Anda di halaman 1dari 10

REFERENSI ARTIKEL

PENGGUNAAN N-ASETILSISTEIN PADA CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)


BAB I

PENDAHULUAN

N-Acetylcysteine (NAC) adalah penangkal keracunan asetaminofen (APAP; Tylenol;


Paracetamol) yang terkenal dan diterima secara universal. Saat ini tesedia di hampir seluruh
rumah sakit dan fasilitas medis darurat di seluruh dunia, NAC telah diberikan kepada ribuan
pasien yang keluar dari fasilitas perawatan mereka hidup dan sehat meski telah sengaja atau tidak
sengaja menelan APAP dalam jumlah letal.1
Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan sebagai adanya kerusakan ginjal, yang
termanifestasi sebagai ekskresi albumin yang abnormal atau penurunan fungsi ginjal, dihitung
dengan mengukur atau memperkirakan laju filtrasi glomerulus (GFR), yang telah berlangsung
selama lebih dari tiga bulan.2 Identifikasi dan pengelolaan yang efektif diperlukan untuk
mencegah perkembangan CKD dan kejadian kardiovaskular, mengurangi resiko yang berkaitan
dengan cedera ginjal akut (AKI), dan meningkatkan keselamatan pasien dan manajemen obat-
obatan.3
Stres oksidatif, akibat ketidakseimbangan antara Reactive Oxygen Species (ROS) dan
sistem antioksidan, berkontribusi pada pathogenesis berbagai penyakit. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa gagal ginjal kronis berkaitan dengan stres oksidatif. Diet defisiensi
antioksidan meningkatkan perkembangan penyakit ginjal pada hewan dengan nefrektomi.
Namun, pathogenesis stres oksidatif pada pasien dengan gagal ginjal kronis masih belum dapat
dijelaskan.4
Suplemen antioksidan telah dipelajari secara intensif untuk mengembalikan proses stres
oksidatif pada berbagai penyakit. Pada pielonefritis akut dan kronis, pemberian antioksidan telah
dikaitkan dengan hasil yang menguntungkan melalui penghambatan proses inflamasi dan
akhirnya mengontrol gejala serta penundaan komplikasi yang menyertai. N-acetylcysteine adalah
antioksidan yang poten dan memiliki efek menguntungkan pada pencegahan dan pengobatan
kondisi inflamasi atau infeksi. Obat tersebut juga aman dikonfirmasi dengan profil efek samping
yang mirip dengan atau kurang dari placebo.5
N-acetylcysteine (NAC) adalah sumber dari kelompok sulfhydryl pada sel, dan karena
interaksinya dengan ROS, merupakan penangkal radikal bebas. Hal tersebut telah ditunjukkan
bahwa pemberian NAC meningkatkan fungsi endotel sekaligus mengurangi inflamasi, fibrosis,
eksplan tulang rawan, dan toksisitas hati oleh asetaminofen. Sebagai tambahan, NAC
menurunkan kadar MDA pada pasien hemodialisis kronis dan memperbaiki gagal ginjal iskemik.
NAC juga telah digunakan dalam pencegahan gagal ginjal akibat radiokontras, Pengaruh NAC
pada gagal ginjal progresif belum pernah dievaluasi sebelumnya.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Ilmu Dasar N-Acetylcysteine (NAC)


NAC mempengaruhi transmisi glutamatergic di SSP melalui proses multistep
tidak langsung. NAC dibiotransformasikan menjadi sistein, diikuti oleh sistin, yang
merupakan endogen penggerak sistem xc-, yang mengangkut sisten ke dalam sel glial
dalam stoikiometri 1:1 dengan transportasi glutamat ke lingkungan ekstraseluler. Dalam
kondisi sinyal glutamate yang terdisregulasi, seperti ketika kadar glutamat ekstraseluler
rendah, oleh karena itu, NAC dapat meningkatkan kadar glutamate ekstraseluler dan
mengembalikan tonus pada autoreseptor mGluR2/3 presinaps untuk meredam pelepasan
glutamate sinaptik ke saraf. Sementara mekanisme ini telah dipelajari secara rinci, masih
sedikit mekanisme yang diketahui yang tidak melibatkan sistem xc-, seperti pembentukan
GSH dan/ atau interaksi langsung dengan iGluRs. Perkembangan farmakologis dan alat
lain yang secara selektif mengaktivasi atau inaktivasi sistem xc- vs, Aspek lain dari
transmisi glutamatergik akan memberikan informasi berharga megnenai mekanisme
molekuler yang tepat yang mendasari kemanjuran klinis NAC pada gangguan kejiwaan
dan neurologis.1

B. Sejarah Uji Klinis N-Acetylcysteine (NAC)


NAC telah dipelajari dalam uji klinis berbagai gangguan medis, kemungkinan
karena beberapa jalur yang dimodulasi dan profil keamanannya yang menguntungkan.
NAC telah dipelajari di beberapa penyakit ginjal dan paru, serta kardiologi. Meskipun
terkenal karena penggunaannya untuk keracunan asetaminofen, jumlah studi klinisnya
tidak ekstensif. Uji klinis yang mempelajari penggunaan NAC dalam melindungi ginjal
dari agen kontras radiologis mulai relatif baru-baru ini, pada tahun 2000, dan telah
berkembang pesat. Selain itu, sejumlah kecil penelitian telah menyelidiki penggunaan
NAC pada penyakit ginjal kronis dan cedera ginjal akut.1

C. Definisi dan Staging CKD


CKD dalam fasilitas pelayanan primer umumnya asimtomatik, dan patologi pasti
yang mendasari perkembangannya seringkali tidak diketahui (karena tidak dilakukan
biopsi ginjal). Hal ini diidentifikasi dan ditentukan oleh adanya kelainan struktur ginjal
atau fungsi (atau keduanya) muncul setidaknya selama 3 bulan diklasifikasikan
berdasarkan derajat disfungsi ginjal, yang diukur dengan perkiraan laju filtrasi
glomerulus ([eGFR] berasal dari kreatinin serum menggunakan persamaan perkiraan
standar) dan dengan ada atau tidaknya kelainan struktural ginjal atau dengan bukti lain
kerusakan ginjal kronis, khususnya albuminuria.3
Untuk memfasilitasi penilaian keparahan CKD, National Kidney Foundation
mengembangkan kriteria, sebagai bagian dari Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative (NKF KDOQI), mengklasifikasikan pasien CKD :
 Stage 1 : eGFR normal ≥ 90 mL/menit per 1.73 m2 dan albuminuria persisten
 Stage 2 : eGFR antara 60 – 89 mL/menit per 1.73 m2
 Stage 3 : eGFR antara 30 – 59 mL/menit per 1.73 m2
 Stage 4 : eGFR antara 15 – 29 mL/menit per 1.73 m2
 Stage 5 : eGFR < 15 mL/menit per 1.73 m2 atau end-stage renal disease

Prevalensi tahapan CKD ini pada populasi AS adalah sebagai berikut : 1,8% untuk
stage 1, 3,2% untuk stage 2, 7,7% untuk stage 3, dan 0,35% untuk stage 4 dan 5.6

D. Patofisiologi CKD
Tidak seperti cedera ginjal akut (AKI), dimana proses penyembuhan selesai
dengan pemulihan ginjal fungsional lengkap, gangguan kronis dan berkelanjutan dari
nefropati kronis dan progresif berkembang menjadi fibrosis ginjal progresif dan
kerusakan arsitektur normal ginjal. Hal tersebut mempengaruhi 3 kompartemen ginjal,
yaitu glomeruli, tubulus, interstisium, dan pembuluh darah. Secara histologis
bermanifestasi sebagai glomerulosklerosis, fibrosis tubuluinterstisial, dan sklerosis
vascular.7
Urutan peristiwa yang menyebabkan jaringan parut dan fibrosis bersifat
kompleks, tumpeng tindih, dan fenomena bertahap.
 Infiltrasi ginjal yang rusak dengan sel inflamasi ekstrinsik
 Aktivasi, proliferasi, dan hilangnya sel ginjal intrinsik (melalui apoptosis,
nekrosis, mesangiolisis, dan podositopenia)
 Aktivasi dan proliferasi sel penghasil matriks ekstraseluler termasuk
miofibroblas dan fibroblas
 Deposisi matriks ekstraseluler menggantikan arsitektur normal

Mekanisme akselerasi perkembangan CKD :

 Hipertensi sistemik dan intraglomerular


 Hipertrofi glomerulus
 Pengendapan kalsium fosfat intrarenal
 Perubahan metabolism prostanoid

Semua mekanisme ini mengarah pada entitas histologis yang disebut


glomerulosklerosis fokal segmental. Faktor resiko klinis untuk akselerasi perkembangan
CKD adalah proteinuria, hipertensi, ras kulit hitam, dan hiperglikemia. Selain itu,
paparan lingkungan seperti timbal, merokok, sindrom metabolik, mungkin beberapa agen
analgesik, dan obesitas juga telah dikaitkan dengan perkembangan CKD.7

E. Diagnosis CKD
Menurut pedoman KDIGO CKD (dan pedoman CKD English National Institute
for Health and Care Excellence (NICE)), seorang pasien diidentifikasi dengan CKD jika
terdapat kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan minimal 3 bulan. Kelainan
ditunjukkan pada Tabel 1.3
Dalam praktiknya, dalam pelayanan primer, tindakan yang paling penting untuk
mengidentifikasi CKD adalah eGFR yang berasal dari kreatinin serum dan ACR berasal
dari sampel urin. NICE merekomendasikan untuk populasi tertentu harus ditawarkan
pengujian untuk CKD dengan eGFR dan ACR (Tabel 2).3
F. Efek N-Acetylcysteine (NAC) terhadap Marker Stres Oksidatif
Terdapat beberapa studi tentang apakah NAC mempengaruhi stres oksidatif pada
gangguan ginjal. Dalam uji coba kecil, pemberian NAC secara oral secara signifikan
mengurangi peningkatan kadar malondialdehida (MDA) yang terkait dengan end-stage
renal disease (ESRD) pada pasien hemodialisis. Dua studi meneliti dimetilarginin
asimetris, sebuah metabolit yang meningkat pada pasien uremik karena penghambatan
oksidatif enzim yang memecahnya, yang dikenal sebagai enzim dimetilarginin
dimetilaminohidrolase. Dalam satu studi, NAC intravena selama hemodialisis secara
signifikan mengurangi konsentrasi dimetilarginin asimetris dalam plasma. Jadi, tampak
bahwa pasien dengan penyakit ginjal, perbaikan stres oksidatif mungkin merupakan
mekanisme aksi yang layak dimana efek terapeutik NAC dapat terjadi dalam Sebagian
besar penelitian yang menunjukkan hasil positif.1

G. Efek Terapeutik N-Acetylcysteine (NAC) pada Chronic Kidney Disease


Penelitian oleh Shimizu et al. menunjukkan bahwa NAC mengurangi penurunan
Glomerular Filtration Rate (GFR), serta menurunkan proteinuria dan tekanan darah pada
tikus yang telah dinefrektomi. Hal ini disertai dengan tanda penurunan kadar aldosterone
yang signifikan. Hasil juga menunjukkan bahwa ROS memainkan peran penting dalam
perkembangan gagal ginjal kronis. Terbukti bahwa NAC memiliki potensi kegunaan
dalam mencegah glomerulosklerosis dan kehilangan fungsi ginjal kronis. Temuan bahwa
NAC mengurangi penurunan GFR dan proteinuria, bahkan pada gagal ginjal kronis tahap
akhir, dan kombinasi NAC dan spironolakton meningkatkan fungsi renal lebih dari NAC
saja dan memiliki implikasi klinis yang signifikan.4
Penelitian lain oleh Allameh et al. juga menunjukkan kegunaan antioksidan untuk
mengontrol proses inflamasi. Salah satu patofisiologi dari CKD dikarenakan oleh proses
inflamasi. Hasil menunjukkan bahwa meminum antioksidan dengan dosis normal dalam
periode yang singkat tidak dapat menghasilkan penurunan biomarker inflamasi seperti
prokalsitonin, CRP, dan jumlah leukosit. Maka dari itu, diperlukan studi dengan dosis
NAC yang lebih lama bersama dengan evaluasi jangka panjang.5

H. Efek Samping
Sejauh ini, tidak dilaporkan efek samping yang berarti dalam penggunaan NAC. Efek
samping simtomatik yang mungkin timbul adalah ketidaknyamanan gastrointestinal, sakit
kepala, reaksi alergi, dan delirium.1
BAB III
KESIMPULAN

Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan kondisi umum yang terjadi dalam kehilangan
fungsi ginjal jangka panjang. CKD dapat terdiagnosis dengan adanya penyakit penyerta lainnya
(terutama hipertensi, diabetes, dan penyakit kardiovaskular). Salah satu patofisiologi CKD yang
diyakini dalam beberapa penelitian berkaitan dengan stress oksidatif. Pemberian N-
acetylcysteine (NAC) memiliki efek terapeutik terhadap pencegahan progresivitas CKD.
Mekanismenya melalui efek antioksidannya, terbukti bahwa pemberian NAC dapat menghambat
penurunan GFR, mengurangi proteinuria, dan menurunkan tekanan darah,
DAFTAR PUSTAKA

1. Frye RE, Berk M. The therapeutic use of N-acetylcysteine (NAC) in medicine. The
Therapeutic Use of N-Acetylcysteine (NAC) in Medicine. 2018.

2. Gee TI, Deniel S. Branched-chain aminoacid supplementation attenuates a decrease in


power-producing ability following acute strength training. In: Journal of Sports Medicine
and Physical Fitness. 2016.

3. Fraser S, Blakeman T. Chronic kidney disease: identification and management in primary


care. Pragmatic Obs Res. 2016;Volume 7:21–32.

4. Massola Shimizu MH, Coimbra TM, De Araujo M, Menezes LF, Seguro AC. N-
acetylcysteine attenuates the progression of chronic renal failure. In: Kidney International.
2005.

5. Allameh Z, Karimi A, Tabatabaei SR, Sharifian M, Salamzadeh J. Effect of n-


acetylcysteine on inflammation biomarkers in pediatric acute pyelonephritis: A
randomized controlled trial. Iran J Kidney Dis. 2015;

6. Thomas R, Kanso A, Sedor JR. Chronic Kidney Disease and Its Complications. Prim Care
- Clin Off Pract. 2008;35(2):329–44.

7. Schiffrin EL, Lipman ML, Mann JFE. Chronic kidney disease: Effects on the
cardiovascular system. Circulation. 2007.

Anda mungkin juga menyukai