PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) merupakan suatu kumpulan gejala yang terdiri atas
proteinuria masif (lebih dari 3,5 gram/hari pada dewasa atau 40 mg/ m2/ hari pada
anak), hipoalbuminemia (<2,5 g/ dL), edema dan hiperlipidemia (Alldredge dkk.,
2012; Behrman dkk., 2004). Pasien dengan sindrom nefrotik terjadi suatu gangguan
pada membran basal glomerulus yang mengakibatkan timbulnya kebocoran protein
plasma ke urin. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya hipoproteinemia, penurunan
serum protein dan albumin, adanya edema serta hiperlipidemia (Okada dan
Takemura, 2009). Sindrom nefrotik 15 kali lebih sering ditemukan pada anak dari
pada dewasa (Behrman dkk., 2004; Handayani dkk., 2007).
Menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) clinical
practice guideline (2012), 1–3 anak dari 100,000 anak dibawah 16 tahun menderita
sindrom nefrotik. Lima dari 100.000 anak per tahun di Jepang mengalami sindrom
nefrotik idiopatik (Okada dan Takemura, 2009). Prevalensi sindrom nefrotik di
Indonesia yaitu 6 dari 100.000 anak dibawah 14 tahun (Handayani dkk., 2007).
Berdasarkan etiologinya sindrom nefrotik dapat dikelompokkan menjadi 3
yaitu: sindrom nefrotik kongenital, sindrom nefrotik idiopatik atau primer (tanpa
diketahui pasti penyebabnya) dan sindrom nefrotik sekunder (sebagai akibat dari
suatu penyakit sistemik seperti Systemic lupus Erythemathosus). Dari keseluruhan
pasien dengan sindrom nefrotik, kurang lebih 90% diantaranya mengalami sindroma
nefrotik idiopatik (Behrman dkk, 2004; Okada dan Takemura, 2009)
Secara morfologis sindrom nefrotik idiopatik dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
penyakit kelainan minimal, proliferasi mesangium dan glomerulosklerosis segmental
fokal. Sebanyak 95% pasien dengan penyakit kelainan minimal masih merespon baik
terhadap terapi kortikosteroid. Berbeda dengan kelainan minimal, hanya 50% dari
1
pasien dengan proliferasi mesangium yang merespon terhadap kortikosteroid. Hanya
20% morfologi glomerulosklerosis segmental fokal yang merespon terhadap terapi
kortikosteroid. Respon pasien terhadap terapi kortikosteroid berbeda (Behrman dkk.,
2004; Eddy dan Symons, 2008).
2
1.3. Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap penulis dan
pembaca terutama yang terlibat dalam bidang medis dan juga memberikan wawasan
kepada masyarakat umum agar lebih mengetahui dan memahami Sindroma Nefrotik.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
2.2 Etiologi
1. Kongenital
Penyebab dari sindrom nefrotik kongenital atau genetik adalah
Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephrin)
Denys-Drash syndrome (WT1)
Frasier syndrome (WT1)
Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)
Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)
Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, α-actinin-4; TRPC6)
Nail-patella syndrome (LMX1B)
Pierson syndrome (LAMB2)
Schimke immuno-osseous dysplasia (SMARCAL1)
Galloway-Mowat syndrome
Oculocerebrorenal (Lowe) syndrome
4
2. Primer
Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau
idiopatik adalah sebagai berikut:
Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Mesangial Proliferative Difuse (MPD)
Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)
Nefropati Membranosa (GNM)
3. Sekunder
Sindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain sebagai
berikut:
Lupus Erimatosus Sistemik (LES)
Keganasan, seperti limfoma dan leukemia
Vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis dengan
poliangitis), sindrom Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik dengan
poliangitis), poliartritis nodosa, poliangitis mikroskopik, purpura Henoch
Schonlein
Immune complex mediated, seperti post streptococcal (postinfectious)
glomerulonephritis
5
sistem imun, terutama imun yang dimediasi oleh sel T. Pada focal segmental
glomerulosclerosis (FSGS), faktor plasma, diproduksi oleh bagian dari limfosit yang
teraktivasi, bertanggung jawab terhadap kenaikan permeabilitas dinding kapiler.
Selain itu, mutasi pada protein podosit (podocin, α-actinin 4) dan MYH9 (gen
podosit) dikaitkan dengan focal segmental glomerulosclerosis (FSGS).
Sindrom nefrotik resisten steroid dapat dikaitkan dengan mutasi NPHS2
(podocin) dan gen WT1, serta komponen lain dari aparatus filtrasi glomerulus, seperti
celah pori, dan termasuk nephrin, NEPH1, dan CD-2 yang terkait protein. (Kliegman,
2011)
1. Proteinuria
Protenuria merupakan kelainan utama pada sindrom nefrotik. Apabila ekskresi
protein ≥ 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan disebut dengan protenuria berat. Hal
ini digunakan untuk membedakan dengan protenuria pada pasien bukan sindrom
nefrotik. (Wirya, 2004)
2. Hipoalbuminemia
Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan proteinuria
adalah hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien sindrom nefrotik pada
terjadi hipoalbuminemia apabila kadar albumin kurang dari 2,5 g/dL. Pada keadaan
normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130-200 mg/kg) dan jumlah
yang diproduksi sama dengan jumlah yang dikatabolisme. Katabolisme secara
dominan terjadi pada ekstrarenal, sedangkan 10% di katabolisme pada tubulus
proksimal ginjal setelah resorpsi albumin yang telah difiltrasi. Pada pasien sindrom
nefrotik, hipoalbuminemia merupakan manifestasi dari hilangnya protein dalam urin
yang berlebihan dan peningkatan katabolisme albumin. (Perico, 2013)
Hilangnya albumin melalui urin merupakan konstributor yang penting pada
kejadian hipoalbuminemia. Meskipun demikian, hal tersebut bukan merupakan satu-
satunya penyebab pada pasien sindrom nefrotik karena laju sintesis albumin dapat
6
meningkat setidaknya tiga kali lipat dan dengan begitu dapat mengompensasi
hilangnya albumin melalui urin. Peningkatan hilangnya albumin dalam saluran
gastrointestinal juga diperkirakan mempunyai kontribusi terhadap keadaan
hipoalbuminemia, tetapi hipotesis ini hanya mempunyai sedikit bukti. Oleh karena
itu, terjadinya hipoalbuminemia harus ada korelasi yang cukup antara penurunan laju
sintesis albumin di hepar dan peningkatan katabolisme albumin. (Perico, 2013)
Pada keadaan normal, laju sintesis albumin di hepar dapat meningkat hingga
300%, sedangkan penelitian pada penderita sindrom nefrotik dengan
hipoalbuminemia menunjukan bahwa laju sintesis albumin di hepar hanya sedikit di
atas keadaan normal meskipun diberikan diet protein yang adekuat. Hal ini
mengindikasikan respon sintesis terhadap albumin oleh hepar tidak adekuat.
Tekanan onkotik plasma yang memperfusi hati merupakan regulator mayor
sintesis protein. Bukti eksperimental pada tikus yang secara genetik menunjukkan
adanya defisiensi dalam sirkulasi albumin, menunjukkan dua kali peningkatan laju
transkripsi gen albumin hepar dibandingkan dengan tikus normal (Perico, 2013).
Meskipun demikian, peningkatan sintesis albumin di hepar pada tikus tersebut tidak
adekuat untuk mengompensasi derajat hipoalbuminemia, yang mengindikasikan
adanya gangguan respon sintesis. Hal ini juga terjadi pada pasien sindrom nefrotik,
penurunan tekanan onkotik tidak mampu untuk meningkatkan laju sintesis albumin di
hati sejauh mengembalikan konsentrasi plasma albumin. Ada juga bukti pada subjek
yang normal bahwa albumin interstisial hepar mengatur sintesis albumin. Oleh karena
pada sindrom nefrotik pool albumin interstisial hepar tidak habis, respon sintesis
albumin normal dan naik dengan jumlah sedikit, tetapi tidak mencapai level yang
adekuat.
Asupan diet protein berkontribusi pada sintesis albumin. Sintesis mRNA
albumin hepar dan albumin tidak meningkat pada tikus ketika diberikan diet rendah
protein, tetapi sebaliknya, meningkat pada tikus yang diberikan diet tinggi protein.
Meskipun begitu, level albumin serum tidak mengalami perubahan karena
7
hiperfiltrasi yang dihasilkan dari peningkatan konsumsi protein menyebabkan
peningkatan albuminuria.
Kontribusi katabolisme albumin ginjal pada hipoalbuminemia pada sindrom
nefrotik masih merupakan hal yang kontroversial. Dalam penelitian terdahulu
dikemukakan bahwa kapasitas transportasi albumin tubulus ginjal telah mengalami
saturasi pada level albumin terfiltrasi yang fisiologis dan dengan peningkatan protein
yang terfiltrasi yang hanya diekskresikan dalam urin, bukan diserap dan
dikatabolisme. Penelitian pada perfusi tubulus proksimal yang diisolasi pada kelinci
membuktikan sebuah sistem transportasi ganda untuk uptake albumin. Sebuah sistem
kapasitas rendah yang telah mengalami saturasi pada muatan protein yang berlebih,
tetapi masih dalam level fisiologis, terdapat pula sebuah sistem kapasitas tinggi
dengan afinitas yang rendah, memungkinkan tingkat penyerapan tubular untuk
albumin meningkat karena beban yang disaring naik. Dengan demikian, peningkatan
tingkat fraksi katabolik dapat terjadi pada sindrom nefrotik.(Perico, 2013)
Hipotesis ini didukung oleh adanya korelasi positif di antara katabolisme
fraksi albumin dan albuminuria pada tikus dengan puromycin aminonucleoside PAN
yang diinduksi hingga nefrosis. (Perico, 2013) Namun, karena simpanan total
albumin tubuh menurun dalam jumlah banyak pada sindrom nefrotik, laju katabolik
absolut mungkin normal atau bahkan kurang. Hal ini berpengaruh pada status nutrisi,
sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa katabolisme albumin absolut berkurang
pada tikus nefrotik dengan diet protein rendah, tetapi tidak pada asupan diet protein
normal. Jadi cukup jelas bahwa hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik merupakan
akibat dari perubahan multipel pada homeostasis albumin yang tidak dapat
dikompensasi dengan baik oleh adanya sintesis albumin hepar dan penurunan
katabolisme albumin tubulus ginjal. (Perico, 2013)
8
3. Edema
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada
sindrom nefrotik. Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan
edema. Teori ini berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan
onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial.
Adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan albumin keluar
sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa
salah satu fungsi vital dari albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka
kondisi hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati dinding kapiler
dari ruang intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema. (Wirya, 2004)
9
Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air tidak
bergantung pada stimulasi sistemik perifer tetapi pada mekanisme intrarenal primer.
Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan
ekstraseluler. Overfilling cairan ke dalam ruang interstisial menyebabkan
terbentuknya edema. (Wirya, 2004)
4. Hiperkolesterolemia
Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum
meningkat pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan antara
lain yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein
menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein. Selain itu katabolisme lemak menurun
karena terdapat penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang
mengambil lemak dari plasma. (Wirya, 2004)
2.4. Diagnosis
Berdasarkan Pemikiran bahwa penyebab SN sangat luas maka anamnesis
dan pemeriksaan fisik serta urin termasuk pemeriksaan sedimen perlu dengan
cermat. Pemeriksaan kadar albumin dalam serum, kolesterol dan trigiserid juga
10
membantu penilaian terhadap sindroma nefrotik. Anamnesis penggunaan obat,
(Prodjosudjadi, 2006).
- Pemeriksaan darah
- Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,
hematokrit, LED)
glomerulus (LFG).
11
eLFG = k x L/Scr
putra:0,7
- Kadar komplemen C3
Apabila terdapat kecurigaan lupus erimatosus sistemik, pemeriksaan
ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclearantibody), dan anti ds-DNA.
- USG Ginjal
- Biopsi Ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN kongenital, onset usia > 8
tahun, resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat
12
dilakukan karena masing-masing tipe memiliki pengobatan dan prognosis yang
2.5. Komplikasi
a. Keseimbangan Nitrogen
negatif. Penurunan massa otot sering ditemukan tetapi gejala ini tertutup oleh
gejala edema anasarka dan baru tampak setelah edema menghilang. Kehilangan
massa tubuh(lean body mass) tidak jarang dijumpai pada SN. (Sudjadi WP,2006)
13
Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis
dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya
terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Penurunan
kadar HDL pada SN diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT (lecithin
juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme.
terjadi pada SN. Lipiduria sering ditemukan pada SN dan ditandai dengan
akumulasi lipid pada debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval
fat bodies) dan fatty cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan proteinuria daripada
14
c. Hiperkoagulasi
trombosis vena renalis cukup tinggi sedangkan SN pada GNLM dan GNMP
perubahan tingkat dan aktivitas berbagai faktor koagulasi intrinsik dan ekstrinsik.
koagulasi yang terjadi disebabkan peningkatan sintesis protein oleh hati dan
pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan melalui urin
plasma juga ikut menurun sedangkan kadar vitamin D bebas tidak mengalami
gangguan. Karena fungsi ginjal pada SN umumnya normal maka osteomalasi atau
kehilangan hormone tiroid yang terikat protein melalui urin dan penurunan kadar
tiroksin plasma. Tiroksin yang bebas dan hormon yang menstimulasi tiroksin
15
(TSH) tetap normal sehingga secara klinis tidak menimbulkan gangguan. (Sudjadi
e. Infeksi
terjadi akibat defek imunitas humoral, selular, dan ganggauan system komplemen.
Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh
karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang meningkat dan bertambah
banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang
keluarnya transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi
Pasien SN memiliki potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui berbagai
mekanisme. Penurunan volume plasma dan atau sepsis sering menyebabkan
timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi
penyebab gagal ginjal akut adalah terjadinya edema intrarenal yang menyebabkan
kompresi pada tubulus ginjal. . (Sudjadi WP,2006) (Cohen EP, 2009) (Bagga A,
2008) (Hull RP,2008).
Sindrom nefrotik dapat progresif dan berkembang menjadi PGTA(penyakit ginjal
tahap akhir). Proteinuria merupakan faktor risiko penentu terhadap progresivitas SN.
Progresivitas kerusakan glomerulus, perkembangan glomerulosklerosis, dan
kerusakan tubule interstisium dikaitkan dengan proteinuria. Hiperlipidemia juga
dihubungkan dengan mekanisme terjadinya glomerulosklerosis dan fibrosis tubule
16
interstisium pada SN, walaupun peran terhadap p rogresivitas penyakitnya belum
diketahui secara pasti. (Sudjadi WP,2006) (Cohen EP, 2009) (Bagga A, 2008) (Hull
RP,2008) .
kerusakan tubuleinterstisium dikaitkan dengan proteinuria. Hiperlipidemia
belum diketahui secara pasti. (Sudjadi WP,2006) (Cohen EP, 2009) (Bagga A, 2008)
(Hull RP,2008).
Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada SN dewasa terutama apabila disertai
proteinuria masif, asupan oral yang kurang, dan proses katabolisme yang tinggi.
Kemungkinan efek toksik obat yang terikat protein akan meningkat karena
hipoalbuminemia menyebabkan kadar obat bebas dalam plasma lebih tinggi.
Hipertensi tidak jarang ditemukan sebagai komplikasi SN terutama dikaitkan dengan
retensi natrium dan air. (Sudjadi WP,2006).
17
5. Pemeriksaan uji Mantoux
Apabila hasil uji Mantoux positif perlu diberikan profilaksis dengan isoniazid
(INH) selama 6 bulan bersama steroid dan apabila ditemukan tuberkulosis
diberikan obat antituberkulosis (OAT).
18
2.8. Tatalaksana komplikasi sindrom nefrotik
Pada orang dewasa, sebagian besar kasus sindrom nefrotik disebabkan oleh
penyakit glomerular primer, seperti nefropati membranosa, glomerulosklerosis fokal
segmental, penyakit glomerular dengan lesi minimal, penyakit glomerular membrano-
proliferatif, dll. Sindrom nefrotik juga dapat disebabkan oleh berbagai macam
penyakit seperti diabetes, amyloidosis, SLE, dll. Penggunaan obattertentu juga dapat
menimbulkan sindrom nefrotik seperti antiinflamasi non steroid (AINS), emas,
penicillamin, dll. (Bernard DB,1988) (Hull RP,2008).
1) Infeksi
Adanya teori mengenai peran imunologi pada sindrom nefrotik yang
menyebutkan bahwa terjadi penurunan sistem imun pada pasien dengan sindrom
Apabila telah terbukti adanya komplikasi berupa infeksi perlu diberikan antibiotic
Pada pasien SN Infeksi yang sering terjadi adalah selulitis dan peritonitis primer.
Penyebab tersering peritonitis primer adalah kuman gram negatif dan Streptococcus
10-14 hari. Pneumonia dan infeksi saluran napas atas karena virus juga merupakan
2) Trombosis
Terdapat suatu penelitian prospektif dengan hasil 15% pasien SN relaps
19
trombosis pembuluh vaskular paru yang asimtomatik. Pemeriksaan fisik dan
radiologis perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis trombosis. Apabila telah ada
warfarin selama 6 bulan atau lebih. Saat ini tidak dianjurkan pencegahan
3) Hiperlipidemia
Kadar LDL, VLDL, trigliserida, dan lipoprotein meningkat pada sindrom
nefrotik relaps atau resisten steroid, tetapi kadar HDL menurun atau normal. Kadar
kolesterol yang meningkat tersebut mempunya sifat aterogenik dan trombogenik. Hal
glomerulosklerosis. Untuk itu perlu dilakukan diet rendah lemak jenuh dan
mempertahankan berat badan normal. Pemberian obat penurun lipid seperti HmgCoA
LDL, VLDL, trigliserida, dan lipoprotein pada sindrom nefrotik sensitif steroid
lemak.
4) Hipokalsemia
Hipokalsemia pada sindrom nefrotik dapat terjadi karena :
- Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan
osteopeni
20
- Kebocoran metabolit vitamin D Untuk menjaga keseimbangan jumlah kalsium
maka pada pasien SN dengan terapi steroid jangka lama (lebih dari 3 bulan)
250 IU). Apabila telah ada tetani perlu diberikan kalsium glukonas 10% sebanyak
5) Hipovolemia
Hipovolemia dapat terjadi akibat pemberian diuretik yang berlebihan atau
ekstremitas dingin, dan sering jugadisertai sakit perut. Penanganannya pasien diberi
infus NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20 mL/kgBB dalam 20-30 menit, dan
disusul dengan albumin 1 g/kgBB atau plasma 20 mL/kgBB (tetesan lambat 10 tetes
per menit). Pada kasus hipovolemia yang telah teratasi tetapi pasien tetap oliguria,
6) Hipertensi
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan
penyakit SN akibat dari toksisitas steroid. Untuk pengobatanya diawali dengan ACE
persentil 90.
21
Terdapat banyak efek samping yang timbul pada pemberian steroid jangka
perilaku, peningkatan resiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan
tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan
hilangnya albumin urin dalam jumlah yang besar dan reduksi pada totalexchangeable
albumin pool.
tingkat katabolik albumin absolut menurun pada pasien nefrotik. Sintesis albumin
diet protein dibatasi, laju sintesis albumin tidak meningkat, baik pada pasien nefrotik
22
Meskipun suplemen protein dapat menyebabkan keseimbangan nitrogen, tetapi
albumin serum, tetapi sebaliknya dapat menyebabkan deplesi albumin pool yang
2.9. Prognosis
umum baik, dan tergantung pada penyebab, usia, dan respon terhadap terapi. Pada
anak dengan SN biasanya memiliki prognosis baik. Pada anak dengan usia <5 tahun
memiliki prognosis buruk dan pada orang dewasa dengan usia >30 tahun juga lebih
23
BAB III
STATUS ORANG SAKIT
ANAMNESIS PRIBADI
Nama : SM
Umur : 46 tahun 7 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Firdaus Dusun X Kecamatan Sei Rampah, Deli Serdang
24
ANAMNESIS PENYAKIT
Keluhan Utama : Bengkakpada seluruh tubuh
Telaah :
Bengkak pada seluruh tubuh dialami pasien sejak 5 bulan yang lalu sebelum masuk
rumah sakit. Bengkak diawali pada kedua tungkai dan paha, 1 bulan kemudian
bengkak menjalar ke daerah perut, dada, wajah hingga kedua tangan, dada hingga
kedua tangan. Bengkak dirasakan terutama pada pagi hari saat bangun tidur dan
berkurang saat siang dan sore hari. 2 bulan yang lalu pasien dirawat inap di RS Bunda
Thamrin dengan diagnosis Sindroma Nefrotik dan akhirnya berobat jalan dengan
keluhan bengkak sudah berkurang. 1 bulan yang lalu keluhan bengkak pada seluruh
tubuh kembali muncul dan pasien dirawat di RS Mitra Sejati sebelum akhirnya
dirujuk ke RSUP HAM. Sesak napas dikeluhkan pasien selama 3 bulan belakangan
ini. Pasien biasa menggunakan 1 bantal saat tidur. Nyeri dada tidak dijumpai. Mual
dan muntah tidak dijumpai. Riwayat batuk dan pilek tidak dijumpai. Sejak timbulnya
bengkak pasien merasakan lesu. Penurunan nafsu makan tidak dijumpai. Riwayat
adanya bercak merah di wajah tidak dijumpai. Riwayat demam tidak dijumpai. Nyeri
pada daerah pinggang tidak dijumpai. Riwayat buang air kecil (BAK) dijumpai
normal. Riwayat BAK berwarna seperti air cucian daging tidak dijumpai. Nyeri saat
BAK tidak dijumpai. Keluhan buang air besar (BAB) tidak dijumpai. Riwayat darah
tinggi disangkal. Riwayat sakit gula dijumpai sejak 18 tahun yang lalu.tidak rutin
minum obat. Riwayat sakit kuning tidak dijumpai.
RPT : Sindroma Nefrotik (+), Diabetes Mellitus (+), Retinopati Diabetik (+)
RPO : Kortikosteroid (+)
ANAMNESIS ORGAN
25
Jantung Sesak Napas : (+) Edema : (+)
Angina Pektoris : (–) Palpitasi : (–)
Saluran Pernapasan Batuk-batuk : (–) Asma, bronkitis : (–)
Dahak : (–) Lain-lain : (–)
Saluran Pencernaan Nafsu Makan : dbn Penurunan BB : (–)
Keluhan Menelan : (–) Keluhan Defekasi : (–)
Keluhan Perut : (–) Lain-lain : (–)
Saluran Urogenital Sakit Buang Air Kecil : (–) BAK Tersendat : (–)
Mengandung Batu : (–) Keadaan Urin : (–)
Haid : (–) Lain-lain : (–)
Sendi dan Tulang Sakit Pinggang : (–) Keterbatasan Gerak : (–)
Keluhan Persendian : (–) Lain-lain : (–)
Endokrin Haus/Polidipsi : (–) Gugup : (–)
Poliuri : (–) Perubahan Suara : (–)
Polifagi : (–) Lain-lain : (–)
Saraf Pusat Sakit Kepala : (–) Hoyong : (–)
Lain-lain : (–)
Darah & Pembuluh Pucat : (–) Perdarahan : (–)
Darah Petechiae : (–) Purpura : (–)
Lain-lain : (–)
Sirkulasi Perifer Claudicatio intermitten: (–) Lain-lain : (–)
26
Tekanan Darah : 130/80 mmHg Sikap Paksa : (–)
Nadi : 90 x/menit, reg, t/v cukup Refleks Fisiologis : (+)
Pernapasan : 22 x/menit Refleks Patologis : (–)
Temperatur : 36,6ºC
Keadaan Gizi :
BW : 131,03% Tinggi Badan : 158 cm
Berat Badan : 76 kg Indeks Massa Tubuh : 30,44 kg/m2
KEPALA :
Mata : konjungtiva palpebra pucat (+/+), edema palpebra
superior (+/+), ikterus (–/–), pupil isokor (+), refleks
cahaya direk (+), indirek (+)
Telinga : dalam batas normal
Hidung : dalam batas normal
LEHER :
Struma : tidak membesar, nyeri tekan (–)
Posisi Trakea : medial
TVJ : R–2 cmH2O
Kaku Kuduk : (–)
Lain-lain : (–)
THORAKS DEPAN :
Inspeksi
27
Bentuk : simetris fusiformis
Pergerakan : retraksi dinding dada (+). penggunaan otot-otot bantu
pernapasan (+), ketinggalan bernapas (–)
Palpasi
Nyeri Tekan : (–)
Fremitus Suara : SF melemah pada bagian bawah paru
Perkusi
Paru
Batas Paru-Hati R/A : ICS V/ICS VI
Peranjakan : ± 2 cm
Jantung
Batas Atas Jantung : ICS II–III linea midclavicularis sinistra
Batas Kiri Jantung : ICS IV 1 cm medial linea midclavicularis sinistra
Batas Kanan Jantung : ICS IV linea parasternalis dextra
Auskultasi
Paru
Suara Pernapasan : vesikular melemah pada kedua lapangan paru bawah
Suara Tambahan : ronkhi (–/–), wheezing (–)
Jantung
M1>M2,P2>P1,T1>T2,A2>A1, desah sistolis (–), lain-lain (–)
HR:90 x/menit, regular, intensitas: cukup
THORAKS BELAKANG:
Inspeksi : simetris fusiformis
Palpasi : SF mengeras pada kedua lapangan paru bawah
Perkusi : beda pada kedua lapangan paru bawah
Auskultasi : SP: vesikular melemah pada kedua lapangan paru bawah
ST: ronkhi (–/–), wheezing (–)
28
ABDOMEN :
Inspeksi
Bentuk : simetris membesar
Gerakan Usus : tidak terlihat
Vena Kolateral : (–)
Caput Medusae : (–)
Palpasi
Dinding Abdomen : soepel, undulasi (+)
HATI
Pembesaran : sulit dinilai
Permukaan : (–)
Pinggir : (–)
Nyeri Tekan : (–)
LIMFA
Pembesaran : (–)
GINJAL
Ballotement : (–)
Lain-lain : (–)
Perkusi
Pekak Hati : (–)
Pekak Beralih : (+)
Auskultasi
Peristaltik Usus : normoperistaltik
Lain-lain : double sound (+)
29
PINGGANG
Nyeri Ketok Sudut Kostovertebra (–)
30
Arteri Dorsalis Pedis : (+/+)
Refleks KPR : (+/+)
Refleks APR : (+/+)
Refleks Fisiologis : (+/+)
Refleks Patologis : (–/–)
Lain-lain : (–/–)
31
RESUME
32
Telinga/Hidung/Mulut: dbn/dbn/dbn
Leher: struma membesar (–), TVJ R–2 cmH2O
Thoraks
Inspeksi: simetris fusiformis
Palpasi: SF melemah pada kedua lapangan paru bawah
Perkusi: beda pada kedua lapangan paru bawah
Auskultasi: vesikular melemah pada kedua lapangan
paru bawah, ronkhi (–/–)
Abdomen:
Inspeksi : simetris membesar
Palpasi: soepel, undulasi (+), H/L/R: tidak teraba
Perkusi: shifting dullness (+)
Auskultasi: normoperistaltik
Ekstremitas
+ +
edema (+⁄+), CRT <2 detik
33
4. Edema anasarka ec. Sirosis Hepatis + Diabetes
Mellitus Tipe II
Medikamentosa:
- Inj. Insulin Aspart 10-10-10 IU/SC
- Inj. Insulin Determir 0-0-10 IU/SC
- Telmisartan tab 1 x 80 mg per oral
- Spironolakton tab 1 x 25 mg per oral
2. Lipid Profile
3. ANA/anti ds-DNA
4. Protein serum
34
5. Fibrinogen
6. Foto Thoraks PA
8. Biopsi Ginjal
35
BAB IV
FOLLOW-UP
36
- Valsartan 80 mg tab 1x1
R/ - Konsul stase endokrin
- Urinalisis dan feses rutin
- Cek KGD puasa, KGD 2 jam PP, lipid profile
37
Eusinofil Absolut 1,23 x 103 /𝜇𝐿
Basofil Absolut 0,01 x 103 /𝜇𝐿
IPF 0,0 %
NRBC 0,0 %
38
P: - Tirah baring
- Diet DM 1700 kkal
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/menit
- Inj. Novorapid 3x10 subkutan
- Inj. Levemir 1x10 subkutan
- Micardis 80 mg tab 1x1
R/ - Cek anti DS-DNA
- Insulinisasi = 50 IU insulin Novorapid dalam 50 cc NaCl 0,9% syringe pump
Mulai 6 cc/jam, cek KGD/jam (stik)
Bila KGD >400 = 6 cc/jam
350-400 = 3,5 cc/jam
300-350 = 3 cc/jam
250-300 = 2,5 cc/jam
200-250 = 2 cc/jam
150-200 = 1 cc/jam
100-150 = 0,5 cc/jam
<100 = aff = lapor
39
- Lemas (+)
O: Sensorium: compos mentis
TD: 120/70 mmHg Temp: 36,0°C
HR: 81 kali/menit RR: 20 kali/menit
Kepala : normosefal, edema (+)
Mata: konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
T/H/M: dbn/dbn/dbn
Leher : TVJ R–2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Toraks : Inspeksi: simetris fusiformis
Palpasi: sonor
Perkusi: stem fremitus kanan = kiri
Auskultasi: vesikular, ronki (-/-)
Abdomen : Inspeksi: simetris
Palpasi: soepel, H/L/R: tidak teraba
Perkusi: timpani
Auskultasi: normoperistaltik
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2”, edema (+/+)
KGDS = 91
A: - Sindroma Nefrotik Relaps
- Diabetes Mellitus tipe 2 dengan hipoglikemi
P: - Tirah baring
- Diet DM 1700 kkal
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/menit
R/ - Inj. Novorapid syringe pump aff ganti dengan:
- Inj. Novorapid 6-6-6 IU/ SC
- Inj. Levemir 0-0-10 IU/ SC (jam 22.00)
40
- Lemas berkurang
O: Sensorium: compos mentis
TD: 140/90 mmHg Temp: 36,4°C
HR: 90 kali/menit RR: 24 kali/menit
Kepala : normosefal, edema (+)
Mata: konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
T/H/M: dbn/dbn/dbn
Leher : TVJ R–2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Toraks : Inspeksi: simetris fusiformis
Palpasi: sonor
Perkusi: stem fremitus kanan = kiri
Auskultasi: vesikular, ronki (-/-)
Abdomen : Inspeksi: simetris
Palpasi: soepel, H/L/R: tidak teraba
Perkusi: timpani
Auskultasi: normoperistaltik
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2”, edema (+/+)
KGDS = 142 mg/dl
A: - Sindroma Nefrotik Relaps
- Diabetes Mellitus tipe 2
P: - Tirah baring
- Diet DM 1700 kkal
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/menit
- Inj. Novorapid 6-6-6 IU/ SC
- Inj. Levemir 0-0-10 IU/ SC (jam 22.00)
R/ - cek KGDS dan KGD 2 jam PP
- cek proteinuria dan UOP
- Naikkan dosis - Inj. Novorapid 8-8-8 IU/ SC
- Inj. Levemir 0-0-18 IU/ SC (jam 22.00)
41
Hasil laboratorium tanggal 11/10/2018
Metabolisme Karbohidrat
Glukosa Darah Puasa 142 mg/dl
Glukosa Darah 2 jam PP 136 mg/dl
42
Palpasi: soepel, H/L/R: tidak teraba
Perkusi: timpani
Auskultasi: normoperistaltik
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2”, edema (+/+)
KGDS: 108 mg/dl
A: - Sindroma Nefrotik Relaps
- Diabetes Mellitus tipe 2
P: - Tirah baring
- Diet DM 1700 kkal
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/menit
- Inj. Furosemide 1 amp/ 12 jam
- Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
- Inj. Novorapid 8-8-8 IU/ SC
- Inj. Levemir 0-0-18 IU/ SC (jam 22.00)
- Koreksi albumin = (2,5-1,6) x 70 kg x 0,8
= 50,4 = 2 flakon Albumin 25% 100cc
43
Bikarbonat (HCO3) 31,9 mmol/L
Total CO2 32,9 mmol/L
Kelebihan Basa (BE) 9,7 mmol/L
Saturasi O2 100 %
HATI
Albumin 1,7 g/dL
44
KGDS: 106 mg/dl
A: - Sindroma Nefrotik Relaps
- Diabetes Mellitus tipe 2
P: - Tirah baring
- O2 1-2 lpm
- Diet Ginjal 1500 kkal rendah garam
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/menit
- Inj. Furosemide 1 amp/ 12 jam
- Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam
- Inj. Novorapid 8-8-8 IU/ SC
- Inj. Levemir 0-0-18 IU/ SC (jam 22.00)
- Telmisartan 80 mg tablet 1x1
R/ - cek elektrolit, RFT
- USG abdomen 17/10/18 malam, dipuasakan
- parasintesis cairan asites
45
Protein Positif 2
Nitrit Negatif
Leukosit Negatif
Darah Negatif
FCM
Eritrosit 0 – 1 LPB
Leukosit 0 – 1 LPB
Epitel 0 – 1 LPB
Casts negatif
Kristal negatif
46
Auskultasi: normoperistaltik
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2”, edema (+/+)
KGDS: 267 mg/dl
A: - Sindroma Nefrotik Relaps
- Diabetes Mellitus tipe 2
P: - Tirah baring
- O2 1-2 lpm
- Diet Ginjal 1500 kkal rendah garam
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/menit
- Inj. Furosemide 1 amp/ 12 jam
- Inj. Novorapid 8-8-8 IU/ SC
- Inj. Levemir 0-0-18 IU/ SC (jam 22.00)
- Telmisartan 80 mg tablet 1x1
- Spironolakton 25 mg tablet 1x1
R/ - Naikkan dosis Novorapid 12-12-12 IU/SC
- cek Darah Lengkap dan albumin
- pantau VS, KGD dan UOP
- pasang cateter
- Drip furosemide 5 amp dalam 50 cc NaCl 0,9 % per syringe pump dosis awal 1
cc/jam
47
Jumlah sel WBC 0,001
Jumlah sel RBC 0,000
MN Sel 100 %
PMN Sel 0%
48
- O2 1-2 lpm
- Diet Ginjal 1500 kkal rendah garam
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/menit
- Inj. Novorapid 12-12-12 IU/ SC
- Inj. Levemir 0-0-18 IU/ SC (jam 22.00)
- Drip Furosemide 5 amp dalam 50 cc NaCl 0,9 % 1 cc/ jam
R/ - Konsul Paru: dx: efusi pleura bilateral
- Folket vs/jam; jika TDS <100 mmHg, kurangi dosis furosemide menjadi 0,5
cc/jam, pertimbangkan aff Furosemide drip
49
Toraks : Inspeksi: simetris fusiformis
Palpasi: sonor
Perkusi: stem fremitus kanan = kiri
Auskultasi: vesikular melemah, ronki (-/-)
Abdomen : Inspeksi: simetris membesar
Palpasi: soepel, H/L/R: tidak teraba
Perkusi: timpani
Auskultasi: normoperistaltik
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2”, edema (+/+)
KGDS: mg/dl
A: - Sindroma Nefrotik Relaps
- Diabetes Mellitus tipe 2
P: - Tirah baring
- O2 1-2 lpm
- Diet Ginjal 1500 kkal rendah garam
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/menit
- Nebul Ventolin/ 8 jam
- Inj. Esomeprazole 80 mg/ 24 jam
- Inj. Novorapid 12-12-12 IU/ SC
- Inj. Levemir 0-0-18 IU/ SC (jam 22.00)
- Drip Furosemide 5 amp dalam 50 cc NaCl 0,9 % 1 cc/ jam
- Micardis 80 mg tablet 1x1
R/ - cek darah lengkap, elektrolit, KGDS, RFT, AGDA
50
BAB V
DISKUSI KASUS
TEORI PASIEN
Definisi Perempuan, 46 tahun datang dengan
Sindrom nefrotik merupakan suatu keluhan bengkak pada seluruh tubuh
penyakit yang ditandai dengan sindrom dialami pasien sejak 5 bulan yang lalu
klinik yang terdiri dari beberapa gejala sebelum masuk rumah sakit. Bengkak
yaitu proteinuria masif (>40 mg/m2 diawali pada kedua tungkai dan paha, 1
LPB/jam ataurasio protein/ kreatinin bulan kemudian bengkak menjalar ke
pada urin sewaktu>2 mg/mg atau daerah perut, dada, wajah hingga kedua
dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia ≤ 2,5 tangan, dada hingga kedua tangan.
g/dL, edema, dan hiperkolesterolemia. Bengkak dirasakan terutama pada pagi
hari saat bangun tidur dan berkurang
saat siang dan sore hari
Diagnosis Bengkak pada seluruh tubuh dialami
Penyebab SN sangat luas maka
pasien sejak 5 bulan yang lalu sebelum
anamnesis dan pemeriksaan fisik serta
masuk rumah sakit. Bengkak diawali
urin termasuk pemeriksaan sedimen
pada kedua tungkai dan paha, 1 bulan
perlu dengan cermat. Pemeriksaan
kemudian bengkak menjalar ke daerah
kadar albumin dalam serum, kolesterol
perut, dada, wajah hingga kedua tangan,
dan trigiserid juga membantu penilaian
dada hingga kedua tangan. Bengkak
terhadap sindroma nefrotik. Anamnesis
dirasakan terutama pada pagi hari saat
penggunaan obat, kemungkinan
bangun tidur dan berkurang saat siang
berbagai infeksi, dan riwayat penyakit
dan sore hari. 2 bulan yang lalu pasien
sistemik lain perlu diperhatikan.
dirawat inap di RS Bunda Thamrin
Pemeriksaan serologik dan biopsi ginjal
dengan diagnosis Sindroma Nefrotik
sering diperlukan untuk menegakkan
dan akhirnya berobat jalan dengan
diagnosis dan menyingkirkan penyebab
keluhan bengkak sudah berkurang. 1
glomerulonephritis sekunder.
51
bulan yang lalu keluhan bengkak pada
seluruh tubuh kembali muncul dan
pasien dirawat di RS Mitra Sejati
sebelum akhirnya dirujuk ke RSUP
HAM. Sesak napas dikeluhkan pasien
selama 3 bulan belakangan ini. Pasien
biasa menggunakan 1 bantal saat tidur.
Nyeri dada tidak dijumpai. Mual dan
muntah tidak dijumpai. Riwayat batuk
dan pilek tidak dijumpai. Sejak
timbulnya bengkak pasien merasakan
lesu. Penurunan nafsu makan tidak
dijumpai. Riwayat adanya bercak
merah di wajah tidak dijumpai. Riwayat
demam tidak dijumpai. Nyeri pada
daerah pinggang tidak dijumpai.
Riwayat buang air kecil (BAK)
dijumpai normal. Riwayat BAK
berwarna seperti air cucian daging tidak
dijumpai. Nyeri saat BAK tidak
dijumpai. Keluhan buang air besar
(BAB) tidak dijumpai. Riwayat darah
tinggi disangkal. Riwayat sakit gula
dijumpai sejak 18 tahun yang lalu.tidak
rutin minum obat. Riwayat sakit kuning
tidak dijumpai.
52
Diabetes Mellitus (+), Retinopati
Diabetik (+)
RPO : Kortikosteroid (+)
53
Palpasi: soepel,undulasi (+), H/L/R:
tidak teraba
Perkusi: shiftingdullness (+)
Auskultasi: normoperistaltik
Ekstremitas
+ +
edema (+⁄+), CRT <2 detik
Tatalaksana Umum Indeks Massa Tubuh : 30,44
Pengukuran berat badan dan
kg/m2
tinggi badan TD : 130/80 mmHg.
Pengukuran tekanan darah. Aktivitas: tirah baring, aktivitas
Pemeriksaan fisik dilakukan
ringan
untuk mencari tanda atau gejala Diet: ginjal (30–35 kkal/kgBB),
penyakit sistemik, seperti lupus
protein (0,6–0,8 g/kgBB) rendah
eritematosus sistemik dan
garam
purpura Henoch-Schonlein. Tindakan suportif: IVFD NaCl
Pencarian fokus infeksi
0,9% 10 gtt/menit micro, O2
Sebelum melakukan terapi
nasal kanul 1–2 L/menit.
dengan steroid perlu dilakukan Inj. Insulin Aspart 10-10-10
eradikasi pada setiap infeksi,
IU/SC.
seperti infeksi di gigi-geligi,
Inj. Insulin Determir 0-0-10
telinga, ataupun infeksi karena
IU/SC.
kecacingan.
Telmisartan tab 1 x 80 mg per
Pengobatan sindrom nefrotik
oral.
Pengobatan SN terdiri dari
Spironolakton tab 1 x 25 mg per
pengobatan spesifik yang
oral
ditunjukan terhadap penyakit
dasar dan pengobatan non-
spesifik untuk mengurangi
54
proteinuria, mengontrol edema,
dan mengobati komplikasi.
Diuretik disertai diet rendah
garam ( sekitar 2 gram natrium
per hari) dan tirah baring
membantu mengontrol edema.
Furosemid oral dapat diberikan
dan bila resisten dapat
dikombinasi dengan tiazid,
metalazon, dan atau
asetazolamid. Kontrol
proteinuria dapat memperbaiki
hipoalbuminemia dan
mengurangi resiko kompikasi
yang ditimbulkan. Pembatasan
asupan protein 0,8-1,0
g/kgBB/hari dapat mengurangi
proteinuria. Obat penghambat
enzim konvensi angiotensin (
angiotensin converting enzyme
inhibitors ) dan antagonis
reseptor angiotensin II (
angiotensin II reseptor
antagonist ) dapat menurunkan
tekanan darah dan kombinasi
keduanya mempunyai efek
aditif dalam mengurangi
proteinuria.
55
BAB VI
KESIMPULAN
SM, perempuan, usia 46 tahun dirawat di RSUP HAM dengan diagnosis Edema
anasarka ec. Sindroma Nefrotik Relaps + Diabetes Mellitus Tipe II. Pasien telah
dirawat selama 18 hari dan telah ditatalaksana dengan Tirah baring dengan aktivitas
ringan, dietginjal (30–35 kkal/kgBB), protein (0,6–0,8 g/kgBB) rendah garam, IVFD
NaCl 0,9% 10 gtt/menit micro, O2 nasal kanul 1–2 L/menit, inj. Insulin Aspart 10-
10-10 IU/SC, inj. Insulin Determir 0-0-10 IU/SC, telmisartan tab 1 x 80 mg per oral,
spironolakton tab 1 x 25 mg per oral.
56
DAFTAR PUSTAKA
Alldredge, B.K., Corelli, R.L., dan Ernst, M.E., 2012. Koda-Kimble and
Young’s Applied Therapeutics: The Clinical Use of Drugs. Lippincott Williams &
Wilkins.
Behrman, R.E., Kliegman, R., dan Jenson, H.B., 2004. Nelson Textbook of
Pediatrics 17th Eddition, 17th ed. Elsevier’s Health Science, USA.
Hari, P., Bagga, A., dan Mantan, M., 2004. Short term efficacy of intravenous
dexamethasone and methylprednisolone therapy in steroid resistant nephrotic
syndrome. Indian pediatrics, 41: 993–1000.
Hull RP, Goldsmith DJ. 2008. Nephrotic syndrome in adults.BMJ; 336; 1185-
9.
57
Keddish MT, Karnath BM. 2007.The nephritic syndrome.Hospital Physician.
p 25-30, 38.Available at www.turner-white.comdiunduh 21 oktober 2018.
Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, III JWSG, Behrman RE.Nelson
2011.Textbook of Pediatrics. 19 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;. p. 1801- 7.
Lacy, C., Armstrong, L.L., Lance, L.L., dan Goldman, M.P., 2011. Drug
Information Handbook with International Trade Names Index. Lexi- Comp.
58