi. Edisi III, Buku dua, RSUD dr.
Soetomo Surabaya: 2008.

35

Anda mungkin juga menyukai