Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom nefrotik (SN) merupakan suatu kumpulan gejala yang terdiri atas proteinuria masif
(lebih dari 3,5 gram/hari pada dewasa atau 40 mg/m 2/hari pada anak), hipoalbuminemia (<2,5
g/dl), edema dan hiperlipidemia (Alldredge dkk. 2012, Behman dkk. 2004). Pasien dengan
sindrom nefrotik terjadi suatu gangguan pada membran basal glomerulurus yang mengakibatkan
timbulnya kebocoran protein plasma keurin. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya
hipoproteinemia, penurunan serum protein dan albumin, adanya edema serta hiperlipidemia
(Okada dan Takemura, 2009). Sindrom nefrotik 15 kali lebih sering ditemukan pada anak dari
pada dewasa (Behman dkk. 2004; Handayani dhh, 2007).
Menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KIDGO) clinical practice guidline
(2012). 1-3 anak dari 100.000 anak dibawah 16 tahun menderita sindrom nefrotik. Lima dari
100.000 anak per tahun di jepang menderita sindrom nefritik idiopatuk (Okada dan Takemura,
2009). Prevalensi sindrom nefrotik di Indonesia yaitu 6 dari 100.000 anak dibawah 14 tahun
(Handayani dkk, 2007).
Berdasarkan etiologinya sindrom nefrotik dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu : sindrom
nefrotik kongenital, sindrom nefrotik idiopatik atau primer (tanpa diketahui pasti penyebabnya)
dan sindrom nefrotik sekunder (sebagau akibat dari suatu penyakit sistemik seperti Systemic
Lupus Erythemathosus). Dari keseluruhan pasien anak dengan sindrom nefrotik, kurang lebih
90% dianntaranya mengalami sindrom nefrotik idiopatik (Behrman dkk. 2004; Okada dan
Takemura, 2009).
Secara morfoligis sindrom nefrotik isiopatik dapat dibagi menjadi 3 yaitu : penyakit kelainan
minimal, proliferasi mesangium dan glomerulosklerosis segmen fokal. Sebanyak 95% pasien
dengan penyakit kelainan minimal masih merespons baik terhadap terapi kortikosteroid. Berbeda
dengan kelainan minimal, hanya 50% dari pasien dengan proliferasi mesangium yang merespon
terhadap kortikosteroid. Hanya 20% morfologi glomerulosklerosis segmental fokal yang
merespons terhadap terapi kortikosteroid. Respons pasien terhadap terapi kortikosteroid bebeda
(Behrman dkk. 2004; Eddy dan Symons, 2008).
Terapi sindrom nefrotik idiopatik hanya dilakukan dalam hitungan hari, terapi merupakan
terapi jangka panjang dan dapat mempengaruhi pertumbuhan anak. Sindrom ini juga berdampak
pada kesehatan fisik dan mental anak serta orang tua. Sebanyak 60-90% pasien anak dengan
sindrom nefrotik idiopatik mengalami kekambuhan /relaps (Handayani dkk. 2007; Teeninga dkk.
2013). Kekambuhan dapat terjadi karena faktor, misalnya karena sudah tidak merespons terhadap
terapi sebelumnya. Besarnya tingkat kekambuhan bukan menjadi satu satunya masalah bagi terapi
sindrom nefrotik idiopatik akan tetapi adanya efek samping dari obat-obat yang digunakan jangka
panjang juga dapat menurunkan kualitas hidup pasien (Dewi, 2006).
Mayoritas pasien dengan sindrom nefrotik idiopatik kurang lebih 80-90% merespons terhadap
terapi kortikosteroid oral dan memiliki prognosis jangkan panjang yang baik ( hari dkk, 2004).
Tingginya efek samping penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat menurunkan kualitas
hidup pasien anak. Beberapa contoh efek samping penggunaan kortikosteroid yaitu hipertensi,
instabilitas emosional, kegagalan penyembuhan luka, intoleransi karbohidrat, Cushing syndrome,
diabetes mellitus, retensi air, terhambatnya pertumbuhan (pada anak), hipokalemia alkalosis,
hipotiroid, gangguan menstruasi, retensi natrium, pancreatitis, tukak peptic, ulcerative
esophagitis, peningkatan enzim hati, osteoporosis, fraktur, miopati steroid, peningkatan tekanan
intraokular, glaukoma, exophthalmus (Lacy dkk, 2011).
Sekitar 80-90% pasien anak merespons terhadap terapi inisial kortikosteroid, tetapi 60-90%
pasien menunjukkan kekambuhan ( Tune dan Mendoza, 1997; Teeninga dkk. 2013). Kekambuhan
mengakibatkan perlunya terapi berulang dalam jangka waktu yang cukup lama yaitu kurang lebih
2 bulan penggunaan prednison pada kasus kekambuhan (Trihono dkk, 2012). Menurut Kidney
Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) clical practice guideline (2012), bebrapa faktor
yang dapat mempengaruhi keefektifan terapi kortikosteroid yaitu usia, jenis kelamin, ras dan
faktor genetik. Melihat pertimbangan diatas maka perlu dilakukan evaluasi efek terapi inisial
kortikosteroid dan efek sampingnya pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik serta pengaruh
faktor usia, jenis kelamin, penggunaan albumin, jenis kortikosteroid dan penggunaan obat lain
(captopril dan furosemid) terhadap efek terapi kortikosteroid.

1.2 Rumusan Masalah


1. Definisi Nefrotik Sindrom ?
2. Etiologi dari Nefrotik Sindrom ?
3. Manifestasi dari Nefrotik Sindrom ?
4. Penatalaksanaan penyakit Nefrotik Sindrom ?
5. Komplikasi dari Nefrotik Sindrom ?
6. Patofisiologi penyakit Nefrotik Sindrom ?
7. Bagaimanakah asuhan Keperawatan pada pasien anak dengan diagnosis Nefrotik Sindrom?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian makalah ini adalah mengetahui cara perawatan pasien anak dengan
diagnosis Nefrotik Sindrom.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan makalah ini adalah menjawab pertanyaan yang telah dijabarkan pada
rumusan masalah agar penulis ataupun pembaca tentang konsep nefrotik sindrom serta proses
keperawatan dan pengkajiannya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penyakit
2.1.1 Definisi
Nefrotik sindrom dapat terjadi pada usia berapapun tetapi paling umum antara usia 1 dan 8
tahun. Penyakit ini lebih banyak mempengaruhi anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.
Seseorang dengan sindrom nefrotik memiliki tanda-tanda tingginya kadar protein dalam urin,
rendahnya tingkat protein dalam darah, pembengkakan akibat penumpukan garam dan air.
(Yusri, 2011).
Nefrotik Syndrom adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbunemia dan
hiperkolesterolemia (Rusepno dkk, 2000).
Nefrotik sindrom adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuria masif
yang keluar lebih dari 3,5 gram per hari/ 1,73m luas permukaan tubuh, hipoalbuminemia
(kurang dari 3,5 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria, hiperkoagulabilitas. Status klinis yang
ditandai dengan peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein yang
menyebabkan kehilangan protein yang masif, hal ini adalah pengertian sindrom nefrotik
(Wong, D L, 2004) .
Nefrotik sindrom adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia dan
hiperkolesterolemia. Membran dari saringan glomerulus pada penderita menjadi sangat
permeabel (mudah dilewati) oleh molekul protein (Naga, 2012).
2.1.2 Etiologi
Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan glomerulonefritis
sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue
disease), akibat obat atau toksin dan akibat penyakit sistemik.
Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu
penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen antibodi.
Umumnya etiologi dibagi menjadi :
1. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Resisten terhadap
semua pengobatan. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal dalam bulan-bulan
pertama kehidupannya.
2. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh malaria kuartana atau parasit lainnya, penyakit kolagen seperti lupus
eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid, glumerulonefritis akut atau kronik,
trombosis vena renalis, bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam
emas, air raksa, amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis
membranoproliferatif hipokomplementemik.
3. Sindrom nefrotik idiopatik
Tidak diketahui sebabnya atau disebut sindroma nefrotik primer. Berdasarkan
histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dgn pemeriksaan mikroskop biasa dan
mikroskop elektron, dibagi menjadi :
a. Kelainan minimal
Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel berpadu. Dengan
cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG pada dinding kapiler
glomerulus.
b. Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa
proliferasi sel. Prognosis kurang baik.
c. Glomerulonefritis proliferatif
 Glomerulonefritis proliferatif esudatif difus. Terdapat proliferasi sel
mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus. Pembengkanan sitoplasma
endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.
 Dengan penebalan batang lobular : terdapat prolefirasi sel mesangial
yang tersebar dan penebalan batang lobular.
 Dengan bulan sabit (crescent) : didapatkan proliferasi sel mesangial dan
proliferasi sel epitel sampai kapsular dan viseral. Prognosis buruk.
 Glomerulonefritis membranoproliferatif : proliferasi sel mesangial dan
penempatan fibrin yang menyerupai membran basalis di mesangium.
Titer globulin beta-IC atau beta-IA rendah. Prognosis buruk.
 Lain-lain perubahan proliferasi yang tidak khas.
d. Glomerulosklerosis fokal segmental Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis
glomerulus. Sering disertai atrofi tubulus. Prognosis buruk
2.1.3 Manifestasi Klinis

Gejala utama yang ditemukan adalah :


1. Proteinuria > 3,5 g/hari pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hari pada anak-anak.
2. Hipoalbuminemia < 30 g/l.
3. Edema generalisata. Edema terutama jelas pada kaki, namun dapat ditemukan edema
muka, ascxites dan efusi pleura.
4. Anorexia
5. Fatique
6. Nyeri abdomen
7. Berat badan meningkat
8. Hiperlipidemia, umumnya ditemukan hiperkolesterolemia.
9. Hiperkoagualabilitas, yang akan meningkatkan resiko trombosis vena dan arteri.
Gejala awal Sindrom Nefrotik dapat berupa :
1. Berkurangnya nafsu makan.
2. Pembengkakan kelopak mata.
3. Nyeri perut.
4. Pengkisutan otot.
5. Pembengkakan jaringan akibat penimbunan garam dan air.
6. Air kemih berbusa.
Edema merupakan gejala utama, bervariasi dari bentuk ringan sampai berat dan merupakan
gejala satu-satunya yang nampak. Edema mula-mula Nampak pada kelopak mata terutama
waktu bangun tidur. Edema yang hebat atau anasarka sering disertai edema pada genetalia
eksterna. Edema pada perut terjadi karena penimbunan cairan. Sesak napas terjadi karena
adanya cairan dirongga sekitar paru-paru (efusi pleura). Gejala yang lainnya adalah edema
lutut dan kantung zakar (pada pria). Edema yang terjadi seringkali berpindah- pindah, pada
pagi hari cairan tertimbun di kelopak mata atau setelah berjalan, cairan akan tertimbun di
pergelangan kaki. Pengkisutan otot bias tertutupi oleh edema. Selain itu edema anasarka ini
dapat menimbulkan diare dan hilangnya nafsu makan karena edema mukosa usus.
Umbilikalis, dilatasi vena, prolaks rectum, dan sesak dapat pula terjadi akibat edema anasarka
ini.
Bermacam-macam manifestasi klinik diungkapkan oleh beberapa ahli diantaranya menurut
Wong, 2004, yaitu : penambahan berat badan ; edema; wajah sembab khususnya di sekitar
mata, timbul pada saat bangun pagi berkurang saat siang hari; pembengkakan abdomen
(acites) ; kesulitan pernafasan; pembengkakan labia atau skrotal; edema mukosa usus ; diare,
anoreksia, absorpsi buruk ; pucat kulit eksterm (sering) ; peka rangsang ; mudah lelah ; letargi
; tekanan darah normal atau sedikit menurun ; kerentanan terhadap infeksi ; perubahan urin
menurunnya volume urine, warnanya gelap, berbau buah.

Sedangkan menurut Betz dan Sowden (2002) retensi cairan dan edema yang menambah berat
badan, edema periorbital, edema dependen, pembengkakan genetalia, eksterna, edema fasial,
asites, hernia ingunalis dan distensi abdomen, efusi pleural. Penurunan jumlah urin (urin
gelap, berbusa). Hematuria, anoreksia, diare, pucat, gagal tumbuh, pelisutan otot jangka
panjang.

Manifestasi utama adalah edema biasanya lunak dan cekung bila ditekan. Dan umumnya
ditemukan di mata, ekstermitas, abdomen. Gejala lain seperti malaise, sakit kepala, iritabilitas
dan keletihan umumnya terjadi. (Smeltzer dan Bare, 2002).
Dari bermacam-macam manifestasi klinik diungkapkan oleh beberapa ahli, dapat disimpulkan
bahwa pada intinya manifestasi klinik sindrom nefrotik antara lain : yang utama adalah edema
akibat retensi cairan yang dapat timbul diberbagai bagian tubuh sehingga terjadi kenaikan
berat badan. Gejala lainnya anoreksia, diare, pucat, gagal tumbuh, pelisutan otot jangka
panjang. malaise, sakit kepala, iritabilitas. Penurunan jumlah urin (urin gelap, berbusa),
hematuria.
2.1.4 Penatalaksanaan Medis dan Perawatan

1. Penatalaksanaan Medis :
Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi penyebabnya. Mengobati infeksi penyebab
sindrom nefrotik dapat menyembuhkan sindrom ini. Jika penyebabnya adalah penyakit
yang dapat diobati (misalnya: penyakit Hodgkin atau kanker lainnya), maka mengobatinya
akan mengurangi gejala ginjal. Jika penyebabnya adalah kecanduan heroin, maka
menghentikan pemakaian heroin pada stadium awal sindrom nefrotik, bisa menghilangkan
gejala-gejalanya. Penderita yang peka terhadap cahaya matahari, racun pohon ek, racun
pohon ivy atau gigitan serangga, sebaiknya menghindari bahan-bahan tersebut.
Desensitisasi bisa menyembuhkan sindrom nefrotik akibat racun pohon ek, racun pohon
ivy atau gigitan serangga. Jika penyebabnya adalah obat-obatan, maka untuk mengatasi
sindrom nefrotik, pemakaian obat harus dihentikan.
Pengobatan yang umum adalah diet yang mengandung protein dan kalium dengan jumlah
yang normal dengan lemak jenuh dan natrium yang rendah. Terlalu banyak protein akan
meningkatkan kadar protein dalam air kemih. ACE inhibitors (misalnya captopril,
lisinopril) biasanya menurunkan pembuangan protein dalam kandung kemih dan
menurunkan kosentrasi lemak dalam darah. Tetapi penderita yang mempunyai kelainan
fungsi ginjal yang ringan atau berat, obat tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah.
Jika cairan tertimbun di perut, untuk mengurangi gejala dianjurkan makan dalam porsi
kecil tetapi sering.
Tekanan darah tinggi biasanya diatasi dengan diuretic. Diuretic juga dapat mengurangi
penimbunan cairan dan mengurangi pembengkakan jaringan, tetapi bisa meningkatkan
resiko terbentuknya pembekuan darah:
1. Pengobatan Umum.
2. Diet
Diet harus banyak mengandung protein dengan nilai biologik tinggi dan tinggi
kalori. Protein 3-5 gr/kgBB/hari. Kalori rata-rata : 100 kalori/kgBB/hari. Garam
dibatasi bila edema berat. Bila tanpa edema diberi 1-2 gr/hari. Pembatasan cairan
terjadi bias terdapat gejala gagal ginjal.
3. Aktivitas
Tirah baring dianjurkan bila ada edema hebat atau ada komplikasi. Bila edema
sudah berkurang atau tidak ada komplikasi maka aktifitas fisik tidak
memperngaruhi perjalanan penyakit. Sebaliknya tanpa ada aktifitas dalam jangka
waktu yang lama akan mempengaruhi kejiwaan anak.
4. Diuretik
Pemberian diuretic untuk mengurangi edema terbatas pada anak dengan edema
berat, gangguan pernapasan, gangguan gastrointestinal atau obstruksi urethra yang
disebabkan oleh edema hebat ini. Pada beberapa kasus SN yang disertai anasarka,
dengan pengobatan kortikosteroid tanpa diuretik, edema juga menghilang. Metode
yang lebih aktif dan fisiologik untuk mengurangi edema adalah yang merangsang
dieresis dengan pemberian albumin (salt poor albumin) : 0,5-1gr/kgBB selama
satu jam yang disusul kemudian oleh furosemid I.V 1-2mg/kgBB/hari. Pengobatan
ini bias diulangi selama 6 jam bila perlu. Diuretic yang biasa dipakai adalah
diuretic jangka pendek seperti furosemid atau asam etakrinat. Pemakaian diuretic
yang berlangsung lama dapat menyebabkan:
 Hipovolemia
 Hipokalemia
 Alkalosis
 Hiperuricemia
5. Antibiotik
Hanya diberikan bila ada tanda-tanda infeksi sekunder.
6. Pengobatan dengan kortikosteroid Pengobatan dengan kortikosteroid terutama
diberikan pada SN yang sensitif terhadap kortikosteroid yaitu pada SNKM.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Pasien sindrom nefrotik perlu dirawat di rumah sakit, karena memerlukan pengawasan dan
pengobatan yang khusus. Masalah pasien yang perlu di perhatikan adalah edema yang berat
(anasarka), diet, resiko komplikasi, pengawasan mengenai pengobatan atau gangguan rasa
aman dan nyaman, dan
kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit pasien atau umum. Pasien dengan
sindrom nefrotik dengan anasarka perlu istirahat di tempat tidur karena keadaan edema yang
berat menyebabkan pasien kehilangan kemampuannya untuk bergerak. Selama edema masih
berat semua keperluan harus ditolong di atas tempat tidur
1. Baringkan pasien setengah duduk, karena adanya cairan didalam rongga toraks akan
menyebabkan sesak napas.
2. Berikan alas bantal pada kedua kakinya sampai pada tumit (bantal di letakkan
memanjang, karena jika bantal melintang maka ujung kaki akan rendah dan akan
menyebabkan edema hebat).
3. Bila pasien seorang anak laki-laki,berikan ganjal dibawah skrotum untuk mencegah
pembengkakan skrotum karena tergantung (pernah terjadi keadaan skrotum akhirnya
pecah dan menjadi penyebab kematian pasien).
Bila edema telah berkurang diperbolehkan pasien melakukan kegiatan sesuai kemampuannya,
tetapi tetap didampingi atau dibantu oleh keluarga atau perawat dan pasien tidak boleh
kelelahan. Untuk mengetahui berkurangnya edema pasien perlu ditimbang setiap hari, diukur
lingkar perut pasien. Selain itu perawatan pasien dengan sindrom nefrotik, perlu dilakukan
pencatatan masukan dan pengeluaran cairan selama 24 jam. Pada pasien dengan sindrom
nefrotik diberikan diet rendah protein yaitu 1,2-2,0 g/kg BB/hari dan cukup kalori yaitu 35
kal/kg BB/hari serta rendah garam (1g/hari). Bentuk makanan disesuaikan dengan keadaan
pasien, dapat makanan biasa atau lunak (Ngastiyah, 2005).
Pasien dengan sindrom nefrotik mengalami penurunan daya tahan tubuh yang
mengakibatkan mudah terkena infeksi. Komplikasi pada kulit akibat infeksi
streptococcus dapat terjadi. Untuk mencegah infeksi tersebut, kebersihan kulit perlu
diperhatikan dan alat-alat tenun atau pakaian pasien harus bersih dan kering.
Antibiotik diberikan jika ada infeksi, dan diberikan pada waktu yang sama. Jika
pasien diperbolehkan pulang, orang tua pasien perlu diberikan penjelasan bagaimana
merawat anak yang menderita penyakit sindrom nefrotik. Pasien sendiri perlu juga
diterangkan aktivitas apa yang boleh dilakukan dan kepatuhan tentang dietnya masih
perlu diteruskan sampai pada saatnya dokter mengizinkan bebas diet. Memberikan
penjelasan pada keluarga bahwa penyakit ini sering kambuh atau berubah menjadi
lebih berat jika tidak terkontrol secara teratur, oleh karena itu orang tua atau pasien
dianjurkan kontrol sesuai waktu yang ditentukan (biasanya 1 bulan sekali) (Ngastiyah, 2005).

2.1.5 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita sindrom nefrotik adalah:


1. Infeksi sekunder : mungkin karena kadar immunoglobulin yang rendah akibat
hipoalbuminemia.
2. Syok : terjadi terutama hipoalbuminemia berat (<1 mg/100ml) yang menyebabkan
hipovolemi berat sehingga terjadi syok.
3. Thrombosis vaskuler : mungkin karena gangguan system koagulasi sehingga terjadi
peninggian fibrinogen atau faktor V, VII, VIII dan X. Trombus lebih sering terjadi
pada sistem vena apalagi bila disertai pengobatan kortikosteroid.
4. Malnutrisi
5. Gagal ginjal
2.1.6 Web of Coution

Etiologi : Auto imun, Glomerulus


pembagian secara umum
Permebialitas glomerulus ↑
Sistem imun menurun
Proteinuria masif
MK : Resiko tinggi infeksi

Hipoproteinemia
Hipoalbumin

Hipovolemia Tekanan onkotik Sintesa protein


plasma ↓ hepar ↑

Sekresi ADH ↑ Volume plasma ↑ Hiperlipidemia

Retensi natrium Malnutrisi


Reabsorbsi air dan
renal ↑
natrium MK: Nutrisi kurang
Edema
dari kebutuhan

MK : Kelebihan Efusi pleura


volume cairan
Sesak
Penatalaksanaan

Hospitalisasi

MK : Kecemasan MK : Kurang pengetahuan :


kondisi, prognosa dan program
perawatan

2.2 Asuhan Keperawatan


2.2.1 Pengkajian

1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, suku, alamat, tanggal
masuk dan nomor register / nomor cm. Pada pasien dengan sindroma nefrotik pada
biodata umur sangat menentukan perbedaan terjadi sindroma nefrotik, pada pria dan
wanita mempunyai angka yang sama, insiden penyakit sindroma nefrotik meningkat
pada usia pertengahan 45 – 49 tahun. Hal ini disebabkan oleh karena terjadinya
proses degenerasi atau kemunduran dari fungsi tubuh dan sel-sel tubuh. Pendidikan
dapat memberikan gambaran tingkat pengalaman pasien terhadap penyakitnya,
sedangkan pekerjaan dapat menunjukkan sikap aktifitas pasien dan sebagai stressor
yang mempengaruhi penyakitnya.
b. Riwayat Kesehatan saat ini Keluhan utama pasien masuk ke Rumah Sakit dengan
keluhan adanya pembengkakan pada perut dan kaki serta keadaan umum lemah.
c. Riwayat kesehatan masa lalu Pasien dengan sindroma nefrotik mempunyai riwayat
penyakit seperti glomerulonefritis, dan infeksi yang menjadi penyebeb terbesar.
d. Riwayat kesehatan keluarga Adanya riwayat penyakit dalam keluarga seperti penyakit
sindroma nefrotik yang dapat mengarahkan dugaan pada penyakit sindrom nefrotik.
e. Pola kebiasaan
1. Pola nutrisi
Pasien dengan sindrom nefrotik mengalami penurunan nafsu makan karena
adanya anorexia, nousea, vomitus yang diakibatkan oleh gangguan
metabolisme protein di dalam usus. 2
2. Pola eliminasi
Pasien dengan sindrom nefrotik mengalami gangguan pola eliminasi dimana
terjadinya nyeri selama atau sesudah buang air kecil yang disebabkan oleh
infeksi kandung kemih, dan bisa juga disebabkan oleh trauma.
3. Pola aktifitas
Pasien dengan sindrom nefrotik pola aktifitasnya terganggu dikarenakan
adanya anemia dan dehidrasi, sehingga pasien cepat lelah dan lemah.
4. Pola istirahat
Pasien dengan sindrom nefrotik mengalami kesulitan dalam beristirahat,
dikarenakan karena adanya nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis,
efusi pericardial dan penyakit jantung koroner akibat penimbunan cairan
hipertensi.
f. Personal hygiene Mulut berbau dikarenakan tubuh mengeluarkan ion hydrogen dalam
peningkatan asam lambung sehingga memungkinkan terjadinya stomatitis dan
gingivitis pada pasien yang oral hygiene kurang
g. Riwayat psikologis Biasanya pasien dengan sindrom nefrotik terjadi penurunan
psikologis dan steres yang tinggi karena penyakitnya, maka perlu perhatian yang
lebih dari keluarga dan perawat.
h. Riwayat Spritual
Pasien dengan sindrom nefrotik dalam beribadahnya tidak dapat melakukan seperti
biasa dikarenakan keadaan fisik yang lemah.
i. Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi
Pemeriksaan yang dilakukan dengan cara melihat keadaan umum dan
kelainan yang terdapat di seluruh tubuh sehubungan dengan perjalanan
penyakitnya, biasanya kulit pasien ditemukan berwarna pucat karena anemia
dan penimbunan elektrolit pigmen, pruritus yang berat, oedema perifer, bibir
kering dan nafas berbau akibat ureum yang berlebihan pada air liur yang di
rubah oleh bakteri mulut.
2. Palpasi
Pemeriksaan dengan perabaan pada heparnya ditemukan pembesaran hepar
(hepatomegali) akibat adanya bendungan pada vena porta yang menimbulkan
rasa tidak enak diperut bagian atas terutama sesudah makan, nyeri dada, kulit
kuning dan kasar, denyut nadi tidak teratur dan meningkat akibat hipertensi.
Pada ektremitas adanya odema dan terasa dingin.
3. Perkusi
Pemeriksaan dengan cara mengetuk untuk mengetahui kelainan organ melalui
suara yang terdengar.
4. Auskultasi
Pemeriksaan dengan cara mendengar bunyi atau irama jantng sehingga
diketahui adanya efusi pericardial atau gagal jantung akibat hipertensi dan
juga untuk mendengar bunyi (bising) peristaltik usus.
2. Pengkajian Persistem
a. Sistem pernapasan
Frekuensi pernapasan meningkat, efusi pleura karena distensi abdomen.
b. Sistem kardiovaskuler
Nadi , tekanan darah, hipertensi ringan bisa dijumpai.
c. Sistem persarafan.
Dalam batas normal.
d. Sistem perkemihan.
hematuri, proteinuria, oliguri.
e. Sistem pencernaan.
Diare, napsu makan menurun, anoreksia, hepatomegali, nyeri daerah perut,
malnutrisi berat, hernia umbilikalis, prolaps ani.
f. Sistem muskuloskeletal.
Dalam batas normal.
g. Sistem integumen.
Edema periorbital, ascites.
h. Sistem endokrin
Dalam batas normal.
i. Sistem reproduksi
Dalam batas normal
3. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik Menurut Betz dan Sowden (2002) Untuk memperkuat diagnosis
seiring dilakukan pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan laboratorium maupun radiologi
yaitu
1. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium dilakukan pemeriksaan ureum darah dan nitrogen
urea darah dan pemeriksaan asam urat. Penilaian kadar kalium darah dan analisis
gas darah dan perlu dilakukan untuk menemukan ada tidaknya asidosis metabolic
yang berat, pada pemeriksaan kalsium biasanya hanya dilakukan pada keadaan
terminal, kadar fosfor darah perlu dilakukan melalui pemeriksaan fosfataselindi
yang berguna untuk menilai HTP (homone parathyroid tulang) dan metabolisme
vit D3.
 Berat jenis urine : meningkat.
 Albuminemia : menurun.
 Kadar urine normal.
 Anemia defisiensi besi.
 Laju endap darah : meningkat.
 Kalsium dalam darah : menurun.
 Kadang-kdang glukosuria tanpa hiperglikemia
2. Foto polos abdomen
Dilakukan untuk menilai bentuk dan besar ginjal apakah ada batu dan obstruksi
lain, sebaiknya tanpa puasa karena dehidrasi akan memperburuk fungsi ginjal.
3. Ultrasonografi
Untuk menilai besar dan bentuk ginjal dan tebak parenkhim ginjal dan kepadatan
parenkhim ginjal, anatomi system pelviokalises dan ureter proksimal, kandung
kemih dan prostat.
4. Pemeriksaan radiologi jantung, tulang dan paru
Pada jantung memperlihatkan kardiomegali dan efusi kardial, pemeriksaan tulang
untuk menentukan adanya osteodistropi dan klasifikasi metastatik. Sedangkan
pada pemeriksaan radiology paru berguna untuk mengetahui adanya uremiclung
(Uremic paru) yang dianggap disebabkan oleh bendungan.
5. Biopsy ginjal
Hal ini dilakukan bila ada keraguan diagnostic gagal ginjal atau untuk mengetahui
etiologinya.
2.2.2 Diagnosa Keperawatan

1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kehilangan protein sekunder terhadap


peningkatan permiabilitas glomerulus.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan malnutrisi sekunder
terhadap kehilangan protein dan penurunan nafsu makan.
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunitas tubuh yang menurun.
4. Kecemasan anak berhubungan dengan lingkungan perawatan yang asing (dampak
hospitalisasi).
5. Kurang pengetahuan b/d kurang informasi tentang proses penyakit, perawatan
dirumah dan intruksi tindakan lanjut
2.2.3 Intervensi Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kehilangan protein sekunder terhadap
peningkatan permiabilitas glomerulus.
Tujuan : Volume cairan tubuh akan seimbang.
Kriteria evaluasi :
 Penurunan edema.
 Kadar protein darah meningkat.
 Output urine adekuatekanan darah dan nadi dalam batas normal.
Intervensi:
a. Catat intake dan output secara akurat.
Rasional : Evaluasi harian keberhasilan terapi dan dasar penentuan tindakan.
b. Kaji dan catat tekanan darah, pembesaran abdomen, BJ urine.
Rasional : Tekanan darah dan BJ urine dapat menjadi indikator regimen terapi.
c. Timbang berat badan tiap hari dalam skala yang sama.
Rasional : Mencegah edema bertambah.
d. Berikan cairan secara hati-hati dan diet rendah garam.
Rasional : Estimasi penurunan edema tubuh.
e. Diet protein 1-2 gr/kg BB/hari
Rasional : Pembatasan protein bertujuan untuk meringankan beban kerja hepar dan
mencegah bertamabah rusaknya hemdinamik ginjal.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan malnutrisi sekunder terhadap
kehilangan protein dan penurunan nafsu makan..
Tujuan : Kebutuhan nutrisi akan terpenuhi.
Kriteria evaluasi :
 Nafsu makan baik.
 Tidak terjadi hipoproteinemia.
 Porsi makan yang dihidangkan dihabiskan.
 Eema dan ascites tidak ada.
Intervensi :
a. Catat intake dan output makanan secara akurat.
Rasional : Monitoring asupan nutrisi bagi tubuh.
b. Kaji pemasukan diet.
Rasional : membantu dalam mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan diet.
c. Kaji adanya anoreksia, hipoproteinemia, diare.
Rasional : Gangguan nuirisi dapat terjadi secara perlahan. Diare sebagai reaksi edema
intestinal.
d. Berikan makan sedikit tapi sering.
Rasional : meminimalkan anoreksia dan mual sehubungan dengan status
uremik/menurunnya peristaltic.
e. Pastikan pasien mendapat makanan dengan diet yang cukup.
Rasional : Mencegah status nutrisi menjadi lebih buruk.
f. Lakukan oral hygiene.
Rasional : perawatan mulut menyejukan, meminyaki, dan membantu menyegarkan
rasa mulut, yang sering tidak nyaman.
g. Timbang BB/hari.
Rasional : pasien puasa/katabolic akan secara normal kehilangan 0,2-0,5 kg/hari.
h. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet.
Rasional : menentukan kalori individu dan kebutuhan nutrisi dalam pembatasan.
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunitas tubuh yang menurun.
Tujuan : Tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil :
 Tidak ada tanda-tanda infeksi.
 Tanda vital dalam batas normal.
 Ada perubahan perilaku keluarga dalam melakukan perawatan.
Intervensi :
a. Lindungi anak dari orang-orang yang terkena infeksi melalui pembatasan
pengunjung.
Rasional : Meminimalkan masuknya organisme.
b. Tempatkan anak di ruangan non infeksi.
Rasional : Mencegah terjadinya infeksi nosokomial.
c. Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan.
Rasional: Mencegah terjadinya infeksi nosokomial.
d. Lakukan tindakan invasif secara aseptik.
Rasional: Membatasi masuknya bakteri ke dalam tubuh. Deteksi dini adanya infeksi
dapat mencegah sepsis.

4. Kecemasan anak berhubungan dengan lingkungan perawatan yang asing (dampak


hospitalisasi).
Tujuan : Kecemasan anak menurun atau hilang.
Kiteria evaluasi :
 Kooperatif pada tindakan keperawatan.
 Komunikatif pada perawat, secara verbal mengatakan tidak takut.
Intervensi :
a. Validasi perasaan takut atau cemas.
Rasional: Perasaan adalah nyata dan membantu pasien untuk tebuka sehingga dapat
menghadapinya.
b. Pertahankan kontak dengan klien.
Rasional: Memantapkan hubungan, meningkatan ekspresi perasaan.
c. Upayakan ada keluarga yang menunggu.
Rasional : Dukungan yang terus menerus mengurangi ketakutan atau kecemasan yang
dihadapi.
d. Anjurkan orang tua untuk membawakan mainan atau foto keluarga.
Rasional : Meminimalkan dampak hospitalisasi terpisah dari anggota keluarga.
5. Kurang pengetahuan b/d kurang informasi tentang proses penyakit, perawatan dirumah dan
intruksi tindakan lanjut.
Tujuan : Pasien dan keluarga dapat mengerti penyakit dan pengobatannya.
Kriteria evaluasi :
 Menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit.
 prognosis dan pengobatan.
Intervensi :
a. Kaji ulang proses penyakit, prognosis, dan factor pencetus bila diketahui.
Rasional : memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat menentukan pilihan
berdasarkan informasi.
b. Jelaskan tentang penyakit pasien, prosedur tindakan dan apa saja yang harus
dilakukan.
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga, mengurangi kecemasan.
c. Diskusikan terapi obat
Rasional : mencegah komplikasi serius.
2.2.4 Implementasi

Implementasi keperawatan adalah rangkaian serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh


perawat untuk membantu pasien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status
kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Gordon
dalam Potter & Perry, 2009).

2.2.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah proses keperawatan yang memungkinkan perawat untuk
menentukan apakah intervensi keperawatan telah berhasil meningkatkan kondisi pasien
(Potter & Perry, 2009).
DAFTAR PUSTAKA

Betz, C. L., dan Sowden, L. A. (2000) Buku Saku Keperawatan Pediatrik, Ed 3. Jakarta :
EGC Brunner & Suddarth. (2003)
Medical Surgical Nursing (Perawatan Medikal Bedah). Jakarta : EGC Doengoes, M. E., et.
al, (2000)
Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC Donna L, Wong (2004)
Pedoman Klinis Keperawatan Anak. Jakarta: EGC Mansjoer, A, dkk. (2000)
Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III, Jilid 2. Jakarta : Penerbit Media Aesculapius
Naga, S. S. (2012)
Buku panduan lengkap ilmu penyakit dalam. Jogjakarta : DIVA pres Price, Sylvia A, (2010)
Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit, ed 6. Jakarta : EGC Putri, T. (2009)
Ilmu Kesehaatan Anak 2. Jakarta : Infomedica Smeltzer, Suzanne C. (2002).
Buku ajar keperawatan medical bedah Brunner & Suddart , Jakarta : EGC Smeltzer, S.C dan
Bare B.E. (2002)
Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah, Brunner and Suddarth edisi 8 volume 2. Jakarta :
EGC

Anda mungkin juga menyukai