Anda di halaman 1dari 10

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An.

W DENGAN
SINDROME NEFROTIK
DI RUANG PERAWATAN ANAK LANTAI DASAR
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT Dr. KARIADI
SEMARANG

Dosen Pembimbing : Ns. Zubaidah M.Kep.,Sp.Kep.An.


Pembimbing Klinik : Aprelia Herdianti S.Kep, Ns

Oleh :
Roikhatul Masithoh
22020116210038

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS XXVIII


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGOROSEMARANG
2016

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit ginjal yang terbanyak pada anak.
Penyakit tersebut ditandai dengan sindrom klinik yang terdiri dari beberapa gejala yaitu
proteinuria masif (>40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2
mg/mg atau dipstick 2+), hipoalbuminemia 2,5 g/dL, edema, dan hiperkolesterolemia
(Hodson et al, 2008). Penyakit ini berlaku secara tiba-tiba justru berlanjut secara progresif
dan tersering pada anak-anak dengan insiden tertinggi ditemukan pada anak berusia 3-4
tahun dengan rasio lelaki dan perempuan 2:1. Biasanya dijumpai oliguria dengan urin
berwarna gelap, atau urin yang kental akibat proteinuria berat Kadang -kadang terdapat
juga hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal. Sedimen urin bisa juga normal
namun bila didapati hematuria mikroskopik (> 20 eritrosit per lapangan pandang besar)
dicurigai adanya lesi glomerular misalnya sklerosis glomerulus fokal (hodson et al, 2008)
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal(75%-
85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki
dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati
membranosa(30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan
wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa
3/1000.000/tahun. (Wila, 2010)
Umumnya sindrom nefrotik diklasifikasikan menjadi sindrom nefrotik primer dan
sindrom nefrotik sekunder. Pada sindrom nefrotik primer terjadi kelainan pada glomerulus
itu sendiri di mana faktor etiologinya tidak diketahui. Penyakit ini 90% ditemukan pada
kasus anak. Pasien sindrom nefrotik primer secara klinis dapat dibagi lagi menjadi tiga
kelompok yaitu sindrom nefrotik kongenital, responsif steroid dan resisten steroid.
Sindrom nefrotik primer yang biasanya paling banyak menyerang anak berupa sindrom
nefrotik tipe kelainan minimal dan majoriti dari mereka berumur antara 1-6 tahun dan 90-
95% dari mereka memberi respon yang baik kepada terapi kortikosteroid. Pada dewasa
pula, prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit kasusnya
berbanding pada anak-anak (Hodson et al, 2008)
Hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 28 November 2016 menunjukkan
An.W mengalami edema anasarka. Mahasiswa tertarik untuk melakukan pengelolaan
kasus pada anak tersebut.
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Mahasiswa dapat memahami konsep tentang sindrome nefrotik dan asuhan
keperawatan pada pasien anak dengan sindrome nefrotik.
2. Tujuan khusus
a. Mampu menjelaskan konsep dasar sindrome nefrotik, meliputi definisi, etiologi,
faktor resiko, manifestasi klinis, patofisiologi, pemeriksaan penunjang, dan
penatalaksanaan medis
b. Mampu menjelaskan konsep asuhan keperawatan pada pasien anak dengan
sindrome nefrotik meliputi pengkajian, masalah keperawatan yang mungkin
muncul dan rencana asuhan keperawatan.
c. Mampu melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan sindrome nefrotik
dengan pendekatan keperawatan meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan,
rencana, implementasi serta evaluasi.
d. Mampu mendokumentasikan pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien
dengan sindrome nefrotik di rumah sakit.
BAB IV

PEMBAHASAN

An. W di rujuk oleh RSI Imanudin Pekalongan ke RSUP Dr. Karyadi dengan
Sindrome Nefrotik. Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh
kelainan glomerular dengan gejala edema, proteinuria masif (lebih dari 50 mg/kgBB/24
jam), hipoalbuminemia (kurang dari 2,5 gram/100 ml), dan hiperkolesterolemia melebihi
250mg/dl, tanda tanda tersebut dijumpai pada kondisi rusaknya membran kapiler
glomerulus yang signifikan dan menyebabkan peningkatan permeabilitas membran
glomerulus terhadap protein (Wila, 2010). Hasil anamnesa menunjukkan klien mengalami
edema anasarka (edema pitting grade 3 pada ekstremitas dan edema non pitting), protein
urine 500 mg/dL (<50mg/KgBB/24 jam), albumine serum 2,3 g/dL dan kolesterol serume
393 mg/dL.
Edema anasarkan yang dialami klien disebabkan oleh penurunan tekanan onkotik
cairan intravaskuler karena hilangnya protein besar seperti albumine (hipoalbumine)
mengakibatkan difusi cairan kejaringan interstisial. Penurunan tekanan onkotik mungkin
disertai penurunan volume plasma dan hipovolemia. Hipovolemia menyebabkan retensi
natrium dan air. Proteinuria masih menyebabkan hipoalbuminemia dan penurunan tekanan
onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli dan akhirnya terjadi sembab. Proteinuria
(albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik, hilangnya
muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan
membran basal menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus
sawar kapiler glomerulus. Terdapat peningkatan permeabilitas membrane basalis kapiler-
kapiler glomeruli, disertai peningkatan filtrasi protein plasma dan akhirnya terjadi
proteinuria(albuminuria).
Hepar memiliki peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh kehilangan
sejumlah protein, baik renal maupun non renal. Mekanisme kompensasi dari hepar untuk
meningkatkan sintesis albumin, terutama untuk mempertahankan komposisi protein dalam
ruangan ekstra vascular(EV) dan intra vascular(IV).Pemeriksaan faal hati dilakukan pada
An.W untuk mengetahui faktor penyebab hipoalbuminemia dari proses sintesis albumine,
nilai SGOT 37 u/L dan kolesterol total 520 mg/dL menunjukkan ketidakefektifan fungsi
hati, namun tidak begitu signifikan untuk menyebabkan hipoalbuminea.Keadaan
hipoalbuminemia ini mungkin disebabkan beberapa factor: kehilangan sejumlah protein
dari tubuh melalui urin (prooteinuria) dan usus (protein losing enteropathy), katabolisme
albumin, pemasukan protein berkurang karena nafsu makan menurun dan mual-mual,
utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal. Pada An.R terjadi proteinuria
dan intake protein kurang karena penurunan nafsu makan dan mual-mual selama kurang
lebih 2 bulan terakhir.
Manifestasi klinis sindrome nefrotik yang dialami klien sperti hipoalbuminemia
(2,3g/dL), hematokrit 27,1%, hemoglobin 8,72 d/dL, total protein plasma 3,9 g/dL, edema
anasarka pitting edama grade 3, balance cairan +730 cc (24 jam), gambaran foto thoraks
congestive pulmonum dan efusi pleura, oliguriua serta terdengar suara nafas ronki basah
halus, menimbulkan masalah keperawatan kelebihan volume cairan yang disebabkan oleh
gangguan mekanisme regulasi (penurunan tekanan onkotik plasma). Untuk mengatasi
masalah tersebut intervensi fluid menajemen diberikan meliputi :
a. Pengukuran tekanan darah, frekuensi pernafasan dan suara pernafasan
Peningkatan tekanan darah dapat terjadi pada anak dengan sindrome nefrotik, aktifitas
angiotensin I dan II sebagai kompensasi penurunan tekanan onkotik plasma
meningkatkan vasokontriksi pembuluh darah, frekuensi pernafasan dan suara
pernafasan dikaji untuk mengetahui keadekuatan fungsi paru, kongestive pulmonum
dapat mengganggu proses pertukaran gas dan efusi pleura dapat menurunkan ekspansi
paru menyebabkan resiko gangguan pola nafasa pada anak.
b. Memonitor urine output, balance cairan dan pembatasan intake cairan peroral
Urine output normal anak usia 9 tahun 1,5 cc/kgBB/jam, urine output dan balance
cairan berfungsi untuk memonitor fungsi ginjal, status hidrasi dan efektifitias
pemberian diuretik. Pembatasan cairan pasien anak dengan edema anasarkan penting
sekali untuk dilakukan, anak dengan edema anasarkan menurut Wila (2010) berkisar
antara 1200-1500 cc/hari, hal ini dilakukan agar tekanan hidrostatik cairan intravaskuler
tetap normal, sehingga tidak memperparah edema anasarka.
c. Pemberian diet tinggi protein
Diet tinggi protein dipilih sebagai diet bagi pesien sindrome nefrotik, adanya
proteinuria membuat kadar protein dalam tubuh berkurang, protein merupakan zat
pembangun tubuh dan mempunyai peran penting dalam imunologi, penyembuhan luka
dan pengatur tekanan onkotik plasma. Kebutuhan protein anak dengan sindrome
nefrotik berkisar 2 gr/KgBB/hari. Kolaborasi pemberian diet tinggi protein disarankan
untuk penatalaksaan pasien dengan sindrome nefrotik (Hodson, 2013). Diet yang
disediakan RS terlebih dahulu diperkenakan pada pasien, sehingga pasien tahu fungsi
dan urgency dari diet yang diberikan, pasien dianjurkan dan dimotivasi untuk
menghabiskan makanan yang disediakan.
d. Kolaborasi pemberian diuretik, ACEI, albumine 20% dan prednison
Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas, biasanya
furosemid 1 mg/kgBB/hari, bergantung pada beratnya edema dan respons pengobatan.
Klien diberikan furosemide 30 mg/hari (1 mg/kgBB/hari BB 33 kg). Jika ada
hipertensi, dapat ditambahkan obat antihipertensi. H-7 sebelum dirujuk RSDK tekanan
darah klien berkisar 130-140 mmHg, obat anti hipertensi ACE inhibitor diberikan yaitu
captopril 50 mg/hari. Penatalaksanaan terapi medis yang dilakukan sesuai dengan guide
line penatalaksanaan sindrome nefrotik yang dianjurkan oleh International Study of
Kidney Disease in Children (ISKDC).
Masalah keperawatan kelebihan volume cairan pada klien belum teratasi, masih
terdapat edema dengan pitting edema 4 mm 2 detik, balance cairan 556 dengan intake oral
1500 cc (yang dianjurkan), kadar hemoglobin 9,6 g/dL, hematokrit 29,2% dan albumine
2,2 g/dL dan tekanan darah 125/90 mmHg. Untuk mengoptimalkan terapi obat untuk
mengurangi edema, klien tetap dianjurkan dan diingatkan untuk membatasi intake cairan
peroral dan meningkatkan asupan nutrisi tinggi protein.
Ketidakseimbangan elektrolit serum terjadi pada An.W kadar calsium serum 1.69
mmol/L, natrium 122 mmol/L, kalium 2,7 mmol/L dan chlorida 89 mmol/L, penurunan
kadar elektrolit tersebut kemungkinan disebabkan oleh ketidakefektifan fungsi ginjal,
selain fungsi ginjal untuk reabsorbis elektrolit seperti natrium tidak berfungsi baik saat
ginjal mengalami disfungsi. Ketidakefektifan fungsi ginjal secara noninvasif dapat
diprediksi dengan pengukuran laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan rumus sebagai
berkut :

eLFG = k x L/Scr
eLFG : estimated LFG (ml/menit/1,73 m2)
Keterangan :
L : tinggi badan (cm)
Scr : serum kreatinin (mg/dL)
k : konstanta (bayi aterm:0,45; anak dan remaja putri:0,55; remaja putra:0,7)
mengacu pada rumus tersebut didapatkan nilai GFR dengan kreatinin 1.82 mg/dL adalah
76 ml/menit/ 1,73m menunjukkan kerusakan ginjal ringan ( 60-89 ml/menit/1.73 m).
Kemungkinan penyebab lain ketidakseimbangan elektrolit yang trejadi pada klien adalah
diare akut selama 7 hari, diare menyebabkan haluaran cairan dan elektrolite meningkat.
Untuk mengatasai masalah tersebut, pemantuan heart rate, RR, dan manifestasi klinis dari
kekurangan elektrolit tersebut dikaji dan diatasi. Koreksi elektrolit yang dilakukan oleh
dokter meliputi pemberian tablet KCL 1800 mg/hari dan KCL 3 meq 68,75 ml dalam D5
NS 500 ml untuk meningkatkan kadar kaliun dan clorida, pemberian injeksi Ca
Gluconas 30mg/hari dan NaCl 3% 3 3 meq 134 ml dalam D5 NS 500 ml untuk
mengatasi hipocalsemia dan hiponatremia. An.R dianjurkan untuk meningkatkan diet yang
tinggi calsium dan kalium untuk mengatasi masalah keperawatan tersebut. Setelah
dilakukan perawatan selama 3 hari, faktor resiko ketidakseimbangan elektrolit sperti
muntah dan diare tidak terjadi, HR dalam batas normal 104 kali/menit, RR 21 kali/menit,
calsium 1,8 mmol/L, natrium 135 mmol/L, clorida 100 mmol/L dan kalium 4 mmol/L.
Masalah belum teratasi, klien tetap diajurkan untuk makan makanan tinggi calsium.

Makula eritrema merupakan kedaan kulit dimana terdapat bercak-bercak kemerahan


pada kulit, penyebab eritema beragam meliputi bakteri, virus, protozoa maupun jamur.
Penalakasaan makula eritema disesuaikan dengan kemungkinan penyebab, hasil
pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter spesial kulit menunjukkan bahwa kemungkinan
penyebab eritema pada klien adalah proses inflamis oleh jamur, dokter memberikan terapi
ketokenazol cream 2% dioleskan pada eritema/24 jam dan scalp solution /24 jam
digunakan sebagai sabun kurang lebih 5 menit lalu dibilas. Kulit disekitar eritema
dianjurkan untuk diberikan lotion, untuk menjaga kelembaban agar tidak mengelupas.
Infeksi jamur diatasi dengan memberikan lingkungan yang bersih dan sirkulasi udara yang
adekuat, sehingga jamur tidak meluas, ibu klien dianjurkan untuk menjaga kebersihan
kulit klien. Setelah perawatan selama 3 hari, makula eritema yang dialami klien belum
hilang, kulit disekitar luka kering dan mengelupas namun tidak terdapat penambahan luas
dan lokasi eritema serta tanda infeksi. Keluarga klien dianjurkan untuk menggunakan
terapi topical ketokenazole 2% cream dan scalp solution ketakenazole sesuai resep dokter
dan menjaga kebersihan badan anak R.

Kondisi anak yang sakit kadang memerlukan perawatan atau


hospitalisasi.Hospitalisasi biasanya memberikan pengalaman yang menakutkan bagi
anak.Semakin muda usia anak. Semakin kurang kemampuannya dalam beradaptasi,
sehingga anak menganggap bahwa hospitalisasi merupakan hal yang menakutkan.Semakin
muda dan semakin lama anak mengalami hospitalisasi akan membawa dampak pada
psikologis anak, salah satunya adalah peningkatan kecemasan yang berhubungan erat
dengan perpisahan dengan saudara atau teman-temannya dan akibat pemindahan dari
lingkungan yang sudah akrab dan sesuai dengannya, manifestasi klinis seperti distensi
abdomen, mual muntah membuat klien tidak nyaman, intervensi nausea menajemen dan
calming tecnique diberikan untuk mengatasi mesalah tersebut. Calming Technique
merupakan suatu bentuk tindakan keperawatan yang mengajarkan kepada klien bagaimana
cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan
bagaimana menghembuskan napas secara perlahan untuk relaksasi (NIC, 2014). Calming
technique mempunyai manfaat memberikan ketentraman hati, berkurangnya rasa cemas,
khawatir dan gelisah, tekanan dan ketegangan jiwa menjadi rendah, kesehatan mental
menjadi lebih baik dan meningkatkan kemampuan berhubungan dengan orang lain
(Smeltzer & Bare, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Ervan (2013) menunjukan bahwa
calming technique dengan nafas dalam mempu menurunkan kecemasan yang dirasakan
oleh penderita hipertensi di Magetan Jawa Timur. Setelah dilakukan perawatan selama 3
hari masalah keperawatan ketidaknyamanan tidak teratasi, keluarga diajarkan teknik
relaksasi dan membantu anak melakukan teknik relaksasi.

BAB V

PENUTUP

1. Kesimpulan
An. W dengan diagnosa sindrome nefrotik telah mendapatkan penegakan diagnostik
dan penatalaksaaan sindrome nefro sesuai dengan tatalaksana sindrome nefrotik yang
dianjurkan oleh International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC).Masalah
keperawatan utama pada An. R, kelebihan volume cairan pada klien belum teratasi, masih
terdapat edema dengan pitting edema 4 mm 2 detik, balance cairan 556 dengan intake oral
1500 cc (yang dianjurkan), kadar hemoglobin 9,6 g/dL, hematokrit 29,2% dan albumine
2,2 g/dL dan tekanan darah 125/90 mmHg. Untuk mengoptimalkan terapi obat untuk
mengurangi edema, klien tetap dianjurkan dan diingatkan untuk membatasi intake cairan
peroral dan meningkatkan asupan nutrisi tinggi protein.
2. Saran
a. Mahasiswa
Mahasiswa perlu meningkatan kemampuan untuk melakukan asuhan keperawatan anak
dengan sindrome nefrotik dari tahap pengkajian sampai dengan evaluasi serta
menambah wawasan tentang terapi atau tindakan tatalaksana edema anasarkan dan
menjaga keseimbangan cairan tubuh pasien dengan sindrome nefrotik.
b. Perawat
Perawat lebih memperhatikan balance cairan pasien dengan sindrome nefrotik,
keseimbangan cairan tubuh, mencegah keparahan edema anasarka pada pasien dengan
sindrome nefrotik.

Daftar Pustaka

Dochterman, Joanne Mc Cluskey dan Bulechek, Gloria M. 2008. Nursing Intervention


Classification (NIC). Fifth Edition. USA: Mosby Elsevier
Herdman, T. Heather. 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012 2014.
Jakarta: EGC
Hodson EM, et al. 2013. Corticosteroid Theraphy in Nephrotic Syndrome; a Meta-Analysis
of Randomized Controlled Trial. Arch Dis Child. 83: 45-51

Hodson, EM. 2008. Pathophysiology and Management of Idiopathic Nephritic Syndrome in


Children. Naskah lengkap KONIKA 12, Denpasar, 30 Juni 4 Juli 2009.

Moorhead, Sue et al. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). Fifth Edition. USA:
Mosby Elsevier
Niaudet P. 2008. Treatment of Idiopathic Nephrotic Syndrome in Children. Disease in
Childhood. 6(2): 167-170

Nurarif, AH dan Hardhi. 2015. Aplikasi: Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis,
NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Media Action Publishing

Wila, Wirya IG. 2010. Sindrom Nefrotik: Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi Jakarta: Balai
Penerbit FKUI

Wong, Donna L. 2005. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne & Bare. 2002. Buku ajar keperawatan medikal bedal brunner dan suddart
(ed.8, vol 1,2). Jakarta : EGC
Ervan, Edi P.2013. Pengaruh Calming Technique dan ROP Dalam Menurunkan Kecemasan
Pada Penderita Hipertensi Di RW 2 Sidanglaya Desa Wiroagung Magetan Jawa Timur.
Skripsi Universitas Brawijaya.

Anda mungkin juga menyukai