Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sindrom nefrotik (SN) merupakan suatu kumpulan gejala yang terdiri atas
proteinuria masif (lebih dari 3,5 gram/hari pada dewasa atau 40 mg/ m2/ hari pada
anak), hipoalbuminemia (<2,5 g/ dL), edema dan hiperlipidemia (Alldredge dkk.,
2012; Behrman dkk., 2004). Pasien dengan sindrom nefrotik terjadi suatu gangguan
pada membran basal glomerulus yang mengakibatkan timbulnya kebocoran protein
plasma ke urin. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya hipoproteinemia, penurunan
serum protein dan albumin, adanya edema serta hiperlipidemia (Okada dan
Takemura, 2009). Sindrom nefrotik 15 kali lebih sering ditemukan pada anak dari
pada dewasa (Behrman dkk., 2004; Handayani dkk., 2007).
Menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) clinical
practice guideline (2012), 1–3 anak dari 100,000 anak dibawah 16 tahun menderita
sindrom nefrotik. Lima dari 100.000 anak per tahun di Jepang mengalami sindrom
nefrotik idiopatik (Okada dan Takemura, 2009). Prevalensi sindrom nefrotik di
Indonesia yaitu 6 dari 100.000 anak dibawah 14 tahun (Handayani dkk., 2007).
Berdasarkan etiologinya sindrom nefrotik dapat dikelompokkan menjadi 3
yaitu: sindrom nefrotik kongenital, sindrom nefrotik idiopatik atau primer (tanpa
diketahui pasti penyebabnya) dan sindrom nefrotik sekunder (sebagai akibat dari
suatu penyakit sistemik seperti Systemic lupus Erythemathosus). Dari keseluruhan
pasien dengan sindrom nefrotik, kurang lebih 90% diantaranya mengalami sindroma
nefrotik idiopatik (Behrman dkk, 2004; Okada dan Takemura, 2009)
Secara morfologis sindrom nefrotik idiopatik dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
penyakit kelainan minimal, proliferasi mesangium dan glomerulosklerosis segmental
fokal. Sebanyak 95% pasien dengan penyakit kelainan minimal masih merespon baik
terhadap terapi kortikosteroid. Berbeda dengan kelainan minimal, hanya 50% dari

1
pasien dengan proliferasi mesangium yang merespon terhadap kortikosteroid. Hanya
20% morfologi glomerulosklerosis segmental fokal yang merespon terhadap terapi
kortikosteroid. Respon pasien terhadap terapi kortikosteroid berbeda (Behrman dkk.,
2004; Eddy dan Symons, 2008).

Mayoritas pasien dengan sindrom nefrotik idiopatik kuranh lebih 80-90%


merespon terhadap kortikosteroid oral dan memiliki prognosis jangka panjang yang
baik (Hari dkk, 2004). Tingginya efek samping penggunaan kortikosteroid jangka
panjang dapat menurunkan kualitas hidup pasien anak. Beberapa contoh efek
samping penggunaan kortikosteroid yaitu hipertensi, instabilitas emosional,
kegagalan penyembuhan luka, intoleransi karbohidrat, Cushing syndrome, diabetes
mellitus, retensi air, terhambatnya pertumbuhan (pada anak), hipokalemia alkalosis,
hipotiroid, gangguan menstruasi, retensi natrium, pancreatitis, tukak peptic, ulcerative
esophagitis, peningkatan enzim hati, osteoporosis, fraktur, miopati steroid,
peningkatan tekanan intraokular, glaukoma, exophthalmos (Lacy dkk., 2011).

1.2. Tujuan Makalah

Tujuan dari pembuatan makalah laporan kasus ini adalah:

a. Dapat mengerti dan memahami tentang Sindroma Nefrotik


b. Dapat menerapkan teori terhadap pasien dengan Sindroma Nefrotik
c. Sebagai persyaratan dalam memenuhi Kepaniteraan Klinik Program
Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2
1.3. Manfaat

Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap penulis dan
pembaca terutama yang terlibat dalam bidang medis dan juga memberikan wawasan
kepada masyarakat umum agar lebih mengetahui dan memahami Sindroma Nefrotik.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi

Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan sindrom


klinik yang terdiri dari beberapa gejala yaitu proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam
atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥ 2+),
hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL, edema, dan hiperkolesterolemia. (Widajat, 2011)

2.2 Etiologi

Berdasarkan etiologinya, sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga, yaitu


kongenital, primer atau idiopatik, dan sekunder (Widajat, 2011). Penyebab dari
sindrom nefrotik kongenital atau genetik adalah

1. Kongenital
Penyebab dari sindrom nefrotik kongenital atau genetik adalah
 Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephrin)
 Denys-Drash syndrome (WT1)
 Frasier syndrome (WT1)
 Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)
 Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)
 Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, α-actinin-4; TRPC6)
 Nail-patella syndrome (LMX1B)
 Pierson syndrome (LAMB2)
 Schimke immuno-osseous dysplasia (SMARCAL1)
 Galloway-Mowat syndrome
 Oculocerebrorenal (Lowe) syndrome

4
2. Primer
Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau
idiopatik adalah sebagai berikut:
 Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)
 Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
 Mesangial Proliferative Difuse (MPD)
 Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)
 Nefropati Membranosa (GNM)

3. Sekunder
Sindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain sebagai
berikut:
 Lupus Erimatosus Sistemik (LES)
 Keganasan, seperti limfoma dan leukemia
 Vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis dengan
poliangitis), sindrom Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik dengan
poliangitis), poliartritis nodosa, poliangitis mikroskopik, purpura Henoch
Schonlein
 Immune complex mediated, seperti post streptococcal (postinfectious)
glomerulonephritis

2.3 Gejala Klinis dan Patofisiologi

Manifestasi klinis dan patofisiologi kelainan pokok pada sindrom nefrotik


adalah peningkatan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang menyebabkan
proteinuria masif dan hipoalbuminemia. Pada biopsi, penipisan yang luas dari
prosesus kaki podosit (tanda sindrom nefrotik idiopatik) menunjukkan peran penting
podosit. Sindrom nefrotik idiopatik berkaitan pula dengan gangguan kompleks pada

5
sistem imun, terutama imun yang dimediasi oleh sel T. Pada focal segmental
glomerulosclerosis (FSGS), faktor plasma, diproduksi oleh bagian dari limfosit yang
teraktivasi, bertanggung jawab terhadap kenaikan permeabilitas dinding kapiler.
Selain itu, mutasi pada protein podosit (podocin, α-actinin 4) dan MYH9 (gen
podosit) dikaitkan dengan focal segmental glomerulosclerosis (FSGS).
Sindrom nefrotik resisten steroid dapat dikaitkan dengan mutasi NPHS2
(podocin) dan gen WT1, serta komponen lain dari aparatus filtrasi glomerulus, seperti
celah pori, dan termasuk nephrin, NEPH1, dan CD-2 yang terkait protein. (Kliegman,
2011)

1. Proteinuria
Protenuria merupakan kelainan utama pada sindrom nefrotik. Apabila ekskresi
protein ≥ 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan disebut dengan protenuria berat. Hal
ini digunakan untuk membedakan dengan protenuria pada pasien bukan sindrom
nefrotik. (Wirya, 2004)

2. Hipoalbuminemia
Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan proteinuria
adalah hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien sindrom nefrotik pada
terjadi hipoalbuminemia apabila kadar albumin kurang dari 2,5 g/dL. Pada keadaan
normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130-200 mg/kg) dan jumlah
yang diproduksi sama dengan jumlah yang dikatabolisme. Katabolisme secara
dominan terjadi pada ekstrarenal, sedangkan 10% di katabolisme pada tubulus
proksimal ginjal setelah resorpsi albumin yang telah difiltrasi. Pada pasien sindrom
nefrotik, hipoalbuminemia merupakan manifestasi dari hilangnya protein dalam urin
yang berlebihan dan peningkatan katabolisme albumin. (Perico, 2013)
Hilangnya albumin melalui urin merupakan konstributor yang penting pada
kejadian hipoalbuminemia. Meskipun demikian, hal tersebut bukan merupakan satu-
satunya penyebab pada pasien sindrom nefrotik karena laju sintesis albumin dapat

6
meningkat setidaknya tiga kali lipat dan dengan begitu dapat mengompensasi
hilangnya albumin melalui urin. Peningkatan hilangnya albumin dalam saluran
gastrointestinal juga diperkirakan mempunyai kontribusi terhadap keadaan
hipoalbuminemia, tetapi hipotesis ini hanya mempunyai sedikit bukti. Oleh karena
itu, terjadinya hipoalbuminemia harus ada korelasi yang cukup antara penurunan laju
sintesis albumin di hepar dan peningkatan katabolisme albumin. (Perico, 2013)
Pada keadaan normal, laju sintesis albumin di hepar dapat meningkat hingga
300%, sedangkan penelitian pada penderita sindrom nefrotik dengan
hipoalbuminemia menunjukan bahwa laju sintesis albumin di hepar hanya sedikit di
atas keadaan normal meskipun diberikan diet protein yang adekuat. Hal ini
mengindikasikan respon sintesis terhadap albumin oleh hepar tidak adekuat.
Tekanan onkotik plasma yang memperfusi hati merupakan regulator mayor
sintesis protein. Bukti eksperimental pada tikus yang secara genetik menunjukkan
adanya defisiensi dalam sirkulasi albumin, menunjukkan dua kali peningkatan laju
transkripsi gen albumin hepar dibandingkan dengan tikus normal (Perico, 2013).
Meskipun demikian, peningkatan sintesis albumin di hepar pada tikus tersebut tidak
adekuat untuk mengompensasi derajat hipoalbuminemia, yang mengindikasikan
adanya gangguan respon sintesis. Hal ini juga terjadi pada pasien sindrom nefrotik,
penurunan tekanan onkotik tidak mampu untuk meningkatkan laju sintesis albumin di
hati sejauh mengembalikan konsentrasi plasma albumin. Ada juga bukti pada subjek
yang normal bahwa albumin interstisial hepar mengatur sintesis albumin. Oleh karena
pada sindrom nefrotik pool albumin interstisial hepar tidak habis, respon sintesis
albumin normal dan naik dengan jumlah sedikit, tetapi tidak mencapai level yang
adekuat.
Asupan diet protein berkontribusi pada sintesis albumin. Sintesis mRNA
albumin hepar dan albumin tidak meningkat pada tikus ketika diberikan diet rendah
protein, tetapi sebaliknya, meningkat pada tikus yang diberikan diet tinggi protein.
Meskipun begitu, level albumin serum tidak mengalami perubahan karena

7
hiperfiltrasi yang dihasilkan dari peningkatan konsumsi protein menyebabkan
peningkatan albuminuria.
Kontribusi katabolisme albumin ginjal pada hipoalbuminemia pada sindrom
nefrotik masih merupakan hal yang kontroversial. Dalam penelitian terdahulu
dikemukakan bahwa kapasitas transportasi albumin tubulus ginjal telah mengalami
saturasi pada level albumin terfiltrasi yang fisiologis dan dengan peningkatan protein
yang terfiltrasi yang hanya diekskresikan dalam urin, bukan diserap dan
dikatabolisme. Penelitian pada perfusi tubulus proksimal yang diisolasi pada kelinci
membuktikan sebuah sistem transportasi ganda untuk uptake albumin. Sebuah sistem
kapasitas rendah yang telah mengalami saturasi pada muatan protein yang berlebih,
tetapi masih dalam level fisiologis, terdapat pula sebuah sistem kapasitas tinggi
dengan afinitas yang rendah, memungkinkan tingkat penyerapan tubular untuk
albumin meningkat karena beban yang disaring naik. Dengan demikian, peningkatan
tingkat fraksi katabolik dapat terjadi pada sindrom nefrotik.(Perico, 2013)
Hipotesis ini didukung oleh adanya korelasi positif di antara katabolisme
fraksi albumin dan albuminuria pada tikus dengan puromycin aminonucleoside PAN
yang diinduksi hingga nefrosis. (Perico, 2013) Namun, karena simpanan total
albumin tubuh menurun dalam jumlah banyak pada sindrom nefrotik, laju katabolik
absolut mungkin normal atau bahkan kurang. Hal ini berpengaruh pada status nutrisi,
sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa katabolisme albumin absolut berkurang
pada tikus nefrotik dengan diet protein rendah, tetapi tidak pada asupan diet protein
normal. Jadi cukup jelas bahwa hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik merupakan
akibat dari perubahan multipel pada homeostasis albumin yang tidak dapat
dikompensasi dengan baik oleh adanya sintesis albumin hepar dan penurunan
katabolisme albumin tubulus ginjal. (Perico, 2013)

8
3. Edema
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada
sindrom nefrotik. Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan
edema. Teori ini berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan
onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial.
Adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan albumin keluar
sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa
salah satu fungsi vital dari albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka
kondisi hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati dinding kapiler
dari ruang intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema. (Wirya, 2004)

Gambar 2.1 Teori underfilled

9
Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air tidak
bergantung pada stimulasi sistemik perifer tetapi pada mekanisme intrarenal primer.
Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan
ekstraseluler. Overfilling cairan ke dalam ruang interstisial menyebabkan
terbentuknya edema. (Wirya, 2004)

Gambar 2.1 Teori overfilled

4. Hiperkolesterolemia
Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum
meningkat pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan antara
lain yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein
menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein. Selain itu katabolisme lemak menurun
karena terdapat penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang
mengambil lemak dari plasma. (Wirya, 2004)

2.4. Diagnosis
Berdasarkan Pemikiran bahwa penyebab SN sangat luas maka anamnesis

dan pemeriksaan fisik serta urin termasuk pemeriksaan sedimen perlu dengan

cermat. Pemeriksaan kadar albumin dalam serum, kolesterol dan trigiserid juga

10
membantu penilaian terhadap sindroma nefrotik. Anamnesis penggunaan obat,

kemungkinan berbagai infeksi, dan riwayat penyakit sistemik lain perlu

diperhatikan. Pemeriksaan serologik dan biopsi ginjal sering diperlukan untuk

menegakkan diagnosis dan menyingkirkan penyebab glomerulonephritis sekunder

(Prodjosudjadi, 2006).

Pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis sindrom


nefrotik, antara lain:

- Urinalisis dan bila perlu biakan urin


Biakan urin dilakukan apabila terdapat gejala klinik yang mengarah pada infeksi
saluran kemih (ISK).

- Protein urin kuantitatif


Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari.

- Pemeriksaan darah
- Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,

hematokrit, LED)

- Albumin dan kolesterol serum

- Ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin

Pengukuran dapat dilakukan dengan cara klasik ataupun dengan rumus

Schwartz. Rumus Schwartz digunakan untuk memperkirakan laju filtrasi

glomerulus (LFG).

11
eLFG = k x L/Scr

eLFG: estimated LFG (ml/menit/1,73 m2)

L : tinggi badan (cm)

Scr : serum kreatinin (mg/dL)

k : konstanta (bayi aterm:0,45; anak dan remaja putri:0,55; remaja

putra:0,7

- Kadar komplemen C3
Apabila terdapat kecurigaan lupus erimatosus sistemik, pemeriksaan

ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclearantibody), dan anti ds-DNA.

- USG Ginjal

Terdapat tanda-tanda Glomerulonefritis kronik

- Biopsi Ginjal

Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN kongenital, onset usia > 8

tahun, resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat

manifestasi nefritik signifikan. Pada SN dewasa yang tidak diketahui asalnya,

biopsi mungkin diperlukan untuk diagnosis. Penegakan diagnosis patologi penting

12
dilakukan karena masing-masing tipe memiliki pengobatan dan prognosis yang

berbeda. Penting untuk membedakan minimal-change disease pada dewasa dengan

glomerulosklerosis fokal, karena minimal-change disease memiliki respon yang

lebih baik terhadap steroid.

2.5. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi dari sindroma nefrotik, diantaranya :

a. Keseimbangan Nitrogen

Proteinuria masif pada SN akan menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi

negatif. Penurunan massa otot sering ditemukan tetapi gejala ini tertutup oleh

gejala edema anasarka dan baru tampak setelah edema menghilang. Kehilangan

massa tubuh(lean body mass) tidak jarang dijumpai pada SN. (Sudjadi WP,2006)

(Cohen EP. 2009).

b. Hiperlipidemia dan Lipiduria

Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Kadar

kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi ari normal sampai

sedikit meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL

(low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar

trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low

densitylipoprotein). Selain itu ditemukan pulapeningkatan IDL dan lipoprotein a

sedangkan HDL cenderung normal atau rendah.(Sudjadi WP,2006).

13
Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis

lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Semula diduga

hiperlipidemia merupakan hasil stimulasi non-spesifikterhadap sintesis protein

oleh hati. Karena sintesis protein tidak berkorelasi dengan hiperlipidemia

disimpulkan hiperlipidemia tidak langsung diakibatkan oleh hipo-albuminemia.

Hiperlipidemia dapat ditemukan pada SN dengan kadar albumin mendekati normal

dan sebaliknya pada pasien dengan hipoalbuminemia kadar kolesterol dapat

normal (Sudjadi WP,2006) (Cohen EP. 2009).

Tinginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa

gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL

dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya

ektivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga merupakan penyebab

berkurangnya katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati

terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Penurunan

kadar HDL pada SN diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT (lecithin

cholesterolacyltransferase) yang berfungsi katalisasipembentukan HDL. Enzim ini

juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme.

Penurunan aktivitas enzim tersebut diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang

terjadi pada SN. Lipiduria sering ditemukan pada SN dan ditandai dengan

akumulasi lipid pada debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval

fat bodies) dan fatty cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan proteinuria daripada

dengan hyperlipidemia. (Sudjadi WP,2006) (Cohen EP. 2009).

14
c. Hiperkoagulasi

Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan

koagulasi intravascular. Pada SN akibat GNMN kecenderungan terjadinya

trombosis vena renalis cukup tinggi sedangkan SN pada GNLM dan GNMP

frekuensinya kecil. Emboli paru dan thrombosis vena dalam (deep

veinthrombosis=DVT) sering dijumpai pada SN.Kelainan tersebut disebabkan oleh

perubahan tingkat dan aktivitas berbagai faktor koagulasi intrinsik dan ekstrinsik.

Mekanisme hiperkoagulasi pada SN cukup kompleks meliputi peningkatan

fibrinogen, hiperagregasi trombosit, dan penurunan fibrinolisis. Gangguan

koagulasi yang terjadi disebabkan peningkatan sintesis protein oleh hati dan

kehilangan protein melalui urin. (Sudjadi WP,2006) (Cohen EP. 2009).

d. Metabolisme Kalsium dan Tulang

Vitamin D merupakan unsure penting dalam metabolisme kalsium dan tulang

pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan melalui urin

sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D dan 1,25(OH)2D

plasma juga ikut menurun sedangkan kadar vitamin D bebas tidak mengalami

gangguan. Karena fungsi ginjal pada SN umumnya normal maka osteomalasi atau

hiperparatiroidisme yang tidak terkontrol jarang dijumpai. Pada SN juga terjadi

kehilangan hormone tiroid yang terikat protein melalui urin dan penurunan kadar

tiroksin plasma. Tiroksin yang bebas dan hormon yang menstimulasi tiroksin

15
(TSH) tetap normal sehingga secara klinis tidak menimbulkan gangguan. (Sudjadi

WP,2006) (Cohen EP. 2009).

e. Infeksi

Sebelum era antibiotik, infeksi sering merupakan penyebab kematian pada

SN terutama oleh organism berkapsul (encapsulated organisms). Infeksi pada SN

terjadi akibat defek imunitas humoral, selular, dan ganggauan system komplemen.

Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh

karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang meningkat dan bertambah

banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang

yang menggambarkan gangguan imunitas selular. Hal ini dikaitkan dengan

keluarnya transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi

dengan normal. (Sudjadi WP,2006) (Cohen EP. 2009).

f. Gangguan fungsi ginjal

Pasien SN memiliki potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui berbagai
mekanisme. Penurunan volume plasma dan atau sepsis sering menyebabkan
timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi
penyebab gagal ginjal akut adalah terjadinya edema intrarenal yang menyebabkan
kompresi pada tubulus ginjal. . (Sudjadi WP,2006) (Cohen EP, 2009) (Bagga A,
2008) (Hull RP,2008).
Sindrom nefrotik dapat progresif dan berkembang menjadi PGTA(penyakit ginjal
tahap akhir). Proteinuria merupakan faktor risiko penentu terhadap progresivitas SN.
Progresivitas kerusakan glomerulus, perkembangan glomerulosklerosis, dan
kerusakan tubule interstisium dikaitkan dengan proteinuria. Hiperlipidemia juga
dihubungkan dengan mekanisme terjadinya glomerulosklerosis dan fibrosis tubule

16
interstisium pada SN, walaupun peran terhadap p rogresivitas penyakitnya belum
diketahui secara pasti. (Sudjadi WP,2006) (Cohen EP, 2009) (Bagga A, 2008) (Hull
RP,2008) .
kerusakan tubuleinterstisium dikaitkan dengan proteinuria. Hiperlipidemia

juga dihubungkan dengan mekanisme terjadinya glomerulosklerosis dan


penyakitnya
fibrosis tubulointerstisium pada SN, walaupun peran terhadap progresivitas

belum diketahui secara pasti. (Sudjadi WP,2006) (Cohen EP, 2009) (Bagga A, 2008)

(Hull RP,2008).

g. Komplikasi lain pada Sindroma nefrotik

Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada SN dewasa terutama apabila disertai
proteinuria masif, asupan oral yang kurang, dan proses katabolisme yang tinggi.
Kemungkinan efek toksik obat yang terikat protein akan meningkat karena
hipoalbuminemia menyebabkan kadar obat bebas dalam plasma lebih tinggi.
Hipertensi tidak jarang ditemukan sebagai komplikasi SN terutama dikaitkan dengan
retensi natrium dan air. (Sudjadi WP,2006).

2.6. Penatalaksanaan umum

1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan


2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan dilakukan untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik,
seperti lupus eritematosus sistemik dan purpura Henoch-Schonlein.
4. Pencarian fokus infeksi
Sebelum melakukan terapi dengan steroid perlu dilakukan eradikasi pada
setiap infeksi, seperti infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun infeksi karena
kecacingan.

17
5. Pemeriksaan uji Mantoux
Apabila hasil uji Mantoux positif perlu diberikan profilaksis dengan isoniazid
(INH) selama 6 bulan bersama steroid dan apabila ditemukan tuberkulosis
diberikan obat antituberkulosis (OAT).

2.7.Tata laksana pada sindroma nefrotik


Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditunjukan terhadap
penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria,
mengontrol edema, dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diit rendah garam
( sekitar 2 gram natrium per hari) dan tirah baring membantu mengontrol edema.
Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid,
metalazon, dan atau asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki
hipoalbuminemia dan mengurangi resiko kompikasi yang ditimbulkan.
Pembatasan asupan protein 0,8-1,0 g/kgBB/hari dapat mengurangi proteinuria.
Obat penghambat enzim konvensi angiotensin ( angiotensin converting enzyme
inhibitors ) dan antagonis reseptor angiotensin II ( angiotensin II reseptor
antagonist ) dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya
mempunyai efek aditif dalam mengurangi proteinuria. Resiko tromboeboli pada
SN meningkat dan perlu mendapat penanganan walaupun pemberian antikoagulan
jangka panjang masih konvensional tetapi pada satu studi terbukti memberi
keuntungan. Jika terjadi trombosis dapat diberikan heparin dilanjutkan dengan
warfarin selama pasien masih nefrotik. Dislipidemia pada SN belum secara
meyakinkan meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular, tetapi bukti klinis
dalam populasi menyokong pendapat perlunya mengontrol keadaan ini. Obat
penurun lemak golongan statin seperti simvastatin , pravastatin, lovastin dapat
menurunkan kolesterol LDL, trigliserida, dan meningkatkan kolesterol HDL.

18
2.8. Tatalaksana komplikasi sindrom nefrotik

Pada orang dewasa, sebagian besar kasus sindrom nefrotik disebabkan oleh
penyakit glomerular primer, seperti nefropati membranosa, glomerulosklerosis fokal
segmental, penyakit glomerular dengan lesi minimal, penyakit glomerular membrano-
proliferatif, dll. Sindrom nefrotik juga dapat disebabkan oleh berbagai macam
penyakit seperti diabetes, amyloidosis, SLE, dll. Penggunaan obattertentu juga dapat
menimbulkan sindrom nefrotik seperti antiinflamasi non steroid (AINS), emas,
penicillamin, dll. (Bernard DB,1988) (Hull RP,2008).

Adapun prinsip penatalaksanaan sindrom nefrotik adalah :

1) Infeksi
Adanya teori mengenai peran imunologi pada sindrom nefrotik yang

menyebutkan bahwa terjadi penurunan sistem imun pada pasien dengan sindrom

nefrotik sehingga menyebabkan pasien SN mempunyai kerentanan terhadap infeksi.

Apabila telah terbukti adanya komplikasi berupa infeksi perlu diberikan antibiotic

Pada pasien SN Infeksi yang sering terjadi adalah selulitis dan peritonitis primer.

Penyebab tersering peritonitis primer adalah kuman gram negatif dan Streptococcus

pneumoniae. Untuk pengobatannya diberikan pengobatan penisilin parenteral

dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim atau seftriakson) selama

10-14 hari. Pneumonia dan infeksi saluran napas atas karena virus juga merupakan

manifestasi yang sering terjadi pada anak dengan sindrom nefrotik.

2) Trombosis
Terdapat suatu penelitian prospektif dengan hasil 15% pasien SN relaps

terdapat defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat

19
trombosis pembuluh vaskular paru yang asimtomatik. Pemeriksaan fisik dan

radiologis perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis trombosis. Apabila telah ada

diagnosis trombosis, perlu diberikan heparin secara subkutan, dilanjutkan dengan

warfarin selama 6 bulan atau lebih. Saat ini tidak dianjurkan pencegahan

tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis rendah.

3) Hiperlipidemia
Kadar LDL, VLDL, trigliserida, dan lipoprotein meningkat pada sindrom

nefrotik relaps atau resisten steroid, tetapi kadar HDL menurun atau normal. Kadar

kolesterol yang meningkat tersebut mempunya sifat aterogenik dan trombogenik. Hal

ini dapat meningkatkan morbiditas kardiovaskular dan progresivitas

glomerulosklerosis. Untuk itu perlu dilakukan diet rendah lemak jenuh dan

mempertahankan berat badan normal. Pemberian obat penurun lipid seperti HmgCoA

reductaseinhibitor (contohnya statin) dapat dipertimbangkan. Peningkatan kadar

LDL, VLDL, trigliserida, dan lipoprotein pada sindrom nefrotik sensitif steroid

bersifat sementara sehingga penatalaksanaannya cukup dengan mengurangi diet

lemak.

4) Hipokalsemia
Hipokalsemia pada sindrom nefrotik dapat terjadi karena :
- Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan

osteopeni

20
- Kebocoran metabolit vitamin D Untuk menjaga keseimbangan jumlah kalsium

maka pada pasien SN dengan terapi steroid jangka lama (lebih dari 3 bulan)

sebaiknya diberikan suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D (125-

250 IU). Apabila telah ada tetani perlu diberikan kalsium glukonas 10% sebanyak

0,5 ml/kgBB intravena.

5) Hipovolemia
Hipovolemia dapat terjadi akibat pemberian diuretik yang berlebihan atau

pasien dengan keadaan SN relaps. Gejala-gejalanya antara lain hipotensi, takikardia,

ekstremitas dingin, dan sering jugadisertai sakit perut. Penanganannya pasien diberi

infus NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20 mL/kgBB dalam 20-30 menit, dan

disusul dengan albumin 1 g/kgBB atau plasma 20 mL/kgBB (tetesan lambat 10 tetes

per menit). Pada kasus hipovolemia yang telah teratasi tetapi pasien tetap oliguria,

perlu diberikan furosemid 1-2 mg/kgBB intravena.

6) Hipertensi
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan

penyakit SN akibat dari toksisitas steroid. Untuk pengobatanya diawali dengan ACE

(angiotensin converting enzyme) inhibitor, ARB (angiotensin receptor blocker),

calcium chanel blockers,atau antagonis β adrenergik, hingga tekanan darah di bawah

persentil 90.

7) Efek samping steroid

21
Terdapat banyak efek samping yang timbul pada pemberian steroid jangka

lama, antara lain peningkatan nafsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan

perilaku, peningkatan resiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan

demineralisasi tulang. Pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid, pengukuran

tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan

evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali pada pasien SN.

8) Hipoalbuminemia pada Sindrom Nefrotik


Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik mempunyai karakteristik yaitu

hilangnya albumin urin dalam jumlah yang besar dan reduksi pada totalexchangeable

albumin pool.

Laju pecahan katabolisme albumin meningkat pada pasien nefrotik yang

kemungkinan disebabkan peningkatan katabolisme albumin oleh ginjal. Namun,

tingkat katabolik albumin absolut menurun pada pasien nefrotik. Sintesis albumin

dapat meningkat tetapi tidak cukup untuk mempertahankan konsentrasi serum

albumin normal atau albumin pool.

Augmentasi diet protein pada tikus nefrotik langsung merangsang sintesis

albumin dengan meningkatkan konten mRNA albumin di hati, tetapi juga

menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap makromolekul. Ketika

diet protein dibatasi, laju sintesis albumin tidak meningkat, baik pada pasien nefrotik

atau tikus nefrotik, meskipun hipoalbuminemia berat.

22
Meskipun suplemen protein dapat menyebabkan keseimbangan nitrogen, tetapi

pemberian suplemen protein saja tidak dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi

albumin serum, tetapi sebaliknya dapat menyebabkan deplesi albumin pool yang

lebih lanjut karena perubahan yang diinduksi dalam rejeksi glomerulus.

2.9. Prognosis

Prognosis pasien dengan sindrom nefrotik yang mendapatkan terapi secara

umum baik, dan tergantung pada penyebab, usia, dan respon terhadap terapi. Pada

anak dengan SN biasanya memiliki prognosis baik. Pada anak dengan usia <5 tahun

memiliki prognosis buruk dan pada orang dewasa dengan usia >30 tahun juga lebih

memiliki risiko gagal ginjal.

23
BAB III
STATUS ORANG SAKIT

Nomor Rekam Medis: 00.75.84.47

Tanggal masuk: 05/10/2018 Dokter Ruangan:


dr. Anwar Sholeh

Jam: 20:10 WIB Dokter Chief of Ward:


dr. Nova Sri Meilita
Sipahutar, M.Ked(PD)

Ruang: II.2.1 Dokter Penanggung Jawab


Pasien:
dr. Radar Radius Tarigan,
M.Ked(PD), Sp.PD

ANAMNESIS PRIBADI
Nama : SM
Umur : 46 tahun 7 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Firdaus Dusun X Kecamatan Sei Rampah, Deli Serdang

24
ANAMNESIS PENYAKIT
Keluhan Utama : Bengkakpada seluruh tubuh
Telaah :
Bengkak pada seluruh tubuh dialami pasien sejak 5 bulan yang lalu sebelum masuk
rumah sakit. Bengkak diawali pada kedua tungkai dan paha, 1 bulan kemudian
bengkak menjalar ke daerah perut, dada, wajah hingga kedua tangan, dada hingga
kedua tangan. Bengkak dirasakan terutama pada pagi hari saat bangun tidur dan
berkurang saat siang dan sore hari. 2 bulan yang lalu pasien dirawat inap di RS Bunda
Thamrin dengan diagnosis Sindroma Nefrotik dan akhirnya berobat jalan dengan
keluhan bengkak sudah berkurang. 1 bulan yang lalu keluhan bengkak pada seluruh
tubuh kembali muncul dan pasien dirawat di RS Mitra Sejati sebelum akhirnya
dirujuk ke RSUP HAM. Sesak napas dikeluhkan pasien selama 3 bulan belakangan
ini. Pasien biasa menggunakan 1 bantal saat tidur. Nyeri dada tidak dijumpai. Mual
dan muntah tidak dijumpai. Riwayat batuk dan pilek tidak dijumpai. Sejak timbulnya
bengkak pasien merasakan lesu. Penurunan nafsu makan tidak dijumpai. Riwayat
adanya bercak merah di wajah tidak dijumpai. Riwayat demam tidak dijumpai. Nyeri
pada daerah pinggang tidak dijumpai. Riwayat buang air kecil (BAK) dijumpai
normal. Riwayat BAK berwarna seperti air cucian daging tidak dijumpai. Nyeri saat
BAK tidak dijumpai. Keluhan buang air besar (BAB) tidak dijumpai. Riwayat darah
tinggi disangkal. Riwayat sakit gula dijumpai sejak 18 tahun yang lalu.tidak rutin
minum obat. Riwayat sakit kuning tidak dijumpai.

RPT : Sindroma Nefrotik (+), Diabetes Mellitus (+), Retinopati Diabetik (+)
RPO : Kortikosteroid (+)

ANAMNESIS ORGAN

25
Jantung Sesak Napas : (+) Edema : (+)
Angina Pektoris : (–) Palpitasi : (–)
Saluran Pernapasan Batuk-batuk : (–) Asma, bronkitis : (–)
Dahak : (–) Lain-lain : (–)
Saluran Pencernaan Nafsu Makan : dbn Penurunan BB : (–)
Keluhan Menelan : (–) Keluhan Defekasi : (–)
Keluhan Perut : (–) Lain-lain : (–)
Saluran Urogenital Sakit Buang Air Kecil : (–) BAK Tersendat : (–)
Mengandung Batu : (–) Keadaan Urin : (–)
Haid : (–) Lain-lain : (–)
Sendi dan Tulang Sakit Pinggang : (–) Keterbatasan Gerak : (–)
Keluhan Persendian : (–) Lain-lain : (–)
Endokrin Haus/Polidipsi : (–) Gugup : (–)
Poliuri : (–) Perubahan Suara : (–)
Polifagi : (–) Lain-lain : (–)
Saraf Pusat Sakit Kepala : (–) Hoyong : (–)
Lain-lain : (–)
Darah & Pembuluh Pucat : (–) Perdarahan : (–)
Darah Petechiae : (–) Purpura : (–)
Lain-lain : (–)
Sirkulasi Perifer Claudicatio intermitten: (–) Lain-lain : (–)

ANAMNESIS FAMILI : Ibu kandung pasien menderita Diabetes Mellitus

PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK


STATUS PRESENS
Keadaan Umum Keadaan Penyakit

Sensorium : Compos Mentis Pancaran Wajah : pucat

26
Tekanan Darah : 130/80 mmHg Sikap Paksa : (–)
Nadi : 90 x/menit, reg, t/v cukup Refleks Fisiologis : (+)
Pernapasan : 22 x/menit Refleks Patologis : (–)
Temperatur : 36,6ºC

Keadaan Gizi :
BW : 131,03% Tinggi Badan : 158 cm
Berat Badan : 76 kg Indeks Massa Tubuh : 30,44 kg/m2

KEPALA :
Mata : konjungtiva palpebra pucat (+/+), edema palpebra
superior (+/+), ikterus (–/–), pupil isokor (+), refleks
cahaya direk (+), indirek (+)
Telinga : dalam batas normal
Hidung : dalam batas normal

Mulut : lidah : dalam batas normal


gigi geligi : dalam batas normal
tonsil/faring : dalam batas normal

LEHER :
Struma : tidak membesar, nyeri tekan (–)
Posisi Trakea : medial
TVJ : R–2 cmH2O
Kaku Kuduk : (–)
Lain-lain : (–)

THORAKS DEPAN :
Inspeksi

27
Bentuk : simetris fusiformis
Pergerakan : retraksi dinding dada (+). penggunaan otot-otot bantu
pernapasan (+), ketinggalan bernapas (–)
Palpasi
Nyeri Tekan : (–)
Fremitus Suara : SF melemah pada bagian bawah paru

Perkusi
Paru
Batas Paru-Hati R/A : ICS V/ICS VI
Peranjakan : ± 2 cm
Jantung
Batas Atas Jantung : ICS II–III linea midclavicularis sinistra
Batas Kiri Jantung : ICS IV 1 cm medial linea midclavicularis sinistra
Batas Kanan Jantung : ICS IV linea parasternalis dextra
Auskultasi
Paru
Suara Pernapasan : vesikular melemah pada kedua lapangan paru bawah
Suara Tambahan : ronkhi (–/–), wheezing (–)
Jantung
M1>M2,P2>P1,T1>T2,A2>A1, desah sistolis (–), lain-lain (–)
HR:90 x/menit, regular, intensitas: cukup

THORAKS BELAKANG:
Inspeksi : simetris fusiformis
Palpasi : SF mengeras pada kedua lapangan paru bawah
Perkusi : beda pada kedua lapangan paru bawah
Auskultasi : SP: vesikular melemah pada kedua lapangan paru bawah
ST: ronkhi (–/–), wheezing (–)

28
ABDOMEN :
Inspeksi
Bentuk : simetris membesar
Gerakan Usus : tidak terlihat
Vena Kolateral : (–)
Caput Medusae : (–)
Palpasi
Dinding Abdomen : soepel, undulasi (+)
HATI
Pembesaran : sulit dinilai
Permukaan : (–)
Pinggir : (–)
Nyeri Tekan : (–)
LIMFA
Pembesaran : (–)
GINJAL
Ballotement : (–)
Lain-lain : (–)

UTERUS/OVARIUM : tidak dilakukan pemeriksaan


TUMOR : (–)

Perkusi
Pekak Hati : (–)
Pekak Beralih : (+)
Auskultasi
Peristaltik Usus : normoperistaltik
Lain-lain : double sound (+)

29
PINGGANG
Nyeri Ketok Sudut Kostovertebra (–)

INGUINAL : tidak dilakukan pemeriksaan

GENITALIA LUAR : tidak dilakukan pemeriksaan

PEMERIKSAAN COLOK DUBUR (RT)


Perineum : tidak dilakukan pemeriksaan
Sphincter Ani : tidak dilakukan pemeriksaan
Lumen : tidak dilakukan pemeriksaan
Mukosa : tidak dilakukan pemeriksaan
Sarung Tangan : tidak dilakukan pemeriksaan

ANGGOTA GERAK ATAS


Deformitas Sendi : (–/–)
Lokasi : (–)
Jari Tabuh : (–/–)
Tremor Ujung Jari : (–/–)
Telapak Tangan Sembab : (+/+)
Sianosis : (–/–)
Eritema Palmaris : (–/–)
Lain-lain : (–/–)

ANGGOTA GERAK BAWAH


Edema : (+/+)
Arteri Femoralis : (+/+)
Arteri Tibialis Posterior : (+/+)

30
Arteri Dorsalis Pedis : (+/+)
Refleks KPR : (+/+)
Refleks APR : (+/+)
Refleks Fisiologis : (+/+)
Refleks Patologis : (–/–)
Lain-lain : (–/–)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN (05/10/2018)

DARAH KEMIH TINJA

Hb: 8,1 g/dL Warna: kuning keruh Warna: kecoklatan


Eritrosit: 2,77 juta/µL Protein: (+3) Konsistensi: lembek
Leukosit: 7.280/µL Reduksi: (–) Eritrosit: 0–1/lpb
Hematokrit: 24% Bilirubin: (–) Leukosit: 0–1/lpb
Trombosit: 204.000/µL Urobilinogen: (–) Amoeba/Kista: (–)

Hitung Jenis: Sedimen: Telur Cacing


Neutrofil: 65,80% Eritrosit: 0–1/lpb Ascaris: (–)
Limfosit: 23,90% Leukosit: 0–1/lpb Ankylostoma: (–)
Monosit: 7,00% Epitel: 0–1/lpb T. trichiura: (–)
Eosinofil: 3,20% Silinder: (–) Kremi: (–)
Basofil: 0,10%

31
RESUME

ANAMNESIS Keluhan Utama : Edema anasarka

Telaah : Hal ini dialami sejak 5 bulan SMRS. Diawali


pada ekstremitas inferior lalu menjalar ke
abdomen, thoraks, facial, dan ekstremitas superior.
2 bulan yang lalu os dirawat di RS luar dengan
diagnosis Sindroma Nefrotik dan berobat jalan
dengan keluhan edema berkurang. 1 bulan yang
lalu, edema anasarka kembali muncul. Dyspnoe
(+) sejak 3 bulan ini. BAK (+) normal. BAB (+)
normal
RPT: Sindroma Nefrotik (+), Diabetes Mellitus
(+),
Retinopati Diabetik (+)
RPO: Kortikosteroid (+)

STATUS Keadaan Umum : Sedang


PRESENS Keadaan Penyakit : Buruk
Keadaan Gizi : Berlebih

PEMERIKSAAN FISIK Sensorium : Compos Mentis


Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 90 x/menit
Pernafasan : 22 x/menit
Temperatur : 36,6°C
Kepala
Mata: konjungtiva palpebra inferior anemis (+/+), edema
palpebra superior (+/+), sklera ikterik (–/–)

32
Telinga/Hidung/Mulut: dbn/dbn/dbn
Leher: struma membesar (–), TVJ R–2 cmH2O
Thoraks
Inspeksi: simetris fusiformis
Palpasi: SF melemah pada kedua lapangan paru bawah
Perkusi: beda pada kedua lapangan paru bawah
Auskultasi: vesikular melemah pada kedua lapangan
paru bawah, ronkhi (–/–)
Abdomen:
Inspeksi : simetris membesar
Palpasi: soepel, undulasi (+), H/L/R: tidak teraba
Perkusi: shifting dullness (+)
Auskultasi: normoperistaltik
Ekstremitas
+ +
edema (+⁄+), CRT <2 detik

LABORATORIUM Darah: Anemia (Hb: 8,1 g/dL)


RUTIN
Kemih: dalam batas normal

Tinja: dalam batas normal

DIAGNOSIS BANDING 1. Edema anasarka ec. Sindroma Nefrotik Relaps +


Diabetes Mellitus Tipe II
2. Edema anasarka ec. Sindroma Nefritik + Diabetes
Mellitus Tipe II
3. Edema anasarka ec. Congestive Heart Failure +
Diabetes Mellitus Tipe II

33
4. Edema anasarka ec. Sirosis Hepatis + Diabetes
Mellitus Tipe II

DIAGNOSIS Edema anasarka ec. Sindroma Nefrotik Relaps +


SEMENTARA Diabetes Mellitus Tipe II

PENATALAKSANAAN Aktivitas: tirah baring, aktivitas ringan

Diet: ginjal (30–35 kkal/kgBB), protein (0,6–0,8


g/kgBB) rendah garam

Tindakan suportif: IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/menit micro,


O2 nasal kanul 1–2 L/menit

Medikamentosa:
- Inj. Insulin Aspart 10-10-10 IU/SC
- Inj. Insulin Determir 0-0-10 IU/SC
- Telmisartan tab 1 x 80 mg per oral
- Spironolakton tab 1 x 25 mg per oral

Rencana Penjajakan Diagnostik/Tindakan Lanjutan

1. Renal Function Test

2. Lipid Profile

3. ANA/anti ds-DNA

4. Protein serum

34
5. Fibrinogen

6. Foto Thoraks PA

7. USG Ginjal dan Saluran Kemih

8. Biopsi Ginjal

35
BAB IV
FOLLOW-UP

Pemantauan tanggal 5/10/2018 – 7/10/2018


S: Bengkak (+)
O: Sensorium: compos mentis
TD: 130/80 mmHg Temp: 36,0°C
HR: 88 kali/menit RR: 22 kali/menit
Kepala : normosefal, edema (+)
Mata: konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
T/H/M: dbn/dbn/dbn
Leher : TVJ R–2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Toraks : Inspeksi: simetris fusiformis
Palpasi: sonor
Perkusi: stem fremitus kanan = kiri
Auskultasi: vesikular, ronki (-/-)
Abdomen : Inspeksi: simetris
Palpasi: soepel, H/L/R: tidak teraba
Perkusi: timpani
Auskultasi: normoperistaltik
Ekstremitas : akral hangat, CRT <3”, edema: (+/+)
A: - Sindroma Nefrotik Relaps
- Diabetes Mellitus tipe 2
- Hipoalbuminemia (1,6)
P: - Tirah baring
- Diet DM 1700 kkal
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/menit
- Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam

36
- Valsartan 80 mg tab 1x1
R/ - Konsul stase endokrin
- Urinalisis dan feses rutin
- Cek KGD puasa, KGD 2 jam PP, lipid profile

Hasil laboratorium tanggal 05/10/2018


Darah Lengkap
Hemoglobin 8,1 g/dL
Eritrosit 2,77
Leukosit 7.280 /𝜇L
Hematokrit 24 %
Trombosit 204.000 /𝜇L
MCV 86 fL
MCH 29,2 pg
MCHC 33,9 g/dL
RDW 12,2 %
MPV 11,6 fL
PCT 0,24 %
RDW 13,7 %
Hitung Jenis
Neutrofil 65,8 %
Limfosit 23,9 %
Monosit 7%
Eusinofil 3,2 %
Basofil 0,1 %
Neutrofil Absolut 4,79 x 103 /𝜇𝐿
Limfosit Absolut 1,74 x 103 /𝜇𝐿
Monosit Absolut 0,51 x 103 /𝜇𝐿

37
Eusinofil Absolut 1,23 x 103 /𝜇𝐿
Basofil Absolut 0,01 x 103 /𝜇𝐿
IPF 0,0 %
NRBC 0,0 %

Pemantauan tanggal 8/10/2018–9/10/2018


S: - Bengkak berkurang
- Sesak napas (+)
- Lemas (+)
O: Sensorium: compos mentis
TD: 140/90 mmHg Temp: 36,6°C
HR: 90 kali/menit RR: 24 kali/menit
Kepala : normosefal, edema (+)
Mata: konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
T/H/M: dbn/dbn/dbn
Leher : TVJ R–2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Toraks : Inspeksi: simetris fusiformis
Palpasi: sonor
Perkusi: stem fremitus kanan = kiri
Auskultasi: vesikular, ronki (-/-)
Abdomen : Inspeksi: simetris
Palpasi: soepel, H/L/R: tidak teraba
Perkusi: timpani
Auskultasi: normoperistaltik
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2”, edema (+/+)
KGDS = 800
A: - Sindroma Nefrotik Relaps
- Diabetes Mellitus tipe 2 dengan krisis hiperglikemi

38
P: - Tirah baring
- Diet DM 1700 kkal
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/menit
- Inj. Novorapid 3x10 subkutan
- Inj. Levemir 1x10 subkutan
- Micardis 80 mg tab 1x1
R/ - Cek anti DS-DNA
- Insulinisasi = 50 IU insulin Novorapid dalam 50 cc NaCl 0,9% syringe pump
Mulai 6 cc/jam, cek KGD/jam (stik)
Bila KGD >400 = 6 cc/jam
350-400 = 3,5 cc/jam
300-350 = 3 cc/jam
250-300 = 2,5 cc/jam
200-250 = 2 cc/jam
150-200 = 1 cc/jam
100-150 = 0,5 cc/jam
<100 = aff = lapor

Hasil laboratorium tanggal 09/10/2018


Metabolisme Karbohidrat
Glukosa Darah Puasa 800 mg/dl
Lemak
Kolesterol Total 367 mg/dl
Trigliserida 938 mg/dl
Kolesterol HDL 33 mg/dl
Kolesterol LDL 154 mg/dl
Pemantauan tanggal 10/10/2018
S: - Bengkak berkurang

39
- Lemas (+)
O: Sensorium: compos mentis
TD: 120/70 mmHg Temp: 36,0°C
HR: 81 kali/menit RR: 20 kali/menit
Kepala : normosefal, edema (+)
Mata: konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
T/H/M: dbn/dbn/dbn
Leher : TVJ R–2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Toraks : Inspeksi: simetris fusiformis
Palpasi: sonor
Perkusi: stem fremitus kanan = kiri
Auskultasi: vesikular, ronki (-/-)
Abdomen : Inspeksi: simetris
Palpasi: soepel, H/L/R: tidak teraba
Perkusi: timpani
Auskultasi: normoperistaltik
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2”, edema (+/+)
KGDS = 91
A: - Sindroma Nefrotik Relaps
- Diabetes Mellitus tipe 2 dengan hipoglikemi
P: - Tirah baring
- Diet DM 1700 kkal
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/menit
R/ - Inj. Novorapid syringe pump aff ganti dengan:
- Inj. Novorapid 6-6-6 IU/ SC
- Inj. Levemir 0-0-10 IU/ SC (jam 22.00)

Pemantauan tanggal 11/10/2018–12/10/2018


S: - Bengkak berkurang

40
- Lemas berkurang
O: Sensorium: compos mentis
TD: 140/90 mmHg Temp: 36,4°C
HR: 90 kali/menit RR: 24 kali/menit
Kepala : normosefal, edema (+)
Mata: konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
T/H/M: dbn/dbn/dbn
Leher : TVJ R–2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Toraks : Inspeksi: simetris fusiformis
Palpasi: sonor
Perkusi: stem fremitus kanan = kiri
Auskultasi: vesikular, ronki (-/-)
Abdomen : Inspeksi: simetris
Palpasi: soepel, H/L/R: tidak teraba
Perkusi: timpani
Auskultasi: normoperistaltik
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2”, edema (+/+)
KGDS = 142 mg/dl
A: - Sindroma Nefrotik Relaps
- Diabetes Mellitus tipe 2
P: - Tirah baring
- Diet DM 1700 kkal
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/menit
- Inj. Novorapid 6-6-6 IU/ SC
- Inj. Levemir 0-0-10 IU/ SC (jam 22.00)
R/ - cek KGDS dan KGD 2 jam PP
- cek proteinuria dan UOP
- Naikkan dosis - Inj. Novorapid 8-8-8 IU/ SC
- Inj. Levemir 0-0-18 IU/ SC (jam 22.00)

41
Hasil laboratorium tanggal 11/10/2018
Metabolisme Karbohidrat
Glukosa Darah Puasa 142 mg/dl
Glukosa Darah 2 jam PP 136 mg/dl

Hasil laboratorium tanggal 12/10/2018


GINJAL
Volume urine/ 24 jam 1600 ml/24 jam
Protein Urine 288 mg/dl (++)
Protein Urine 24 jam 4.608 mg/24 jam

Pemantauan tanggal 13/10/2018–14/10/2018


S: - Bengkak berkurang
- Lemas berkurang
- Sesak nafas (+)
- Nyeri ulu hati (+)
O: Sensorium: compos mentis
TD: 140/80 mmHg Temp: 36,5°C
HR: 88 kali/menit RR: 28 kali/menit
Kepala : normosefal, edema (+)
Mata: konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
T/H/M: dbn/dbn/dbn
Leher : TVJ R–2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Toraks : Inspeksi: simetris fusiformis
Palpasi: sonor
Perkusi: stem fremitus kanan = kiri
Auskultasi: vesikular, ronki (-/-)
Abdomen : Inspeksi: simetris membesar

42
Palpasi: soepel, H/L/R: tidak teraba
Perkusi: timpani
Auskultasi: normoperistaltik
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2”, edema (+/+)
KGDS: 108 mg/dl
A: - Sindroma Nefrotik Relaps
- Diabetes Mellitus tipe 2
P: - Tirah baring
- Diet DM 1700 kkal
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/menit
- Inj. Furosemide 1 amp/ 12 jam
- Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
- Inj. Novorapid 8-8-8 IU/ SC
- Inj. Levemir 0-0-18 IU/ SC (jam 22.00)
- Koreksi albumin = (2,5-1,6) x 70 kg x 0,8
= 50,4 = 2 flakon Albumin 25% 100cc

R/ - pantau vital sign/ 6 jam


- pantau KGD/ 4 jam
- cek AGDA
- cek urinalisa
- konsul gastroenterohepatologi: Asites non sirotik dd sirotik pro tapping/pungsi

Hasil laboratorium tanggal 14/10/2018


Analisa Gas Darah
pH 7,58
pCO2 34 mmHg
pO2 196 mmHg

43
Bikarbonat (HCO3) 31,9 mmol/L
Total CO2 32,9 mmol/L
Kelebihan Basa (BE) 9,7 mmol/L
Saturasi O2 100 %
HATI
Albumin 1,7 g/dL

Pemantauan tanggal 15/10/2018 – 16/10/2018


S: - Bengkak seluruh tubuh (+)
- Lemas (+)
- Sesak nafas (+)
- Nyeri ulu hati (+)
O: Sensorium: compos mentis
TD: 150/90 mmHg Temp: 36,6°C
HR: 82 kali/menit RR: 24 kali/menit
Kepala : normosefal, edema (+)
Mata: konjungtiva palpebra inferior pucat (+/+), sklera ikterik (-/-)
T/H/M: dbn/dbn/dbn
Leher : TVJ R–2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Toraks : Inspeksi: simetris fusiformis
Palpasi: sonor
Perkusi: stem fremitus kanan = kiri
Auskultasi: vesikular, ronki (-/-)
Abdomen : Inspeksi: simetris membesar
Palpasi: soepel, H/L/R: tidak teraba
Perkusi: timpani
Auskultasi: normoperistaltik
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2”, edema (+/+)

44
KGDS: 106 mg/dl
A: - Sindroma Nefrotik Relaps
- Diabetes Mellitus tipe 2
P: - Tirah baring
- O2 1-2 lpm
- Diet Ginjal 1500 kkal rendah garam
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/menit
- Inj. Furosemide 1 amp/ 12 jam
- Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam
- Inj. Novorapid 8-8-8 IU/ SC
- Inj. Levemir 0-0-18 IU/ SC (jam 22.00)
- Telmisartan 80 mg tablet 1x1
R/ - cek elektrolit, RFT
- USG abdomen 17/10/18 malam, dipuasakan
- parasintesis cairan asites

Hasil laboratorium tanggal 15/10/2018


Metabolisme Karbohidrat
Glukosa Darah Puasa 106 mg/dL
Glukosa Darah 2 Jam PP 72 mg/dL
Urinalisa
Urine Lengkap
Warna Kuning Keruh
Glukosa Negatif
Bilirubin Negatif
Keton Negatif
Berat Jenis 1.015
pH 9,0

45
Protein Positif 2
Nitrit Negatif
Leukosit Negatif
Darah Negatif
FCM
Eritrosit 0 – 1 LPB
Leukosit 0 – 1 LPB
Epitel 0 – 1 LPB
Casts negatif
Kristal negatif

Pemantauan tanggal 17/10/2018 – 19/10/2018


S: - Perut membesar (+)
- Sesak nafas (+)
O: Sensorium: compos mentis
TD: 140/100 mmHg Temp: 36,8°C
HR: 80 kali/menit RR: 25 kali/menit
Kepala : normosefal, edema (+)
Mata: konjungtiva palpebra inferior pucat (+/+), sklera ikterik (-/-)
T/H/M: dbn/dbn/dbn
Leher : TVJ R–2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Toraks : Inspeksi: simetris fusiformis
Palpasi: sonor
Perkusi: stem fremitus kanan = kiri
Auskultasi: vesikular, ronki (-/-)
Abdomen : Inspeksi: simetris membesar
Palpasi: soepel, H/L/R: tidak teraba
Perkusi: timpani

46
Auskultasi: normoperistaltik
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2”, edema (+/+)
KGDS: 267 mg/dl
A: - Sindroma Nefrotik Relaps
- Diabetes Mellitus tipe 2
P: - Tirah baring
- O2 1-2 lpm
- Diet Ginjal 1500 kkal rendah garam
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/menit
- Inj. Furosemide 1 amp/ 12 jam
- Inj. Novorapid 8-8-8 IU/ SC
- Inj. Levemir 0-0-18 IU/ SC (jam 22.00)
- Telmisartan 80 mg tablet 1x1
- Spironolakton 25 mg tablet 1x1
R/ - Naikkan dosis Novorapid 12-12-12 IU/SC
- cek Darah Lengkap dan albumin
- pantau VS, KGD dan UOP
- pasang cateter
- Drip furosemide 5 amp dalam 50 cc NaCl 0,9 % per syringe pump dosis awal 1
cc/jam

Hasil laboratorium tanggal 17/10/2018


Analisa Cairan Asites
Warna Jernih
Total Protein 1-4 g/dL
LDH 37 U/L
Glukosa 141 mg/dL
pH 8

47
Jumlah sel WBC 0,001
Jumlah sel RBC 0,000
MN Sel 100 %
PMN Sel 0%

Pemantauan tanggal 20/10/2018


S: - Perut membesar (+)
- Sesak nafas (+)
O: Sensorium: compos mentis
TD: 120/80 mmHg Temp: 36,4°C
HR: 84 kali/menit RR: 20 kali/menit
Kepala : normosefal, edema (+)
Mata: konjungtiva palpebra inferior pucat (+/+), sklera ikterik (-/-)
T/H/M: dbn/dbn/dbn
Leher : TVJ R–2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Toraks : Inspeksi: simetris fusiformis
Palpasi: sonor
Perkusi: stem fremitus kanan = kiri
Auskultasi: vesikular melemah, ronki (-/-)
Abdomen : Inspeksi: simetris membesar
Palpasi: soepel, H/L/R: tidak teraba
Perkusi: timpani
Auskultasi: normoperistaltik
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2”, edema (+/+)
KGDS: 164 mg/dl
A: - Sindroma Nefrotik Relaps
- Diabetes Mellitus tipe 2
P: - Tirah baring

48
- O2 1-2 lpm
- Diet Ginjal 1500 kkal rendah garam
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/menit
- Inj. Novorapid 12-12-12 IU/ SC
- Inj. Levemir 0-0-18 IU/ SC (jam 22.00)
- Drip Furosemide 5 amp dalam 50 cc NaCl 0,9 % 1 cc/ jam
R/ - Konsul Paru: dx: efusi pleura bilateral
- Folket vs/jam; jika TDS <100 mmHg, kurangi dosis furosemide menjadi 0,5
cc/jam, pertimbangkan aff Furosemide drip

Jawaban Konsul Paru 20/10/2018


Dx: Efusi Pleura Bilateral
R/ - Aspirasi Cairan Pleura
- Aspirasi Cairan Pleura
- Cek LDH dan albumin
- USG thorax transhepatic

Pemantauan tanggal 21/10/2018 – 22/10/2018


S: - Perut membesar (+)
- Sesak nafas (+)
- Nyeri ulu hati (+)
O: Sensorium: compos mentis
TD: 150/80 mmHg Temp: 36,2°C
HR: 96 kali/menit RR: 26 kali/menit
Kepala : normosefal, edema (+)
Mata: konjungtiva palpebra inferior pucat (+/+), sklera ikterik (-/-)
T/H/M: dbn/dbn/dbn
Leher : TVJ R–2 cmH2O, pembesaran KGB (-)

49
Toraks : Inspeksi: simetris fusiformis
Palpasi: sonor
Perkusi: stem fremitus kanan = kiri
Auskultasi: vesikular melemah, ronki (-/-)
Abdomen : Inspeksi: simetris membesar
Palpasi: soepel, H/L/R: tidak teraba
Perkusi: timpani
Auskultasi: normoperistaltik
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2”, edema (+/+)
KGDS: mg/dl
A: - Sindroma Nefrotik Relaps
- Diabetes Mellitus tipe 2
P: - Tirah baring
- O2 1-2 lpm
- Diet Ginjal 1500 kkal rendah garam
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/menit
- Nebul Ventolin/ 8 jam
- Inj. Esomeprazole 80 mg/ 24 jam
- Inj. Novorapid 12-12-12 IU/ SC
- Inj. Levemir 0-0-18 IU/ SC (jam 22.00)
- Drip Furosemide 5 amp dalam 50 cc NaCl 0,9 % 1 cc/ jam
- Micardis 80 mg tablet 1x1
R/ - cek darah lengkap, elektrolit, KGDS, RFT, AGDA

50
BAB V
DISKUSI KASUS

TEORI PASIEN
Definisi Perempuan, 46 tahun datang dengan
Sindrom nefrotik merupakan suatu keluhan bengkak pada seluruh tubuh
penyakit yang ditandai dengan sindrom dialami pasien sejak 5 bulan yang lalu
klinik yang terdiri dari beberapa gejala sebelum masuk rumah sakit. Bengkak
yaitu proteinuria masif (>40 mg/m2 diawali pada kedua tungkai dan paha, 1
LPB/jam ataurasio protein/ kreatinin bulan kemudian bengkak menjalar ke
pada urin sewaktu>2 mg/mg atau daerah perut, dada, wajah hingga kedua
dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia ≤ 2,5 tangan, dada hingga kedua tangan.
g/dL, edema, dan hiperkolesterolemia. Bengkak dirasakan terutama pada pagi
hari saat bangun tidur dan berkurang
saat siang dan sore hari
Diagnosis Bengkak pada seluruh tubuh dialami
Penyebab SN sangat luas maka
pasien sejak 5 bulan yang lalu sebelum
anamnesis dan pemeriksaan fisik serta
masuk rumah sakit. Bengkak diawali
urin termasuk pemeriksaan sedimen
pada kedua tungkai dan paha, 1 bulan
perlu dengan cermat. Pemeriksaan
kemudian bengkak menjalar ke daerah
kadar albumin dalam serum, kolesterol
perut, dada, wajah hingga kedua tangan,
dan trigiserid juga membantu penilaian
dada hingga kedua tangan. Bengkak
terhadap sindroma nefrotik. Anamnesis
dirasakan terutama pada pagi hari saat
penggunaan obat, kemungkinan
bangun tidur dan berkurang saat siang
berbagai infeksi, dan riwayat penyakit
dan sore hari. 2 bulan yang lalu pasien
sistemik lain perlu diperhatikan.
dirawat inap di RS Bunda Thamrin
Pemeriksaan serologik dan biopsi ginjal
dengan diagnosis Sindroma Nefrotik
sering diperlukan untuk menegakkan
dan akhirnya berobat jalan dengan
diagnosis dan menyingkirkan penyebab
keluhan bengkak sudah berkurang. 1
glomerulonephritis sekunder.

51
bulan yang lalu keluhan bengkak pada
seluruh tubuh kembali muncul dan
pasien dirawat di RS Mitra Sejati
sebelum akhirnya dirujuk ke RSUP
HAM. Sesak napas dikeluhkan pasien
selama 3 bulan belakangan ini. Pasien
biasa menggunakan 1 bantal saat tidur.
Nyeri dada tidak dijumpai. Mual dan
muntah tidak dijumpai. Riwayat batuk
dan pilek tidak dijumpai. Sejak
timbulnya bengkak pasien merasakan
lesu. Penurunan nafsu makan tidak
dijumpai. Riwayat adanya bercak
merah di wajah tidak dijumpai. Riwayat
demam tidak dijumpai. Nyeri pada
daerah pinggang tidak dijumpai.
Riwayat buang air kecil (BAK)
dijumpai normal. Riwayat BAK
berwarna seperti air cucian daging tidak
dijumpai. Nyeri saat BAK tidak
dijumpai. Keluhan buang air besar
(BAB) tidak dijumpai. Riwayat darah
tinggi disangkal. Riwayat sakit gula
dijumpai sejak 18 tahun yang lalu.tidak
rutin minum obat. Riwayat sakit kuning
tidak dijumpai.

RPT : Sindroma Nefrotik (+),

52
Diabetes Mellitus (+), Retinopati
Diabetik (+)
RPO : Kortikosteroid (+)

Sensorium : Compos Mentis


Tekanan darah : 130/80mmHg
Nadi : 90 x/menit
Pernafasan : 22 x/menit
Temperatur : 36,6°C
Kepala
Mata: konjungtiva palpebra inferior
anemis (+/+), edema palpebra superior
(+/+),scleraikterik (–/–)
Telinga/Hidung/Mulut:
dbn/dbn/dbn
Leher:struma membesar (–), TVJ R–2
cmH2O
Thoraks
Inspeksi: simetris fusiformis
Palpasi: SF melemah pada bagian
bawah paru
Perkusi: beda pada lapangan bawah
kedua paru
Auskultasi: vesicular melemah pada
kedua lapangan paru bawah, ronkhi (–
/–)
Abdomen:
Inspeksi : simetris membesar

53
Palpasi: soepel,undulasi (+), H/L/R:
tidak teraba
Perkusi: shiftingdullness (+)
Auskultasi: normoperistaltik
Ekstremitas
+ +
edema (+⁄+), CRT <2 detik
Tatalaksana Umum  Indeks Massa Tubuh : 30,44
 Pengukuran berat badan dan
kg/m2
tinggi badan  TD : 130/80 mmHg.
 Pengukuran tekanan darah.  Aktivitas: tirah baring, aktivitas
 Pemeriksaan fisik dilakukan
ringan
untuk mencari tanda atau gejala  Diet: ginjal (30–35 kkal/kgBB),
penyakit sistemik, seperti lupus
protein (0,6–0,8 g/kgBB) rendah
eritematosus sistemik dan
garam
purpura Henoch-Schonlein.  Tindakan suportif: IVFD NaCl
 Pencarian fokus infeksi
0,9% 10 gtt/menit micro, O2
Sebelum melakukan terapi
nasal kanul 1–2 L/menit.
dengan steroid perlu dilakukan  Inj. Insulin Aspart 10-10-10
eradikasi pada setiap infeksi,
IU/SC.
seperti infeksi di gigi-geligi,
 Inj. Insulin Determir 0-0-10
telinga, ataupun infeksi karena
IU/SC.
kecacingan.
 Telmisartan tab 1 x 80 mg per
 Pengobatan sindrom nefrotik
oral.
Pengobatan SN terdiri dari
 Spironolakton tab 1 x 25 mg per
pengobatan spesifik yang
oral
ditunjukan terhadap penyakit
dasar dan pengobatan non-
spesifik untuk mengurangi

54
proteinuria, mengontrol edema,
dan mengobati komplikasi.
Diuretik disertai diet rendah
garam ( sekitar 2 gram natrium
per hari) dan tirah baring
membantu mengontrol edema.
Furosemid oral dapat diberikan
dan bila resisten dapat
dikombinasi dengan tiazid,
metalazon, dan atau
asetazolamid. Kontrol
proteinuria dapat memperbaiki
hipoalbuminemia dan
mengurangi resiko kompikasi
yang ditimbulkan. Pembatasan
asupan protein 0,8-1,0
g/kgBB/hari dapat mengurangi
proteinuria. Obat penghambat
enzim konvensi angiotensin (
angiotensin converting enzyme
inhibitors ) dan antagonis
reseptor angiotensin II (
angiotensin II reseptor
antagonist ) dapat menurunkan
tekanan darah dan kombinasi
keduanya mempunyai efek
aditif dalam mengurangi
proteinuria.

55
BAB VI
KESIMPULAN

SM, perempuan, usia 46 tahun dirawat di RSUP HAM dengan diagnosis Edema
anasarka ec. Sindroma Nefrotik Relaps + Diabetes Mellitus Tipe II. Pasien telah
dirawat selama 18 hari dan telah ditatalaksana dengan Tirah baring dengan aktivitas
ringan, dietginjal (30–35 kkal/kgBB), protein (0,6–0,8 g/kgBB) rendah garam, IVFD
NaCl 0,9% 10 gtt/menit micro, O2 nasal kanul 1–2 L/menit, inj. Insulin Aspart 10-
10-10 IU/SC, inj. Insulin Determir 0-0-10 IU/SC, telmisartan tab 1 x 80 mg per oral,
spironolakton tab 1 x 25 mg per oral.

56
DAFTAR PUSTAKA

Alldredge, B.K., Corelli, R.L., dan Ernst, M.E., 2012. Koda-Kimble and
Young’s Applied Therapeutics: The Clinical Use of Drugs. Lippincott Williams &
Wilkins.

Bagga A. January 2008. Revised guidelines for management of steroid-


sensitive nephrotic syndrome. Indian Journal of
Nephrology,.Vol.18/Issue1.Downloaded free from
http:www.indianjnephrol.org.diunduh 21 oktober 2018.

Behrman, R.E., Kliegman, R., dan Jenson, H.B., 2004. Nelson Textbook of
Pediatrics 17th Eddition, 17th ed. Elsevier’s Health Science, USA.

Bernard DB. Extrarenal complications of the nephritic syndrome. 1988.


Kidney International;vol3,3; 1184-202.

Cohen EP. 2009. Nephrotic syndrome.Emedicine, medscape available at


http://www.medscape.comdiunduh 21 oktober 2018.

Davin JC, Merkus MP. 2005.Levamisole in steroid-sensitivenephrotic


syndrome of childhood: The lost paradise? Pediatr Nephrol[Internet]. [cited 2013 Des
2];20(1):10-4. Available from:Pubmed.

Eddy, A.A. dan Symons, J.M., 2008. Nephrotic syndrome in childhood.


Lancet, 362: 629–639.

Handayani, I., Rusli, dan Hardjoeno, 2007. Gambaran Kadar Kolesterol


Albumin dan Sedimen Urin Penderita Anak Sindroma Nefrotik. Indonesian Journal
of Clinical Pathology and Medical Laboratory, 13: 49–52.

Hari, P., Bagga, A., dan Mantan, M., 2004. Short term efficacy of intravenous
dexamethasone and methylprednisolone therapy in steroid resistant nephrotic
syndrome. Indian pediatrics, 41: 993–1000.

Hull RP, Goldsmith DJ. 2008. Nephrotic syndrome in adults.BMJ; 336; 1185-
9.

57
Keddish MT, Karnath BM. 2007.The nephritic syndrome.Hospital Physician.
p 25-30, 38.Available at www.turner-white.comdiunduh 21 oktober 2018.

Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, III JWSG, Behrman RE.Nelson
2011.Textbook of Pediatrics. 19 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;. p. 1801- 7.

Lacy, C., Armstrong, L.L., Lance, L.L., dan Goldman, M.P., 2011. Drug
Information Handbook with International Trade Names Index. Lexi- Comp.

Okada, M. dan Takemura, T., 2009. Strategies to Treat Nephrotic Syndrome


in Children. Acta Medical Kinki University, 34: 63–70.

Perico N, Remuzzi A, Remuzzi G. 2013. Mechanism and Consequences of


Proteinuria. In: Brenner and Rector’s The Kidney [Internet]. [cited 26 November
2013].Available from: http://www.mdconsult.com/books/page.

Prodjosudjadi, Wiguno. 2006. SindomNefrotik. PadaBuku Ajar


IlmuPenyakitDalam, edisi 4. Jakarta: PusatPenerbitanDepartemenIlmuPenyakitDalam
FKUI.

Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. 2012. Konsensus Tata


Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia;

Sudjadi WP. 2006. Sindromnefrotik.Dalam :Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi


I, Kolopaking MS, Setiati S, editor. Buku ajar ilmupenyakitdalam.Edisi 4. Jakarta:
PusatPenerbitanDepartemenIlmuPenyakitDalam FKUI;.

Widajat HRR, Muryawan MH, Mellyana O. 2011. SindromNefrotikSensitif


Steroid. In: BukuAjarIlmuKesehatanAnak. Semarang:
BagianIlmuKesehatanAnakUniversitasDiponegoro;.p. 252-9.

Wirya IW. 2004. SindromNefrotik. In: Buku Ajar Nefrologi: IkatanDokterAnak


Indonesia;.p. 383

58

Anda mungkin juga menyukai