Anda di halaman 1dari 18

PANDUAN

PRAKTIK KLINIK ENSEFALOPATI HEPATIK DI INDONESIA


2.1 Definisi
Ensefalopati hepatic (EH) adalah suatu sindrom neuropikiatri yang dapat terjadi pada penyakit
hati akut dan kronik yang berat dengan manifestasi yang beragam mulai dari ringan hingga berat
tanpa adanya kelainan pada otak yang mendasarinya. Manifestasi yang tampak berupa perubahan
perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan kesadaran.
Ensefalopati hepatik dibagi menjadi 3 tipe, yaitu EH yang berhubungan dengan gagal hati akut
(tipe A) dan ditemukan terutama pada hepatitis fulminan, EH yang berhubungan dengan jalur
pintas portal dan sistemik tanpa adanya kelaian intrinsik jaringan hati (tipe B), serta EH yang
berhubungan dengan sirosis dan hipertensi portal (tipe C). Tipe C merupakan jenis yang paling
sering ditemui pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Sedangkan, klasifikasinya terbagi
menjadi ensefalopati hepatik minimal (EHM) dan EH overt dan derajat EH dibagi menjadi grade
0 hingga grade 4 berdasarkan kriteria West Haven (Tabel 1). Ensefalopati hepatik minimal
merupakan suatu istilah yang digunakan apabila ditemukan defisit kognitif seperti perubahan
kecepatan psikomotor dan fungsi eksekutif melalui pemerikaan psikometrik atau elektrofisiologi.
Ensefalopati hepatic overt dapat dibagi menjadi episodik (EH terjadi dalam waktu singkat
dengan tingkat keparahan yang berfluktuasi) dan persisten (EH terjadi secara progresif dengan
gejala neurologis yang kian memberat. Klasifikasi EH terbaru mengelompokkan derajat
Ensefalopati hepatic 0 dan 1 dengan istilah covert hepatic encephalopathy serta derajat 2-4
dengan istilah overt hepatic encephalopathy.
Tabel 1. Kriteria West Haven
Derajat
Kognitif dan Perilaku
0 (subklinis Asimptomatik
minimal)
1
Gangguan tidur, penurunan
konsentrasi, depresi, ansietas,
dan iritabilitas
2
Letargi,
diorientasi,
penurunan daya ingat
3
Somnolen,
kebingungan,

Fungsi Neuromuskular
Tidak ada
Suara monoton, tremor,
penurunan
kemampuan
menulis, apraksia
Ataksia,
disartria,
asteriksis
Nistagmus, kekakuan otot,

amnesia, gangguan emosi


Koma

hiper atau hiporefleks


Pupil
dilatasi,
reflex
patologis dijumpai

2.2 Epidemiologi
Prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui dengan pasti karena sulitnya penegakan
diagnosis namun dilaporkan berkisar antara 30-84% pada pasien dengan sirosis hepatis.
Sedangkan prevalensi EH dengan tanda dan gejala yang jelas berkisar antara 30-40% dan akan
meningkat pada sirosis hepatis lanjut. Ketika ditemukan tanda dan gejala EH maka prognosis
pasien akan menurun secara drastis.
Angka kesintasan 1 tahun dan 3 tahun adalah berkisar 42% dan 23% pada pasien yang tidak
menjalani transplantasi hati. Prevalensi EH stadium 2-4 pada pasien sirosis hati yang berobat ke
Rumah Sakit Ciptomangunkusumo (RSCM) pada tahun 1999 dilaporkan sebesar 14,9%.
Sedangkan prevalensi EH minimal di RSCM berkisar 63,2% pada tahun 2009.
2.3 Patofisiologi
Beberapa faktor dapat mencetuskan terjadinya EH pada pasien dengan gangguan hati akut
maupun kronik, seperti keseimbangan nitrogen positif dalam tubuh (asupan protein tinggi,
gangguan ginjal, perdarahan varises esophagus, dan kostipasi), penggunaan obat-obatan (sedasi
dan narkotika), infeksi (pneumonia, infeksi saluran kemih, atu infeksi lain), dan lain-lain
(pembedahan, alkohol).
Faktor pencetus EH pada sirosis hati tersering adalah infeksi, dehidrasi, dan perdarahan
gastrointestinal berupa pecahnya varises esofagus.
Patofisiologi yang menyebabkan terjadinya ensefalopati hepatic didasari pada akumulasi
berbagai toksin pada peredaran darah yang akhirnya melewati blood brain barrier (BBB).
Amonia merupakan suatu molekul yang toksik terhadap sel yang dipercaya berperan penting
dalam terjadinya EH karena molekul ini meningkat pada pasien sirosis hati. Meskipu begitu,
studi lain menunjukkan bahwa sebenarnya amonia hanya merupakan salah satu faktor dari
multifaktor penyebab EH.

Menyingkirkan gangguan neurologi lainnya


1.
Riwayat penyakit + pemeriksaan fisik: sakit kepala, tanda neurologi fokal, tanda
meningeal
2.
Penilaian dasar: glikemia, PCO2
3.
Toksin dalam darah atau urin: benzodiazepin (pikirkan flumazenil jika
mencurigakan), alkohl, dan sebagainya.
4.
Menilai apakah ada defisiensi vitamin B1(berikan vitamin B1 jika mencurigakan
5.
Pemeriksaan neuroradiologi (CT, MRI) jika terdapat abnormalitas pada salah satu
pemeriksaan atau koma (tanpa adanya perbaikan)
6.
EEG, jika ada kecurigaan kejang atau status nonkonvulsif

Gambar 1. Patofisiologi Ensefalopati Hepatik


Amonia merupakan hasil produksi koloni bakteri usus dengan aktivitas enzim urease, terutama
bakteri gram negatif anaerob, Enterobacteriaceae, Proteus, dan Clostridium. Enzim urease
bakteri akan memecah urea menjadi amonia dan karbondioksida. Meskipun pada awalnya flora
normal usus dianggap merupakan sumber utama dalam produksi amonia, namun beberapa studi
menunjukkan bahwa amonia juga diproduksi oleh usus halus dan usus besar melalui glutaminase
usus yang memetabolismee glutamin (sumber energi usus) menjadi glutamat dan amonia. Dalam
hati, amonia akan diubah menjadi urea dan glutamin. Pada individu sehat, amonia juga
diproduksi oleh otot dan ginjal. Kedua organ tersebut berperan pula dalam detoksifikasi amonia
jika terjadi gagal hati dimana otot merupakan organ utama yang mengambil alih peran tersebut.

Otot rangka berperan dalam metabolisme amonia melalui pemecahan glutamin via glutamin
sintetase.
Ginjal berperan dalam flux amonia, yaitu fungsi produksi dan ekskresi, yang terutama
dipengaruhi oleh keseimbangan asam-basa tubuh. Ginjal berperan dalam mengeliminasi amonia
dalam tubuh melalui urin dalam bentuk ion ammonium (NH4+) dan urea. Ginjal pun berperan
dalam produksi amonia melalui enzim glutaminase yang mengubah glutamin menjadi glutamate,
bikarbonat, dan amonia. Amonia yang berasal dari ginjal dapat dikeluarkan melalui urin maupun
diserap kembali ke dalam tubuh yang ditentukan oleh pH tubuh. Dalam kondisi asidosis ginjal
akan mengeluarkan ion ammonium melalui urin sedangkan dalam kondisi alkalosis ginjal akan
menahan ion amonium dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperamonia dan memudahkan
masuknya amonia melalui BBB. Gangguan ginjal seperti penurunan laju filtrasi glomerulus dan
penurunan perfusi perifer berperan pula dalam terjadinya hiperamonia.
Amonia akan masuk ke dalam hati melalui vena porta untuk proses detoksifikasi. Metabolismee
amonia oleh hati dilakukan pada dua tempat, yaitu sel hati periportal dimana sebagian besar
metabolismee amonia melalui siklus urea terjadi dan sel hati yang terletak dekat dengan vena
sentral yang hanya berperan kecil dalam metabolisme amonia dimana amonia yang ada akan
bergabung kembali dengan glutamin. Target toksisitas amonia di otak adalah astrosit yang
berfungsi melakukan detoksifikasi amonia dengan memetabolismee amonia menjadi glutamin.
Disfungsi neurologis disebabkan oleh edema serebri dimana glutamin yang merupakan hasil
metabolisme amonia bekerja sebagai molekul osmotic dan menarik cairan ke dalam astrosit.
Penarikan cairan akan menyebabkan terjadinya pembengkakan astrosit dan disfungsi oksidatif
mitokondria. Selain itu, amonia secara langsung merangsang stres oksidatif dan nitrosatif pada
astrosit melalui peningkatan kalsium intraselular sehingga menyebabkan disfungsi mitokondria
dan kegagalan produksi energi selular melalui pembukaan pori-pori transisi mitokondria. Amonia
pun menginduksi oksidasi RNA dan aktivasi protein kinase untuk mitogenesis yang bertanggung
jawab dalam peningkatan aktivitas sitokin dan respon inflamasi sehingga mengganggu aktivitas
pensignalan intraselular.
Pendapat lain menyebutkan hiponatremia dapat mencetuskan terjadinya ensefalopati hepatic
melalui deplesi molekul osmolaritas astrosit sehingga astrosit tidak mampu mengkompensasi
inflamasi yang terjadi dan menyebabkan pembengkakan astrosit, edema serebri, stress oksidatif,

dan disfungsi astrosit. Meskipun hiponatremia sendiri tidak dapat menyebabkan EH, namun
hiponatremia menjadi faktor penyulit penting dalam terjadinya EH.
Neurotoksin lain seperti merkaptan, asam lemak rantia pendek, dan fenol mempunya efek
sinergis dengan amonia. Merkaptan yang dihasilkan dari metionin oleh bakteri usus akan
berperan menghambat NaK-ATPase. Asam lemak rantai pendek terutama oktanoid mempunyai
efek metabolik seperti gangguan oksidasi, fosforilasi, dan penghambatan konsumsi oksigen serta
penekanan aktivitas NaK-ATPase sehingga dapat menyebabkan koma hepatic reversibel. Inhibisi
NaK-ATPase membrane akan berakibat pada edema serebri dan pembengkakan astrosit.
2.4 Diagnosis
Diagnosis EH dibuat pada pasien dengan penyakit hati baik akut maupun kronis yang berat dan
mengalami gangguan neuropsikiatri. Pemeriksaan secara menyeluruh pada pasien dengan sirosis
hati perlu memperhatikan mulai dari komunikasi, pola tidur, hingga tanda-tanda yang ditemukan
pada pemeriksaan fisik, seperti asteriksis, klonus, ataupun penurunan kesadaran yang jelas.
Beberapa pemeriksaan yang seperti kadar amonia darah dan fungsi hati dapat dilakukan untuk
memperkuat diagnosis. Pemeriksaan kadar amonia saja tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis
pasti EH. Peningkatan kadar amonia dalam darah (>100 mg/ 100 ml darah) dapat menjadi
parameter keparahan pasien dengan EH (Tabel 2). Pemeriksaan kadar amonia darah belum
menjadi pemeriksaan standar di Indonesia mengingat pemeriksaan ini belum dapat dilakukan
pada setiap rumah sakit di Indonesia.

Tabel 2. Kadar amonia pada berbagai derajat ensefalopati hepatik pada sirosis hati
Derajat Ensefalopati
0
I
II
III
IV

Kadar amonia dalam darah (mg/dL)


<150
151-299
201-250
251-300
>300

Pemeriksaan Mini Mental Status Examination (MMSE) dapat digunakan sebagai deteksi dini
dalam penegakan diagnosis EH. Pemeriksaan Number Connecting Test (NCT), NCT-A, dan

NCT-B, maupun critical flicker frequency (CFF) merupakan pemeriksaan lain untuk
mendiagnosis EH. Namun, pemeriksaan MMSE, NCT, CFF masih sulit dilakukan secara merata
di Indonesia. Oleh karena itu, para klinisi diharapkan member penjelasan terhadap pasien beserta
keluarganya mengenai tanda-tanda EH, seperti perubahan pola tidur maupun penurunan aktivitas
sehari-hari pasien.
Tabel 3. Hasil Number Connecting Test (NCT) pada berbagai derajat ensefalopati
Derajat Ensefalopati
0
I
II
III
IV

Hasil NCT (detik)


15-30
31-50
51-80
81-120
>120

Pemeriksaan radiologis berupa magnetic resonance imaging (MRI) serta elektroensefalografi


(EEG) dapat menjadi pilihan pemeriksaan untuk menyingkirkan kelainan lain pada otak.
Elektroensefalografi akan menunjukkan perlambatan (penurunan frekuensi gelombang alfa)
aktivitas otak pada pasien dengan EH.
Gambar 2. Alur diagnosis pasien dengan kecurigaan ensefalopati hepatik
2.5 Tatalaksana
Penanganan holistik dan komprehensif dibutuhkan dalam penatalaksanaan pasien dengan EH.
Penentuan derajat EH perlu dilakukan terlebih dahulu, sebelum menentukan penatalaksanaan
pasien dengan EH. Tatalaksana EH dilakukan sesuai dengan derajat EH yang terjadi. Suatu studi
RCT (Liu dkk, 2004) menunjukkan bahwa sinbiotik dapat memperbaiki hasil pemeriksaan
psikometrik dan kelas child pugh pada pasien dengan EH minimal. Penelitian serupa
(Malaguarnera

dkk,

2009)

menunjukkan

bahwa

bifidobakteria

dengan

oligosakarida

memperbaiki kadar amonia dan pemeriksaan psikometri pasien. Sedangkan, peneliy\tian oleh
Prasad (Prasad dkk, 2007) memperlihatkan peran laktulosa (30-60 ml dalam 2-3 dosis) dapat
memperbaiki kualitas hidup pasien EH minimal.
Tatalaksana terhadap EH episodik akibat faktor presipitasi serta terapi terkait faktor tersebut.
Pemeriksaan menyeluruh terhadap cairan tubuh pasien, kadar gula darah, serta elektrolit

memegang peranan penting dalam tatalaksana EH. Asupan nutrisi yang tepat dibutuhkan dalam
mencegah progresivitas EH yang terjadi. Perlu diketahui bahwa faktor presipitasi yang
mendasari dapat lebih dari satu sehingga evaluai ketat sangat diperlukan.
Dasar penatalaksanaan pasien dengan EH adalah:
a.
b.
c.
d.

Identifikasi dan mengatasi faktor presipitasi EH lain


Pengaturan keseimbangan nitrogen
Terapi untuk mencegah perburukan kondisi pasien
Penilaian rekurensi ensefalopati hepatic
2.5.1 Identifikasi dan Mengatasi Faktor Presipitasi Lain
Selain amonia, terdapat beberapa faktor presipitasi yang dapat mencetuskan terjadinya
EH, seperti dehidrasi, infeksi, obat-obat sedatif, dan perdarahan saluran cerna.
Pencegahan dan penatalaksanaan terhadap faktor tersebut berperan penting dalam
perbaikan EH. Pemberian laktulosa dan konsumsi cairan perlu dipantau untuk mencegah
terjadinya dehidrasi. Pemberian antibiotik spectrum luas dapat mengatasi infeksi, sebagai
faktor presipitasi tersering, pada saluran cerna maupun infeksi pada organ lain.
Penghentian konsumsi alkohol dan obat-obat sedasi perlu dilakukan sejak awal timbulnya
manifestasi EH. Perdarahan saluran cerna terutama varises esophagus perlu ditatalaksana
dengan cepat berupa ligasi sumber perdarahan, observasi cairan, dan penurunan tekanan
vena porta. Gangguan elektrolit seringkali menjadi penyebab dalam terjadinya
Ensefalopati hepatik pada pasien dengan sirosis hati sehingga perlu ditatalaksana secara
adekuat.
2.5.2 Pengaturan Keseimbangan Nitrogen
2.5.2.1 Amonia
Seperti telah dipaparkan di atas, amonia merupakan neurotoksin utama yang berperan
dalam terjadinya EH. Penurunan kadar amonia dicapai dengan beberapa modalitas:
- Nonabsorbable Disaccharides (Laktulosa)
Laktulosa digunakan sebagi terapi lini pertama pada penatalaksanaan pasien dengan
EH. Selain sifatnya yang laksatuf menyebabkan penurunan sintesis dan uptake
amonia dengan menurunkan pH kolon dan juga mengurangi uptake glutamin. Selain
itu, laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora normal, menjadi sumber
makanan bagi flora normal usus (Lactobacili dan Bifidobacteria) sehingga
pertumbuhan flora normal pada akhirnya menekan bakteri lain yang menghasilkan
asam laktat dan juga memberikan ion hydrogen pada amonia sehingga terjadi

perubahan molekul dari amonia (NH3) menjadi ion ammonium (NH4+). Adanya
ionisasi ini menarik amonia dari darah menuju lumen.
Laktulosa secara signifikan menunjukkan perbaikan tes psikometri pada pasien
dengan EH minimal dan mampu mencegah terjadnya EH berulang. Dosis yang
diberikan adalah 2x15-30 ml sehari dan dapat diberikan tiga hingga enam bulan. Efek
samping dari penggunaan laktulosan adalah menurunnya persepsi rasa dan kembung.
Penggunaan laktulosa secara berlebihan akan memperparah episode EH, karena akan
memunclkan faktor presipitasi lainnya, yaitu dehidrasi dan hiponatremia.
Efikasi laktulosa dalam mengurangi amonia dibandingkan dengan antibiotik masih
diperdebatkan. Dari meta analisis yang dilakukan, terlihat bahwa laktulosa tidak lebih
baik dalam mengurangi amonia dibandingkan dengan penggunaan antibiotik. Akan
tetapi, laktulosa memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mencegah berulangnya
EH. Selain laktulosa, natrium benzoate memiliki efek serupa dengan harga yang lebih
murah dibandingkan laktulosa, namun memiliki efek samping berupa peningkatan
amonia dan kadar natrium dalam penggunaan jangka panjang. Sebuah studi double
blind controlled trial (Uribe dkk, 1987) menunjukkan bahwa laktilol dan enema
-

laktulosa efektif dalam mengtasi EH.


Antibiotik

Antibiotik dapat menurunkan produksi amonia dengan menekan pertumbuhan bakteri


yang bertanggung jawab menghasilkan amonia, sebagai salah satu faktor presipitasi EH.
Selain itu, antibiotik juga memiliki efek antiinflamasi dan down regulation aktivitas
glutaminase. Antibiotik yang menjadi pilihan saat ini adalag rifaximin, berspektrum luas
dan diserap secara minimal (<1% dari dosis oral oleh karena kurang larut air dan
memiliki permeabilitas yang rendah). Dosis yang diberikan adalah 2x550 mg dengan
lama pengobatan 3-6 bulan. Rifaximin dipilih menggantikan antibiotik yang telah
digunakan pada pengobatan EH sebelumnya, yaitu neomisin, metronidazole, paromisisn,
dan vankomisin oral karena rifaximin memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandngkan antibiotik lainnya. Neomisin merupakan antibiotik pertama yang digunakan
pada pasien dengan EH dan memiliki efektivitas sama dengan laktulosa. Efek samping
ototoksisitas dan nefrotoksis pada penggunaan neomisin, toksisitas neurologi pada

metronidazole dan resistensi terhadap vankomisin oral membuat antibiotik ini semakin
ditinggalkan. Sebuah penelitian yang dilakukan pada 30 pasien dengan membandingkan
antara erittomisin dibandingkan dengan neomisin pada pasien EH menunjukkan reduksi
signifikan dalam lama rawat serta kadar alanine aminotransferase (ALT). Penggunaan
antibiotik sering digunakan pada pasien dengan EH yang tidak memiliki respons bagus
terhadap laktulosa.
-

L-Ornithine L-Aspartate (LOLA)

LOLA merupakan garam stabil tersusun atas dua asam amino, berkerja sebagai substrat
yang berperan dalam perubahan amonia menjadi urea dan glutamin. LOLA meningkatkan
metabolismee amonia di hati dan otot sehingga menurunkan amonia di dalam darah.
Selain itu, LOLA juga mengurangi edema serebri pada pasien dengan EH. Hasil
randomized controllrd trial (RCT) double blind menunjukkan pemberian LOLA selama 7
hari pada pasien sirosis dengan EH menurunkan amonia dan memperbaiki status mental.
Akan tetapi, penurunan amonia pada pasien EH yang mendapatkan LOLA diperkirakan
hanya sementara. Beberapa penelitan RCT (Kirchets dkk, 1997,dan Ahmad dkk,
2008)menunjukkan bahwa penggunaan LOLA 20 g/hari secara intravena dapat
memperbaiki kadar amonia dengan EH yang ada, Studi yang meneliti peran LOLA 9
g/hari secara oral terhadap EH didapatkan hasil yang baik dan efektif dalam
menatalaksana EH. Studi meta analisis terkini (Jiang Q, 2009 dan Bai M, 2013\0
menunjukkan manfaat LOLA pada pasien overt dalam perbaikan EH dengan menurunkan
konsentrasi amonia serum.
-

Probiotik

Penelitan meta analisis dari 9 laporan penelitian menunjukkan probiotik, probiotik dan
sinbiotik mempunyai manfaat pada pasien EH. Rekomendasi berbagai asosiasi misalnya
India merekomendasi penggunaan probiotik pada minimal EH. Namun Cochrane review
belum dapat memberikan rekomendasi yang baik meskipun probiotik dapat memberikan
rekomendasi yang baik meskipun probiotik dapat menurunkan kadar plasma amonia.
Penelitian Lunia MK (2013) menunjukkan manfaat probiotik untuk mencegah timbulnya
EH pada pasien sirosis hati. Mekipun berbagai laporan penelitian menunjukkan manfaat

probiotik pada overt EH rekomendasi akhir masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut
penggunaan probiotik untuk terapi atau prevensi sekunder overt EH.
-

Terapi Potensial Lain

Berbagai obat dapat berperan dalam terapi EH melalui modifikasi jaur metabolisme
nitrogen. Sodium benzoate (SB) memiliki kemampuan dalam mengikat amonia untuk
membentuk bipurat (substansi non toksik yang dapat keluar melalui urine). Sodium
benzoate memiliki efek yang sama baiknya dengan laktulosa dengan harga yang lebih
murah. Meskipun begitu, penggunaan SB (10g/hari) pada pasien dengan sirosis hati dapat
meningkatkan kadar amonia basal. Selain itu, penggunaan jangka panjang dapat
menyebabkan kejadian asites karena beban nitrogen. Sodium benzoate yang tersedia
adalah Ammonul yang diberikan secara intravena.
Beberapa obat lain saat ini sedang digunakan dalam penelitian, antara lain ammonia
scavenger, activated charcoal, dan L-Ornithine Phenylacetate (OP). Ammonia scavenger
digunakan untuk memintas siklus urea yang telah tersaturasi penih. Yang termasuk ke
dalam obat ini antara lain natrium benzoate, natrium fenilasetat maupun prodrug dari
obat ini, yaitu natrium fenilbutirat. Obat ini diberikan secara intravena dan baru digunalan
pada pasien dengan gangguan siklus urea dan hiperamonemia. Obat ini belum
mendapatkan persetujuan untuk digunakan pada pasien dengan EH. Jenis ammonia
scavenger lain, gliserol fenilbutirat saat ini sedang diujicobakan pada pasien dengan EH
tipe C dan dalam fase iII trial pada pasien dengan gangguan siklus urea. Gliserol
fenilbutirat mengatasi kelemahan ammonia scavenger lainnya, yaitu rasa yang kurang
enak saat dikonsumsi dan membutuhkan dosis yang cukup besar per hari sehingga
meningkatkan loading natrium sehingga pada akhirnya menyebabkan retensi cairan.
Activated

charcoal

bekerja

menyerap

molekul

kecil,

di

antaranya

amonia,

lipopolisakarida dan sitokin, sehingga menjadi pilihan tatalaksana pasien dengan EH.
AST-120, karbon berbentuk sferis saat ini sedang diteliti efikasinya pada pasien dengan
EH. Pada pilot study terlihat bahwa AST-120 memiliki efikasi yang sama dengan
laktulosa namun dengan efek samping yang lebih sedikit.

L-Ornithine Phenylacetate (OP) bekerja menurunkan kadar amonia dengan berfungsi


sebagai sybstrat pembentukan glutamin dari amonia pada otot rangka. Penggunaan
antagonis benzodiazepine, Flumazenil, menunjukkan perbaikan klinis bisa dibandingkan
dengan placebo (27% vs 3%) serta perbaikan EEG (19% vs 2%). Akan tetapi, hasil
metaanalisis dari 12 studi terkait penggunaan flumazenil menunjukkan tidak adanya
perbedaan bermakna dalam hal angka kesintasan pasien EH. Flumazenil tidak memiliki
efek yang cukup baik terhadap EH bila tidak diberikan dalam terapi jangka panjang.
Acarbose menstimulasi motilitas usus melalui inhibisi ansorpsi glukosa usus sehingga
berperan dalam penurunan produksi amonia. Sebuah penelitian dengan acarbose 100 mg
3 kali per hari selama 8 minggu pada pasien sirosis dan DM tipe 2 dengan EH derajat
rendah menunjukka perbaikan kadar amonia dan intelektual pasien. Meskipun begitu,
acarbose tidak dapat dijadikan pilihanterapi pada pasien tanpa DM tipe 2.
2.5.3 Terapi untuk Mencegah Perburukan Kondisi Pasien
2.5.3.1 Terapi Pilihan
- Nutrisi
Nutrisi berperan penting dalam penatalaksanaan pasien dengan EH mengingat
tingginya angka kejadian malnutrisi pada pasien sirosis hati. Otot meiliki eran penting
dalam mengurangi amonia darah sehingga malnutrisi dapat mencetuskan EH pada
pasien. Pasien dengan sirosis hati mengalami defisiensi vitamin larut lemak, mineral,
dan mikronutrien. Selain itu, pengaturan nutrisi juga ditujukan untuk mengurangi
gejala EH. Pemberian nutrisi pada pasien dengan EH dapat dierikan dengan
malnutrisi derajat sedang hingga berat yang tidak dapat diatasi dengan pemberian
nutrisi secara enteral. Pasien yang tidak mendapat makanan lebih dari 12 jam perlu
mendapatkan gluksoa secara intravena, 2-3 g/kg/hari baru mendapatkan utrisi secara
enteral. Apabila pasien tidak mendapat makanan lebih dari 72 jam, nutrisi diberikan
-

secara total parenteral.


Energi
Pasien dengan EH memerlukan asupan energi yang cukup. Secara umum, jumlah
energi yang dibutuhkan pasien adalah 1,3 x basal metabolic rate (BMR). Akan tetapi
pada 30-35% pasien sirosis hati didapatkan kebutuhan energi yang diperlukan
berlebih dibandingkan dengan rumus di atas dan sebanyak 18% pasien memiliki
kebutuhan yang lebih tinggi. Kalorimetri indirek, bila tersedia, diperlukan untuk

menghitung lebih cepat. Pemberian karbohidrat dalam bentuk glukosa meliputi 5060% dari total kebutuhan energi non-protein. Pada keadaan hiperglikemia, pemberian
gluksoa intravena dikurangi menjadi 2-3 gram/kg/hari dan dipikirkan apakah
pemberian insulin diperlukan. Pemberian lemak meliputi 40-50% total kebutuhan
energi non-protein dan diberikan dalam emulsi berisi n-6 unsaturated fatty acids.
Perhitungan kebutuhan energi secara kasar adalah 35-40 kcal/kg/hari.
Kebutuhan kalori pada pasien dengan EH adalah 35-40 kkal/kgBB/hari dengan
asupan protein 1,0-1,5 g/kgBB/hari. Energi yang masuk didapatkan dari glukosa dan
lemak dengan rasio 5065% dan 35-50%. Pada pasien edngan EH grade III dan IV
-

perlu dierikan larutan AARC dan penurunan AAA.


Protein
Masih menjadi perdebatan apakah peningkatan atau restriksi asupan protein member
manfaat pada pasien. Peningkatan protein menyebabkan peningkatan amonia, salah
satu faktor presipitasi EH, sementara restriksi protein menyebabkan massa otot
berkurang, sehingga kemampuan penyerapan amonia secara ekstrahepatik juga
berkurang. Restriksi protein (0-40 gram/hari) pada awalnya terlihat memberikan
perbaikan derajat EH [pasien pasca operasi pembentukan shunt portal-sistemik. Akan
tetapi studi terakhir menunjukkan restriksi protein tidak memiliki efek perbaikan
derajat EH dan bahkan memperparag status nutrisi pasien. The European Society for
Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN) merekomendasikan terapi empirik diet
protein 1-1,2 gram/kgBB pada pasien dengan EH, dimana protein nabati lebih
dianjurkan dibandingkan protein hewani. Dosis dapat ditingkatkan menjadi 1,5
kg/BB/hari pada pasien dengan malnutrisi berat, akan tetapi pada pasien dengan
intoleransi protein maka pemberian protein harus direstriksi.
Terdapat studi (Cordoba dkk, 2001) yang membandingkan diet rendah protein dengan
diet normal pada pasien sirosis dengan EH menunjukkan bahwa pemecahan protein
lebih tinggi pada kelompok dengan diet rendah protein. Selain itu, pada kelompok
diet rendah protein terjadi peningkatan pemecahan otot sehingga terjadi pelepasan
nitrogen dengan asam amino yang berujung peningkatan produksi NH4. Oleh karena

itu, pembatasan protein tidak memiliki manfaat pada pasien EH.


Asam Amino Rantai Cabang
Asam amino rantai cabang (AARC) tidak dapat dibentuk di dalam tubuh, tetapi
didapatkan melalui konsumsi produk susu dan sayur-sayuran. Asam amino rantai

cabang pada pasien dengan penyakit hati kronik memiliki kadar yang rendah didalam
plasma karena utilisasi berlebihan akibat keadaan hiperamonemia. Asam amino rantai
cabang berperan dalam pembentukan glutamin di dalam otot, stimulasi sintesis
protein di dalam hati, mencegah katabolisme, dan mencegah pembentukan
neurotransmiter palsu yang diproduksi dari asam amino aromatic. Selain itu, AARC
juga meningkatkan perfusi serebral pada pasien sirosis. Asam amino rantai cabang
bekerja dengan bantuan insulin yang bersirkulasi, sehingga diperlukan pemberian
insulin pada asien sirosis hati dengan resistensi insulin. Total pemberian pada pasien
dengan EH adalah 25% dari total protein. Dengan kata lain, AARC diberikan dengan
perbandingan 1:3 dengan asam amino aromatic. Berdasarkan rekomendasi ESPEN,
asam amino rantai cabang baru diberikan pada pasien dengan EH derajat III-IV.
Selain itu, waktu pemberian AARC juga krusial. Dari hasil penelitian didapatkan
pemberian AARC pada malam hari memberikan efek yang lebih baik, berupa
-

peningkatan kadar albumin, dari pemberian AARC pada siang hari.


Mineral
Defisiensi zinc umum dijumpai pada pasien denga EH. Zinc merupakan kofaktor
enzim yang berperan dalam siklus urea. Turunnya kadar zinc berperan dalam
penurunan sintesis glutamin dan penurunan aktivitas enzim yang pada akhirnya
berpotensi meningkatkan kadar amonia. Beberapa penelitian RCT (Reding dkk, 1984
dan Riggio dkk, 1991) menunjukka pemberuan zinc asetat 600 mg/hari dapat
memperbaiki

kejadian

EH.

Pasien

dengan

gangguan

elektrolit,

terutama

hiponatremia, perlu dikoreksi secara perlahan. Pemberian mangan jangkan panjang


-

perlu dihindari.
Thiamine (vitamin B1)
Pada pasien dengan gagal hati lanjut seringkali terdapat defisiensi vitamin larut air
(khusunya vitamin B kompleks). Berbagai gejala neuropsikiatri terkait penyakit hati
dapat menjadi akibat dari defisiensi vitamin larut air. Sebagai contoh, neuropati
perifer merupakan akibat dari defisiensi piridoksin atau thiamine. Gejala klinis dari
defisiensi thiamine adalah gangguan orientasi, ataksia, dan kerusakan okular.
Defisiensi thiamine dan asam folat dapat terjadi dengan cepat pada pasien sirosis
akibat dari gangguan penyimpanan di hati.
Tabel 4. Rekomendasi pemberian nurisi pada pasien ensefalopati hepatik
Kebutuhan Nutrisi

Level EBM

Asupan harian kalori yang optimal adalah 35-40 kcal/kgBB ideal


1A
Asupan harian protein yang optimal adalah 1,2-1,5 g/kgBB ideal
1A
Makan makanan ringan yang merata dan makanan ringan yang 1A
mengandung

karbohidrat

kompleks

pada

malam

hari

akan

meminimalkan penggunaan protein


Makan makanan yang kaya akan sayuran dan protein berbasis susu 2B
(dairy protein)
Suplementasi AARC dapat direkomendasikan pada pasien yang 2B
intoleransi terhadap dairy protein

2.5.3.2 Terapi Suportif


Pemberian terapi suportif seperti tindakan intubasi trakea profilaktik dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan derajat EH yang lebih tinggi.
Terapi suportif lainnya adalah pemberian serat pada pasien EH dan pemberiannya
disarankan sebanyak 25-45 g/hari.
2.5.4 Penilaian Rekurensi Ensefalopati Hepatik
Pasien dengan sirosis memiliki kecenderungan untuk mengalami EH berulang. Oleh
karena itu diperlukan control faktor presipitasi potensial seperti kondisi hiponatremia,
perdarahan saluran cerna bagian atas, konsumsi alkohol, infeksi, serta peningkatan
produksi amonia. Pasien sirosis hati dengan Child Pugh B hingga C memiliki
kecenderungan untuk mengalami EH spontan tanpa faktor presipitasi. Oleh karena itu
diperlukan control faktor presipitasi yang lebih ketat. Pencegahan faktor presipitasi
meliputi penilaian dosis dan efek samping dari pengobatan, penyuluhan pentingnya
pasien tidak konsumsi alkohol, dan pencegahan varises esophagus dengan ligasi.

BAB III
PENCEGAHAN
Pencegahan terhadap EH diperlukan pada pasien denga penyakit hati lanjut (Child
Pugh C dan asites) maupun pasien yang akan menjalani pintasan portosistemik.
Selain itu, perhatian khusus ditujukan pada pasien dengan EH minimal dimana perlu
dilakukan pemantauan ketat terhadap kejadian EH. Pencegahan terhadap EH perlu
pertimbangan yang matang akan efek samping yang dapat terjadi mengingat terapi
akan diberikan dalam jangka waktu yang lama. Beberapa studi mempelajari mengenai
pencegahan terhadap EH telah dilakukan namun terdapat perbedaan subjek dan tujuan
utama penelitian sehingga kesimpulan akhir sulit didapat. Studi terkait pencegahan
terhadap EH antara lain berupa aspirasi darah melalui nasogastric tube (NGT),
pembersihan saluran cerna, nutrisi parenteral/enteral, diet (protein rendah atau tanpa
protein), ornitin aspartat, dan antibiotik.
Sebuah studi (Rolachon dkk, 1994) pada pasien hematemesis-melena dengan tujuan
penelitian adalah pencegahan EH akibat perdarahan saluran cerna menunjukkan
bahwa penggunaan manitol melalui NGT sebagai pembersih saluran cerna dapat
mencegah terjadinya EH bila dibandingkan tanoa terapi. Penelitian yang lain
(Kanematsu dkk, 1998) menunjukkan bahwa penggunaan larutan tinggi AARC
memberikan angka kejadian EH yang sama bila dibandingkan dengan larutan asam
amino biasa pada pasien yang akan menjalani pembedahan. Penelitian (Riggio dkk,
2005) mengenai peran lactilol-low absorbable sisaccharides (60 g/hari) dan rifaximin
(1200 mg/hari) bila dibandingkan dengan tanoa terapi dalam mencegah EH pada
pasien yang akan menjalani TIPS dimana hasil yang didapatkan ebrpa tidak adanya
peningkatab aliran darag splanknik dan penurunan gradient tekanan porto-sistemik
sehingga membaw amonia ke aliran darah sistemik. Selain itu, terjadi regulasi

aktivitas glutaminase usus sehingga turut meningkatkan kejadian EH setelah prosedur


TIPS dilakukan.
Penelitian mengenai pencegahan sekunder terhadap EH dengan menggunakan
laktulosa 30-60 ml dalam 2-3 dosis terbagi dan rifaximin 550 mg 2 kali dalam
seminggu selama 6 bulan menunjukkan bahwa kedua terapi memberikan hasil yang
lebih baik dalam mencegah EH dibandingkan denga kelompok control.

BAB IV
SIMPULAN
Deteksi Dini

1. Setiap pasien dengan sirosis hati dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan


penyaring sesuai dengan fasilitas yang tersedia terkait penegakan diagnosis
Ensefalopati hepatikagar dapat mencegah terjadinya ensefalopati hepatik.
2. Diagnosis ensefalopati hepatic perlu dipertimbangkan pada pasien sirosis hati
penyakit hati yang lain dengan gangguan fungsi motorik dan mental tanpa adanya
pengaruh obat serta elainan pada sistem saraf pusat. Pada konisi tertentu
diperlukan pemeriksaan menyeluruh untuk penegakan diagnosisnya.
3. Setiap pasien sirosis hati direkomendasikan untuk menjaani penilaian status
nutrisi pada awal diagnosis dan perlu diulang secara berkala.
4. Setiap pasien sirosis hati dengan ensefalopati hepatic perlu dilakukan identifikasi
faktor pencetus yang mendasarinya.
Nutrisi
1. Penilaian status nutrisi dilakukan dengan menggunakan subjective global
assessment (SGA).
2. Asupan kalori a\optima harian yang direkomendasikan adalah 35-40 kkal/kgBB
ideal.
3. Asupan protein optimal harian yang direkomendasikan adalah 1,2-1,5 g/kgBB
ideal. Pasien dengan intoleransi protein perlu dilakukan restriksi protein dalam
waktu singkat.
4. Pemberian makanan porsi kecil dalam bentuk karbohidrat kompleks (termasuk
pemebrian larut malam/ late evening snack) dapat meminimalisasi pembentukan
amonia.
5. Tingkatkan asupan protein yang berasal dari sayuran.
6. Suplementasi AARC dapat digunakan pada pasueb yang tidak dapat
mengkonsumsi dairy protein.
7. Konsumsi serat yang direkomendasikan adalah 25-45 g/hari.
8. Pemberian multivitamin dapat dipertimbangkan pada pasien dengan sirosis hati
dekompensata dan pasien yang berisiko mengalami malnutrisi.
9. Hiponatremia erlu dikoreksi namun dilakukan secara perlahan.
10. Pada pasien dengan overt EH dapat diberikan probiotik dan atau suplementasi
AARC.
11. Suplementasi zinc, berupa zinc asetat atau zinc sulfat, 600 mg/hari dapat
dipertimbangkan pada pasien yang dicurigai mengalami defisiensi.

12. Setiap pasien siosis hati perlu dilakukan penilaian status nutrisi sebagai bagian
dari rencana terapi pasien dan penilaian tersebut perlu diulang pada interval waktu
tertentu sesuai dengan kondisi klinis pasien.
Terapi Pilihan
1. Setiap pasien sirosis hati dengan ensefalopati hepatik perlu dilakukan penanganan
secara komprehensif terhadap faktor pencetus ensefalopati hepatic yang
mendasari.
2. Laktulosa 30-60 ml 3 kali sehari perlu diberikan pada pasien dengan overt
ensefalopati hepatik.
3. Antibiotik Rifaximin 1200 mg/hari, perlu diberikan pada pasien dengan overt EH.
Perlu dilakukan penyesuaian pemakaian obat terkait diagnosis, kondisi pasien, dan
ketersediaan obat di Indonesia.
4. Pemberian LOLA 9 g/hari secara oral atau 20 g secara intravena
direkomendasikan pada pasien dengan EH.
5. Penggunaan acarbose 300 mg/hari dapat mengurangi kadar amonia pada pasien
EH dengan diabetes mellitus.
Ensefalopati hepatik merupakan salah satu komplikasi yang sering dijumpai pada
pasien dengan sirosis hati. Diagnosis dini dibutuhkan untuk mencegah terjadinya
ensefalopati hepatic. Tata laksana yang adekuar dan komprehensif dibutuhkan
untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas serta peningkatan kualitas
hidup pasien.

Anda mungkin juga menyukai