Anda di halaman 1dari 57

Morning Report Komite Medik RSUD Kota Mataram

Diabetes Melitus Tipe II, Chronic Kidney Disease stage V,


Eritema Multiforme, Herpes Zoster Generalisata, Impetigo
Bulosa

OLEH :
dr. Indah Widya Astuti

PEMBIMBING :
dr. Yuni Rahmawati, Sp.PD
dr. Angelica Vanini, Sp.KK

DALAM RANGKA MENGIKUTI PROGRAM INTERNSHIP


BAGIAN INSTALASI GAWAT DARURAT
RSUD KOTA MATARAM
2018
ABSTRAK
Diabetes Melitus Tipe II, Chronic Kidney Disease stage V, Eritema Multiforme, Herpes
Zoster Generalisata, Imetigo Bulosa
Indah Widya Astuti, Yuni Rahmawati, Angelica Vanini
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Mataram

Latar Belakang : Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan masyarakat di


seluruh dunia, insiden dan prevalensi penyakit ginjal meningkat di Amerika Serikat, dari
340.000 orang pada tahun 1999 menjadi 651.000 orang pada tahun 2010. Berdasarkan data di
beberapa pusat nefrologi di Indonesia, diperkirakan insiden PGK berkisar 100-150/juta
penduduk dan prevalensinya 200-250/juta penduduk pada tahun 2005. Anemia merupakan
komplikasi PGK yang sering terjadi, bahkan dapat terjadi lebih awal dibandingkan
komplikasi PGK lainnya dan pada hampir semua pasien PGK. Anemia sendiri juga dapat
meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas secara bermakna dari PGK
Kasus : Laki-laki usia 49 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri pinggang kanan sejak 3
hari sebelum MRS. Keluhan nyeri pinggang dirasakan hilang timbul, tidak ada faktor yang
dapat meringankan atau memperberat keluhan. Riwayat BAK menetes, berpasir atau
berwarna merah disangkal. Pasien juga mengeluhkan saat datang ke IGD terdapat bintik-
bintik di dahi menyerupai cacar, tidak gatal, tidak nyeri, dan hanya di dahi saja. Keluhan lain
seperti mual, muntah, demam disangkal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan KU sedang, GCS compos mentis. Tekanan darah 140/80
mmHg, nadi 86 x/menit, pernapasan 20 x/menit, suhu aksila 36,60C, BMI 23,4 (Normal),
konjungtiva anemis (-), dan terdapat vesikel serta erosi pada wajah hingga leher, dada hingga
perut, serta punggung tangan kanan

Kata kunci : penyakit ginjal kronis, anemia, nefropati diabetik, diabetes mellitus, impetigo
bulosa, eritema multiforme, herpes zoster

1
BAB 1
LAPORAN KASUS

Tanggal Masuk RSUD Kota Mataram : 17 September 2018 (pukul 11.21 WITA)
No. RM : 302933
Diagnosis Masuk : Kolik Renal dan Hipoglikemia
Tanggal Pemeriksaan : 29 September 2018

1. IDENTITAS
Nama : Tn. Z
Usia : 49 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Rumak, Kediri, Lombok Barat
Suku : Sasak
Agama : Islam
Status : Menikah
Pendidikan : Sarjana
Pekerjaan : Guru

2. SUBYEKTIF
2.1.Keluhan Utama
Nyeri pinggang
2.2.Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri pinggang kanan sejak 3 hari
sebelum MRS. Keluhan nyeri pinggang dirasakan hilang timbul, tidak ada faktor yang
dapat meringankan atau memperberat keluhan. Riwayat BAK menetes, berpasir atau
berwarna merah disangkal. Pasien juga mengeluhkan saat datang ke IGD terdapat
bintik-bintik di dahi menyerupai cacar, tidak gatal, tidak nyeri, dan hanya di dahi saja.
Keluhan lain seperti mual, muntah, demam disangkal. Setelah diobservasi di IGD
RSUD Kota Mataram pasien dirawat di ruangan.
Pada saat pemeriksaan, tanggal 29 September 2018, keluhan nyeri
pinggang pasien telah membaik. Pasien masih mengeluhkan lemas pasca dilakukan
cuci darah, keluhan mual, muntah, dan sesak disangkal. Pasien juga

2
mengungkapkan bintik-bintik pada tubuh sudah berubah kehitaman dan tidak
nyeri.
Untuk riwayat BAK, pasien mengatakan bahwa air kencing pasien keluar
lancar. Dalam 1 hari biasanya pasien kencing 5-6 kali dengan jumlah air kencing
sekitar satu gelas belimbing (+/- 200cc) setiap kencingnya. Air kencing berwarna
kuning normal, tidak ada darah. Rasa nyeri maupun rasa panas pada saat kencing
disangkal.
Untuk riwayat BAB, pasien mengaku BAB rutin 1 kali sehari dan BAB
terakhir yaitu 2 hari sebelum masuk rumah sakit dan diketahui kotoran pasien
berwarna coklat kekuningan dengan konsistensi lembek namun dalam jumlah yang
sedikit.
2.3.Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat tekanan darah tinggi, kencing manis, dan asam urat dan telah
mengkonsumsi obat-obatan berupa amlodipin, metformin, dan glimepirid. Namun,
menurut pengakuan kelaurga pasien tidak rutin melakukan pemeriksaan gula darah
dan tekanan darah secara berkala dan tidak rutin menggunakan obat untuk kencing
manis dan hipertensinya. Selain itu pasien pernah mengeluhkan kencing batu 2 tahun
yang lalu dan telah memeriksakan diri ke spesialis urologi namun dari hasil
pemeriksaan sudah tidak ditemukan batu. Riwayat penyakit jantung, asma, dan
penyakit hati disangkal pasien.
2.4.Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluhan serupa yang dialami oleh keluarga pasien. Riwayat asam urat (-),
Hipertensi (-), asma (-), Diabetes Mellitus (-), penyakit jantung (-), penyakit ginjal (-),
penyakit hati (-).
2.5.Riwayat Pengobatan
Untuk keluhan saat ini, pasien telah memeriksakan diri ke Puskesmas Kediri tanggal
15 September dan telah diberikan obat yaitu Ibuprofen namun keluhan tidak membaik
dan pasien membeli obat sendiri yaitu Parasetamol. Pada tanggal 17 pasien kembali
ke Puskesmas Kediri untuk meminta surat rujukan ke RSUD Kota Mataram
2.6.Riwayat Lingkungan dan Sosial
Pasien merupakan Guru Sekolah Menengah Pertama di Kediri dan tinggal bersama
istri dan anaknya. Kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol disangkal oleh pasien.
Menurut keluarga pasien terdapat tetangga yang memiliki ruam seperti cacar.
2.7.Riwayat Alergi
3
Riwayat alergi makanan maupun obat disangkal oleh pasien.

3. PEMERIKSAAN FISIK
3.1. Status Generalis
 Keadaan umum : sedang
 Kesadaran : compos mentis
3.2.Tanda Vital
 Tekanan Darah : 140/80 mmHg (posisi baring)
 Nadi : 92 x/menit, regular, kuat angkat (posisi baring)
 Frekuensi Nafas : 20 x/menit, regular, tipe torakoabdominal
 Suhu aksiler : 36,6ºC
 SpO2 : 99% tanpa O2
 CRT : < 2 detik
3.3. Pertumbuhan
 Berat badan : 60
 Tinggi Badan : 160 cm
 BMI : 23,4 (normal)
3.4. Pemeriksaan Fisik Umum
 Kepala dan leher
- Kepala : Ekspresi wajah normal, bentuk dan ukuran normal, rambut normal,
edema (-), Parese N. VII (-), Nyeri tekan kepala (-), Massa (-).
- Mata :konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterus (-/-), reaksi cahaya pupil
(+/+) isokor, exoptalmus (-/-), nistagmus (-/-), strabismus (-/-), ptosis
(-/-), edema palpebra (-/-), kornea dan lensa normal, pergerakan bola
mata ke segala arah normal, nyeri tekan periorbita (-).
- Telinga : simetris, otorrhea (-/-), nyeri tekan (-/-), pendengaran kesan normal.
- Hidung :deformitas(-),rhinorrhea (-), perdarahan(-), deviasi septum(-),
mukosa normal, hiperemis (-).
- Mulut :
Bibir :sianosis (-), stomatitis angularis (-), pursed lips breathing (-)
Gusi :hiperemia (-), perdarahan (-)
Lidah :glositis (-), atropi papil lidah (-), lidah berselaput (-),
kemerahan di pinggir (-), tremor (-), lidah kotor (-)
Gigi :karang gigi (-)
4
Mukosa :normal

- Leher :deviasi trakea (-), kaku kuduk (-), pembesaran kel. tiroid (-), massa
(-), pembesaran KGB (-), otot SCM tidak aktif maupun hipertrofi,
JVP 5+2 (tidak meningkat)
 Thoraks
1. Inspeksi
 Bentuk dada normal, ukuran dada simetris kiri dan kanan
 Pergerakan dinding dada simetris antara kiri dan kanan
 Permukaan dada : skar (-), petechiae (-), purpura (-), spider naevi (-), vena
kolateral (-), massa (-), ginekomasti (-), iktus kordis tidak tampak
 Penggunaan otot bantu nafas : otot SCM aktif (-), hipertrofi SCM (-), otot
bantu abdomen aktif (-)
 Fossa jugularis: tidak tampak adanya deviasi trakea
 Fossa supraclavicularis dan infraclavicularis simetris antara kiri dan kanan
 Tulang iga dan sela iga : simetris kiri dan kanan, pelebaran sela iga (-)
 Tipe pernapasan : torakal
2. Palpasi
 Pergerakan dinding dada simetris antara kiri dan kanan
 Posisi mediastinum : deviasi trakea (-), iktus kordis teraba di ICS V linea
midklavikula sinistra
 Nyeri tekan (-), massa (-), edema (-), krepitasi (-)
 Fremitus vocal
Kanan Kiri
Normal Normal
Normal Normal
Normal Normal
3. Perkusi
- Densitas
Kanan Kiri
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor

5
- Batas paru-hepar
- Inspirasi : ICS VI
Ekskursi 2 ICS
- Ekspirasi : ICS IV
- Batas paru-jantung
- Kanan : ICS IV linea parasternalis dekstra
- Kiri : ICS V axillaris anterior
4. Auskultasi
 Cor : S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)
 Pulmo :
o Suara napas
Lapang Paru Depan
Kanan Kiri
Vesikular Vesikular
Vesikular Vesikular
Vesikular Vesikular

Lapang Paru Belakang


Kanan Kiri
Vesikular Vesikular
Vesikular Vesikular
Vesikular Vesikular

o Suara napas tambahan rhonki


Lapang Paru Depan
Kanan Kiri
- -
- -
- -

Lapang Paru Belakang


Kiri Kanan
- -

6
- -
- -

o Suara napas tambahan wheezing


Lapang Paru Depan
Kanan Kiri
- -
- -
- -

Lapang Paru Belakang


Kiri Kanan
- -

- -

- -

 Abdomen
1. Inspeksi:
 Distensi (-), darm countuor (-), darm steifung (-), membesar (-)
 Umbilicus: masuk merata
 Permukaan kulit: tanda-tanda inflamasi (-), sianosis (-), venektasi (-),
ikterik (-), massa (-), vena kolateral (-), caput meducae (-), papula (-),
petekie (-), purpura (-), ekimosis (-).
2. Auskultasi:
 Bising usus (+) normal, frekuensi 16 x/menit
 Metallic sound (-)
 Bising aorta (-)
3. Perkusi:
 Orientasi
Timpani Timpani Timpani

Timpani Timpani Timpani

7
Timpani Timpani Timpani

 Organomagali : hepatomegali (-), splenomegali (-)


 Nyeri ketok CVA: (-/-)
 Shifting dullness : (-)
4. Palpasi:
 Nyeri tekan epigastrium (-)
 Hepar, lien, dan ren dextra/sinistra tidak teraba
 Tes undulasi (-)

Ekstremitas
 Akral hangat : + +  Sianosis : - -
+ + - -

 Edema : - -  Clubbing finger : - -


- - - -

 Deformitas : - -  Tremor : - -
- - - -
 Pergerakan sendi : normal
 Capillary Refill Time < 2 detik

Genitourinaria
Tidak dievaluasi.
3.5.Status lokalis
a. Tanggal 17 September 2018

8
b. Tanggal 29 September 2018

9
4. RESUME
Pasien laki-laki usia 49 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri pinggang kanan
sejak 3 hari sebelum MRS. Keluhan nyeri pinggang dirasakan hilang timbul, tidak ada
faktor yang dapat meringankan atau memperberat keluhan. Riwayat BAK menetes,
berpasir atau berwarna merah disangkal. Pasien juga mengeluhkan saat datang ke IGD
terdapat bintik-bintik di dahi menyerupai cacar, tidak gatal, tidak nyeri, dan hanya di dahi
saja. Keluhan lain seperti mual, muntah, demam disangkal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan KU sedang, GCS compos mentis. Tekanan darah
140/80 mmHg, nadi 86 x/menit, pernapasan 20 x/menit, suhu aksila 36,60C, BMI 23,4
(normal), konjungtiva anemis (+).

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
5.1.Pemeriksaan Darah Lengkap

Parameter Hasil Nilai Rujukan

10
17-09-18 27-09-18

HGB 10.6 7,0 12,3–15,3 g/dL


RBC 4,08 2,98 4,1 – 5,1 x 106 /µL
HCT 30,2 21,7 35,0 – 47,0 %
MCV 74,2 72,8 80,0 – 96,0 fl
MCH 25,9 23,5 26,0 – 32,0 pg
MCHC 35 32,3 32,0 – 36,0 g/dL
WBC 16,93 11,10 4,5–11,5 x 103 /µL
Eosinophil 0,9 2,3 1,0 – 3,0 %
Basofil 0,2 0,7 0 – 2,0 %
Neutrophil 89 82,8 50 – 70 %
Limfosit 7,1 6,7 18 – 42 %
Monosit 2,8 7,5 2,0 – 11,0 %
PLT 411 308 150– 450 x 103 /µL

5.2.Pemeriksaan lainnya
 Kimia klinik

Hasil Nilai
Parameter
17-09 18-09 20-09 25-09 27-09 28-09 Rujukan

GDS 41 <160 mgl/dl


74-106
GDP 177
mg/dl
0,6 – 1,1
Kreatinin 2,15 9,39 5,19 6,77
mgl/dl
17,0 – 43,0
Ureum 65,8 267,4 132,1 155,1
mgl/dl
SGOT 140 < 40 mgl/dl
SGPT 147 < 41 mgl/dl
136 -145
Na 143
mmol/l
K 5,1 3,5-5,1

11
mmol/l
98-107
Cl 113
mmol/l
Asam urat 7,8 2,3-6,6
Hba1C 7,8 <7%
Albumin 3,2 3,4 – 4,8
Bilirubin
0,3 0,3 – 1,2
total
Bilirubin
0,09 <0,2
direk
Bilirubiin
0,21 0-0,75
indirek

 Pemeriksaan serologi

Hasil
Parameter
18-09-18 25-09-18

HbsAg Negatif Negatif


Anti HIV penyaring Non reaktif
Anti HCV Negatif

 Pemeriksaan urin lengkap

Parameter Hasil Nilai rujukan

Warna Kuning Kuning

Kejernihan Jernih Jernih


Blood Negative Negatif
Berat jenis 1,010 1,000-1,030
pH 6,0 5,0 – 9,0
Leukosit esterase Negative Negatif
Nitrit Negative Negatif
Protein (+) 2 Negatif
Glukosa Negatif Negatif

12
Keton Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Jamur Negatif Negatif
Eritrosit 1-3 0-2
Leukosit 2-3 0-5
Sel epitel 2-4 0-2
Kristal (+) amorf urat Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Silinder Negatif Negatif

 Pemeriksaan Tzanck (26-09-2018)


Hasil pemeriksaan scrapping vesikel kaki dan bahu tidak ditemukan bentukan
Tzanck cell.
 Pemeriksaan gram dan KOH
a. Hasil pengecatan gram pada sampel scrapping vesikel terbaru ditemukan
bentukan kuman Coccus gram positif, ditemukan bentukan spora jamur,
PMN 0-5 per lapang pandang, epitel 0-5 per lapang pandang.
b. Hasil pemeriksaan KOH dibentukan bentukan spora jamur

 Rontgen Thorax dan BNO 3 posisi

13
 EKG

14
 Pemeriksaan USG
a. USG Abdomen (18-09-18)

15
Kesan:
- Suspek chronic parenchymal kidney disease bilateral
- Saat ini hepar/GB/lien/pancreas/buli/prostat tak tampak kelainan
b. USG Urologi (17-09-18)

16
Kesan:
- Suspek chronic parenchymal kidney disease bilateral
- Saat ini hepar/GB/lien/pancreas/buli/prostat tak tampak kelainan

17
6. DIAGNOSIS
- CKD Stadium V
- DM Tipe II
- Eritema Multiforme e.c drug eruption suspek Ketorolac
- Hipertensi
- Hipoglikemia
7. FOLLOW UP
1. Keluhan dan tanda vital setiap hari
2. Observasi produksi urin (jumlah dan warna)
3. Observasi darah lengkap, kimia darah, dan elektrolit secara berkala
8. PROGNOSIS
Dubia ad malam

18
FOLLOW UP PASIEN
Tanggal Subyektif Obyektif Assessment Planning Keterangan
Senin, 17 Nyeri pinggang Keadaan Umum : sedang Kolik renal Terapi
September Kesadaran : CM Hipoglikemia • IVFD RL 20 tpm
2018 Tekanan Darah : 160/1000 mmHg • Inj. Antrain 1 amp
Nadi : 100 x/menit, regular dan kuat • Inj. Ranitidine 1 amp
angkat • Bolus D40% 2 flacon
Frekuensi Nafas : 20 x/menit • Konsul urologi, advice:
Tax : 36,6ºC, - IVFD RL 20 tpm
spO2 100% - Drip ketoroloc 3% 1
nyeri ketok CVA sinistra amp
- Inj. Ceftriaxone 2x1
amp
- USG Urologi

Di ruangan:
Nyeri perut KU sedang Kolik abdomen  Terapi urologi lanjut
melilit sejak 2 Tampak vesikel di kepala dan LBP  Inj. Scopamin 1 amp
hari yg lalu abdomen ukuran bervariasi Hipoglikemia (ekstra)
hilang timbul, BU (+) meningkat DM Tipe II  Pro konsul interna
nyeri pinggang, GFR 32 mg/dl HT grade II  Pro konsul kulit
BAB cair 3 kali Suspek Varicella
(ampas minimal), Suspek CKD
ruam di badan stadium IV
sejak 2 hari yg
lalu.
Selasa, 18 Visite bagian Keadaan Umum : sedang CKD stadium IV • Konsul interna
September urologi: Kesadaran : CM Suspek Varicella • Konsul kulit
2018 Nyeri pada Tekanan Darah : 100/60 mmHg
pinggang seperti Nadi : 82 x/menit, regular dan kuat
ditusuk-tusuk angkat
Frekuensi Nafas : 18 x/menit
14
Tax : 36,ºC
spO2 98%

Visite bagian
kulit:
Pletingan pada regio frontal + trunk : vesikel, Impetigo bulosa • Antibiotic sesuai TS
wajah dan badan, beberapa erosi Viral exanthema • Loratadin 2x1 tab
nyeri, riwayat • Gentamicin cream
cacar tidak 2x/hari
diketahui

Visite bagian
Interna:
Nyeri perut (+) TD 100/60 Obs. Ileus • Puasa
BAB (-) sejak 2 VAS 7 dd/ Pankreatitis • USG Abdomen dan BNO
hari BU (+) menurun akut 3 posisi
Kolesistitis akut • Inj. Scopamin (KP)
AKI dd ACKD • Drip metoclopramid
dalam RL 14 tpm
(ekstra)
• Inj. Furosemid 3x1 amp
• Inj. Prosogan 1x1
• Inj. Meropenem 3x500
mg
• Konsul bedah cito
Hasil konsul bedah:
Cek albumin dan
elektrolit
Jika SGOT dan SGPT
meningkat  cek HbsAg
dan bilirubin

15
RT
Hasil BOF kesan tidak
ada perforasi
Rabu, 19 Visite bagian Keadaan Umum : sedang Obs. Ileus • Diit bubur saring, bila
September Bedah: Kesadaran : CM tidak kembung lanjut
2018 Tekanan Darah : 160/90 mmHg bubur biasa, bila
Nadi : 92 x/menit, regular dan kuat kembung pasang NGT
angkat dan DC
Frekuensi Nafas : 20 x/menit • Terapi lain sesuai Sp.PD
Tax : 36,6ºC, dan Sp.KK
Visite bagian
Kulit:
Plentingan (+) Impetigo bulosa • Terapi lanjut
• Dexocort cream 2x/hari
Visite bagian
Interna:
Nyeri perut (+) KU sedang CKD stadium IV • Drip tramadol stop
VAS 2 ISK • Inj. Meropenem 3x500
TD 160/90 mmHg Ileus paralitik mg
N 92x/min • Cek GDS/hari
Tax 36,5 • Cek HbA1C dan GDP
Abd/ BU (+) • Diit bubur saring
USG Abdomen: parenchimal kidney
disease

Kamis, 20 Visite bagian Keadaan Umum : sedang Obs. Ileus • Terapi lanjut
September Bedah: Kesadaran : CM • Diit bubur
2015 Tekanan Darah : 110/70 mmHg • Lain-lain sesuai Sp.PD
Nadi : 78 x/menit, regular dan kuat
angkat
Frekuensi Nafas : 20 x/menit

16
Tax : 36,6ºC,
GD I 229 mg/dl
GD II 240 mg/dl

Visite bagian
Kulit:
Telinga terasa Impetigo bulosa dd • Saran dexa ganti inj.
tersumbat viral exanthema Metilpredisolon 2x62,5
Panas naik turun mg
• Terapi lanjut
Visite bagian
Interna: DM Tipe 2
Tidak ada EKG: sinus takikardi Impetigo bulosa • Inj. Apidra 3x8 IU
keluhan • Inj. Lantus 0-0-12 IU
• Bisoprolol 1x2.5 mg
• Furosemid stop
• Inj.digoxin 1 amp extra
Jumat, 21 Lemas (+) Keadaan Umum : sedang syok • Fluid challenge loading
September Nafsu makan Kesadaran : CM DM tipe 2 RL 200cc  tambah 300
2015 turun Tekanan Darah : 70/40 mmHg Impetigo bulosa cc
Nadi : 88 x/menit, regular dan kuat
angkat
Frekuensi Nafas : 20 x/menit
Tax : 36,5ºC,
Visite bagian
kulit:
Lesi baru (-) Vesikel, krusta (+) • Terapi lanjut
Nyeri berkurang

Visite bagian
interna:
pusing KU sedang • Inj. Lantus 0-0-12 IU

17
Kesadaran CM • Inj. Apidra 3x8 IU
TD 90/60 mmHg • Terapi lain lajut

Sabtu, 22 Visite bagian Keadaan Umum : sedang DM tipe 2 • Terapi lanjut


September interna: Kesadaran : CM Impetigo bulosa • Drip Neurobion 5000
2018 Nyeri pada lutut Tekanan Darah : 117/60 mmHg dalam RL 12 tpm
Nadi : 88 x/menit, regular dan kuat
angkat
Frekuensi Nafas : 20 x/menit
Tax : 36,5ºC,
Visite bagian
kulit:
Lesi baru pada Lesi berkonfluen, krusta (+) Impetigo bulosa • Cek gram
punggung tangan dermatitis • Kompres Nacl 0.9% pada
kanan lesi di tangan 3x per hari
• Terapi lanjut
16.00 wita
lemas KU sedang Hipoglikemia • Bolus D40% 2 fl
Kesadaran CM • IVFD D10% 20 tpm
TD 100/70 mmHg • Bila GDS >200 infus
N 80x/menit ganti RL
GDS 29 mg/dl • Cek GDS post koreksi
hipoglikemia  126
mg/dl

Minggu, Visite bagian Keadaan Umum : sedang DM tipe 2 • IVFD D10% 20 tpm
23 interna: Kesadaran : CM Hipoglikemia • Inj. Lantus dan Apidra
September Lemas Tekanan Darah : 117/60 mmHg CKD stadium IV stop
2018 Makan berkurang Nadi: 88 x/menit, regular dan kuat • Cek GDS/12 jam

18
angkat
Frekuensi Nafas : 20 x/menit
Tax : 36,5ºC
18.15
Tidak bisa tidur KU sedang CKD stadium IV Bolus D40% 1 flakon 
Kes CM DM tipe II IVFD D10% 28 tpm
TD 100/70 mmHg Hipoglikemia Alprazolam 0,5 mg ekstra
RR 24x/menit Impetigo bulosa Terapi lain lanjut
N 72x/menit
Tax 36oC
GDS 62 mg/dl
Senin, 24 Visite bagian Keadaan Umum : sedang DM tipe 2 Cek GDS/12 jam
September interna: Kesadaran : CM Hipoglikemia Cek ureum dan kreatinin
2018 Tidak bisa tidur Tekanan Darah : 180/100 mmHg CKD stadium IV Terapi lanjut
Nadi: 102 x/menit, regular dan kuat
angkat
Frekuensi Nafas : 22 x/menit
Tax : 36,4ºC
Visite bagian
kulit:
Gatal pada badan Vesikel baru (-) Suspek EMM Terapi lanjut
dan kulit mulai Erosi (+) krusta (+) Impetigo bulosa Saran inj. Metilprednisolon
terkelupas Herpes zoster 1x62,5 mg  acc dari
generalisata bagian interna
Loratadin 2x1 tab
CTM 3x1 tab
Saran konsul jiwa
Hasil konsul jiwa:
Merlopam tab 1x1 mg
(mala mini)
Selasa, 25 Visite bagian Gangguan Lodomer 2x0,5 mg tab
September Jiwa: campuran cemas Merlopam 1x1 mg tab

19
2018 Gelisah dan depresi (malam)
Tidak bisa tidur Psikoterapi keluarga

Visite bagian Keadaan Umum : sedang CKD stadium V IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
interna: Kesadaran : CM Hipertensi KIE HD
Lemas Tekanan Darah : 160/100 mmHg DM Cek Ureum, Kreatinin, DL
Tidak bisa tidur Nadi: 102 x/menit, regular dan kuat post HD
angkat Cek GDS/12 jam
Frekuensi Nafas : 22 x/menit Concor 1x5 mg
Tax : 36,4ºC Asam folat 3x1 tab

Visite bagian
kulit: Vesikel baru (-) Eritema Terapi lanjut
Lesi baru (-) Erosi (+) krusta (+) multiforme e.c Kompres NaCl 3x/hari 
Nyeri berkurang drug gentamisin cream
Herpes zoster Pemeriksaan Tzanck pada
generalisata kaki
Rabu, 26 Visite bagian Gangguan Lodomer 2x0,75 mg tab
September Jiwa: campuran cemas Merlopam 1x1 mg tab
2018 Gelisah (-) Mood/afek disformik dan depresi (malam)
Tidak bisa tidur Psikoterapi individu
keluarga

Visite bagian Keadaan Umum : sedang CKD stadium V Cek Ureum, Kreatinin, DL
interna: Kesadaran : CM Hipertensi post HD
Hidung Tekanan Darah : 160/97 mmHg DM Cek GDS jam 8 malam 
tersumbat Nadi: 100 x/menit, regular dan kuat jika >200 Inj. Lantus 8 IU
angkat SC
Frekuensi Nafas : 22 x/menit Cek GD I/II
Tax : 36,4ºC Tremenza 3x1 tab
GDS 94 mg/dl

20
Visite bagian
kulit:
Lesi baru (-) Vesikel baru (-) Eritema Terapi lanjut
Nyeri berkurang Erosi (+) krusta hitam multiforme e.c
drug eruption
Herpes zoster
generalisata
Kamis, 27 Visite bagian Gangguan Lodomer 2x0,75 mg tab
September Jiwa: campuran cemas Merlopam 1x1 mg tab
2018 Gelisah (-) Mood/afek disformik dan depresi (malam)
Tidak bisa tidur Psikoterapi individu
keluarga

Visite bagian Keadaan Umum : sedang CKD stadium V Cek Ureum, Kreatinin tiap
interna: Kesadaran : CM Hipertensi 3 hari
Hidung Tekanan Darah : 160/97 mmHg DM Cek GDS/hari
tersumbat Nadi: 100 x/menit, regular dan kuat Tremenza 3x1 tab ganti
angkat dengan Tuzalos 3x1 tab
Frekuensi Nafas : 22 x/menit Transfuse PRC 2 lb/hari
Tax : 36,4ºC sampai Hb 10 mg/dl
GDS 94 mg/dl premed Inj. Furosemid 1
amp
Cek DL post transfuse 3 lb

Jumat, 28 Visite bagian Gangguan Lodomer 2x0,75 mg tab


September Jiwa: campuran cemas Merlopam 1x1 mg tab
2018 Gelisah (-) Mood/afek sesuai dan depresi (malam) stop
Nyeri bekas
suntikan

21
Visite bagian Keadaan Umum : sedang CKD stadium V Cek Ureum, Kreatinin 
interna: Kesadaran : CM Hipertensi bila Ureum Kreatinin
Hidung Tekanan Darah : 130/80 mmHg DM meningkat HD
tersumbat Nadi: 100 x/menit, regular dan kuat Terapi lanjut
angkat
Frekuensi Nafas : 22 x/menit Konsul hasil lab, advice: Hasil konsul
Tax : 36,4ºC HD 2x/minggu anestesi:
GDS 152 mg/dl Konsul anestesi pasang KI pemasangan
double lumen double lumen
Allopurinol 1x100 mg karena herpes
Recolfar 1x0,5 mg zoster  HD
Visite bagian manual di
kulit: a.femoralis
Lesi baru (-) Vesikel baru (-) Eritema Terapi lanjut
Nyeri berkurang Erosi (+) krusta hitam multiforme e.c
suspek Ketorolac
Herpes zoster
generalisata
Sabtu, 29 Visite bagian Gangguan Lodomer 2x0,75 mg tab
September Jiwa: campuran cemas
2018 Tidur (+) Mood/afek sesuai dan depresi
Bicara nyambung

Visite bagian
kulit:
Lesi baru (-) Vesikel baru (-) Eritema Terapi lanjut
Nyeri berkurang Erosi multiple (+) krusta hitam multiforme e.c Kompres 4x/hari
drug eruption
Herpes zoster
generalisata

22
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Penyakit Ginjal Kronik (Chronic Kidney Disease)
1.1.Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah
kerusakan ginjal atau penurunan ginjal kurang dari 60% ginjal normal yang bersifat
progresif dan irreversibel, menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk membuang
toksin dan produk sisa dari darah serta tidak dapat berfungsi secara maksimal.
Kerusakan ginjal tersebut ditandai dengan albuminuria (>30 mg albumin urin per
gram dari creatinin urin), Glomerular Filtration Rate (GFR) <60ml/menit/1,73 m2
dengan jangka waktu lebih dari 3 bulan.1-4
Untuk dapat menegakan suatu penyakit ginjal kronik, ada kriteria yang perlu
dipenuhi. Pada tahun 2002, National Kidney Foundation. K/DOQI clinical practice
guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification, and stratification.
memberikan kriteria dalam mendefinisikan penyakit ginjal kronik (tabel 1). Tidak
adanya kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dan LFG sama atau lebih dari
60ml/menit/1,73m2 tidak termasuk dalam kriteria penyakit ginjal kronik. Oleh karena
itu, menurut CARI Guidelines dari Kidney Health Australia (2012), setiap orang perlu
melakukan pemeriksaan minimal setiap 3 bulan untuk memperkirakan laju filtrasi
glomerolusnya dan atau mencari bukti dari kerusakan organ ginjalnya seperti
albumunuria, proteinuria, haematuria, atau keadaan abnormalitas struktur lainnya.
Kriteria diagnostik ini berlaku pada setiap ras dan gender.5-8
Tabel 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik berdasarkan K/DOQI8
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
1. Kerusakan ginjal ≥3 bulan yang ditandai dengan kelainan structural atau
fungsional ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG),
yang ditandai dengan:
a. Kelainan patologis
b. Tanda kerusakan ginjal, termasuk abnormalitas komposisi darah atau urin
atau pada pemeriksaan pencitraan.
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) <60ml/min/1,73 m2 selama ≥3 dengan atau
tanpa kerusakan ginjal.

23
Sumber: National Kidney Foundation. K/DOQI clinical practice guidelines for
chronic kidney disease: evaluation, classification, and stratification.
American Journal of Kidney Diseases. 2002.
1.2.Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dasar derajat (stage)
penyakit.Klasifikasi ini dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan
rumus Kockcroft-Gault. Di sisi lain, menurut CARI Guidelines dari Kidney Health
Australia (2012), dalam memberi klasifikasi dari stadium penyakit ginjal kronik, perlu
dikombinasilan dengan menghitung fungsi ginjal orang tersebut yakni dengan
mempertimbangkan kadar albuminuria atau proteinuria. Hal ini nantinya akan
memberikan gambaran progresifitas penyakit ginjal kronik tersebut.5,8
Gambar 1. Rumus Kockroft-Gault

(140−umur) x BB
LFG (ml/mnt/1,73m2) = *
72 x kreatinin plasma

*) pada perempuan dikalikan 0,85


Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Derajat Penjelasan LFG
(ml/menit/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG ≥90
normal / meningkat
2 Kerusakan ginjal dengan LFG 60-89
turun ringan
3 Kerusakan ginjal dengan LFG 30-59
Turun sedang
4 Kerusakan ginjal dengan LFG 15-29
Turun berat
5 Gagal ginjal <15 atau dialysis

Tabel 3. Klasifikasi Kerusakan Ginjal Berdasarkan Kadar Albumin dan Protein Urin

24
Tabel 4. Risiko Progresivitas Penyakit Ginjal Kronik

1.3.Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi pada setiap individu. Namun
demikian, disebutkan beberapa etiologi yang paling sering menimbulkan keadaan
penyakit ginjal kronik ini. Menurut National Kidney Foundation (NKF) tahun 2002,
dua penyebab utama penyakit ginjal kroniks adalah diabetes dan hipertensi. Namun,
diketahui pula kondisi lain yang dapat mempengaruhi ginjal, yaitu:
- Glomerulonefritis, yang merupakan kumpulan penyakit yang menyebabkan
inflamasi dan kerusakan pada unit penyaring pada ginjal;
- Penyakit bawaan seperti penyakit ginjal polikistik, yang mana dapat menyebabkan
pembentukan kista pada ginjal dan merusak jaringan di sekitarnya;
- Lupus dan penyakit lain yang dapat mempengaruh sistem kekebalan tubuh;

25
- Obstruksi yang disebabkan karena batu ginjal, tumor atau pembesaran kelenjar
prostat pada pria serta;
- Infeksi saluran kencing yang berulang.8
1.4.Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Ginjal mempunyai kemampuan untuk beradaptasi, pengurangan massa
ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa
(surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang di perantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, kemudian terjadi proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan
fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Adanya peningkatan aktivitas aksis reninangiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas
tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian
diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β).
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit
ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemi, dislipidemia. Terdapat
variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun
tubulo intersitial.5
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, gejala klinis yang serius
belum muncul, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan
dimana basal LGF masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan
tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien
masih belum merasakan keluhan, tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada penderita
antara lain penderita merasakan letih dan tidak bertenaga, susah berkonsentrasi, nafsu
makan menurun dan penurunan berat badan, susah tidur, kram otot pada malam hari,
bengkak pada kaki dan pergelangan kaki pada malam hari, kulit gatal dan kering,
sering kencing terutama pada malam hari. Pada LFG di bawah 30% pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan
26
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan
lain sebagainya. Selain itu pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran
kemih, infeksi saluran cerna, maupun infeksi saluran nafas. Sampai pada LFG di
bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis
atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium
gagal ginjal.5
1.5.Diagnosis5,6,8
a. Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
 Sesuai penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus eritomatous
sistemik (LES), dan lain sebagainya
 Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
 Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
payah jantung asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,
kalium, khlorida).
b. Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
 Sesuai penyakit yang mendasarinya
 Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,
dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault.
Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan
fungsi ginjal.
 Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik
 Kelainan urinalisis meliputi, proteinuria, hematuri, leukosituria, cast,
isostenuria.
c. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis Penyakit ginjal kronik meliputi:

27
 Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
 Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, dan dikhawatirkan toksik terhadap ginjal yang
sudah mengalami kerusakan.
 Pieografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi
 Ultrasonografi ginjal
 Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi
d. Gambaran Histopatologis
Pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal
yang masih mendekati normal. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui
etiologi, menerapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi yang
diberikan. Pada keadaan ukuran ginjal yang mengecil (contracted kidney), ginjal
polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan
pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas tidak boleh dilakukan pemeriksaan
biopsi.

1.6.Tatalaksana5,9,10
Tabel 7. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai Stadium

Sumber : Harrison’s Principle of Internal Medicine 17th Ed


a. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasamya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada
ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan
histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.

28
Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
b. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada
pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid
(superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor
komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak
terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat
nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
c. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Terdapat dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltasi glomerulus,
berikut penjabarannya:
- Pembatasan asupan protein
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/mnt,
sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu
dianjurkan. Protein diberikan 0,6 - 0,8/kg.bb/ hari, yang 0,35 - 0,50 gr di
antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan
sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari, Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap
status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi jumlah asupan kalori dan protein
dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein
tidak tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi
nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan
tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion
anorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian
diet tinggi protein pada pasien Penyakit Ginjal Kronik akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan
gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian,
pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom
uremik. Masalah penting lain adalah~asupan protein berlebih (protein
overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa
peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus
hyperfiltrasion), yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi
ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan
29
fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama.
Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.
- Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan untuk mengurangi hipertensi
intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertensi, di samping bermanfaat untuk
memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat
pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus
dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian
tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan
asupan protein, dalam memperkecil hipertensi intraglomemlus dan hipertrofi
glomerulus. Di samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan
derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria
merupakan faktor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal, dengan kata lain
derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronik. Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat
Ensim Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ACE
inhibitor), melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses
pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai
antihipertensi dan antiproteinuria.
d. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang
penting, karena 40-45 % kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh
penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi
penyakit kardiovaskular adalah, pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi,
pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia
dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.
Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit
ginjal kronik secara keseluruhan.
e. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi, antara lain:
- Anemia

30
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia
pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin.
Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah, defisiensi
besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa
hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut
maupun kronik.
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin 10 g% atau
hematokrit 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum,
serum iron, kapasitas ikat besi total/Total Iron Binding Capacity, feritin
serum),mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya
hemolisis dan lain sebagainya.
Tabel 8. Berbagai penyebab anemia pada CKD
Relative deficiency of erythropoietin
Diminished red blood cell survival
Bleeding diathesis
Iron deficiency
Hyperparathyroidism/bone marrow fibrosis
"Chronic inflammation"
Folate or vitamin B12 deficiency
Hemoglobinopathy
Comorbid conditions: hypo/hyperthyroidism, pregnancy, HIV-associated
disease, autoimmune disease, immunosuppressive drugs
Sumber: Harrison’s Principle of Internal Medicine 17th Ed.
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di
samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO)
mempakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus
selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme
kerjanya. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan
secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat.
Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan
kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran
hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.

31
- Osteodistrofi Renal
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang
sering terjadi. Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara
mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol (1.25(OH)2D3).
Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat,
pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorbsi fosfat di
saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga
ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia. Dalam mengatasi
hiperfosfatemia, dapat dilakukan beberapa hal berikut:
Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan
diet pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori,
rendah protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung
dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi
600-800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak
dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi.
Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah
garam kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini
diberikan secara oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal dari
makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat
(CaC03) dan calcium acetate.
Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent). Akhir-
akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada
kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut
juga calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang
sangat baik serta efek samping yang minimal.
Pemberian Kalsitriol (1.25 (OHP). Pemberian kalsitriol untuk
mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan. Tetapi pemakaiannya tidak
begitu luas, karena dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium di saluran
cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan garam calcium
carbonate di jaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik. Di samping itu juga
dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid.
Oleh karena itu, pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah
normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal.

32
f. Pembatasan Cairan dan Elektrolit
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu
dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edem dan komplikasi
kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang
keluar, baik melalui urin maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa
air yang keluar melalui insensible water loss antara 500 -800 ml/hari (sesuai
dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500¬800 ml
ditambah jumlah urin.
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan
natrium. Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan
aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang
mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran)
harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5¬5,5 mEq/lt. Pembatasan
natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam
natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat
edema yang terjadi.
g. Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapi)
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 mI/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa
hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.
- Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat
pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal
(LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi
elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang
tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten,
dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.
Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia,
muntah, dan astenia berat.
- Dialisis Peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi
33
medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65
tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular,
pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien
GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertaico-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik,
yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan
sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.
- Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan
faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
o Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%)
faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal
ginjal alamiah.
o Kualitas hidup normal kembali
o asa hidup (survival rate) lebih lama
o Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan
obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
o Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
1.7.Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai
dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang
telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu
pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin kecil risiko penurunan
fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok,
peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat badan.
1.8.Prognosis
Prognosis pasien dengan penyakit ginjal kronis tergantung dari derajat penurunan
fungsi ginjal dan komplikasi yang terjadi. Pada umumnya, penyebab utama kematian
pada pasien dengan penyakit ginjal kronis adalah penyakit kardiovaskuler, tanpa
harus berada pada penurunan LFG stage V.

34
2. Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik (Chronic Kidney Disease)
Dalam Smeltzer & Bare (2006), derajat anemia yang terjadi pada pasien dengan PGK
sangat bervariasi, mayoritas terjadi pada pasien dengan nitrogen urea darah (BUN) > 10
mg/dl. Hematokrit turun antara 20-30 %, sedangkan pada pemeriksaan apusan darah tepi
sel darah merah tampak normal. Anemia tersebut terjadi karena penurunan ketahanan
hidup sel darah merah maupun defisiensi eritropoetin. Pada pasien yang menjalani
hemodialisis jangka panjang akan kehilangan darah kedalam dialiser (ginjal artificial)
sehingga mengalami defisiensi besi, sedangkan defisiensi asam folat dapat terjadi karena
vitamin terbuang ke dalam dialisat.4
Nilai Hb yang direkomendasikan pada pasien dengan PGK berdasarkan National
Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (NKFK/DOQI) adalah
pada level 11-12g/dL.8
Pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis, maka anemia disebabkan oleh:
a. Anemia normokrom normositer; Anemia ini berhubungan dengan retensi toksin
polyamine dan defisiensi hormone eritropoetin (ESF = Erythropoetic Stimulating
Factors), yang memiliki refrakter terhadap obat hematinik berupa; Recombinant
Human Erythropoetin (r-HuEPO), Alternatif lain yaitu hormon androgen, preparat
cobalt
b. Anemia hemolisis; Anemia hemolisis berhubungan dengan toksin azotemia
“Guadinosuccinic acid”, dengan terapi pilihan utamanya adalah hemodialisis (HD)
regular atau CAPD
c. Anemia defisiensi besi (Fe); Pada PGK, defisiensi Fe berhubungan dengan perdarahan
saluran cerna (ulserasi) dan kehilangan besi pada dialiser (terapi HD). Transfusi darah
merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif.
3. Nefropati Diabetik
Nefropati diabetik merupakan suatu sindroma klinik yang ditandai dengan keadaan
mikroalbuminuria yang menetap pada keadaan diabetes yang tergantung dan tidak
tergantung dengan pemberian insulin. DM penyebab terbanyak dari penyakit ginjal kronis
stadium akhir. Nefropati diabetik merupakan salah satu faktor tradisional terjadinya
penyakit jantung vaskuler, dengan penurunan LFG dan premikroalbuminuria akan terjadi
peningkatan resiko CVD.12
Komplikasi pada ginjal terjadi akibat progresifitas penyakit DM yang tidak terkontrol.
Derajat penyakit ginjal akibat penyakit DM dibagi menjadi 5 (Tabel 2.1).
Tabel 2.2. Klasifikasi nefropati diabetik
35
Derajat Penjelasan
I Hiperfiltrasi Terjadi peningkatan LFG sampai 40% diatas normal disertai
pembesaran ginjal.
II The Silent Stage Terjadi perubahan struktur ginjal tapi LFG masih tinggi.

III Microalbuminuria Merupakan tahap awal nefropati, terjadi mikroalbuminuria


yang nyata. Sudah terjadi penebalan membrana basalis, LFG
masih tinggi dan terjadi peningkatan tekanan darah.
IV Macroalbuminuria Terjadi proteinuria yang nyata, tekanan darah yang meningkat
dan LFG yang menurun dari normal.
V Uremia Terjadi gagal ginjal dan menunjukkan tanda-tanda sindroma
uremik sehingga memerlukan terapi pengganti.
Pada nefropati diabetik stadium V sudah terjadi keadaan uremia sehingga secara
klinis sama seperti PGK stadium akhir, secara klinis berupa sindroma uremia yaitu:
lemah, letargia, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati
perifer, pruritus, uremic frost, pericarditis, kejang-kejang sampai koma. Tanda-tanda
dapat berupa hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik,
gangguan keseimbangan elektrolit. Pada pemeriksaan ultrasonografi didapatkan
gambaran ginjal yang normal. Gambaran histologi tampak penebalan membran basalis,
ekspansi mesangium berupa akumulasi matriks ekstra seluler, penimbunan kolagen tipe
IV, laminin dan fibronektin yang akan menimbulkan glomerulosklerosis noduler dan atau
difus, hialinosis arterioler aferen dan eferen serta fibrosis tubulointersisial.5,13
Dalla Vestra et al menunjukkan bahwa pasien dengan DM tipe 2 dan overt
nephrophaty terlihat peningkatan kadar marker dari inflamasi. Hasegawa et al.
mendemostrasikan makrofag pada tikus normal diinkubasi dalam membran basalis
glumerulus dari tikus diabetes akan memproduksi IL-1 dan TNF-α.14
Pada pasien DM terjadi penurunan nilai total dari kadar monosit dalam darah, tapi
aktifitas dari monosit akan meningkatkan sekresi dari mediator inflamasi seperti TNF-α,
IL-1β dan prostaglandin E2.15
Penderita diabetes tanpa komplikasi mempunyai kadar advanced glycation end
products (AGEs) 20–30% lebih tinggi dari pada nondiabetik dan 40–100% lebih tinggi
pada DM tipe 2 dengan komplikasi penyakit jantung koroner dan mikroalbuminuria.
Penderita PGK menunjukkan peningkatan AGEs 5 sampai 100 kali dalam sirkulasi

36
dibanding dengan kontrol sehat. AGEs terbentuk oleh penurunan glukosa, lipid dan atau
asam amino pada protein, lipid dan asam nukleat secara non enzimatik(Gambar 2.1).16

Gambar 2.1. Mekanisme pembentukan AGE16


Mekanisne alternatif pembentukan AGEs termasuk carbonyl stress pathway dimana
oksidasi dari gula dan atau lemak membentuk senyawa dicarbonyl intermediate yang
menggunakan grup carbonil reaktif untuk berikatan dengan asam amino dan terbentuk
AGEs. Mekanisme yang lain adalah melalui aldose reductase–mediated polyol
pathway.16
Advanced glycation end products membuat kerusakan pada sel melalui jalur dari
reseptor AGE (RAGE) dan melalui reactive oxygen species (ROS) intrasel serta proses
timbal balik AGE dengan ROS yang akan menghasilkan salah satu dari keduanya
(Gambar 2.2). ROS mengaktifkan signaling pathway berupa mitogen-activated protein
kinase (MAPK), protein kinase C (PKC), Janus kinase/signal transducer (JAK/STAT)

37
dan aktivator dari transkripsi, yang berefek pada pengeluaran sitokin proinflamasi dan
profibrotik.17

Gambar 2.2. Jalur kerusakan sel akibat AGE17


Hiperglikemi, peningkatan asam lemak bebas, dislipidemi, dan resistensi insulin yang
akan meningkatkan produksi ROS, AGEs, dan mengaktifasi protein kinase C (PKC),
menurunkan bioavailabilitas dari NO dan menurunkan potensi vasodilatasi, antiinflamasi,
dan efek antitrombotik (Gambar 2.3). Sehingga terjadi penurunan fungsi endotel dan
vasokonstriksi, inflamasi, dan trombosis. Penurunan NO dan peningkatan endothelin-1
(ET-1) dan konsentrasi angiotensin II (AT II) akan meningkatkan permaebilitas vaskuler
dan terjadi pertumbuhan dan migrasi sel otot polos vaskuler.18

38
Gambar 2.3. Disfungsi endotel pada diabetes mellitus.18
Aktifasi dari transkripsi nuclear factor-kB (NF-kB) dan activator protein-1 (AP-1)
memicu pengeluaran dari leukocyte-attracting chemokines, produksi sitokin inflamasi,
dan ekspresi cell adhesion molecules. Penurunan NO dan prostasiklin mengaktifkan
platelet bersamaan dengan peningkatan plasmin activator inhibitor-1 (PAI-1) dan tissue
factor (TF) sehingga terjadi keadaan protrombotik.18

4. Pioderma
4.1.Definisi
Pioderma adalah infeksi kulit dan jaringan lunak yang disebabkan oleh bakteri
piogenik, yang tersering adalah S. aureus dan Streptokokus β-hemolitik grup A antara
lain S. pyogenes1-7.
Terdapat 2 bentuk pioderma4,6:
a. Pioderma superfisialis, lesi terbatas pada epidermis
- Impetigo nonbulosa
- Impetigo bulosa
- Ektima
- Folikulitis
- Furunkel
- Karbunkel
b. Pioderma profunda, mengenai epidermis dan dermis
- Erisipelas
- Selulitis
39
- Flegmon
- Abses multipel kelenjar keringat
- Hidradenitis

4.2.Kriteria diagnostik
Pioderma superfisialis4,6,7
Tidak ada gejala konstitusi.
- Impetigo non bulosa
 Predileksi: daerah wajah, terutama di sekitar nares dan mulut
 Lesi awal berupa makula atau papul eritematosa yang secara cepat
berkembang menjadi vesikel atau pustul yang kemudian pecah membentuk
krusta kuning madu (honey colour) dikeliling eritema. Lesi dapat melebar
sampai 1 -2 cm, disertai lesi satelit di sekitarnya
 Rasa gatal dan tidak nyaman dapat terjadi.
- Impetigo bulosa
 Predileksi: daerah intertriginosa (aksila, inguinal, gluteal), dada dan punggung.
 Vesikel-bula kendur,dapat timbul bula hipopion.
 Tanda Nikolsky negatif.
 Bula pecah meninggalkan skuama anular dengan bagian tengah eritematosa
(kolaret) dan cepat mengering.
- Ektima
 Merupakan bentuk pioderma ulseratif yang disebabkan oleh S. aureus dan atau
Streptococcus grup A.
 Predileksi: ekstremitas bawah atau daerah terbuka.
 Ulkus dangkal tertutup krusta tebal dan lekat, berwarna kuning keabuan.
 Apabila krusta diangkat, tampak ulkus bentuk punched out, tepi ulkus
meninggi, indurasi, berwarna keunguan

4.3.Diagnosis banding
Impetigo nonbulosa: ektima, dermatitis atopik, dermatitis seboroik, dermatitis kontak
alergi, skabies, tinea kapitis
Impetigo vesikobulosa: dermatitis kontak, Staphylococcal scalded skin syndrome,
pemfigoid bulosa, pemfigus vulgaris, eritema multiforme, dermatitis herpetiformis

4.4.Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan sederhana dengan pewarnaan Gram.
- Kultur dan resistensi spesimen lesi/aspirat apabila tidak responsif terhadap
pengobatan empiris.

40
- Kultur dan resistensi darah, darah perifer lengkap, kreatinin, C-reactive protein
apabila diduga bakteremia.
- Biopsi apabila lesi tidak spesifik.

4.5.Penatalaksanaan
Non Medikamentosa
1. Mandi 2 kali sehari dengan sabun
2. Mengatasi/identifikasi faktor predisposisi dan keadaan komorbid, misalnya
infestasi parasit, dermatitis atopik, edema, obesitas dan insufisiensi vena.

Medikamentosa
Prinsip: pasien berobat jalan, kecuali pada erisipelas, selulitis dan flegmon derajat
berat dianjurkan rawat inap. Terdapat beberapa obat/tindakan yang dapat dipiih sesuai
dengan indikasi sebagai berikut:
1. Topikal
- Bila banyak pus atau krusta: kompres terbuka dengan permanganas kalikus
1/5000, asam salisilat 0,1%, rivanol 1‰, larutan povidon iodine 1%;
dilakukan 3 kali sehari masing-masing ½-1 jam selama keadaan akut.
- Bila tidak tertutup pus atau krusta: salep/krim asam fusidat 2%, mupirosin
2%. Dioleskan 2-3 kali sehari, selama 7-10 hari.
2. Sistemik: minimal selama 7 hari
Lini Pertama
- Amoksisilin dan asam klavulanat: dewasa 3x250-500 mg/hari; anak-anak
25 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis
- Cefadroxil : dewasa 2 x 500mg/hari; anak-anak 25-50 mg/kgBB/hari
terbagi dalam 2 dosis
- Kloksasilin/dikloksasilin**: dewasa 4x250-500 mg/hari per oral; anak-
anak 25-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis
- Sefaleksin: 25-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis.
Lini Kedua
- Azitromisin 1x500 mg/hari (hari 1 ), dilanjutkan 1x250 mg (hari 2-5)
- Klindamisin 15 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis.
- Eritromisin: dewasa 4x250-500 mg/hari; anak-anak 20-50 mg/kgBB/hari
terbagi 4 dosis.

Kasus yang berat, disertai infeksi sitemik atau infeksi di daerah berbahaya
(misalnya maksila), antibiotik diberikan parenteral.
- Nafcillin 1 -2 gram IV tiap 4 jam, anak 100-150 mg/kgBB/hari terbagi
dalam 4 dosis.
- Penisilin G 2-4 juta unit IV tiap 4-6 jam, anak: 60-100.000 unit/kgBB tiap
6 jam
- Cefazolin IV 1 gram tiap 8 jam, anak: 50 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3
dosis.
- Ceftriaxone IV 1 -2 gram ,1 kali/hari.

41
- Apabila terdapat/dicurigai ada methycillin resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) pada infeksi berat: vankomisin 1 -2 gram/hari dalam dosis terbagi
atau 15-20 mg/kgBB setiap 8-12 jam intravena, selama 7-14 hari (A,1).
Anak: vankomisin 15 mg/kgBB IV tiap 6 jam.
- Linezolid 600 mg IV atau oral 2 kali sehari selama 7-14 hari (A,1),
anakanak 10 mg/kgBB oral atau intravena tiap 8 jam.
- Klindamisin IV 600 mg tiap 8 jam atau 10-13 mg/kgBB tiap 6-8 jam.
- Kasus rekuren, diberikan antibiotik berdasarkan hasil kultur dan resistensi.
3. Tindakan
Apabila lesi abses besar, nyeri, disertai fluktuasi, dilakukan insisi dan
drainase7,9.

4.6.Komplikasi
Impetigo non-bulosa: glomerulonefritis akut
Ektima: ulserasi dan skar
Komplikasi lainnya yang jarang: sepsis, osteomielitis, artritis, endokarditis,
pneumonia, selulitis, limfangitis, limfadenitis, toxic shock syndrome, Staphylococcal
scalded skin syndrome, necrotizing fasciitis.

5. Herpes zoster
5.1.Definisi
Herpes zoster (HZ) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh reaktivasi virus
Varicella zoster yang laten endogen di ganglion sensoris radiks dorsalis setelah
infeksi primer.1,2

5.2.Kriteria Diagnostik
a. Masa tunas 7-12 hari, lesi baru tetap timbul selama 1-4 hari dan kadang-kadang
selama ±1 minggu.1
b. Gejala prodromal berupa nyeri dan parestesi di dermatom yang terkait biasanya
mendahului erupsi kulit dan bervariasi mulai dari rasa gatal, parestesi, panas,
pedih, nyeri tekan, hiperestesi, hingga rasa ditusuk-tusuk.1,2 Dapat pula disertai
dengan gejala konstitusi seperti malaise, sefalgia, dan flu like symptoms yang akan
menghilang setelah erupsi kulit muncul.3
c. Kelainan diawali dengan lesi makulopapular eritematosa yang dalam 12-48 jam
menjadi vesikel berkelompok dengan dasar kulit eritematosa dan edema. Vesikel
berisi cairan jernih, kemudian menjadi keruh, dapat menjadi pustul dan krusta
dalam 7-10 hari. Krusta biasanya bertahan hingga 2-3 minggu.1,3
d. Lokasi unilateral dan bersifat dermatomal sesuai tempat persarafan.1,3
e. Bentuk khusus :

42
f. Herpes zoster oftalmikus (HZO): timbul kelainan pada mata dan kulit di daerah
persarafan cabang pertama nervus trigeminus2.
g. Sindrom Ramsay-Hunt: timbul gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan
kulit, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus dan nausea, juga
gangguan pengecapan2.
h. Neuralgia pasca herpes (NPH) didefinisikan sebagai nyeri menetap pada
dermatom yang terkena setelah erupsi herpes zoster (HZ) menghilang. Batasan
waktunya adalah nyeri yang menetap hingga 3 bulan setelah erupsi kulit
menyembuh.1,3
5.3.Diagnosis banding
- Herpes simpleks
- Dermatitis venenata
- Dermatitis kontak
- Bila terdapat nyeri di daerah setinggi jantung, dapat salah diagnosis dengan
angina pektoris pada herpes zoster fase prodromal
5.4.Pemeriksaan penunjang
- Tzank test pada fase erupsi vesikel (tidak spesifik) menunjukkan gambaran
multinucleated giant cells.1
- Identifikasi antigen/asam nukleat dengan metode PCR.1
5.5.Penatalaksanaan
Terdapat beberapa obat yang dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut:
Sistemik
Antivirus diberikan tanpa melihat waktu timbulnya lesi pada3:
- Usia >50 tahun
- Dengan risiko terjadinya NPH
- HZO/sindrom Ramsay Hunt/HZ servikal/HZ sakral
- Imunokompromais, diseminata/generalisata, dengan komplikasi
- Anak-anak, usia <50 tahun dan ibu hamil diberikan terapi anti-virus bila
disertai NPH, sindrom Ramsay Hunt (HZO), imunokompromais,
diseminata/generalisata, dengan komplikasi

Pilihan Antivirus
- Asiklovir oral 5x800 mg/hari selama 7-10 hari.3,5
- Dosis asiklovir anak <12 tahun 30 mg/kgBB/hari selama 7 hari, anak >12
tahun 60 mg/kgBB/hari selama 7 hari.3
- Valasiklovir 3x1000 mg/hari selama 7 hari6,8
- Famsiklovir 3x250 mg/hari selama 7 hari6,9

Catatan khusus:
- Bila lesi luas atau ada keterlibatan organ dalam, atau pada imunokompromais
diberikan asiklovir intravena 10 mg/kgBB/hari 3 kali sehari selama 5-10

43
hari.4,10-11 Asiklovir dilarutkan dalam 100 cc NaCl 0.9% dan diberikan dalam
waktu 1 jam.
- Obat pilihan untuk ibu hamil ialah asiklovir berdasarkan pertimbangan risiko
dan manfaat.6,12-13

Simptomatik
- Nyeri ringan: parasetamol 3x500 mg/hari atau NSAID.3,14
- Nyeri sedang-berat: kombinasi dengan tramadol atau opioid ringan3,14
- Pada pasien dengan kemungkinan terjadinya neuralgia pasca herpes zoster
selain diberi asiklovir pada fase akut, dapat diberikan:
 Antidepresan trisiklik (amitriptilin dosis awal 10 mg/hari ditingkatkan
20 mg setiap 7 hari hingga 150 mg. Pemberian hingga 3 bulan,
diberikan setiap malam sebelum tidur3,15
 Gabapentin 300 mg/hari 4-6 minggu3,16
 Pregabalin 2x75 mg/hari 2-4 minggu3,16.

Topikal
- Stadium vesikular: bedak salisil 2% untuk mencegah vesikel pecah atau bedak
kocok kalamin untuk mengurangi nyeri dan gatal.17
- Bila vesikel pecah dan basah dapat diberikan kompres terbuka dengan larutan
antiseptik dan krim antiseptik/antibiotik.3,17
- Jika timbul luka dengan tanda infeksi sekunder dapat diberikan krim/salep
antibiotik3,17

Vaksinasi
Dosis VVZ hidup yang dilemahkan dosis tunggal direkomendasikan kepada populasi
yang berusia lebih dari 50 tahun, baik yang sudah memiliki riwayat varisela ataupun
belum. Tidak boleh diberikan pada pasien imunokompromais3,18,19

44
6. Eritema Multiforme

45
BAB 3
PEMBAHASAN
Diagnosis Chronic Kidney Disease pada kasus ini didasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien. Dari anamnesis didapatkan keluhan
berupa nyeri pinggang, lemah, mual. Walaupun tidak khas, sesuai dengan teori yang
disebutkan sebelumnya bahwa gambaran klinis pasien pada penyakit ginjal kronik meliputi:
(1) gejala sesuai penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius,
batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus eritomatous sistemik (LES), dan lain
sebagainya. (2). Gejala pada sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus,
uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. (3) Gejala komplikasinya antara lain,
hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung asidosis metabolik, gangguan
keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida).1
Pada pemeriksaan fisik, meskipun tidak banyak tanda yang didapatkan, namun
penemuan mata anemis (+/+) juga dapat memperkuat diagnosis CKD. Pada CKD, anemia
terjadi pada 80-90% penyakit ginjal kronik. Anemia ini disebabkan oleh defisiensi
eritropoietin. Hal hal lain yang ikut berperan pada timbulnya anemia pada CKD adalah
defisiensi besi, kehilangan darah (misal: perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup
eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum
tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. 1
Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, penurunan laju filtrasi glumerolus, dan kelainan biokimiawi darah berupa penurunan
kadar hemoglobin, dan peningkatan kadar kalium. Sesuai dengan teori yang telah dijabarkan
sebelumnya, pada CKD akan ditemukan gambaran laboratorium sebagai berikut: (1) Sesuai
penyakit yang mendasarinya. (2) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum
dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-
Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi
ginjal. (3). Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, hiper atau
hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis
metabolic. (4). Kelainan urinalisis meliputi, proteinuria, hematuri, leukosituria, cast,
isostenuria. 1
Namun demikian, kembali pada definisi dan kriteria diagnosis CKD, maka pasien ini
dapat didiagnosa CKD sebab telah memenuhi kriteria diagnosisnya, yakni4:

46
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
1. Kerusakan ginjal ≥3 bulan yang ditandai dengan kelainan structural atau
fungsional ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG),
yang ditandai dengan:
a. Kelainan patologis
b. Tanda kerusakan ginjal, termasuk abnormalitas komposisi darah atau urin
atau pada pemeriksaan pencitraan.
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) <60ml/min/1,73 m2 selama ≥3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.

Etiologi dari penyakit ginjal kronik pada kasus ini belum dapat dipastikan.
Sehubungan dengan faktor risiko yang ada pada pasien, berupa riwayat dibetes mellitus, asam
urat, dan hipertensi maka etiologi yang kemungkinannya lebih besar adalah disebabkan oleh
kerusakan nefron akibat diabetes (diabetic nephropathy).
Nefropati diabetik merupakan suatu sindroma klinik yang ditandai dengan keadaan
mikroalbuminuria yang menetap pada keadaan diabetes yang tergantung dan tidak tergantung
dengan pemberian insulin. DM penyebab terbanyak dari penyakit ginjal kronis stadium akhir.
Nefropati diabetik merupakan salah satu faktor tradisional terjadinya penyakit jantung
vaskuler, dengan penurunan LFG dan premikroalbuminuria akan terjadi peningkatan resiko
CVD (Bloomgarden, 2008).
Pada nefropati diabetik stadium V sudah terjadi keadaan uremia sehingga secara
klinis sama seperti PGK stadium akhir, secara klinis berupa sindroma uremia yaitu: lemah,
letargia, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, pericarditis, kejang-kejang sampai koma. Tanda-tanda dapat berupa
hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan
keseimbangan elektrolit (Suwitra, 2006). Pada pemeriksaan ultrasonografi didapatkan
gambaran ginjal yang normal. Gambaran histologi tampak penebalan membran basalis,
ekspansi mesangium berupa akumulasi matriks ekstra seluler, penimbunan kolagen tipe IV,
laminin dan fibronektin yang akan menimbulkan glomerulosklerosis noduler dan atau difus,
hialinosis arterioler aferen dan eferen serta fibrosis tubulointersisial (Hendromartono, 2006).
Penurunan Hb pada pasien dengan CKD hampir terjadi pada 80% kasus. Penyebanya
multifaktorial, termasuk defisiensi produksi eritropoietin, faktor dalam sirkulasi yang
tampaknya menghambat eritropoietin, pemendkan waktu paruh sel darah merah, peningkatan

47
kehilangan darah saluran cerna akibat kelainan trombosil, defisiensi asam folat dan besi, dan
kehilangan darah dari hemodialisis atau sampel uji laboratorium. Meskipun semua faktor
yang terdaftar dapat berperan pada penurunan Hb, namun defisiensi eritropoietin diyakini
merupakan penyebab utamanya.
Pada pasien ini, diketahui terjadi penurunan Hb yang tidak disertai dengan penurunan
MCV, MCH, dan MCHC. Ini menandakan adanya anemia normokromik normositik. Pada
pasien CKD yang menjalani hemodialisa anemia ini berhubungan dengan retensi toksin
polyamine dan defisiensi hormone eritropoetin (ESF = Erythropoetic Stimulating Factors),
yang memiliki refrakter terhadap obat hematinik berupa; Recombinant Human Erythropoetin
(r-HuEPO), alternatif lain yaitu hormon androgen, preparat cobalt.
Kreatinin merupakan hasil akhir metabolism otot yang dilepaskan dari otot dengan
kecepatan yang hampir konstan dan dieksresikan dalam urin dengan kecepatan yang sama.
Oleh karena itu, kadarnya dalam serum hampir konstan dan berkisar pada 0,7 hingga 1,5 mg
per 100 ml.
Kreatinin kemudian akan diekskresikan dalam urin melalui filtrasi dalam gomerolus,
namun kreatinin tidak direabsorbsi oleh tubulus bahkan sejumlah kecil akan diekskresi
apabila kadar kreatinin serum tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kadar
kreatinin serum ini diatur oleh fungsi dari ginjal seseorang. Dengan demikian, umumnya
kreatinin pasien akan tetap konstan atau meningkat. Sebaliknya, untuk menurunkan kadar
kreatinin serum yang tinggi, dapat dilakukan dengan penggantian fungsi ginjal, salah satunya
berupa cuci darah. 7

48
49
DAFTAR PUSTAKA

1. Black,J.M, & Hawks, J.H. (2009). Medical Surgical Nursing; 8th edition.
Canada:Elsevier
2. Kliger, A. (2010). How CKD Affects Your Body. Agustus 17, 2010. http://www.aakp.org/
3. National Kidney Diseases Educational Program. (2010). Chronic Kidney Disease
Information. Agustus 17, 2010. http://www.nkdep.nih.gov/
4. Smeltzer, Bare.(2006). Medical Surgical Nursing. Brunner and Suddarth Vol:2. Jakarta :
Penerbit EGC
5. Suwitra,K. Penyakit Ginjal Kronik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan
IPD FKUI, Jakarta. 2009.
6. Pranawa, M. Yagiantoro, Chendra I. Djoko S. Nunuk M. M. Thata, dkk. Penyakit Ginjal
kronis, Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR RSU Dr. Soetomo Surabaya.
Airlangga University Press Surabaya. 2007.
7. Johnson D. Diagnosis, classification, and staging of chronic kidney disease. Kidney
Health Australia. 2012.
8. National Kidney Foundation. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney
Disease: Evaluation, Classification and Stratification. 2002.
9. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, et all. Harisson’s Manual of Medicine ed 17,
International Edition. The McGraw Hill Companies. New York. 2009.
10. National Institute for Health and Care Ezcellence. Chronic Kidney Disease: early
identification and management of chronic kidney disease in adults in primary and
secondary care. 2014.
11. Price, Wilson. Gangguan Sistem Ginjal, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Ptoses
Penyakit. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2006.
12. Bloomgarden ZT, 2008. Diabetic Nephropathy. Diabetes Care 31: 823 – 827.
13. Hendromartono, 2006. Nefropati Diabetik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata KM, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th ed. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universtas Indonesia. 1920-1923.
14. Navarro JF and Mora C, 2005. Role of inflammation in diabetic complications. Nephrol
Dial Transplant 20: 2601–2604.
15. Sentochnik DE, Eliopoulos G, 2006. Infection and Diabetes. In Kahn CR, Weir GC, King
GL, Jacobson AM, Moses AC, Smith RJ,(eds). Joslin’s Diabetes Mellitus,14th ed: 1018 –
1033.
50
16. Huebschmann AG, Regensteiner JG, Vlassara H, Reusch JEB, 2006. Diabetes and
Advanced Glycoxidation End Products. Diabetes Care, 29: 1420-1432.
17. Uribarri J and Tuttle KR, 2006. Advanced Glycation End Products and Nephrotoxicity of
High-Protein Diets. Clin J Am Soc Nephrol 1: 1293–1299
18. Beckman JA, Libby P, Creager MA, 2008. Diabetes Mellitus, the Metabolic Syndrome,
and Atherosclerotic Vascular Disease. In: Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP
(eds). BRAUNWALD'S Heart Disease A Textbook of Cardiovascular Medicine, 8th ed:
1093-1103.

51

Anda mungkin juga menyukai