Disusun oleh:
Tingkat - 2B
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala
limpahan dan rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai,
guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak dengan judul “SINDROM
NEFROTIK DAN PERAWATAN KATETER”. Penulis sangat berharap semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan
kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini, pembaca praktekkan dalam kehidupan
sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis mengharapkan
semoga makalah ini dapat bermanfaat di bidang ilmu pengetahuan dan keperawatan.
Kelompok 10
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom Nefrotik (SN) adalah salah satu kelainan klinis glomerulus yang
paling sering terjadi pada anak-anak yang ditandai dengan gejala proteinuria berat
>3,5 gram/hari, hipoalbunemia <3,5 gram/hari, hiperkolesterolemia, hipoproteinemia,
edema dan dapat disertai hiperlipidemia. (Depkes RI, 2022)
Sindrom nefrotik (SN) terbanyak dijumpai pada anak, dengan angka kejadian
15 kali lebih banyak dibandingkan orang dewasa. Insidennya sekitar 2-3/100.000 anak
per tahun, sebagian besar 90% SN pada anak merupakan SN yang idiopatik. Sisanya
(10%) merupakan SN sekunder yang berhubungan dengan kelainan glomerulus
seperti nefropati membranosa dan glomerulonefritis membranoprolifratif. (Nilawati,
2016) Sedangkan kejadian di Indonesia pada sindrom nefrotik mencapai 6 kasus
pertahun dari 100.000 anak berusia 1 sampai 5 tahun (Riskesdas, 2018).
Tanda dan gejala sindrom nefrotik adalah terdapat adanya proteinuria, retensi
cairan, edema, berat badan meningkat, edema periorbital, edema fasial, asites, distensi
abdomen, penurunan jumlah urine, urine tampak berbusa dan gelap, hematuria, nafsu
makan menurun, dan kepucatan. Perawatan di rumah sakit pada penderita Nefrotik
Sindrom penting dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid dan edukasi
orang tua.
2.1.2 Etiologi
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan
sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan ikat, obat atau toksin
dan akibat penyakit sistemik. Berikut merupakan klasifikasi dan penyebab
sindrom nefrotik:
a. Nefrotik Sindrom Bawaan (Kongenital)
Diturunkan sebagai resesif autosom atau karena reaksi
maternofetal. Resisten terhadap suatu pengobatan. Gejala edema pada
masa neonatus. Pernah dicoba pencangkokan ginjal pada neonatus
tetapi tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal
pada bulan-bulan pertama kehidupannya.
b. Glomerulonefritis Primer (Idiopatik)
1). GN lesi minimal
2). Glomerulosklerosis segmental
3). GN membranosa
4). GN membranoproliferative
5). GN proliferatif lain
c. Glomerulonefritis Sekunder
1) Infeksi (HIV, Hepatitis B dan C, Sifilis, Malaria, Skistosoma,
Tuberculosis dan Lepra)
2) Keganasan (Adenosarkoma Paru, payudara, kolon, limfoma
hodgkin, mieloma multipel dan karsinoma ginjal)
3) Connective Tissue Disease ( SLE, Artritis reumatoid, mixed
connective tissue disease)
4) Efek obat dan toksin ( NSAID, Penisilamin, Probenesid)
5) Lain – lain (Diabetes melitus, Amiloidosis, Pre-eklamsia, Refluks
Vesikoureter)
2.1.3 Patofisiologi
1) Uji Urine
a. Urinalisis: proteinuria (dapat mencapai lebih dari 2g/m2/hari), bentuk hialin
dan granular, hematuria
b. Uji dipstick urine: hasilpositif untuk protein dan darah
c. Berat jenis urine: meningkat palsu karena proteinuria
d. Osmolalitas urine: meningkat
2) Uji Darah
a. Kadar albumin serum: menurun (kurang dari 2 g/dl)
b. Kadar kolesterol serum: meningkat (dapat mencapai 450 sampai 1000
mg/dl)
c. Kadar trigliserid serum: meningkat
d. Kadar hemoglobin dan hematokrit : meningkat
e. Hitung trombosit: meningkat (mencapai 500.000 sampai 1.000.000/ul)
f. Kadar elektrolit serum: bervariasi sesuai dengan keadaan penyakit
perorangan
3) Uji Diagnostik
Biopsi Ginjal (tidak dilakukan secara rutin)
2.1.8 Komplikasi
a. Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein di dalam urin seperti
antithrombin III (AT III), protein S bebas, plasminogen dan α antiplasmin.
b. Hipoalbuminemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2.
c. Meningkatnya sintesis protein prokoagulan dan tertekannya fibrinolisis.
d. Aktivasi sistem hemostatik di dalam ginjal dirangsang oleh factor jaringan
monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerolus yang
selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit.
e. Infeksi sekunder terutama infeksi kulit oleh streptococcus, staphylococcus,
bronkopneumonia, TBC. Erupsi erisipelas pada kulit perut atau paha sering
ditemukan. Pinggiran kelainan kulit ini batasnya tegas, tapi kurang menonjol
seperti erisipelas dan biasanya tidak ditemukan organisme apabila kelainan
kulit dibiakan.
f. Gangguan klirens renali pada pasien sindrom nefrotik mungkin disebabkan
kurangnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya hantaran
natrium dan air ke ansa henle tebal. Gangguan pengasaman urin ditandai
dengan ketidakmampuan menurunkan pH urin sesudah pemberian beban
asam.
g. Gagal ginjal akut terjadi bukan karena nekrosis tubulus atau fraksi filtrasi
berkurang, tapi karena edema interstisial dengan akibatnya meningkatnya
tekanan tubulus proksimalis yang menyebabkan penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG).
h. Anemia yang disebabkan protein pengangkut Fe yaitu transferin serum yang
menurun akibat proteinuria. Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi
besi yang tipikal, namun resisten terhadap pengobatan preparat Fe.
i. Peritonitis karena adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik
untuk perkembangan kuman-kuman komensal usus. Biasanya akibat infeksi
streptokokus pneumonia, E.coli.
j. Gangguan keseimbangan hormon dan mineral. Karena protein pengikat
hormon hilang melalui urin . Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG) dalam
urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik dan laju ekskresi globulin
umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria.
k. Hipokalsemia disebabkan albumin serum yang rendah, dan berakibat
menurunkan kalsium terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan
menetap. Disamping itu pasien sering mengalami hipokalsiuria, yang kembali
menjadi normal dengan membaiknya proteinuria. Absorbsi kalsium yang
menurun di GIT, dengan eksresi kalsium dalam feses lebih besar daripada
pemasukan. Hal-hal seperti di atas dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan dan perkembangan serta mental anak pada fasa pertumbuhan.
Hubungan antara hipokalsemia, hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi
kalsium dalam GIT menunjukan kemungkinan adanya kelainan metabolisme
vitamin D namun penyakit tulang yang nyata pada penderita sindrom nefrotik
jarang ditemukan.
3.1 PERAWATAN KATETER URINE
3.1.1 Pengertian Kateter Urine
Pemasangan kateter merupakan tindakan keperawataan dengan cara
memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan
untuk membantu memenuhi kebutuhan eliminasi dan sebagai pengambilan
bahan pemeriksaan (Hidayat, 2006). Tindakan pemasangan kateter urin
dilakukan dengan cara memasukkan selang plastik sesuai dengan ukurannya
ke dalam kandung kemih. Kateter memungkinkan mengalirnya urin yang
berkelanjutan pada klien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau klien
yang mengalami obstruksi. Kateter juga menjadi alat untuk mengkaji
pengeluaran urin per jam pada klien yang status hemodinamiknya tidak stabil
(Potter dan Perry, 2008).
2. Diagnosa Keperawatan
Keputusan tentang penentuan diagnosa keperawatan Sindrom Nefrotik
beberapa diagnosa yang mungkin muncul adalah sebagai berikut:
Menurut (Tim pokja SDKI DPP PPNI, 2017) :
1) Hipervolemia berhubungan dengan kelebihan asupan cairan (D.0022)
2) Pola Napas Tidak Efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas
(D.0005)
3) Resiko Infeksi berhubungan dengan mal nutrisi (D.0142)
4) Defisit Nutrisi ditandai dengan nafsu makan menurun (D.0019)
5) Gangguan Integritas Kulit/Jaringan ditandai dengan kerusakan jaringan
dan/atau lapisan kulit (D.0129)
6) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan struktur bentuk
tubuh (D.0083)
3. Intervensi Keperawatan
a) Hipervolemia
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan hasil
Keseimbangan Cairan Membaik (L.03020)
Kriteria Hasil :
1) Asupan cairan meningkat
2) Asupan makanan meningkat
3) Edema menurun
4) Turgor kulit membaik
5) Berat badan membaik
Intervensi : Pemantauan Cairan (I.03121)
Observasi :
- Monitor intake-output cairan
- Identifikasi faktor resiko ketidakseimbangan cairan (mis. Penyakit
ginjal dan kelenjar)
Terapeutik :
- Atur interval pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
- Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi :
- Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
c) Resiko Infeksi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan hasil
Tingkat Infeksi Membaik (L. 14137)
Kriteria Hasil :
1) Nafsu makan meningkat
2) Demam menurun
3) Nyeri menurun
4) Bengkak menurun
Intervensi : Pencegahan Infeksi (I.14539)
Observasi :
- Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
Terapeutik :
- Berikan perawatan kulit pada edema
- Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
Edukasi :
- Jelaskan tanda dan gejala infeksi
- Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
- Anjurkan meningkatkan asupan cairan
- Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
d) Defisit Nutrisi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatn diharapkan hasil
Status Nutrisi Membaik (L.03030)
Kriteria Hasil :
1) Kekuatan otot pengunyah meningkat
2) Kekuatan otot menelan meningkat
3) Nyeri abdomen menurun
4) Nafsu makan membaik
Intervensi : Manajemen Nutrisi (I.03119)
Observasi :
- Identifikasi status nutrisi
- Identifikasi makanan yang disukai
- Identifikasi kebutuhan nutrisi dan kalori
- Monitor asupan makanan
Terapeutik :
- Lakukan oral hygine sebelum makan, jika perlu
- Berikan makanan tinggi kalori dan protein
Edukasi :
- Anjurkan posisi duduk, jika mampu
- Ajarkan diet yang di programkan
Kolaborasi :
- Kolaborasi dengan ahli gizi menentukan kalori dan jenis nutrien
yang di butuhkan, jika perlu
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan tahapan keempat dalam proses keperawatan
yang dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan.
Implementasi merupakan tindakan yang nyata mencapai hasil yang
diharapkan berupa berkurangnya atau hilangnya masalah yang sedang
dihadapi. Pada tahap implementasi ini terdiri dari beberapa kegiatan yaitu
validasi rencana keprawatan, menuliskan dan mendokumentasikan rencana
keperawatan serta melanjutkan pengumpulan data (Mitayani, 2011).
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan kegiatan akhir dari proses
keperawatan, dimana perawat menilai hasil yang diharapkan terhadap
perubahan diri klien dan menilai sejauh mana masalah klien dapat diatasi.
Perawat dapat memberikan umpan balik atau pengkajian ulang, seandainya
tujuan yang ditetapkan belum tercapai, maka dalam hal ini proses
keperawatan dapat dimodifikasikan (Mitayani, 2011).
DAFTAR PUSTAKA
Kasmad, Sujianto, U., & Hidayati, W. (2007). Hubungan Antara Kualitas Perawatan
Kateter Dengan Kejadian Infeksi Nosokomial Saluran Kemih. Hubungan
Kualitas Perawatan Kateter, 1(1).
Nilawati, G. (2016). Profil Sindrom Nefrotik pada Ruang Perawatan Anak RSUP
Sanglah Denpasar. Sari Pediatri, 14(4), 269.
https://doi.org/10.14238/sp14.4.2012.269-72