Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

KEPERAWATAN ANAK

Sindrom Nefrotik

Disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah keperawatan anak

Dosen pengampu: Melati Inayati AB, S.Kep., Ners., MPH

Disusun oleh:

Ghyna Fitriani (017SYE22)

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN JENJANG D.3

TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, saya
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah sindrom nefrotik
ini. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu pada mata kuliah
keperawatan anak. Makalah sindrom nefrotik ini telah saya susun dengan maksimal.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah
sindroma nefrotik ini.

Mataram, 8 November 2023


DAFTAR PUSTAKA

COVER................................................................................................................................
KATA PENGANTAR.........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................

A. Latar belakang ........................................................................................................


B. Rumusan masalah....................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................
A. Pengertian sindrom nefrotik....................................................................................
B. Etilogi sindrom nefrotik...........................................................................................
C. Tanda dan gejala sindrom nefrotik..........................................................................
D. Klasifikasi sindrim nefrotik.....................................................................................
E. Patofisiologi sindrom nefrotik.................................................................................
F. Pemeriksaan penunjang sindrom nefrotik...............................................................
G. Terapi sindrom nefrotik...........................................................................................
H. Tumbuh kembang sindrom nefrotik........................................................................
I. Asuhan keperawatan sindroma nefrotik..................................................................
BAB III PENUTUP.............................................................................................................
A. Kesimpulan
B. Saran .......................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sindrom nefrotik (SN) merupakan penyakit ginjal kronik yang paling sering
ditemukan pada anak usia 3-4 tahun dan ≤14 tahun. Anak SN cenderung untuk
menjalani rawat inap dan rawat jalan. Hal tersebut akan mempengaruhi tingkat
kualitas hidup anak yang selanjutnya juga berpengaruh bagi pertumbuhan dan
perkembangan anak. Masalah ini sama mengkhwatirkannya dengan sindrom nefrotik
itu sendiri. Perburukan kualitas hidup anak SN yang dilihat dari sudut pandang orang
tua yang menilai bahwa anak mereka memiliki kualitas hidup yang buruk dikarenakan
pengalaman orang tua menyaksikan anaknya yang harus menjalani pengobatan lama
dan berbagai efek terapi maupun efek samping yang terjadi akan meninggalkan kesan
yang kuat (Ruth. 2004). Ini menunjukkan bahwa anak SN memperoleh pengaruh yang
cukup serius dari proses perawatan yang dapat dilihat salah satunya dari penurunan
tingkat kualitas hidup. Sindrom nefrotik dapat menyerang anak disegala usia,
umumnya anak usia sekolah dan remaja. Prevalensi SN di dunia sekitar 16 kasus per
100.000 anak (Andolino dan Adam, 2015). Angka kejadian SN di Indonesia untuk
anak usia kurang dari 14 tahun ialah 6 per 100.000 per tahun dengan perbandingan
anak laki- laki dan perempuan 2:1 (Trihono dkk, 2014). Di negara berkembang
insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak
berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1 (UKK
Nefrologi, 2012).
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian sindrom nefrotik ?
2. Bagaimana etilogi sindrom nefrotik?
3. Bagaimana tanda dan gejala sindrom nefrotik?
4. Apa saja klasifikasi sindrim nefrotik?
5. Bagaimana patofisiologi sindrom nefrotik?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang sindrom nefrotik?
7. Bagaimana terapi sindrom nefrotik?
8. Bagaiaman tumbuh kembang sindrom nefrotik?
9. Bagaimana asuhan keperawatan sindroma nefrotik?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian sindrom nefrotik


Nefrotik sindrom merupakan manifestasi paling umum dari penyakit glomerulus yang
ditandai dengan proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema menyeluruh, dan
hiperlipidemia (Uwaezuoke, 2018). Sedangkan nefrotik sindrom idiopatik adalah
penyakit ginjal pediatrik umum yang ditandai dengan kebocoran protein dari darah ke
urin melalui glomerulus yang rusak. Sekumpulan manifestasi klinis yang terdiri dari
proteinuria masif (≥40 mg/m2 LPB/jam atau > 50 mg/kgBB/24 jam atau dipstik ≥
2+), hipoalbuminemia (kurang dari 2,5 g/dl), udem, dan hiperkolesterolemia >200
mg/dL (Trihono dkk, 2014). Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh
glomerulonefritis primer atau idiopatik yang merupakan penyebab sindrom nefrotik
paling sering dan sekunder akibat infeksi seperti pada glomerulonefritis pasca infeksi
streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat seperti obat antiinflamasi non-
steroid, dan akibat penyakit sistemik seperti lupus eritematosus sistemik dan diabetes
melitus. Pada proses awal atau sindrom nefrotik ringan dalam menegakan diagnosis
tidak harus semua gejala ditemukan. Proteinuria masif adalah tanda khas sindrom
nefrotik, sedangkan sindrom nefrotik berat disertai kadar albumin serum rendah dan
ekskresi protein urin berkurang. Proteinuria dapat berkontribusi terhadap berbagai
komplikasi yang terjadi pada sindrom nefrotik. Sindrom nefrotik pada sebagian kasus
dapat sembuh sendiri dan menunjukan respon baik terhadap steroid, namun sebagian
lain dapat berkembang menjadi kronik.
B. Etiologi sindrom nefrotik
Berdasarkan penyebabnya, sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh
glomerulonefritis primer dan sekunder oleh karena infeksi, keganasan, penyakit
jaringan ikat, obat atau toksin dan akibat penyakit sistemik. Penyebab sindrom
nefritik yang paling sering pada anak yaitu glomerulonefritis lesi minimal, sedangkan
pada dewasa penyebab sindrom nefrotik sering dihubungkan dengan penyakit
sistemik seperti diabetes mellitus, amiloidosis atau lupus eritematosus sistemik.
Berdasarkan klasifikasi dan penyebab sindrom nefrotik dapat dibagi menjadi:
a. Glomerulonefritis primer:
1. Glomerulonefritis lesi minimal
2. Glomerulosclerosis fokal segmental
3. Glomerulonefritis membranosa
4. Glomerulonefritis membranoproliferative
5. Glomerulonefritis proliferatif lain
b. Glomerulonefritis sekunder:
1. Infeksi (HIV, hepatitis B dan C, sifilis, malaria, schistosoma,
tuberculosis dan lepra)
2. Keganasan (adenosarcoma paru, payudara, kolon, limfoma hodgkin,
mieloma multipel dan karsinoma ginjal)
3. Connective tissue disease (SLE, arthritis rheumatoid, mixed
connective tissue disease)
4. Efek obat dan toksin (NSAID, penisilamin, probenesid, air raksa,
kaptopril, heroin)
5. Lain – lain (Diabetes melitus, amiloidosis, pre-eklamsia, refluks
vesikoureter)
C. Tanda dan gejala sindrom nefrotik
 Proteinuria masif (rasio protein kreatinin >3,5 gram/hari)
 Edema, edema periobital, dan edema fasial
 hipoalbuminemia (albumin serum <3,5 g/dL)
 hiperkolesterolemia (kolesterol total >200 mg/dL)
 Lipiduria
 Berat badan meningkat
 Asites
 Distensi abdomen
 Penurunan jumlah urine
 Urine tampak berbusa dan gelap
 Hematuria
 Nafsu makan menurun
 Kepucatan
D. Klasifikasi sindrim nefrotik
Umumnya, berdasarkan etiologinya, para ahli membagi SN menjadi tiga kelomok,
yaitu: Sindrom nefrotik bawaan/kongenital, Sindrom nefrotik primer/idiopatik, dan
Sindrom nefrotik sekunder, yang mengikuti penyakit sistemik, antara lain SLE.
Kebanyakan (90%) anak menderita bentuk sindrom nefrotik idiopatik. Berdasarkan
histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa
dan mikroskop elektron, Churg dkk., membagi dalam 4 golongan yaitu:
1. Sindroma Nefrotik Kelainan minimal (SNKM). Minimal change diseases
(MCD). Ditemukan pada sekitar 80% kasus SN idiopatik. Lebih dari 90%
anak dengan SNKM berespon dengan ter- api kortikosteroid. Prognosis jangka
panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun, menun- jukkan hanya 4-5%
menjadi gagal ginjal termi- nal.
2. Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS). Ditemukan pada 7-8% kasus SN
idiopatik, ha- nya 20% pasien dengan GSFS yang berespon dengan terapi
kortikosteroid, prognosis buruk. Pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal
terminal selama pengamatan 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya disertai
penurunan fungsi ginjal.
3. Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP). Ditemukan 4-6% dari
kasus SN, sekitar 50% pasien dengan lesi histologis ini berespon dengan terapi
kortikosteroid, prognosis tidak baik.
4. Lain-lain: proliferasi yang tidak khas. hematuria mikroskopik, 15-20% disertai
hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah
Berikut ini adalah beberapa batasan yang dipakai pada sindrom nefrotik:
 Remisi, apabila proteinuri negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam)
3 hari berturut-turut dalam satu minggu, maka disebut remisi.
 Relaps, apabila proteinuri ≥ 2+ (>40 mg/m2 LPB/jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg) 3 hari berturut-turut dalam satu
minggu, maka disebut relaps.
 Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS), apabila dengan pemberian prednison
dosis penuh (2mg/kg/hari) selama 4 minggu mengalami remisi.
 Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS), apabila dengan pemberian
prednison dosis penuh (2mg/kg/hari) selama 4 minggu tidak mengalami
remisi.
 Sindrom nefrotik relaps jarang, sindrom nefrotik yang mengalami relaps < 2
kali dalam 6 bulan sejak respons awal atau < 4 kali dalam 1 tahun.
 Sindrom nefrotik relaps sering, sindrom nefrotik yang mengalami relaps ≥ 2
kali dalam 6 bulan sejak respons awal atau ≥ 4 kali dalam 1 tahun.
 Sindrom nefrotik dependen steroid (SNDS), sindrom nefrotik yang mengalami
relaps dalam 14 hari setelah dosis prednison diturunkan menjadi 2/3 dosis
penuh atau dihentikan dan terjadi 2 kali berturut- turut.yang bersifat
sementara.
E. Patofisiologi sindrom nefrotik
1. Proteinuria
Proteinuria ada tiga jenis yaitu glomerular, tubular dan overflow.
Kehilangan protein pada sindrom nefrotik termasuk dalam proteinuria
glomerular. Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap
protein akibat rusaknya glomerulus. Proteinuria pada penyakit glomerular
disebabkan oleh meningkatnya filtrasi makromolekul melewati dinding kapiler
glomerulus. Hal ini disebabkan oleh kelainan pada podosit glomerular. Dalam
keadaan normal membran basal glomerulus mempunyai mekanisme
penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang yang
pertama berdasarkan ukuran molekul (sizebarrier) dan yang kedua berdasrkan
muatan listrik (charge barrier). Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan
non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin.
Proteinuria selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul kecil
seperti albumin, sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari
molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria dipengaruhi oleh
keutuhan struktur membran basal glomerulus.
2. Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis
albumin hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada sindrom nefrotik,
kelainan ini disebabkan karena proteinuria masih yang mengakibatkan
penurunan tekanan onkotik plasma. Agar tekanan onkotik tetap bertahan,
maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis
albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Diet
tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, namun dapat
mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia juga
dapat terjadi akibat peningkatan reabsorpsi dan katabolisme albumin oleh
tubulus proksimal.
3. Edema
Edema pada sindrom nefrotik memiliki teori underfill dan overfill. Teori
underfill menyatakan hipoalbuminemia adalah faktor terjadinya edema pada
sindrom nefrotik. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik
plasma yang berakibat cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan
interstisium dan terjadi edema. Akibat dari penurunan tekanan onkotik dan
bergeser cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi
dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Sedangkan teori overfill
menyatakan retensi natrium merupakan defek renal utama. Terjadi defek
primer pada kemampuan nefron distal untuk mengekskresikan natrium yang
mengakibatkan terjadinya peningkatan volume darah akibat tekanan onkotik
yang rendah dan memicu transudasi cairan ke ruangan ekstraseluler sehingga
terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus mengakibatkan kerusakan
ginjal sehingga menambah retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme
tersebut secara bersamaan ditemukan pada kasus sindrom nefrotik.
4. Hiperkolesterolemia
Kadar lemak (kolesterol, trigliserida) dan lipoprotein serum dapat meningkat
pada sindrom nefrosis. Hal ini disebabkan karena adanya kondisi
hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati,
termasuk lipoprotein. Selain itu, katabolisme lemak menurun dikarenakan
adanya penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang
mengambil lemak dari plasma. Beberapa peningkatan serum lipoprotein yang
difiltrasi di glomerulus akan menyebabkan terjadinya lipiduria sehingga
adanya temuan khas oval fat bodies dan fatty cast pada sedimen urin.
F. Pemeriksaan penunjang sindrom nefrotik
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada sindrom nefrotik seperti:
1. Urinalisis dan kultur urine
Dilakukan jika terdapat gejala klinis yang mengarah pada infeksi saluran
kemih (ISK) seperti nyeri panggul, dorongan buang air kecil meningkat dan
nyeri, mual muntah, serta demam.
2. Protein urin kuantitatif
Dilakukan menggunakan sampel urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin
pada pagi hari saat urin pertama, dengan tujuan mengetahui derajat
proteinuria. Pasien sindrom nefrotik mengalami kerusakan pada membrane
glomerulus sehingga albumin keluar melalui urin menyebabkan proteinuria.
Proteinuria rentang nefrotik akan terlihat dengan pembacaan 3+ atau 4+
(Angka 3+ menunjukkan 300 mg/dL protein urin atau lebih) pada dipstick,
atau dengan pengujian semi kuantitatif dengan asam sulfosalisilat.
3. Pemeriksaan darah
Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,
hematokrit, LED), albumin dan kolesterol serum, ureum, kreatinin dan klirens
kreatinin. Tingkat albumin serum secara klasik rendah pada sindrom nefrotik,
albumin serum seringkali <2,5 g/dL. Konsentrasi kreatinin bervariasi menurut
derajat kerusakan ginjal. Kadar kolesterol total dan trigliserida biasanya
meningkat.
4. Pemeriksaan Radiologi
Dilakukan USG ginjal untuk mengidentifikasi trombosis vena renalis
apabila terdapat curiga adanya keluhan nyeri pinggang, hematuria atau gagal
ginjal akut (AKI).
5. Pemeriksaan Histopatologi
Dapat dilakukan biopsi ginjal apabila diindikasikan untuk hal-hal seperti
sindrom nefrotik kongenital, anak-anak dengan usia lebih dari 8 tahun saat
onset, resistensi steroid, sering kambuh atau ketergantungan steroid,
manifestasi nefritik yang signifikan.
G. Terapi sindrom nefrotik
a. Tatalaksana umum
Sebelum pengobatan steroid dimulai terhadap SN, maka perlu dilakukan
pemeriksaan-pemeriksaan berikut:
 Pengukuran berat badan dan tinggi badan.
 Pengukuran tekanan darah.
 Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda/gejala penyakit sistemik, seperti
lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.
 Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, atau- pun kecacingan.
Setiap infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid
dimulai.
 Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis
INH se- lama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemu- kan
tuberkulosis diberikan obat antituberkulo- sis (OAT).
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah
sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan
diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi
orangtua. Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila
terdapat edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi
berat, gagal ginjal, atau syok.
1. Pengaturan Diitetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi
karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis
glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi
protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi
cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended
daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari)
hanya diperlukan selama anak menderita edema. Jika ada hipertensi
dapat ditambahkan obat antihipertensi diawali dengan inhibitor ACE
(angiotensin converting enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker).
2. Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya
diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu
dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik
hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/ hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu
disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih
dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan
natrium darah. Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter),
biasanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/
dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb
selama 24 jam. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu
pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.
3. Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2
mg/kgbb/ hari atau total >20 mg/ hari, selama lebih dari 14 hari,
merupakan pasien imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan
dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin
virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian
prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti
polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat
dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan
varisela.
b. Tatalaksana khusus
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila
ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau
prednisolon.
1. Terapi Steroid Inisial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan
prednison 60 mg/ m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/
hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison
dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi
badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4
minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan
4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5
mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah
makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak
terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.
2. Pengobatan SN Relaps
Diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN
remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema,
sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya
infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7
hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan
pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai
edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai
diberikan.
3. Pengobatan SN dengan Kontraindikasi Steroid
Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi
steroid, seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau
kreatinin, infeksi berat, maka dapat diberikan sitostatik CPA oral
maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis
2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara intravena (CPA puls).
CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan dengan dosis
500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL
0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis,
dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6
bulan).
H. Tumbuh kembang sindrom nefrotik
a. Kualitas hidup anak
1. Umur
Anak-anak dengan usia lebih muda memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami gangguan pada kualitas hidupnya. Masalah yang sering
timbul adalah kecemasan prosedural, kecemasan pengobatan dan
komunikasi. Oleh karena itu, perawatan khusus selama prosedur
intervensi diperlukan untuk menjaga perkembangan normal mereka.
Umur pada saat kondisi kronik terjadi, memengaruhi tumbuh kembang
anak dari satu tahap ke tahap berikutnya. Tiap tahap perkembangan
mempunyai karakteristik tersendiri, dimana bila terjadinya kelainan pada
tahap perkembangan tertentu akan berpengaruh pada tahap
perkembangan berikutnya.
2. Jenis Kelamin
Penelitian oleh Arabiat dan Jabery (2013) mengenai kualitas hidup
anak dengan kondisi kronis melaporkan tidak terdapat perbedaan
kualitas hidup anak perempuan atau lelaki. Penelitian ini menggunakan
instrumen PedsQL 4.0 generic core scale.
3. Status Gizi
Anak dengan kondisi kronik sering mengalami masalah yang terkait
dengan makan yang akan memengaruhi tumbuh kembangnya. Untuk
mengetahui masalah nutrisi dapat dilakukan dengan memantau ukuran
antropometri, asupan makanan, evaluasi medis, pemeriksaan
laboratorium, evaluasi cara makan dan kondisi. Durasi sakit Pada studi
yang membandingkan insiden dan prevalens sindrom nefrotik
didapatkan skor kualitas hidup yang lebih rendah pada pasien yang lebih
lama menderita sindrom nefrotik terutama pada fungsi sosial dan dan
sekolah (Selewski dkk., 2015). Semakin lama terapi yang harus dijalani
maka semakin buruk pula kualitas hidup anak dengan sindrom nefrotik
(Rosita 2013).
4. Penghasilan Orang Tua
Status ekonomi keluarga memengaruhi perilaku dalam mencari akses
pelayanan kesehatan. Status ekonomi keluarga juga memengaruhi
kepercayaan, sikap dan perilaku pemberi layanan kesehatan di Indonesia.
Keluarga dengan penghasilan rendah biasanya akan cenderung untuk
mengabaikan atau tidak terlalu memperhatikan kebutuhan anak yang
akan memengaruhi terhadap tinggi rendahnya kualitas hidup anak
(Rosita, 2013).
5. Tingkat Pendidikan Orang Tua
Tingkat pendidikan orangtua akan memengaruhi persepsi orangtua
mengenai penyakit, proses terapi, dan prognosis anak. Hal ini dapat
berdampak pada kepatuhan orangtua dalam membawa anak menjalani
pengobatan. Tingkat pendidikan orangtua yang lebih tinggi umumnya
memiliki persepsi yang lebih baik. Pemberi layanan kesehatan juga lebih
mudah berkomunikasi dengan orangtua yang berpendidikan lebih tinggi.
semakin tinggi tingkat pendidikan orangtua, nilai kualitas hidup anak
juga lebih baik.
b. Kualitas hidup anak dengan sindrom nefrotik
1. Karakteristik Individu
 Umur
Umur pada saat kondisi kronik terjadi, memengaruhi tumbuh
kembang anak dari satu tahap ke tahap berikutnya.
 Kepribadian anak
Perkembangan kepribadian anak dengan kondisi kesehatan
kronik mempunyai ruang lingkup yang tiak berbeda dengan anak
yangnormal. Kepribadian anak dipengaruhi oleh faktor
lingkungan meskipun tidak ada korelasi langsung antara sikap
dan perilaku keluarga dengan psikologi anak. Risiko gangguan
perkembangan psikologi meningkat pada anak dengan kondisi
kesehatan kronik yang multipel. Faktor- faktor yang diketahui
memperbesar risiko antara lain anak yang mempunyai konsep
diri yang rendah, mempunyai keluarga yang kurang harmonis,
tinggal di daerah terpencil atau dari keluarga yang tidak mampu.
 Dukungan dari keluarga
Tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh frekuensi dan
intensitas interaksi anak dengan lingkungannya. Interaksi yang
berkualitas dan efektif akan mempunyai dampak yang baik.
Orangtua yang mau menerima kondisi anak, memberi dukungan
dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk tumbuh
kembang mengoptimalkan tumbuh kembang anak. Penanganan
optimal anak dengan penyakit kronik tidak hanya terbatas pada
masalah medis, tetapi harus memperhatikan faktor
perkembangan, psikososial dan keluarga. Dampak penyakit
kronik tergantung pada pandangan anak terhadap organ
tubuhnya, penyakitnya, terapi yang diterimanya, dan pandangan
terhadap kematian. Dampak pada anak tercermin pada
perkembangan psikososialnya, keterlibatannya dengan teman
sebaya, aspek pendidikan, dan prestasi di sekolah. Dampak pada
keluarga antara laintercermin pada status psikososial orangtua,
aktivitas, status ekonomi keluarga dan peran keluarga di
masyarakat.
2. Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Anak dengan Sindrom
Nefrotik
Sindrom nefrotik ditandai dengan kehilangan protein secara masif
yang menyebabkan edema anasarka. Walaupun kebanyakan anak
mengalami remisi dengan pengobatan steroid oral, sebagian besar
menjadi kronik dan membutuhkan pengobatan steroid oral selama 8-12
minggu bahkan setahun. Pada 50% kasus, masalah perilaku yang berat
dialami selama penggunaan steroid saat relaps. Steroid juga
menyebabkan perubahan pada tampilan fisis yang akan memengaruhi
persepsi anak tersebut terhadap dirinya. Sindrom nefrotik sensitif steroid
(SNSS) tidak dapat dikategorikan sebagai penyakit ringan, karena 50%
pasien sering mengalami relaps dan membutuhkan pemberian
imunosupresi jangka panjang bahkan sampai dewasa.
Oleh karena itu bukan hanya kondisi medis tetapi beban psikososial
yang tinggi juga dialami pasien, orangtua dan pengasuh. Namun,
penelitian lain pada anak dengan penyakit kronik umumnya terfokus
pada kondisi medis. Beban penyakit kronik memengaruhi aktivitas
harian, sehingga anak dengan SN memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami luaran psikososial yang negative. Suatu survey melaporkan
6-12% anak mengalami penyakit kronik. Pada kelompok ini beberapa di
antaranya dapat beradaptasi dengan baik, namun sisanya tidak mampu
beradaptasi dan mengalami gangguan sosial, psikologi dan pendidikan
yang terkadang lebih berat dari keterbatasan fisis akibat penyakitnya.
Faktor yang memperburuk di antaranya adalah keterbatasan aktivitas
sehari-hari dan luaran yang belum jelas. Berbagai stresor ini dapat
ditemukan pada anak SN.
Penggunaaan kortikosteroid jangka panjang turut berperan
menimbulkan gangguan perilaku selain hal yang sudah disebutkan di
atas. Mekanisme kortikosteroid memengaruhi perilaku adalah
multifaktorial. Reseptor kortikosteroid yang berlokasi di hipokampus,
septum dan area amygdala di otak terlibat dalam perilaku, mood dan
memori. Kortikosteroid mengubah eksitabilitas otak dan memengaruhi
kadar neuropeptida dan neurotransmiter sistem saraf pusat. Suatu
penelitian melaporkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara
gangguan perilaku anak SN dengan frekuensi relaps dan status ekonomi
rendah.
Hal serupa juga dilaporkan oleh penelitian lain, angka relaps tinggi
berisiko untuk terjadinya episode gangguan perilaku berulang.
Meningkatnya frekuensi relaps dihubungkan dengan seringnya
kunjungan ke klinik, meningkatnya ketidakhadiran di sekolah, periode
sakit yang lebih panjang, berkurangnya aktivitas, terisolasi dari
kelompok sebaya, dan ketidak mampuan mengikuti pelajaran di sekolah.
Seringnya kunjungan ke klinik juga menyebabkan orangtua/pengasuh
tidak masuk kerja, meningkatkan beban finansial dan pada akhirnya akan
memengaruhi status sosioekonomi. Keadaan ini mungkin dapat
menjelaskan hubungan bermakna antara frekuensi relaps dan gangguan
perilaku.
Anak dengan penyakit kronik membutuhkan intervensi psikosial
adekuat agar mereka dapat beradaptasi dalam lingkungannya dan tidak
merasa terisolasi. Intervensi psikosial yang dapat dipilih salah satunya
adalah terapi perilaku kognitif yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup. Pola asuh merupakan variabel keluarga yang paling
penting dalam perkembangan psikososial anak. Proses ini banyak
dipengaruhi oleh budaya, agama, tingkat pendidikan, dan kondisi
sosioekonomi.
Jenis pola asuh dibagi menjadi pola asuh yang diharapkan yaitu pola
asuh dari orang tua yang penuh pertimbangan dan pola asuh yang tidak
diharapkan yaitu pola asuh dari orangtua yang banyak menuntut dan
dominan, pola asuh dari orangtua yang memberi kebebasan penuh dan
hanya minim campur tangan orangtua, serta pola asuh yang tidak
konsisten. Kuesioner Pola Asuh Anak (KPAA) merupakan suatu alat
ukur untuk menilai pola asuh yang diperoleh dari orangtua yaitu ayah
dan ibu/ wali yang tinggal bersama anak. Kuesioner ini memiliki
Cronbach alfa yang baik yaitu 0,8347 dangan nilai korelasi menunjukkan
nilai koefisian antara 0,0013-0,3979 yang artinya korelasi antara item
cukup unik dan baik.
I. Asuhan keperawatan sindroma nefrotik
I. Pengkajian
1. Identitas
Umur: biasanya sindrom nefrotik sering dijumpai pada anak berumur antara
3- 4 tahun tidak menutup kemungkinan anak umur lebih atau kurang dari 3-4
tahun terkena sindrom nefrotik ini.
Jenis kelamin: pada penelitian pasien anak sindroma nefrotik lebih banyak
terjadi pada anak dengan jenis kelamin laki-laki (67%) dari pada perempuan
(33%)
Negara: Negara berkembang beresiko lebih sering terkena sindroma nefrotik
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan Utama: adanya bengkak
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya orang tua anak mengeluhkan sembab pada beberapa bagian
tubuh anak seperti pada wajah, mata, tungkai serta bagian genitalia. Orang
tua anak biasanya juga mengeluhkan anaknya mudah demam dan daya
tahan tubuh anaknya terbilang rendah.
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Perlu ditanyakan pada orangtua berat badan anak dahulu untuk menilai
adanya peningkatan berat badan. Perlu dikaji riwayat keluarga dengan
sindroma nefrotik seperti adakah saudara- saudaranya yang memiliki
riwayat penyakit ginjal dan riwayat tumbuh kembang anak yang
terganggu, apakah anak pernah mengalami diare atau sesak napas
sebelumnya, serta adanya penurunan volume haluaran urine.
d. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Perlu dikaji adanya penyakit pada ibu saat masa kehamilan adakah
menderita penyakit lupus eritematosus sistemik atau kencing manis,
konsumsi obat-obatan maupun jamu tradisional yang diminum serta
kebiasaan merokok dan minum alkohol selama hamil.
e. Riwayat Pertumbuhan
Biasanya anak cenderung mengalami keterlambatan pertumbuhan karena
keletihan akibat lambung yang mengalami
3. Riwayat pemenuhan kebutuhan menurut Gordon
4. Pemeriksaan Fisik
1) TTV:
 Tekanan Darah: Pada masa anak-anak tekanan darah sistole
normal 80 sampai 100 mmHg dan nilai diastole normal 60 mmHg.
Anak dengan hipovolemik akan mengalami hipotensi, maka akan
ditemukan tekanan darah kurang dari nilai normal atau dapat
ditemukan anak dengan hipertensi apabila kolesterol anak
meningkat.
 Nadi: berdasarkan usia, frekuensi nadi anak usia 2-6 tahun 105x/
menit, frekuensi nadi anak usia 6-10 tahun 95x/menit, frekuensi
nadi anak usia 10-14 tahun 85x/menit dan frekuensi nadi anak usia
14-18 tahun 82x/menit.
 Pernapasan: frekuensi napas anak usia 2-6 tahun 21- 30x/menit,
anak 6 sampai 10 tahun 20-26x/menit dan anak usia 10-14 tahun
18-22x/menit.
 Suhu:
2) Postur
BB Ideal: bagi anak usia 2-12 tahun dengan cara 2n (umur dalam
tahun) + 8. Perlu ditanyakan kepada orangtua, BB anak sebelum sakit
untuk menentukan adanya peningkatan BB pada anak dengan sindroma
nefrotik. Edema pada anak juga dapat ditandai dengan peningkatan
Berat Badan >30%.
3) Kepala-leher
Inspeksi: pada umumnya tidak ada kelainan pada kepala, normalnya
Jugularis Vein Distention (JVD) terletak 2 cm diatas angulus sternalis
pada posisi 450,
Palpasi: pada anak dengan hipovolemik akan ditemukan JVD datar
pada posisi supinasi, namun pada anak dengan hipervolemik akan
ditemukan JVD melebar sampai ke angulus mandibularis pada posisi
anak 45.
4) Mata
Inspeksi: Biasanya pada pasien dengan Sindroma Nefrotik mengalami
edema pada periorbital yang akan muncul pada pagi hari setelah
bangun tidur atau konjunctiva terlihat kering pada anak dengan
hipovolemik.
5) Hidung
Inspeksi: Pada pemeriksaan hidung secara umum tidak tampak
kelainan, namun anak dengan Sindroma Nefrotik biasanya akan
memiliki pola napas yang tidak teratur sehingga akan ditemukan
pernapasan cuping hidung.
6) Mulut
Inspeksi: Terkadang dapat ditemukan sianosis pada bibir anak akibat
penurunan saturasi oksigen. Selain itu dapat ditemukan pula bibir
kering serta pecah-pecah pada anak dengan hipovolemik .
7) Kardiovaskuler
Inspeksi: biasanya tampak retraksi dinding dada akibat pola napas yang
tidak teratur
Palpasi: biasanya terjadi peningkatan atau penurunan denyut jantung
Perkusi: biasanya tidak ditemukan masalah
Auskultasi: biasanya auskultasi akan terdengar ronki serta penurunan
bunyi napas pada lobus bagian bawah. Bila dilakukan EKG, maka akan
ditemukan aritmia, pendataran gelombang T, penurunan segmen ST,
pelebaran QRS, serta peningkatan interval PR.
8) Paru-Paru
Inspeksi: biasanya tidak ditemukan kelainan
Palpasi: biasanya dapat ditemukan pergerakan fremitus tidak simetris
bila anak mengalami dyspnea
Perkusi: biasanya ditemukan sonor
Auskultasi: biasanya tidak ditemukan bunyi napas tambahan. Namun,
frekuensi napas lebih dari normal akibat tekanan abdomen kerongga
dada.
9) Abdomen
Inspeksi: biasanya kulit abdomen terlihat tegang dan mengkilat bila
anak asites
Palpasi: biasanya teraba adanya distensi abdomen dan bila diukur
lingkar perut anak akan terjadi abnormalitas ukuran
Perkusi: biasanya tidak ada kelainan
Auskultasi: pada anak dengan asites akan dijumpai shifting dullness
10) Kulit
Inspeksi: biasanya, pada anak Sindroma Nefrotik yang mengalami
diare akan tampak pucat serta keringat berlebihan, ditemukan kulit
anak tegang akibat edema dan berdampak pada risiko kerusakan
integritas kulit.
11) Ekstremitas
Inspeksi: Biasanya anak akan mengalami edema sampai ketungkai bila
edema anasarka atau hanya edema lokal pada ektremitas saja.
Palpasi: selain itu dapat ditemukan CRT > 2 detik akibat dehidrasi.
12) Genitalia
Inspeksi: Biasanya pada anak laki-laki akan mengalami edema pada
skrotum dan pada anak perempuan akan mengalami edema pada labia
mayora.
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis
 Proteinuria, dapat ditemukan sejumlah protein dalam urine lebih
dari 2 gr/m2/hari.
 Ditemukan bentuk hialin dan granular.
 Terkadang pasien mengalami hematuri.
 Uji Dipstick urine, hasil positif bila ditemukan protein dan darah.
 Berat jenis urine akan meningkat palsu karena adanya proteinuria (
normalnya 50-1.400 mOsm).
 Osmolaritas urine akan meningkat.
b. Uji Darah
 Kadar albumin serum akan menurun, dengan hasil kurang dari 2
gr/dl (normalnya 3,5-5,5 gr/dl).
 Kadar kolesterol serum akan meningkat, dapat mencapai 450-1000
mg/dl (normalnya <200 mg/dl).
 Kadar hemoglobin dan hematokrit akan meningkat atau
mengalami hemokonsentrasi ( normalnya Ht pada laki-laki 44-
52% dan pada Perempuan 39-47% ).
 Kadar trombosit akan meningkat, mencapai 500.000- 1.000.000/ μl
(normalnya 150.000-400.000/μl).
 Kadar elektrolit serum bervariasi sesuai dengan keadaan penyakit
perorangan (normalnya K+ 3,5-5,0 mEq/L, Na+ 135-145 mEq/L,
Kalsium 4-5,5 mEq/L, Klorida 98-106 mEq/L )
c. Uji Diagnostik
Biopsi ginjal dapat dilakukan hanya untuk mengindikasikan status
glomerular, jenis sindrom nefrotik, respon terhadap penatalaksanaan
medis dan melihat proses perjalanan penyakit.
6. Terapi yang digunakan
7. Pengelompokan data
 Data subjektif
 Data objektif
II. Diagnosa keperawatan
a. Analisa data
b. Diagnose keperawatan
III. Rencana keperawatan
IV. Implementasi keperawatan
V. Evaluasi

Anda mungkin juga menyukai